NIM : 1111190022
Semester/Kelas : 4/B
Berbeda dengan Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan
perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara
kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau
golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak aspsi manusia Indonesia mencerminkan bentuk
pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya
bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu
tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu
saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti
bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah
kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar
dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban
manusia. Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentanganpertentangan yang ada tidak begitu
menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa
Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII
Diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKl) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada
tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan
segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana
terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan
Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menblak dimasukkannya HAM terutama
yang bersifat individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun
sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat
Kemerdekaan Indonesia (PP Kl) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai
UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di
dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajibankewajiban yang bersifat
dasar pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi
manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang
bersifat umum, yaitu hak bang.sa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak
1 Marsudi, Subandi Al., 2001, Pancasila dan UUD 45 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, hal. 90.
2 Mahfud, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, hal. 110.
32
asasi manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu. Sedangkan
istflah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD
1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilahl yang dapat
ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan
hak-hak Dewan Perwaldlan Rakyat. Baru setelah UUD mengalami perubahan atau amandemen
UUD 1945 menjadi kongtitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi
manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS
berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam
Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo
yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku
lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuanketentuan yang
mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum
dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun
1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham
NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak
4 Ahadian, Ridwan Indra., 1991, Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, Jakarta: CV. Haji Masagung, Jakarta, Hal. 15.
5 Marsudi, Subandi Al., Op.Cit., Hal. 95.
diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-
30S/ PKI tahun 1965. Hal ini mendorong Iahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi
terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde Baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali
masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MP RS, yaitu berupa rancangan
Pimpinan MPRS RI No. A3/1/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31
Pasa] tentang HAM. Namun rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.6
1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila
"Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" dalam kesatuan dengan silasila Pancasila Iainnya.
Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu
secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-
sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun
demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai
sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal paham individualisme dan
Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7
Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat
satu pihak dan penegakkan hukum di pihak Iainnya. Hal ini senada dengan deklarasi P BB
tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan.
keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Hal tersebut menjadi tugas badan-badän
pembangunan.8
berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat
diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi" Manusia atau
Ketetapan MPR tentang GBHN yang di dalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak
dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat
diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, •yaitu selama Sidang Istimewa MPR yang
berlangsung. dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna
ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan Iahirnya Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi
salah satu acuan dasar bagi Iahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
disahkan pada tanggal 23 september 1999. 9 Undang-Undang ini kemudian diikuti Iahirnya
Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan danditetapkan menjadi UU No. 26
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula Iahir UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
8 Darmodiharjo, Darji., dan Shidarta., 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal.
164
9 Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., Hal. 98.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi pula beberapa konvensi internasional yang
b. Konvensi mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
7 Tahun 1984.
Secara garis besar, Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia mengalami pasang dan
surut yang secara jelas dapat terlihat melalui tabel periodesasi sejarah Indonesia, mulai tahun
1908 hingga sekarang. Pada dasarnya, konsep HAM bukanlah semata-mata sebagai konsep
1. Periode 1908-1945
2. Periode 1945-1950
3. Periode 1950-1959
4. Periode 1959-1966
6. Periode 1998-sekarang
❖ Periode 1908-1945
Konsep pemikiran HAM telah dikenal oleh Bangsa Indonesia terutama sejak tahun
1908 lahirnya Budi Utomo, yakni di tahun mulai timbulnya kesadaran akan pentingnya
pembentukan suatu negara bangsa (nation state) melalui berbagai tulisan dalam suatu Majalah
Goeroe Desa. Konsep HAM yang mengemuka adalah konsep-konsep mengenai hak atas
kemerdekaan, dalam arti hak sebagai bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri
(the rights of self determination). Namun HAM bidang sipil, seperti hak bebas dari
diskriminasi dalam segala bentuknya dan hak untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat mulai
juga diperbincangkan. Bahkan konsep mengenai hak untuk turut serta dalam pemerintahan
Indonesia yaitu hak menentukan nasib sendiri. Pada masa-masa selanjutnya, pemikiran tentang
demokrasi asli Bangsa Indonesia yang antara lain dikemukakan Hatta, makin memperkuat
anggapan bahwa HAM telah dikenal dan bukanlah hal baru bagi Bangsa Indonesia.
Supomo mengemukakan bahwa HAM berasal dari cara berpikir yang liberal dan
individualistik yang menempatkan warga negara berhadapan dengan negara, dan karena itu,
paham HAM tidak sesuai dengan “ide integralistik dari Bangsa Indonesia”. Menurut Supomo
manusia Indonesia menyatu dengan negaranya dan karena itu tidak masuk akal mau
melindungi individu dari negara. Debat ini muncul kembali pada pertengahan Juli 1945.
Sukarno mengemukakan bahwa keadilan yang diperjuangkan bagi Bangsa Indonesia bukanlah
keadilan individual, melainkan keadilan sosial dan karena itu HAM dan hak-hak dasar warga
negara tidak pada tempatnya dalam UUD. Sebaliknya, Muhammad Hatta dan Muhammad
Yamin memperingatkan bahwa bisa saja negara menjadi negara kekuasaan dan karena itu hak-
hak dasar warga negara perlu dijamin. Akhirnya tercapailah Pasal 28 UUD 1945, dimana hak-
hak dasar demokratis seperti hak untuk berserikat dan berkumpul dan untuk menyampaikan
pendapat diatur.
Hak asasi barulah mendapatkan tempat yang penting utamanya pada masa KRIS 1949
dan UUDS 1950, karena kedua UUD atau konstitusi itu memuat HAM secara terperinci. Hal
itu disebabkan KRIS 1949 dibuat setelah lahirnya Declaration of Human Right 1948,
sedangkan UUDS 1950 adalah perubahan dari KRIS 1949 melalui UU Federal No. 7 tahun
1950.
Meskipun usia RIS relatif singkat, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950, namun baik sistem kepartaian multi partai maupun sistem pemerintahan
parlementer yang dicanangkan pada kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945, masih
kesatuan dengan berlakunya UUDS 1950 pada periode 17 Agustus 19505 Juli 1959. bahkan
pada periode ini suasana kebebasan yang menjadi semanggat demokrasi liberal sangat
ditenggang, sehingga dapat dikatakan bahwa baik pemikiran maupun aktualisasi HAM pada
masing;
kebebasannya;
3. Pemilihan Umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana
4. Parlemen atau Dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat
menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakilwakil rakyat dengan melakukan kontrol
atau pengawasan;
Satu hal yang penting adalah bahwa semua partai, dengan pandangan ideologis yang
berbeda-beda, sepakat bahwa HAM harus dimasukan ke dalam bab khusus yang mempunyai
❖ Periode 1959-1966
Memasuki periode kedua berlakunya UUD 1945 yaitu sejak dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, gagasan atau konsepsi Presiden Soekarno mengenai demokrasi terpimpin
dilihat dari sistem politik yang berlaku yang berada di bawah kontrol/kendali Presiden. Dalam
perspektif pemikiran HAM, terutama hak sipil dan politik, sistem politik demokrasi terpimpin
12 Ibid, Hal. 32
tidak memberikan keleluasaan ataupun menenggang adanya kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Di bawah naungan demokrasi terpimpin, pemikiran
tentang HAM dihadapkan pada restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga
mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi
❖ Periode 1966-1998
Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar yang dijadikan landasan hukum bagi Soeharto
untuk mengamankan Indonesia. Masyarakat Indonesia dihadapkan kembali pada situasi dan
keadaan dimana HAM tidak dilindungi. Hal ini disebabkan oleh pemikiran para elite
kekuasaan terhadap HAM. Umumnya era ini ditandai oleh pemikiran HAM adalah produk
barat. Pada saat yang sama Indonesia sedang memacu pembangunan ekonomi dengan
mengunakan slogan “pembangunan” sehingga segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM
dianggap sebagai penghambat pembangunan. Hal ini tercermin dari berbagai produk hukum
yang dikeluarkan pada periode ini, yang pada umumnya bersifat restriktif terhadap HAM.
Pada pihak lain, masyarakat umumnya diwakili LSM dan kalangan akademisi
perlindungan HAM ini mencapai titik nadir pada tahun 1998 yang ditandai oleh turunnya
Soeharto sebagai Presiden. Periode 1966-1998 ini secara garis besar memiliki karakteristik
tahapan berikut:
a. Tahap represi dan pembentukan jaringan (repression and activation of network)
Pada tahap ini Pemerintah melakukan represi terhadap segala bentuk perlawanan yang
internasional. Konflik berdarah yang dimulai di Jakarta, ditandai dengan terbunuhnya pada
Jenderal, disusul dengan munculnya konflik langsung yang melibatkan tentara, penduduk sipil
Pembunuhan, baik dalam bentuk operasi militer maupun konflik sipil terjadi di hampir
seluruh wilayah Indonesia, dengan jumlah korban yang berbeda di tiap Provinsi. AD secara
ressi menyimpulkan bahwa jumlah korban di seluruh Indonesia 78.000. orang.13 Ditengah-
tengah keprihatinan akan runtuhnya supremasi hukum atas banyaknya pelanggaran HAM yang
dibebaskannya hampir seluruh tahanan politik PKI pada tahun 1970-1979. Namun, tindakan
represif Orde Baru tetap berlangsung terutama terhadap gerakan mahasiswa dan aktivis yang
b. Tahap Penyangkalan
Tahap ini ditandai dengan suatu keadaan dimana pemerintah otoriter dikritik oleh
umumnya diberikan oleh pemerintah adalah bahwa HAM merupakan urusan domestik
sehingga kritikan dianggap sebagai campur tangan terhadap kedaulatan negara. Tampaknya
pada masa penyangkalan ini Pemerintahan Soeharto yang mendasarkan HAM pada konsepsi
kewajiban dibanding hak. Hal ini sebetulnya rancu, karena paham integralistik telah ditolak
pada pembahasan naskah UUD, dan Supomo sendiri akhirnya menerima usul Hatta dan
Muhammad Yamin untuk memasukan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran ke
dalam UUD.
Kritik internasional yang berlanjut atas berbagai pelanggaran HAM TimorTimur, kasus
Tanjung Priok, kasus DOM Aceh, kasus Kedung Ombo, peristiwa Santa Cruz coba diatasi
Pada tahap ini Pemerintah Orde Baru terdesak dan diterpa krisis moneter pada tahun
1997. Indonesia mulai menerima HAM internasional karena membutuhkan dana untuk
membangun. Pada bagian lain kekuasaan Orde Baru mulai melemah, puncaknya terjadi pada
bulan Mei 1998 yang diwarnai dengan peristiwa berdarah 14 Mei 1998. Demonstrasi
mahasiswa yang terjadi secara besar-besaran telah menurunkan Soeharto sebagai Presiden.
d. Tahap Penentuan
undangan nasional melalui ratifikasi dan institusionalisasi. Beberapa kemajuan dapat dilihat