Naskah Akademik Mha
Naskah Akademik Mha
Disusun Oleh:
KELOMPOK LEGISLATIF DRAFTING FH-UMM
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara Kepulauan
(Archipelagic State) terbesar di dunia.Berdasarkan survey geografi
dan toponimi pada tahun 2010 jumlah pulau di Indonesia adalah
sebanyak 13.466.1Jumlah tersebut berjajar dari Sabang sampai
Merauke berikut keanekaragaman dan kemajemukan hayati,
suku, adat, dan budaya. Hampir disetiap wilayah di Indonesia
memiliki ragam budaya adat istiadat yang berbeda, dan dalam
setiap adat tersebut terkandung sistem nilai, pengetahuan, dan
kepercayaan yang tumbuh dan dilestarikan selama beratus-ratus
tahun lamanya, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali
diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai
murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih
mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar
memberikan pengertian masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah
tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang
tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para
anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu
untuk selama – lamanya.2
Maria S.W. Sumardjono3 juga mendefinisikan bahwa
hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di
wilayah tertentu dengan rasa solidaritas yang besar di antara
1
http://nationalgeographic.co.id pada 30 Juli 2016.
2
Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hal.
30.
3
Dalam MartuaSirait, dkk., Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat
dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, Southeast Asia Policy Research
Working Paper, No. 24, hal. 5.
anggotanya dan memandang yang bukan anggota sebagai orang
luar, menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang
hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya,
pemanfaatan oleh orang luar harus dengan izin dan pemberian
imbalan tertentu berupa recognisi.
Lebih dalam lagi Satjipto Rahardjo4 mengambarkan bahwa
hukum adat itu beranyaman dan berkelindan kuat dengan
budaya setempat. Kata “budaya” disini menunjukan adanya
unsur emosional-tradisional yang kuat dari hukum adat. Ia juga
merupakan hukum yang sangat sarat dengan penjunjungan
nilai-nilai (value laden) tertentu.Bahkan di wilayah-wilayah
tertentu di Indonesia, seperti Aceh, bagi para pemeluknya,
hukum adat adalah identik dengn hukum agama. Maka dengan
menerima dan menjalankan hukum adat, orang sekaligus merasa
berbudaya.Gambaran Satjipto tersebut dapat disederhanakan
dengan pendapat Von Savigny bahwa hukum adat adalah
cerminan jiwa rakyat.
Jadi, dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa hukum adat merupakan cerminan masyarakat Indonesia
sekaligus merupakan hukum asli Indonesia yang dibentuk oleh
masyarakat Indonesia secara turun temurun berdasarkan value
consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan
hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa
keadilan mereka.
Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk
“masyarakat hukum adat”, dalam beberapa literatur dan
peraturan perundang-undangan terdapat dua penyebutan istilah
masyarakat adat, yaitu ada yang menyebutnya “masyarakat adat”
dan ada juga yang menyebut “masyarakat hukum adat”.5Menurut
Taqwaddinistilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan
digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak
difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis. Sedangkan
4
Satjipto Raharjo.Hukum Adat Dalam Kesatuan Republik Indonesia (prespektif
sosiologi hukum), dalam Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi Republi
Indonesia, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, hal. 45-46.
5
Lisman Sumardjani, 2007, Konflik Sosial Kehutanan, Bogor:Working Group
on Forest Land Tenure, hal. 1.
istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan
dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang
mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional. 6istilah
masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people.
Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam
sejumlah kesepakatan internasional, seperti Convention of
International Labor Organixation Concerning Indigeneous and
Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi CariOca
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de
Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal
People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme
Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on
Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin
resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on
the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.Walaupun
demikian, perbedaan peristilahan tersebut tidak menafikan atau
menegaskan hak-hak adat yang dimiliki oleh masyarakat yang
bersangkutan.
Secara Konstitusional pengakuan bangsa Indonesia
terhadap masyarakat hukum adat ditegaskan dalam Pasal 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum Adat besertahak-hak
tradisionalnyasepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NegaraKesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.‟. Kemudian dalam
pasal Pasal 28Iayat(3) UUD Negara RI 1945 bahwa “Identitas
budayadan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal ini, memberikan posisi konstitusif pada masyarakat
hukum adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi
landasan konstitusional bagi pihak penyelenggara negara,
bagaimana seharusnya sebuah komunitas adat diperlakukan.
6
Taqwaddin, 2010, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat
Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas
Sumatera Utara, hlm. 36.
Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang
kewajiban konstitusional bagi negara untuk mengakui dan juga
menghormati masyarakat adat, dan juga sebagai hak
konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan
serta penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya.
Pengaturan masyarakat hukum adat diterjemahkan ke
dalam beberapa peraturan perundang-undangan.Adapun
beberapa peraturan yang mengatur tentang masyarakat hukum
diantaranya adalah TAP MPR. No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41 Tahun
1999 tentang kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Namun yang menjadi permasalahan adalah beberapa
peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat secara parsial,
ambivalen, dan inkonsistensi.Artinya pengaturan mengenai
masyarakat hukum adat tersebar di beberapa peraturan
perundang-undangan yang mana antara peraturan yang satu
dengan lainnya tidak konsisten. Misalnya dalam penjelasan pasal
67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 memberikan unsurtersendiri
terkait masyarakat hukum adat, sementara dalam pasal 63 ayat
(1) huruf e UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa
penentuan unsur-unsur dan klasifikasi masyarakat hukum adat
merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Kemudian contoh lain
sikap ambivalen terkait masyarakat hukum adat tercermin dalam
UUPA. Pada suatu sisi, UUPA secara tegas menyatakan bahwa
hukum adat merupakan sumber dari hukum agraria nasional
kita. Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat hukum adat
yang merupakan konteks sosio kultural lahirnya hukum adat
tersebut dibebani dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat
atau lambat membuka peluang untuk dinafikannya masyarakat
hukum adat tersebut.
Hemat penulis, keseluruhan peraturan yang ada belum
mampu menjangkau permasalahan masyarakat hukum adat
mengenai kebutuhan tentang berbagai hal. Masyarakat hukum
adat hanya dijadikan objek oleh sektor-sektor tertentu, bukan
subjek yang harus dilindungi. Keadaan tersebut menimbulkan
beberapa permasalahan krusial, yaitu: Pertama, hak-hak
masyarakat hukum adat rentan tercederai. Keberadaan dan
eksistensi masyarakat yang memudar dan sudah hampir terkikis
oleh perkembangan zaman saat ini tentu juga akan berdampak
pada masyarakat hukum adat dalam beberapa aspek, dan
bahkan dapat dimanfaatkan oleh oknum yang memiliki
kepentingan pribadi. Salah satu contohnya jika masyarakat
hukum adat keberadaannya melemah maka perlindungannya
pun akan diselewengkan seperti hak mereka atas tanah adat
suatu saat nanti bukan sesuatu yang tidak mungkin akan usik
oleh oknum berkepentingan untuk dibangun dalam hal
perindustriannya seperti pabrik atau perusahaan yang lainnya.
Hak-hak mereka tentu akan tercidera jika perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat tidak segera dibenahi dan ditegakkan
sebagaimana mestinya.
Kedua, banyaknya konfilk yang terjadi. Hak-hak
masyarakat hukum adat yang tercederai sebagaimana dijelaskan
sebelumnya jika dibiarkan terus-menerus akan berdampak pada
timbulnya konflik. Konflik yang terjadi bisa masyarakat hukum
adat dengan perusahaan swasta atau bahkan konflik masyarakat
hukum adat dengan pemerintah. Jika konflik tersebut dibiarkan
secara terus-menerus maka akan mengganggu stabilitas
persatuan Indonesia.
Konflik yang pernah terjadi terkait dengan masyarakat
hukum adat dimulaisekitar tahun 1960. Sebelumnya pengakuan
konstitusional terhadap masyarakat hukum adat ini tidak
banyak dipersoalkan, apalagi digugat. Sebagian faktor
penyebabnya adalah oleh karena jaminan tersebut dianggap
sudah seyogyanya demikian, sebagian lagi oleh karena Republik
masih sibuk dengan perang kemerdekaan.
Namun perlindungan terhadap eksistensi dan hak
masyarakat hukum adat ini merosot tajam sejak tahun 1960,
seiring dengan meningkatnya kepentingan negara terhadap
sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam
wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau
Jawa. Masyarakat adatpun tidak berdiam diri, terhadap
pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak
tradisionalnya itu. Di seluruh Nusantara telah terjadi kritik,
protes, bahkan perlawanan terbuka, dari warga masyarakat
hukum adat, yang pada umumnya gagal untuk dalam
mempertahankan esksistensi dan hak-hak tradisionalnya itu.
Seperti dapat diduga, mereka tidak berada pada posisi yang
dapat membela diri, karena tidak mempunyai akses pada
kekuasaan, baik pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun
yudikatif.
Adapun beberapa konflik yang pernah terjadi terkait
dengan masyarakat hukum adat adalah:
1. Konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara
dengan Pengelola Taman Nasional Rawa Opa
Watumohai pada Kawasan Konservasi. Dalam sejarah
Sulawesi Tenggara, masyarakat adat Moronene
merupakan suku asli tertua yang mendiami daratan
Sulawesi Tenggara, di samping orang Tolaki dan
Mekongga. Masyarakat adat Moronene menyebar hingga
6 kecamatan. Masyarakat adat Moronene di Kecamatan
Rumbia terbagi atas 11 tobu (wilayah adat).
Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan sebutan
Mokole. Mereka telah mengelola wilayah leluhurnya di
HukaEka, Lampopala dan sekitarnya sejak tahun 1920-
an. Selain perkampungan lahan digunakan untuk
kebun, lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun
jati, tambak bersama pada muara-muara sungai,
kuburan dan lain-lain. Pada tahun 1952, 1953 serta
tahun 1960 mereka terpaksa mengungsi meninggalkan
tanah leluhurnya karena gangguan keamanan oleh
gerombolan dan kini mereka tinggal berpencar pada
kampung-kampung sekitarnya setelah beberapa kali
dikumpulkan dan dipindahkan. Akses masyarakat adat
tersebut atas kebun dan usaha tani serta padang
pengembalaan telah mulai dibatasi dengan
ditetapkannya sebagai Taman Buru pada tahun1972.
