Anda di halaman 1dari 96

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN

HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

Disusun Oleh:
KELOMPOK LEGISLATIF DRAFTING FH-UMM

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................1
A. Latar Belakang .............................................................1
B. Identifikasi Masalah.....................................................10
C. Tujuan dan Kegunaan.................................................10
D. Metode dan Kerangka Penulisan..................................11
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS................15
A. Kajian Teoritis..............................................................15
1. Teori Keadilan.........................................................15
2. Teori Perlindungan Hukum,....................................19
3. Teori Negara Hukum...............................................22
4. Teori Sistem Hukum...............................................29
5. Tinjauan Umum Tentang Masyarakat Hukum Adat 30
a. Pengertian dan Hak Masyarakat Hukum Adat....30
b. Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam
Instrumen Hukum Internasional........................37
6. Tinjauan Tentang Peran Serta Masyarakat..............40
7. Tinjauan Tentang Pengolahan Lingkungan Hidup...42
8. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa................44
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan
Penyusunan Norma.....................................................45
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat................52
D. Kajian Terhadap Implikasi Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat ............................................54
BAB III.EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG –
UNDANGAN TERKAIT.................................................57
BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS...71
A. Landasan Filosofis.......................................................71
B. Landasan Sosiologis.....................................................73
C. Landasan Yuridis.........................................................73
BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG.......78
A. Sasaran.......................................................................78
B. Arah dan Tujuan.........................................................78
C. Ruang Lingkup Materi Muatan....................................79
1. Ketentuan Umum....................................................79
2. Materi Yang Diatur..................................................81
a. Asas...................................................................81
b. Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat....83
c. Tanggung Jawab Pemerintah.............................83
d. Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.....84
e. Pengolahan Sumber Daya Alam.........................84
f. Peran Serta Masyarakat.....................................84
g. Satgas Masyarakat Hukum Adat........................85
h. Penyelesaian Sengketa.......................................85
D. Ketentuan Peralihan....................................................86
E. Ketentuan Penutup......................................................87
BAB VI. PENUTUP...................................................................88
A. Kesimpulan.................................................................88
B. Saran...........................................................................89
DAFTAR PUSTAKA..................................................................90
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara Kepulauan
(Archipelagic State) terbesar di dunia.Berdasarkan survey geografi
dan toponimi pada tahun 2010 jumlah pulau di Indonesia adalah
sebanyak 13.466.1Jumlah tersebut berjajar dari Sabang sampai
Merauke berikut keanekaragaman dan kemajemukan hayati,
suku, adat, dan budaya. Hampir disetiap wilayah di Indonesia
memiliki ragam budaya adat istiadat yang berbeda, dan dalam
setiap adat tersebut terkandung sistem nilai, pengetahuan, dan
kepercayaan yang tumbuh dan dilestarikan selama beratus-ratus
tahun lamanya, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali
diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai
murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih
mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar
memberikan pengertian masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah
tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang
tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para
anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu
untuk selama – lamanya.2
Maria S.W. Sumardjono3 juga mendefinisikan bahwa
hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di
wilayah tertentu dengan rasa solidaritas yang besar di antara

1
http://nationalgeographic.co.id pada 30 Juli 2016.
2
Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hal.
30.
3
Dalam MartuaSirait, dkk., Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat
dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, Southeast Asia Policy Research
Working Paper, No. 24, hal. 5.
anggotanya dan memandang yang bukan anggota sebagai orang
luar, menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang
hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya,
pemanfaatan oleh orang luar harus dengan izin dan pemberian
imbalan tertentu berupa recognisi.
Lebih dalam lagi Satjipto Rahardjo4 mengambarkan bahwa
hukum adat itu beranyaman dan berkelindan kuat dengan
budaya setempat. Kata “budaya” disini menunjukan adanya
unsur emosional-tradisional yang kuat dari hukum adat. Ia juga
merupakan hukum yang sangat sarat dengan penjunjungan
nilai-nilai (value laden) tertentu.Bahkan di wilayah-wilayah
tertentu di Indonesia, seperti Aceh, bagi para pemeluknya,
hukum adat adalah identik dengn hukum agama. Maka dengan
menerima dan menjalankan hukum adat, orang sekaligus merasa
berbudaya.Gambaran Satjipto tersebut dapat disederhanakan
dengan pendapat Von Savigny bahwa hukum adat adalah
cerminan jiwa rakyat.
Jadi, dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa hukum adat merupakan cerminan masyarakat Indonesia
sekaligus merupakan hukum asli Indonesia yang dibentuk oleh
masyarakat Indonesia secara turun temurun berdasarkan value
consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan
hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa
keadilan mereka.
Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk
“masyarakat hukum adat”, dalam beberapa literatur dan
peraturan perundang-undangan terdapat dua penyebutan istilah
masyarakat adat, yaitu ada yang menyebutnya “masyarakat adat”
dan ada juga yang menyebut “masyarakat hukum adat”.5Menurut
Taqwaddinistilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan
digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak
difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis. Sedangkan

4
Satjipto Raharjo.Hukum Adat Dalam Kesatuan Republik Indonesia (prespektif
sosiologi hukum), dalam Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi Republi
Indonesia, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, hal. 45-46.
5
Lisman Sumardjani, 2007, Konflik Sosial Kehutanan, Bogor:Working Group
on Forest Land Tenure, hal. 1.
istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan
dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang
mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional. 6istilah
masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people.
Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam
sejumlah kesepakatan internasional, seperti Convention of
International Labor Organixation Concerning Indigeneous and
Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi CariOca
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de
Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal
People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme
Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on
Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin
resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on
the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.Walaupun
demikian, perbedaan peristilahan tersebut tidak menafikan atau
menegaskan hak-hak adat yang dimiliki oleh masyarakat yang
bersangkutan.
Secara Konstitusional pengakuan bangsa Indonesia
terhadap masyarakat hukum adat ditegaskan dalam Pasal 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum Adat besertahak-hak
tradisionalnyasepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NegaraKesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.‟. Kemudian dalam
pasal Pasal 28Iayat(3) UUD Negara RI 1945 bahwa “Identitas
budayadan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal ini, memberikan posisi konstitusif pada masyarakat
hukum adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi
landasan konstitusional bagi pihak penyelenggara negara,
bagaimana seharusnya sebuah komunitas adat diperlakukan.

6
Taqwaddin, 2010, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat
Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas
Sumatera Utara, hlm. 36.
Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang
kewajiban konstitusional bagi negara untuk mengakui dan juga
menghormati masyarakat adat, dan juga sebagai hak
konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan
serta penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya.
Pengaturan masyarakat hukum adat diterjemahkan ke
dalam beberapa peraturan perundang-undangan.Adapun
beberapa peraturan yang mengatur tentang masyarakat hukum
diantaranya adalah TAP MPR. No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41 Tahun
1999 tentang kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Namun yang menjadi permasalahan adalah beberapa
peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat secara parsial,
ambivalen, dan inkonsistensi.Artinya pengaturan mengenai
masyarakat hukum adat tersebar di beberapa peraturan
perundang-undangan yang mana antara peraturan yang satu
dengan lainnya tidak konsisten. Misalnya dalam penjelasan pasal
67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 memberikan unsurtersendiri
terkait masyarakat hukum adat, sementara dalam pasal 63 ayat
(1) huruf e UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa
penentuan unsur-unsur dan klasifikasi masyarakat hukum adat
merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Kemudian contoh lain
sikap ambivalen terkait masyarakat hukum adat tercermin dalam
UUPA. Pada suatu sisi, UUPA secara tegas menyatakan bahwa
hukum adat merupakan sumber dari hukum agraria nasional
kita. Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat hukum adat
yang merupakan konteks sosio kultural lahirnya hukum adat
tersebut dibebani dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat
atau lambat membuka peluang untuk dinafikannya masyarakat
hukum adat tersebut.
Hemat penulis, keseluruhan peraturan yang ada belum
mampu menjangkau permasalahan masyarakat hukum adat
mengenai kebutuhan tentang berbagai hal. Masyarakat hukum
adat hanya dijadikan objek oleh sektor-sektor tertentu, bukan
subjek yang harus dilindungi. Keadaan tersebut menimbulkan
beberapa permasalahan krusial, yaitu: Pertama, hak-hak
masyarakat hukum adat rentan tercederai. Keberadaan dan
eksistensi masyarakat yang memudar dan sudah hampir terkikis
oleh perkembangan zaman saat ini tentu juga akan berdampak
pada masyarakat hukum adat dalam beberapa aspek, dan
bahkan dapat dimanfaatkan oleh oknum yang memiliki
kepentingan pribadi. Salah satu contohnya jika masyarakat
hukum adat keberadaannya melemah maka perlindungannya
pun akan diselewengkan seperti hak mereka atas tanah adat
suatu saat nanti bukan sesuatu yang tidak mungkin akan usik
oleh oknum berkepentingan untuk dibangun dalam hal
perindustriannya seperti pabrik atau perusahaan yang lainnya.
Hak-hak mereka tentu akan tercidera jika perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat tidak segera dibenahi dan ditegakkan
sebagaimana mestinya.
Kedua, banyaknya konfilk yang terjadi. Hak-hak
masyarakat hukum adat yang tercederai sebagaimana dijelaskan
sebelumnya jika dibiarkan terus-menerus akan berdampak pada
timbulnya konflik. Konflik yang terjadi bisa masyarakat hukum
adat dengan perusahaan swasta atau bahkan konflik masyarakat
hukum adat dengan pemerintah. Jika konflik tersebut dibiarkan
secara terus-menerus maka akan mengganggu stabilitas
persatuan Indonesia.
Konflik yang pernah terjadi terkait dengan masyarakat
hukum adat dimulaisekitar tahun 1960. Sebelumnya pengakuan
konstitusional terhadap masyarakat hukum adat ini tidak
banyak dipersoalkan, apalagi digugat. Sebagian faktor
penyebabnya adalah oleh karena jaminan tersebut dianggap
sudah seyogyanya demikian, sebagian lagi oleh karena Republik
masih sibuk dengan perang kemerdekaan.
Namun perlindungan terhadap eksistensi dan hak
masyarakat hukum adat ini merosot tajam sejak tahun 1960,
seiring dengan meningkatnya kepentingan negara terhadap
sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam
wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau
Jawa. Masyarakat adatpun tidak berdiam diri, terhadap
pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak
tradisionalnya itu. Di seluruh Nusantara telah terjadi kritik,
protes, bahkan perlawanan terbuka, dari warga masyarakat
hukum adat, yang pada umumnya gagal untuk dalam
mempertahankan esksistensi dan hak-hak tradisionalnya itu.
Seperti dapat diduga, mereka tidak berada pada posisi yang
dapat membela diri, karena tidak mempunyai akses pada
kekuasaan, baik pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun
yudikatif.
Adapun beberapa konflik yang pernah terjadi terkait
dengan masyarakat hukum adat adalah:
1. Konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara
dengan Pengelola Taman Nasional Rawa Opa
Watumohai pada Kawasan Konservasi. Dalam sejarah
Sulawesi Tenggara, masyarakat adat Moronene
merupakan suku asli tertua yang mendiami daratan
Sulawesi Tenggara, di samping orang Tolaki dan
Mekongga. Masyarakat adat Moronene menyebar hingga
6 kecamatan. Masyarakat adat Moronene di Kecamatan
Rumbia terbagi atas 11 tobu (wilayah adat).
Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan sebutan
Mokole. Mereka telah mengelola wilayah leluhurnya di
HukaEka, Lampopala dan sekitarnya sejak tahun 1920-
an. Selain perkampungan lahan digunakan untuk
kebun, lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun
jati, tambak bersama pada muara-muara sungai,
kuburan dan lain-lain. Pada tahun 1952, 1953 serta
tahun 1960 mereka terpaksa mengungsi meninggalkan
tanah leluhurnya karena gangguan keamanan oleh
gerombolan dan kini mereka tinggal berpencar pada
kampung-kampung sekitarnya setelah beberapa kali
dikumpulkan dan dipindahkan. Akses masyarakat adat
tersebut atas kebun dan usaha tani serta padang
pengembalaan telah mulai dibatasi dengan
ditetapkannya sebagai Taman Buru pada tahun1972.
Pada tahun 1980 wilayah tersebut menjadi calon
Taman Nasional, kemudian pada tahun 1990 ditunjuk
sebagai Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Proses
pengambilalihan lahan di dalam kawasan hutan
tersebut berlangsung tanpa melalui proses
musyawarah. Perjuangan masyarakat adat untuk
mendapatkan pengakuan atas hak-hak adatnya
dilakukan sejak tahun 1987 dengan menulis surat
secara berulang-ulang kepada Wakil Presiden RI serta
Pimpro TN. Kesepakatan lisan dengan Tim Gabungan
Pemda TK II yang diketuai oleh KakanSospol tanggal 16
Desember 1997 disepakati, bahwa masyarakat tetap
tinggal di kampungnya dan memanfaatkan hasil kebun
dan hutan sebagaimana biasanya sambil menunggu
pembicaraan dengan pimpinan. Usaha-usaha negosiasi
damai yang diprakarsai oleh masyarakat adat dalam
mempertahankan hak adatnya justru menimbulkan
intimidasi, pengusiran, penyerbuan, penangkapan
disertai tembakan beruntun dan pembakaran kampung
serta kebun mereka di HukaEna dan Lampopala secara
berulang-ulang (30 Maret 1998 dan 23 Oktober 1998)
12 hari setelah kesepakatan lisan tersebut dilakukan.7
2. Konflik pada masyarakat adat Dayak Simpang, di
Kalimantan Barat pada Hutan Produksi Terbatas
Konflik masyarakat adat Simpang ini berbentuk
tumpang tindih peruntukan lahan dan pemberian ijin
usaha bagi perusahaan atas wilayah adatnya.

7
Besse Sugiswati, Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat
di Indonesia,Jurnal Perspektif, Volume XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi Januari, hal.
33
Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan,
terlihat bahwa di wilayah masyarakat adat tersebut
terdiri atas 8.894 ha hutan cadangan, 2.848 ha tanah
pertanian, 11.200 ha kebun campuran, 81 ha wilayah
pemukiman (total 23.023 Ha), setengah dari lahan itu
menurut RTRWP-Kalbar 2008 menjadi Kawasan
Budidaya nonKehutanan sedangkan sebagian lagi
menjadi Kawasan Budidaya Kehutanan (HPT pada
TGHK 1982). Lebih dari itu, wilayah tersebut telah
dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada
tahun 1997 diberikan bagi beberapa Perusahaan
Kehutanan (HPH PT Inhutani II, HPHTI TTJ, PT GDB)
dan Perkebunan (P PMK, BSP II, dan PT KOI). Sehingga
tidak ada lagi kepastian serta jaminan bagi masyarakat
adat atas hak-hak adatnya (wewenang atas wilayah,
kelembagaan serta pola pengelolaan sumber daya alam)
yang telah dilakukan secara turun-temurun (Kanyan
1999 draft III) (Martua Sirait, dkk, hal 17).8
3. Konflik yang terjadi di Muara Tae, Kabupaten Kutai
Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Sampai saat ini
konflik perampasan tanah wilayah adat tersebut masih
belum menemukan titik terang, pasalnya masyarakat
kedua kampung yakni kampung Muara Tae dan
kampung Muara Ponaq tetap bersikukuh mengklaim
hutan adat Utaq Melinau yang saat ini menjadi tempat
beraktifitasnya perusahaan sawit, PT. Borneo Surya
Mining Jaya (PT. BSMJ) dan PT. Munte Waniq Jaya
Perkasa sebagai wilayah masing-masing komunitas.
Konflik mencuat ketika pada bulan Mei 2012 lalu,
melalui Surat Keputusannya, Bupati Kutai Barat, Ismail
Thomas menetapkan wilayah adat Muara Tae masuk
menjadi bagian dari wilayah kampung Muara Ponaq
padahal sejak turun-temurun wilayah tersebut
termasuk sebagai wilayah adat Muara Tae. 9

8
Martua Sirait, dkk. dalam Besse Sugiswati, Ibid, hal. 34
9
www.aman.or.id. Diakses pada 31 Juli 2016
Ketiga,keberadaan masyarakat hukum adat semakin
memudar. Keberadaan masyarakat hukum adat sudah ada
sebelum negara Indonesia merdeka sampai saat ini adalah
merupakan wujud nyata dari eksistensi masyarakat hukum adat
tersebut. Tidak hanya diakui secara lisan namun juga
keberadaan mereka diakui secara nasional yakni dalam Undang-
Undang Dasar 1495 hasil amandemen mendapat pengakuan dan
penghormatan, termaktub dalam Pasal 18B ayat 2. Pasal ini
memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam
hubungannya dengan negara, bagaimana komunitas
diberlakukan.
Derasnya arus globalisasimembawa dampak ke seluruh
aspek kehidupan, bukan hanya dalam bidang teknologi, tapi juga
pada tatanan sosial masyarakat, khususnya eksistesnsi
masyarakat hukum adat. Kesadaran untuk tetap manjaga
keberadaan masyarakat hukum adat tidak dapat mengiringi
derasnya arus globalisasi. Banyak adat istiadat bahkan hukum
adat itu sendiri sudah tidak diindahkan lagi sehingga bukan hal
yang tidak mungkin jika suatu saat masyarakat hukum adat
akan memudar atau bahkan menghilang.
Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pembaharuan
terhadap peraturan yang ada saat ini dapat menjadi kunci dalam
menyelesaikan konflik dan masalah yang ada pada masyarakat
hukum adat. Sehingga dapat menjamin hak-hak masyarakat
hukum adat akan kebutuhannya. Dengan pemenuhan hak-hak
masyarakat hukum adat maka terjadinya konflik akan dapat
dihindari. Selaras dengan sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia bentuk peraturan tertulis merupakan sumber hukum
yang primer. Bentuk hukum tertulis lebih menjamin pemenuhan
kepastian hukum bagi masyarakat.
Selain itu adanya peraturan baru yang secara konprehensif
mengatur masyarakat hukum adat adalah dalam rangka
melaksanakan amanat Konstitusi, yaitu pasal 18B UUD Negara
RI Tahun 1945 dan putusan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-V/2007 yang mengamanatkan pengaturan
masyrakat hukum adat dengan Undang-Undang.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum
Adat diatur secara komprehensif ?
2. Bagaimana menyelaraskan Masyarakat Hukum Adat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia ?
3. Apa landasan dan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis terkait pembentukan Undang – Undang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ?
4. Apa sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah
pengaturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat ?

