Anda di halaman 1dari 13

Ibrani Mania

Dalam dasawarsa terakhir, ada gerakan baru tumbuh di kalangan kristen


Indonesia yang sangat berpusatkan hal-hal yang berbau Ibrani dan dapat disebut
sebagai ‘Ibrani’mania. Mereka terpengaruhi fanatisme Yudaik yang
mengakibatkan mereka mengidap ‘Islam/Arab’fobia, khususnya menolak hal-hal
yang berbau Islam/Arab terutama nama ‘Allah’ dan memulihkan nama Ibrani
‘Yahweh.’ Sebaliknya, gerakan ini sangat meninggikan bahasa Ibrani seakan-akan
bahasa ini adalah bahasa surgawi yang ada dari kekal sampai kekal. Klaim yang
mereka kemukakan adalah bahwa: (a) ‘Bahasa Ibrani’ itu cukup tua setua nama
Eber dimana nama Ibrani berasal; (2) ‘Bahasa Ibrani’ adalah bahasa yang terus
menerus dipakai sampai sekarang; dan bahwa (c) Yesus dan umat Kristen
berbahasa Ibrani meneruskan bahasa umat Yahudi masa Perjanjian Lama dan
‘Perjanjian Baru’ bahasa aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani. Benarkah klaim
fanatisme bahasa demikian itu?

Berbeda dengan anggapan gerakan ini yang menyebutkan bahwa bangsa dan
bahasa Ibrani sudah ada sejak masa kuno dan bertahan terus sampai sekarang,
kenyataaan menunjukkan bahwa bangsa dan bahasa Ibrani itu labil, dan berasal
dari aksara bahasa timur tengah yang lebih kuno dan dalam perkembangannya
mudah terpengaruh bahasa asing disekitarnya. Orang Ibrani biasa dikaitkan
sebagai keturunan Eber yang adalah cucu Arphaksad anak Sem, jadi termasuk
rumpun Semitik (keturunan Sem). Eber itu, kenyataannya lebih muda dua
generasi dari Aram (anak Sem juga) yang kemudian menurunkan bangsa Aram
dan kemudian bangsa Arab (Kej.10:21-25). Lalu bahasa apakah yang diucapkan
oleh orang Ibrani sejak awalnya?

Para leluhur orang Ibrani berasal dari Mesopotamia (Ur-Kasdim) dan berbahasa
Aram-Mesopotamia, karena bahasa itu sudah digunakan oleh keturunan Aram
disitu dan berkembang lebih pagi dari bahasa Ibrani dikarenakan keturunan Aram
menetap secara turun-temurun di daerah Mesopotamia dan berkembang menjadi
komunitas besar yang kemudian menggunakan bahasa Aram. Keturunan Sem
lainnya termasuk keturunan Arphaksad dan Eber juga tinggal dikawasan itu dan
berbahasa Aram juga seperti Terah, Abram, Nahor dan Haran (Kej.11:10-26;24:4).
Terah bersama Abram dan Lot anak Haran kemudian meninggalkan Mesopotamia
menuju Kanaan, dan saat di Haran, Terah meninggal (Kej.11:27-32). Dapat
dimaklumi mengapa bahasa Ibrani yang kemudian digunakan orang Ibrani
terlambat berkembang karena leluhur mereka, Abram, adalah seorang pengelana
dan tidak sempat mengembangkan bahasa sendiri melainkan banyak berinteraksi
dengan bahasa di lingkungan yang baru.

Setelah Abram menerima janji Allah dan dinamakan Abraham yang disebut ‘orang
Ibrani’ (Kej.14:13) ia memasuki Kanaan dan menggunakan bahasa lokal Kanaan
disamping Aram. Ishak anak Abraham yang lahir di Kanaan kemudian mencari
isteri ke Aram-Mesopotamia kekota Nahor (Kej.24:10) dan menikahi Ribka cucu
Nahor. Ribka memiliki saudara bernama Laban yang tercatat sebagai orang Aram
berbahasa Aram (Kej.31:20,47). Yakub, anak Ishak dan Ribka berbahasa Aram
mengingat bahasa ibunya Aram, kemudian menikah dengan Lea dan Rachel anak
Laban, pamannya yang berbahasa Aram. Yakub yang lahir di Kanaan tentu
berbahasa Kanaan juga disamping bahasa Aram ibunya, maka dapat dimaklumi
mengapa keturunan Yakub yang kemudian menjadi bangsa Israel, mengaku
sebagai keturunan Aram (Ul.26:5), dan disebut berbahasa Kanaan (Yes.19:18).

Tetapi, bukankah bahasa Ibrani sudah digunakan Yakub yang menyebut ‘Galed’
dalam bahasa Ibrani? (Kej.31:47). Memang ‘Galed’ kini masuk kosa-kata bahasa
Ibrani, tetapi kata itu berasal dari bahasa lain. Ada dua penafsiran, yaitu
kemungkinan (1) Galed berasal bahasa Aram sebagai sinonim Yegar-Sahaduta
karena Laban juga menyebut Galed yang tentu sudah dikenalnya (Kej.31:48) dan
dalam percakapan Laban-Yakub tidak ada indikasi digunakannya dua bahasa:

“Nowhere else in the Jacob-Laban cycle of stories is there the slightest suggestion
that the two spoke different languages.” (The Interpreters’ Bible, Vol.I, 716).
Dan kemungkinan (2) Galed berasal bahasa Kanaan yang merupakan bahasa yang
dikenal Yakub karena ia lahir di Kanaan.

“Sudah pasti ada pengambil-alihan kata-kata Mesopotamia pada masa Abraham,


yang berimigrasi dari Ur dan Haran. … Ada juga peminjaman kata-kata Aram pada
pasa para leluhur, seperti yang terjadi dalam perjalanan Abraham ke Haran, dan
pernikahan Ishak dan Yakub dengan isteri-isteri yang berbahasa Aram. Perhatikan
bahwa ‘Galed’ yang dikatakan Yakub dalam bahasa Kanaan, disebut Laban
mertuanya ‘Yegar-Sahaduta’ dalam bahasa Aram (Kej.31:47).” (The Zondervan
Pictorial Encyclopedia of the Bible, Vol.3, hlm.75).

Perlu disadari bahwa pada masa Yakub, bahasa Ibrani belum berkembang, dan
baru kemudian percampuran bahasa ibu Aram dan bahasa lokal Kanaan & Amorit
menjadi cikal bakal bahasa Ibrani. Bahasa Kanaan dengan pencampuran Aram
yang digunakan para leluhur orang Ibrani masih digunakan oleh orang-orang
Ibrani ketika mereka berada di Mesir (Yes.19:18). Kemudian ketika orang Ibrani
dengan pimpinan Musa keluar dari Mesir dan memasuki Kanaan kembali, bahasa
mereka kemudian menjadi cikal-bakal bahasa Ibrani Kuno (Palaeo Hebrew),
bahasa yang berkembang dalam komunitas orang Ibrani setelah mereka menetap
dalam jumlah banyak di Palestina:

“Bahasa Ibrani adalah cabang dari bahasa Kanaan dan Amorit, atau lebih tepat
Kanaan dan Amorit adalah dialek-dialek nenek-moyang yang melalui
pencampuran keduanya pertumbuhan bahasa Ibrani dapat dijelaskan.”
(Interpreters’ Dictionary of the Bible, Vol.2, hlm.553).

Bahasa Ibrani tulisan baru berkembang pada abad-11sM yang menggunakan


aksara Kanaan dengan 22 huruf mati. Aksara inilah yang kemudian melahirkan
bahasa Ibrani kuno (Palaeo Hebrew). Kitab Sastra Tenakh (abad-11–6sM)
menggunaan bahasa Ibrani Kuno yang masih berciri Kanaan dan Amorit. Ketika
umat Israel berada di Kanaan pada pemerintahan Sanherib (700sM), bahasa
mereka sudah agak berbeda dengan bahasa Kanaan asli, dan karena itu disebut
sebagai bahasa Yehuda (Yehudit, 2Raj.18:26,28; Neh.13:24; Yes.36:11,13)
dibedakan dengan bahasa Aram (Aramit).

Kitab Tawarikh, Ezra, Nehemiah, Kidung Agung, Pengkotbah dan Ester


menunjukkan bahasa Ibrani yang lebih lanjut yang dipengaruhi bahasa Aram dan
disebut bahasa Ibrani Kitab Suci (abad-6-3 sM). Pada masa Ezra (abad-5 sM) orang
Israel sudah tidak mengerti bahasa Ibrani sehingga perlu diterjemahkan ke dalam
bahasa Aram (Neh.8:2-9). Demikian pula dijumpai bahwa sebagian kitab Ezra (4:8
– 6:18; 7:12-26), Daniel (2:4b – 7:28) dan Yeremia (10:11) ditulis dalam bahasa
Aram.

Setelah Tenakh ditulis lengkap berkembanglah bahasa tulisan ‘Ibrani Miznah’


(abad-3sM–6M) yang dipengaruhi bahasa Aram, Yunani dan Latin, sejalan dengan
perluasan kekuasaan Yunani sejak Alexander Agung menguasai Timur Tengah
disusul kerajaan Romawi. Pada masa itu Tenakh diterjemahkan ke dalam bahasa
Yunani dalam Septuaginta (LXX, abad-3sM) dengan 70 penerjemah yang diutus
oleh Imam Besar Eliezer di Yerusalem, dan Perjanjian Baru juga ditulis dalam
bahasa Yunani (koine) dengan beberapa kata Aram.

Namun, ada juga tokoh penganut ‘Ibrani’mania yang berpendapat bahwa umat
Kristen pertama berbahasa Ibrani dan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani.
Benarkah klaim demikian? Kita harus menyadari bahwa kalau dalam Perjanjian
Baru, yang disebut bahasa Ibrani yang dimaksudkan adalah bahasa Aram,
demikian juga sumber Tenakh (PL) yang digunakan umat Kristen pertama adalah
Septuaginta (LXX, bahasa Yunani).

D.C. Mulder, pakar Perjanjian Lama, menyebutkan:


“Di tanah Palestina sendiri bahasa Aramlah yang menjadi bahasa sehari-hari sejak
abad IV/III sM.; bahasa Ibrani lama-kelamaan hanya dipakai sebagai bahasa suci
dan bahasa agama.” (Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, hlm.214)

Sedangkan Bruce M. Metzger, pakar Alkitab dan bahasa-bahasanya,


menyebutkan:

”Bahasa ibu orang Yahudi Palestina di waktu itu adalah Aram. Sekalipun para Rabi
dan Ahli-Kitab masih menggunakan bahasa Ibrani klasik Perjanjian Lama, untuk
mayoritas umat ini adalah bahasa mati. ... Barangkali karena rasa bangga yang
salah, dan kemungkinan besar karena tidak dapat membedakan ketepatan ilmiah,
bahasa Aram secara populer disebut sebagai bahasa ”Ibrani”. … Bahasa
percakapan umum semitik orang Yahudi Palestina pada waktu Yesus adalah
Aram.” (The Language of the New Testaments, The Interpreters’ Bible, Vol.7,
hlm.43)

“Septuaginta adalah teks Alkitab utama yang dikenal dan digunakan dalam
penyusunan Perjanjian Baru.” (The New Bible Dictionary, hlm.714).

Ketika bangsa Arab bangkit melalui kesultanan Islam dan menguasai sekitar Laut
Tengah termasuk Palestina, berkembanglah ‘Ibrani Para Rabi’ (abad-7–19M) yang
dipengaruhi bahasa Arab yang mengenalkan alun suara, dan hanya menjadi
bahasa Kitab Suci dengan kehadiran keluarga Masoret pada abad-6–10M yang
menghasilkan Tenakh Massoret. Baru di akhir abad-19M berkembang ‘Ibrani
Modern’ sebagai bahasa tulis dan percakapan sejalan dengan kebangkitan
nasionalisme Yahudi yang ingin mengembalikan bangsa ini kepada agama,
kebudayaan dan bahasa Ibrani. Kebangkitan dipermudah oleh penguasaan
Inggeris atas Palestina menggantikan Arab (1917) yang kemudian membuka
peluang Israel merdeka (1948). Sejak itu bahasa Ibrani secara resmi dijadikan
bahasa nasional Israel.
Sekalipun sebagai bahasa tulis bahasa Ibrani tetap eksis dalam salin-menyalin
Tenakh, namun terus menerus dipengaruhi bahasa lingkungan yang lebih populer
yaitu Aram, Yunani, Latin, dan kemudian Arab. Tenakh yang ditemukan di Qumran
(Dead Sea Scrolls, abad-2sM–1M) bahasa Ibraninya berbeda dengan Ibrani
Masoret (naskah MS tertua yang eksis berasal dari abad-10M).

Dapat dimaklumi mengapa naskah Tenakh Masoret (yang diterjemahkan sebagai


Perjanjian Lama) ada perbedaannya dengan Septuaginta yang dikutip Perjanjian
Baru (80% kutipan PL dalam PB berasal dari Septuaginta). Ini menunjukkan bahwa
naskah Tenakh sumber Septuaginta berbeda dengan naskah Tenakh yang
digunakan Masoret.

Terlepas dari keyakinan ‘Ibrani’mania yang tak berdasar sejarah mengenai


supremasi bahasa Ibrani, bahasa Ibrani kenyataannya merupakan bahasa yang
labil, berasal bahasa Kanaan dan Amorit, lama menjadi bahasa mati dan rentan
dipengaruhi bahasa Aram, Yunani, Latin, dan Arab. Dan sekalipun pengaruh Arab
memperkenalkan alun suara sejak abad-7M, sebagai bahasa hidup (percakapan)
baru hidup kembali pada abad-19M setelah bangunnya nasionalisme Yahudi.

Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org

DARI SABAT SABTU KE HARI MINGGU

Dalam Perjanjian Lama diajarkan ritual Sabat, yaitu perhentian pada hari ketujuh
(Sabtu) dari semua pekerjaan. Namun adat-istiadat Yahudi lama kelamaan tidak
lagi mengerti hakekat Sabat yang memberi kelegaan/istirahat tetapi kemudian
menjadikan Sabat sebagai syariat yang memberatkan umat. Yesus datang menjadi
Tuhan atas Sabat dan untuk menggenapkan hari kelegaan/perhentian yang
sebenarnya.

Sejak PL, Sabat sebagai hukum keempat (Kel. 20:11) terus dijalankan secara ketat
oleh orang Yahudi, bukan sekedar sebagai peringatan tentang hari tertentu
dimana seseorang mengalami istirahat/perhentian setelah seminggu bekerja,
namun dalam ibadat kemudian hal ini menjadi ritual syariat yang membatasi dan
membebani kehidupan manusia.
Demi Sabat orang tidak boleh berjalan jauh sekalipun itu untuk tugas mulia, dan
demi Sabat seseorang tidak mungkin menolong ternaknya yang terperosok di
jurang kalau jaraknya melebihi syariat Taurat yang sudah digariskan. Pokoknya
Sabat berbeda dari artinya semula sebagai hari yang membebaskan, sekarang
berubah menjadi hari yang membelenggu umat.

Sejak ketika Yesus mulai melayani, Ia masih beribadah di hari Sabat (Luk. 4:16,31),
tetapi bukan sepenuhnya sebagai pengikut ritual tetapi karena itu adalah hari
dimana Ia bisa bertemu umat yang berkumpul di rumah ibadat. Selanjutnya
pandangannya mengenai hari Sabat mulai berubah, Ia menjelaskan bahwa Daud
melanggar syariat Sabat lahiriah demi pembebasan kehidupan riil kepada para
pengikutnya (Luk. 6:4-5). Bahkan Yesus sering menyembuhkan orang dihari Sabat
dan melanggar Sabat, suatu yang dipersalahkan dalam ibadat hukum Taurat (Luk.
6:6-11;13:14). Dalam konteks ini Yesus berkata kepada mereka yang
menentangnya:

“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Sabat, jadi Anak
Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Mrk. 2:27-28).

Ada juga yang menyalah-tafsirkan ayat itu seakan-akan Yesus menunjukkan


perintah untuk memelihara Sabat, padahal konteks ayat itu menjelaskan hal yang
sebaliknya, yaitu membantah pengertian orang Farisi mengenai bagaimana
memelihara Sabat! Inti Sabat sebenarnya adalah satu hari yang mendatangkan
damai sejahtera dan kelegaan kepada manusia setelah seseorang mengalami
beban pekerjaan selama 6 hari lamanya. Yesus mengatakan kepada mereka yang
lelah dan menanggung beratnya kehidupan kerja disekelilingnya:

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu.” (Mat. 11:28).

Kata ‘kelegaan’ adalah terjemahan kata yunani ‘katapausis’ yang sebenarnya


merupakan terjemahan kata Ibrani ‘Sabat’ (Kel. 20:11) dalam Septuaginta
(terjemahan Yunani dari Tanakh Ibrani).

Sikap Yesus terhadap hari Sabat secara konsekuen dinyatakan dengan


kebangkitannya bukan pada hari Sabat hari ketujuh tetapi ‘pada hari pertama
dalam minggu’ (Mat. 28:1). Ini menarik karena kemenangannya atas maut dan
ke’tuhan’annya tidak dinyatakan pada hari ‘Sabat Sabtu’ tetapi pada ‘hari Minggu’
karena Ia telah mendatangkan Sabat Yobel bagi manusia.

Kita mengetahui bahwa dalam tradisi Israel, setelah 7 kali 7 tahun (= 49 tahun),
maka tahun ke-50 akan menjadi tahun Jobel dimana terjadi pembebasan total
bagi mereka yang menjadi budak atau mengalami pendudukan. Dalam hitungan
hari, setelah 7 kali 7 hari (= 49 hari), hari pentakosta (= hari ke-50) biasanya
dirayakan juga (Im. 23:15-21; Ul. 16:9-11). Hari ke-50 adalah hari Minggu, satu
hari setelah sabtu sabat ke-7.

Demikian juga pada hari kebangkitannya itu, Yesus mendatangi para murid yang
berkumpul dan menghadirkan “damai sejahtera dan sukacita” (Yoh. 20:19-23).
Seminggu kemudian pada hari minggu berikutnya ketika para murid kembali
berkumpul, para murid mengatakan kepada Thomas bahwa: “kami melihat
Tuhan” dan ketika Thomas sendiri melihatnya keluarlah pengakuan “Ya Tuhanku
dan Allahku” (Yoh. 20:24-29), pengakuan jemaat awal yang menegaskan bahwa
‘Yesus adalah Tuhan’ yang identik dengan pengakuan kepada Yahweh sendiri
(Mzm. 35:23-24). Dari sinilah kemudian timbul istilah ‘Hari Tuhan’ (kuriake
Hemera) untuk menyebut hari pertama dalam minggu dimana Yesus menyatakan
diri sepenuhnya sebagai ‘Tuhan’. Rasul Yohanes melihat penglihatan pada ‘hari
Tuhan’ (Why. 1:10) dan ‘hari Tuhan’ juga akan menunjukkan hari kedatangan-Nya
yang keduakali kelak untuk menghakimi manusia (Kis. 2:20; 2 Ptr. 3:10). Istilah
‘hari Tuhan’ dalam PB tidak ditujukan kepada Yahweh melainkan kepada Tuhan
Yesus.

Menarik untuk diketahui bahwa setelah ‘bangkit pada hari minggu’ Yesus
menyatakan diri pada para murid pada ‘hari minggu’ berikutnya dimana mereka
berkumpul mengenang hari kebangkitan Yesus untuk makan roti dan doa (band.
Kis. 20:7). Yesus tidak menyatakan diri pada hari Sabat sabtu kepada orang-orang
Yahudi, melainkan pada hari Minggu kepada para murid-Nya. Demikian juga pada
hari minggu mengenang kebangkitan-Nya ia mengaruniakan ‘Roh Kudus’ kepada
murid-murid-Nya (Yoh. 20:22), dan Roh Kudus dicurahkan kepada umat manusia
pada ‘hari Minggu’ yaitu pada hari ‘Pentakosta’ (hari ke-50 setelah Sabat Paskah).
Hari Pentakosta dianggap sebagai kelahiran gereja Kristen. Gereja Kristen lahir
pada hari Minggu, hari mengenang kebangkitan Yesus yang menandakan
kemenangannya atas dosa dan maut.

Semua ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus Kristus memang menghendaki kita
menjadikan ‘hari Minggu’ sebagai ‘hari Tuhan’ dimana kita menjalankan Sabat,
bukan dalam pengertian Sabat Yahudi yang berupa ritual yang memberatkan
umat, namun dalam pengertian ‘Tahun Rahmat Tuhan’, Sabat Akbar (Yobel) yang
membebaskan umat manusia dari segala penderitaan mereka.

Perlu disadari bahwa hari Minggu bukanlah hari Sabat dalam pengertian ritual
tradisi Yahudi, dan sekalipun para murid kemudian masih menghadiri perayaan
hari Sabat di Bait Allah / Sinagoga, mereka melihat Sabat sebagai menunjuk Yesus
yang menjadi Sabat bagi manusia. Kemudian, para murid berangsur-angsur
meninggalkan pertemuan Sabat di rumah ibadat Yahudi dan berkumpul
memecahkan roti di hari minggu di rumah-rumah mereka (Kis. 20:7; 1 Kor. 16:2).
Persekutuan demikianlah yang kemudian menjadi hari persekutuan rutin bagi
para murid Yesus.

Semula para murid Yesus yang berasal dari bangsa Yahudi masih melakukan
pertemuan di hari Sabat sebagai bagian dari tradisi sosial-budaya Yahudi mereka,
namun karena Sabat adalah khas terkait dengan perjanjian kepada Musa yang
berkaitan dengan bangsa Israel yang keluar dari Mesir dan tidak ada dalam
perjanjian kepada Nuh untuk umat manusia, maka karena Sabat ditujukan kepada
umat Israel, umat Kristen yang berasal dari orang asing umumnya tidak ikut
merayakan Sabat, apalagi di rumah-rumah ibadat Yahudi (sinagoge).

Karena perkembangan kekristenan yang cukup pesat dan dianggap menjadi duri
dalam agama Yahudi, kemudian ada peraturan yang dikeluarkan pimpinan agama
Yahudi tentang ‘Birkat Ha-Minim’ (doa melawan penyesat), yang melarang semua
pengikut Kristus berada di Bait Allah / Sinagoge pada hari Sabat, peraturan ini
menyebabkan umat Kristen yang orang Yahudi kemudian berkumpul di rumah-
rumah di hari minggu karena mereka sekarang dilarang merayakan Sabat di hari
sabtu di Sinagoge.

Bapa-Bapa gereja sesudah rasul Yohanes meninggal (akhir abad pertama) juga
menguatkan bahwa perkumpulan di hari minggu sudah dipraktekkan secara luas
di kalangan Kristen. Kita sudah melihat bahwa umat Kristen menyebut hari
minggu sebagai ‘hari Tuhan’ (kuriake hemera, Why. 1:10), sebagai hari ‘Tuhan
Yesus’, yang bangkit pada hari pertama dalam minggu.

Memang ada yang menafsirkan bahwa ‘hari Tuhan’ itu bukan menunjuk pada hari
minggu tetapi menunjuk pada ‘hari penghakiman Tuhan terakhir,’ namun dari
konteks Wahyu 1:10, terlihat bahwa hari dimana Yohanes menerima wahyu itu
disebut ‘kuriake hemera,’ padahal biasanya dalam LXX, untuk menunjuk kepada
‘hari Tuhan’ yang maksudnya sebagai hari penghakiman terakhir, LXX
menggunakan istilah berbeda, yaitu ‘he hemera tou kyriou.’ Hari Tuhan, selagi
mencakup nafas perhentian Sabat yang lama sekaligus mengungkapkan
pembaharuan dalam Roh Kudus, dan bukannya dalam huruf-huruf yang lama (Rm.
7:6).

