Anda di halaman 1dari 14

ULUMUL HADITS

TAKHRIJ AL-HADITS

Indri Mardiyatus Soleha


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya
e-mail: imardiatus9@gmail.com
Yulia Rahma, B.A., M.Pd.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya
e-mail: yulia.rahmah@iain-palangkaraya.ac.id

ABSTRAK

This article aims to describe the hadits takhrij, which contains the
meaning, advantages, methods, and practices of takhrij al-hadits. From
the relevant references it is known that the hadits takhrij are and an
attempt to find the matan and sanad of hadits, in full from the original
reference. The advantages of takhrij are: (a) collecting various hadits
sanad (b) collect various observations from the hadits. It is essential
material for Research. To carry out the hadits takhrij several methods
can be used. (1) Takhrij through the first recitation of hadits eyes, (2)
Takhrij through words in the eyes of hafits, (3) Takhrij through the first
narrator, (4) Takhrij according to the hadits theme, (5) Takhrij with
traits. To carry out the practice of takhrij al-hadits can be done in
various steps. (1) tracing the hadits, (2) compiling the results of the
hadits tracing, (3) making a schema of sanad, (4) analyzing the hadits,
(5) the results of takhrij.

Keyword: Takhrij Hadits, sunnah, Al-qur’an

A. Pendahuluan
Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, namun tidak seluruh hadits
dari Nabi SAW. diterima oleh para sahabat secara kolektif kemudian disampaikan
kepada orang banyak secara mutawatir, seperti Al-quran. Mayoritas hadits justru
diriwayatkan secara individu (ahad) atau beberapa orang saja sehingga tidak mencapai
nilai mutawatir. hadits yang diterima secara mutawatir dapat diterima secara aklamasi
sebagai hujjah tanpa penilaian sifat-sifat individu para perawinya, seperti sifat adil,
cerdas, memiliki ingatan yang kuat, atau mudah hafal karena kualitas kolektivitas tersebut
sudah memiliki kualifikasi objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berbeda dengan hadits ahad, para periwayat dalam sanad harus memiliki
kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti sanad yang harus bersambung
(ittishal) serta periwayat harus bersifat adil (adelah) dan memiliki hafalan kuat (dhabith).
Oleh karena itu, para periwayat hadits ahad perlu diteliti sifat-sifatnya agar dapat
memnuhi kriteria hadits shahih.

Sementara itu, sehubungan dengan masa munculnya hadits yang bersamaan


dengan turunya Al-quran, dalam periwayatannya Al-quran tidak ada masalah. Ummat
Islam menerimanya dan tidak memerlukan kajian silsilah sanad karena selurunya ditulis
sejak masa Rasululloh hidup serta Alquran diterima oleh para sahabat secara mutawatir.
Dengan demikian, Al-quran memiliki kepastian hokum (qath’i al-wurud). Hal tersebut
berbeda dengan sunnah atau hadits yang tidak tertulis sejak masa Rasululloh SAW.
Mayoritas hadits hanya dihafal oleh para sahabat karena pernah terjadi pemalsuan dan
penyalahgunaan kepentingan. Kondisi itu mengundang ulama untuk meneliti autentisitas
hadits secara objektif.

Lawlalsunnah ma fahima ahadun minal qur’an ( seandainya tidak ada sunnah,


maka tak seorangpun akan bisa memahami al-quran), statement singkat ini merupakan
ungkapan dari imam abu hanifah mengenai begitu pentingnya peran sunnah (Hadits)
untuk memahami al-qur’an secara kontekstual bahkan untuk menjalankan agama islam
secara utuh. Mengingat bahwasahnya hadits merupakan instrument yang penting bagi
landasan agama setiap muslim, maka sejak dahulu para ulama’ telah mencurahkan waktu
dan pikiran untuk mengumpulkan dan mempelajari kajian mengenai hadits-hadits nabi.