C. Tujuan dan Kegunaan


Adapun tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah
sebagi berikut :
1. Untuk merumuskan peraturan Masyarakat Hukum Adat
secara komprehensif
2. Untuk memberikan rumusan berkaitan dengan penyelarasan
Masyarakat Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia
3. Merumuskan pertimbanganatau landasan filosofis, sosiologis,
dan yuridis dalam pembentukan Rancangan Undang –
Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan pengaturan dalam Rancangan
Undang – Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat

D. Metode dan Kerangka Penulisan


1. Pendekatan Masalah
Pada dasarnya penyusunan naskah akademik ini
didasarkan pada penelitian hukum doktrinal (doctrinal legal
research) atau metode yuridis normatif, yakni penelitian yang
menggunakan pendekatan hukum dalam makna “law in the
book”.Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penyusunan
yang dilakukan menggunakan pendekatan perundang-
undangan.Dalam pendekatan perundang-undangan penyusun
perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan, bahkan hingga aspek ontologis lahirnya
undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio
legis dari ketentuan undang-undang.Jika dasar ontologis dan
landasan filosofis berkaitan dengan suatu undang-undang
secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salah satu
ketentuan dari suatu undang-undang yang diacu dalam
menjawab isu hukum yang dihadapi penyusun.
Penelitian yang demikian diawali dengan melakukan
studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan
yang berkenaan dengan Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat dengan menggunakan perspektif
hukum. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam
masyarakat. Norma hukum yang berlaku itu berupa hukum
positif, kodifikasi, Undang-Undang, serta asas-asas hukum
secara umum.

2. Jenis dan Sumber Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian dogmatik, yang menurut pandangan Peter
Mahmud Marzuki, berdasarkan sifatnya penelitian ini
termasuk jenis penelitian preskriptif yang mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-
konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian ini juga
bersifat terapan, yaitu menggunakan ilmu hukum dalam
menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-
rambu dalam melaksanakan aturan hukum.10

10
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hal. 22.
Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa
penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk
memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber
penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat
dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa
bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder.Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.Bahan-
bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi.Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. 11Dalam
penelitian ini seluruh bahan hukum primer dan sekunder
berkaitan dengan produk hukum di bidang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang tentunya dijaga
ketat relevansinya dalam penelitian dimaksud.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Kegiatan pengumpulan sumber penelitian berupa bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian
ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi)
bermacam peraturan perundang-undangan, artikel, maupun
dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian
dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat. Oleh
karena itu bahan hukum yang menjadi materi dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang
terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan
hirarki.

11
Ibid. hal.155.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang
dapat memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, yaitu bahan hukum diperoleh dari
buku teks, jurnal baik nasional maupun
internasional, doktrin para ahli, surat kabar, berita
internet, dan rumusan pendapat para ahli.
c. Bahan hukum tertier, yaiu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelesan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus hukumdan lain-lain.
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan teknik
studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan
hukum yang diperlukan, khususnya berkaitan dengan
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

4. Analisis Sumber hukum


Bahan hukum yang diperoleh dari kajian kepustakaan,
peraturan perundang-undangan, dan artikel yang dimaksud
penulis menguraikan dan menghubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematik
guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara
deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi. Sebuah analisis dengan menggunakan
premis mayor berdasarkan Undang-Undang (Hukum Positif)
sebagai ketentuan umumnya dan premis minor dalam hal
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis dan menarik
konklusi atau kesimpulan atas taraf sinkronisasi kedua
premis tersebut untuk melihat pola penyelenggaraan
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat agar
dapat menjadi bahan acuan dan pertimbangan hukum yang
berguna dalam penyusunan konsep Rancangan Undang-
Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis
1. Teori Keadilan
Pembicaraan mengenai keadilan telah dimulai sejak
berabad-abad lalu, yaitu pada masa-masa filsuf pertama
yunani kuno sekitar abad ke-VI Sebelum Masehi 12dan
pembicaraan tentang keadilan terus berkembang dalam
nuansa perdebatan yang rumit dan sengit dengan berbagai
macam persepektif dalam pendekatanya, baik etika, politik,
hukum, sosial dan sebagainya. Jika ditelaah secara
etimologisdalam Bahasa Indonesia keadilan berasal dari kata
“adil” dengan awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata “adil” itu
sendiri berasal dari Bahasa Arab“al ‘adl” yang artinya
sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan
hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan
kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm dan
sebagainya.13 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia “adil” mempunyai arti 1. sama berat; tidak berat
sebelah; tidak memihak, 2. berpihak kepada yang benar;
berpegang pada kebenaran; 3. sepatutnya; tidak sewenang-
wenang.14 Dengan imbuhan “ke” dan “an” – menjadi keadilan
– menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat
(perbuatan, perlakuan, dsb) yg adil.
Keadilan menurut para ahli15 juga memiliki berbagai
makna yang berbeda-beda pada masing-masing ahli. Untuk
mengetahui pengertian keadilan menurut para ahli, terlebih
dahulu perlu diketahui teori-teori keadilan yang mereka
jelaskan. Hal ini menjadi perlu karena umunya para ahli
tersebut tidak langsung memberikan konsep keadilan secara

12
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta:
PT. Kanisius, hal. 19.
13
Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John
Rawls), http://www.safaat.lecture.ub.ac.id. Diakses pada 6 Agustus 2016.
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Luar Jaringan.
15
Para ahli yang dimaksud penulis ialah ahli-ahli dibidang filsafat etika, ahli
hukum, dan ahli politik.
definitif. Mereka hanya merumuskan jenis-jenis keadilan,
prinsip-prinsip keadilan, atau metode untuk mencapai
keadilan. Sehingga, berdasarkan teori-teori tersebut dapat
dirumuskan pengertian atau batasan keadilan menurut
mereka. Sebagaimana disampaikan di awal bahwa
pembahasan tentang keadilan telah dimulai pada masa
Yunani kuno. Para filsuf periode awal Yunani tersebut,
membicarakan keadilan dengan bertitik tolak pada Alam
Semesta sebagai variabel independen, yang mana manusia
merupakan varibel dependen dari Alam Semesta.
Sebagaiamana pendapat Anaximander bahwa keharusan
alam dan hidup kurang dimengerti manusia yang ia
(manusia) adalah bagian dari alam semesta. Tapi yang jelas,
bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan
keharusan alamiah. Bila itu terjadi, timbulah keadilan (dike).
Lebih lanjut, Herakleitos berpendapat bahwa memang
kehidupan manusia harus disesuaiakan dengan keteraturan
Alam Semesta, namun juga harusdihubungkan dengan Logos
(akal-budi. pen16).17 Keadilan menurut dua filsuf diatas dapat
diartikan sebagai pengolahan oleh akal-budi manusia
terhadap keteraturan alam semesta.
Pada masa berikutnya Plato memberikan pendapat
tentang keadilan sebagai suatu kesatuan yang harmonis
antara kelas-kelas yang ada dalam suatu negara. Dalam
filsafatnya tentang keadilan (khususnya keadilan dalam
suatu negara), Plato mengelompokan rakyat dalam suatu
negara menjadi kelas-kelas atau golongan-golongan, yaitu : 1)
sofia yakni golongan yang mempunyai kebijaksanaan yang
berperan untuk membentuk pemerintahan, 2) andreia yakni
golongan yang mempunyai keberanian atau kelas para
tentara yang berperan untuk menjaga negara, 3) soophrosune
yakni kelas dengan keterampilan tertentu yang berperan
menggerakan roda perekonomian dalam negara. Kelas ini

16
Logos sering diartikan sebagai ilmu, pengetahuan, wacana, topik atau
pembicaraan, pembahasan, namun dalam hal ini logos dimaksudkan oleh penulis
sebagai akal-budi atau kebijaksanaan manusia menurut akal sehatnya.
17
Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Op. Cit.
misalnya para pedagang, tukang, dan petani. 18Keharmonisan
akan tercapai apabila masing-masing kelas tersebut berkerja
menurut tempat dan tugasnya masing-masing, setelah itu
maka timbulah keadilan. Lain halnya dengan Aristitoteles
yang membagi keadilan menjadi dua yakni : keadilandalam
arti umum dan keadilan dalam arti khusus. Keadilan dalam
arti umum Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur
yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing
bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar
hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum
adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat
dengan kepatuhan terhadap hukum 19. Sedangkan keadilan
dalam arti khusus berkaitan dengan beberapa hal, yakni : 1)
Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau
uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian
haknya, 2) Perbaikan suatu bagian dalam transaksi.
Lain ladang, lain pula rumputnya, lain orang lain pula
pemikiranya. Demikian halnya dengan John Rawls yang
memiliki konsepsi berbeda dengan Plato dan Aristoteles
tentang keadilan. Bagi Rawls bidang utama keadilan adalah
susunan dasar masyarakat yang meliputi: konstitusi,
pemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi, pasar
kompetitif, dan susunan keluarga monogami. Pandangan
Rawls menitikberatkan pada hal-hal tersebut karena
susunan dasar masyarakat atau institusi sosial tersebut
mempunyai pengaruh yang mendasar terhadap aspek-aspek
kehidupan manusia, juga dalam perilaku, keputusan dan
penilaian individual.20Susunan dasar masyarakat tersebut
berfungsi untuk mendistribusikan beban dan keuntungan
sosial kepada seluruh masyarakat. Keuntungan sosial yang
dimaksud dapat berupa kekayaan, pendapatan, makanan,
kewibawaan, perlindungan, harga diri, dan kekuasaan.

18
Ibid, hal. 23. Lihat juga Mawardi, Keadilan Sosial Menurut John Rawls,
Program Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, hal. 42-43.
19
Muchamad Ali Safa’at, Op.Cit.,
20
Anil Dawan, Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls dan
Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di Indonesia,
Beban sosial dapat berupa bea dan pajak. Struktur dasar
masyarakat yang dapat mendistribusikan seluruh
keuntungan dan beban secara merata adalah susunan dasar
masyarakat yang asli. Susunan dasar masyarakat yang asli
inilah yang dimaksud oleh Rawls sebagai susunan
masyarakat yang adil. Permasalahanya adalah bagaiamana
cara untuk merumuskan dan memberikan landasan pada
sederetan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah
struktur dasar masyarakat yang adil? Permasalahan inilah
yang diistalahkan oleh Rawls sebagai Problem Utama
Keadilan. Prinsip-prinsip sosial tersebut diharapkan akan
mampu menetapkan bagaimana struktur masyarakat dapat
mendistribusikan prospek mendapatkan “hak-hak dasar”
(yaitu: hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan,
kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan). Dalam
struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan tersebut
bertugas mengerjakan dua hal, yaitu: pertama, memberi
penilaian yang konkret tentang adil tidaknya institusi-
institusi dan praktek-praktek institusional. Kedua, harus
membimbing kita dalam mengembangkan kebijakan-
kebijakan dan hukum yang mengoreksi ketidakadilan dalam
struktur dasar masyarakat tersebut.21
Guna menjawab problem utama keadilan tersebut Rawls
memberikan prinsip-prinsip keadilan yang dapat menjadi
solusi atas permasalahan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut
yakni: pertama setiap orang harus memiliki hak yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
yang sama bagi semua orang, kedua ketidaksamaan sosial
dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga: (a)
diharapakan memberikan keuntungan bagi setiap orang, (b)
semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang 22.
Terkait dengan prinsip kedua tersebut, dapat dijelaskan
bahwa dalam masyarakat perlu diakui terdapat pihak yang
kurang diuntungkan atau lemah, dan terdapat pula pihak

Ibid.
21

Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi : Telaah Filsafat Politik John
22

Rawls, Yogyakarta: PT. Kanisius, hal. 73.


yang diuntungkan yaitu mereka yang kuat baik secara sosial
maupun ekonomi. Dengan diaukuinya dua bentuk diferensi
tersebut susunan dasar masyarakat harus diatur untuk
memberikan keuntungan sebesar-sebesarnya kepada mereka
yang kurang beruntung, dengan terwujudnya hal tersebut
maka akan tercapai kesempatan kepada semua orang untuk
menempati suatu jabatan atau posisi tertentu. Untuk lebih
jelasnya, akan dicontohkan “A adalah seorang anak yang
berbakat dan memiliki potensi untuk menjadi seorang pilot
namun ia berasal dari keluarga miskin sehingga tidak
mampu untuk membiyai pendidikan di sekolah penerbangan,
dilain sisi B adalah anak orang kaya dan juga memiliki
potensi seperti si B untuk masuk sekolah pilot” menurut
prinsip perbedaan (difference principle) institusi sosiol harus
mampu menjamin si A mendapat peluang yang sama seperti
si B. Dengan demikian si A dan B akan mendapat peluang
yang sama kendati keduannya berasal dari latar belakang
ekonomi yang berbeda. Maka dapat dikatakan bahwa
pengertian keadilan menurut Rawl adalah ketika hak dan
kewajiban terdistribusi secara seimbang sehingga setiap
orang mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh
hak-hak dasarnya. Terhadap tiga teori keadilan diatas, dalam
penelitian ini penulis lebih cenderung untuk menggunakan
teori keadilan John Rawls.
2. Teori Perlindungan Hukum
Istilah perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris,
yaitu legal protection theory; sedangkan dalam bahasa
Belanda disebut dengan Van de wettlijke besherming dan
dalam bahasa jerman disebut dengan Theori der rechtlie
Schultz. Secara gramatikal, perlindungan adalah :
a. Tempat berlindung;
b. Hal (Perbuatan) Memperlindungi.
Memperlindungi menyebabkan atau menyebabkan
berlindung. Arti berlindung sendiri adalah menempatkan
dirinya supaya tidak terlihat, bersembunya, atau meminta
pertolongan. Sementara itu, pengertian melindungi meliputi:
menutupi dirinya supaya tidak tampak, menjaga, merawat,
atau memelihara, menyelamatkan atau memberikan
pertolongan.23
Sedangkan Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat
bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan
harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan.24
a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum preventif merupakan hasil teori
perlindungan hukum yang diutarakan oleh Philipus.
Perlindungan hukum ini memiliki ketentuan-ketentuan
dan ciri tersendiri dalam penerapannya.  Pada
perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum
mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan
dan pendapatnya sebelum pemerintah memberikan hasil
keputusan akhir (definitif).Perlindungan hukum ini
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam
melakukan sesuatu.Perlindungan ini diberikan oleh
pemerintah untuk mencegah suatu pelanggaran atau
sengketa sebelum hal tersebut terjadi.Karena sifatnya
yang lebih menekankan kepada pencegahan, pemerintah
cenderung memiliki kebebasan dalam bertindak sehingga
mereka lebih hati-hati dalam menerapkannya.Belum ada
peraturan khusus yang mengatur lebih jauh tentang
perlindungan hukum tersebut di Indonesia.Tujuannya
adalah mencegah terjadinya sengketa.
Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya
bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan pada
kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan
hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk
bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang

23
H. Salim. HS & Erelies Septina Nurbani, 2016, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta:Rajagrafindo Persada, hal. 259.
24
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adiministrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hal. 287.
didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada
pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum
preventif.25
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif juga merupakan hasil
teori dari Philipus, tetapi ini memiliki ketentuan-
ketentuan dan ciri yang berbeda dengan perlindungan
hukum preventif dalam hal penerapannya. Pada hukum
represif ini, subyek hukum tidak mempunyai kesempatan
untuk mengajukan keberatan karena ditangani langsung
oleh peradilan administrasi dan pengadilan umum. Selain
itu, ini merupakan perlindungan akhir yang berisi sanksi
berupa hukuman penjara, denda dan hukum tambahan
lainnya.Perlindungan hukum ini diberikan untuk
menyelesaikan suatu pelanggaran atau sengketa yang
sudah terjadi dengan konsep teori perlindungan hukum
yang bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak manusia dan diarahkan
kepada pembatasan-pembatasan masyarakat dan
pemerintah.Perlindungan hukum yang represif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan
hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi
di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini.
Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya
konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban
masyarakat dan pemerintah.
Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum
terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara
hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan

25
Ibid.
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat
tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari
negara hukum.26
3. Teori Negara Hukum
Istilah negara hukum selain dikenal dengan istilah
rechtsstaat dan rule of law, juga dikenal istilah Nomocracy
yang artinya sama dengan negara hukum. Istilah rechstaat
dikenal dalam konsep Eropa Kontinental, sedangkan istilah
Rule Of Law dikenal dalam konsep Anglo Saxon.
Secara formal istilah negara hukum diartikan sama
dengan rechstaat maupun rule of law, mengingat ketiga
istilah tersebut mempunyai arah yang sama, yakni mencegah
kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak
asasi. Perbedaannya terletak pada arti materil atau isi ketiga
istilah tersebut yang disebabkan oleh latar belakang sejarah
dan pandangan hidup suatu bangsa.
Jimly Asshiddiqie menggunakan istilah nomocracy
sebagai padanan istilah negara hukum, bahwasannya
gagasan, cita dan ide negara hukum tersebut saling terkait
dengan konsep rechstaat dan rule of law, serta nomocracy
yang berasal dari kata nomos dan cratos atau kratien dalam
demokrasi. Nomos yang berarti norma dan kratos yaitu
kekuasaan. Faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan yaitu norma dan hukum. Karena itu, istilah
nomocracy erat kaitannya dengan kedaulatan hukum yang
memiliki prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. 27
Dari pandangan diatas, dapat dipahami bahwa istilah
negara hukum dikenal dengan beberapa istilah yang
ketiganya memiliki arti yang sama dengan negara hukum,
inti dari rumusan tersebut adalah hukum yang berlaku
dalam suatu negara hukum harus terumus secara
demokratis dan memang dikehendaki oleh rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi.

