Disusun Oleh:
1. Rio Chairul Anam (21360016)
2. Salma Restiany Sabilla (21360017)
Pembimbing:
dr. Dewi Puspita Sp. THT-KL
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG…………………………………………………………….1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi pendengaran…………………………………………….3
2.1.1 Anatomi dan alat pendengaran……………………………………….3
2.1.2 Fisiologi alat pendengaran……………………………………………6
2.2 Jenis Gangguan Pendengaran…………………………………………………..7
2.3 Cara Pemeriksaan Pendengaran………………………………………………..7
2.4 Tuli Mendadak………………………………………………………………..10
2.4.1 Definisi……………………………………………………………...10
2.4.2 Etiologi……………………………………………………………...10
2.4.3 Patogenesis………………………………………………………….11
2.4.4 Gejala klini………………………………………………………….12
2.4.5 Klasifikasi Drajat Gangguan Pendengaran…………………………12
2.4.6 Diagnosis…………………………………………………………..13
2.4.7 Tatalaksana…………………………………………………………13
2.4.8 Prognosis…………………………………………………………...13
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan ………………………………………………………….......15
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
b) Telinga tengah
Telinga tengah merupakan rongga timpani yang berisi udara. Di dalam
tulang tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yaitu tiga tulang kecil yang
tersusun seperti rantai bersambung dari membran timpani menuju rongga telinga
dalam. Tulang sebelah luar adalah maleus, berbentuk seperti martil. Tulang yang
berada di tengah disebut inkus atau landasan. Tulang stapes atau sanggurdi
dikaitkan pada inkus dengan ujung yang lebih kecil dan dasarnya terkait pada
membran fenestra vestibuli. Tulang-tulang pendengaran ini berfungsi
mengalirkan getaran suara dari gendang telinga menuju rongga telinga dalam.
Prosesus mastoideus adalah bagian tulang temporalis yang terletak di
belakang telinga, sementara ruang udara yang berada pada bagian atasnya adaah
antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah (Pearce,
2009).
Membran timpani memiliki bentuk agak oval dan pada ujung liang
telinga berupa selaput tipis. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung
bila dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars
tensa dan bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak diatas
manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang
berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba eustachius menghubungkan rongga
telinga tengah dengan daerah nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari bagian
tulang atau protimpanum yang terletak dekat rngga telinga tengah dan bagian
tulang rawan yang membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring
(Moller, 2006).
c) Telinga dalam
Rongga telinga dalam berada dalam bagian os petrosum tulang
temporalis. Rongga telinga dalam terdiri atas berbagai rongga yang menyerupai
saluran-saluran dalam tulang temporais. Rongga-rongga itu disebut labirin
tulang dan dilapisi membran sehingga membentuk labirin membranosa (Pearce,
2009).
Telinga dalam labirin terdiri dari koklea dan vestibular Koklea atau
rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari tiga buah
kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang berisi cairan, yaitu skala
5
vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah
koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala
timpani oleh membran basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ corti
yang mengandung sel rambut (Moller, 2006).
Organ corti terdiri dari beberapa sel penunjang, satu sel indera bagian
dalam dan tiga sel indera bagian luar. Sel-sel indera ini berhubungan dengan
membran tektoria. Karena getaran pada stapes terjadi gelombang-gelombang
yang berjalan ke perpilimfa dan endolimfa. Akibatnya, sel rambut dalam duktus
koklearis akan bergerak terhadap membran tektoria. Pergeseran ini akan
merangsang sel-sel rambut luar. Secara berirama sel-sel rambut luar akan
berkontraksi sehingga pergeseran antara membran tektoria dan membran basal
akan diperkuat dan selektivitas frekuensi diperbesar. Akibatnya, timbul
depolarisasi pada sinaps sel-sel rambut bagian dalam. Membran basal bekerja
menerima nada tinggi pada permulaan dan nada rendah pada dibagian akhir atau
helikotrema (Moller, 2006).
Sistem cairan koklea dibagi dengan organ vestibular dan terdiri dari dua
sistem, yaitu sistem perilimfatik, dimana komposisi cairan ionik menyerupai
carian serebrospinal dan endolimfatik yang sistem cairan menyerupai cairan
intraseluler. Dalam koklea ruang endolimfatik dipisahkan dari ruang perilimfatik
oleh membran Reissner dan membran basilar. Komposisi cairan ionik
perilimfatik berfungsi untuk sel-sel rambut. Ruang cairan perilimfatik dari
telinga bagian dalam berkomunikasi dengan cairan serebrospinal dalam rongga
tengkorak melalui saluran cair koklea yang menghubungkan ruang perilimfatik
dengan ruang cairan kranial. Saluran tersebut memiliki diameter 0,05-0,5 mm.
Ruang endolimfatik berkomunikasi dengan kantung endolimfatik melalui
saluran endolimfatik. Kantung endolimfatik merupakan ruang antara dua lapisan
dura meter. Kantung tersebut berada di dekat dinding tengkorak yaitu acousticus
porus. Ketidakseimbangan tekanan pada ruang tersebut dapat menyebabkan
gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan (Moller, 2006).
Peredaran darah di telinga luar dialiri oleh cabang aurikulotemporal
arteri temporalis superfisial di bagian anterior dan di bagian posterior disuplai
oleh cabang aurikuloposterior arteri karotis eksterna. Kavum timpani disuplai
6
oleh berbagai cabang arteri karotis eksterna (arteri meningea media, arteri
faringeal asceden, arteri maksilaris dan arteri stilomastoid). Peredaran darah di
telinga dalam disuplai oleh arteri labirin yang berasal dari arteri anterior inferior
cerebellar atau arteri basilaris. Arteri labirin merupakan akhir dari arteri yang
sedikit atau tanpa suplai darah ke koklea ( Moller, 2006).
2.1.2 Fisiologi Alat Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditankgapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea (Bashiruddin J, 2007). Getaran-getaran tersebut selanjutnya diteruskan
menuju inkus, stapes dan maleus. Gerakan yang timbul pada setiap tulang akan
memperbesar getaran yang kemudian disalurkan melalui fenestra vestibular
menuju perilimfa (Pearce, 2009). Getaran diteruskan melalui membran
Reissner yang mendorong endolmifa sehingga menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria (Bashiruddin J, 2007).
Organ corti menumpang pada membran basilaris sel-sel rambut bergerak
naik turun sewaktu membran basilaris bergetar. Karena rambut-rambut dari sel
reseptor terbenam di dalam membran tektorial yang kaku dan stasioner,
rambut-rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu
membran basilaris menggeser posisinya terhadap membran tektorial. Perubhan
bentuk mekanis rambut yang maju-mundur menyebabkan saluran-saluran ion
gerbang mekanis pada sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian.
Hal ini menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang
bergantian pada frekuensi yang sama dengan rangsangan suara semula
(Lauralee S, 2001).
Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi
gerakan-gerakan berosilasi membran basilaris yang membengkokkan
pergerakan maju mundur rambut-rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk
mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan
(secara bergantian) saluran di sel reseptor yang menimbulkan perubahan
potensial berjenjang di reseptor sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan
pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini,
7
karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan 2048
Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan kualitatif. Bila
salah saut frekuensi ini tergangu penderita akan sadar adanya gangguan
pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala itu, maka
diambil 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara
bising di sekitarnya (Bashiruddin J, 2007).
Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes
Weber dan tes Schwabach secara bersamaan.
1. Tes Rinne: tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang dan
udara. Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus
(dibelakang telinga), setelah tidak mendengar getaran lagi garputala dipindahkan
di depan liang telinga, tanyakan penderita apakah masih mendengarnya (J.F
Gabriel, 1996).
2. Tes Weber: penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis
tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengahtengah gigi seri atau
dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi
(Bashiruddin J, 2007).
3. Tes Schwabach: tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang
melalui verteks atau prosesus mastoideus penderita dengan konduksi tulang
sipemeriksa (J.F Gabriel, 1996).
Tabel 2.1 diagnosa tes rinne,tes weber dan tes schwabach (bashiruddin j, 2007)
Tes rinne Tes weber Tes diagnosis
schwabach
Positif Tidak ada Sama dengan Normal
lateralisasi pemeriksa
Negatif Lateralisasi Memanjang Tuli
ketelinga konduktif
yang sakit
Positif Lateralisasi Memendek Tuli
ke telinga sensorineural
9
yang sehat
1) Tes berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara
kasar. Hal yang perlu diperhatikan adalah ruangan cukup tenang, dengan
panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik adalah 5/6-6/6
(Bashiruddin J, 2007).
2) Audiometri nada murni
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari audiometer
tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk
memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC (hantaran
tulang).
1) Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda
yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah
getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.
2) Intesitas bunyi dinyatakan dalan dB (decibell). Dikenal dengan dB HL
(hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound pressure level).
dB HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan inilah yang biasanya
digunakan pada audiometer, sedang dB SPL digunakan apabila ingin
mngetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika.
3) Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat
ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi
tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis baik AC
maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat
diketahui jenis dan derajat ketulian (Bashiruddin J, 2007).
4) Notasi pada audiogram Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik
AC yang dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa
antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis putus-
putus (intensitas yang diperiksa 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai
warna biru sedangkan telinga kanan warna merah (Bashiruddin J, 2007).
10
2.4.3 Patogenesis
11
Ada 4 teori postulasi terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi viral labirin,
gangguan vaskular labirin, ruptur membran intrakoklear dan penyakit telinga
dalam yang berhubungan dengan autoimun. Namun setiap jalur teori ini belum
tentu terjadi pada setiap kasus tuli mendadak atau suden deafness.
1) Infeksi viral labirin
Prevalensi menunjukan 7 -13% pasien yang menderita tuli mendadak
sebelumnya menderita infeksi virus (mumps, herpes). Terkadang dapat
ditemukannya histopatologi pada telinga bagian dalam yang menunjukan
adanya infeksi oleh virus. Gambaran histopatologi ditemukan adanya
kerusakan di koklea berupa hilangnya sel–sel rambut dan sel
penyokongnya, atrofi membrane tectorial, atrofi stria vascularis, dan
hilangnya neuron (Marthur, 2015).
2) Gangguan vaskular labirin
Koklea diperdarahi oleh arteri auditiva interna, dimana pembuluh darah
ini merupakan arteri ujung atau end-artery, sehingga bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami
kerusakan. Gangguan vaskular labirin bisa disebabkan oleh adanya
trombus, emboli dan vasospasme yang dapat menyebabkan penurunan
suplai darah ke koklea sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan
terganggu (iskemia koklea) yang menyebabkan perubahan tekanan
oksigen perilimfe (Marthur, 2015).
3) Ruptur membran intrakoklear
Membran ini memisahakan telinga tengah dan telinga dalam. Pada
koklea membran ini juga memisahkan ruang perilimfe dan endolimfe.
Ruptur dari salah satu atau kedua membran ini dapat menyebabkan tuli
mendadak. Kebocoran cairan perilimfe ke telinga tengah melalui tingkap
lonjong dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Ruptur membran
intrakoklear menyebabkan bercampurnya cairan perilimfe dan endolimfe
sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea (Marthur, 2015).
4) Penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun
12
2.4.6 Diagnosa
13
2.4.7 Penatalaksanaan
1) Vasodilantasia yang cukup kuat misalnya dengan pemberian
complamin injeksi disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral
tiap hari.
2) Prednison (kortikosteroid) 4x10 mg (2 tablet), tapering off tiap 3 hari
3) Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari
4) Neurobion (neurotonik) 3x1 tablet/hari
5) Diet rendah garam dan rendah kolestrol
6) Obat anti virus sesuai dengan virus penyebab (Bashiruddin J, 2007).
2.4.8 Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu:
kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat
tuli saraf dan adanya faktor predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan
pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila sudah lebih 2
minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan dapat
sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh, hal ini disebabkan oleh
karena faktor konstitusi pasien seperti pasien yang pernah mendapat pengbatan
obat ototoksik yang cukup lama, pasien diabetes melitus, pasien dengan kadar
lemak darah yang tinggi, pasien dengan viskositas darah yang tinggi dan
14
BAB III
KESIMPULAN
Tuli mendadak atau sudden deafness penyebab spesifiknya belum diketahui pasti,akan
tetapi tuli mendadak bisa dipengaruhi oleh gangguan pendengaran konduktif , gangguan
pendengaran sensorik atau maupun keduanya,dan untuk saat ini bisa dianggap etiologinya
adalah iskemia koklea dan infeksi virus.
DAFTAR PUSTAKA
Arslan, N., Oguz, H., Demirci, M., Safak, MA, Islam, A., Kaytez, SK, & Samim, E.
2011. Penggunaan steroid intratimpani dan sistemik gabungan untuk gangguan
pendengaran sensorineural mendadak idiopatik. Otologi &
Neurotologi , 32 (3), 393-397.
Bashiruddin, J., Soetirto I. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal.46.
Cho, C. S., & Choi, Y. J. 2013. Prognostic factors in sudden sensorineural hearing
loss: a retrospective study using interaction effects. Brazilian journal of
otorhinolaryngology, 79(4), 466-470.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No. 879. 2006. Rencana strategi nasional
untuk mencapai sound hearing 2030. Jakarta: Kemenkes.
Lauralee, S. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia.
Topuz, E., Yigit, O., Cinar, U., & Seven, H. (2004). Should hyperbaric oxygen be
added to treatment in idiopathic sudden sensorineural hearing loss?. European
Archives of Oto-Rhino-Laryngology and Head & Neck, 261(7), 393-396.