Berkat usaha dan kegigihan para ulama’lah, pada akhirnya hadits-hadits nabi
berhasil di kumpulkan serta dibukukan menjadi sebuah khazanah yang sangat bermanfaat
dan berharga bagi ummat islam di seantero jagat ini. Diantara tokoh-tokoh yang begitu
berjasa dalam usaha mulia tersebut adalah imam bukhori, imam muslim, At-turmudzi,
Ad-darimi dan lain sebagainya.

Penulisan dan pembukuan hadits-hadits nabi telah mencapai taraf yang


membanggakan hingga saat ini, sehingga khazanah keilmuan tersebut dapat dengan
mudah kita akses atas jasa-jasa para ulama’ dan pakar hadits. Namun, realitanya hari ini
banyak sekali kita temui pengutipan naskah hadits tanpa menyebutkan identitas perawi
pertama dan kolektornya, entah itu dalam pengutipan yang berupa teks maupun secara
verbal (ceramah agama misalnya). Terkadang kita temui kutipan hadits yang hanya
berupa potongannya saja tanpa menyebutkan perawi pertama dan kolektornya, ataupun
terkadang hanya menyebutkan perawi pertama dan kolektornya saja. Hal ini tentu sangat
tidak baik imbasnya bagi masyarakat umum apabila yang dikutip adalah hadits yang
berkaitan dengan ibadah dan aqidah. Oleh sebab itu perlu ditelusuri secara lengkap
sumber-sumber dari hadits yang dikutip pada kitab-kitab asalnya agar dapat diketahui
lafadz hadits yang terdapat pada matannya serta sanad dari hadits tersebut secara lengkap
dan terperinci.

Penelusuran hadits pada sumber-sumber yang terdapat dalam kitab asalnya tidak
bisa dilakukan secara sembarangan tanpa adanya sistematika yang terperinci, maka dari
itu diperlukan sebuah metode khusus yang telah dirumuskan oleh para pakar hadits yang
disebut dengan takhrij hadits.

B. Metode
Metode yang digunakan dalam kajian ini yaitu studi kepustakaan (library
research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan kajian. Pengumpulan data
dilakukan dengan menelaah beberapa buku dan hasil penelitian yang berbentuk cetak
maupun elektronik serta sumber-sumber data lainnya yang dianggap relevan dengan
penelitian atau kajian, untuk mengeksplorasi tentang takhrij al-hadits.

