Anda di halaman 1dari 4

Politik di Balik Konflik Sunni-

Syiah
By Suara Muhammadiyah
6 April, 2020

Muhammad Yuanda Zara

Tak lama setelah Nabi Muhammad saw wafat, konflik pecah dalam tubuh
umat Islam yang baru saja ia bentuk. Konflik ini, yang menempatkan
pengikut Sunni vis-à-vis penganut Syiah, terus menjadi garis yang
memisahkan keyakinan keagamaan dan pandangan politik umat Islam di
seantero bumi. Keduanya saling menyalahkan dan mencela yang lainnya,
yang berujung pada stereotip, pengabaian, diskriminasi hingga yang paling
buruk: pertumpahan darah. Setelah Islam berusia satu setengah milenium,
jejak-jejak konflik ini masih terasa.

Pertanyaan soal siapa yang sepatutnya menggantikan Nabi sebagai


pemimpin umat menjadi pangkal sengketa yang melahirkan Syiah. Kalangan
Sunni percaya bahwa sahabat Nabi, Abu Bakar, adalah sang penerus,
sementara kaum Syiah yakin bahwa menantu Nabi-lah, Ali, yang pantas
berada di posisi itu. Perselisihan berubah menjadi perang, yang memuncak
dengan terbunuhnya putra Ali, Hussein oleh serdadu Umayyah yang Sunni.

Dewasa ini, mayoritas umat Islam di seluruh dunia menganut paham Sunni,
sementara negara berpenduduk mayoritas Syiah bisa dihitung dengan jari—
Iran, Irak, Azerbaijan dan Bahrain. Namun, konflik di antara pengikut kedua
cabang Islam ini masih tetap eksis sebagaimana tampak di Suriah, Irak, Arab
Saudi dan Iran.
Dari permukaan tampak bahwa konflik ini bertendesi relijius dan dikatakan
merupakan kelanjutan dari konflik soal suksesi yang telah berusia selama
1.400 tahun. Namun sebagian pengamat Timur Tengah memandang bahwa
pernyataan konflik Sunni-Syiah adalah konflik agama merupakan mitos.
Bahkan ada yang mempersoalkan istilah “konflik SunniSyiah” atau “perang
1.400 tahun” itu sendiri, dengan menyebutnya sebagai kekeliruan dan
manipulasi sejarah karena sebenarnya yang terjadi adalah konflik antar
kelompok atau penguasa politik di antara penganut Sunni dan Syiah di abad
ke-20 dan 21, di mana mereka yang terlibat menggunakan bahasa teologis
Sunni versus Syiah sebagai medium untuk memobilisasi sentimen massa dan
membangun persekutuan lintasnegara. Pandangan soal konflik selama
ratusan tahun ini juga berbahaya karena bisa menyulut api konflik di
kawasan di luar Timur Tengah di mana komunitas Sunni dan Syiah sudah
hidup dengan berdampingan.

Ada beberapa akar konflik penganut Sunni-Syiah yang sama sekali bukan
berasal dari perbedaan keyakinan keagamaan di antara mereka. Di sisi lain,
pengikut Sunni dan Syiah punya jauh lebih banyak hal yang menyamakan
daripada memisahkan mereka. Lagipula, selama berabad-abad, jauh lebih
banyak cerita soal penganut Sunni dan Syiah—serta juga pengikut agama-
agama lainnya—yang hidup damai dan berdampingan daripada kisah soal
perselisihan dan kekerasan.

Oleh sebab itu, membaca peta konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah haruslah
dengan menempatkannya dalam situasi geopolitik kawasan. Sesudah konflik
antara Dinasti Umayyah dengan keturunan Ali, yang juga kerap dirujuk
sebagai bukti konflik Sunni-Syiah adalah perang antara Turki Usmani yang
Sunni dan Safavid yang Syiah pada abad ke-16. Walau orientasi keagamaan
masing-masing dari mereka adalah Sunni dan Syiah, namun mereka
sebenarnya berperang lantaran memperebutkan wilayah, karena nyatanya
setelah sempat berperang, mereka bisa berdamai.
Demikian pula di abad ke-20. Konflik Sunni dan Syiah dewasa ini sebenarnya
lebih banyak berkutat pada perebutan hegemoni regional di antara Arab
Saudi yang Sunni—dan negara-negara Sunni lain yang lebih kecil yang
berada di bawah pengaruhnya—dan Republik Islam Iran yang Syiah, yang
berupaya menjadi pemain dominan di kawasan, baik di era Shah maupun di
era Revolusi Islam. Pendeknya, yang terjadi kini adalah sebuah perang
dingin era modern antara Arab Saudi dan Iran, sebuah perang bermotifkan
politik dan bukan agama.

Revolusi Islam Iran tahun 1979 telah mengubah konstelasi kekuasaan di


Timur Tengah dengan naiknya para ulama Syiah ke puncak kekuasaan.
Penganut Syiah di Irak, Lebanon dan Suriah memandang revolusi ini sebagai
bagian dari kebangkitan mereka. Orangorang Syiah yang hidup di bawah
penguasa Sunni di negara-negara Arab kerap merasa terpinggirkan sehingga
kemunculan Revolusi Islam adalah harapan baru bagi mereka. Iran
memberikan bantuan pada berbagai kelompok pro-Syiah di kawasan.
Namun, di beberapa negara di Teluk di mana Sunni berkuasa, termasuk Arab
Saudi dan Irak, ini dipandang sebagai ancaman. Kebangkitan Iran juga
mengkhawatirkan bagi AS yang punya banyak kepentingan dan sekutu di
kawasan.

Yang terbaru, pada awal Januari 2016, ketegangan antara Iran dan Saudi
kembali memuncak saat ulama dan aktivis Syiah Saudi, Nimr al-Nimr,
dieksekusi di Arab Saudi. Peristiwa ini memicu penjarahan kedutaan Saudi di
Iran, yang lalu dibalas Saudi dengan pemutusan hubungan diplomatik
dengan Iran. Sementara bagi sebagian kalangan peristiwa semacam ini
dengan cepat dikaitkan dengan persoalan sektarianisme Sunni-Syiah di Arab
Saudi, pandangan yang lebih serius menekankan bahwa ini sesungguhnya
adalah persoalan politik kekuasaan di kawasan.

Salah satunya, dikemukakan Marc Lynch, guru besar politik di Universitas


George Washington, yang menyebut meningkatnya sektarianisme setelah
peristiwa di atas harus dipahami sebagai bagian dari upaya lama di dalam
negeri Saudi untuk memobilisasi perasaan antiIran, dengan tujuan agar Iran
tetap terisolasi secara internasional. Saudi merasa kekuatan regionalnya
akan tergerus bila pembicaraan soal nuklir Iran yang tengah dilakukan oleh
Iran dan AS berakhir dengan sukses karena itu artinya Iran akan mendapat
reputasi dan pengaruh di level regional dan internasional dengan
mengorbankan posisi Saudi.

Banyak pihak yang khawatir apabila konflik SunniSyiah, sebagaimana


direpresentasikan oleh konflik IranArab Saudi dewasa ini, tetap diletakkan
dalam kerangka keagamaan atau sektarianisme, karena itu artinya
kesempatan untuk mencari penyelesaiannya akan sangat sulit. Bila demikian,
kata seorang pengamat, hanya dua jalan yang tersedia, yakni konflik yang
berkepanjangan atau pergantian rezim.

Kabar buruknya, kedua situasi ini bisa membawa perselisihan politik bilateral
ke level yang lebih masif dan berbahaya. Maka, relevan di sini seruan MUI
pada Juni 2017 lalu saat menanggapi krisis Qatar, bahwa semestinya prinsip
mengendalikan diri, menggunakan musyawarah, dan perdamaian (islah)
harus dikedepankan guna meredakan ketegangan, mencegah intervensi
asing dan, pada akhirnya menghindari dunia dan peradaban Islam dari
kehancuran.

Anda mungkin juga menyukai