Pada tahun 1980 wilayah tersebut menjadi calon
Taman Nasional, kemudian pada tahun 1990 ditunjuk
sebagai Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Proses
pengambilalihan lahan di dalam kawasan hutan
tersebut berlangsung tanpa melalui proses
musyawarah. Perjuangan masyarakat adat untuk
mendapatkan pengakuan atas hak-hak adatnya
dilakukan sejak tahun 1987 dengan menulis surat
secara berulang-ulang kepada Wakil Presiden RI serta
Pimpro TN. Kesepakatan lisan dengan Tim Gabungan
Pemda TK II yang diketuai oleh KakanSospol tanggal 16
Desember 1997 disepakati, bahwa masyarakat tetap
tinggal di kampungnya dan memanfaatkan hasil kebun
dan hutan sebagaimana biasanya sambil menunggu
pembicaraan dengan pimpinan. Usaha-usaha negosiasi
damai yang diprakarsai oleh masyarakat adat dalam
mempertahankan hak adatnya justru menimbulkan
intimidasi, pengusiran, penyerbuan, penangkapan
disertai tembakan beruntun dan pembakaran kampung
serta kebun mereka di HukaEna dan Lampopala secara
berulang-ulang (30 Maret 1998 dan 23 Oktober 1998)
12 hari setelah kesepakatan lisan tersebut dilakukan.7
2. Konflik pada masyarakat adat Dayak Simpang, di
Kalimantan Barat pada Hutan Produksi Terbatas
Konflik masyarakat adat Simpang ini berbentuk
tumpang tindih peruntukan lahan dan pemberian ijin
usaha bagi perusahaan atas wilayah adatnya.
7
Besse Sugiswati, Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat
di Indonesia,Jurnal Perspektif, Volume XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi Januari, hal.
33
Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan,
terlihat bahwa di wilayah masyarakat adat tersebut
terdiri atas 8.894 ha hutan cadangan, 2.848 ha tanah
pertanian, 11.200 ha kebun campuran, 81 ha wilayah
pemukiman (total 23.023 Ha), setengah dari lahan itu
menurut RTRWP-Kalbar 2008 menjadi Kawasan
Budidaya nonKehutanan sedangkan sebagian lagi
menjadi Kawasan Budidaya Kehutanan (HPT pada
TGHK 1982). Lebih dari itu, wilayah tersebut telah
dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada
tahun 1997 diberikan bagi beberapa Perusahaan
Kehutanan (HPH PT Inhutani II, HPHTI TTJ, PT GDB)
dan Perkebunan (P PMK, BSP II, dan PT KOI). Sehingga
tidak ada lagi kepastian serta jaminan bagi masyarakat
adat atas hak-hak adatnya (wewenang atas wilayah,
kelembagaan serta pola pengelolaan sumber daya alam)
yang telah dilakukan secara turun-temurun (Kanyan
1999 draft III) (Martua Sirait, dkk, hal 17).8
3. Konflik yang terjadi di Muara Tae, Kabupaten Kutai
Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Sampai saat ini
konflik perampasan tanah wilayah adat tersebut masih
belum menemukan titik terang, pasalnya masyarakat
kedua kampung yakni kampung Muara Tae dan
kampung Muara Ponaq tetap bersikukuh mengklaim
hutan adat Utaq Melinau yang saat ini menjadi tempat
beraktifitasnya perusahaan sawit, PT. Borneo Surya
Mining Jaya (PT. BSMJ) dan PT. Munte Waniq Jaya
Perkasa sebagai wilayah masing-masing komunitas.
Konflik mencuat ketika pada bulan Mei 2012 lalu,
melalui Surat Keputusannya, Bupati Kutai Barat, Ismail
Thomas menetapkan wilayah adat Muara Tae masuk
menjadi bagian dari wilayah kampung Muara Ponaq
padahal sejak turun-temurun wilayah tersebut
termasuk sebagai wilayah adat Muara Tae. 9
8
Martua Sirait, dkk. dalam Besse Sugiswati, Ibid, hal. 34
9
www.aman.or.id. Diakses pada 31 Juli 2016
Ketiga,keberadaan masyarakat hukum adat semakin
memudar. Keberadaan masyarakat hukum adat sudah ada
sebelum negara Indonesia merdeka sampai saat ini adalah
merupakan wujud nyata dari eksistensi masyarakat hukum adat
tersebut. Tidak hanya diakui secara lisan namun juga
keberadaan mereka diakui secara nasional yakni dalam Undang-
Undang Dasar 1495 hasil amandemen mendapat pengakuan dan
penghormatan, termaktub dalam Pasal 18B ayat 2. Pasal ini
memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam
hubungannya dengan negara, bagaimana komunitas
diberlakukan.
Derasnya arus globalisasimembawa dampak ke seluruh
aspek kehidupan, bukan hanya dalam bidang teknologi, tapi juga
pada tatanan sosial masyarakat, khususnya eksistesnsi
masyarakat hukum adat. Kesadaran untuk tetap manjaga
keberadaan masyarakat hukum adat tidak dapat mengiringi
derasnya arus globalisasi. Banyak adat istiadat bahkan hukum
adat itu sendiri sudah tidak diindahkan lagi sehingga bukan hal
yang tidak mungkin jika suatu saat masyarakat hukum adat
akan memudar atau bahkan menghilang.
Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pembaharuan
terhadap peraturan yang ada saat ini dapat menjadi kunci dalam
menyelesaikan konflik dan masalah yang ada pada masyarakat
hukum adat. Sehingga dapat menjamin hak-hak masyarakat
hukum adat akan kebutuhannya. Dengan pemenuhan hak-hak
masyarakat hukum adat maka terjadinya konflik akan dapat
dihindari. Selaras dengan sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia bentuk peraturan tertulis merupakan sumber hukum
yang primer. Bentuk hukum tertulis lebih menjamin pemenuhan
kepastian hukum bagi masyarakat.
Selain itu adanya peraturan baru yang secara konprehensif
mengatur masyarakat hukum adat adalah dalam rangka
melaksanakan amanat Konstitusi, yaitu pasal 18B UUD Negara
RI Tahun 1945 dan putusan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-V/2007 yang mengamanatkan pengaturan
masyrakat hukum adat dengan Undang-Undang.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum
Adat diatur secara komprehensif ?
2. Bagaimana menyelaraskan Masyarakat Hukum Adat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia ?
3. Apa landasan dan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis terkait pembentukan Undang – Undang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ?
4. Apa sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah
pengaturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat ?
10
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hal. 22.
Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa
penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk
memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber
penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat
dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa
bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder.Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.Bahan-
bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi.Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. 11Dalam
penelitian ini seluruh bahan hukum primer dan sekunder
berkaitan dengan produk hukum di bidang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang tentunya dijaga
ketat relevansinya dalam penelitian dimaksud.
11
Ibid. hal.155.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang
dapat memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, yaitu bahan hukum diperoleh dari
buku teks, jurnal baik nasional maupun
internasional, doktrin para ahli, surat kabar, berita
internet, dan rumusan pendapat para ahli.
c. Bahan hukum tertier, yaiu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelesan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus hukumdan lain-lain.
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan teknik
studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan
hukum yang diperlukan, khususnya berkaitan dengan
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
A. Kajian Teoritis
1. Teori Keadilan
Pembicaraan mengenai keadilan telah dimulai sejak
berabad-abad lalu, yaitu pada masa-masa filsuf pertama
yunani kuno sekitar abad ke-VI Sebelum Masehi 12dan
pembicaraan tentang keadilan terus berkembang dalam
nuansa perdebatan yang rumit dan sengit dengan berbagai
macam persepektif dalam pendekatanya, baik etika, politik,
hukum, sosial dan sebagainya. Jika ditelaah secara
etimologisdalam Bahasa Indonesia keadilan berasal dari kata
“adil” dengan awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata “adil” itu
sendiri berasal dari Bahasa Arab“al ‘adl” yang artinya
sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan
hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan
kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm dan
sebagainya.13 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia “adil” mempunyai arti 1. sama berat; tidak berat
sebelah; tidak memihak, 2. berpihak kepada yang benar;
berpegang pada kebenaran; 3. sepatutnya; tidak sewenang-
wenang.14 Dengan imbuhan “ke” dan “an” – menjadi keadilan
– menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat
(perbuatan, perlakuan, dsb) yg adil.
Keadilan menurut para ahli15 juga memiliki berbagai
makna yang berbeda-beda pada masing-masing ahli. Untuk
mengetahui pengertian keadilan menurut para ahli, terlebih
dahulu perlu diketahui teori-teori keadilan yang mereka
jelaskan. Hal ini menjadi perlu karena umunya para ahli
tersebut tidak langsung memberikan konsep keadilan secara
12
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta:
PT. Kanisius, hal. 19.
13
Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John
Rawls), http://www.safaat.lecture.ub.ac.id. Diakses pada 6 Agustus 2016.
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Luar Jaringan.
15
Para ahli yang dimaksud penulis ialah ahli-ahli dibidang filsafat etika, ahli
hukum, dan ahli politik.
definitif. Mereka hanya merumuskan jenis-jenis keadilan,
prinsip-prinsip keadilan, atau metode untuk mencapai
keadilan. Sehingga, berdasarkan teori-teori tersebut dapat
dirumuskan pengertian atau batasan keadilan menurut
mereka. Sebagaimana disampaikan di awal bahwa
pembahasan tentang keadilan telah dimulai pada masa
Yunani kuno. Para filsuf periode awal Yunani tersebut,
membicarakan keadilan dengan bertitik tolak pada Alam
Semesta sebagai variabel independen, yang mana manusia
merupakan varibel dependen dari Alam Semesta.
Sebagaiamana pendapat Anaximander bahwa keharusan
alam dan hidup kurang dimengerti manusia yang ia
(manusia) adalah bagian dari alam semesta. Tapi yang jelas,
bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan
keharusan alamiah. Bila itu terjadi, timbulah keadilan (dike).
Lebih lanjut, Herakleitos berpendapat bahwa memang
kehidupan manusia harus disesuaiakan dengan keteraturan
Alam Semesta, namun juga harusdihubungkan dengan Logos
(akal-budi. pen16).17 Keadilan menurut dua filsuf diatas dapat
diartikan sebagai pengolahan oleh akal-budi manusia
terhadap keteraturan alam semesta.
Pada masa berikutnya Plato memberikan pendapat
tentang keadilan sebagai suatu kesatuan yang harmonis
antara kelas-kelas yang ada dalam suatu negara. Dalam
filsafatnya tentang keadilan (khususnya keadilan dalam
suatu negara), Plato mengelompokan rakyat dalam suatu
negara menjadi kelas-kelas atau golongan-golongan, yaitu : 1)
sofia yakni golongan yang mempunyai kebijaksanaan yang
berperan untuk membentuk pemerintahan, 2) andreia yakni
golongan yang mempunyai keberanian atau kelas para
tentara yang berperan untuk menjaga negara, 3) soophrosune
yakni kelas dengan keterampilan tertentu yang berperan
menggerakan roda perekonomian dalam negara. Kelas ini
16
Logos sering diartikan sebagai ilmu, pengetahuan, wacana, topik atau
pembicaraan, pembahasan, namun dalam hal ini logos dimaksudkan oleh penulis
sebagai akal-budi atau kebijaksanaan manusia menurut akal sehatnya.
17
Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Op. Cit.
misalnya para pedagang, tukang, dan petani. 18Keharmonisan
akan tercapai apabila masing-masing kelas tersebut berkerja
menurut tempat dan tugasnya masing-masing, setelah itu
maka timbulah keadilan. Lain halnya dengan Aristitoteles
yang membagi keadilan menjadi dua yakni : keadilandalam
arti umum dan keadilan dalam arti khusus. Keadilan dalam
arti umum Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur
yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing
bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar
hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum
adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat
dengan kepatuhan terhadap hukum 19. Sedangkan keadilan
dalam arti khusus berkaitan dengan beberapa hal, yakni : 1)
Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau
uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian
haknya, 2) Perbaikan suatu bagian dalam transaksi.
Lain ladang, lain pula rumputnya, lain orang lain pula
pemikiranya. Demikian halnya dengan John Rawls yang
memiliki konsepsi berbeda dengan Plato dan Aristoteles
tentang keadilan. Bagi Rawls bidang utama keadilan adalah
susunan dasar masyarakat yang meliputi: konstitusi,
pemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi, pasar
kompetitif, dan susunan keluarga monogami. Pandangan
Rawls menitikberatkan pada hal-hal tersebut karena
susunan dasar masyarakat atau institusi sosial tersebut
mempunyai pengaruh yang mendasar terhadap aspek-aspek
kehidupan manusia, juga dalam perilaku, keputusan dan
penilaian individual.20Susunan dasar masyarakat tersebut
berfungsi untuk mendistribusikan beban dan keuntungan
sosial kepada seluruh masyarakat. Keuntungan sosial yang
dimaksud dapat berupa kekayaan, pendapatan, makanan,
kewibawaan, perlindungan, harga diri, dan kekuasaan.
18
Ibid, hal. 23. Lihat juga Mawardi, Keadilan Sosial Menurut John Rawls,
Program Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, hal. 42-43.
19
Muchamad Ali Safa’at, Op.Cit.,
20
Anil Dawan, Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls dan
Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di Indonesia,
Beban sosial dapat berupa bea dan pajak. Struktur dasar
masyarakat yang dapat mendistribusikan seluruh
keuntungan dan beban secara merata adalah susunan dasar
masyarakat yang asli. Susunan dasar masyarakat yang asli
inilah yang dimaksud oleh Rawls sebagai susunan
masyarakat yang adil. Permasalahanya adalah bagaiamana
cara untuk merumuskan dan memberikan landasan pada
sederetan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah
struktur dasar masyarakat yang adil? Permasalahan inilah
yang diistalahkan oleh Rawls sebagai Problem Utama
Keadilan. Prinsip-prinsip sosial tersebut diharapkan akan
mampu menetapkan bagaimana struktur masyarakat dapat
mendistribusikan prospek mendapatkan “hak-hak dasar”
(yaitu: hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan,
kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan). Dalam
struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan tersebut
bertugas mengerjakan dua hal, yaitu: pertama, memberi
penilaian yang konkret tentang adil tidaknya institusi-
institusi dan praktek-praktek institusional. Kedua, harus
membimbing kita dalam mengembangkan kebijakan-
kebijakan dan hukum yang mengoreksi ketidakadilan dalam
struktur dasar masyarakat tersebut.21
Guna menjawab problem utama keadilan tersebut Rawls
memberikan prinsip-prinsip keadilan yang dapat menjadi
solusi atas permasalahan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut
yakni: pertama setiap orang harus memiliki hak yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
yang sama bagi semua orang, kedua ketidaksamaan sosial
dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga: (a)
diharapakan memberikan keuntungan bagi setiap orang, (b)
semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang 22.
Terkait dengan prinsip kedua tersebut, dapat dijelaskan
bahwa dalam masyarakat perlu diakui terdapat pihak yang
kurang diuntungkan atau lemah, dan terdapat pula pihak
Ibid.
21
Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi : Telaah Filsafat Politik John
22
23
H. Salim. HS & Erelies Septina Nurbani, 2016, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta:Rajagrafindo Persada, hal. 259.
24
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adiministrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hal. 287.
didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada
pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum
preventif.25
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif juga merupakan hasil
teori dari Philipus, tetapi ini memiliki ketentuan-
ketentuan dan ciri yang berbeda dengan perlindungan
hukum preventif dalam hal penerapannya. Pada hukum
represif ini, subyek hukum tidak mempunyai kesempatan
untuk mengajukan keberatan karena ditangani langsung
oleh peradilan administrasi dan pengadilan umum. Selain
itu, ini merupakan perlindungan akhir yang berisi sanksi
berupa hukuman penjara, denda dan hukum tambahan
lainnya.Perlindungan hukum ini diberikan untuk
menyelesaikan suatu pelanggaran atau sengketa yang
sudah terjadi dengan konsep teori perlindungan hukum
yang bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak manusia dan diarahkan
kepada pembatasan-pembatasan masyarakat dan
pemerintah.Perlindungan hukum yang represif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan
hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi
di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini.
Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya
konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban
masyarakat dan pemerintah.
Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum
terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara
hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan
25
Ibid.
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat
tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari
negara hukum.26
3. Teori Negara Hukum
Istilah negara hukum selain dikenal dengan istilah
rechtsstaat dan rule of law, juga dikenal istilah Nomocracy
yang artinya sama dengan negara hukum. Istilah rechstaat
dikenal dalam konsep Eropa Kontinental, sedangkan istilah
Rule Of Law dikenal dalam konsep Anglo Saxon.
Secara formal istilah negara hukum diartikan sama
dengan rechstaat maupun rule of law, mengingat ketiga
istilah tersebut mempunyai arah yang sama, yakni mencegah
kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak
asasi. Perbedaannya terletak pada arti materil atau isi ketiga
istilah tersebut yang disebabkan oleh latar belakang sejarah
dan pandangan hidup suatu bangsa.
Jimly Asshiddiqie menggunakan istilah nomocracy
sebagai padanan istilah negara hukum, bahwasannya
gagasan, cita dan ide negara hukum tersebut saling terkait
dengan konsep rechstaat dan rule of law, serta nomocracy
yang berasal dari kata nomos dan cratos atau kratien dalam
demokrasi. Nomos yang berarti norma dan kratos yaitu
kekuasaan. Faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan yaitu norma dan hukum. Karena itu, istilah
nomocracy erat kaitannya dengan kedaulatan hukum yang
memiliki prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. 27
Dari pandangan diatas, dapat dipahami bahwa istilah
negara hukum dikenal dengan beberapa istilah yang
ketiganya memiliki arti yang sama dengan negara hukum,
inti dari rumusan tersebut adalah hukum yang berlaku
dalam suatu negara hukum harus terumus secara
demokratis dan memang dikehendaki oleh rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi.
26
Ibid, hal. 289
27
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, hal. 298.
Kajian negara hukum sudah dimulai dari negara hukum
klasik, yaitu Nomokrasi Plato (427-347 SM) dan Negara
Hukum Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW
(570-632). Gagasan negara hukum Plato (427-347 SM)
tentang nomokrasi. Saat itu, katanya negara harus dipimpin
oleh orang bijak (the philosophers) dan membagi warga negara
menjadi tiga lapisan masyarakat, yaitu: the perfect guardians
(kaum filosof yang bijak bestari), the auxiliary guardian
(golongan pembantu seperti militer dan teknokrat), dan the
ordinarypeople (kaum petani dan pedagang).28
Negara Hukum Madinah didirikan oleh Nabi Muhammad
SAW (570-632) sekitar kurun waktu 622-632 yang
merupakan tipe ideal negara hukum yang didasarkan pada
perjanjian masyarakat. Didirikannya Negara Hukum Madinah
bermula pada perjanjian Aqabah pertama tahun 620 dan
perjanjian Aqabah kedua tahun 621.29
Kemudian, lahirlah cikal bakal negara hukum modern
dan bentuk konkritnya lahir konsep rechtstaat yang
dirumuskan oleh filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804)
dan konsep rule of law)yang dirumuskan filosof Inggris
A.V.Dicey, yang merupakan gagasan untuk menjamin hak
asasi dan pemisahan kekuasaan.
Kemudian, konsep rechstaat berkembang dalam suasana
liberalisasi dan kapitalisme pada abad ke – 18 yang
dirumuskan oleh Immanuel Kant(1724 -1804) dalam
menjabarkan paham laissez faire laissez aller dan
nachwachtersstaat, untuk menjamin kehidupan setiap
individu,30 yang diinspirasi oleh teori pemisahan kekuasaan
Monterquieu yang lahir untuk menghindari pemusatan
kekuasaan yang dapat mendorong terjadinya kesewenang –
wenangan berkaitan dengan paham demokrasi dari
Rousseau.
28
Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad
Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 82-83.
29
Musdah Mulia, 2001, Negara Islam Pemikiran Politik Husayn Haykal,
Jakarta: Paramadina, hal. 61.
30
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 90.
Unsur – unsur negara hukum yang digagas oleh
Immanuel Kant (1724-1804) dan yang dikembangkan oleh
Friedrich Stahl, yaitu: (1) Adanya jaminan perlindungan hak
asasi manusia (2) Adanya pemisahan dalam kekuasaan
negara (3) Setiap tindakan negara harus didasarkan atas
undang – undang yang telah ditetapkan terlebih dahulu (4)
Adanya peradilan administrasi negara.31
Kemudian konsep negara hukum (rechtstaat)
dikembangkan lagi oleh S.W. Couwenberg menjadi sepuluh
unsur seperti yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon, yaitu
sebagai berikut:32
a. Pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil,
pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan
khusus perorangan, dan pemisahan antara hukum
publik dan privat.
b. Pemisahan antara negara dan gereja.
c. Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil.
d. Persamaan terhadap undang-undang.
e. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan
negara dan dasar sistem hukum.
f. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dan
sistem checksand balances.
g. Asas legalitas.
h. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan
kehakiman yang tidak memihak dan netral.
i. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
penguasa oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak
dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakkan
prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.
j. Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat
teritorial maupun vertikal.
Berbeda dengan di atas M. Scheltema seperti dikutip
oleh Bagir Manan yang menyebutkan bahwa negara
berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama,
31
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, hal. 75.
32
Ibid, hal. 91.
yaitu: (1) Asas kepastian hukum (2) Asas persamaan (3) Asas
demokrasi (4) Asas pemerintah dibentuk untuk melakukan
pelayanan terhadap masyarakat.33
Beda dengan rechtsstaat, the rule of law yang dimulai
dikembangkan di Inggris dan berkembang pula di Amerika
Serikat. Perkembangannya di Amerika Serikat dalam
government of judiciary, yang oleh W. Friedman mempunyai
dua arti, yaitu formal dan materiil. Arti formal adalah
kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power)
dan setiap negara modern memiliki rezim hukum sendiri-
sendiri. Arti material adalah pemerintahan oleh hukum yang
berkeadilan (the rule ofjust law), sedangkan oleh pelopor
utamanya A.V. Dicey, the rule of law mempunyaitiga unsur,
yaitu: supremacy of law, equality before the law, and the
constituionbased on individual rights.34
Frederich Julius Stahl, mengemukakan tentang konsep
negara hukum yang ditandai oleh empat unsur pokok yaitu: 35
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi
manusia
b. Negara didasarkan pada teori trias politik
c. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan Undang –
Undang (wetmating bestuur); dan
d. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh
pemerintah (onrechtmatig eovergheidsdaad)
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl tersebut
dinamakan negara hukum formil, karna lebih menekankan
pada pemerintahan yang berdasarkan undang – undang.
Negara dalam arti formal sempit (klasik) ini adalah negara
yang kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada
pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum,
seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis
33
Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung:
LPPM Unisba, hal. 5.
34
A. Mukhtie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia
Publishing, Jawa Timur.
35
Miriam Budiardjo dalam Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji
Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, hal.33.
( undang – undang ) yaitu, hanya bertugas melindungi jiwa,
benda, atau hak asasi warganya secara pasif, tidak campur
tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan
kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan
ekonomi adalah prinsip “laiesez faire laiesizealler”.
Namun, seiring dengan perkembangan pemerintahan
yang berdasarkan undang – undang dirasa lamban dan
kemudian diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan
prinsip rechmatig bestuur. Dengan demikian, negara hukum
formil menjadi menjadi negara hukum materiil dengan ciri
rechmatig bestuur. Kemudian lahirlah konsep – konsep yang
merupakan varian dari rechtsstaat itu, antara lain
welvaarsstaat dan verzorgingsstaat sebagai negara
kemakmuran. Populer diistilahkan dengan welfarestaat
modern.36 Negara dalam arti materiil (luas modern) ialah
negara yang terkenal dengan istilah welfare state (welvaar
stat), (wehlfarstaat), yang bertugas menjaga keamanan dalam
arti kata seluas – luasnya, yaitu kemanan sosial (sosial
security) dan menyelenggarakan kessejahteraan umum,
berdasarkan prinsip – prinsip hukum yang benar dan adil
sehingga hak – hak asasi warga negaranya benar – benar
terjamin dan dilindungi.37
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang
di gagas oleh founding people 38
yang dirumuskan pada Pasal
1 Ayat 3 UUD NRI 1945 perubahan ke - 4 yang menegaskan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat)”. Selanjutnya, ditegaskan juga bahwa
“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang – Undang Dasar”. Selain itu juga dirumuskan pada
Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat yang menegaskan
bahwa “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
36
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Human
Rights in Democratiche Rechtsstaat), Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42
37
A. Mukhtie Fadjar, Op.Cit.
38
Menurut Mahfud MD, para pendiri Negara Indonesia yang merumuskan
pembentukan negara tidak hanya terdiri laki – laki, namun ada beberapa
perempuan yang turut serta dalam pembentukan negara, sehingga beliau
menyatakan sebagai founding people daripada founding father.
Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”.39
Sehubungan dengan konsep negara hukum diatas,
sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia
identik dengan rechtstaat. Hal itu dapat dilihat pada
penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat).
Pengertian rechstaats disamakan dengan “negara
berdasarkan atas hukum” karena negara Indonesia
merupakan negara hukum menurut Gautama40 dan setiap
tindakan harus didasarkan pada hukum.
Menurut Oemar Seno Adji, sebagai Negara Hukum
Indonesia memiliki cirri – ciri khas Indonesia. Oleh karena
itu Pancasila diangkat sebagi dasar pokok dan sumber
hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula
dinamakan negara Hukum Pancasila.41
Dalam telaahnya Padmo Wahyono menjelaskan
pengertian Negara Hukum Pancasila dengan bertitik pangkal
dari asas kekeluargaan, yang tercantum dalam UUD NRI
1945 (asas ini tetap ada meskipun UUD 1945 telah
diamandemen, vide Pasal 33). Asas kekeluargaan tersebut
pada dasarnya yang diutamakan adalah “rakyat banyak,
namun harkat martabat manusia tetap dihargai.42
Sedangkan menurut Sri Soemantri,43 menjelaskan
Negara Hukum Indonesia secara lebih transparan bahwa
salah satu unsur Negara Hukum Indonesia adalah
melaksanakan tugas dan kewajibannya selalu berdasar pada
hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian, sudah
semestinya aparat penegak hukum maupun pejabat
39
Lihat selengkapnya Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
40
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung:
Penerbit Alumni, hal.3
41
Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum : Suatu Studi tentang
Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari SegiHukum Islam, Implementasi pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang,hal. 69.
42
Ibid, hal.69-70.
43
Sri Soemantri, (tanpa tahun), Negara Kekeluargaan Dalam Pandangan
Pancasila, makalah SESKOAD ABRI.
administrasi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
mempertimbangkan pula hukum tidak tertulis disamping
hukum tertulis.
Selanjutnya, Sunaryati Hartono menyamakan arti istilah
“negara hukum dengan rule of law, sebagaimana dalam
tulisannya “supaya tercipta suatu negara hukum yang
membawakeadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan,
penegakan rule of law itu harus dalam arti materiil.44
Menurut Philipus M. Hadjon45 menjelaskan bahwa
negara hukum tidak begitu saja dipersamakan dengan
rechtstaats maupun rule of law, dengan alasan:
a. baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar
belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau
perjuanganmenentang kesewenangan penguasa,
sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan
berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk
kesewenangan atau absolutisme;
b. baik konsep rechtsstaat maupun rule of law
menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan
Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral
adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan
rakyat berdasarkan asas kerukunan;
c. untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat
mengedepankan prinsip wetmatigeheid dan rule of law
mengedepankan prinsip equality before the
law,sedangkan Negara Republik Indonesia
mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan
antara pemerintah dan rakyat.
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam
salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut,
namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem
hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan
44
Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Bandung: Alumni, hal.
35.
45
Philipus M. Hadjon, Op.Cit., hal. 84-85
sistem hukum di Indonesia banyak terpengaru oleh sistem
hukum continental (rechtstaats).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Sunaryati
hartono menyatakan bahwa pada masa kini diatas pancasila
dan UUD 1945 berdiri tata hukum Indonesia yang pluralistis
yang tersusun atas sistem hukum adat, sistem hukum islam,
sistem hukum nasional dan sistem hukum barat.46
4. Teori Sistem Hukum
Sistem Hukum adalah suatu kesatuan komponen-
komponen didalam hukum, yang dimana masing-masing
komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang
lain. Hukum sebagai sebuah system, yang di dalamnya
memiliki komponen-komponen yang saling bekerja
sedemikian rupa sehingga membentuk pola dengan ciri
khasnya sendiri.47
Umumnya para ahli berpendapat bahwa dalam system
hukum terdapat tiga komponen penting yang saling
melengkapi dan saling ketergantungan.Komponen-komponen
tersebut meliputi Komponen Struktur (Struktur of Law),
Komponen Substansi (Substance of the Law), Komponen
Kultur (Legal Culture).48
Struktur, Bagian-bagian penting dari system hukum yang
bergerak dalam suatu mekanisme.Yang termasuk di dalam
komponen ini adalah lembaga-lembaga pembuat
hukum/Undang-undang, para pekerja hukum, Biro bantuan
Hukum, serta Lembaga-lembaga lain yang diberi wewenang
untuk menjalankan Hukum.
Substansi, Perangkat hukum/aturan hukum itu sendiri,
hal ini menyangkut kualitas isi hukumnya.Isi hukum
dianggap berkualitas ketika sesuai dengan aspirasi dan rasa
keadilan Masyarakat.Hukum yang baik adalah jenis hukum
yang responsif, bukan represif.Hukum-hukum yang
46
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung: Alumni,hal. 61.
47
Wasis, 1998, Pengantar Ilmu Hukum, Malang:UMM Press.
48
Ibid.,
dimaksud secara substansial berbentuk macam-macam, ada
yang berbentuk Konkreto dan Abstracto, Privat dan Publik.
Kultur, komponen ini menyangkut soal tingkat kesadaran
Hukum yang ada di Masyarakat. Dalam proses penegakan
hukum, komponen ini juga sangat berpengaruh, sebab akan
menentukan apakah hukum yang diberlakukan dapat ditaati
atau tidak.49
5. Tinjauan Umum tentang Masyarakat Hukum Adat
a. Pengertian Dan Hak Masyarakat Hukum Adat
Istilah Masyarakat Hukum Adat telah digunakan
dalam berbagai peraturan perundang-undagan
diantaranya aialah UU No. 5 Tahun 1950 tentang
Agraria, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan dan lain sebagainya. Istilah
masyarakat hukum adat juga dikenal dalam kajian
tentang hukum adat (adatrecht) yang pertama kali
dikenalkan oleh Cornelis Van Vollenhoven.Pengertian
Masyarakat Hukum Adat baik secara yuridis maupun
secara doktrinal mendapat rumusan yang berbeda.
Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut Ter
Haar ialah kelompok masyarakat yang teratur, menetap
di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri,
dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda
yang terlihat maupun yang tidak terlihat. 50Sedangkan
menurut Hazairin masyarakat hukum adat ialah
kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri,
yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa,
dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
bersama atas tanah air bagi semua anggotanya. 51Juga
para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam
AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai
49
Ibid.,
50
Mr. B. Ter Haar Bzn, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: PT. Pradnya Paranita, hal. 7.
51
Soerjono Soekanta & Soleman B. Taneko, 1983, Hukum Adat Indonesia,
Cetakan Ke-II, Jakarta: PT. Rajawali Press, hal. 108.
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.52 Definisi lain tentang masyarakat adat
juga dikemukakan oleh Maria Rita Ruwiastuti bahwa
masyarakat adalah kelompok masyarakat yang
leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat
itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria
diatur oleh hukum adat setempat.53
Secara yuridis pengertian Masyarakat Hukum Adat
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 1 angka 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup
disebutkan bahwa Masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang
kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan
hukum. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Permendagri
No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menyatakan
bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara
Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup
berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan/atau
kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat
dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah
tertentu secara turun temurun. International Labour
Organizationdalam Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989,
52
Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hal.
30.
53
Maria Rita Ruwiastuti, 2000, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar
Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Yogyakarta; Kerjasama Insist Press,
KPA dan Pustaka Pelajar, hal. 177.
merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang
berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi
sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka
dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut,
dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian
oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau
dengan hukum dan peraturan khusus.
Dari beberapa pengertian Masyarakat Hukum Adat
tersebut maka, dalam penelitian ini penulis mengartikan
masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun temurun bermukim dan menguasai
wilayah geografis tertentu, dan memiliki ikatan karena
asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal,
serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum.
Selanjutnya perlu untuk dipaparkan kriteria
masyarakat hukum adat masyarakat hukum adat.
Menurut H.M. Koesnoe54 menyatakan bahwa masyarakat
adat hendaknya memperhatikan hal-hal yang menjadi
pertanyaan yang jawabannya akan menjadi kriteria ada
atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut:
a. Apakah dalam territori yang bersangkutan ada
kelompok yang merupakan satu kesatuan yang
terorganisir.
b. Sebagai kelompok yang demikian apakah
organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati
oleh para anggotanya.
c. Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan
tanah yang bersangkutan (seperti sudah berapa
generasi).
d. Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang
hegemony dalam kehidupannya sehingga kelompok
itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan
hukum.
55
Syarifah M, 2010, Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi
Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Tesis Ilmu
Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, hal.
21.
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
b. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
c. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan
ekonomi;
d. Hak atas pendidikan;
e. Hak atas pekerjaan;
f. Hak anak;
g. Hak pekerja;
h. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
i. Hak atas tanah, Mayarakat adat memiliki hak atas
tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-
sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara
tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-
wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah
digunakan atau yang telah didapatkan (Pasal 26
ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat
Adat)
j. Hak atas persamaan;
k. Hak atas perlindungan lingkungan;
l. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;
m. Hak atas penegakan hukum yang adil.
Sedangkan menurut hukum posistif Indonesia hak-hak
MHA :
No Peraturan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat
.
1. Undang-undang Hak-hak tradisional masyarakat
PEMDA hukum adat
2. Undang-undang a. Pengakuan dan perlindungan
HAM lebih berkenaan dengan
kekhususannya
b. Identitas budaya masyarakat
hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat
3. Undang-undang a. Hak atas hutan adat
Kehutanan b. Mengelola kawasan untuk
tujuan khusus
c. Melakukan pemungutan hasil
hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang
bersangkutan
d. Melakukan kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-
undang
e. Mendapatkan pemberdayaan
dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya
4. Undang-undang Hak ulayat masih dianggap hidup
Sumber Daya Air apabila memenuhi tiga unsur:
a. Unsur MHA
b. Unsur wilayah
c. Unsur hubungan antar MHA
dengan wilayahnya
5. Undang-undang Memperoleh ganti rugi hak atas tanah
Perkebunan mereka yang digunakan untuk konsesi
Masyarakat Adat perkebunan
6. Undang-undang Hak-hak masyarakat adat, masyarakat
Pengelolaan Wilayah tradisional, dan kearifan lokal atas
Pesisir dan Pulau- wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-
temurun. Diberikan dalam bentuk hak
pengusahaan perairan pesisir (HP-3)
7. Undang-undang Keberadaan masyarakat adat, kearifan
Perlindungan dan lokal, dan hak-hak masyarakat adat
Pengelolaan dalam perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup. lingkungan hidup.
56
Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, hal. 103.
57
http://epistema.or.id.Diakses pada 1 Agustus 2016.
2) Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan
hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-
aturan adat yang disepakati bersama oleh
masyarakat adat;
3) Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan
sistem kepengurusan/kelembagaan adat;
4) Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan
(agama), sistim pengetahuan(kearifan) dan bahasa
asli.
b. Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam
Instrumen Hukum Internasional
Melihat dari sangat pentingnya keberadaan
masyarakat hukum adat dalam sebuah negara, yang
mana masyarakat hukum adat juga dianggap sebagai
salah satu cerminan identitas negara, maka
perlindungan yang kini diberikan tidak hanya dalam
ruang lingkup nasional. Mengingat perlindungan
terhadap masyarakat hukum adat dalam hukum
nasional kurang dapat memberikan perlindungan yang
maksimal, maka dalam hal iniakhirmya memunculkan
kepedulian dari sebuah organisasi internasional yaitu
ILO (international labour organization) organisasi
perburuhan internasional, untuk memberikan
pengakuan serta perlindungan terhadap masyarakat
hukum adat secara internasional.
Melalui Konferensi Umum Organisasi Perburuhan
Internasional yang disidangkan di Jenewa oleh Badan
Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah
mengadakan pertemuan dalam sidangnya yang ke-76
pada tanggal 7 Juni 1989, mengeluarkan sebuah
ketetapan yaitu Konvensi Masyarakat Hukum Adat 1989.
Konvensi ini berisikan mengenai masyarakat hukum
adat di negara-negara merdeka.
Isi dari konvensi tersebut salah satunya mengatur
tentang kebijakan umum yang memiliki sub bagian
yakni status, tanggung jawab pemerintah dalam
menyusun dan memastikan bahwa masyarakat hukum
adat mendapatkan manfaat berdasarkan kesetaraan
derajat. Kemudian bagian tanah yakni dalam
menentukan ketentuan pemerintah harus menghormati
pentingnya kekhususan nilai budaya spiritual dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.Bagian
perekrutan dan syarat-syarat kerja pemerintah harus
melakukan setiap hal yang mungkin dilakukan untuk
mencegah diskriminasi antara para pekerja dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan
para pekerja lainnya.
Bagian pelatihan kejuruan, kerajinan tangan dan
industri-industri pedesaan yakni masyarakat hukum
adat harus mendapatkan kesempatan yang sama dengan
kesempatan yang didapat oleh warga negara lain
sehubung dengan upaya pelatihan kejuruan,
meningkatkan partisipasi secara sukarela dalam
program-program pelatihan kejuruan yang bersifat
umum.
Bagian jaminan sosial dan kesehatan yaitu skema
jaminan sosial harus diperluas secara bertahap untuk
mengikutsertakan masyarakat hukum adat tanpa
diskriminasi, pemerintah memastikan tersedianya
pelayanan yang memadai.
Bagian pendidikan dan sarana komunikasi yakni
masyarakat hukum adat mempunyai kesempatan untuk
mendapat pendidikan disemua tingkatan yang sekurang-
kurangnya sama dengan masyarakat lain di negara yang
bersangkutan.
Bagian hubungan dan kerjasama lintas batas yakni
pemerintah harus mengambil upaya yang tepat
termasuk perjanjian internasional untuk memfasilitasi
hubungan dan kerjasama antara masyarakat hukum
adat lintas batas-batas negara, termasuk kegiatan
dibidang ekonomi, sosial, budaya, spiritual dan
lingkungan hidup.
Bagian administrasi yakni pemerintah yang
bertanggung jawab atas hal-hal yang dicakup dalam
konfensi ini dan harus memastikan adanya instansi-
instansi atau mekanisme lain yang diperlukan untuk
menyelenggarakan program-program yang berdampak
terhadap masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Bagian ketentuan-ketentuan umum yakni konvensi ini
ditetapkan secara luwes dengan memperhatikan kondisi-
kondisi yang menjadi ciri tiap negara.
Tidak hanya itu saja namun perlindungan
masyarakat hukum adat dalam instrumen hukum
internasional juga ada pada sejak ditetapkannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.
Perlindungan tersebut kemudian diatur secara berturut-
turut dalam berbagai internasional secara terperinci,
yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Konvenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Ras, Konvensi tentang
Penduduk Asli dan Penduduk Suku Tahun 1989,
Komentar Umum Nomor 4 Tahun 1991 Komite Untuk
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tentang Hak Atas
Perumahan, Arahan Operasional 4.20 Bank Dunia Bulan
September 1991, Deklarasi hak orang-orang yang
termasuk bangsa/suku bangsa, agama,dan bahasa
minoritas Resolusi Majelis Umum PBB 47/135 tanggal
18 Desember 1992, Agenda 21 tahun yang ditetapkan
oleh Konferensi PBB untuk Lingkungan dan
Pembangunan pada tahun 1992, Resolusi Komisi Hak
Asasi Manusia 1993/77 tentang Pengusiran Paksa.58
6. Tinjauan Tetang Peran Serta Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam suatu proses dikenal
dengan partisipasi masyarakat. Istilah lain partisipasi yang
sering digunakan adalah peran serta, keterlibatan dan
58
Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat,Pengaturan Hak – Hak
Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Malang: Setara Press
keikutsertaan yang terwujud dalam sikap gotong royong.
Peran serta tersebut kemudian diartikan sebagai cara
melakukan interaksi antara dua kelompok. Kelompok yang
selama ini tidak dikutsertakan dalam proses pengambilan
keputusan (non-elite) atau kelompok masyarakat yang
terkena kebijakan dan kelompok yang selama ini melakukan
pengambilan keputusan (elite).
Canter (1977) merumuskan bahwa peran serta
masyarakat adalah proses komunikasi dua arah yang
berlangsung secara terus – menerus untuk meningkatkan
pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses
kegiatan, dianalisa oleh badan yang berwenang.59
Menurut Cormick (1979) peran serta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya
dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang bersifat kosultatif
dan bersifat kemitraan. Masyarakat mempunyai hak untuk di
dengar pendapatnya dan berhak untuk diberi tahu oleh
pejabat pengambil keputusan kepada masyarakat yang
berkepentingan merupakan pola hubungan konsultatif.
Sedangkan, pola hubungan yang bersifat kemitraan
menggambarkan bahwa keduanya antara pejabat pengambil
keputusan dengan mkelompok masyarakat memiliki
kedudukan yang sama dan secara bersama - sama
membahas masalah dan mencari pemecahan masalah.
Selain membedakan sifatnya, peran serta masyarakat
memiliki tingkatan untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan. Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai “non
peran serta”, dengan menempatkan bentuk – bentuk peran
serta yang dinamakan (1) terapi dan (2) manipulasi. Tangga
ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat
“Tokenisme” yaitu suatu tingkat peran serta dimana
masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi
mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapat
jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan
59
Ibid.,hal. 27.
oleh pemegang keputusan. Selanjutnyam tiga tingkat teratas
ke dalam tingkat “kekuasaan masyarakat” (citizen power).60
Peran serta masyarakat memberikan kegunaan bagi
pengambil keputusan dalam menangkap pandangan,
kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan konsep.
Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan
menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas,
kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.
Perlunya peran serta masyarakat selain untuk
memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil
keputusan, peran serta masyarakat akan mereduksi
kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima
keputusan. Selanjutnya, peran serta msyarakat akan
membantu perlindungan hukum.
Menurut Mas Achmad Santosa (1990) dalam thesisnya
telah pula merangkum kegunaan peran serta masyarakat 61 :
a. Menuju masyarakat yang lebih bertanggungjawab
b. Meningkatkan proses belajar
c. Mengeliminir perasaan terasing
d. Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana
pemerintah
e. Menciptakan kesadaran politik
f. Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan
kebutuhan dan keinginan masyarakat
g. Menjadi sumber dari informasi yang berguna
h. Merupakan komitmen sistem demokrasi
Masalah utama yang menjadikan kelemahan dalam
peran serta masyarakat ada pada masyarakat itu sendiri.
Kecenderungan masyarakat yang kehilangan gairahnya
selama masa pengembangan proyek yang cukup
lama.Berbeda dengan kelompok yang mempunyai
kepentingan tertentu.
Sedangkan menurut Santoso, program peran serta
masyarakat memang di desain untuk “menggiring”
60
Ibid.,hal. 28.
61
Ibid.,hal. 34.
masyarakat agar setuju dengan pendapat pengambil
keputusan atau sang pemrakarsa kegiatan.
7. Tinjauan Pengolahan Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya.Lingkungan hidup merupakan sistem yang
meliputi lingkungan alam, lingkungan buatan dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya. Oleh sebab itu keberadaan lingkungan hidup
harus turut dipertimbangkan dalam setiap pengelolaan suatu
kegiatan manusia termasuk pengelolaan sampah
pemukiman, karena lingkungan hidup manusia adalah
sistem dimana berada perwujudan atau tempat dimana
terdapat kepentingan manusia di dalamnya.62
Lingkungan hidup manusia terdiri dari lingkungan alam,
sosial dan lingkungan buatan mempunyai hubungan saling
mempengaruhi Lingkungan hidup manusi terdiri atas
lingkungan hidup sosial yang menentukan seberapa jauh
lingkugan hidup alam mengalami perubahan drastis menjadi
lingkungan hidup buatan.Dalam upaya meningkatkan
pengelolaan lingkungan hidup dilakukan upaya untuk
mengadakan koreksi terhadap lingkungan dengan
memodifikasi lingkungan, agar pengaruh merugikan dapat
dijauhkan dan dilaksanakan pencegahan melalui efisiensi
dan pengaturan lingkungan, sehingga bahaya lingkungan
dapat dihindarkan dan keserasian serta keindahan dapat
terpelihara.ada tiga upaya yang harus dijalankan secara
seimbang yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau
sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi
alami yang terjadi karena dampak interaksi manusia dan
lingkungannya.
62
Lihat Undang – Undang Nomor 4 tahun 1982 Tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kesadaran Lingkungan Hidup Menurut M.T Zen adalah
usaha melibatkan setiap warga Negara dalam menumbuhkan
dan membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan
berdasarkan tata nilai, yaitu tata nilai dari pada lingkungan
itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai dengan alam
lingkungannya.
Menurut Emil Salim, kesadaran lingkungan adalah
upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya
tahu tentang sampah, pencemaran, penghijauan, dan
perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua,
membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia
khususnya pemuda masa kini agar mencintai tanah liar.
Daniel Chiras menyatakan bahwa dasar penyebab
kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan.Etika
lingkungan yang sampai saat ini berlaku adalah etika
lingkungan yang didasarkan pada sistem nilai yang
mendudukkan manusia bukan bagian dari alam, tetapi
manusia sebagai penakluk dan pengatur alam.Didalam
pendidikan lingkungan hidup, konsep mental tentang
manusia sebagai penakluk alam perlu diubah menjadi
manusia sebagai bagian dari alam.
Dari teori-teori diatas maka dapat diberikan pengertian
sebagai berikut :
1. Kesadaran adalah pengetahuan. Sadar sama dengan
tahu.
Pengetahuan tentang hal yang nyata, konkret,
dimaksudkan adalah pengetahuan yang mendalam
(menggugah jiwa), tahu sungguh-sungguh, dan tidak
salah.Tidak asal mengetahui/tahu, sebab banyak orang
tahu pentingnya lingkungan hidup tetapi belum tentu
sadar karena tindakan/perilaku merusak
lingkungan/tidak mendukung terciptanya kelestarian
lingkungan hidup.
2. Kesadaran adalah bagian dari sikap atau perilaku.
Pengertian kesadaran yang ada sebagian dari sikap
menjadi benar jika setiap perilaku yang ditunjukkan
terus bertambah dan menjadi sifat hidupnya.Contoh
yang dikaitkan dengan lingkungan yaitu terdapatnya
larangan untuk tidak membuang sampah kesungai /
saluran, maka sebagai manusia yang sadar lingkungan
harus mentaati larangan tersebut dengan tidak
membuang sampah ke sungai.Dikatakan demikian
karena menurut teori kesadaran adalah pengetahuan
dan merupakan bagian dari sikap atau tindakan.63
8. Tinjuan Tentang Penyelesaian Sengketa
Menurut Sudarsono, Konflik atau sengketa adalah
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua
pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan. 64.
Penyelesaian Sengketa terdapat dua jenis, yaitu penyelesaian
secara Litigasi dan penyelesaian secara Nonlitigasi.
a. Litigasi
Penyelesaian sengketa secara litigasi adalah
penyelesaian melalui pengadilan Umum atau dapat kita
ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa
antara para pihak yang dilakuakan di depan
pengadilan.65
b. Non Litigasi
Penyelesaian dengan cara ini adalah penyelesaian
diluar peradilan atas dasar perdamaian atau melalui
wasit (arbitase) tetap diperbolehkan.66 Hal ini adalah
sebuah alternatif penyelesaian sengketa (Alternative
Dispute Resolution) Menurut Pasal 1 angka 10 UU
Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah lembaga Penyelesaian Sengketa atau beda
pendapat melalui Prosedur yang disepakati para pihak,
yakni Penyelesaian diluar pengadilan dengan cara
63
Universitas Sumatera Utara, 2011, Tinjauan pustaka Pengeleloaan
Lingkungan Hidup, Sumatera Utara,
64
Sudarsono, 2002,Kamus Hukum,Jakarta: Rineka Cipta.
65
Racmadi Usman, 2012,Mediasi di pengadilan,Jakarta: Sinar Grafika
66
Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta:Sinar
Grafika.
Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian
Ahli. 67
67
Lihat Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
68
Frans Hendra Winarta, Op.Cit.,
69
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan tata
Usaha Negara, Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal.117.
Viktor Imanuel W. Nalle, menyebutkan Ada beberapa asas
yang relevan dalam pembentukan materi peraturan perundang-
undangan, sebagai berikut:
1. Asas persamaan;
2. Asas Kepercayaan;
3. Asas kepastian hukum;
4. Asas kecermatan;
5. Asas perlunya pengaturan;
6. Asas tujuan yang jelas;
7. Asas dapat dilaksanakan;
8. Asas kemudahan dapat dikenali 70
I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het
wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi
asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik
(beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang
formal dan yang material.
Asas-asas yang formal meliputi :
1. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling).
2. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
orgaan).
3. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel).
4. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van
uitvoerbaarheid).
5. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar.
2. asas tentang dapat dikenali.
3. asas perlakuan yang sama dalam hukum.
4. asas kepastian hukum.
5. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang
formal dan asas yang material, maka A. Hamid S. Attamimi
cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:
1. Asas-asas formal, dengan perincian:
70
Viktor Imanuel W. Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil, Kajian Pembentukan dan
Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Malang: Setara Press, hal. 66-74.
a. asas tujuan yang jelas.
b. asas perlunya pengaturan.
c. asas organ/ lembaga yang tepat;asas materi muatan yang
tepat.
d. asas dapatnya dilaksanakan.
e. asas dapatnya dikenali.
2. Asas-asas material, dengan perincian:
a. asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma
Fundamental Negara;
b. asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
c. asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas
Hukum;
d. asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan
berdasar Sistem Konstitusi.
Selanjutnya, Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
patut, adalah sebagai berikut:
1. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang
berlaku sebagai “bintang pemandu”.
2. Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan
undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada
dalam keutamaan hukum, dan Asas Pemerintahan Berdasar
Sistem Konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai
dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan
Pemerintahan.
3. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas
hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat
pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan
asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang
menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Asaspembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik dirumuskan juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
khususnya Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5 menjelaskan dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan
pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik yang meliputi:
1. kejelasan tujuan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai;
2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah
bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga/ pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;
3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
Peraturan Perundang-undangan-nya;
4. dapat dilaksanakan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis;
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan berman-faat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan berne-gara;
6. kejelasan rumusan, bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya;
7. keterbukaan, bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pemba-hasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai desempatan yang seluas-luasnya untuk membe-
rikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan
Perundang-undangan.
Sementara Pasal 6 menjelaskan bahwa asas-asas yang
harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-
undangan dirumuskan sebagai berikut:
1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung
asas:
a. pengayoman, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman
masyarakat;
b. kemanusiaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan
dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional;
c. kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan)
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. kekeluargaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan;
e. kenusantaraan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila;
f. bhinneka tunggal ika bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus
daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasya-
rakat, berbangsa, dan bernegara;
g. keadilan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
i. ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum;
j. keseimbangan; keserasian, dan keselarasan, bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masya-
rakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas tersebut di atas, Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang
hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
1. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
2. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Dalam hal Pengakuan dan perlindungan Masyarakat
Hukum Adat harus diperhatikan adanya asas–asas yang
mempengaruhi Pengakuan dan Perlindungan tersebut antara lain
Asas Equality Before The Law, Asas Bhineka Tunggal Ika, Asas
Kelestarian dan Keberlanjutan, Asas Kepentingan Nasional, Asas
Pengayoman, Asas Musyawarah, Asas Kepastian Hukum
a. Asas Equality Before The Law
Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa
semua orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan
hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Implikasi dari asas ini,
bahwa setiap orang mendapat perlakuan yang sama.
Sehingga menurut asas ini masyarakat hukum adat harus
mendapat perlakukan yang sama dihadapan hukum,
termasuk dalam hal untuk mendapat perlindungan hak-hak
tradisionalnya sebagaimana entitas lain (misalnya badan
hukum) mendapatkan hak-haknya.
b. Asas Bhineka Tunggal Ika
Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia keberadaan masyarakat hukum adat
diakui dan dilindungi dengan segala ciri khas yang melekat
padanya sebagai bagian dari keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, serta budaya di Indonesia.
c. Asas Kelestarian dan Keberlanjutan adalah bahwa
masyarakat hukum adat turut memikul kewajiban dan
tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya
pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas
lingkungan hidup.
d. Asas Kepentingan Nasional adalah bahwa pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat adat yang merupakan bagian
dari dari negara Indonesia semata-mata ditujukan untuk
kepentingan bangsa dan negara indonesia.
e. Asas Pengayoman adalah bahwa masyarakat hukum adat
harus mendapatkan perlindungan terhadap pemenuhan hak-
hak tradisionalnya.
f. Asas Musyawarah adalah bahwa proses pengambilan
keputusan, penyelesaian sengketa, serta pembuatan
kesepakatan yang berhubungan dengan masyarakat hukum
adat dilakukan dengan mengutamakan musyawarah.
g. Asas Kepastian Hukum adalah bahwa dalam proses
perlindungan Masyarakat Hukum Adat para pemangku
kepentingan merasakan adanya kepastian pada saat
menghadapi persoalan hukum, baik pada saat menuntut hak
maupun pada saat melaksanakan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum.
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai
bagian dari Negara Indonesia, telah tercantum dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Pengakuan-pengakuan terlihat
dengan terdapatnya frase-frase yang menyebutkan “masyarakat
hukum adat” dalam peraturan perundang-undangan terkait,
beserta bentuk keterlibatanya. Kendati demikian, terdapat dua
hal yang perlu dicatat, yakni : pertama pengakuan tersebut
masih bersifat parsial atau sektoral, artinya pengakuan tersebut
hanya terbatas pada sektor tertentu saja tergantung aspek yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait. Kedua
pengakuan yang termaktub dalam peraturan perundang-
undangan tersebut masih bersifat abstrak dan universal, artinya
untuk mendapatkan pengakuan yang bersifat konkrit-individual
masih perlu ditetapkan oleh norma yang lebih spesifik.
Pengakuan yuridis yang bersifat konkrit-individual tersebut,
diatur secara khusus dalam dua peraturan perundang-undangan
yakni Permendagri No. 52 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
selanjutnya PPMHA dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Dalam Permendagri PPMHA diatur bahwa Gubernur
dan Bupati/Walikotamelakukan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat. Selanjutnyadalam melakukan
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,
bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat
kabupaten/kota. Adapun Struktur organisasi Panitia Masyarakat
Hukum Adat tersebut, terdiri atas:
1. Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua;
2. Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat
sebagai sekretaris;
3. Kepala Bagian Hukum secretariat kabupaten/kota sebagai
anggota;
4. Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan
5. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum
adat sebagai anggota.
Tahapan-tahapan pengakuan tersebut meliputi :
1. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
2. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
3. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Identifikasi tersebut dilakukan dengan mencermati
keberadaan beberapa hal, yaitu :
1. Sejarah Masyarakat Hukum Adat;
2. Wilayah Adat;
3. Hukum Adat;
4. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
5. Kelembagaan/system pemerintahan adat.
Setelah melakukan identifikasi dan mendapatkan hasilnya,
maka yang selanjutnya dilakukan adalah verifikasi dan validasi
yang hasilnya harus diumumkan kepada masyarakat adat
setempat dalam waktu 1 (satu) bulan. Kemudian panitia
masyarakat hukum adat menyampaikan rekomendasi kepada
Bupati/Walikota, sehingga dapat dilakukan penetapan
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat
berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat
dengan Keputusan Kepala Daerah.Sedangkan dalam Pasal 67
UU Kehutanan diatur bahwa Masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada diakui keberadaannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berdasarkan ketentuan mengenai pengakuan masyarakat hukum
adat dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut, perlu
untuk diperhatiakan beberapa hal yang
Inisiatif untuk melakukan pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat diprakarsai oleh pemerintah. Melulai
sistem ini maka alur kebijakan bersifat dari atas ke bawah tanpa
diatur mekanisme formal bagi masyarakat hukum adat untuk
melakukan permohonan untuk ditetapkan agar diakui secara
yuridis.
1. Dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut
terdapat disparitas hukum. Hal ini terlihat pada bentuk
output dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut.
Dalam Permendagri PPPMHA produk hukum untuk
mengakui keberadaan masyarakat hukum adat adalah
berupa Surat Keputusan Bupati/Walikota, sedangkan dalam
UU Kehutanan produk hukum untuk mengakui keberadaan
Masyarakat Hukum Adat adalah berupa Peraturan Daerah.
Maka Dengan adanya dua mekanisme pengakuan yang
berbeda, tentunya akan menimbulkan pemahaman yang
berbeda pula bagi masyarakat hukum adat. Kedua
peraturan perundangan diatas sebagai rujukan dan payung
hukum untuk mendorong pemerintah daerah untuk
memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-
hak tradisional masyarakat hukum adat. Masalah lainnya
adalah jika suatu kesatuan masyarakat hukum adat
mengikuti mekanisme pengakuan sesuai dengan
Permendagri No. 52 Tahun 2014, maka mereka belum bisa
mengklaim hutan adat karena untuk mengklaim hutan adat
diperlukan Peraturan Daerah yang telah mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat tersebut yang merujuk
pada UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
2. Dalam kedua instrumen hukum tersebut belum mengatur
secara komprehensif mengenai hak-hak apa saja yang diakui
dan dilindungi.
D. Kajian terhadap Implikasi penerapan Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Mengkaji mengenai peraturan perundang – undangan terkait
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat sudah
diatur di beberapa peraturan perundang – undangan namun
belum secara penuh mengakomodasi secara komprehensif.
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat masih
diatur secara sektoral dan inkonsisten. Eksistensi masyarakat
hukum adat semakin melemah seiring dengan perubahan
globalisasi yang mengakibatkan masyarakat hukum adat menjadi
termajinalisasikan. Meskipun eksistensi masyarakat hukum adat
diakui dan dihormati sesuai dengan yang diamanatkan UUD NRI
sebagai norma hukum yang mendasar, namun dalam
kenyataannya masih banyak hak - hak masyarakat hukum adat
yang dilanggar baik oleh Pemerintah maupun non-Pemerintah.
Pelanggaran itu yang kemudian mengakibatkan terjadinya konflik
baik secara vertical maupun horizontal yang dapat mengamcam
kesatuan Negara Republik Indonesia.
Perlindungan masyarakat hukum adat diwujudkan dengan
pengaturan hak – hak tradisional masyarakat adat secara
komprehensif. Adanya perlindungan hak – hak tradisional
masyarakat adat secara komprehensif akan mencegah,
mengurangi dan menyelesaikan konflik – konflik yang muncul
serta akan menjadi jawaban atas permasalahan yang ada.
Dengan adanya penerapan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat akan memberikan implikasi baik
terhadap masyarakat hukum adat sendiri dan masyarakat luas.
Implikasi terhadap masyarakat luas akan dirasakan bahwa
dengan kebudayaan bangsa Indonesia yang beragam tersebut
akan tetap lestari dan kesatuan masyarakat hukum adat akan
kemajemukannya tetap dapat dipertahankan sesuai dengan
prinsip bangsa Indonesia “Bhinneka Tuggal Ika” yakni berbeda –
beda tetapi tetap satu. Selain itu, implikasi terhadap masyarakat
hukum adat adalah terjaminnya hak – hak tradisional
masyarakat hukum adat yang dijamin kepastiannya dalam
undang – undang guna mempertahankan ke khasan / ciri
budayanya.
Masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang memiliki
wilayah adat tersendiri yang kemudian diberikan kewenangannya
untuk mengelola dan memelihara, kesejahteraan, kepentingan
anggota masyarakat hukum adatnya, serta mencegah terjadinya
perselisihan yang terjadi. Pemberian kewenangan itulah yang
kemudian memberikan implikasi kepada masyarakat hukum
adat mengenai hak dan kewajibannya sebagai masyarakat
hukum adat. Kewajiban Masyarakat Hukum tersebut ditujukan
kepada masyarakat dan negara. Kewenangan inilah yang
mengatur tentang hak-hak masyarakat hukum adat hanya
berlaku ke dalam.
Begitu pula, terkait dengan perlindungan masyarakat hukum
adat yang memberikan implikasi terhadap keterlibatan
masyarakat hukum adat. Dalam hal ini partisipasi masyarakat
hukum adat secara penuh dan efektif dalam pembangunan
wilayah adatnya diperlukan karena masyarakat hukum adat
tersebut sebagai penerima dampak langsung dari proyek
tersebut. Peran serta masyarakat hukum adat terhadap
pembangunan nasional merupakan salah satu kewajiban
mesyarakat hukum adat untuk memberikan kontribusi yang
lebih, dalam kemajuan akan wilayah adatnya. Karena
masyarakat hukum adat itu sendirilah yang mengetahui
pengembangan wilayah adatnya.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
B. Landasan Sosiologis
Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang
yang mendiami wilayah tertentu secara turun temurun dan
memiliki pranatanya sendiri.Keberadaan masyarakat
hukum adat pada suatu wilayah tertentu secara turun-
temurun memberi dampak terbangunya suatu kondisi
emosional – rasa memiliki – antara masyarakat hukum adat
dengan wilayahnya (tanahnya).Rasa kepemilikan tersebut
membuat masyarakat hukum adat memiliki kecendrungan
untuk senantiasa mempertahankan tanahnya dari
gangguan pihak-pihak luar.
Konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat hukum
adat dengan pihak luar merupakan bentuk dari sikap
masyarakat adat untuk mempertahankan wilayah adatnya –
termasuk tanah adatnya.Berdasarkan data yang diolah dari
Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2013, dipaparkan
bahwa dari tahun 1970-2001 terdapat 1.753 Konflik,
tersebar di 2.834 desa/kec/286 kabupaten/kota.Sebagian
besar dari jumlah konflik tersebut ialah konflik mengenai
tanah adat.Maka, berdasarkan jumlah konflik diatas
dapatlah dimengerti bahwa diperlukan suatu penanganan
tertentu dari negara.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosonganhukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Dalam konteks pengakuan dan
perlindungan masyarkat hukum adat, terdapat beberapa
landasan yuridis dimulai dari UUD NRI 1945 hingga
Peraturan Menteri. Berikut akan dijabarkan landasan
yuridis tersebut menurut urutan tata hirarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 diatur bahwa
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.Apabila bunyi
pasal ini ditelaah lebih dalam, maka dapat dimengerti
bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat
hukum beserta hak-hak tradisionalnya, hanya saja
pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang
mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu atau
pengakuan bersyarat. Syarat-syarat agar masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dapat diakaui
dan dihormati, yakni : 1) sepanjang masyarakat hukum
adat itu masih ada, 2) sesuai dengan perkembangan
masyarakat, 3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kemudian pada bagian akhir pasal
tersebut terdapat frase “yang diatur dalam undang-undang”,
artinya terkait dengan pengakuan dan penghormatan hak-
hak tradisional masyarakat hukum adat diperintahkan
untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.Sehingga,
menurut frasa tersebut diketahui bahwa mengenai
pengakuan masyarakat hukum adat haruslah diatur dalam
undang-undang organik.
Pasal lain dalam UUD NRI 1945 yang mengatur
mengenai hak-hak masyakat hukum adat diatur dalam
Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan bahwa “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.Dalam pasal
ini digunakan istilah “dihormati” kata tersebut mengandung
makna dihargai (memberi harga yang layak/patut) atau jika
diartikan secara negatif berarti tidak boleh dirampas secara
semena-mena. Kemudian pasal ini juga memberi syarat-
syarat tertentu agar hak-hak tradisonal dapat dihormati,
yakni : selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban. Maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal
28I ayat (3) UUD NRI 1945, dapat dimengerti bahwa secara
konstitusional keberadaan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisonlanya diakui dan dihormati dengan syarat-
syarat tertentu, dan diperintahkan untuk lebih lanjut dalam
undang-undang.
Hingga saat ini terdapat beberapa undang-undang yang
dalam materi muatanya beberapa pasal mengatur tentang
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat
secara terpisah.Beberapa undang-undang tersebut
mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan penjabaran
amanat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI
1945. Hal-hal yang diatur diantaranya mengenai :pertama
tata cara untuk memberikan pengakuan secara yuridis
terhadap masyarakat hukum adat,Kedua kriteria-kriteria
masyarakat hukum adat.
Tata cara untuk memberikan pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat diatur dalam beberpa undang-
undang yakni : pertama Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang berbunyi “Pengukuhan
keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah”.Keduadiatur juga dalam UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa. Dalam pasal 96 UU Desa dinyatakan
bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan
kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi
Desa Adat.” Berdasarkan kedua undang-undang tersebut
terdapat konflik norma antara keduanya, dalam UU
Kehutanan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat
hukum adat dilakukan dengan cara dikukuhkan sedangkan
menurut UU Desa hal itu dilakukan dengan ditetapkan
menjadi Desa Adat. Konflik norma merupakan salah
persoalan hukum yang terjadi karena undang-undang yang
tidak harmonis atau saling tumpang-tindih.
Kriteria mengenai keberadaan masyarakat hukum adat
diatur dalam UU Desa dan UU Kehutanan. Dalam pasal 97
ayat (2) UU Desa ditentukan bahwa “Kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki
wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau
gabungan unsur adanya:
a. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama
dalam kelompok;
b. Pranata pemerintahan adat;
c. Harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. Perangkat norma hukum adat.”
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU
Kehutanan yang menyatakan bahwa “Masyarakat hukum
adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (recht-
gemeenschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat, yang masih ditaati, dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah
hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari.”
Kriteria masyarakat hukum adat yang diatur dalam
kedua UU diatas memperlihatkan bahwa terdapat
perbedaan pengaturan mengenai kriteria Masyarakat
Hukum Adat diantara kedua norma tersebut. Sehingga
dalam hal ini terdapat persoalan hukum yang berupa
ketidak harmonisan norma-norma yang sejajar.
Perihal pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat selain diperintahkan secara vertikal oleh
norma hukum diatasnya yakni UUD NRI 1945 pengakuan
dan perlindungan hak-hak masyarakat adat juga
diperintahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Perintah tersebut tercantum dalam pasal 6 UU
HAM, yang menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum
adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyrarakat, dan pemerintah
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk
hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman”.
Bunyi pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan
bahwa untuk menegakkan Hak Asasi Manusia maka
kebutuhan masyarakat hukum adat harus dilindungi oleh
hukum. Kebutuhan masyarakat adat salah satu adalah
pemenuhan atas hak-hak tradisionalnya yang harus
dilindungi oleh instrumen hukum tertentu.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. SASARAN
Mengingat cita luhur Negara Indonesia untuk melindungi
segenap bangsa adalah suatu hal terpenting dalam
merumuskan sasaran yang dituju serta diwujudkan melalui
pembentukan undang-undang mengenai Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sasaran yang dimaksud
adalah :
1. Mengatasi ketidakharmonisan hukum terkait belum
adanya pengaturan khusus mengenai pengakuan dan
perlindungan Masyarakat Hukum Adat
2. Mewujudkan perlindungan Masyarakat Hukum Adat
dalam bentuk pemenuhan hak – hak tradisional
3. Menegaskan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia
B. ARAH DAN TUJUAN
Arah pengaturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat adalah pengakuan secara eksistensi dan
perlindungan keberadaan beserta hak-hak masyarakat hukum
adat.
Keberadaan masyarakat hukum adat telah diatur secara
parsial dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai mana diuraikan di bab sebelumnya, namun
perbedaan tersebut memberikan pengaturan yang berbeda
mengenai pengakuan sampai perlindungan masyarakat hukum
adat.
Pembentukan undang-undang tentang masyarakat hukum
adat mengarah pada bagaimana masyarakat hukum adat diakui,
hak-hak masyarakat hukum adat yang dikristalisasi, bagaimana
masyarakat mengolah wilayah potensi alam wilayah adatnya,
peran serta masyarakat hukum adat dalam hal kebijakan yang
berkaitan dengannya serta mekanisme penyelesaian sengketa
yang terjadi diantara masyarakat hukum adat hukum adat baik
inernal maupun eksternal.
Masyarakat hukum adat akan diakui sebagai sekolompok
masyarakat lain dari komponen negara kesatuan republik
Indonesia, dengan memperhatikan keutuhan negara. Sistem
top-down bottom up atau penyelelarasan antara masyarakat
hukum adat dengan pemerintah sebagai patner dalam menuju
cita luhur negara Indonesia.
C. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
Pengaturan pengakuan dan perlindungan Masyarakat
Hukum Adat berdasarkan ruang lingkup materi yang
mencakup:71
a. ketentuan umum memuat rumusan akademik
mengenaipengertian istilah, dan frasa;
b. materi yang akan diatur;
c. ketentuan sanksi; dan
d. ketentuan peralihan.
Ruang Lingkup Materi di atas yang selanjutnya dijadikan
pedoman dalam rangka penyusunan naskah akademik
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat. Berikut ini adalah penjelasan lebih
lanjut terkait cakupan ruang lingkup materi dimaksud :
1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum memuat rumusan akademik
mengenai pengertian istilah, dan frasa sesuai dalam
pengaturan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Bagian Lampiran I. Adapun hal-hal yang menjadi Ketentuan
Umum adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat Hukum Adat untuk selanjutnya disebut
MHA adalah sekelompok orang yang memiliki ikatan
pada asal – usul leluhur dan / atau kesamaan tempat
tinggal yang tetap mempertahankan beberapa / seluruh
BUKU
Anil Dawan, Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls dan
Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di
Indonesia,