C. Hasil dan Pembahasan


Pengertian Takhrij Al-hadits
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari kata: ‫ خرج – یخرج – خرجا‬yang berarti
menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan.
Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak jelas atau masih tersembunyi, tidak
kelihatan dan masih samar. Pengeluaran dan penampakan disini tidak harus berbentuk
fisik yang konkrit, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga dan fikiran
seperti makna kata isktikhraj yang diartikan istinbath yang berarti mengeluarkan hukum
dari nanh/teks Al-qur’an dan hadits. (Abd. Majid Khon, 2012:127)
Menurut terminologi ada beberapa definisi takhrij yang dikemukakan oleh para
ulama karena takhrij ini terus berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi, diantaranya
sebagai berikut:
1. Menyebutkan beberapa hadits dengan sanadnya.
2. Menyebutkan sunat-sunat lain beberapa hadist yang terdapat dalam sebuah kitab.
3. Menunjukkan asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadits)
dengan menerangkan hukumnya.(Abd. Majid Khon, 2012:3)
Sedangkan al-takhrij menurut bahasa ialah “berkumpul dua perkara yang
berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata al-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa
macam pengertian dan pengertian yang popular untuk kata al-takhrij itu ialah: (1) al-
istimbat (hal mengeluarkan); (2) al-tadrib (hal melatih atau hal pembiasan); dan (3) al-
taujih (hal memperhadapkan).(Ahmad Izzan, 2012:2)
Menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama hadis, kata al-takhrij
mempunyai beberapa arti:
 Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya di dalam sanad yang menyampaikan hadis itu, berikut metode
periwayatan yang ditempuhnya.
 Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para
guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan
berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang
lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya
tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
 Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari
berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharijnya langsung—yakni para
periwayat yang menjadi penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan.
 Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber, yakni kitab-
kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya,
serta diterangkan pula keadaan para periwayat dan kualitas hadisnya.
 Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis dari sumbernya yang asli,
yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap
dengan sanad-nya masing-masing. Lalu, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan
pula kualitas hadis yang bersangkutan.(Ahmad Izzan, 2012:2)
Jadi, takhrij hadits adalah upaya seseorang untuk mencari matan dan sanad hadits,
secara lengkap dari referensi aslinya.
Manfaat Takhrij Al-hadits
Takhrij hadis memiliki banyak manfaat. Melalui takhrij hadis, dapat diketahui
kebenaran khazanah atau perbendaharaan sunnah nabi. Beberapa manfaat takhrij hadis,
sebagai berikut.
1) Memperkenalkan sumber-sumber hadis, termasuk kitab-kitab asalnya dan ulama
yang meriwayatkannya.
2) Menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang menjadi rujukan.
Semakin banyak kitab asal yang memuat hadis itu, semakin banyak pula
perbendaharaan sanadnya.
3) Memperjelas keadaan sanad. Dengan perbandingan riwayat-riwayat hadits akan
dapat diketahui sebuah riwayat termasuk munqathi`, mu`dhal, atau lainnya. Pun,
akan dapat diketahui status riwayat itu shahih, dhaif, atau lainnya.
4) Memperjelas hukum hadis. Boleh jadi, kita mendapatkan sebuah hadits dhaif
melalui riwayat tertentu. Melalui takhrij, kita akan mendapatkan riwayat lain yang
shahih. Hadis shahih itu bisa mengangkat hukum hadis dhaif itu ke derajat yang
lebih tinggi.
5) Menjadi alat untuk mengetahui pendapat ulama sekitar hukum hadits.
6) Memperjelas perawi hadis yang samar. Boleh jadi, kita mendapati seorang perawi
yang belum jelas nama dan validitasnya. Dengan takhrij, kita bisa mengetahui
nama perawi dan statusnya secara lengkap.
7) Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan
antar sanad.
8) Menafikan pemakaian “`an” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi
mudallis. Melalui yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka
periwayatan yang memakai “`an” tadi akan tampak pula ketersambungan
sanadnya.
9) Menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat. Membatasi nama
perawi yang sebenarnya karena ada kemungkinan seorang perawi mempunyai
kesamaan gelar. Melalui sanad lain, nama perawi itu menjadi jelas.
10) Memperkenalkan periwayat yang tidak terdapat di dalam satu sanad.
11) Memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
12) Menghilangkan hukum syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqah)
di dalam sebuah hadis melalui perbandingan riwayat.
13) Membedakan hadis mudraj yang mengalami penyusupan sesuatu dari hadis
lainnya.
14) Mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
15) Mengungkap hal-hal yang terlupakan, atau diringkas oleh seorang perawi.
16) Membedakan antara proses periwayatan dengan lafal dan makna atau pengertian.
17) Menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya sebuah hadis. Menjelaskan
sebab-sebab timbulnya hadis—misalnya, karena perilaku seseorang atau
sekelompok orang. Melalui perbandingan sanad, “sabab al-wurud” hadis itu dapat
diketahui lebih jelas.
18) Mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan percetakan melalui perbandingan
sanad. Secara simple, melalui penerapan takhrij hadis kita dapat mengumpulkan
berbagai sanad dari sebuah hadis; dan mengumpulkan berbagai redaksi dari
sebuah matan hadis.(Ahmad Izzan, 2012:4-5)
Metode Takhrij Al-hadits
Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadist, terlebih dahulu ia harus tahu
metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan-
kemudahan dan tidak ada hambatan. Adapun metode-metode dalam takhrij al-hadits,
sebagai berikut:
1. Takhrij Melalui Lafal Pertama Matan Hadits.
Penggunaan metode ini tergantung dari lafal pertama matan hadits. Berarti
metode ini juga mengkodifikasikan hadis-hadis yang lafal pertamanya sesuai
dengan urutan huruf hijaiyah, seperti hadis-hadis yang huruf pertamanya alif,
ba`ta` dan seterusnya. Suatu keharusan bagi yang akan menggunakan metode ini
untuk mengetahui dengan pasti lafal-lafal pertama dari hadis-hadis yang akan
dicarinya. Setelah itu ia melihat huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang
disusun dengan metode ini, demikian pula dengan huruf kedua dan seterusnya.
Metode takhrij ini menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya,
misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim,
jika diawali dengan huruf ba maka dicari pada ba, dan seterusnya.
Sebagai contoh hadis yang berbunyi ‫نا فلیس منا‬SS‫من غش‬. Langkah untuk
mencarinya dengan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
a) Lafal pertamanya dengan membuka bab mim (‫)م‬.
b) Kemudian mencari huruf kedua nun (‫ )ن‬setelah mim (‫ )م‬tersebut.
c) Huruf-huruf selanjutnya adalah ghain (‫ )غ‬dan syin (‫ )ش‬serta nun (‫)ن‬.
d) Dan begitu seterusnya sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah pada
lafal-lafal matan hadits.
Kelebihan dan kekurangan
Dengan menggunakan metode ini kemungkinan besar kita dengan cepat
menemukan hadis yang dimaksud. Hanya saja bila terdapat kelainan lafal pertama
tersebut sedikit pun akan berakibat sulit menemukan hadits. Sebagai contoh hadis
yang berbunyi:

Menurut bunyi hadis di atas, lafal pertamanya adala ‫اذاتاكم‬. Namun bila
lafal yang kita ingat adalah ‫ لواتاكم‬,tentunya akan sulit menemukan hadis tersebut
karena adanya perbedaan lafal itu. Demikian pula bila lafal yang kita ketahui
berbunyi ‫اداجااكم‬, sekalipun semuanya satu pengertian.(Ahmad Izzan, 2012:12)
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode ini, sebagai berikut:
 Al-Jami' Al-Shagir Min Hadits Al-Basyir Al-Nadzir.
 Kitab Faydh Al-Qadir Bi Syarh Al-Jami' Al-Shagir.
 Kitab Al-Fathu Al-Khabir Fi Dhammi Al-Ziya'dah Ila Al-Jami' Al-Shagir.
 Jam'u Al-Jawami' Atau Al-Jam'i Al-Kabir
2. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadits.
Metode ini didasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis,
baik berupa isim (nama benda) atau fi`il (kata kerja). Hadis-hadis yang
dicantumkan hanyalah bagian hadis dan yang meriwayatkannya dan nama kitab
induknya dicantumkan di bawah potongan hadis.(Ahmad Izzan, 2012:28)
Jadi, takhrij dengan kata adalah takhrij dengan kata benda (isim) atau kata
kerja (fi’il), dan bukan kata sambung (huruf). Dalam bahasa arab yang
mempunyai asal akar kata 3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari
teks hadist yang mana saja selain kata sambung/kalimat huruf, kemudian dicari
akar kata asal dalam bahasa arab yang tiga huruf yang disebut dengan fi’il tsulatsi.
Jika kata dalam teks hadist yang dicari kata : ‫ مسلم‬misalnya, maka harus dicari akar
katanya, yaitu dari kata ‫ سلم‬setelah itu baru membuka kamus bab ‫ س‬bukan bab ‫م‬.
Demikian juga jika kata yang diari itu kata ‫ یلتمس‬maka akar katanya adalah: ‫لمس‬
kamus yang dibuka adalah bab ‫ ل‬bukan bab ‫ ی‬dan begitu seterusnya.
Kamus yang digunakan untuk mencari hadist adalah Al-Mu’jam Al-
Mufahras li Alfash Al-Hadist An-Nabawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid, disusun
oleh tim orientalis, salah satunya adalah Arnord John Wensink atau disingkat A.J.
Wensinck (w. 1939 M), seorang professor bahasa-bahasa semit termasuk bahasa
arab di lieden, belanda. Tim telah berhasil menyusun urutan berbagai lafal dan
penggalan matan hadist, serta mensistematiskannya dengan baik, berkat kerja
sama dengan Muhammad Fuad Abdul Baqi.(M. Syuhudi Ismail, 1991:50)
Kelebihan dan Kekurangan
 Kelebihan
Beberapa kelebihan metode ini, antara lain:
a) Metode ini mempercepat pencarian hadis-hadis.
b) Para penyusun kitab takhrij dengan metode ini membatasi hadis
dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab,
juz, dan halaman.
c) Memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang
terdapat dalam metode ini.
 Kekurangan
Kekurangan yang terdapat dalam metode ini antara lain:
a) Keharusan bagi peneliti untuk memiliki kemampuan bahasa Arab
neserta perangkat ilmu-ilmunya yang memadai. Karena metode ini
menuntut untuk mengembalikan setiap kata-kata kuncinya kepada
kata dasarnya. Pertama yang dicari adalah kata dasar setiap kata.
b) Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat.
Untuk mengetahui nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi
SAW mengharuskan untuk kembali kepada kitab-kitab aslinya
setelah proses takhrij dilakukan dengan kitab ini.
c) Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga
orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata yang lain.
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode ini, sebagai berikut:
 Al-Mu`jam Al-Mufahras Li Al-Faadz Al-Hadis An-Nabawy.
 Kitab Al-Mu`Jam dan Sahabat.
 Kitab-Kitab Literatur Al- Mu`Jam.(Ahmad Izzan, 2012:29-41)
3. Takhrij Melalui Perawi Pertama.
Metode takhrij yang ketiga ini berdasarkan pada perawi pertama suatu
hadis, baik perawi tersebut dari kalangan sahabat bila sanad hadisnya bersambung
kepada Nabi (mutashil), atau dari kalangan tabi`in bila hadis itu mursal. Para
penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh setiap mereka (perawi pertama), sahabat atau tabi`in. Sebagai
langkah pertama ialah mengenal terlebih dahulu perawi pertama setiap hadis yang
akan kita takhrij melalui kitab-kitabnya. Langkah selanjutnya mencari nama
perawi pertama tersebut dalam kitab-kitab itu, dan kemudian mencari hadis yang
kita inginkan diantara hadis-hadis yang tertera dibawah nama perawi pertamanya
itu. Bila kita telah menemukannya, maka kita akan mengetahui pula ulama hadis
yang meriwayatkannya.
Metode ini tidak mungkin akan dapat membantu proses pencarian hadis
tanpa mengetahui terlebih dahulu dengan pasti perawi pertamanya. Untuk itu kita
harus menggunakan metode-metode lainnya. Metode-metode tersebut dapat kita
jadikan rujukan pencarian hadis bila kita tetap ingin memanfaatkan metode ketiga
ini, tentunya bila kita telah mengetahui nama perawi pertama yang diperkenalkan
oleh metode-metode tersebut. Metode-metode tersebut kita jadikan sebagi batu
loncatan penggunaan metode ketiga.
Kekurangan dan Kelebihan
Diantara kelebihan metode ini adalah:
1) Metode ini memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkannya
ulama hadis yang meriwayatkannya beserta kitab-kitabnya. Lain halnya
dengan metode pertama yang memperkenalkan perawinya saja tanpa
memperkenalkan kitabnya.
2) Metode ketiga ini memberikan kesempatan melakukan takhrij persanad.
Adapun diantara kekurangannya ialah:
Metode ini tidak dapat digunakan secara efektif tanpa mengetahui erlebih
dahulu perawi hadis yang kita maksud. Hal ini karena penyusunan hadis-hadis
tersebut didasarkan perawi yang dapat menyulitkan tujuan takhrij. Kitab-kitab
takhrij yang disusun berdasarkan metode ketiga ini terbagi dua bagian, yaitu:
1) Kitab-kitab al-Athraf
2) Kitab-kitab Musnad
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode ini, sebagai berikut:
1) Kitab-Kitab Al-Athr`Af
2) Kitab Tuhfatu Al-Asyra`F Bi Ma’rifati Al-Athr`Af
3) Kitab Al-Nukat Al Zhiraaf ‘Ala Al-Athraaf
4) Kitab Dzakha’ir Al-Mawaariits Fii Al-Dalaalah ‘Alaa Mawaadhi Al-Hadis
5) Kitab-Kitab Al-Musnad.(Ahmad Izzan, 2012:41-72)
4. Takhrij Menurut Tema Hadits.
Takhrij dengan metode ini bersandar pada pengenalan tema hadis. Setelah
ditemukan hadis yang akan di takhrij, maka langkah selanjutnya ialah
menyimpulkan tema hadis tersebut. Kemudian mencarinya melalui tema ini pada
kitab-kitab metode ini.
Kerap kali suatu hadis memiliki tema lebih dari satu. Maka dapat dicari
ada tema-tema yang dikandungnya. Contoh hadis yang berbunyi:

Hadis tersebut dicantumkan pada kitab Imam, Tauhid, Shalat, zakat, Puasa
dan Haji. Untuk itu kita harus mencarinya pada tema-tema ini, karena hadis di atas
mengandung semuanya, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara kita dan
penyusun.
Takhrij yang keempat ini mendasari metodenya pada pengenalan tema
hadis. Oleh karena itu, ketidaktahuan akan tema hadis akan menyulitkan proses
takhrij.
Diantara kelebihan metode ini, peneliti bisa hanya mengatahui makna
hadist, tidak diperlukan harus mengingat permulaan matan teks hadist, tidak perlu
menguasai asal usul akar kata, dan tidak perlu mengatahui sahabat yang
meriwayatkan. Disamping itu, peneliti terlatih berkemampuan menyingkap makna
kandungan hadist. Sedangkan diantara kesulitannya adalah terkadang peneliti
tidak memahami kandungan hadist atau kemungkinan hadist memilki topik
berganda.(Abdul Muhdi bin Abdul Maujud, 1987:151)
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode ini, sebagai berikut:
1) Kitab Kanzal-Ummal Fii Sunan Al-Aqwal Wa Al-Af’al
2) Kitab Muntakhab Kanzi Al-Ummal
3) Kitab Takhrij Hadis Dari Beberapa Kitab Tertentu Miftah Kunuz Al-
Sunnah
4) Kitab ‘Al-Mugni An Haml Al-Asfaar Fii Al-Asfaar Fii Takhrij Maa Fi Al-
Ihyaa’ Min Al-Akhbaar
5) Kitab Takhrij Hadis-Hadis Fiqih Kitab Nasbu Al-Raayah Li Takhriji
Ahaadiits Al-Hidayah
6) Kitab Al-Diraah Fii Takhriji Ahadis Al-Hidaah
7) Kitab Al-Talkhish Al-Habi`R Fi Takhriji Aha`Dits Al-Ra`Fi`I Al-Kabi`R
8) Kitab-Kitab Takhrij Hadis-Hadis Hukum Kitab “Muntaqa Al-Akhbaar
Min Ahaadiits Sayyid Al-Akhyaar Saw
9) Kitab “Bulughu Al- Maram Min Jami’i Adillati Al-Ahkaam
10) Kitab “Taqrib Al-Asaaniid Wa Tartiib Al-Masaaid
11) Kitab-Kitab Mengenai Takhrij Hadis-Hadis Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
12) Kitab “Al-Durru Al-Mantsuur Fii Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsuur”.(Ahmad
Izzan, 2012:72-128)
5. Takhrij dengan Sifat.
Telah banyak disebutkan sebagaimana pembahasan diatas tentang metode
takhrij. Seseorang dapat memilih metode mana yang tepat untuk ditentukannya
sesuai sesuai dengan kondisi orang tersebut. Jika suatu hadist sudah dapat
diketahui sifatnya, misalnya mawdhu’, Shahih, Qudsi, Mursal, Myashur,
mutawatir dan lain-lain sebaiknya di-takhrij melalui kitab-kitab yang telah
menghimpun sifat-sifat tersebut. Misalnya hadist mawdhu’ akan lebih mudah di-
takhrij melalui buku himpunan hadist mawdhu’ seperti Al-Mawdu’at karya Ibnu
Al-Jauzi, mencari hadist mutawatir takhrij-lah melalui kitab Al-Azhar Al-
Mutantsirah an Al-Akhbar Al-Muwatirah karya As-Suyuthi, dan lain-lain. Disana
peneliti akan mendapatkan informasi tentang kedudukan suatu hadist, kualitasnya,
sisfat-sifatnya terutama dapat dilengkapi dengan kitab-kitab syarahnya.(Abd
Majid Khon, 2012:134-141)
Praktik Takhrij Al-Hadits

Praktek takhrij Al-Hadist sangat penting untuk menelusuri suatu hadist. Dan untuk
memudahkan praktek, berikut saya akan memaparkan langkah-langkah takhrij.

1) Penelusuran hadist
Penelusuran hadist dilakukan keberbagai buku induk hadist yang masih
lengkap sanad dan matannya. Dalam menelusuri hadist, boleh menggunakan
metode diantara salah satu yang lima disatas,
2) Penghimpunan hasil penelusurun hadist
Penghimpunan dan penelusuran hadist dapat menggunakan kitab Al-
Mu’jam atau CDR.
3) Pembuatan skema sanad
Setelah hadist terhimpun dari berbagai buku hadist, skema
sanad dibuat untuk memudahkan analisis.
4) Analisis hadist
Analisis hadist diatas bergantung pada tujuan takhrij, yang ingin
mengetahui kuantitas sanad (jumlah periwayat hadist dalam sanad).
5) Hasil takhrij
Hasil takhrij berdasarkan analisis sanad dan matan diatas dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a) Dari segi kualitas, sanad dan matan adalah shahih karena telah memenuhi
lima kreteria hadist shahih, yaitu sanad yang tersambung, periwayat yang
adil, periwayat yang dhabit, terbebas dari sifat ganjil dan terbebas dari
cacat.
b) Dari sandaran berita hadist tersebut marfu’ karena disandarkan pada
Rasululloh SAW.
c) Dari segi kuantitas sanad, Hadist tersebut aziz karena dikalangan sahabat
hanya dua orang sahabat yang meriwayatkannya, yaitu Abu Hurairah dan
Anas bin Malik. Sementara itu, dikalangan tabi’in tabi’id tabi’in disebut
myashur karena perawinya berjumlah lebih dari tiga orang akan tetapi
tidak mencapai mutawatir. (Abd Majid Khon, 2014:12-18)
D. Kesimpulan
Takhrij hadits adalah upaya seseorang untuk mencari matan dan sanad hadits,
secara lengkap dari referensi aslinya.
Takhrij hadis memiliki banyak manfaat, sebagai berikut:
1) Memperkenalkan sumber-sumber hadis.
2) Menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang menjadi rujukan.
3) Memperjelas keadaan sanad.
4) Memperjelas hukum hadis.
5) Menjadi alat untuk mengetahui pendapat ulama sekitar hukum hadits.
6) Memperjelas perawi hadis yang samar.
7) Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan
antar sanad.
8) Menafikan pemakaian “`an” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi
mudallis.
9) Menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10) Memperkenalkan periwayat yang tidak terdapat di dalam satu sanad.
11) Memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
12) Menghilangkan hukum syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqah)
di dalam sebuah hadis melalui perbandingan riwayat.
13) Membedakan hadis mudraj yang mengalami penyusupan sesuatu dari hadis
lainnya.
14) Mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
15) Mengungkap hal-hal yang terlupakan.
16) Membedakan antara proses periwayatan dengan lafal dan makna atau pengertian.
17) Menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya sebuah hadis.
18) Mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan percetakan melalui perbandingan
sanad.

Adapun metode-metode dalam takhrij al-hadits, sebagai berikut:

1) Takhrij Melalui Lafal Pertama Matan Hadits.


2) Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadits.
3) Takhrij Melalui Perawi Pertama.
4) Takhrij Menurut Tema Hadits.
5) Takhrij dengan Sifat.
Praktek takhrij Al-Hadist sangat penting untuk menelusuri suatu hadist. Dan untuk
memudahkan praktek, berikut saya akan memaparkan langkah-langkah takhrij.

1) Penelusuran hadist
2) Penghimpunan hasil penelusurun hadist
3) Pembuatan skema sanad
4) Analisis hadist
5) Hasil takhrij
E. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai