Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN

SUBKULTUR TERONG BELANDA (Solanum betaceum)

NAMA : SARTIKA

NIM : 1503111258

KELOMPOK : IV (EMPAT)

ASISTEN : GUSTIA ANGGRAINI

DOSEN : SITI FATONAH, M.P

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2018
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terong belanda merupakan salah satu komoditas buah yang serbaguna,
tergolong sebagai komoditas komersial dan masih memiliki harga jual yang murah,
apalagi jika musim panen. Terong belanda memiliki masa simpan yang pendek
setelah dipanen sehinga perlu penanganan yang baik setelah panen. Salah satu
alternatif untuk mempertahankan mutu, memperpanjang umur simpan dan
meningkatkan nilai ekonominya yaitu dengan menggunakan terong belanda sebagai
dasar pembuatan selai lembaran (Nisa et.al 2016).
Kultur jaringan tanaman sebagai salah satu aplikasi dari bioteknologi tanaman
merupakan budidaya tanman yang dikerjakan secara in vitro. Kultur jaringan yang
dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture didefinisikan sebagai suatu teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam
kondisi aseptik secara invitro, yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik,
penggunaan media kultur buatan dengan kondisi nutrisi lengkap dan ZPT serta
kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita 2009).
Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu langkah penting yang
menentukan keberhasilan teknik kultur in vitro. Kalus merupakan massa sel yang
tidak terorganisir, pada mulanya sebagai respon terhadap pelapukan (wounding).
Dediferensiasi merupakan langkah awal bagi perbanyakan vegetatif dengan teknik
kultur in vitro karena merupakan dasar terjadinya primerdia tunas dan akar.Kalus
dapat diperbanyak secara tidak terbatas dengan cara memindahkan sebagian kecil
kalus kedalam medium baru (sub kultur). Subkultur adalah usaha untuk mengganti
media tanam kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi
untuk pertumbuhan kalus atau protokormus dapat terpenuhi. Sub kultur dilakukan
atas dasar suspensi atau kandungan nutrisi dalam media tidak mencukupi untuk
pertumbuhan planlet, baik dipengaruhi oleh hilangnya nutrisi yang menyebabkan
perlunya penambahan nutrisi dalam medium dan hilangnya karbohidrat yang
kesemuanya dibutuhkan dalam proses metabolism (Kaatuk 1989).
Upaya budidaya terong belanda yang dilakukan selama ini lebih bersifat
tradisional sehingga produksi buah belum seperti yang diharapkan. Selain itu hama
dan penyakit yang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi kualitas buah
yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukanlah subkultur dari hasil teknik kultur
jaringan untuk memperbanyak budidaya terung belanda.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Untuk mengetahui pertumbuhan kultur baru setelah dilakukan subkultur
dengan media MS yang diberi perlakuan berbeda.
2. Untuk mengetahui cara subkultur tanaman terung belanda dengan
menggunakan bagian apikal dan hipokotil.
3. Untuk mengetahui pertumbuhan kultur baru setelah dilakukan subkultur
dengan media MS yang diberi perlakuan berbeda.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Terong belanda atau di Indonesia dikenal sebagai terong menen dan dalam
bahasa Inggris disebut Tree tomato atau Tamarillo, berasal dari Pegunungan Andes di
Amerika Selatan, khususnya di Peru kemudian menyebar ke berbagai wilayah di
dunia. Di Indonesia, Terong Belanda ini banyak dijumpai di Sumatera Utara. Upaya
budidaya terong belanda yang dilakukan selama ini lebih bersifat tradisional sehingga
produksi buah belum seperti yang diharapkan. Selain itu hama dan penyakit yang
merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi kualitas buah yang dihasilkan
(Nurwahyuni et.al 2016).
Menurut Nisa et.al (2016) klasifikasi ilmiah dari terong belanda adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Agiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Subkelas : Asteridae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Solanum

Spesies : Solanum betaceaum Cav

Kultur jaringan yaitu salah satu teknik perbanyakan alternatif pada tanaman.
Prinsip kultur jaringan ialah mengisolasi eksplan yaitu sel atau jaringan tanaman yang
diambil dari bagian tanaman, misalnya protoplasma, sel atau sekelompok sel,
kemudian distimulasi untuk membentuk tanaman secara utuh menggunakan media
dan lingkungan tumbuh yang sesuai. Kultur jaringan ialah membudidayakan suatu
jaringan tanaman menjadi tanaman kecil dengan sifat seperti induknya. Kultur
jaringan merupakan suatu metode untuk memperoleh tanaman dalam jumlah besar
dalam waktu yang relatif singkat serta bebas penyakit (Wardiyati et.al 1998).
Sub kultur merupakan salah satu tahap dalam perbanyakan tanaman melalui
kultur jaringan. Prinsip dasarnya sub kultur ialah memotong, membelah dan
menanam kembali eksplan yang telah tumbuh sehingga jumlah tanaman akan
bertambah banyak. Sub kultur adalah memindahkan eksplan ke media
multiplikasi dengan tujuan perbanyakan atau pengakaran suatu eksplan. Sub kultur
dilakukan jika eksplan pada medium kultur mengalami browing sebagai indikasi dari
kematian sel dan ketidakpratisan fungsi media. Eklspan yang baru saja ditanam dan
diinkubasikan dalam ruangan incubator akan menghasilkan kalus. Bila kalus sudah
cukup umur maka dapat dilakukan sub kultur. Kalus yang terlambat disub-kulurkan
tidak dapat berkembang dengan baik (Hendrayono, 1994).
Menurut Suharyono et.al (2016) kegiatan sub kultur disesuai dengan jenis
tanaman yang dikulturkan. Setiap tanaman memiliki karakteristik dan kecepatan
tumbuh yang berbeda-beda yang menyebabkan cara dan waktu sub kultur juga
berbeda-beda. Secara garis besar teknik sub kultur dibagi menjadi 4 yaitu:
1.      Teknik sub kultur untuk tanaman yang harus segera atau cepat di sub kultur.
2.      Teknik sub kultur untuk tanaman yang relatif lama di sub kultur.
3.      Teknik sub kultur untuk tanaman yang diperbanyak dengan multifikasi tunas, maka
subkultur dapat dilakukan dengan memisahkan anakan tanaman dari koloninya atau
melakukan penjarangan.
4.      Untuk tanaman yang tipe pertumbuhannya dengan pemanjangan batang maka sub
kultur bisa dilakukan dengan memotong tanaman per ruas tanaman yang ada. Namun
jika ada planlet yang masih terlalu kecil dan beresiko tinggi untuk dipotong, maka
sub kulturnya cukup dilakukan dengan dipisahkan dari induknya dan ditanam
kembali secara terpisah.
 Menurut Yusniati (2009) tahapan-tahapan dalam sub kultur terdiri dari :
a.       Regenerasi
b.      Multiplikasi, bertujuan untuk memperbanyak  tunas.
c.       Pengakaran, ialah tahapan dimana masing masing plantlet tumbuh dan
mengalami pembesaran, pengakaran dan perangsangan aktifitas fotosintesis.
d.      Inisiasi, yaitu melakukan sebanyak 8 – 10 kali sehingga menghasilkan sejumlah
besar tunas) dari satu eksplan.
e.       Mikropopagasi, merupakan tunas yang dibesarkan atau diakarkan .
            Menurut Wardiyati et.al (1998) Faktor yang mempengaruhi keberhasilan sub
kultur sama dengan faktor yang menentukan keberhasilan kultur jaringan antara lain:
1.      Genotipe Tanaman
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan
dalam kultur jaringan adalah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Perbedaan
respon genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan eksplan masing
masing varietas untuk tumbuh dan beregenerasi
2.      Media kultur
Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam garam anorganik,
senyawa organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon eksplan saat
dikulturkan. Perbedaan komposisi media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan
dan regenerasi eksplan.
3.      Lingkungan tumbuh
Faktor lingkungan tumbuh yang dimaksud ialah suhu, kelembaban, cahaya dan lain
sebagainya. Umumnya suhu yang digunakan dalam kultur jaringan lebih tinggi dari
kondisi suhu lingkungan, hal ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan
morfogenesis eksplan.
4.      Kondisi Eksplan
Kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur jaringan antara lain
jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai
eksplan.
III. METODE
3.1 Alat dan bahan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan untuk subkultur eksplan terong belanda adalah laminar air
flow, botol, pinset, gunting, aluminium foil, karet gelang, sprayer, bunsen, kertas
saring, cawan petri steril, tisu, kertas label, gelas ukur, gelas beaker, batang pengaduk
dan rak botol.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan untuk untuk subkultur eksplan terong belanda adalah
eksplan terong belanda, betadine, aquades, alkohol 70 %, dan media MS 1 BAP + 12
madu.

