Anda di halaman 1dari 11

LARANGAN JUAL BELI TALAQQI RUKBAN

Asep Rizki
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Seprizki97@gmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai hukum jual beli talaqqi rukban prespektif hadits Ahkam. Jual beli Talaqqi
Ruqban merupakan salah satu jenis transaksi jual beli yang sah tetapi terlarang dalam islam. Talaqqi
rukban adalah pembelian barang dengan cara menyongsong penjual sebelum sampai di pasar agar ia
dapat membeli barang dengan harga murah. Penjelasan dari hadis Abu Dawud bahwa Ar-rukban adalah
pihak yang mengimpor barang sedangkan talaqqihim adalah pihak yang menemui penjual komoditi dan
membelinya dari mereka sebelum penjual masuk pasar. Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk
menjelaskan hukum jual beli talaqqi rukban berdasarkan dalil Al-Quran, Hadits serta pandangan ulama.
Artikel ini ditulis dengan metode pendekatan kualitatif deskriptif dalam bentuk yuridis normatif dengan
mencari sumber-sumber rujukan yang relevan dengan kajian yang diteliti. Berdasarkan riwayat
hadits yang ditemukan dalam kitab Sunan Abi Dawud bahwa praktek transaksi jual beli talaqqi rukban
dilarang dalam agama islam dan jumhur ulama (mayoritas ulama) mengatakan jual beli seperti ini
diharamkam karena adanya pengelabuan, jual beli dengan cara talaqqi rukban ini juga mengakibatkan
supply dan demand tidak bertemu sehingga tidak terjadi pasar yang sehat yang dapat menentukan harga
dengan adil.

Kata Kunci : Jual beli, Talaqqi, Rukban, Hadits, Pandangan ulama

‫ْن ُع َم َر رضي هللا عنهما أن رسول‬ ِ ‫ َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ب‬،‫ َعنْ َناف ٍِع‬، ٍ‫ َعنْ َمالِك‬، ُّ‫َح َّد َث َنا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َمسْ َل َم َة ْال َقعْ َن ِبي‬
‫ض َوالَ َتلَ َّقوُ ا ال ِّسلَ َع َح َّتى ُي ْه َب َط ِب َها‬ٍ ْ‫ض ُك ْم َعلَى َبي ِْع َبع‬ُ ْ‫ (الَ َي ِبعْ َبع‬:‫هللا صلى هللا عليه وعلى آله وسلم قال‬
(‫اق‬ َ ‫األَسْ َو‬
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muslima al-Qa'abi, dari Malik, bercerita dari Nafi, dari
Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘’Janganlah kalian menjual sebagian dari kalian
untuk saling jual beli, dan jangan terima barang sampai turun ke pasar.’’(H.R. Abu Dawud : Sunan Abu
Daud no. 3436).

A. PENDAHULUAN
Muamalah merupakan hal yang tidak asing terutama bagi masyarakat muslim.
Karena muamalah merupakan kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluan
hidup sehari-hari. Maka tidak heran jika muamalah merupakan tranksaksi yang
tidak luput dari keseharian umat manusia. Tujuan dari muamalah itu sendiri
adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga
tercipta masyarakat yang rukun dan tentram, karena didalam muamalah tersirat
sifat tolong menolong yang dalam ajaran islam sangat dianjurkan. Salah satu
kegiatan muamalah antara lain adalah jual beli.
Transaksi jual beli merupakan perkara yang lumrah di era globalisasi ini.
Karena transaksi ini tidak terlepas dari kegitan sehari-hari manusia demi mencukupi
kebutuhan sebagai makhluk sosial. Jual beli dalam Islam adalah transaksi tukar
menukar yang memiliki dampak yaitu bertukarnya kepemilikan (taqabbudh) yang
tidak akan bisa sah bila tidak dilakukan beserta akad yang benar baik yang dilakukan
dengan cara verbal/ucapan maupun perbuatan. Imam Taqiyuddin mendefinisikan
jual beli adalah tukar menukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf)
dengan ijab dan qabul dengan cara yang sesuai dengan Islam.
Terutama bagi umat muslim dalam melaksanakan transaksi ini tidak sebatas
jual beli pada umumnya. Sebagai umat muslim dalam melakukan transaksi jual beli
harus memperhatikan hukum maupun aturan dalam jual beli berdasarkan syariat
islam, apakah sudah sesuai dengan syariat islam atau belum. Oleh karena itu, setiap
orang yang terjun dalam dunia bisnis harus memahami dan mengetahui larangan
atau kebolehan transaksi yang dilakukan. Diantara bentuk jual beli dalalam islam
ada jual beli yang sah dan terlarang akan tetapi ada juga Jual beli yang sah tetapi
terlarang. Sah secara rukun dan syarat jual beli tetapi terlarang dari segi praktik yang
dilarang. Jula beli seperti ini diantaranya jula beli talaqqi rukban.
Jula beli talaqqi rukban dari segi praktiknya sudah menjadi hal yang biasa
dalam transaksi jual beli. Umumnya dikalangan masyarakat awam praktik transaksi
ini bukanlah suatu permasalahan yang amat serius. Transaksi jual beli dengan
menghadang penjual yang datang sebelum sampai ke pasar, kemudian barangnya
dibeli dengan harga yang murah dan mereka dalam penentuan harga beramsumsi
pada kualitas barang dan kepercayaan informasi tengkulak saja. Para penjual
merelakan penjualan barang dengan harga murah, karena pengaruh bujuk rayu
tengkulak dan merasa tidak enak karena sudah menjadi pelanggan. Terlebih praktik
jual beli ini merupakan adat budaya yang sudah berlangsung lama terutama
dikalangan masyarakat Indonesia, hingga sampai saat ini. Sangat disayangkan
fenomena ini menjadi suatu kebiasaan di masyarakat Indonesia terkhusus bagi umat
muslim.
Berdasarkan fenomena di atas menimbulkan suatu pertanyaan terutama di
kalangan masyarakat muslim bagaimana hukum islam memandang transaksi jual
beli talaqqi rukban. Oleh sebab itu penulis akan membahas mengenai hukum jual beli
talaqqi rukban berdasarkan dalil Al-Quran, Hadits Ahkam serta pandangan ulama.
Dengan kajian ini dilakukan.
B. KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Jual beli prespektif Islam
Sebelum membahas jual beli talaqqi rukban secara mendalam, terlebih
dahulu diketahui pengertian jual beli, sehingga pembaca mengetahui dengan
jelas apa itu jual beli dan dapat mengetahui apa yang dimaksud oleh penulis.
Jual beli menurut bahasa adalah saling menukar (pertukaran) dan kata Al-Ba’i
(jual) dan Asy-Syrira (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama.
Menurut pengertian syari’at jual beli adalah pertukaran harta (semua yang
memiliki dan dimanfaatkan) atas dasar saling rela atau memindahkan milik
dengan ganti yang dapat dibenarkan.1 Sedangkan menurut istilah adalah
pertukaran harta atas dasar yang rela, atau memindahkan milik dengan ganti
rugi yang dapat dibenarkan.2
Beberapa ulama ahli fiqh serta para ahli memberikan definisi jual beli antara
lain:
 Menurut Mazhab Syafi’i, jual beli dalam arti bahasa adalah tukar menukar
yang bersifat umum sehingga masih bisa ditukar dengan barang yang lain,
seperti menukar uang dengan pakaian atau berupa barang yang bermanfaat
suatu benda seperti akad ijarah, dengan demikian akad ijarah termasuk
dalam arti jual beli menurut bahasa atau juga berupa sikap dan tindakan
tertentu.
 Menurut Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz dalam kitab Fathul mu’in
dijelaskan: menurut bahasanya, jual beli adalah menukarkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’ ialah menukarkan harta
dengan harta pada wajah tertentu.3
 Menurut Syekh Muhammad ibn Qâ sim al-Ghazzi, pengertian jual beli yang
paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu
atas dasar izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan
syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran
yang berupa uang (alGhazzi, t.th:30).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah
aktifitas dimana seorang penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli
setelah keduanya bersepakat terhadap barang tersebut, kemudian pembeli
menyerahkan sejumlah uang sebagai imbalan atas barang yang diterimanya,
yang mana penyerahannya dilakukan oleh kedua belah pihak dengan didasarkan
atas rela sama rela.
2. Dasar hukum jual beli
Dasar hukum jual beli terdapat dalam Al-Quran, Hadits dan Ijma para ulama.
Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 275:
ۗ ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ الر ِّٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َك َما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَخَ بَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْال َم‬
‫سِّ ٰذلِكَ بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما‬
ۗ َ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنت َٰهى فَلَهٗ َما َسل‬
َ‫ف‬ ۗ ‫وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َ;م ال ِّر ٰب‬
ۘ ‫ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل الر ِّٰب‬
ۤ ٰ ‫هّٰللا‬
َ‫ار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ ن‬
ِ َّ‫َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَاُول ِٕٕىِ;كَ اَصْ ٰحبُ الن‬
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya,
lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Jakarta: Darul Fath, 2004), h. 49
2
Ibid, h. 49-50
3
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, alih bahasa Aliy As’ad (Kudus: Menara Kudus, 1979), 158
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah
menghalalkan jual beli kepada hamba-hamba-Nya dengan baik dan melarang
praktek jual beli yang mengandung riba.
Dalam hadis Rasulullah Saw. juga disebutkan tentang diperbolehkannya jual beli,
diantaranya:
ْ َ‫ب أ‬
‫طيَبُ ? قَا َل‬ ِ ‫ أَيُّ اَ ْل َك ْس‬:‫ي صلى هللا عليه وسلم ُسئِ َل‬ َّ ِ‫ع َْن ِرفَا َعةَ ْب ِن َرافِ ٍع رضي هللا عنه أَ َّن اَلنَّب‬:
( ‫ُور‬ٍ ‫ َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبر‬,‫) َع َم ُل اَل َّر ُج ِل بِيَ ِد ِه‬  ‫ص َّح َحهُ اَ ْل َحا ِك ُم‬
َ ‫ َو‬،ُ‫ َر َواهُ اَ ْلبَ َّزار‬.
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya:
Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang
dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits
shahih menurut Hakim. 4
Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah atau boleh,
namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa menjadi wajib
dan bisa haram seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga
persedian dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam ini maka
pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang sesuai dengan harga
dipasaran dan para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah didalam
menentukan harga dipasaran serta pedangan juga dapat dikenakan saksi karena
tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat. Ulama
telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak
akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual
dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun
yang lainnya.
3. Rukun dan syarat Jual beli dalam islam
Menurut Imam Nawawi dalam syarah al-Muhadzab rukun jual beli meliputi tiga
hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud alaihi
(barang yang diakadkan)danshighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul
(penerimaan).5
Pertama, Akad adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang
terdiri dari penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun orang
lain yang menjadi wali/wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki hak
dan otoritas untuk mentransaksikanya.6
Kedua, Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-sifatnya
dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual beli barang
yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari
keduanya, maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’i telah mengatakan, tidak sah

4
Dani Hidayat, Terjemahan Bulughul Maram Versi 2.0 (Surabaya: Pustaka Al-hidayah, 2008), Hadits No. 800

5
Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar,(CV Bina Iman, 1995),535
6
Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,Pustaka Pelajar, 2008),73
jual beli tersebut karena ada unsur penipuan. Para Imam tiga dan golongan
ulama madzhab kita juga mengatakan hal yang serupa. Sebagaimana hadits nabi
dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi telah melarang memperjual belikan
7
barang yang mengandung tipu daya. (riwayat Muslim dan lainya).
Ketiga, Shighat (ijab dan qabul) Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti “aku
jual barang ini kepadamu dengan harga sekian”. Dan qabul adalah ucapan dari
pembeli, seperti “aku beli barang ini darimu dengan harga sekian”. Dimana,
keduanya terdapat persesuaian maksud meskipun berbeda lafaz seperti
penjual berkata “aku milikkan barang ini”, lalu pembeli berkata “aku beli” dan
sebaliknya. Selain itu tidak terpisah lama antara ijabdan qabulnya, sebab
terpisah lama tersebut membuat boleh keluarnya (batalnya) qabul tersebut.
Empat rukun tersebut, memuat beberapa syarat yang harus di penuhi dalam jual
beli (bisnis), yaitu syarat sahnya ijab qobul dalam kitab fiqh disebutkan minimal
ada tiga; (a) Jangan di selingi dengan kata–kata lain antar ijab qobul, (b) Orang –
orang yang berakad (penjual dan pembeli ) dan (c) Jangan ada yang memisahkan
maksudnya penjual dan pembeli masih ada interaksi tentang ijab qobul.
Syarat sahnya penjual dan pembeli sebagai berikut; (a) baligh berakal agar
tidak mudah ditipu orang. “Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-
orang yang bodoh”.(an-Nisaa’/4 : 5), (b) beragama Islam, syarat ini khusus untuk
pembeli dalam benda benda tertentu. Misalnya, dilarang menjual hamba yang
beragama Islam kepada orang kafir, karena di takutkan pembeli merandahkan
orang yang beragama Islam. Sebagimana firman Allah: “Dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnakan orang-
orang yang beriman”.(an-Nisaa’/4:141), (c) ada benda atau barang yang di
perjualkan belikan (ma’kud alaih) dan (d) tidak mubazir (pemborosan) dan
kehendak sendiri tidak ada paksaan dari pihak lain.
Syarat sahnya barang yang dijual belikan diantaranya; (a) harus suci dan
tidak terkena dengan najis, seperti anjing, babi dan kotoran hewan, kecuali
kondisi dharurah dan ada asas manfaatnya. Misalanya, kotoran hewan untuk
pupuk tanaman, anjing untuk keamanan, (b) tidak boleh mengkait–kaitkan
dengan sesuatu, seperti, apabila ayahku meninggal, aku akan menjual motor ini,
(c) tidak boleh di batasi waktunya, penjual tidak boleh mensyaratkan atau
ketentuan untuk membayar tetapi hak itu merupakan hak dari pembeli karena
itu salah satu sebab kepemilikan, (d) barang dapat diserahkan setelah
kesepakatan akad, (e) barang yang diperjual belikan milik sendiri, akad jual beli
tidak akan sah apabila barang tersebut hasil mencuri atau barang titipan yang
tidak diperintahkan untuk menjualkan, (f) barang yang diperjual belikan dapat
diketahui (dilihat), (g) barang yang diperjual belikan harus diketahui
kualitasnya, beratnya, takarannya dan ukurannya, supaya tidak menimbulkan
keraguan.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan
pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu jual
7
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, cet. XLIX (Bandung: Sinar Baru Alglesindo, 2010), 280.
beli (1) jual beli benda yang kelihatan, ( 2) jual beli yang disebutkan sifat-
sifatnya dalam janji dan (3) jual beli benda yang tidak ada (Taqiyuddin, t.th:
329). Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli
benda atau barang yang diperjual belikan ada di depan penjual dan pembeli, hal
ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan
boleh dilakukan. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah
jual beli salam (pesanan).
Berdasarkan pemenuhan akan syarat dan rukun jual beli, transaksi muamalah
ini dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama jual beli yang batil yaitu transaksi
yang tidak memenuhi ketentuan rukun dan syarat jual beli. Salah satu contoh
jual beli yang batil adalah jual beli gharar, seperti praktek membeli buah yang
masih berada di pohonya. Kedua, jual beli yang sah adalah jual beli yang lengkap
rukun jual belinya, serta para pihak mampu memenuhi syarat jual beli dari
setiap rukunnya. Ternyata, memenuhi ketentuan rukun dan syarat saja belum
cukup untuk menjamin keabsahan transaksi. Karena ada beberapa traksaksi jual
beli yang sah secara rukun dan syarat akan tetapi terlarang dalam praktiknya.
Salah satunya adalah jual beli talaqqi rukban.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dalam bentuk yuridis
normatif. Metode yang digunakan berupa analisis konsep. Penelitian dilakukan
dengan mencari sumber-sumber rujukan yang relevan dengan kajian yang
akan diteliti, seperti dari jurnal, buku, dan bahan rujukan lainnya. Dengan metode
pendekatan terhadap suatu masalah yang didasarkan pada hukum Islam, baik
yang berasal dari al-Qur‟an, al-Hadis, kaidah-kaidah fikih maupun pendapat ulama.
Setelah terkumpul bahan-bahan yang akan dimasukkan ke dalam kajian, maka
selanjutnya penulis menganalisis konsep tersebut untuk selanjutnya mengambil
beberapa simpulan dari rumusan masalah yang telah ditentukan di awal.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sistem Jual Beli Talaqqi Rukban
Berdasarkan pemenuhan akan syarat dan rukun jual beli, transaksi muamalah ini
dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama jual beli yang batil yaitu transaksi yang
tidak memenuhi ketentuan rukun dan syarat jual beli. Salah satu contoh jual beli
yang batil adalah jual beli gharar, seperti praktek membeli buah yang masih berada
di pohonya. Kedua, jual beli yang sah. Transaksi adalah jual beli yang lengkap rukun
jual belinya, serta para pihak mampu memenuhi syarat jual beli dari setiap rukunnya.
Ternyata, memenuhi ketentuan rukun dan syarat saja belum cukup untuk menjamin
keabsahan transaksi. Karena ada beberapa traksaksi jual beli yang sah secara rukun
dan syarat akan tetapi terlarang dalam praktiknya. Salah satunya yaitu jual beli
Talaqqi rukban.

‫ْن ُع َم َر رضي هللا عنهما أن‬ ِ ‫ َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ب‬،‫ َعنْ َناف ٍِع‬، ٍ‫ َعنْ َمالِك‬، ُّ‫َح َّد َث َنا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َمسْ لَ َم َة ْال َقعْ َن ِبي‬
ٍ ْ‫ض ُك ْم َعلَى َبي ِْع َبع‬
‫ض َوالَ َتلَ َّقوُ ا ال ِّسلَ َع َح َّتى‬ ُ ْ‫ (الَ َي ِبعْ َبع‬:‫رسول هللا صلى هللا عليه وعلى آله وسلم قال‬
َ ‫ُي ْه َب َط ِب َها األَسْ َو‬
(‫اق‬
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muslima al-Qa'abi, dari Malik, bercerita
dari Nafi, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘’Janganlah kalian
menjual sebagian dari kalian untuk saling jual beli, dan jangan terima barang sampai
turun ke pasar.’’(H.R. Abu Dawud : Sunan Abu Daud no.3436).
Hadits ini menjelaskan larangan bagi penjual/tengkulak yang ingin membeli barang
dari pedagang desa yang belum sampai si pedagang jual di pasar. Karena pedagang
tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di
pasar. Hal ini dilarang karena dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang.
Praktik jual beli seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah jual beli Talaqqi
rukban. sistem jual beli Talaqqi rukban adalah cara jual beli dengan mencegat
pedagang yang hendak menjualkan barang dagangannya di pasar dan tidak
mengetahui informasi harga yang benar di pasar.8
Talaqqi Rukban disebut juga Taqqi as-Silai', suatu peristilahan dalam fiqh
muamalah yang menggambarkan proses pembelian komoditi/barang dengan cara
mencegat orang desa (kafilah), yang membawa barang dagangannya (hasil pertanian,
seperti: beras, jagung, dan gula) sebelum sampai di pasar agar ia dapat membeli
barang di bawah harga yang berlaku di pasar. Penjelasan dari hadis Abu Dawud
bahwa Ar-rukban adalah pihak yang mengimpor barang sedangkan talaqqihim
adalah pihak yang menemui penjual komoditi dan membelinya dari mereka sebelum
penjual masuk pasar. Praktik transaksi jual beli ini termasuk makan harta dengan
cara yang bathil, Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah,
bahwa: Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di
pasar (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari).9 Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu
harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar harga yang berlaku dan
ditetapkan dipasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang.
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadiṡ yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar :

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ َ ِ ‫َّاس َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما َقا َل َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ٍ ‫ْن َعب‬ ِ ‫س َعنْ أَ ِبي ِه َعنْ اب‬ ٍ ُ‫ْن َطاو‬ ِ ‫َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ب‬
‫َّاس َما َق ْولُ ُه اَل َي ِبي ُع َحاضِ ٌر لِ َبا ٍد َقا َل اَل‬
ٍ ‫ْن َعب‬ ِ ‫ت اِل ب‬ ُ ‫ان َواَل َي ِبعْ َحاضِ ٌر لِ َبا ٍد َقا َل َفقُ ْل‬
َ ‫َو َسلَّ َم اَل َتلَ َّق ْوا الرُّ ْك َب‬
‫َي ُكونُ لَ ُه سِ مْ َسارً ا‬

“Dari Abdullah bin thawus dari ayahnya dari Ibn Abbas ra berkata, Nabi SAW pernah
bersabda :Janganlah kalian menjemput / menyambut kafilah dagang dan janganlah
orang kota membeli barang dagangan orang desa. Lalu aku bertanya pada Ibn Abbas
apa yang dimaksud tidak boleh membeli barang dari orang desa? Ia berkata dalam
jual-beli tidak ada simsar.” 10
Hadits tersebut menerangkan bahwa, seseorang yang membawa barang dagangan
dari daerah lain, dengan alasan adanya perbedaan harga barang dagangan di dua
8
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Edisi II (Surabaya: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2005), hal. 229
9
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab An-Nahyu ‘an Talaqqy ar-Rukban, No
hadits 2162 hlm 38.
10
Bukhāri, al-Imam, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’īl bin Ibrāhīm ibnu al-Mugīrah bin Bardizbah, al-Ja’fy,
Saḥiḥ Bukhari, Juz 3, Beirut, Dar al-Fikri, 1401 H / 1981 M), h. 27
daerah tersebut, atau banyaknya permintaan pasar di daerah yang akan didatangi.
Kemudian penduduk asli daerah tersebut menyambut mereka dengan tujuan untuk
membeli barang dagangan tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga
ketika masuk ke pasar, demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
tidak memberitahukan harga yang sedang berlaku.11
Praktik transaksi ini secara konkrit adalah seorang penjual datang ke pasar dan
pembeli menghadangnya sebelum penjual sampai ke pasar. Kemudian pembeli
tersebut membeli barang dagangannya dengan harga dibawah standar pasar karena
penjual tidak tahu harga standar yang berlaku di pasar. 12 Berdasarkan sumber di
atas maka Talaqqi rukban ialah seorang pedagang menemui orang-orang yang
sedang ingin menjual barangnya, dengan memberitahukan bahwa barang yang ingin
dijual tersebut ditempat itu tidak laku dan harganya pun murah. Tujuan dia
mengatakan seperti itu supaya mengelabuhi si penjual agar bisa membelinya dengan
harga yang lebih murah. Hukum jual beli ini adalah haram (bagi pembeli), tetapi
hukumnya tetap sah. Contoh simpel Talaqqi rukban adalah Seorang pembeli
memberitahukan kepada orang yang ingin menjual barangnya bahwa barang yang
akan dijual tersebut tidak laku di tempat itu, dengan tujuan agar ia bisa
memanipulasi harganya (membelinya dengan harga yang lebih murah dari biasanya).
Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal : pertama, rekayasa penawaran
yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry barrier), kedua, mencegah penjual
dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang berlaku.13
Mengenai sistem jual beli talaqqi rukban yang terjadi dalam masyarakat
Indonesia, hal ini nampak jelas bahwa sistem jual beli Talaqqi rukban sudah menjadi
hal biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan tidak memiliki suatu kejanggalan,
akan tetapi memiliki dampak negatif terutama dari segi keuntungan yang didapatkan
oleh pedagang desa. Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya
tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga
yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah
tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang
satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di
pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan
yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang
dari desa. Hal inilah yang dilarang.14

2. Dasar Hukum Dan Pandangan Para Ulama’ Fiqih


Mengenai dasar hukum transaksi ini, dikemukakan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ṭ awus dari Ibnu umar. Dalam hadiṡ ini dijelaskan mengenai
11
Syihabu al-Din Aḥmad bin ‘Ali bin Ḥajr al-‘Asqalany, Ibanatu al-Ahkam Syarhu Bulugu al-Maram Qismu al-Mu’amalah, (Juz
III) , h. 40
12
Abdullah bin Muḥammad aṭ-Ṭayyar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan Empat Madzhab, h 52
13
Latifatun Nahdliyah. 2010. Analisis Hukum Islam Terhadap Transaksi Nyegget Degheng Yang
Berpengaruh Pada Equilibrium Price (Keseimbangan Harga) di Pasar Ikan Kec. Ketapang Kab. Sampang.
IAIN Sunan Ampel
14
Sulaeman Jajuli.Ekonomi Dalam Al-Quran. Penerbit Deepublish. Sleman. 2018. Hlm. 256
larangan Talaqqi rukban dalam jual beli, serta larangan bagi orang kota yang
membeli barang dagangan orang desa, juga berisi tentang larangan menipu dalam
jual beli dan hendaknya mendahulukan kepentingan orang banyak daripada
kepentingan pribadi. Mengenai larangan dalam Talaqqi Rukban dari segi akadnya,
para ulama’ ahli fiqih sepakat mengenai buruknya transaksi ini, akan tetapi mereka
menganggap fasadnya jual beli dalam bentuk ini karena adanya ketimpangan
informasi antara kedua belah pihak, namun Syafi’iyah dan Ḥ anabilah menetapkan
bolehnya khiyar bagi penjual jika telah masuk pasar. Sedangkan dari segi tempat
terjadinya transaksi, ulama’ berbeda pendapat. Syafi’iyah dan Jama’ah berpendapat
bahwa tidak ada talaqqi rukban kecuali di luar daerah tersebut. Sedangkan menurut
Imam Maliki dan Aḥ mad bin Ḥ anbal, hukumnya makruh selama transaksinya terjadi
di luar pasar. Mereka berpendapat bahwasannya pelarangan ini, akan membawa
muḍ arat bagi penjual.15
Hikmah yang dapat kita ambil dari pelarangan ini adalah pembelian hasil panen,
yang merupakan komoditi yang pokok dan dibutuhkan semua orang, baik kaya
maupun miskin harus dijual secara terbuka di Pasar. Hal ini untuk mencegah
pembelian tunggal komoditi pokok tersebut kepada satu pihak, dengan demikian
pemerintah lebih mudah untuk mengontrol harga di pasar.
Mayoritas jumhur ulama memasukkan kajian jual beli sistem Talaqqi rukban ini
dalam pembahasan jual beli yang dilarang atau disyaratkan karena dalam praktek
jual beli seperti ini termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si
pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan
hadits yang diriwayatkan Nabi Muhammad Saw sebagai berikut:

‫ال َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم; ( اَل تَلَقَّوْ ا‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬-‫ض َي هَّللَا ُ َع ْنهُ َما‬ِ ‫ َر‬- ‫س‬ ٍ ‫; ع َِن اِ ْب ِن َعبَّا‬,‫س‬ ٍ ‫َوع َْن طَا ُو‬
ُ‫ اَل يَ ُكونُ لَه‬:‫ال‬ ِ ‫ َواَل يَبِي ُع َح‬:ُ‫ َما قَوْ لُه‬:‫س‬
َ َ‫اض ٌ;ر لِبَا ٍد? ق‬ ٍ ‫ت اِل ْب ِن َعبَّا‬ ُ ‫اض ٌ;ر لِبَا ٍد قُ ْل‬
ِ ‫ َواَل يَبِي ُع َح‬, َ‫اَلرُّ ْكبَان‬
ِ ‫ق َعلَ ْي ِه َواللَّ ْفظُ لِ ْلبُخ‬
ِّ‫َاري‬ ٌ َ‫ِس ْم َسارًا ) ُمتَّف‬
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau menghadang kafilah di tengah
perjalanan (untuk membeli barang dagangannya), dan janganlah orang kota menjual
kepada orang desa." Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau
"Janganlah orang kita menjual kepada orang desa?". Ibnu Abbas menjawab: Janganlah
menjadi makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat
Bukhari.16
Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki
informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian
bagi para pedagang. Begitupula dengan hadis Nabi Muhammad Saw yang
diriwayatkan oleh Muslim :

َ َ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ( اَل تَلَقَّوا اَ ْل َجل‬:‫ال‬
‫ فَ َم ْن تُلُقِّ َي‬،‫ب‬ َ َ‫َوع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ رضي; هللا عنه ق‬
ِ َ‫ق فَهُ َ;و بِ ْال ِخي‬
‫ار ) َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬ َ ‫ فَإِ َذا أَتَى َسيِّ ُدهُ اَلسُّو‬,ُ‫ي ِم ْنه‬
;َ ‫فَا ْشتُ ِر‬

15
al-‘Asqalāny, Ibānatu al-Aḥkām Syarḥu Bulūgu al-Marām, (Juz III) Qismu al-Mu’āmalāh,h. 41
16
Dani Hidayat, Terjemahan Bulughul Maram Versi 2.0 (Surabaya: Pustaka Al-hidayah, 2008), Hadits No. 828
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota.
Barangsiapa di hadang, kemudian sebagian barangnya dibeli, maka jika pemilik
barang telah datang ke pasar, ia boleh memilih (antara membatalkan atau tidak)."
Riwayat Muslim.
Berdasarkan sumber diatas maka sudah tentu jelas hukum dari jual beli Talaqqi
rukban sangat terlarang dan bahkan selaku muslim harus bisa menjauhi dari praktik
jual beli seperti ini. Meskipun jual beli ini sah dari segi rukun dan syaratnya akan
tetapi terlarang dari segi praktiknya karena praktek jual beli seperti ini termasuk
makan harta dengan cara yang bathil dan juga mengandung kemadaratan bagi
pedagang lain. Terutama bagi pedagang desa yang tidak mengetahui harga barang di
pasar yang menyebabkan ia mengalami kerugian dari segi keuntungan yang di
dapatkan.
E. KESIMPULAN
Jual beli Talaqqi rukban dari segi praktiknya sudah menjadi hal yang biasa dalam
transaksi jual beli. Umumnya dikalangan masyarakat awam praktik transaksi ini
bukanlah suatu permasalahan yang amat serius. Transaksi jual beli dengan
menghadang penjual yang datang sebelum sampai ke pasar, kemudian barangnya
dibeli dengan harga yang murah dan mereka dalam penentuan harga beramsumsi
pada kualitas barang dan kepercayaan informasi tengkulak saja. Para penjual
merelakan penjualan barang dengan harga murah, karena pengaruh bujuk rayu
tengkulak dan merasa tidak enak karena sudah menjadi pelanggan. Terlebih praktik
jual beli ini merupakan adat budaya yang sudah berlangsung lama tetutama
dikalangan masyarakat indonesia, hingga sampai saat ini. Para ulama’ ahli fiqih
Mereka berpendapat bahwasa jual beli ini terlarang meskipun sah dari segi rukun
dan syaratnya dan sepakat mengenai buruknya transaksi ini, akan tetapi mereka
menganggap fasadnya jual beli dalam bentuk ini karena adanya ketimpangan
informasi antara kedua belah pihak yang akan membawa muḍ arat bagi penjual.
Tidak banyak kajian yang dilakukan dalam masalah talaqqi rukban ini terutama
oleh ulama’ terkini, masalah jual beli sistem Talaqqi rukban sebenarnya tidak asing
lagi, namun mereka lebih tertarik memfokuskan perhatiannya pada masalah-
masalah yang lebih aktual, sedangkan Talaqqi rukban merupakan permasalahan
yang sangat klasik yang hanya dibahas di kalangan ulama’ terdahulu.
Dengan demikian mengkaji dan menganalisis sistem jual beli Talaqqi rukban ini
cukup penting bagi para pemerhati studi ekonomi Islam, agar pemikir-pemikir islam
mengetahui dan memahami terhadap pemikiran dan pendapat Imam Syafi’I serta
dasar hukum Mazhab Syafi’I mengenai sistem jual beli Talaqqi rukban. Dari sini,
harapan ke depan dapat diperoleh pandangan baru bagi hukum islam dalam
menjawab tantangan zaman khususnya sistem jual beli Talaqqi rukban lebih
dipahami di dalam kalangan masyarakat terutama mengenai hukum jual beli seperti
ini.

F. DAFTAR PUSTAKA
Alhusaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad. 1993. ”Kifayatu Al-Akhyar
2”, diterjemahkan Syarifuddin Anwar dan Mishbah Musthafa.
Kifayatul Akhyar Bagian Kedua. Surabaya: Bina Iman
Bin ‘Ied al-Hilali, Syaikh Salim. 2005. Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Edisi II. Surabaya: Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Bin Abdul Aziz, Zainuddin 1979. Fathul Mu’in, alih bahasa Aliy As’ad. Kudus:
Menara
Djuwaini, Dimyaudin. 2008. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hidayat, Dani. 2008. Terjemahan Bulughul Maram Versi 2.0. Surabaya: Pustaka Al-
hidayah
Jajuli, Sulaeman. 2018. Ekonomi Dalam Al-Quran. Sleman: Penerbit Deepublish
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab An-Nahyu ‘an
Talaqqy ar-Rukban, No hadits 2162 hlm 38.
Nahdliyah, Latifatun. 2010. Analisis Hukum Islam Terhadap Transaksi Nyegget
Degheng Yang Berpengaruh Pada Equilibrium Price (Keseimbangan
Harga) di Pasar Ikan Kec. Ketapang Kab. Sampang. IAIN Sunan Ampel
Sabiq, Sayyid. 2004. Fikih Sunnah. Jakarta: Darul Fath.
Syihabu al-Din Aḥ mad bin ‘Ali bin Ḥ ajr al-‘Asqalany, Ibanatu al-Ahkam Syarhu Bulugu
al-Maram Qismu al-Mu’amalah, (Juz III).
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam, cet. XLIX. Bandung: Sinar Baru Alglesindo

Anda mungkin juga menyukai