Anda di halaman 1dari 10

Penyakit Herpes Genitalis

Ovi Hawila Tiran


102016113
Kelompok C4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat 11510
 
Abstrak
Virus herpes merupakan sekelompok virus yang termasuk dalam famili herpesviridae yang
mempunyai morfologi yang identik dan mempunyai kemampuan untuk berada dalam
keadaan laten dalam sel hospes setelah infeksi primer. HSV terdapat dua tipe, tipe satu terjadi
pada anak anak dan tipe dua menyerang manusia yang sudah aktif secara seksual.  Virus yang
berada dalam keadaan laten dapat bertahan untuk periode yang lama bahkan seumur hidup
penderita. Virus tersebut tetap mempunyai kemampuan untuk mengadakan reaktivasi kembali
sehingga dapat terjadi infeksi yang rekuren.
Kata kunci: virus herpes, HSV 1, HSV 2.
 
Abstract
The herpes virus is a group of viruses belonging to the family of herpesviridae which have
identical morphology and have the ability to be latent in the host cell after primary infection.
HSV has two types, type one occurs in children and type two attacks humans who are
sexually active. Viruses that are in a latent state can last for a long period of time even for a
patient's lifetime. The virus still has the ability
Keywords: herpes virus, HSV 1, HSV 2.
 
 
 
 
 

 
 
Pendahuluan 
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I biasanya
dimulai pada anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau
III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Insidens infeksi primer HSV-1
yang menyebabkan herpes labialis paling banyak terjadi pada masa kanak-kanak, dimana 30-
60% anak-anak biasanya terekspos oleh virus ini. Jumlah kejadian infeksi HSV-1 meningkat
seiring dengan bertambahnya usia dan mayoritas ditemukan pada orang dewasa berusia 30
tahun atau lebih dengan HSV-2 seropositif. Infeksi HSV-2 berhubungan dengan perilaku
seksual. Antibodi terhadap HSV-2 sangat jarang ditemukan sebelum terjadi aktivitas seksual
dan meningkat secara terus menerus setelahnya. 
 
Anamnesis
Anamnesis merupakan komunikasi yang dilakukan oleh dokter sebagai pemeriksa
dengan pasien yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan informasi tentang penyakit yang
diderita dan informasi lainnya yang berkaitan sehingga dokter dapat mengarahkan diagnosis
pasien.
Pada kasus ini seorang pasien laki-laki terdapat luka lecet dibagian batang
kemaluannya terasa perih namun tidak gatal.
 
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil pasien laki-laki dengan keadaan umum sakit
sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital dalam keadaan batas normal. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan luka pada regio penis, terdapat vesicle yang mudah pecah,
ukuran <0,5 cm, terdapat cairan serosa, batas tegas, warna sekitar vesicle hiperemis, terdapat
erosi miliar sampai lentikular.
 

Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak begitu berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I
biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktifitas seksual. Antibodi
terhadap HSV-1 meningkat dengan usia dimulai pada masa kanak-kanak dan berkorelasi
dengan status sosial ekonomi, ras, dan kelompok budaya. Pada
usia 30 tahun, 50% dariindividu dalam status sosial ekonomi tinggi dan 80% dalamstatus
sosial ekonomi lebih rendah ditemukan seropositif. Antibodi terhadap HSV-2 mulai
muncul pada masa pubertas, berhubungan dengan tingkat aktivitas
seksual. Surveikesehatan terbaru nasional yang dilakukan di Amerika
Serikatmengungkapkan prevalensi axntibodi HSV-2 dalam 45% dariras kulit
hitam, 22% dari ras Meksiko-Amerika, dan 17% dariras kulit putih.1

Etiologi

Penyebab herpes disebabkan oleh virus Human Herpes Virus (HHV). Virus herpes


merupakan virus yang merupakan anggota dari famili Herpesviridae. Terdapat 2 tipe dari
HSV yaitu :

1. Herpes simplex virus tipe I: umumnya menyebabkan lesi atau luka pada sekitar wajah,
bibir, mukosa mulut, dan leher. Tidak di tularkan secara seksual.

2. Herpes simplex virus tipe II: umumnya menyebabkan lesi pada genital, yang ditularkan
secara seksual.
Sebagian besar kasus herpes genitalis disebabkan oleh HSV-2, namun tidak menutup
kemungkinan HSV-1 menyebabkan kelainan yang sama. Pada umumnya disebabkan oleh
HSV-2 yang penularannya secara utama melalui vaginal atau anal seks. Beberapa tahun ini,
HSV-1 telah lebih sering juga menyebabkan herpes genital. HSV-1 genital menyebar lewat
oral seks yang memiliki cold sore pada mulut atau bibir, tetapi beberapa kasus dihasilkan dari
vaginal atau anal seks.2
 
Diagnosis Kerja
Secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok.
Gejala dan tanda dihubungkan dengan HSV-2. Diagnosis dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjangyaitu pemeriksaan tzank smear
dengan ditemukannya sel datia berinti banyak. 3
 
Gejala Klinis
Pada infeksi herpes simplex virus terdapat 3 tingkat yaitu :
1. Infeksi Primer
Predileksi pada HSV tipe 1 terdapat di daerah pinggang ke atas terumata pada
daerah mulut dan hidung, biasanya pada usia anak anak. HSV tipe 2 mempunyai
tempat predileksi di daerah pinggang kebawah, terutama pada daerah genital. Daerah
predileksi ini sering kacau dikarena kan ada cara berhubungan seksual seperti oro-
genital sehingga herpes yang terdapat di daerah genital bisa disebabkan karena HSV
tipe 1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan HSV tipe 2.
Infeksi primer berlangsung lebih lama sekitar 3 minggu dan sering disertai oleh gejala
sistemik seperti demam, malaise, anoreksia dan dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening regional. Kelainan klinis yang dijempai berupa vesikel yang
berkelompok diatas kulit yang sebab dan eritematosa, berisi cairan yang jernih dan
kemudia menjadi seropurulen dapat menjadi krusta dan kadang mengalami ulserasi
yang dangkal biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi.
Kadang-kdang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak
jelas, umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks.
Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia
eksterna disertai infeksi pada serviks.4
2. Fase Laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, akan tetapi HSV
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.4
3. Infeksi Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis dalam keadaan tidak aktif dengan
mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis.
Meksime pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurant tidur, hubungan
seksual). Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal
sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat
timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain atau disekitarnya (non loco). 4
 
Patogenesis
HSV-1 dan HSV-2 adalah termasuk dalam famili herpesviridae; sebuah grup virus
DNA rantai ganda lipid-enveloped yang berperan secara luas pada infeksi manusia. Kedua
serotipe HSV dan virus varisela zoster mempunyai hubungan dekat sebagai subfamili virus
alpha herpesviridae. Alfa herpes virus menginfeksi tipe sel multipel, bertumbuh cepat dan
secara efisien menghancurkan sel host dan infeksi pada sel host. Infeksi pada natural host
ditandai oleh lesi epidermis, seringkali melibatkan permukaan mukosa dengan penyebaran
virus pada sistem saraf dan menetap sebagai infeksi laten pada neuron, dimana dapat
aktif kembali secara periodik. Transmisi infeksi HSV seringkali berlangsung lewat kontak
erat dengan pasien yang dapat menularkan virus lewat permukaan mukosa.5

Gambar 1. Patogenesis HSV


Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring. Virus menyebar melalui droplet
pernapasan, atau melalui kontak langsung dengan saliva yang terinfeksi. HSV-2 biasanya
ditularkan secara seksual. Setelah virus masuk ke dalam tubuh hospes, terjadi penggabungan
dengan DNA hospes dan mengadakan multiplikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit.
Waktu itu pada hospes itu sendiri belum ada antibodi spesifik. Keadaan ini dapat
mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat.
Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional dan
berdiam di sana serta bersifat laten. Infeksi orofaring HSV-1 menimbulkan infeksi laten di
ganglia trigeminal, sedangkan infeksi genital HSV-2 menimbulkan infeksi laten di ganglion
sakral. Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus virus akan mengalami reaktivasi dan
multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekuren. Pada saat ini dalam tubuh hospes
sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak
seberat pada waktu infeksi primer. Faktor pencetus tersebut antara lain adalah trauma atau
koitus, demam, stress fisik atau emosi, sinar UV, gangguan pencernaan, alergi makanan dan
obat-obatan dan beberapa kasus tidak diketahui dengan jelas penyebabnya. Penularan hampir
selalu melalui hubungan seksul baik genito-genital, anogenital maupun orogenital. Infeksi
oleh HSV dapat bersifat laten tanpa gejala klinis dan kelompok ini bertanggung jawab
terhadap penyebaran penyakit. Infeksi dengan HSV dimulai dari kontak virus dengan
mukosa. Replikasi virus dalam sel epidermis dan dermis menyebabkan destruksi seluler dan
peradangan.
 
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi HSV dapat dilakukan secara seologik
dan virologik. Pemeriksaan secara serologik dilakukan pemeriksaan ELISA untuk
menentukan titer antibodi igM, igG untuk HSV 1 dan HSV 2 yang bertujuan untuk
menentukan apakah sudah terjadinya infeksi secara primer atau terjadi reaktivasi.
Pemeriksaan yang lebih akurat adalah pemeriksaan Western Bolt untuk mendeteksi infeksi
HSV yang merupakan gold standar dalam pemeriksaan antibodi karena dapat membedakan
antara HSV 1 dan HSV 2. Tetapi tes ini hanya sebagai referensi dan konfirmasi jika
pemeriksaan ELISA meragukan.
Pemeriksaan virologi, dengan berbagai macam cara seperti menggunakan. Mikroskop
cahaya, imunofloresensi, PCR, dan kultur virus. Pemeriksaan yang paling baik dengan
sensitivitas dan spesifisitas tinggi adalah kultur virus dari cairan lesi pada lesi kulit. Jika hasil
positif menunjukan hampir 100% akurat, terutama bila cairan berasal dari vesikel primer.
Tetapi pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu lama dan biayanya sangat mahal. Tzanck
test. Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti
banyak dan badan inklusi intranuklear. Pemeriksaan ini berguna untuk diagnosis cepat
(biasanya dalam 1 jam). Tes ini tidak dapat membedakan HSV-1 dan HSV-2. 

Pemeriksaan tzank smear, Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat


ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear namun tes ini tidak dapat
membedakan HSV-1 dan HSV-2. 6

Diagnosis Banding
1. Sifilis Primer
Merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat kronik
dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh,
dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari
ibu ke janin. Pada anamnesis diketahui masa inkubasi, tidak terdapat gejala konstitusi,
demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. Terdapat erosi, soliter,
bulat/lonjong. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional
dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi. 7
2. Ulkus bacterial 

Merupakan penyakit menular seksual yang ditandai dengan ulkus genitalis


nekrotik yang sangat nyeri. . Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus ducreyi,
bakteri gram-negatif berbentuk basil anaerob yang sangat infektif. Bakteri ini masuk ke
dalam kulit melalui mukosa yang tidak intak dan menyebabkan reaksi inflamasi. H.
Ducreyi ditularkan secara seksual melalui kontak langsung dengan lesi purulen dan
dengan autoinokulasi pada daerah nonseksual misalnya mata dan kulit. Penyakit ini
biasanya dimulai dengan papul inflamasi berukuran kecil pada tempat inokulasi,
beberapa hari kemudian, papul akan berubah menjadi ulkus yang sangat nyeri pada
penyakit ini tidaka da stadium vesikle. Tanpa pengobatan, lesi dapat bertahan beberapa
minggu sampai beberapa bulan, dan dapat berkomplikasi menjadi limfadenopati
supuratif.8

Tata Laksana
Tujuan terapi pada penyakit herpes genitalis ialah untuk mempersingkat gejala klinis,
mencegah terjadinya komplikasi, mencegah timbulnya dan menghilangkan stadium laten atau
kekambuhan dan menurun kan transmisi. Terapi paliatif dan suportif memegang peran yang
sangat penting. Rasa nyeri dan tidak nyaman biasanya akan berkurang dengan menggunakan
air garam hangat ditambahkan dengan analgesik, antipiretik atau anti pruritik. Obat pilihan
untuk herpes genitalis adalah asiklovir, valasiklofir dan famsiklovir oral untuk pasien yang
baru terkena infeksi pertama kalinya. Pemberian terapi secara terus menerus akan
mengurangi frekuensi dan kekambuhan mencapai 70-90% pada penderita.9
1. Idoksuridin.

Pada lesi yang dini dapat menggunakan obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara
aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Analog timidin, dimasukkan ke
dalam DNA
virusmenggantikan timidin mengakibatkan cacat sintesisDNA & akhirnya pengham
batan replikasi virus dan juga menghambat timidilat fosforilase.

2. Asiklovir

Asiklovir merupakan analog sintetik dari guanin yang digunakan dalam pengobatan
dan pencegahan dari penyakit infeksi akibat virus herpes simpleks atau varicella
zoster. Asiklovir bekerja secara spesifik terhadap virus herpes dengan cara
mekanisme kerja mengganggu sintesis DNA dan menghambat replikasi virus.9
• Infeksi primer
a. Asiklovir 400 mg per oral 3x1 selama 7-10 hari/asiklovir 200 mg per oral 5x1 selama 7-10
hari.9
• Infeksi rekuren
(Terapi Episodik)
a. Asiklovir 400 mg per oral 3x1 selama 5 hari atau
b. Asiklovir 800 mg per oral 2x1 selama 5 hari atau
c. Asiklovir 800 mg per oral 3x1 selama 2 hari.
 
(Terapi Supresi)
a. Asiklovir 400 mg per oral 2x1.9
3. Famsiklovir
dapat menghambat sintesis / replikasi DNA virus. Digunakan untuk melawan virus
herpes simpleks.
• Infeksi primer
a. Famsiklovir 250 mg per oral 3x1 selama 7-10 hari.
• Infeksi Rekuren
(Terapi episodik)
a. Famsiklovir 125 mg per oral 2x1 selama 5 hari.
(Terapi suspresi)
a. Famsiklovir 250 mg per oral 2x1.9
4. Valasiklovir
• Infeksi primer
a. Valasiklovir 1 gr per oral 2x1
• Infeksi rekuren
a. Valasiklovir 500 mg per oral 2x1 selama 3-5 hari atau
b. Valasiklovir 1 gr per oral 1x1 selama 5 hari.
• Infeksi supresi
a. Valasiklovir 500 mg atau 1000 mg per oral 1x1.9
 
Edukasi
Pasien dengan herpes genitalis harus di edukasi untuk menghindari hubungan seksual
selama gejala masih muncul dan setelahnya menggunakan kondom antara perjangkitan
gejala. Terapi supresi dengan antiviral dapat menjadi pilihan untuk individu yang peduli
transmisi pada pasangannya.
Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan penyakit herpesgenitalis yaitu:10
a. Infeksi menular seksual lainnya. Memiliki luka genitalismeningkatkan
risiko penularan atau tertular infeksimenular seksual lainnya, termasuk virus AIDS.

b. Infeksi TORCH dan infeksi bayi baru lahir. Bayi yang lahir dari ibu yang


terinfeksi dapat terkena virus selama proses kehamilan dan kelahiran. Selama hamil, dapat
menyebabkan kelainan seperti infeksi TORCH lain, sepertio mikrosefali, mikroftalmia,
kalsifikasi intrakranial, dan korioretinitis. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan otak, kebutaan atau kematianbagi bayi yang baru lahir. Masalah kandung
kemih. Dalam beberapa kasus, luka yang berhubungan denganherpes genitalis dapat
menyebabkan peradangan di sekitar uretra, pipa yang mengalirkan urin dari kandung
kemih ke dunia luar. Pembengkakan dapat menutupuretra selama beberapa
hari, membutuhkanpemasangan kateter untuk menguras kandung kemih .

c. Meningitis. Dalam kasus yang jarang, infeksi HSVmenyebabkan radang selaput dan cairan


serebrospinaldi sekitar otak dan sumsum tulang belakang.

d. Inflamasi rektal (proktitis). Herpes genitalis dapatmenyebabkan peradangan pada


lapisan rektum, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan laki-laki.

Prognosis
Kematian yang disebabkan oleh infeksi HSV jarang terjadi. Infeksi primer yang segera
diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat dibatasi
frekuensi kambuhnya. Terapi antivirus secara efektif  dapatmenurunkan manifestasi klinis
pada herpes genitalis.
 
Kesimpulan
Dalam scenario ini seorang laki laki terkena penyakit herpes genitalis dengan gambaran
vesicle berkelompok dengan dasar eritema. Diagnosis ini dapat ditegakan dengan anamnesis,
pemeriksaan penunjang. Minum obat secara efektif akan membantu penyembuhan penyakit
tersebut.
 
 
 
 Daftar Pustaka
1. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Herpes Genitalis. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2008. Hal 273-4.

2. Melancon JM. Herpes Simplex. In: Arndt KA, Hsu JTS, Alam M, Bhatia A, Chilukuri S.
Manual of Dermatologic Therapeutics. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2014. P.150-9. 

3. Oentari Widyaningsih, Menaldi LS. Kapita selekta kedokteran jilid 1.


Edisi 4:Media Aesculapius: 2014. h. 308
4. Indriatmi Westi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7:Fakultas Kedokteran universitas
indonesia 2018. h. 478-9

5. Corey L, Wald A. Herpes simplex viruses. Dalam: Kasper DL, Fauci A. Harrison’s
Infectiois disease. 18th ed. New York:McGraw-Hill;2008

6. Hadisaputro Soeharjo. Ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi 6: interna publishing 2014.h. 742

7. Djuanda Adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi7:Fakultas kedokteran universitas
indonesia 2018.h 455-7.

8. Indriatmi Westi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7:Fakultas Kedokteran universitas
indonesia 2018. h. 475-7.

9. Departemen Farmakologi Universitas Kristen Krida Wacana. Buku Ajar Farmakologi.


Edisi 1: Fakultas kedokteran kristen krida wacana 2016. h. 130

10. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008. Hal. 381-3.

Anda mungkin juga menyukai