3.2 Cara kerja


1. Media untuk subkultur disiapkan ( MS dengan 1 BAP + 12 madu) serta alat-alat
disterilkan terlebih dahulu.
2. Tanaman yang akan disubkultur disiapkan yaitu dengan mengambil bagian apical
sepanjang ± 2 cm dan bagian daun serta akarnya dipotong.
3. Sebelumnya disiapkan aquades yang ditetesi dengan betadine sebanyak 2 tetes.
4. Bagian apical yang sudah dipotong direndam didalam larutan aquades dan
betadine.
5. Kemudian potongan tanaman tersebut diangkat dan dikeringkan diatas kertas
saring.
6. Potongan apical tanaman terong belanda tersebut ditanam di media MS 1 BAP +
12 madu secara aseptis sebanyak 12 botol (1/botol).
7. Setelah penanaman eksplan diinkubasi diruang inkubasi dan dilakukan
pengamatan pertumbuhannya.
8. Semua kegiatan subkultur dilakukan didalam laminar air flow secara aseptis.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Penanaman Hipokotil Terong Belanda (Solanum betaceum) In Vitro
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah % % % % %
Kelompok ZPT
Tunas Daun Akar Kontaminasi Tunas Daun Akar Kontaminasi Hidup
1 Kontrol 90,90
0 0 0 1 0% 0% 0% 9,09%
%
2 1 BAP + 1 4,75 5 0 100% 100% 100 0% 100%
3 Madu %
3 MS + 3 1 4,92 0 0 50% 58% 0% 0% 100%
BAP + 6
Madu
5 Kontrol 0,083 0,083 1 0 8,3% 8,3% 50% 0 100%
6 MS+ 1 0,4 1,4 0,5 0,33 40% 41,66 50% 33,33 % 66,67
BAP+ 3 % %
Madu

Tabel 2. Penanaman Epikotil Terong Belanda (Solanum betaceum) In Vitro


Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah % % % % %
Kelompok ZPT
Tunas Daun Akar Kontaminasi Tunas Daun Akar Kontaminasi Hidup
4 MS + 1
BAP + 0 2,25 0 2 0% 75% 0% 16,6% 75%
12 madu
7 1 BAP + 1,5 3,17 0 0,08 91,67 83,3 0 8,33 91,67
6 Madu 3 %
8 1 BAP + 0 1,66 0 0 0% 100 0% 0% 91,67
12 madu % %
9 MS+ 1 1 2,83 0 3 100% 100 0% 25% 75%
BAP ℅

4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan penanaman subkultur dari eksplan tanaman
buah terong belanda. Dalam praktikum ini digunakan medium Murashige dan Skoog
atau biasa disingkat dengan MS. Medium MS mengandung berbagai zat organik dan
anorganik yang akan memicu jaringan untuk tumbuh membentuk tanaman baru.
Untuk nutrisi tambahan dalam subkultur dari batang anakan buah naga ini digunakan
BAP dan madu. BAP (6-Benzylaminopurin) merupakan zat pengatur tumbuh yang
tergolong ke dalam sitokinin sintetik. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses
fisiologi di dalam tanaman. Aktivitas yang utama dari sitokinin adalah sitokenesis
atau pembelahan sel (Intan 2008).
Madu merupakan ZPT tambahan yang mengandung berbagai jenis komponen
gizi yang sangat bermanfaat, yaitu karbohidrat, asam amino, mineral, enzim, vitamin,
air, dan zat-zat organik lainnya. Madu sebagian besar mengandung karbohidat berupa
gula glukosa dan fruktosa. Madu kaya akan mineral penting (K, Ca, Fe, I, Na, S, Cl,
P, Mn, Mg), asam lemak vitamin B komplek (kecuali B1), D, E dan K serta berbagai
macam enzim. Di dalam madu masih terkandung biose atau zat pengatur tumbuh
yang mempercepat pertumbuhan akar, tunas, serta pembuangan pada tanaman, selain
zat antibakteri, sehingga bisa membantu mempercepat pulihnya jaringan yang luka
serta mencegah infeksi (Heddy 2002).
Eksplan yang digunakan adalah eksplan dari terong belanda dan bagian yang
digunakan adalah bagian hipokotil (bagian bawah yang akan tumbuh menjadi akar)
dan epikotil (bagian atas di pucuk). Pada praktikum ini menggunakan perlakuan yang
berbeda-beda yaitu hipokotil terong belanda dengan media MS kontrol, 1 BAP + 3
madu, MS + 3 BAP + 6 madu, sedangkan bagian epikotil terong belanda dengan
media MS + 1 BAP + 12 madu, 1 BAP + 6 madu, 1 BAP + 12 madu, dan MS+ 1
BAP.

Pengamatan subkultur dilakukan selama 4 minggu dengan parameter yang


diamati adalah jumlah tunas, jumlah daun, jumlah akar, jumlah kontaminasi, % tunas,
% daun, % akar, % kontaminasi dan % hidup. Penanaman hipokotil terong belanda
(Solanum betaceum) pada kontrol didapatkan hasil persentase tunasnya adalah 0 %,
pada botol media 1 BAP + 3 madu persentasenya 100 %, pada botol media MS + 3
BAP + 6 madu persentasenya 50 %, pada botol kontrol persentasinya 8,3 % dan pada
botol media MS + 3 BAP + 6 madu sebesar 40 %. Sedangkan penanaman epikotil
terong belanda dengan media MS + 1 BAP + 12 madu persentasenya 0 %, 1 BAP + 6
madu persentasenya 91,67 %, 1 BAP + 12 madu persentasenya 0 %, dan MS+ 1 BAP
persentasenya 100 %.

Hasil persentase daun penanaman hipokotil terong belanda (Solanum


betaceum) pada kontrol adalah 0 %, pada botol media 1 BAP + 3 madu persentasenya
100 %, pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu persentasenya 58 %, pada botol
kontrol persentasinya 8,3 % dan pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu sebesar
41,66 %. Sedangkan penanaman epikotil terong belanda dengan media MS + 1 BAP +
12 madu persentasenya 75 %, 1 BAP + 6 madu persentasenya 83,3 %, 1 BAP + 12
madu persentasenya 100 %, dan MS+ 1 BAP persentasenya 100 %.

Hasil persentase akar penanaman hipokotil terong belanda (Solanum


betaceum) pada kontrol adalah 0 %, pada botol media 1 BAP + 3 madu persentasenya
100 %, pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu persentasenya 0 %, pada botol
kontrol persentasinya 50 % dan pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu sebesar 50
%. Sedangkan penanaman epikotil terong belanda dengan media MS + 1 BAP + 12
madu persentasenya 0 %, 1 BAP + 6 madu persentasenya 0 %, 1 BAP + 12 madu
persentasenya 0 %, dan MS+ 1 BAP persentasenya 0 %.

Hasil persentase kontaminasi penanaman hipokotil terong belanda (Solanum


betaceum) pada kontrol adalah 9,09 %, pada botol media 1 BAP + 3 madu
persentasenya 0 %, pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu persentasenya 0 %, pada
botol kontrol persentasinya 0 % dan pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu sebesar
33,3 %. Sedangkan penanaman epikotil terong belanda dengan media MS + 1 BAP +
12 madu persentasenya 16,6 %, 1 BAP + 6 madu persentasenya 8,33 %, 1 BAP + 12
madu persentasenya 0 %, dan MS+ 1 BAP persentasenya 25 %. Kontaminasi ini
disebabkan oleh kekurang sterilan alat, tangan praktikan dan kekurang aseptisan pada
saat penanaman. Kontaminasi oleh jamur terlihat jelas pada media, media dan eksplan
diselimuti oleh spora berbentuk kapas berwarna putih.
Hasil persentase hidup penanaman hipokotil terong belanda (Solanum
betaceum) pada kontrol adalah 90,09 %, pada botol media 1 BAP + 3 madu
persentasenya 100 %, pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu persentasenya 100 %,
pada botol kontrol persentasinya 100 % dan pada botol media MS + 3 BAP + 6 madu
sebesar 66,6 %. Sedangkan penanaman epikotil terong belanda dengan media MS + 1
BAP + 12 madu persentasenya 75 %, 1 BAP + 6 madu persentasenya 91,67 %, 1
BAP + 12 madu persentasenya 91,67 %, dan MS+ 1 BAP persentasenya 75 %.

Berdasarkan hasil yang didapat konsentrasi terbaik untuk penanaman


hipokotil terong belanda (Solanum betaceum) adalah konsentrasi 1 BAP + 3 madu.
Sedangkan untuk penanaman epikotil terong belanda adalah konsentrasi MS+ 1 BAP.
Pada perlakuan bagian hipokotil dan epikotil terong belanda dengan media MS
kontrol tidak ada tumbuh tunas dan akar hal ini dikarenakan media MS yang
digunakan merupakan media MS kontrol yang tanpa diberi perlakuan berupa ZPT.
Menurut Endang (2013) zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam
mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman . Untuk memacu pembentukan
tunas dapat dilakukan dengan memanipulasi dosis auksin dan sitokinin eksogen. Hal
ini sesuai dengan literatur menurut Bagde et.al (2013) bahwa pemberian BAP yang
dikombinasikan dengan madu mampu menghasilkan waktu muncul tunas tercepat.
Hal ini diduga karena penambahan madu mampu mempercepat terbentuknya tunas.

Pengaruh dari perlakuan yang diberikan tersebut dilakukan untuk


mengoptimalkan pertumbuhan setiap tanaman sesuai dengan  zat pengatur tumbuh
yang dipakai. Sebab, tanaman tersebut dipindahkan/ disubkultur karena sudah
melebihi dari masa inkubasinya. Ini terjadi karena sudah muncul akar, batang, dan
daun sehingga pertumbuhannya ini mengurangi nutrisi ZPT yang ada sehingga
menjadi kering. Beberapa tanaman mulai menunjukkan pertumbuhan yang abnormal
yakni berwarna pucat atau menjadi coklat karena terdapat senyawa fenolik pada
tanaman tersebut. Menurut Suharyato et.al (2016) warna yang menjadi coklat
disebabkan oleh adanya larutan fenol yang mengikat oksigen dari luar, sehingga
terjadi oksidasi senyawa fenolik.
Pembentukan tunas tidak hanya membutuhkan BAP dengan kosentrasi yang
tinggi, dalam hal ini ada campur tangan dari hormon auksin endogen dalam jaringan
tanaman itu sendiri dan bila tunas muda muncul dan dapat memproduksi auksin
secara aktif maka auksin eksogen tidak diperlukan untuk memcau pertumbuhan
pucuk. Pada hasil pengamatan terdapat banyak tunas aksilar dan daun pada tanaman
tersebut tetap berwarna hijau yang juga dipengaruhi oleh BAP karena salah satu
fungsinya yaitu untuk menghindari senesscene dini sehingga klorofil tidak rusak.

V. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah:


1. Subkultur adalah pemindahan planlet yang masih sangat kecil (planlet muda)
dari medium lama ke dalam medium baru yang dilakukan secara aseptis di
dalam entkas atau Laminar Air Flow (LAF).
2. Peningkatan jumlah daun dan akar serta pemanjangan akar setelah subkultur
dapat diasumsikan bahwa akar secara optimal dapat menyerap unsur hara atau
nutrisi yang terkandung di dalam media.
3. Media MS yang dikombinasikan dengan BAP + madu mampu menghasilkan
waktu muncul tunas tercepat dan banyak.
4. Berdasarkan hasil yang didapat konsentrasi terbaik untuk penanaman
hipokotil terong belanda (Solanum betaceum) adalah konsentrasi 1 BAP + 3
madu.
5. Konsentrasi terbaik untuk penanaman epikotil terong belanda adalah
konsentrasi MS+ 1 BAP.

DAFTAR PUSTAKA
Bagde, A B, Sawant, R S, Bingare, S D, Sawai, R V,Nikumbh, M B. (2013).
Therapeutic and nutritional values of honey (madhu). International Research
Journal of Pharmacy 4 (3) 19-22.
Endang G L. 2013. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman
melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1).
Hendaryono D. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Kanisius.
Heddy S. 2002. Hormon Tumbuhan. Jakarta: Penerbit Rajawali.
Intan , R . D . 2008 . Peranan dan fungsi fitohormon bagi pertumbuhan tanaman .
Bandung : Universitas Padjajaran.
Katuuk, J.R.P.1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman.
Jakarta : Depdikbsud, Direktorat Jenderal Pendidikan.
Nisa K, Silvia M A. 2016. Efektivitas Ekstrak Terong Belanda untuk Menurunkan
Kadar Glukosa dan Kolesterol LDL Darah pada Pasien Obesitas. Jurnal
Majoriti 5(1).
Nurwahyuni I, Elimasni, M Zainudin S. 2016. Inisiasi In Vitro Biji Muda Terong
Belanda ( Solanum betaceum) Berastagi Sumatera Utara pada Komposisi
Media dan Zat Tumbuh yang Berbeda. Jurnal Biologi Sumatera 1(1).
Suharyo, Hayati M, Imron R, Diah R. 2016. Pengaruh jumlah subkultur dan media
sub-optimal terhadap pertumbuhan dan kemampuan regenerasi kalus tebu
(Saccharum officinarum L.). Jurnal Menara Perkebunan 84(1).
Wardiyati, Tatik. 1998. Kultur Jaringan Tanaman Hortikultura. Malang: FP UB.
Yusnita. 2009. Kultur Jaringan Cara Perbanyakan Tanaman Secara Efisien.
Jakarta: Agro Media Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai