Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

TULI MENDADAK (SUDDEN DEAFNESS)

Untuk Memenuhi Tugas Kemitraan Klinik Bagian Ilmu THT

Disusun Oleh:
1. Rio Chairul Anam (21360016)
2. Salma Restiany Sabilla (21360017)

Pembimbing:
dr. Dewi Puspita Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI


KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATRA UTARA
TAHUN AJARAN 2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sebesar-besarnya saya panjatkan kepada


Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
sehingga referat dengan judul “Tuli Mendadak (Sudden Deafness)” ini
dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, tidak lupa juga penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Dewi Puapita, Sp. THT, teman-
teman sejawat satu stase dan semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, yang telah ikut membantu sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan karena kemampuan dan


pengalaman penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak,
agar makalah ini dapat menjadi lebih baik, dan dapat berguna bagi
pembacanya. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila masih
banyak kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 6 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG…………………………………………………………….1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi pendengaran…………………………………………….3
2.1.1 Anatomi dan alat pendengaran……………………………………….3
2.1.2 Fisiologi alat pendengaran……………………………………………6
2.2 Jenis Gangguan Pendengaran…………………………………………………..7
2.3 Cara Pemeriksaan Pendengaran………………………………………………..7
2.4 Tuli Mendadak………………………………………………………………..10
2.4.1 Definisi……………………………………………………………...10
2.4.2 Etiologi……………………………………………………………...10
2.4.3 Patogenesis………………………………………………………….11
2.4.4 Gejala klini………………………………………………………….12
2.4.5 Klasifikasi Drajat Gangguan Pendengaran…………………………12
2.4.6 Diagnosis…………………………………………………………..13
2.4.7 Tatalaksana…………………………………………………………13
2.4.8 Prognosis…………………………………………………………...13
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan ………………………………………………………….......15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuli mendadak (sudden deafness) adalah gejala menakutkan yang terjadi
secara tiba-tiba (Bashiruddin J, 2007) dan disarankan langsung melakukan
pengobatan (Stachler RJ et al., 2012). Walaupun beberapa kepustakaan
menyatakan bahwa tuli mendadak dapat pulih spontan (Arslan N et al., 2011).
Biasanya tuli mendadak bersifat unilateral dan kurang dari 2% bersifat bilateral
(Topuz, 2010). Kehilangan pendengaran sensorineural secara tiba-tiba
mempengaruhi 5 sampai 20 per 100.000 penduduk dengan sekitar 4000 kasus
baru per tahun di Amerika Serikat (Stachler RJ et al., 2012).
Berdasarkan hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998,
Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian
yang cukup tinggi (4,6%), tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%),
Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi
prevalensi 4,6% dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil
Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang
dilaksanakan di tujuh provinsi di Indonesia menunjukan prevalensi dari tuli
mendadak sebanyak 0,2% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Secara global WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 250 juta
(4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai 140 juta
diantaranya terdapat di Asia Tenggara, 50% dari gangguan pendengaran ini
sebenarnya dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang benar dan deteksi dini
dari penyakit (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Menurut Chin-Saeng Cho et al. (2013), 32% sampai 65% dari kasus tuli
mendadak dapat sembuh spontan. Prognosis untuk pemulihan tergantung pada
sejumlah faktor, termasuk usia pasien, adanya vertigo saat onset, tingkat
gangguan pendengaran, konfigurasi audiometri, dan waktu antara onset
gangguan pendengaran dan pengobatan (Chin-Saeng Cho et al., 2013).
Penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 10-15% kasus
(Rauch, 2008) sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebab terjadinya
tuli mendadak yang disebut juga dengan idiopatik (Stachler RJ et al.,

1
2

2012).Terapi yang diberikan untuk pasien tuli mendadak dengan


pengobatan konvensional berupa vasodilasator, kortikosteroid, vitamin c dan
neurobion. Sejalan dengan perkembangan teknologi, terapi untuk mencapai
kesembuhan tuli mendadak pun mengalami perkembangan. Salah satu teknologi
yang digunakan untuk membantu mempercepat penyembuhan tuli mendadak
adalah terapi oksigen hiperbarik (Bashiruddin J, dkk., 2007).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran


2.1.1 Anatomi alat pendengaran

Gambar 1. Anatomi Telinga


Telinga terdiri dari tiga bagian:
a. Telinga luar,
b. Telinga tengah,
c. Teliga dalam, telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu aparat vestibular
untuk keseimbangan dan koklea untuk pendengaran.
Telinga luar dan tengah menghantarkan suara ke koklea, yang
memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi oleh sel rambut
menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar terdapat
konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006).
a) Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas aurikel atau pina, meatus auditorius eksterna
yang menghantarkan getaran suara menuju membran timpani. Liang telinga
berukuran 2,5 sentimeter, sepertiga luarnya adalah tulang rawan sementara dua
pertiga dalamnya berupa tulang. Aurikel berbentuk tidak teratur serta terdiri atas
tulang rawan dan jaringan fibrus, kecuali cuping telinga yang terutama terdiri
dari lemak (Pearce, 2009).