Hari Minggu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang
berarti ‘Tuhan,’ yang kemudian dijadikan kosa kata Indonesia menjadi hari
‘Minggu.’

Dalam Didache 14 (kitab pengajaran Ke-12 Rasul yang berasal dari abad awal)
dengan eksplisit disebutkan bahwa ‘kuriake hemera’ adalah hari minggu. Ignatius
(115 M, Epistle to the Magnesian) mengatakan:

“Jangan kita memelihara lagi hari Sabat, melainkan merayakan Hari Yesus Kristus,
pada hari mana hidup kita bangkit dari kematian oleh Dia.”

Justinus Martir (165 M) mengatakan bahwa:

“pada hari pertama itu dengan mengubah gelap menjadi terang Tuhan
menjadikan dunia, dan karena Yesus Kristus, Juru-selamat kita, pada hari itupun,
yaitu hari pertama dalam pekan, bangkit dari mati dan menampakkan diri kepada
murid-murid-Nya.”

Melito, uskup Sardis (190 M) menulis thesisnya berjudul ‘Hari Tuhan’ yang
maksudnya ‘hari Minggu.’ Sedangkan bapa gereja lainnya, yaitu Tertulianus (200
M) mengatakan bahwa:
“hari Tuhan, yaitu hari kebangkitannya, kita bukan hanya meninggalkan kebiasaan
berlutut, tetapi juga menanggalkan segala kesusahan dan segala yang menindas
kita serta bangkit bekerja.”

Demikian juga Clemens dari Alexandria (220 M) mengatakan bahwa:

“hari pertama dari tiap-tiap pekan telah menjadi hari perhentian, karena
kebangkitan (Tuhan Yesus) dari kematian.”

Dari data-data di atas kita dapat melihat bahwa kebiasaan berkumpul pada hari
Minggu oleh umat Kristen di rumah-rumah menggantikan berkumpul di hari Sabat
Sabtu Yahudi di rumah ibadat, disamping jemaat di Israel sejak hari kebangkitan
Tuhan Yesus dan Kisah Para Rasul, ternyata sudah menjadi praktek jemaat kristen
sejak abad pertama baik di Afrika Utara, Eropah maupun Asia Kecil, jauh sebelum
kekaisaran Konstantin pada abad ke-4 meresmikan hari minggu dengan
mengeluarkan edik sebagai hari istirahat negara dan didukung oleh Paus.

Mendukung kenyataan yang telah berjalan tiga abad lamanya itu, pada tahun 321
M, kaisar Konstantin mengeluarkan edik yang menentukan hari minggu sebagai
hari istirahat negara dan meliburkan/menutup gedung-gedung pemerintahan
pada hari itu, sehingga para pegawai dapat pemerintah dapat mengalami
kelegaan setelah enam hari bekerja keras. Edik ini bukan merupakan produk
ketentuan yang baru lahir, melainkan meresmikan kebiasaan yang sudah berjalan
tiga abad lamanya.

Pengertiannya yang dikandung dalam edik di sini adalah bahwa masyarakat harus
berhenti/libur dari pekerjaan sehari-hari dan menghadiri pertemuan ibadat di hari
minggu. Hari minggu tidak pernah dianggap sebagai hari Sabat (seperti dimengerti
dalam agama Yahudi). Baik Roma Katolik, Orthodox, tidak menganggap ibadat
hari Minggu sebagai penerusan Sabat Yahudi.
Para reformator seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin juga menekankan hari
Minggu sebagai hari istirahat dan hari berbakti bagi umat Kristen, tetapi mereka
juga menolak mengkaitkan hari Minggu dengan hari Sabat Yahudi.

Hari Minggu memang menggantikan Sabat sebagai hari istirahat dan


berkumpulnya jemaat, tetapi bedanya Sabat sabtu berfungsi sebagai perbuatan
baik dalam ritual Taurat yang kalau dilanggar adalah dosa, sedangkan hari Minggu
adalah hari berkumpul bagi umat Kristen yang dengan sukacita merayakan hari
kebangkitan Yesus yang telah menang atas dosa dan maut dan telah
memerdekakan mereka dari perhambaan kerja.

Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org

Anda mungkin juga menyukai