Dakwah
Dakwah
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai
kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka
melaksanakan ibadah kepada Allah. Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka,
akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada
Allah, maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang
menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi
dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan
1
siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin
muwahhid (yang mengesakan Allah).
Ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika perbuatan itu diniatkan sebagai
qurbah (pendekatan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah itu. Bahkan adat
kebiasaan yang dibolehkan secara syari’at (mubah) dapat bernilai ibadah jika diniatkan
sebagai bekal untuk taat kepada-Nya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari
nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar)
maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala.
Ibadah adalah perkara tauqifiyah. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang
disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan
berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi :
“Barang siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” (HR.
Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Kemudian manhaj (jalan) yang benar dalam melaksanakan ibadah yang disyari’atkan adalah
sikap pertengahan. Tidak meremehkan dan malas, serta tidak dengan sikap ekstrim dan
melampaui batas.
Ketika Rasulullah mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam
ibadah, dimana seorang dari mereka berkata, “Saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka”,
2
yang kedua berkata, “Saya akan shalat terus dan tidak tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya
tidak akan menikahi wanita”, maka beliau bersabda, “Adapun saya, maka saya berpuasa dan
berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barang siapa tidak
menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku.” (HR. Bukhari no. 4675
dan Muslim no. 2487)
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar sentral, yaitu: hubb (cinta), khauf
(takut) dan raja’ (harapan). Rasa cinta (hubb) harus dibarengi dengan sikap rasa rendah diri,
sedangkan khauf (takut) harus dibarengi dengan raja’ (harapan). Dalam setiap ibadah harus
terkumpul unsur-unsur ini.
Cinta kepada Allah menempati tingkatan paling utama dan paling pokok bagi seorang
muslim. Bukti paling nyata cinta seorang hamba kepada Allah yaitu berupa ketaatan terhadap
segala perintah-Nya, ikhlas dalam menjalankan perintah tersebut, dan senantiasa berusaha
melaksanakan dengan sebaik mungkin. Pilar ibadah yang kedua adalah rasa takut (khauf).
Perasaan khauf yang lemah akan mendorong seseorang untuk lalai dan berani mengerjakan
dosa, sedangkan berlebihan dalam khauf akan menyebabkan kelemahan semangat dan
keputusasaan. Seorang mukmin tidak mungkin terlepas dari rasa takut (khauf) meskipun
masih lemah. Adapun kelemahan rasa khauf-nya akan bergantung pada kelemahan imannya.
Keberadaan rasa harap (raja’) dalam ibadah akan menumbuhkan rasa optimis bagi seorang
hamba karena hamba berharap agar amalnya diterima, berharap agar dimasukkan ke dalam
surga, berharap agar dosanya diampuni, berharap agar mendapatkan ridha dan pahala dari
Allah. Rasa harap (raja’) berbeda dengan angan-angan (tamanny) yang disertai dengan
kemalasan dimana pelakunya tidak pernah berusaha dan bersungguh-sungguh. Adapun rasa
harap adalah perasaan yang disertai dengan usaha dan tawakkal kepada Allah. Oleh karena
itu, para ulama sepakat bahwa raja’ tidaklah sah kecuali disertai dengan adanya usaha.
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali
dengan ada syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil
2. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah
Syarat pertama adalah merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik. Sedangkan syarat
yang kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena wajibnya taat
3
kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang
diada-adakan. Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an,
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia,
dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu
disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat
dihitung jumlahnya. Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan
membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan
manusiawi.
4
ك َو ِم ْن ك َماتَح ُْو ُل بَ ْينَنَا َوبَي َْن َمع ِ
ْصيَتِ َ اَللَّهُ َّم ا ْق ِس ْم لَنَا ِم ْن َخ ْشيَتِ َ
بصائِ َ ك َو ِم َن ْاليَقِي ِْن َماتُهَ ِّو ُن بِ ِه َعلَ ْينَا َم َ ك َما تُبَلِّ ُغنَابِ ِه َجنَّتَ َ طَا َعتِ َ
ارنَا َوقُ َّوتِنَا َما أَحْ يَ ْيتَنَا َواجْ َع ْلهُ ص ِ ال ُّد ْنيَا .اَللَّهُ َّم َمتِّ ْعنَا بِأ َ ْس َما ِعنَا َوأَ ْب َ
ص ْيبَتَنَا فِى ث ِمنَّا َواجْ َع ْلهُ ثَأْ َرنَا َعلَى َم ْن َعاداَنَا َوالَ تَجْ َعلْ ُم ِ ار َْال َو ِ
ط َعلَ ْينَا َم ْن ِد ْينِنَا َوالَ تَجْ َع ِل ال ُّد ْنيَا أَ ْكبَ َر هَ ِّمنَا َوالَ َم ْبلَ َغ ِع ْل ِمنَا َوالَ تُ َسلِّ ْ
الَ يَرْ َح ُمنَا
ك َوأَتُوبُ إِلَ ْي َ
ك ك أَ ْستَ ْغفِ ُر َ
ك اللَّهُ َّم َوبِ َح ْم ِد َ ُس ْب َحانَ َ
Sumber:
1. Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-
Sunnah yang Shahih. Pustaka At-Taqwa 3rd Ed. 2006.
5