3
4

b) Telinga tengah
Telinga tengah merupakan rongga timpani yang berisi udara. Di dalam
tulang tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yaitu tiga tulang kecil yang
tersusun seperti rantai bersambung dari membran timpani menuju rongga telinga
dalam. Tulang sebelah luar adalah maleus, berbentuk seperti martil. Tulang yang
berada di tengah disebut inkus atau landasan. Tulang stapes atau sanggurdi
dikaitkan pada inkus dengan ujung yang lebih kecil dan dasarnya terkait pada
membran fenestra vestibuli. Tulang-tulang pendengaran ini berfungsi
mengalirkan getaran suara dari gendang telinga menuju rongga telinga dalam.
Prosesus mastoideus adalah bagian tulang temporalis yang terletak di
belakang telinga, sementara ruang udara yang berada pada bagian atasnya adaah
antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah (Pearce,
2009).
Membran timpani memiliki bentuk agak oval dan pada ujung liang
telinga berupa selaput tipis. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung
bila dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars
tensa dan bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak diatas
manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang
berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba eustachius menghubungkan rongga
telinga tengah dengan daerah nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari bagian
tulang atau protimpanum yang terletak dekat rngga telinga tengah dan bagian
tulang rawan yang membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring
(Moller, 2006).
c) Telinga dalam
Rongga telinga dalam berada dalam bagian os petrosum tulang
temporalis. Rongga telinga dalam terdiri atas berbagai rongga yang menyerupai
saluran-saluran dalam tulang temporais. Rongga-rongga itu disebut labirin
tulang dan dilapisi membran sehingga membentuk labirin membranosa (Pearce,
2009).
Telinga dalam labirin terdiri dari koklea dan vestibular Koklea atau
rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari tiga buah
kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang berisi cairan, yaitu skala
5

vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah
koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala
timpani oleh membran basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ corti
yang mengandung sel rambut (Moller, 2006).
Organ corti terdiri dari beberapa sel penunjang, satu sel indera bagian
dalam dan tiga sel indera bagian luar. Sel-sel indera ini berhubungan dengan
membran tektoria. Karena getaran pada stapes terjadi gelombang-gelombang
yang berjalan ke perpilimfa dan endolimfa. Akibatnya, sel rambut dalam duktus
koklearis akan bergerak terhadap membran tektoria. Pergeseran ini akan
merangsang sel-sel rambut luar. Secara berirama sel-sel rambut luar akan
berkontraksi sehingga pergeseran antara membran tektoria dan membran basal
akan diperkuat dan selektivitas frekuensi diperbesar. Akibatnya, timbul
depolarisasi pada sinaps sel-sel rambut bagian dalam. Membran basal bekerja
menerima nada tinggi pada permulaan dan nada rendah pada dibagian akhir atau
helikotrema (Moller, 2006).
Sistem cairan koklea dibagi dengan organ vestibular dan terdiri dari dua
sistem, yaitu sistem perilimfatik, dimana komposisi cairan ionik menyerupai
carian serebrospinal dan endolimfatik yang sistem cairan menyerupai cairan
intraseluler. Dalam koklea ruang endolimfatik dipisahkan dari ruang perilimfatik
oleh membran Reissner dan membran basilar. Komposisi cairan ionik
perilimfatik berfungsi untuk sel-sel rambut. Ruang cairan perilimfatik dari
telinga bagian dalam berkomunikasi dengan cairan serebrospinal dalam rongga
tengkorak melalui saluran cair koklea yang menghubungkan ruang perilimfatik
dengan ruang cairan kranial. Saluran tersebut memiliki diameter 0,05-0,5 mm.
Ruang endolimfatik berkomunikasi dengan kantung endolimfatik melalui
saluran endolimfatik. Kantung endolimfatik merupakan ruang antara dua lapisan
dura meter. Kantung tersebut berada di dekat dinding tengkorak yaitu acousticus
porus. Ketidakseimbangan tekanan pada ruang tersebut dapat menyebabkan
gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan (Moller, 2006).
Peredaran darah di telinga luar dialiri oleh cabang aurikulotemporal
arteri temporalis superfisial di bagian anterior dan di bagian posterior disuplai
oleh cabang aurikuloposterior arteri karotis eksterna. Kavum timpani disuplai
6

oleh berbagai cabang arteri karotis eksterna (arteri meningea media, arteri
faringeal asceden, arteri maksilaris dan arteri stilomastoid). Peredaran darah di
telinga dalam disuplai oleh arteri labirin yang berasal dari arteri anterior inferior
cerebellar atau arteri basilaris. Arteri labirin merupakan akhir dari arteri yang
sedikit atau tanpa suplai darah ke koklea ( Moller, 2006).
2.1.2 Fisiologi Alat Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditankgapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea (Bashiruddin J, 2007). Getaran-getaran tersebut selanjutnya diteruskan
menuju inkus, stapes dan maleus. Gerakan yang timbul pada setiap tulang akan
memperbesar getaran yang kemudian disalurkan melalui fenestra vestibular
menuju perilimfa (Pearce, 2009). Getaran diteruskan melalui membran
Reissner yang mendorong endolmifa sehingga menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria (Bashiruddin J, 2007).
Organ corti menumpang pada membran basilaris sel-sel rambut bergerak
naik turun sewaktu membran basilaris bergetar. Karena rambut-rambut dari sel
reseptor terbenam di dalam membran tektorial yang kaku dan stasioner,
rambut-rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu
membran basilaris menggeser posisinya terhadap membran tektorial. Perubhan
bentuk mekanis rambut yang maju-mundur menyebabkan saluran-saluran ion
gerbang mekanis pada sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian.
Hal ini menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang
bergantian pada frekuensi yang sama dengan rangsangan suara semula
(Lauralee S, 2001).
Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi
gerakan-gerakan berosilasi membran basilaris yang membengkokkan
pergerakan maju mundur rambut-rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk
mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan
(secara bergantian) saluran di sel reseptor yang menimbulkan perubahan
potensial berjenjang di reseptor sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan
pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini,
7

gelombang suara di terjemakan menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan


oleh otak sebagai sensasi suara. (Lauralee S, 2001).

2.2 Jenis Gangguan Pendengaran


1) Gangguan pendengaran konduktif
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang tidak dapat
mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa
gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran,
ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda dan tuba auditiva.
Gejala yang dialami pada gangguan pendengaran konduktif biasanya
berupa adanya cairan yang keluar dari telinga (Bashiruddin J, 2007).
2) Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran sensorineural kelainan teradpat pada koklea
(telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran (Bashiruddin J,
2007).
3) Gangguan pendengaran campuran
Bila gangguan pendengaran atau ketulian konduktif dan sensorineural
terjadi bersamaan. Misalnya, radang telinga tengah dengan komplikasi ke
telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya
tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli
kenduktif) (Bashiruddin J, 2007).
2.3 Cara Pemeriksaan Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui
udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada
murni. Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada
kelainan
di telinga luar dan telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang
telinga, serumen, sumbatan tuba eusachius serta radang telinga tengah. Kelainan
di telinga tengah menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea
(Bashiruddin J, 2007).
Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20-18.000 Hz.
Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh
8

karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan 2048
Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan kualitatif. Bila
salah saut frekuensi ini tergangu penderita akan sadar adanya gangguan
pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala itu, maka
diambil 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara
bising di sekitarnya (Bashiruddin J, 2007).
Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes
Weber dan tes Schwabach secara bersamaan.
1. Tes Rinne: tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang dan
udara. Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus
(dibelakang telinga), setelah tidak mendengar getaran lagi garputala dipindahkan
di depan liang telinga, tanyakan penderita apakah masih mendengarnya (J.F
Gabriel, 1996).
2. Tes Weber: penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis
tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengahtengah gigi seri atau
dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi
(Bashiruddin J, 2007).
3. Tes Schwabach: tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang
melalui verteks atau prosesus mastoideus penderita dengan konduksi tulang
sipemeriksa (J.F Gabriel, 1996).

Tabel 2.1 diagnosa tes rinne,tes weber dan tes schwabach (bashiruddin j, 2007)
Tes rinne Tes weber Tes diagnosis
schwabach
Positif Tidak ada Sama dengan Normal
lateralisasi pemeriksa
Negatif Lateralisasi Memanjang Tuli
ketelinga konduktif
yang sakit
Positif Lateralisasi Memendek Tuli
ke telinga sensorineural
9

yang sehat

1) Tes berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara
kasar. Hal yang perlu diperhatikan adalah ruangan cukup tenang, dengan
panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik adalah 5/6-6/6
(Bashiruddin J, 2007).
2) Audiometri nada murni
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari audiometer
tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk
memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC (hantaran
tulang).
1) Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda
yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah
getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.
2) Intesitas bunyi dinyatakan dalan dB (decibell). Dikenal dengan dB HL
(hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound pressure level).
dB HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan inilah yang biasanya
digunakan pada audiometer, sedang dB SPL digunakan apabila ingin
mngetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika.
3) Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat
ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi
tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis baik AC
maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat
diketahui jenis dan derajat ketulian (Bashiruddin J, 2007).
4) Notasi pada audiogram Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik
AC yang dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa
antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis putus-
putus (intensitas yang diperiksa 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai
warna biru sedangkan telinga kanan warna merah (Bashiruddin J, 2007).
10

Nilai nol audiometrik (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL, yaitu


intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih
dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30
tahun). Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama. (Bashiruddin
J, 2007).
Telinga manusia paling sensitif terhadap bunyi dengan frekuensi 1000 Hz
yang besar nilai audiometrik kira-kira 0,0002 dyne/cm2. Pada frekuensi 2000 Hz
nilai audiometriknya lebih besar dari 0,0002 dyne/cm2. Pada audiogram angka-
angka intensitas dalam dB bukan menyatakan liniar, tetapi merupakan kenaikan
logaritmik secara perbandingan (Bashiruddin J, 2007).
2.4 Tuli Mendadak
2.4.1 Definisi
Tuli mendadak atau sudden deafness adalah tuli yang terjadi secara tiba-
tiba. Jenis ketuliannya adalah sensorineural dan penyebabnya tidak dapat
langsung diketahui. Biasanya terjadi pada satu telinga (Bashiruddin J, 2007).
2.4.2 Etiologi
Menurut Rauch, penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada
10-15% kasus, sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik) (Rauch, 2008). Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh berbagai
hal antara lain iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang
keras, perubahan tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere
dan neuromakustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah
iskemia koklea dan infeksi virus (Bashiruddin J, 2007).

2.4.3 Patogenesis
11

Ada 4 teori postulasi terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi viral labirin,
gangguan vaskular labirin, ruptur membran intrakoklear dan penyakit telinga
dalam yang berhubungan dengan autoimun. Namun setiap jalur teori ini belum
tentu terjadi pada setiap kasus tuli mendadak atau suden deafness.
1) Infeksi viral labirin
Prevalensi menunjukan 7 -13% pasien yang menderita tuli mendadak
sebelumnya menderita infeksi virus (mumps, herpes). Terkadang dapat
ditemukannya histopatologi pada telinga bagian dalam yang menunjukan
adanya infeksi oleh virus. Gambaran histopatologi ditemukan adanya
kerusakan di koklea berupa hilangnya sel–sel rambut dan sel
penyokongnya, atrofi membrane tectorial, atrofi stria vascularis, dan
hilangnya neuron (Marthur, 2015).
2) Gangguan vaskular labirin
Koklea diperdarahi oleh arteri auditiva interna, dimana pembuluh darah
ini merupakan arteri ujung atau end-artery, sehingga bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami
kerusakan. Gangguan vaskular labirin bisa disebabkan oleh adanya
trombus, emboli dan vasospasme yang dapat menyebabkan penurunan
suplai darah ke koklea sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan
terganggu (iskemia koklea) yang menyebabkan perubahan tekanan
oksigen perilimfe (Marthur, 2015).
3) Ruptur membran intrakoklear
Membran ini memisahakan telinga tengah dan telinga dalam. Pada
koklea membran ini juga memisahkan ruang perilimfe dan endolimfe.
Ruptur dari salah satu atau kedua membran ini dapat menyebabkan tuli
mendadak. Kebocoran cairan perilimfe ke telinga tengah melalui tingkap
lonjong dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Ruptur membran
intrakoklear menyebabkan bercampurnya cairan perilimfe dan endolimfe
sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea (Marthur, 2015).
4) Penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun
12

Pada sebuah studi terhadap 51 pasien yang mengalami tuli mendadak,


ditemukan adanya keterlibatan penyakit autoimun dan tuli mendadak
(Marthur, 2015).

2.4.4 Gejala Klinis


Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau
menahun secara tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang
dalam serangan, tetapi biasanya menetap. Tuli yang bersifat sementara
biasanya tidak berat dan berlangsung lama. Tuli dapat unilateral atau bilateral,
dapat disertai dengan tinitus dan vertigo. Pada infeksi virus, timbulnya tuli
mendadak biasanya pada satu telinga, dapat disertai tinitus dan vertigo.
Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus seperti, parotis, varisela,
variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus tersebut. Pada
pemeriksaan klinis tidak terdapat kelainan telinga (Bashiruddin J, 2007).
2.4.5 Klasifikasi derajat gangguan pendengaran
Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International
Standard Organization (ISO) dan American Standard Association (ASA).

Tabel 2.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran


Derajat gangguan ISO ASA
pendengaran
Pendengaran normal 10-25 dB 10-15 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat berat Lebih 90 dB Lebih 80 dB

2.4.6 Diagnosa
13

Menurut Guidline American Academy of Otolaryngology-Head and


Neck Surgery, langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan
tuli sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes
penala, pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ketulian
atau hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural,
atau campuran. Tuli konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar,
membran timpani, rongga udara telinga tengah, atau tulang pendengaran,
struktur yang menghantarkan gelombang suara ke koklea. Sementara itu, tuli
sensorineural disebabkan oleh adanya abnormalitas koklea, saraf auditorik, dan
struktur lain yang mengolah impuls neural ke korteks auditorik di otak
(Stachler R.J et al, 2012).

2.4.7 Penatalaksanaan
1) Vasodilantasia yang cukup kuat misalnya dengan pemberian
complamin injeksi disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral
tiap hari.
2) Prednison (kortikosteroid) 4x10 mg (2 tablet), tapering off tiap 3 hari
3) Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari
4) Neurobion (neurotonik) 3x1 tablet/hari
5) Diet rendah garam dan rendah kolestrol
6) Obat anti virus sesuai dengan virus penyebab (Bashiruddin J, 2007).

2.4.8 Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu:
kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat
tuli saraf dan adanya faktor predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan
pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila sudah lebih 2
minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan dapat
sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh, hal ini disebabkan oleh
karena faktor konstitusi pasien seperti pasien yang pernah mendapat pengbatan
obat ototoksik yang cukup lama, pasien diabetes melitus, pasien dengan kadar
lemak darah yang tinggi, pasien dengan viskositas darah yang tinggi dan
14

sebagainya, walaupun pengobatan diberikan pada stadium yang dini


(Bashiruddin J, 2007).
Pasien yang cepat mendapat pemberian kortikosteroid atau vasodilator
mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi, demikian pula dengan
kombinasi pemberian steroid dengan heparinisasi dan karbogen serta steroid
dengan obat fibrinolitik. Usia muda mempunyai angka perbaikan yang lebih
besar dibandingkan usia tua (Bashiruddin J, 2007).
15

BAB III
KESIMPULAN

Tuli mendadak atau sudden deafness penyebab spesifiknya belum diketahui pasti,akan
tetapi tuli mendadak bisa dipengaruhi oleh gangguan pendengaran konduktif , gangguan
pendengaran sensorik atau maupun keduanya,dan untuk saat ini bisa dianggap etiologinya
adalah iskemia koklea dan infeksi virus.
DAFTAR PUSTAKA

Arslan, N., Oguz, H., Demirci, M., Safak, MA, Islam, A., Kaytez, SK, & Samim, E.
2011. Penggunaan steroid intratimpani dan sistemik gabungan untuk gangguan
pendengaran sensorineural mendadak idiopatik. Otologi &
Neurotologi , 32 (3), 393-397.

Bashiruddin, J., Soetirto I. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal.46.

Cho, C. S., & Choi, Y. J. 2013. Prognostic factors in sudden sensorineural hearing
loss: a retrospective study using interaction effects. Brazilian journal of
otorhinolaryngology, 79(4), 466-470.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No. 879. 2006. Rencana strategi nasional
untuk mencapai sound hearing 2030. Jakarta: Kemenkes.

Lauralee, S. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Mathur, Neeraj N. 2015. Sudden Hearing Losss. Diakses dari:


http://emedicine.medscape.com/article/856313-overview#showall

Moller AR. 2006. Hearing. Anathomy,Physiology, and Disorders of the auditory


system. Second edition. Elsevier Inc: School of Behavioral and Brain Sciences
University of Texas at Dallas.

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia.

Rauch, S. D. 2008. Idiopathic sudden sensorineural hearing loss. New England


Journal of Medicine, 359(8), 833-840.
Stachler R. J., Chandrasekhar S. S., Archer S. M., Rosenfeld R. M., Schwartz S. R.,
Barrs DM. 2012. Clinical practice guideline sudden hearing loss. American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck
Surg. 146:S1.

Topuz, E., Yigit, O., Cinar, U., & Seven, H. (2004). Should hyperbaric oxygen be
added to treatment in idiopathic sudden sensorineural hearing loss?. European
Archives of Oto-Rhino-Laryngology and Head & Neck, 261(7), 393-396.

Anda mungkin juga menyukai