26
Ibid, hal. 289
27
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, hal. 298.
Kajian negara hukum sudah dimulai dari negara hukum
klasik, yaitu Nomokrasi Plato (427-347 SM) dan Negara
Hukum Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW
(570-632). Gagasan negara hukum Plato (427-347 SM)
tentang nomokrasi. Saat itu, katanya negara harus dipimpin
oleh orang bijak (the philosophers) dan membagi warga negara
menjadi tiga lapisan masyarakat, yaitu: the perfect guardians
(kaum filosof yang bijak bestari), the auxiliary guardian
(golongan pembantu seperti militer dan teknokrat), dan the
ordinarypeople (kaum petani dan pedagang).28
Negara Hukum Madinah didirikan oleh Nabi Muhammad
SAW (570-632) sekitar kurun waktu 622-632 yang
merupakan tipe ideal negara hukum yang didasarkan pada
perjanjian masyarakat. Didirikannya Negara Hukum Madinah
bermula pada perjanjian Aqabah pertama tahun 620 dan
perjanjian Aqabah kedua tahun 621.29
Kemudian, lahirlah cikal bakal negara hukum modern
dan bentuk konkritnya lahir konsep rechtstaat yang
dirumuskan oleh filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804)
dan konsep rule of law)yang dirumuskan filosof Inggris
A.V.Dicey, yang merupakan gagasan untuk menjamin hak
asasi dan pemisahan kekuasaan.
Kemudian, konsep rechstaat berkembang dalam suasana
liberalisasi dan kapitalisme pada abad ke – 18 yang
dirumuskan oleh Immanuel Kant(1724 -1804) dalam
menjabarkan paham laissez faire laissez aller dan
nachwachtersstaat, untuk menjamin kehidupan setiap
individu,30 yang diinspirasi oleh teori pemisahan kekuasaan
Monterquieu yang lahir untuk menghindari pemusatan
kekuasaan yang dapat mendorong terjadinya kesewenang –
wenangan berkaitan dengan paham demokrasi dari
Rousseau.

28
Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad
Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 82-83.
29
Musdah Mulia, 2001, Negara Islam Pemikiran Politik Husayn Haykal,
Jakarta: Paramadina, hal. 61.
30
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 90.
Unsur – unsur negara hukum yang digagas oleh
Immanuel Kant (1724-1804) dan yang dikembangkan oleh
Friedrich Stahl, yaitu: (1) Adanya jaminan perlindungan hak
asasi manusia (2) Adanya pemisahan dalam kekuasaan
negara (3) Setiap tindakan negara harus didasarkan atas
undang – undang yang telah ditetapkan terlebih dahulu (4)
Adanya peradilan administrasi negara.31
Kemudian konsep negara hukum (rechtstaat)
dikembangkan lagi oleh S.W. Couwenberg menjadi sepuluh
unsur seperti yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon, yaitu
sebagai berikut:32
a. Pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil,
pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan
khusus perorangan, dan pemisahan antara hukum
publik dan privat.
b. Pemisahan antara negara dan gereja.
c. Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil.
d. Persamaan terhadap undang-undang.
e. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan
negara dan dasar sistem hukum.
f. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dan
sistem checksand balances.
g. Asas legalitas.
h. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan
kehakiman yang tidak memihak dan netral.
i. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
penguasa oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak
dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakkan
prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.
j. Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat
teritorial maupun vertikal.
Berbeda dengan di atas M. Scheltema seperti dikutip
oleh Bagir Manan yang menyebutkan bahwa negara
berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama,

31
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, hal. 75.
32
Ibid, hal. 91.
yaitu: (1) Asas kepastian hukum (2) Asas persamaan (3) Asas
demokrasi (4) Asas pemerintah dibentuk untuk melakukan
pelayanan terhadap masyarakat.33
Beda dengan rechtsstaat, the rule of law yang dimulai
dikembangkan di Inggris dan berkembang pula di Amerika
Serikat. Perkembangannya di Amerika Serikat dalam
government of judiciary, yang oleh W. Friedman mempunyai
dua arti, yaitu formal dan materiil. Arti formal adalah
kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power)
dan setiap negara modern memiliki rezim hukum sendiri-
sendiri. Arti material adalah pemerintahan oleh hukum yang
berkeadilan (the rule ofjust law), sedangkan oleh pelopor
utamanya A.V. Dicey, the rule of law mempunyaitiga unsur,
yaitu: supremacy of law, equality before the law, and the
constituionbased on individual rights.34
Frederich Julius Stahl, mengemukakan tentang konsep
negara hukum yang ditandai oleh empat unsur pokok yaitu: 35
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi
manusia
b. Negara didasarkan pada teori trias politik
c. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan Undang –
Undang (wetmating bestuur); dan
d. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh
pemerintah (onrechtmatig eovergheidsdaad)
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl tersebut
dinamakan negara hukum formil, karna lebih menekankan
pada pemerintahan yang berdasarkan undang – undang.
Negara dalam arti formal sempit (klasik) ini adalah negara
yang kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada
pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum,
seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis

33
Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung:
LPPM Unisba, hal. 5.
34
A. Mukhtie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia
Publishing, Jawa Timur.
35
Miriam Budiardjo dalam Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji
Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, hal.33.
( undang – undang ) yaitu, hanya bertugas melindungi jiwa,
benda, atau hak asasi warganya secara pasif, tidak campur
tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan
kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan
ekonomi adalah prinsip “laiesez faire laiesizealler”.
Namun, seiring dengan perkembangan pemerintahan
yang berdasarkan undang – undang dirasa lamban dan
kemudian diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan
prinsip rechmatig bestuur. Dengan demikian, negara hukum
formil menjadi menjadi negara hukum materiil dengan ciri
rechmatig bestuur. Kemudian lahirlah konsep – konsep yang
merupakan varian dari rechtsstaat itu, antara lain
welvaarsstaat dan verzorgingsstaat sebagai negara
kemakmuran. Populer diistilahkan dengan welfarestaat
modern.36 Negara dalam arti materiil (luas modern) ialah
negara yang terkenal dengan istilah welfare state (welvaar
stat), (wehlfarstaat), yang bertugas menjaga keamanan dalam
arti kata seluas – luasnya, yaitu kemanan sosial (sosial
security) dan menyelenggarakan kessejahteraan umum,
berdasarkan prinsip – prinsip hukum yang benar dan adil
sehingga hak – hak asasi warga negaranya benar – benar
terjamin dan dilindungi.37
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang
di gagas oleh founding people 38
yang dirumuskan pada Pasal
1 Ayat 3 UUD NRI 1945 perubahan ke - 4 yang menegaskan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat)”. Selanjutnya, ditegaskan juga bahwa
“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang – Undang Dasar”. Selain itu juga dirumuskan pada
Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat yang menegaskan
bahwa “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan

36
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Human
Rights in Democratiche Rechtsstaat), Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42
37
A. Mukhtie Fadjar, Op.Cit.
38
Menurut Mahfud MD, para pendiri Negara Indonesia yang merumuskan
pembentukan negara tidak hanya terdiri laki – laki, namun ada beberapa
perempuan yang turut serta dalam pembentukan negara, sehingga beliau
menyatakan sebagai founding people daripada founding father.
Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”.39
Sehubungan dengan konsep negara hukum diatas,
sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia
identik dengan rechtstaat. Hal itu dapat dilihat pada
penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat).
Pengertian rechstaats disamakan dengan “negara
berdasarkan atas hukum” karena negara Indonesia
merupakan negara hukum menurut Gautama40 dan setiap
tindakan harus didasarkan pada hukum.
Menurut Oemar Seno Adji, sebagai Negara Hukum
Indonesia memiliki cirri – ciri khas Indonesia. Oleh karena
itu Pancasila diangkat sebagi dasar pokok dan sumber
hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula
dinamakan negara Hukum Pancasila.41
Dalam telaahnya Padmo Wahyono menjelaskan
pengertian Negara Hukum Pancasila dengan bertitik pangkal
dari asas kekeluargaan, yang tercantum dalam UUD NRI
1945 (asas ini tetap ada meskipun UUD 1945 telah
diamandemen, vide Pasal 33). Asas kekeluargaan tersebut
pada dasarnya yang diutamakan adalah “rakyat banyak,
namun harkat martabat manusia tetap dihargai.42
Sedangkan menurut Sri Soemantri,43 menjelaskan
Negara Hukum Indonesia secara lebih transparan bahwa
salah satu unsur Negara Hukum Indonesia adalah
melaksanakan tugas dan kewajibannya selalu berdasar pada
hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian, sudah
semestinya aparat penegak hukum maupun pejabat
39
Lihat selengkapnya Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
40
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung:
Penerbit Alumni, hal.3
41
Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum : Suatu Studi tentang
Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari SegiHukum Islam, Implementasi pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang,hal. 69.
42
Ibid, hal.69-70.
43
Sri Soemantri, (tanpa tahun), Negara Kekeluargaan Dalam Pandangan
Pancasila, makalah SESKOAD ABRI.
administrasi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
mempertimbangkan pula hukum tidak tertulis disamping
hukum tertulis.
Selanjutnya, Sunaryati Hartono menyamakan arti istilah
“negara hukum dengan rule of law, sebagaimana dalam
tulisannya “supaya tercipta suatu negara hukum yang
membawakeadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan,
penegakan rule of law itu harus dalam arti materiil.44
Menurut Philipus M. Hadjon45 menjelaskan bahwa
negara hukum tidak begitu saja dipersamakan dengan
rechtstaats maupun rule of law, dengan alasan:
a. baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar
belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau
perjuanganmenentang kesewenangan penguasa,
sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan
berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk
kesewenangan atau absolutisme;
b. baik konsep rechtsstaat maupun rule of law
menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan
Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral
adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan
rakyat berdasarkan asas kerukunan;
c. untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat
mengedepankan prinsip wetmatigeheid dan rule of law
mengedepankan prinsip equality before the
law,sedangkan Negara Republik Indonesia
mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan
antara pemerintah dan rakyat.
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam
salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut,
namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem
hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan

44
Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Bandung: Alumni, hal.
35.
45
Philipus M. Hadjon, Op.Cit., hal. 84-85
sistem hukum di Indonesia banyak terpengaru oleh sistem
hukum continental (rechtstaats).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Sunaryati
hartono menyatakan bahwa pada masa kini diatas pancasila
dan UUD 1945 berdiri tata hukum Indonesia yang pluralistis
yang tersusun atas sistem hukum adat, sistem hukum islam,
sistem hukum nasional dan sistem hukum barat.46
4. Teori Sistem Hukum
Sistem Hukum adalah suatu kesatuan komponen-
komponen didalam hukum, yang dimana masing-masing
komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang
lain. Hukum sebagai sebuah system, yang di dalamnya
memiliki komponen-komponen yang saling bekerja
sedemikian rupa sehingga membentuk pola dengan ciri
khasnya sendiri.47
Umumnya para ahli berpendapat bahwa dalam system
hukum terdapat tiga komponen penting yang saling
melengkapi dan saling ketergantungan.Komponen-komponen
tersebut meliputi Komponen Struktur (Struktur of Law),
Komponen Substansi (Substance of the Law), Komponen
Kultur (Legal Culture).48
Struktur, Bagian-bagian penting dari system hukum yang
bergerak dalam suatu mekanisme.Yang termasuk di dalam
komponen ini adalah lembaga-lembaga pembuat
hukum/Undang-undang, para pekerja hukum, Biro bantuan
Hukum, serta Lembaga-lembaga lain yang diberi wewenang
untuk menjalankan Hukum.
Substansi, Perangkat hukum/aturan hukum itu sendiri,
hal ini menyangkut kualitas isi hukumnya.Isi hukum
dianggap berkualitas ketika sesuai dengan aspirasi dan rasa
keadilan Masyarakat.Hukum yang baik adalah jenis hukum
yang responsif, bukan represif.Hukum-hukum yang

46
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung: Alumni,hal. 61.
47
Wasis, 1998, Pengantar Ilmu Hukum, Malang:UMM Press.
48
Ibid.,
dimaksud secara substansial berbentuk macam-macam, ada
yang berbentuk Konkreto dan Abstracto, Privat dan Publik.
Kultur, komponen ini menyangkut soal tingkat kesadaran
Hukum yang ada di Masyarakat. Dalam proses penegakan
hukum, komponen ini juga sangat berpengaruh, sebab akan
menentukan apakah hukum yang diberlakukan dapat ditaati
atau tidak.49
5. Tinjauan Umum tentang Masyarakat Hukum Adat
a. Pengertian Dan Hak Masyarakat Hukum Adat
Istilah Masyarakat Hukum Adat telah digunakan
dalam berbagai peraturan perundang-undagan
diantaranya aialah UU No. 5 Tahun 1950 tentang
Agraria, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan dan lain sebagainya. Istilah
masyarakat hukum adat juga dikenal dalam kajian
tentang hukum adat (adatrecht) yang pertama kali
dikenalkan oleh Cornelis Van Vollenhoven.Pengertian
Masyarakat Hukum Adat baik secara yuridis maupun
secara doktrinal mendapat rumusan yang berbeda.
Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut Ter
Haar ialah kelompok masyarakat yang teratur, menetap
di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri,
dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda
yang terlihat maupun yang tidak terlihat. 50Sedangkan
menurut Hazairin masyarakat hukum adat ialah
kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri,
yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa,
dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
bersama atas tanah air bagi semua anggotanya. 51Juga
para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam
AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai
49
Ibid.,
50
Mr. B. Ter Haar Bzn, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: PT. Pradnya Paranita, hal. 7.
51
Soerjono Soekanta & Soleman B. Taneko, 1983, Hukum Adat Indonesia,
Cetakan Ke-II, Jakarta: PT. Rajawali Press, hal. 108.
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.52 Definisi lain tentang masyarakat adat
juga dikemukakan oleh Maria Rita Ruwiastuti bahwa
masyarakat adalah kelompok masyarakat yang
leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat
itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria
diatur oleh hukum adat setempat.53
Secara yuridis pengertian Masyarakat Hukum Adat
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 1 angka 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup
disebutkan bahwa Masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang
kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan
hukum. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Permendagri
No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menyatakan
bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara
Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup
berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan/atau
kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat
dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah
tertentu secara turun temurun. International Labour
Organizationdalam Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989,

52
Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hal.
30.
53
Maria Rita Ruwiastuti, 2000, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar
Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Yogyakarta; Kerjasama Insist Press,
KPA dan Pustaka Pelajar, hal. 177.
merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang
berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi
sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka
dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut,
dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian
oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau
dengan hukum dan peraturan khusus.
Dari beberapa pengertian Masyarakat Hukum Adat
tersebut maka, dalam penelitian ini penulis mengartikan
masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun temurun bermukim dan menguasai
wilayah geografis tertentu, dan memiliki ikatan karena
asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal,
serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum.
Selanjutnya perlu untuk dipaparkan kriteria
masyarakat hukum adat masyarakat hukum adat.
Menurut H.M. Koesnoe54 menyatakan bahwa masyarakat
adat hendaknya memperhatikan hal-hal yang menjadi
pertanyaan yang jawabannya akan menjadi kriteria ada
atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut:
a. Apakah dalam territori yang bersangkutan ada
kelompok yang merupakan satu kesatuan yang
terorganisir.
b. Sebagai kelompok yang demikian apakah
organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati
oleh para anggotanya.
c. Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan
tanah yang bersangkutan (seperti sudah berapa
generasi).
d. Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang
hegemony dalam kehidupannya sehingga kelompok
itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan
hukum.

H. M. Koesnoe, 2000, Prinsip – prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Surabaya:


54

Ubaya Press, hal. 34.


e. Bagaimana menurut tradisinya asal–usul kelompok
itu sehingga merupakan satu kesatuan dalam
lingkungan tanahnya.
Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (2) Permendagari
No. 52 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Identifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Menurut pasal ini bahwa untuk dalam proses
pemberian pengakuan atas masyarakat hukum adat,
dilakukan identifikasi terhadap masyarakat hukum adat
dengan acuan sebagaiman disebut diatas. Maka poin-
poin tersebut dipadankan oleh penulis sebagai kriteria
keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Apabila unsur-
unsur pengertian masyarakat hukum adat dipadukan
dengan kriteria masyarakat hukum adat sebagaimana
yang telah dipaparkan, maka didapat kriteria
masyarakat hukum adat sebagai berikut :55
a. Terdapat masyarakat yang teratur;
b. Menempati suatu tempat tertentu;
c. Ada kelembagaan;
d. Memiliki kekayaan bersama;
e. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu
keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah;
f. Hidup secara komunal dan gotong royong.
Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat
menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi
International Labour Organization (ILO) Tahun 1986
meliputi :

55
Syarifah M, 2010, Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi
Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Tesis Ilmu
Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, hal.
21.
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
b. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
c. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan
ekonomi;
d. Hak atas pendidikan;
e. Hak atas pekerjaan;
f. Hak anak;
g. Hak pekerja;
h. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
i. Hak atas tanah, Mayarakat adat memiliki hak atas
tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-
sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara
tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-
wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah
digunakan atau yang telah didapatkan (Pasal 26
ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat
Adat)
j. Hak atas persamaan;
k. Hak atas perlindungan lingkungan;
l. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;
m. Hak atas penegakan hukum yang adil.
Sedangkan menurut hukum posistif Indonesia hak-hak
MHA :
No Peraturan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat
.
1. Undang-undang Hak-hak tradisional masyarakat
PEMDA hukum adat
2. Undang-undang a. Pengakuan dan perlindungan
HAM lebih berkenaan dengan
kekhususannya
b. Identitas budaya masyarakat
hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat
3. Undang-undang a. Hak atas hutan adat
Kehutanan b. Mengelola kawasan untuk
tujuan khusus
c. Melakukan pemungutan hasil
hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang
bersangkutan
d. Melakukan kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-
undang
e. Mendapatkan pemberdayaan
dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya
4. Undang-undang Hak ulayat masih dianggap hidup
Sumber Daya Air apabila memenuhi tiga unsur:
a. Unsur MHA
b. Unsur wilayah
c. Unsur hubungan antar MHA
dengan wilayahnya
5. Undang-undang Memperoleh ganti rugi hak atas tanah
Perkebunan mereka yang digunakan untuk konsesi
Masyarakat Adat perkebunan
6. Undang-undang Hak-hak masyarakat adat, masyarakat
Pengelolaan Wilayah tradisional, dan kearifan lokal atas
Pesisir dan Pulau- wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-
temurun. Diberikan dalam bentuk hak
pengusahaan perairan pesisir (HP-3)
7. Undang-undang Keberadaan masyarakat adat, kearifan
Perlindungan dan lokal, dan hak-hak masyarakat adat
Pengelolaan dalam perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup. lingkungan hidup.

Berikut adalah hak-hak tradisional MHA yang dibagi


menjadi dua yaitu hak atas tanah MHA dan hak diluar
hak atas tanah masyarakat hukum adat:
a. Hak Atas Tanah MHA
MHA dengan tanah yang dikelolanya memiliki
hubungan yang bersifat religius magis sehingga
mengakibatkan MHA memiliki hak untuk menguasai,
memanfaatkan, memungut hasil tumbuh-tumbuhan
dan berburu di wilayah tanah tersebut.Hak diatas
biasa disebut dengan Hak ulayat.
Berikut adalah cara-cara yang dilakukan oleh
MHA dalam memelihara dan mempertahankan hak
ulayatnya:
- Persekutuan membuat batas-batas disekeliling
wilayah kekuasaannya
- Menunjuk pejabat-pejabat tertentu untuk
mengawasi wilayah yang bersangkutan
- Dilakukannya surat-surat pikukuh atau piagam
raja terdahulu yang dikeluarkan sebagai putusan
hakim
b. Hak Lain diluar Hak Atas Tanah MHA
Menurut Teuku Djuned, setiap persekutuan MHA
mempunyai hak kewenangan asal-usul, yang berupa
kewenangan dan hak-hak:
1) Menjalankan sistem pemerintahan sendiri;
2) Menguasai dan mengelola SDA dalam wilayahnya
untuk kemaslahatan warganya
3) Bertindak ke dalam mengatur dan mengurus
warga serta lingkungannya. Keluar bertindak atas
nama persekutuan sebagai badan hukum;
4) Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang
menyangkut lingkungannya, hak membentuk adat;
5) Hak menyelenggarakan sejenis peradilan.56
Sedangkan menurut Abdon Nababan terdapat
empat kategori hak masyarakat hukum adat yang
sering disuarakan, yakni :57

1) Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan)


dan mengelola (menjaga, memanfaatkan) tanah
dan sumber daya alam di wilayah adatnya;

56
Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, hal. 103.
57
http://epistema.or.id.Diakses pada 1 Agustus 2016.
2) Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan
hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-
aturan adat yang disepakati bersama oleh
masyarakat adat;
3) Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan
sistem kepengurusan/kelembagaan adat;
4) Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan
(agama), sistim pengetahuan(kearifan) dan bahasa
asli.
b. Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam
Instrumen Hukum Internasional
Melihat dari sangat pentingnya keberadaan
masyarakat hukum adat dalam sebuah negara, yang
mana masyarakat hukum adat juga dianggap sebagai
salah satu cerminan identitas negara, maka
perlindungan yang kini diberikan tidak hanya dalam
ruang lingkup nasional. Mengingat perlindungan
terhadap masyarakat hukum adat dalam hukum
nasional kurang dapat memberikan perlindungan yang
maksimal, maka dalam hal iniakhirmya memunculkan
kepedulian dari sebuah organisasi internasional yaitu
ILO (international labour organization) organisasi
perburuhan internasional, untuk memberikan
pengakuan serta perlindungan terhadap masyarakat
hukum adat secara internasional.
Melalui Konferensi Umum Organisasi Perburuhan
Internasional yang disidangkan di Jenewa oleh Badan
Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah
mengadakan pertemuan dalam sidangnya yang ke-76
pada tanggal 7 Juni 1989, mengeluarkan sebuah
ketetapan yaitu Konvensi Masyarakat Hukum Adat 1989.
Konvensi ini berisikan mengenai masyarakat hukum
adat di negara-negara merdeka.
Isi dari konvensi tersebut salah satunya mengatur
tentang kebijakan umum yang memiliki sub bagian
yakni status, tanggung jawab pemerintah dalam
menyusun dan memastikan bahwa masyarakat hukum
adat mendapatkan manfaat berdasarkan kesetaraan
derajat. Kemudian bagian tanah yakni dalam
menentukan ketentuan pemerintah harus menghormati
pentingnya kekhususan nilai budaya spiritual dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.Bagian
perekrutan dan syarat-syarat kerja pemerintah harus
melakukan setiap hal yang mungkin dilakukan untuk
mencegah diskriminasi antara para pekerja dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan
para pekerja lainnya.
Bagian pelatihan kejuruan, kerajinan tangan dan
industri-industri pedesaan yakni masyarakat hukum
adat harus mendapatkan kesempatan yang sama dengan
kesempatan yang didapat oleh warga negara lain
sehubung dengan upaya pelatihan kejuruan,
meningkatkan partisipasi secara sukarela dalam
program-program pelatihan kejuruan yang bersifat
umum.
Bagian jaminan sosial dan kesehatan yaitu skema
jaminan sosial harus diperluas secara bertahap untuk
mengikutsertakan masyarakat hukum adat tanpa
diskriminasi, pemerintah memastikan tersedianya
pelayanan yang memadai.
Bagian pendidikan dan sarana komunikasi yakni
masyarakat hukum adat mempunyai kesempatan untuk
mendapat pendidikan disemua tingkatan yang sekurang-
kurangnya sama dengan masyarakat lain di negara yang
bersangkutan.
Bagian hubungan dan kerjasama lintas batas yakni
pemerintah harus mengambil upaya yang tepat
termasuk perjanjian internasional untuk memfasilitasi
hubungan dan kerjasama antara masyarakat hukum
adat lintas batas-batas negara, termasuk kegiatan
dibidang ekonomi, sosial, budaya, spiritual dan
lingkungan hidup.
Bagian administrasi yakni pemerintah yang
bertanggung jawab atas hal-hal yang dicakup dalam
konfensi ini dan harus memastikan adanya instansi-
instansi atau mekanisme lain yang diperlukan untuk
menyelenggarakan program-program yang berdampak
terhadap masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Bagian ketentuan-ketentuan umum yakni konvensi ini
ditetapkan secara luwes dengan memperhatikan kondisi-
kondisi yang menjadi ciri tiap negara.
Tidak hanya itu saja namun perlindungan
masyarakat hukum adat dalam instrumen hukum
internasional juga ada pada sejak ditetapkannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.
Perlindungan tersebut kemudian diatur secara berturut-
turut dalam berbagai internasional secara terperinci,
yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Konvenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Ras, Konvensi tentang
Penduduk Asli dan Penduduk Suku Tahun 1989,
Komentar Umum Nomor 4 Tahun 1991 Komite Untuk
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tentang Hak Atas
Perumahan, Arahan Operasional 4.20 Bank Dunia Bulan
September 1991, Deklarasi hak orang-orang yang
termasuk bangsa/suku bangsa, agama,dan bahasa
minoritas Resolusi Majelis Umum PBB 47/135 tanggal
18 Desember 1992, Agenda 21 tahun yang ditetapkan
oleh Konferensi PBB untuk Lingkungan dan
Pembangunan pada tahun 1992, Resolusi Komisi Hak
Asasi Manusia 1993/77 tentang Pengusiran Paksa.58
6. Tinjauan Tetang Peran Serta Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam suatu proses dikenal
dengan partisipasi masyarakat. Istilah lain partisipasi yang
sering digunakan adalah peran serta, keterlibatan dan
58
Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat,Pengaturan Hak – Hak
Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Malang: Setara Press
keikutsertaan yang terwujud dalam sikap gotong royong.
Peran serta tersebut kemudian diartikan sebagai cara
melakukan interaksi antara dua kelompok. Kelompok yang
selama ini tidak dikutsertakan dalam proses pengambilan
keputusan (non-elite) atau kelompok masyarakat yang
terkena kebijakan dan kelompok yang selama ini melakukan
pengambilan keputusan (elite).
Canter (1977) merumuskan bahwa peran serta
masyarakat adalah proses komunikasi dua arah yang
berlangsung secara terus – menerus untuk meningkatkan
pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses
kegiatan, dianalisa oleh badan yang berwenang.59
Menurut Cormick (1979) peran serta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya
dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang bersifat kosultatif
dan bersifat kemitraan. Masyarakat mempunyai hak untuk di
dengar pendapatnya dan berhak untuk diberi tahu oleh
pejabat pengambil keputusan kepada masyarakat yang
berkepentingan merupakan pola hubungan konsultatif.
Sedangkan, pola hubungan yang bersifat kemitraan
menggambarkan bahwa keduanya antara pejabat pengambil
keputusan dengan mkelompok masyarakat memiliki
kedudukan yang sama dan secara bersama - sama
membahas masalah dan mencari pemecahan masalah.
Selain membedakan sifatnya, peran serta masyarakat
memiliki tingkatan untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan. Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai “non
peran serta”, dengan menempatkan bentuk – bentuk peran
serta yang dinamakan (1) terapi dan (2) manipulasi. Tangga
ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat
“Tokenisme” yaitu suatu tingkat peran serta dimana
masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi
mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapat
jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan

59
Ibid.,hal. 27.
oleh pemegang keputusan. Selanjutnyam tiga tingkat teratas
ke dalam tingkat “kekuasaan masyarakat” (citizen power).60
Peran serta masyarakat memberikan kegunaan bagi
pengambil keputusan dalam menangkap pandangan,
kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan konsep.
Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan
menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas,
kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.
Perlunya peran serta masyarakat selain untuk
memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil
keputusan, peran serta masyarakat akan mereduksi
kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima
keputusan. Selanjutnya, peran serta msyarakat akan
membantu perlindungan hukum.
Menurut Mas Achmad Santosa (1990) dalam thesisnya
telah pula merangkum kegunaan peran serta masyarakat 61 :
a. Menuju masyarakat yang lebih bertanggungjawab
b. Meningkatkan proses belajar
c. Mengeliminir perasaan terasing
d. Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana
pemerintah
e. Menciptakan kesadaran politik
f. Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan
kebutuhan dan keinginan masyarakat
g. Menjadi sumber dari informasi yang berguna
h. Merupakan komitmen sistem demokrasi
Masalah utama yang menjadikan kelemahan dalam
peran serta masyarakat ada pada masyarakat itu sendiri.
Kecenderungan masyarakat yang kehilangan gairahnya
selama masa pengembangan proyek yang cukup
lama.Berbeda dengan kelompok yang mempunyai
kepentingan tertentu.
Sedangkan menurut Santoso, program peran serta
masyarakat memang di desain untuk “menggiring”

60
Ibid.,hal. 28.
61
Ibid.,hal. 34.
masyarakat agar setuju dengan pendapat pengambil
keputusan atau sang pemrakarsa kegiatan.
7. Tinjauan Pengolahan Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya.Lingkungan hidup merupakan sistem yang
meliputi lingkungan alam, lingkungan buatan dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya. Oleh sebab itu keberadaan lingkungan hidup
harus turut dipertimbangkan dalam setiap pengelolaan suatu
kegiatan manusia termasuk pengelolaan sampah
pemukiman, karena lingkungan hidup manusia adalah
sistem dimana berada perwujudan atau tempat dimana
terdapat kepentingan manusia di dalamnya.62
Lingkungan hidup manusia terdiri dari lingkungan alam,
sosial dan lingkungan buatan mempunyai hubungan saling
mempengaruhi Lingkungan hidup manusi terdiri atas
lingkungan hidup sosial yang menentukan seberapa jauh
lingkugan hidup alam mengalami perubahan drastis menjadi
lingkungan hidup buatan.Dalam upaya meningkatkan
pengelolaan lingkungan hidup dilakukan upaya untuk
mengadakan koreksi terhadap lingkungan dengan
memodifikasi lingkungan, agar pengaruh merugikan dapat
dijauhkan dan dilaksanakan pencegahan melalui efisiensi
dan pengaturan lingkungan, sehingga bahaya lingkungan
dapat dihindarkan dan keserasian serta keindahan dapat
terpelihara.ada tiga upaya yang harus dijalankan secara
seimbang yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau
sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi
alami yang terjadi karena dampak interaksi manusia dan
lingkungannya.

62
Lihat Undang – Undang Nomor 4 tahun 1982 Tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kesadaran Lingkungan Hidup Menurut M.T Zen adalah
usaha melibatkan setiap warga Negara dalam menumbuhkan
dan membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan
berdasarkan tata nilai, yaitu tata nilai dari pada lingkungan
itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai dengan alam
lingkungannya.
Menurut Emil Salim, kesadaran lingkungan adalah
upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya
tahu tentang sampah, pencemaran, penghijauan, dan
perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua,
membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia
khususnya pemuda masa kini agar mencintai tanah liar.
Daniel Chiras menyatakan bahwa dasar penyebab
kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan.Etika
lingkungan yang sampai saat ini berlaku adalah etika
lingkungan yang didasarkan pada sistem nilai yang
mendudukkan manusia bukan bagian dari alam, tetapi
manusia sebagai penakluk dan pengatur alam.Didalam
pendidikan lingkungan hidup, konsep mental tentang
manusia sebagai penakluk alam perlu diubah menjadi
manusia sebagai bagian dari alam.
Dari teori-teori diatas maka dapat diberikan pengertian
sebagai berikut :
1. Kesadaran adalah pengetahuan. Sadar sama dengan
tahu.
Pengetahuan tentang hal yang nyata, konkret,
dimaksudkan adalah pengetahuan yang mendalam
(menggugah jiwa), tahu sungguh-sungguh, dan tidak
salah.Tidak asal mengetahui/tahu, sebab banyak orang
tahu pentingnya lingkungan hidup tetapi belum tentu
sadar karena tindakan/perilaku merusak
lingkungan/tidak mendukung terciptanya kelestarian
lingkungan hidup.
2. Kesadaran adalah bagian dari sikap atau perilaku.
Pengertian kesadaran yang ada sebagian dari sikap
menjadi benar jika setiap perilaku yang ditunjukkan
terus bertambah dan menjadi sifat hidupnya.Contoh
yang dikaitkan dengan lingkungan yaitu terdapatnya
larangan untuk tidak membuang sampah kesungai /
saluran, maka sebagai manusia yang sadar lingkungan
harus mentaati larangan tersebut dengan tidak
membuang sampah ke sungai.Dikatakan demikian
karena menurut teori kesadaran adalah pengetahuan
dan merupakan bagian dari sikap atau tindakan.63
8. Tinjuan Tentang Penyelesaian Sengketa
Menurut Sudarsono, Konflik atau sengketa adalah
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua
pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan. 64.
Penyelesaian Sengketa terdapat dua jenis, yaitu penyelesaian
secara Litigasi dan penyelesaian secara Nonlitigasi.
a. Litigasi
Penyelesaian sengketa secara litigasi adalah
penyelesaian melalui pengadilan Umum atau dapat kita
ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa
antara para pihak yang dilakuakan di depan
pengadilan.65
b. Non Litigasi
Penyelesaian dengan cara ini adalah penyelesaian
diluar peradilan atas dasar perdamaian atau melalui
wasit (arbitase) tetap diperbolehkan.66 Hal ini adalah
sebuah alternatif penyelesaian sengketa (Alternative
Dispute Resolution) Menurut Pasal 1 angka 10 UU
Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah lembaga Penyelesaian Sengketa atau beda
pendapat melalui Prosedur yang disepakati para pihak,
yakni Penyelesaian diluar pengadilan dengan cara

63
Universitas Sumatera Utara, 2011, Tinjauan pustaka Pengeleloaan
Lingkungan Hidup, Sumatera Utara,
64
Sudarsono, 2002,Kamus Hukum,Jakarta: Rineka Cipta.
65
Racmadi Usman, 2012,Mediasi di pengadilan,Jakarta: Sinar Grafika
66
Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta:Sinar
Grafika.
Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian
Ahli. 67

Menurut Frans Winarta Masing-masing lembaga


penyelesaian sengketa diatas sebagai berikut :

a. Konsultasi : Suatu tindakan yang bersifat “Personal”


antara suatu pihak tertentu dengan pihak lain yang
merupakan pihak konsultan memberikan pendapatnya
kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan
kliennya.
b. Negosiasi : Suatu upaya penyelesaian sengketa para
pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan
mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama
yang lebih harmonis dan kreatif.
c. Mediasi : Cara Penyelesaian sengketa melalui Proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dan dibantu oleh mediator.
d. Konsiliasi : Penengah akan bertindak menjadi konsiliator
dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan
solusi yang dapat diterima.
e. Penilaian Ahli : pendapat para ahli untuk suatu hal yang
bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.68
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan
Penyusunan Norma
Pembentukan peraturan/ kebijakan tidak dapat dilepaskan
dari asas-asas. Beberapa ahli dalam bidang hukum administrasi
Negara mengemukakan pendapat bahwa pembentukan
peraturan/kebijakan harus taat hukum. 69 Ketaatan asas dalam
hal ini adalah ketaatan secara umum terhadap pemerintahan
yang baik, selain itu peraturan kebijakan juga harus taat kepada
asas-asas pembentukan peraturan walaupun nomenklaturnya
bukan peraturan perundang-undangan.

67
Lihat Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
68
Frans Hendra Winarta, Op.Cit.,
69
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan tata
Usaha Negara, Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal.117.
Viktor Imanuel W. Nalle, menyebutkan Ada beberapa asas
yang relevan dalam pembentukan materi peraturan perundang-
undangan, sebagai berikut:
1. Asas persamaan;
2. Asas Kepercayaan;
3. Asas kepastian hukum;
4. Asas kecermatan;
5. Asas perlunya pengaturan;
6. Asas tujuan yang jelas;
7. Asas dapat dilaksanakan;
8. Asas kemudahan dapat dikenali 70
I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het
wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi
asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik
(beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang
formal dan yang material.
Asas-asas yang formal meliputi :
1. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling).
2. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
orgaan).
3. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel).
4. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van
uitvoerbaarheid).
5. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar.
2. asas tentang dapat dikenali.
3. asas perlakuan yang sama dalam hukum.
4. asas kepastian hukum.
5. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang
formal dan asas yang material, maka A. Hamid S. Attamimi
cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:
1. Asas-asas formal, dengan perincian:
70
Viktor Imanuel W. Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil, Kajian Pembentukan dan
Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Malang: Setara Press, hal. 66-74.
a. asas tujuan yang jelas.
b. asas perlunya pengaturan.
c. asas organ/ lembaga yang tepat;asas materi muatan yang
tepat.
d. asas dapatnya dilaksanakan.
e. asas dapatnya dikenali.
2. Asas-asas material, dengan perincian:
a. asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma
Fundamental Negara;
b. asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
c. asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas
Hukum;
d. asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan
berdasar Sistem Konstitusi.
Selanjutnya, Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
patut, adalah sebagai berikut:
1. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang
berlaku sebagai “bintang pemandu”.
2. Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan
undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada
dalam keutamaan hukum, dan Asas Pemerintahan Berdasar
Sistem Konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai
dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan
Pemerintahan.
3. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas
hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat
pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan
asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang
menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Asaspembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik dirumuskan juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
khususnya Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5 menjelaskan dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan
pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik yang meliputi:
1. kejelasan tujuan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai;
2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah
bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga/ pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;
3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
Peraturan Perundang-undangan-nya;
4. dapat dilaksanakan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis;
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan berman-faat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan berne-gara;
6. kejelasan rumusan, bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya;
7. keterbukaan, bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pemba-hasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai desempatan yang seluas-luasnya untuk membe-
rikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan
Perundang-undangan.
Sementara Pasal 6 menjelaskan bahwa asas-asas yang
harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-
undangan dirumuskan sebagai berikut:
1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung
asas:
a. pengayoman, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman
masyarakat;
b. kemanusiaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan
dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional;
c. kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan)
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. kekeluargaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan;
e. kenusantaraan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila;
f. bhinneka tunggal ika bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus
daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasya-
rakat, berbangsa, dan bernegara;
g. keadilan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
i. ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum;
j. keseimbangan; keserasian, dan keselarasan, bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masya-
rakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas tersebut di atas, Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang
hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
1. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
2. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Dalam hal Pengakuan dan perlindungan Masyarakat
Hukum Adat harus diperhatikan adanya asas–asas yang
mempengaruhi Pengakuan dan Perlindungan tersebut antara lain
Asas Equality Before The Law, Asas Bhineka Tunggal Ika, Asas
Kelestarian dan Keberlanjutan, Asas Kepentingan Nasional, Asas
Pengayoman, Asas Musyawarah, Asas Kepastian Hukum
a. Asas Equality Before The Law
Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa
semua orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan
hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Implikasi dari asas ini,
bahwa setiap orang mendapat perlakuan yang sama.
Sehingga menurut asas ini masyarakat hukum adat harus
mendapat perlakukan yang sama dihadapan hukum,
termasuk dalam hal untuk mendapat perlindungan hak-hak
tradisionalnya sebagaimana entitas lain (misalnya badan
hukum) mendapatkan hak-haknya.
b. Asas Bhineka Tunggal Ika
Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia keberadaan masyarakat hukum adat
diakui dan dilindungi dengan segala ciri khas yang melekat
padanya sebagai bagian dari keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, serta budaya di Indonesia.
c. Asas Kelestarian dan Keberlanjutan adalah bahwa
masyarakat hukum adat turut memikul kewajiban dan
tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya
pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas
lingkungan hidup.
d. Asas Kepentingan Nasional adalah bahwa pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat adat yang merupakan bagian
dari dari negara Indonesia semata-mata ditujukan untuk
kepentingan bangsa dan negara indonesia.
e. Asas Pengayoman adalah bahwa masyarakat hukum adat
harus mendapatkan perlindungan terhadap pemenuhan hak-
hak tradisionalnya.
f. Asas Musyawarah adalah bahwa proses pengambilan
keputusan, penyelesaian sengketa, serta pembuatan
kesepakatan yang berhubungan dengan masyarakat hukum
adat dilakukan dengan mengutamakan musyawarah.
g. Asas Kepastian Hukum adalah bahwa dalam proses
perlindungan Masyarakat Hukum Adat para pemangku
kepentingan merasakan adanya kepastian pada saat
menghadapi persoalan hukum, baik pada saat menuntut hak
maupun pada saat melaksanakan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum.
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai
bagian dari Negara Indonesia, telah tercantum dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Pengakuan-pengakuan terlihat
dengan terdapatnya frase-frase yang menyebutkan “masyarakat
hukum adat” dalam peraturan perundang-undangan terkait,
beserta bentuk keterlibatanya. Kendati demikian, terdapat dua
hal yang perlu dicatat, yakni : pertama pengakuan tersebut
masih bersifat parsial atau sektoral, artinya pengakuan tersebut
hanya terbatas pada sektor tertentu saja tergantung aspek yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait. Kedua
pengakuan yang termaktub dalam peraturan perundang-
undangan tersebut masih bersifat abstrak dan universal, artinya
untuk mendapatkan pengakuan yang bersifat konkrit-individual
masih perlu ditetapkan oleh norma yang lebih spesifik.
Pengakuan yuridis yang bersifat konkrit-individual tersebut,
diatur secara khusus dalam dua peraturan perundang-undangan
yakni Permendagri No. 52 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
selanjutnya PPMHA dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Dalam Permendagri PPMHA diatur bahwa Gubernur
dan Bupati/Walikotamelakukan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat. Selanjutnyadalam melakukan
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,
bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat
kabupaten/kota. Adapun Struktur organisasi Panitia Masyarakat
Hukum Adat tersebut, terdiri atas:
1. Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua;
2. Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat
sebagai sekretaris;
3. Kepala Bagian Hukum secretariat kabupaten/kota sebagai
anggota;
4. Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan
5. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum
adat sebagai anggota.
Tahapan-tahapan pengakuan tersebut meliputi :
1. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
2. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
3. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Identifikasi tersebut dilakukan dengan mencermati
keberadaan beberapa hal, yaitu :
1. Sejarah Masyarakat Hukum Adat;
2. Wilayah Adat;
3. Hukum Adat;
4. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
5. Kelembagaan/system pemerintahan adat.
Setelah melakukan identifikasi dan mendapatkan hasilnya,
maka yang selanjutnya dilakukan adalah verifikasi dan validasi
yang hasilnya harus diumumkan kepada masyarakat adat
setempat dalam waktu 1 (satu) bulan. Kemudian panitia
masyarakat hukum adat menyampaikan rekomendasi kepada
Bupati/Walikota, sehingga dapat dilakukan penetapan
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat
berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat
dengan Keputusan Kepala Daerah.Sedangkan dalam Pasal 67
UU Kehutanan diatur bahwa Masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada diakui keberadaannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berdasarkan ketentuan mengenai pengakuan masyarakat hukum
adat dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut, perlu
untuk diperhatiakan beberapa hal yang
Inisiatif untuk melakukan pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat diprakarsai oleh pemerintah. Melulai
sistem ini maka alur kebijakan bersifat dari atas ke bawah tanpa
diatur mekanisme formal bagi masyarakat hukum adat untuk
melakukan permohonan untuk ditetapkan agar diakui secara
yuridis.
1. Dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut
terdapat disparitas hukum. Hal ini terlihat pada bentuk
output dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut.
Dalam Permendagri PPPMHA produk hukum untuk
mengakui keberadaan masyarakat hukum adat adalah
berupa Surat Keputusan Bupati/Walikota, sedangkan dalam
UU Kehutanan produk hukum untuk mengakui keberadaan
Masyarakat Hukum Adat adalah berupa Peraturan Daerah.
Maka Dengan adanya dua mekanisme pengakuan yang
berbeda, tentunya akan menimbulkan pemahaman yang
berbeda pula bagi masyarakat hukum adat. Kedua
peraturan perundangan diatas sebagai rujukan dan payung
hukum untuk mendorong pemerintah daerah untuk
memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-
hak tradisional masyarakat hukum adat. Masalah lainnya
adalah jika suatu kesatuan masyarakat hukum adat
mengikuti mekanisme pengakuan sesuai dengan
Permendagri No. 52 Tahun 2014, maka mereka belum bisa
mengklaim hutan adat karena untuk mengklaim hutan adat
diperlukan Peraturan Daerah yang telah mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat tersebut yang merujuk
pada UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
2. Dalam kedua instrumen hukum tersebut belum mengatur
secara komprehensif mengenai hak-hak apa saja yang diakui
dan dilindungi.
D. Kajian terhadap Implikasi penerapan Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Mengkaji mengenai peraturan perundang – undangan terkait
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat sudah
diatur di beberapa peraturan perundang – undangan namun
belum secara penuh mengakomodasi secara komprehensif.
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat masih
diatur secara sektoral dan inkonsisten. Eksistensi masyarakat
hukum adat semakin melemah seiring dengan perubahan
globalisasi yang mengakibatkan masyarakat hukum adat menjadi
termajinalisasikan. Meskipun eksistensi masyarakat hukum adat
diakui dan dihormati sesuai dengan yang diamanatkan UUD NRI
sebagai norma hukum yang mendasar, namun dalam
kenyataannya masih banyak hak - hak masyarakat hukum adat
yang dilanggar baik oleh Pemerintah maupun non-Pemerintah.
Pelanggaran itu yang kemudian mengakibatkan terjadinya konflik
baik secara vertical maupun horizontal yang dapat mengamcam
kesatuan Negara Republik Indonesia.
Perlindungan masyarakat hukum adat diwujudkan dengan
pengaturan hak – hak tradisional masyarakat adat secara
komprehensif. Adanya perlindungan hak – hak tradisional
masyarakat adat secara komprehensif akan mencegah,
mengurangi dan menyelesaikan konflik – konflik yang muncul
serta akan menjadi jawaban atas permasalahan yang ada.
Dengan adanya penerapan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat akan memberikan implikasi baik
terhadap masyarakat hukum adat sendiri dan masyarakat luas.
Implikasi terhadap masyarakat luas akan dirasakan bahwa
dengan kebudayaan bangsa Indonesia yang beragam tersebut
akan tetap lestari dan kesatuan masyarakat hukum adat akan
kemajemukannya tetap dapat dipertahankan sesuai dengan
prinsip bangsa Indonesia “Bhinneka Tuggal Ika” yakni berbeda –
beda tetapi tetap satu. Selain itu, implikasi terhadap masyarakat
hukum adat adalah terjaminnya hak – hak tradisional
masyarakat hukum adat yang dijamin kepastiannya dalam
undang – undang guna mempertahankan ke khasan / ciri
budayanya.
Masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang memiliki
wilayah adat tersendiri yang kemudian diberikan kewenangannya
untuk mengelola dan memelihara, kesejahteraan, kepentingan
anggota masyarakat hukum adatnya, serta mencegah terjadinya
perselisihan yang terjadi. Pemberian kewenangan itulah yang
kemudian memberikan implikasi kepada masyarakat hukum
adat mengenai hak dan kewajibannya sebagai masyarakat
hukum adat. Kewajiban Masyarakat Hukum tersebut ditujukan
kepada masyarakat dan negara. Kewenangan inilah yang
mengatur tentang hak-hak masyarakat hukum adat hanya
berlaku ke dalam.
Begitu pula, terkait dengan perlindungan masyarakat hukum
adat yang memberikan implikasi terhadap keterlibatan
masyarakat hukum adat. Dalam hal ini partisipasi masyarakat
hukum adat secara penuh dan efektif dalam pembangunan
wilayah adatnya diperlukan karena masyarakat hukum adat
tersebut sebagai penerima dampak langsung dari proyek
tersebut. Peran serta masyarakat hukum adat terhadap
pembangunan nasional merupakan salah satu kewajiban
mesyarakat hukum adat untuk memberikan kontribusi yang
lebih, dalam kemajuan akan wilayah adatnya. Karena
masyarakat hukum adat itu sendirilah yang mengetahui
pengembangan wilayah adatnya.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Kajian terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat


hukum adat dari aspek yuridis ditujukan untuk mengetahui seluruh
peraturan perundang-undangan yang substansinya mengatur dan
berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat. kajian ini dilakukan untuk mengetahui singkronisasi
pengaturan mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat.
Dari kajian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan
pemikiran dalam membentuk undang-undang tentang pengakuan
dan perlindungan masyarakat hukum adat. dengan demikian
pengaturannya tidak lagi sektoral serta inkonsistensi dapat
ditanggulangi agar hak-hak masyarakat hukum adat dapat berjalan
optimal serta adanya sinergitas antara masyarakat hukum adat
dalam negara kesatuan republik Indonesia.
Undang-Undang yang berkaitan antara lain:
1. Analisis terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat diakui dalam pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 NRI sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945 serta
dalam pasal 28I ayat (3). Pada pasal 18B ayat (2)
pengaturan mengenai perlindungan masyarakat hukum
adat di tempatkan sebagai bagian dari pengaturan
pemerintah daerah yang mensyaratkan kesatuan
masyarakat hukum adat dengan hak tradisionalnya yang
masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip negara kesatuan republik indonesia diakui
eksistensinya yang diatur dalam undang-undang.
Amanat pasal 18B ayat (2) memberikan delegasi kepada
pembentuk undang-undang untuk mengaturnya lebih
lanjut dalam undang-undang, kemudian Perintah terkait
perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, jika
dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan
Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, ada 2 (dua) orang hakim konstitusi yang memiliki
pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu: A. Mukthie
Fadjar dan Maruarar Siahaan. Lebih lanjut, pendapat
tersebut diuraikan yang pada intinya mengatakan juga
bahwa hingga saat ini belum ada satu pun Undang-undang
yang di dalamnya memuat penjabaran ketentuan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 tersebut. Tersirat dari pendapat tersebut
untuk mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat dengan Undang-undang khusus mengenai hal
itu.
Sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia
untuk mewujudkan perlindungan terhadapa masyarakat
hukum adat. Secara horisontal peraturan perundang-
undangan tersebut harus memiliki sinkronisasi mengenai
muatan materi yang diatur dengan peraturan perundang-
undangan yang lain maupun rancangan peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat.

2. Analisis terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan


Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam
Dalam Tap MPR tersebut disebutkan tepatnya pada
Pasal 5 huruf (j), secara tersurat telah dengan tegas
mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat
dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria
dan sumberdaya alam. Terkait dengan pengakuan yang
tertulis, pemerintah berarti telah memberikan kewenangan
atas sumberdaya alam yang berada di tengah-tengah
masyarakat hukum adat, baik dalam pengolahannya atau
juga dalam pemanfaatannya.
Namun seringkali ditemukan konflik baik antara
sesama masyarakat hukum adat dan dengan
pemerintah.Hal tersebut menandakan bahwa pengakuan
yang diberikan kurang dapat menjamin hak masyarakat
hukum adat.Sehingga diperlukan pengakuan yang lebih
komperhensif agar tidak mencederai hak-hak masyarakat
hukum adat atas sumberdaya yang mereka miliki.Perintah
terkait pengakuan atas sumberdaya alam terhadap
masyarakat hukum adat maka telah nyata bahwa
Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk
melaksanakan kebijakan maupun program untuk
mewujudkan pula perlindungan pelaksanaannya.Secara
horisontal peraturan perundang-undangan harus memiliki
sinkronisasi mengenai muatan materi yang diatur dengan
keadaan yang ada pada masyarakat hukum adat.

3. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999


Tentang Hak Asasi Manusia
Mencermati Undang-Undang tersebuttepatnya pada
Pasal 6 ayat (1) yakni mengenai perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah, dan
ayat (2) yakni identitas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman. Bahwa intinya masyarakat hukum
adat mempunyai kekhususan dalam beberapa hal yang itu
perlu perlindungan khusus dan lebih terperinci dalam hal
perlindungan dan kejelasan statusnya baik dalam status
budaya dan status dalam kepemilikan atas tanah ulaya.
Pada kenyataan di Indonesia, masih ada terjadi konflik
mengenai tanah ulayat yang merupakan bahwa hak-hak
masyarakat hukum adat telah diganggu dan tidak
dihormati.Perlindungan terhadap jaminan mengenai hal ini
yang diberikan masih sangat lemah terkait dengan
diberikannya pengakuan atas keberadaan dan kepemilikan
atas tanah ulayat.Secara gramatikal pemberian hak atas
tanah ulayat memiliki arti bahwa tanah tersebut adalah
tanah milik masyarakat hukum adat yang tidak boleh
diganggu apalagi untuk oknum-oknum yang memiliki
kepentingan pribadi.
Pasal 22 ayat (1) 1.Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu, serta ayat (2) 2.Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.Mengamati pasal ini bahwa
masyarakat adat juga memiliki kesamaan hak dalam
menentukan agama yang dipercayai serta menjalankan
ibadahnya seperti masyarakat lainnya.Dan pemerintah juga
menjamin terlindungnya masyarakat hukum adat atas
rasisme dan diskriminasi yang dapat terjadi sewaktu-
waktu.Pemerintah juga harus menjamin secara hukum
apabila hak tersebut diciderai maka masyarakat hukum
adat dapat melakukan “proteksi diri”.

4. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999


Tentang Kehutanan
Pada Pasal 1 ayat (6) bahwa Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat.Bahwa hutan yang dimiliki oleh masyarakat hukum
adat adalah hanya hutan yang berada disekitar atau
dimana masyarakat itu berada, sehingga kepemilikannya
juga terbatas dalam satu wilayah tersebut.
Pada bagian ke-3 Pasal 4 ayat (3) Penguasaan hutan
oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional. Hal tersebut meiliki arti bahwa
memang negara menguasai hutan yang berada dalam
lingkup negaranya namun juga harus menghormati hak
masyarakat hukum adat tentang hutan yang sudah ada dan
dihuninya sejak zaman dahulu.
Pada bab II Pasal 5 ayat (2) (3) dan (4) mengenai status
dan fungsi hutan bahwa sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya, maka huatn tersebut menjadi milik
masyarakat hukum adat yang harus dihormati haknya dan
tidak boleh diciderai untuk kepentingan industri yang
merugikan masyarakat hukum adat tersebut dan nasional.
Bagian Kelima Pembentukan Wilayah Pengelolaan
Hutan Pasal 17 ayat (2) Pembentukan wilayah pengelolaan
hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi
hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk
masyarakat hukum adat dan batas administrasi
pemerintahan. Sehingga dalam pengolahan hutan
pemerintah tidak dapat serta merta melakukannya begitu
saja namun harus ada pertimbangan dalam berbagai aspek
yang sudah ditentukan.
Bab V Pengolahan Hutan Bagian Kedua Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Pasal 34 Pengelolaan
kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:
masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga
penelitian, lembaga sosial dan keagamaan. Bahwa jika
hutan masyarakat hukum adat harus diganggu maka harus
dengan alasan atas keentingan nasional dan juga dengan
izin dari ketua dari sebuah masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.Dan hasil atau dampaknya harus diberikan
dan untuk masyarakat hukum adat itu kembali, atau untuk
kepentingan pendidikan, lembaga penelitian lembaga sosial
dan keagamaan.Namun yang sering ditemui adalah hutan
tersebut dipakai untuk keperluan industri baik untuk
dibangun pabrik atau perumahan atau pemukiman
baru.Sehingga perlu dikoreksi kembali agar tujuan yang
diinginkan sebelumnya dapat dijalakan dengan baik.
5. Analisisterhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi
Bab IV Kegiatan Usaha Hulu Pasal 11 ayat (3) huruf (p)
yang berbunyi pengembangan masyarakat sekitarnya dan
jaminan hak-hak masyarakat adat, yang memiliki arti
bahwa kegiatan usaha hulu harus memiliki timbal balik
kepada masyarakat hukum adat yang ada
disekitarnya.Jangan sampai pengembangan yang dilakukan
mengganggu hak-hak masyarakat hukum adat.Karena
sebab konflik yang timbul karena pengemabangan yang
dilakukan dianggap oleh masyarakat hukum adat sebagai
hal yang merugikan mereka. Sehingga dalam hal ini perlu
lebih jelas dalam kontrak kerjasama yang dilakukan hak-
hak apa saja yang diberikan pada masyarakat hukum adat
disekitarnya dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
dalam perjanjian kontrak kerjasama dengan badan usaha.
Bab VII Hubungan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas
Bumi dengan Hak atas Tanah Pasal 3 ayat (3) huruf (a) yang
intinya bahwa usaha tersebut tidak dapat dilakukan
disembarang tempat ada tempat-tempat yang dianggap suci
dan sakral yang harus dihormati dan tidak dapat
dipaksakan untuk usaha yakni tempat pemakaman, tempat
yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana
umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik
masyarakat adat.

6. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003


Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab IV Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orangtua,
Masyarakat, dan Pemerintah Bagian Kesatu Pasal 5 ayat (3)
warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus, yang artinya bahwa
pendidikan harus adil dan merata diseluruh wilayah negara
tanpa terkecuali. Pemerintah harus menjamin
terlaksananya pendidikan disemua tempat tidak
memnadang sebelah mata walaupun wilayah terebut
terpencil dan jauh dari peradaban.Berdasarkan Undang-
undang Dasar 1945 tentang Pendidikan yang intinya
mengatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan dan mendapat fasilitas untuk
belajar.
Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan Pendidikan
Layanan Khusus Pasal 32 ayat (2) Pendidikan layanan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil,
dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan
tidak mampu dari segi ekonomi. Bahwa wilayah yang
mengalami bencana alam tetap tidak dapat dibatasi haknya
dalam mendapatkan pendidikan, dan harus diberi
kekhususan dalam menjalankan pendidikan.Fasilitas
pendidikan yang diberikan harus disesuaikan dengan
kondisi yang ada.

7. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003


Tentang Mahkamah Konstitusi
Bagian Kedelapan Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Pasal 51 ayat (1) huruf (b) kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang. Pasal dalam undang-undang nomor 24 tahun 2003
Tentang Mahkamah konstitusi diatas mengatur kedudukan
hukum kesatuan masyarakat hukum adat, Berarti
masyarakat hukum adat haruslah memiliki legalitas dengan
kualifikasi sesuai putusan Mahkamah konstitusi NOMOR
31/PUU-V/2007 yang didalam nya terdapat penafsiran
mengenai masyarakat hukum adat.
Pengakuan serta perlindungan jelas terlihat dalam
pasal tersebut karena apabila hak-hak terganggu maka
masyarakat hukum adat memiliki legal standing untuk
mengajukan permohonan kepada mahkamah konstitusi.
Jelas terlihat pula bahwasannya apa yang disebut
sebagai masyarakat hukum adat serta perngakuat dan
perlindungannya perlu diatur dalam suatu Undang-Undang
agar tidak terjadi perbedaan putusan pengadilan yang
memutus mengenai masyarakat hukum adat itu sendiri.

8. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003


Tentang Panas Bumi
Dalam Undang-undang No 27 Tahun 2003 tentang
panas bumi pada Pasal 16 Ayat (3) Huruf a dinyatakan
bahwa Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tidak
dapat dilaksanakan di tempat pemakaman, tempat yang
dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana
umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik
masyarakat adat. Secara Yuridis dalam Undang-undang ini
melindungi Tanah Masyarakat Hukum adat yang termaktub
dalam Pasal 16 Ayat (3) Huruf a, agar Tanah Masyarakat
hukum adat tersebut dapat terhindar dari Usaha
Pertambangan Panas Bumi. Namun, dala Pasal tersebut
tidak secara komperhensif menuangkan apa saja yang
termasuk tanah milik masyarakat adat atau batasan-
batasan tanah milik masyarakat adat tersebut ataupun
dalam Undang-undang ini masih sangat abstrak
menyinggung mengenai tanah milik masyaraka adat. Maka,
hal tersebut dapat memunculkan sebuah konflik
kedepannya pada saat salah satu perusahaan baik swasta
maupun program Pemerintah akan membuat Usaha
Pertambangan Panas Bumi di wilayah adat tersebut. Karena
batasan-batasan Tanah Milik masyarakat adat tidak
dijelaskan secara rigid dan komperhensif.

9. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004


Tentang Sumber Daya Air
Undang-undang ini membahasmengenai Sumber Daya
Air yang dimana pengakuan Hak-hak Ulayat tertuang dalam
Pasal 6 Ayat (2), dan Ayat (3) yang dimana ayat (2)
berbunyi : Penguasaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak
ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang
serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
Di dalam Ayat (2) ini adalah bentuk pengakuan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang diberikan dari
Pemerintahan terhadap Masyarakat Hukum Adat.Terapi,
dalam Ayat (2) ini Hanya Berupa Pengakuan, namun tidak
ada Perlindugan Yang diberikan oleh Undang-undang ini
terhadap Hak-hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Selain
itu, terdapat pernyataan “Selama tidak bertentangan
dengan Kepentingan Nasional dan Peraturan Perundang-
undangan” maka dari situ dapat kita tarik benang merah,
bahwa dalam Undang-undang ini tidak secara serius
melindungi Masyarakat Hukum Adat, karena ketika
kepentingan Nasional itu dapat mengganggu tradisi dan
kebudayaan yang ada di dalam Masyarakat Hukum Adat
maka Masyarakat Adat tidak dapat memberikan pembelaan
karena dalam pasal yang seharusnya dapat melindungi
Masyarakat Hukum Adat terdapat Pengecualian.
Sedangkan di dalam Ayat (3) menyatakan bahwa Hak
ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui
sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan
dengan peraturan daerah setempat.Disini dapat kita tinjau,
dalam Ayat (3) menyatakan Bahwa Hak Ulayat Masih diakui
ketika kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan
dengan peraturan daerah Setempat.Maka, hal tersebut
dapat mencerminkan pemerintah bersifat pasif dalam
konteks pengakuan Masyarakat Hukum Adat untuk
mengelola Sumber Daya Airnya sendiri.
10. Analisisterhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
Tentang Perkebunan
Dalam Undang-undang ini Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat tentang Perkebunan dirasa sudah sangat
konkrit dan jelas Perlindugan masyarakat Hukum Adat itu
sendiri dituangkan dalam Pasal 9 Ayat (2) dinyatakan
bahwa Dalam hal tanah. yang diperlukan merupakan tanah
hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut
kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib
melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan
mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya. Dan
diperkuat dalam ketentuan Pasal demi Pasal yang dimana
diperjelas sebagai berikut : Masyarakat hukum adat yang
menurut kenyataannya masih ada, jika memenuhi unsur:
a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban
(rechtgemeinschatf);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adat;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan
adat yang masih ditaati; dan
e. ada pengukuhan dengan peraturan daerah.
Musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak atas
tanah tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak atas
tanah.
Maka dalam undang-undang ini pemohon wajib untuk
musyawarah terhadap pihak yang bersangkutan. Namun,
dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai akta jual
beli tanah yang dimana Masyarakat Hukum adat tidak
menggunakan PPAT, artinya batasan-batasan tanah milik
Masyarakat Adat yang akan dijadikan perkebunan tidak
mendapat kepastian batasan mana tanah yang dimiliki oleh
orang yang bersangkutan (Masyarakat Adat).

11. Analisis terhadap Undang - Undang Nomor 31 Tahun


2004 Tentang Perikanan
Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
memasukan nilai-nilai kearifan local yang dimana
termaktub dalam Pasal 6 Ayat (2).namun, hanya dalam
bentuk pertimbangan saja. Maksudnya adalah ketika
terdapat pengelolaan penangkapan ikan harus
mempertimbangkan Masyarakat Adat yang hidup di daerah
pesisir Pantai dan Kearifan local yang ada di wilayah
tersebut.Jadi, perlindungannya dirasa sangat kurang
mengingat proporsi pertimbangan dari setiap individu
maupun kelompok itu berbeda-beda.Maka terdapat
ketidakpastian hukum didalam Pasal ini.

12. Analisis terhadap Undang- Undang Nomor 26 Tahun


2007 Tentang Penataan Ruang
Undang-undang ini tidak secara langsung mengakui
dan melindungi Masyarakat Hukum Adat. Namun dalam
Undang-undang ini hak, kewajiban, dan peran masyarakat
dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin
keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam
setiap proses penyelenggaraan penataan ruang. Maka
didalam undang-undang ini berusaha agar Masyarakat
Hukum Adat turut andil dalam penyelenggaraan penataan
ruang. Namun tidak terdapat wilayah wilayah apa saja yang
dapat di jangkau oleh Masyarakat Hukum Adat mengenai
Penataan ruang.

13. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007


Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
Masyarakat Hukum Adat dalam Undang-undang ini
diatur secara luas dan mendetail pasal per pasalnya.Dalam
Undang-undang ini masyarakat Hukum Adat Seperti
diberikan Keistimewaan dalam beberapa hal.Salah satunya
adalah mengelolah wilayah konservasi.Seperti yang telah
disampaikan di pasal 1 angka 23 dan 24 Masyarakat
Hukum Adat telah dijelaskan sedemikian rupa. Namun
terdapat hal yang dapat menghalangi Impelementasi
daripada Undang-undang ini, salah satunya adalah
Undang-undang ini hanya menyatakan tentang Hak-hak
Masyarakat Hukum Adat, namun tidak dijelaskan lebih
rinci mengenai kewajiban apasaja yang harus diemban oleh
Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan
Masyarakat Tradisional.

14. Analisisterhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009


Tentang Ketenagalistrikan
Pada Undang-undang ini hanya menyebutkan satu
pasal mengenai masyarakat adat yakni pada Pasal 30 ayat 6
yang menyatakan bahwa penyelesaian terkait konflik
mengenai perusahaan penyediaan listrik yang beroperasi di
tanah ulayat maka akan diselesaikan berdasarkan perUUan
yang mengatur tanah dengan memperhatikan ketentuan
hukum adat setempat. Namun sayangnya pada pasal ini
tidak menjelaskan secara lebih lanjut mengenai apa yang
dimaksud dengan ketentuan hukum adat setempat dan
juga sejauh mana hukum adat dimasukkan dalam perUUan
tanah. Selain itu juga penjatuhan sanksi bagi para oknum
yang menyelesaikan masalah tanpa memperhatikan
ketentuan hukum adat setempat juga tidak ada sehingga
pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat
kerap terjadi.

15. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009


Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Dalam UU ini pada pasal 63 baik ayat 1 huruf t, ayat 2
huruf n dan ayat 3 huruf k yang menyebutkan bahwa
penetapan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik pada
tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten atau kota. Pada
UU ini tidak dijelaskan bagaimana yang dimaksud dengan
tata cara pengakuan keberadaan MHA, dan bahkan pada
turunan UU ini yaitu PERDA baik pada tingkatan Prov.
maupun Kab/kota juga tidak mengatur lebih lanjut. Selain
itu juga tidak dijelaskan mengenai hak-hak apa saja yang
dimiliki oleh MHA yang dimaksud pada UU ini.

16. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013


tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan
Pada UU ini juga hanya menyebutkan satu pasal saja
tentang MHA dan hal itu telah terdapat pada bagian
penjelasan dari UU tersebut.Pada pasal 7 yang
menyebutkan bahwa Pencegahan perusakan hutan
dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau
korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan
hutan.Dimana pada penjelasan pasal tersebut menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah
masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan
masyarakat umum.
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional
yang masih terikat dalam bentuk paguyuban, memiliki
kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum
adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang
keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan
Daerah.Namun sayangnya pada UU ini tidak memberikan
batasan pembedaan Hutan, karena seperti yang diketahui
penulis bahwa terdapat 2 jenis hutan yaitu hutan milik
negara dan hutan adat.Nah, ketika disini disebutkan bahwa
MHA juga diharuskan untuk berpartisipasi menjaga hutan,
bagaimana dengan masyarakat setempat, masyarakat
umum, badan hukum dan juga korporasi? Apakah mereka
juga dituntut untuk melakukan pencegahan terhadap
perusakan hutan adat?.
17. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa
Menurut kaca mata penulis, pada UU ini tepatnya pada
pasal 97 justru malah mempersempit ruang gerak MHA.hal
ini bisa dilihat dari adanya pembatasan Hak, yang mana
hak MHA baru diakui apabila telah sesuai dengan
perkembangan masyarakat, tidak bertentangan dengan
NKRI dan juga tidak bertentangan dengan UU.
Disini yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah
bagaimana caranya bagi MHA mensejajarkan diri dengan
masyarakat pada umumnya?dan kalaupun memang MHA
dituntut untuk bisa mensejajarkan diri dengan masyarakat
pada umumnya, bagaimana dengan hak perlindungan
hukum bagi MHA? Bagaimana juga dengan hak pendidikan
yang seharusnya mereka dapatkan?bukankah disini
pemerintah terkesan egois karena hanya menuntut MHA
tanpa melihat bagaimana perkembangan MHA di dalam?
seperti misalnya apakah MHA mampu untuk mengikuti
perkembangan masyarakat umum. selain itu juga pasal ini
juga mengatur tentang bagaimana MHA ini dapat dijadikan
sebagai desa adat. akan tetapi tidak dijelaskan apakah
terdapat perbedaan terhadap desa adat dan desa pada
umumnya.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,


maka harus memiliki 3 landasan, yaitu :
A. Landasan Filosofis
Menurut Aristoteles bahwa pada hakikatnya suatu
negara berasal dari kelompok-kelompok kecil atau kesatuan
masyarakat tertentu yang kemudian berhimpun menjadi
suatu negara. Demikian halnya dengan Indonesia, sebelum
menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat
sesungghnya berasal dari kelompok-kelompok
masyarakatyang berasal dari berbagai macam suku, adat,
dan hukum adatnya.Seiring perkembangan sejarah,
kelompok-kelompok tersebut terbawa arus untuk
menyadari suatu kondisi akan adanya persamaan nasib,
yakni sama-sama sebagai pihak yang terjajah. Lalu, pada
tanggal 17 Agustus 1945 diprokamirkan kemerdekaan
bangsa Indonesia sebagai tonggak terbentuknya Negara
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, adat, kesatuan
masyarakat hukum dengan berbagai keanekaragamanya.
Proklamasi kemerdekaan tersebut kemudian
ditinjaklanjuti oleh Bangsa Indonesia dengan penyusunan
naskah yang memuat format-format dasar yang akan
menopang keberlangusungan Negara Indonesia, maka pada
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-undang
Dasar 1945. Dalam UUD 1945 diatur berbagai macam
aspek fundemental yang merupakan syarat berlangsungnya
Negara Indonesia, salah satu hal yang diatur ialah
mengenai bentuk negara.Bentuk negara yang diusung UUD
1945 ialah bentuk negara kesatuan.Seiring berkembangnya
situasi politik maupun situasi-situasi lain dalam berbagai
lini, maka Negara Indonesia mengalami beberapa kali
penggantian dan perubahan Undang-undang Dasar, yang
hingga saat ini berlaku ialah UUD NRI 1945.Dalam UUD
NRI 1945 tersebut diatur pula tentang bentuk Negara
Indonesia.Bentuk yang Negara Indonesia yang diatur dalam
UUD NRI 1945 tersebut ternyata masih menggunakan
bentuk negara kesatuan.
Bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan
tersebut, lantas tidak menegasikan eksistensi masyarakat
adat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Negara Republik
Indonesia. Hal itu tercermin dalam adagium “berbeda-beda
tetapi tetap satu”, adagium tersebut mencerminkan bahwa
sejak awal bangsa Indonesia tidak menafikan keberagaman
suku, adat, dan masyarakata hukum adat yang terdapat di
Indonesia. Lebih lanjut, keberagaman tersebut terangkai
dalam prinsip persatuan Indonesia yang tercantum dalam
sila ke-3.Prinsip persatuan mengandung makna bahwa
keberagaman suku, adat, dan kelompok-kelompok
masyarakat adat yang terdapat di Indonesia berhimpun
menjadi negara kesatuan, tanpa menghapus keberagaman
asli yang telah ada sebelumnya.
Lebih lanjut, jika menilik Pembukaan UUD NRI 1945
alinea ke-IV yang mencantumkan tujuan-tujuan negara
Indonesia, menyatakan bahwa salah satu tujuan negara
ialah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Kata
“segenap” dalam frase tersebut dapat ditafsirkan sebagai
keselurahan yang penuh/total dari bangsa Indonesia tanpa
terkecuali, atau dapat juga dimaknai seluruh elemen dari
bangsa Indonesia secara penuh.Totalitas cakupan tersebut
meliputi segala elemen Bangsa Indonesia, yang mana salah
satunya ialah masyarakat hukum adat selaku kesatuan
masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang khas/unik.Maka,
dapat dimengerti bahwa masyarakat hukum adat dengan
segala aspek yang terkait denganya merupakan salah satu
entitas yang dilindungi oleh negara Indonesia.
Segala aspek yang berkaitan dengan masyarakat
hukum adat mencakup mencakup segala hak-hak yang
melekat padanya, baik hak masyarakat hukum adat sebagai
suatu kelompok masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang
unik, maupun hak-hak tradisonal manusia yang tergabung
sebagai bagian masyarakat hukum adat.Maka perlindungan
tersebut meliputi hak masyarakat adat sebagai kelompok
dan hak-hak tradisional manusia yang tergabung
didalamnya.Sehingga sebagai konsekuensinya ialah adanya
upaya dari negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak
tersebut.

B. Landasan Sosiologis
Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang
yang mendiami wilayah tertentu secara turun temurun dan
memiliki pranatanya sendiri.Keberadaan masyarakat
hukum adat pada suatu wilayah tertentu secara turun-
temurun memberi dampak terbangunya suatu kondisi
emosional – rasa memiliki – antara masyarakat hukum adat
dengan wilayahnya (tanahnya).Rasa kepemilikan tersebut
membuat masyarakat hukum adat memiliki kecendrungan
untuk senantiasa mempertahankan tanahnya dari
gangguan pihak-pihak luar.
Konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat hukum
adat dengan pihak luar merupakan bentuk dari sikap
masyarakat adat untuk mempertahankan wilayah adatnya –
termasuk tanah adatnya.Berdasarkan data yang diolah dari
Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2013, dipaparkan
bahwa dari tahun 1970-2001 terdapat 1.753 Konflik,
tersebar di 2.834 desa/kec/286 kabupaten/kota.Sebagian
besar dari jumlah konflik tersebut ialah konflik mengenai
tanah adat.Maka, berdasarkan jumlah konflik diatas
dapatlah dimengerti bahwa diperlukan suatu penanganan
tertentu dari negara.

C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosonganhukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Dalam konteks pengakuan dan
perlindungan masyarkat hukum adat, terdapat beberapa
landasan yuridis dimulai dari UUD NRI 1945 hingga
Peraturan Menteri. Berikut akan dijabarkan landasan
yuridis tersebut menurut urutan tata hirarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 diatur bahwa
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.Apabila bunyi
pasal ini ditelaah lebih dalam, maka dapat dimengerti
bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat
hukum beserta hak-hak tradisionalnya, hanya saja
pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang
mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu atau
pengakuan bersyarat. Syarat-syarat agar masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dapat diakaui
dan dihormati, yakni : 1) sepanjang masyarakat hukum
adat itu masih ada, 2) sesuai dengan perkembangan
masyarakat, 3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kemudian pada bagian akhir pasal
tersebut terdapat frase “yang diatur dalam undang-undang”,
artinya terkait dengan pengakuan dan penghormatan hak-
hak tradisional masyarakat hukum adat diperintahkan
untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.Sehingga,
menurut frasa tersebut diketahui bahwa mengenai
pengakuan masyarakat hukum adat haruslah diatur dalam
undang-undang organik.
Pasal lain dalam UUD NRI 1945 yang mengatur
mengenai hak-hak masyakat hukum adat diatur dalam
Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan bahwa “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.Dalam pasal
ini digunakan istilah “dihormati” kata tersebut mengandung
makna dihargai (memberi harga yang layak/patut) atau jika
diartikan secara negatif berarti tidak boleh dirampas secara
semena-mena. Kemudian pasal ini juga memberi syarat-
syarat tertentu agar hak-hak tradisonal dapat dihormati,
yakni : selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban. Maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal
28I ayat (3) UUD NRI 1945, dapat dimengerti bahwa secara
konstitusional keberadaan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisonlanya diakui dan dihormati dengan syarat-
syarat tertentu, dan diperintahkan untuk lebih lanjut dalam
undang-undang.
Hingga saat ini terdapat beberapa undang-undang yang
dalam materi muatanya beberapa pasal mengatur tentang
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat
secara terpisah.Beberapa undang-undang tersebut
mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan penjabaran
amanat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI
1945. Hal-hal yang diatur diantaranya mengenai :pertama
tata cara untuk memberikan pengakuan secara yuridis
terhadap masyarakat hukum adat,Kedua kriteria-kriteria
masyarakat hukum adat.
Tata cara untuk memberikan pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat diatur dalam beberpa undang-
undang yakni : pertama Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang berbunyi “Pengukuhan
keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah”.Keduadiatur juga dalam UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa. Dalam pasal 96 UU Desa dinyatakan
bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan
kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi
Desa Adat.” Berdasarkan kedua undang-undang tersebut
terdapat konflik norma antara keduanya, dalam UU
Kehutanan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat
hukum adat dilakukan dengan cara dikukuhkan sedangkan
menurut UU Desa hal itu dilakukan dengan ditetapkan
menjadi Desa Adat. Konflik norma merupakan salah
persoalan hukum yang terjadi karena undang-undang yang
tidak harmonis atau saling tumpang-tindih.
Kriteria mengenai keberadaan masyarakat hukum adat
diatur dalam UU Desa dan UU Kehutanan. Dalam pasal 97
ayat (2) UU Desa ditentukan bahwa “Kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki
wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau
gabungan unsur adanya:
a. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama
dalam kelompok;
b. Pranata pemerintahan adat;
c. Harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. Perangkat norma hukum adat.”
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU
Kehutanan yang menyatakan bahwa “Masyarakat hukum
adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (recht-
gemeenschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat, yang masih ditaati, dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah
hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari.”
Kriteria masyarakat hukum adat yang diatur dalam
kedua UU diatas memperlihatkan bahwa terdapat
perbedaan pengaturan mengenai kriteria Masyarakat
Hukum Adat diantara kedua norma tersebut. Sehingga
dalam hal ini terdapat persoalan hukum yang berupa
ketidak harmonisan norma-norma yang sejajar.
Perihal pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat selain diperintahkan secara vertikal oleh
norma hukum diatasnya yakni UUD NRI 1945 pengakuan
dan perlindungan hak-hak masyarakat adat juga
diperintahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Perintah tersebut tercantum dalam pasal 6 UU
HAM, yang menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum
adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyrarakat, dan pemerintah
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk
hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman”.
Bunyi pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan
bahwa untuk menegakkan Hak Asasi Manusia maka
kebutuhan masyarakat hukum adat harus dilindungi oleh
hukum. Kebutuhan masyarakat adat salah satu adalah
pemenuhan atas hak-hak tradisionalnya yang harus
dilindungi oleh instrumen hukum tertentu.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. SASARAN
Mengingat cita luhur Negara Indonesia untuk melindungi
segenap bangsa adalah suatu hal terpenting dalam
merumuskan sasaran yang dituju serta diwujudkan melalui
pembentukan undang-undang mengenai Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sasaran yang dimaksud
adalah :
1. Mengatasi ketidakharmonisan hukum terkait belum
adanya pengaturan khusus mengenai pengakuan dan
perlindungan Masyarakat Hukum Adat
2. Mewujudkan perlindungan Masyarakat Hukum Adat
dalam bentuk pemenuhan hak – hak tradisional
3. Menegaskan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia
B. ARAH DAN TUJUAN
Arah pengaturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat adalah pengakuan secara eksistensi dan
perlindungan keberadaan beserta hak-hak masyarakat hukum
adat.
Keberadaan masyarakat hukum adat telah diatur secara
parsial dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai mana diuraikan di bab sebelumnya, namun
perbedaan tersebut memberikan pengaturan yang berbeda
mengenai pengakuan sampai perlindungan masyarakat hukum
adat.
Pembentukan undang-undang tentang masyarakat hukum
adat mengarah pada bagaimana masyarakat hukum adat diakui,
hak-hak masyarakat hukum adat yang dikristalisasi, bagaimana
masyarakat mengolah wilayah potensi alam wilayah adatnya,
peran serta masyarakat hukum adat dalam hal kebijakan yang
berkaitan dengannya serta mekanisme penyelesaian sengketa
yang terjadi diantara masyarakat hukum adat hukum adat baik
inernal maupun eksternal.
Masyarakat hukum adat akan diakui sebagai sekolompok
masyarakat lain dari komponen negara kesatuan republik
Indonesia, dengan memperhatikan keutuhan negara. Sistem
top-down bottom up atau penyelelarasan antara masyarakat
hukum adat dengan pemerintah sebagai patner dalam menuju
cita luhur negara Indonesia.
C. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
Pengaturan pengakuan dan perlindungan Masyarakat
Hukum Adat berdasarkan ruang lingkup materi yang
mencakup:71
a. ketentuan umum memuat rumusan akademik
mengenaipengertian istilah, dan frasa;
b. materi yang akan diatur;
c. ketentuan sanksi; dan
d. ketentuan peralihan.
Ruang Lingkup Materi di atas yang selanjutnya dijadikan
pedoman dalam rangka penyusunan naskah akademik
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat. Berikut ini adalah penjelasan lebih
lanjut terkait cakupan ruang lingkup materi dimaksud :
1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum memuat rumusan akademik
mengenai pengertian istilah, dan frasa sesuai dalam
pengaturan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Bagian Lampiran I. Adapun hal-hal yang menjadi Ketentuan
Umum adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat Hukum Adat untuk selanjutnya disebut
MHA adalah sekelompok orang yang memiliki ikatan
pada asal – usul leluhur dan / atau kesamaan tempat
tinggal yang tetap mempertahankan beberapa / seluruh

Sesuai Dengan Ketentuan Mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik


71

Rancangan Undang - Undang Pada Lampian I Undang – Undang Nomor 12 Tahun


2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan.
kekhasan, sosial, ekonomi, budaya dan politik secara
turun temurun.
b. Hak Masyarakat Hukum adalahhak-hak tradisional MHA
yang telah ada sejak.
c. Sistem hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah
laku masyrakat yang berlaku dan mempunyai sanksi
bagi masyarakat hukum adat terkait.
d. Pengakuan masyarakat hukum adat adalah pengakuan
secara tertulis dari negara atas keberadaan masyarakat
hukum adat beserta hak-haknya.
e. Wilayah adat adalah kesatuan daerah yang terdiri dari
tanah dan segala potensi sumber daya yang secara turun
temurun dikelola dan dimanfaatkan masyarakat hukum
adat untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
f. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
g. Hak Ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat
untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan
Tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di
wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan
yang menjadi sumber kehidupan dan mata
pencahariannya.
h. Perlindungan MHA adalah kegiatan / upaya yang
dilakukan dalam menjamin dan melindungi pemenuhan
hak – hak masyarakat hukum adat untuk
mengembangkan serta memberikan ruang partisipasi
sesuai dengan kompetensi masyarakat hukum adat.
i. Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut SDA adalah
unsur lingkungan hidup yang terdiri atas hutan, wilayah
pesisir dan perairan pesisir, minyak dan gas, dan
mineral dan batubara.
j. Pengolahan sumber daya alam adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk mengolah dan
memanfaatkan unsur lingkungan hidup, serta mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
k. Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang menjadi
ciri khas Masyarakat Hukum Adat yang meliputi
mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi
dan komunikasi, dan ekologi.
l. Pranata adalah tata aturan yang berguna untuk
mengatur hubungan antar anggota masyarakat hukum
adat.
2. Materi Yang Diatur
a. Asas
1. Asas
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat diselenggarakan berdasarkan asas
equality before the law, bhinneka tunggal ika,
kelestarian dan keberlanjutan, kepentingan nasional,
pengayoman, musyawarah, dan kepastian hukum.
a) Asas Equality Before The Law
Equality before the law dalam arti
sederhananya bahwa semua orang sama di
depan hukum. Persamaan dihadapan hukum
atau equality before the law adalah salah satu
asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini
mengamanatkan bahwa setiap orang harus
diperlakukan sama di hadapan hukum,
termasuk dalam hal untuk mendapat
perlindungan hak-hak tradisionalnya
sebagaimana entitas lain (misalnya badan
hukum) mendapatkan hak-haknya.
b) Asas Bhinneka Tunggal Ika
Asas Bhinneka Tunggal Ika ini
menggambarkan bahwa kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia mengakui dan melindungi
keberadaan masyarakat hukum adat dengan
segala ciri khas yang melekat padanya sebagai
bagian dari keragaman penduduk, agama, suku
dan golongan, serta budaya di Indonesia.
c) Asas kelestarian dan Keberlanjutan
Asas Kelestarian dan Keberlanjutan adalah
bahwa masyarakat hukum adat turut memikul
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu
generasi dengan melakukan upaya pelestarian
daya dukung ekosistem dan memperbaiki
kualitas lingkungan hidup.
d) Asas Kepentingan Nasional
Asas Kepentingan Nasional adalah bahwa
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat
adat yang merupakan bagian dari negara
Indonesia semata-mata ditujukan untuk
kepentingan bangsa dan negara indonesia.
e) Asas Pengayoman
Asas Pengayoman adalah bahwa masyarakat
hukum adat harus mendapatkan perlindungan
terhadap pemenuhan hak-hak tradisionalnya.
f) Asas Musyawarah
Asas Musyawarah adalah bahwa proses
pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa,
serta pembuatan kesepakatan yang berhubungan
dengan masyarakat hukum adat dilakukan
dengan mengutamakan musyawarah.
g) Asas Kepastian Hukum
Asas Kepastian Hukum adalah bahwa dalam
proses perlindungan Masyarakat Hukum Adat
para pemangku kepentingan merasakan adanya
kepastian pada saat menghadapi persoalan
hukum, baik pada saat menuntut hak maupun
pada saat melaksanakan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum.
b. Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat
Dalam penyelenggaraan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat, pemerintah
sebagai pemangku tanggung jawab dan masyarakat
hukum adat sebagai pemangku hak termasuk hak
tradisionalnya untuk mengelola dan memelihara
kesejahteraan, kepentingan angota, dan sumber daya
alam masyarakat hukum adat.
Hak –hak masyarakat hukum adat meliputi :
1. Hak untuk menguasai tanah dan sumber daya alam
di wilayah adat
2. Hak untuk menjalankan sistem hukum adat
3. Hak atas identitas budaya
4. Hak atas perlindungan lingkungan
5. Masyarakat hukum adat yang berada diluar wilayah
datnya berhak atas identitas budaya
Kewajiban masyarakat hukum adat :
1. Turut serta melestarika keberlanjutan lingkungan
2. Berpartisipasi dalam memajukan pendidikan
berbasis keunggulan lokal di lingkungan
masyarakat hukum adat
3. Mayarakat hukum adat menghormati dan
menghargai masyarakat lain atau masyarakat luas
4. Menjaga keberlanjutan pranata masyarakat hukum
adat
5. Toleransi antara masyarakat hukum adat
6. Bekerjasam dalam identifikasi dan verifikasi data
masyarakat hukum adat
c. Tanggung Jawab Pemerintah
Tanggung jawab pemerintah meliputi :
1. Melindungi dan menjaga hak – hak masyarakat
hukum adat
2. Menindak lanjuti sengketa masyarakat hukum adat
dengan pihak lain
3. Pemerintah bertanggung jawab atas pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat
d. Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Lemahnya pengakuan masyarakat hukum adat
sebagai subyek yang mempunyai hak tradisional khusus
sehingga dengan bentuk pengakuan masyarakat hukum
adat akan memperjelas bagaimana masyarakat hukum
adat di akui.
Bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat secara nasional diatur dalam aturan perundang –
undangan.Selain dari kebijakan nasional terdapat
kebijakan daerah yang juga mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat.
Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat
dalam perundang – undangan yang ada lebih banyak
terpusat pada hak atas tanah dan sumber daya alam
yang cenderung mengabaikan pengakuan terhadap hak –
hak MHA lainnya.Bentuk pengakuan yang diatur
meliputi pengakuan status masyarakat hukum adat,
wilayah adat, sistem hukum adat dan produk budaya.
e. Pengolahan Sumber Daya Alam
Masyarakat hukum adat sebagai kesatuan
masyarakat yang memiliki hak asal usul (hak bawaan)
yang mana hak atas tanah dan sumber daya alam yang
bersumber pada hak asal – usul yang dikelola dan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat hukum adat.Pengolahan sumber daya alam
yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat
merupakan tindak lanjut dari bentuk pengakuan.
f. Peran Serta Masyarakat
Masyarakat hukum adat sebagai pelaku dan sebagai
entitas yang berdiri sendiri berhak diberikan tempat
untuk terlibat dalam berjalannya proses pemerintahan.
Peran serta tersebut berupa keterlibatan masyarakat
hukum adat dalam hal pengambilan kebijakan yang
bersifat konsultatif maupun kemitraan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.Keterlibatan tersebut
ditujukan untuk meningkatan kemandirian,
keberdayaan, dan menumbuh kembangkan
ketanggapsegeraan masyarakat hukum adat.
g. Satgas Masyarakat Hukum Adat
Dalam rancangan undang-undang masyarakat
hukum adat akan dirumuskan mengenai hak,
kewajiban, serta tanggungjawab pemerintah terhadap
masyarakat hukum adat. Bahwa berdasarkan evaluasi
terhadap hukum positif diketahui bahwa terdapat
pengakuan namun belum terdapat keterjaminan
perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Maka,
dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum
adat dan penjaminan terhadap pelaksanaan kewajiban-
kewajiban masyarakat hukum adat perlu dibentuk
lembaga khusus yang berwenang untuk :
1. Mengawasi pemenuhan hak-hak masyarakat hukum
adat
2. Mengawasi pelaksanaan kewajiban masyarakat
hukum adat
3. Menjadi pihak ketiga apabila terjadi sengketa antara
masyarakat hukum adat dengan pihak luar
4. Memberikan bantuan hukum apabila masyarakat
hukum adat bersengketa secara litigasi
Lebih lanjut, lembaga ini akan disebut dengan
istilah Satuan Petugas Masyarakat Hukum Adat atau
disebut dengan Satgas MHA. Satgas MHA berkedudukan
di Ibu Kota Provinsi dan dibentuk oleh gubernur.
h. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa dalam konflik hukum adat ini
sendiri memiliki urgensi untuk dapat menyelesaikan
suatu konflik atau suatu permasalahan yang
bersangkutan dengan masalah hukum adat.Penyelesaian
yang dimaksud disini tidak lepas dari asas Musyawarah
untuk mencapai mufakat.
Maka, penyelesaian ini menggunakan bentuk
penyelesaian secara nonlitigasi, yaitu ada 2 tahap :
1. Negosisasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa
yang mengutamakan kesepakatan bersama untuk
mencapai sebuah mufakat agar dari kedua belah
pihak atau beberapa pihak yang memiliki
kepentingan dapat menemukan sebuah titik temu
yang sama - sama menguntungkan pihak yang
berkepentingan itu sendiri. Keuntungan dari jenis
ini adalah dapat mengetahui pandangan dari pihak
lawan, kesempatan untuk dapat mengutarakan isi
hati atau kepentingan pihak lainnya, menyelesaikan
sengketa secara bersama-sama dengan semangat
kekeluargaan, mengupayakan solusi yang baik dari
pihak yang berkepentingan, dan dapat diakhiri
kapan saja sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak
tersebut.
2. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
antara dua pihak atau lebih dengan efek nyata.
Pihak ketiga , mediator, membantu para pihak
untuk bernegosiasi untuk mendapatkan
penyelesaian (tripartite).Keuntungan menggunakan
jenis ini adalah penyelesaiannya cepat terwujud,
biaya yang digunakan murah, rahasia dari pihak-
pihak yang berkpentingan terjaga rahasiannya, dan
bersifat adil dengan menggunakan metode
kompromi.
3. KETENTUAN PERALIHAN
Dalam ketentuan peralihan akan diatur beberapa hal
yakni :
Masyarakat Hukum Adat yang sudah diakui sebelum undang-
undang ini tetap diakui, proses pengakuan masyarakat
hukum adat yang sebelum undang-undang ini tetap
berlangsung.
Semua peraturan perundang-undangan mengenai
masyarakat hukum adat tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini.
4. KETENTUAN PENUTUP
Dalam ketentuan penutup memuat hal-hal mengenai
:Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini harus
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.Dan satuan Petugas Masyarakat
Hukum Adat dibentuk paling lambat 18 (delapan belas)
setelah Undang-undang ini mulai diundangkan.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peraturan perundang-undangan yang saat ini mengatur
perihal masyarkat hukum adat menimbulkan permasalahan-
permasalahan hukum di masyarakat. Permasalahan tersebut
menyangkut norma hukum yang mengatur secara parsial
atau sektoral mengenai masyarakat hukum adat. Untuk itu
diperlukan bentuk pengaturan yang komprehensif, yakni
dengan mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan
masyarakat hukum adat.
2. Keberadaan masyarakat hukum adat sebagai entitas yang
unik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
suatu keniscayaan historis dan tindakan untuk mengakui
serta melindunginya merupakan suatu keniscayaan filosofis,
sosiologis, dan yuridis. Dalam rangka itu, perlu adanya
strategi penyelarasan antara pengakuan masyarakat hukum
adat dengan hukum nasional. Starategi penyelarasan yang
dapat ditempuh adalah dengan mengakui serta melindungi
hak-hak masyarakat hukum adat, sejauh hal itu tidak
bertentangan dengan prinsip dasar negara dan kebebasan
masyarakat luas.
3. Dalam pembuatan suatu undang-undang terdapat 3 (tiga)
aspek yang wajib menjadi pertimbangan, aspek-aspek
tersebut yaitu :Pertama secarafilosofis perlindungan
masyarakat hukum adat merupakan manifestasi daripada
upaya untuk mencapai tujuan bernegara yakni melindungi
segenap “Bangsa Indonesia”. Kedua secara sosiologis konflik
yang menyangkut masyakat hukum adat khususnya pada
sektor pertanahan banyak terjadi. Konflik-konflik tersebut
merusak ketentraman masyarakat dan berpotensi
mengancam kebersatuan masyarakat hukum adat.
Ketigasecara yuridis peraturan perundang-undangan yang
melandasi pembentukan peraturan perundang-undangan
yang mengatur masyarakat hukum adat. Norma yang
melandasi tersebut yakni Pasal 18B UUD NRI 1945 dan UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
B. Saran
Berdasarkan pemaparan diatas diketahui bahwa
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berada
pada titik yang urgen dan dilain sisi landasan untuk melakukan
hal tersebut telah terpenuhi.Maka dari itu, undang-undang yang
mengatur perihal masyarkat hukum perlu segera dibentuk
mengingat urgensi dan landasan pengaturanya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Alting, Husen. 2010.Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan


Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Anil Dawan, Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls dan
Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di
Indonesia,

Asshiddiqie, Jimly. 1998. Agenda Pembangunan Hukum Nasional di


Abad Globalisasi. Jakarta: Balai Pustaka.

Asshiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia


Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Azhary, Muhammad Tahir . 1992. Negara Hukum : Suatu Studi


tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari SegiHukum Islam,
Implementasi pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.
Jakarta: Bulan Bintang.

Fadjar,A. Mukhtie. 2004. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia


Publishing, Jawa Timur.

Gautama, Sudargo. 1983. Pengertian Tentang Negara Hukum.


Bandung:Alumni.

Haar, Ter. 2001. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,diterjemahkan


oleh Soebakti Poesponoto. Jakarta: PT. Pradnya Paranita.

Hartono, Sunaryati. 1976. Apakah The Rule of Law. Bandung:


Alumni.

Hartono, Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum


Nasional. Bandung: Alumni.

Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.


Yogyakarta: PT. Kanisius.

Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang


Peradilan tata Usaha Negara, Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Koesnoe. 2000. Prinsip – prinsip Hukum Adat tentang Tanah.


Surabaya: Ubaya Press.
M. Hadjon,Philipus.1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

M. Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Adiministrasi


Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Manan, Bagir. 1995. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.


Bandung: LPPM Unisba.

Mawardi.Keadilan Sosial Menurut John Rawls. Jakarta: Program


Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Miriam Budiardjo dalam Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum &


Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung:
Alumni.

Muhammad, Bushar. 1981. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: PT


Pradnya Paramita.

Mulia, Musdah. 2001. Negara Islam Pemikiran Politik Husayn Haykal.


Jakarta: Paramadina.

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Qamar, Nurul. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi


(Human Rights in Democratiche Rechtsstaat). Jakarta: Sinar
Grafika.

Raharjo, Satjipto.Hukum Adat Dalam Kesatuan Republik Indonesia


(prespektif sosiologi hukum), dalam Inventarisasi dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

Ruwiastuti, Maria Rita. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria :


Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat.
Yogyakarta: Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

Soerjono Soekanta & Soleman B. Taneko. 1983. Hukum Adat


Indonesia, Cetakan Ke-II. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumardjani, Lisman. 2007.Konflik Sosial Kehutanan. Bogor: Working.

Ujan, Andrea Ata.2001. Keadilan dan Demokrasi : Telaah Filsafat


Politik John Rawls. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Usman,Racmadi. 2012. Mediasi di pengadilan.Jakarta: Sinar Grafika.


Viktor Imanuel W. Nalle. 2013. Konsep Uji Materiil, Kajian
Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di
Indonesia.Malang: Setara Press.

Wasis. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: UMM Press Universitas


Muhammadiyah Malang.

Winarta, Frans Hendra. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa.


Jakarta:Sinar Grafika.

Wiryani, Fifik.2009. Reformasi Hak Ulayat,Pengaturan Hak – Hak


Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Malang: Setara Press.

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Nomor 4 tahun 1982Tentang Ketentuan –


Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan


Alternatif Penyelesaian Sengketa

JURNAL & ARTIKEL

Besse Sugiswati. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi


Masyarakat Adat di Indonesia. Jurnal Perspektif. Volume XVII
Nomor 1.

H. Salim. HS & Erelies Septina Nurbani. 2016. Penerapan Teori


Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi.
Jakarta:Rajagrafindo Persada.

MartuaSirait, dkk.Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat


dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur. Southeast Asia
Policy Research Working Paper. Nomor 24

Sri Soemantri. (tanpa tahun). Negara Kekeluargaan Dalam


Pandangan Pancasila. makalah SESKOAD ABRI.

Syarifah M. 2010. Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era


Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten
Bengkalis Propinsi Riau. Tesis Ilmu Hukum, Program Studi
Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.

Taqwaddin. 2010. Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh


Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi
Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara,
INTERNET

http://www.safaat.lecture.ub.ac.id. Diakses pada 6 Agustus 2016.

http://nationalgeographic.co.id.Diakses pada 30 Juli 2016.

http://.aman.or.id. Diakses pada 31 Juli 2016

http://epistema.or.id. Diakses pada 1 Agustus 2016

Anda mungkin juga menyukai