Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dalam Mata Kuliah Ilmu Fiqih Jurusan
Sosiologi Agama pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar
Oleh:
Kelompok 3
1. IRMAWATI 30400120050
2. ADINDA ANIL BUNGA SAPUTRY 30400120045
3. MARWAN 30400120053
2021
1. Pengertian Al-ahkam
Al-ahkam maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari
kata hukmun yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam
ushul fiqih, yaitu:
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan
atau peletakan"
Satu dalam hal ini yang dimaksud dengan seruan syariat adalah Al Quran dan
As Sunnah. Dari pengertian di atas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-
Ahkam,
a. Tuntunan
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau
pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan
(wajib) atau pun hanya keutamaan.
b. Pilihan
Sesuatu hal yang dalam melakukan atau pun meninggalkannya tidak ada suatu
ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk
memilih melakukan atau pun tidak atau sering disebut mubah.
c. Peletakan (Wadh’i)
Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda,
atau sifatsifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat
dikatakan “sah” atau “batal”
Al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya
terkait dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqih, yang
disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila
disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqih, bukan hukum yang
berkaitan dengan akidah dan akhlak. Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam
ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum akidah dan akhlak.
2. Pembagian Al-ahkam
Dalam ushul fiqih hukum-hukum syariat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
Al-Ahkam at-Taklifiyyah Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut
manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat
dan meninggalkan. Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib,
Mandub (Sunnah), Harom, Makruh, dan Mubah.
1) Wajib
Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan harus" dan makna
wajib menurut istilah dalam ushul fiqh yaitu:
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek
yaitu:
a) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu
• Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan
berakhirnya waktu sudah ditentukan.
• Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban
memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat
dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan
sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
• Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk
melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan
lamanya 1 bulan.
• Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang
melanggar sumpah.
b) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai
berikut:
• Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf.
Seperti :shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
• Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian
mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu). Contoh : mengurus
jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
c) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini:
• Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
• Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan
kadarnya. Contoh : infaq, tolong-menolong, dan shodaqoh.
d) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi
berikut ini:
• Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis
perbuatannya. Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
• Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa
pilihan. Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami-istri di siang
hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu
maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka
memberi makan 60 fakir miskin
2) Mandub
Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan makna mandub
menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu:
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah
terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’,
mustahab, dan ihsan.
Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu:
a) Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan
(sangat penting)
b) Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang
dianjurkan).
3) Haram
Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang" dan makna haram
menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu:
4) Makruh
Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah "yang dimurkai" dan makna
makruh menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu:
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan
untuk ditinggalkan".
5) Mubah
Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah "yang diumumkan dan dizinkan
dengannya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu:
"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya"
Orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini
objek hukum terbagi menjadi tiga:
a) Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif
umpamanya salah dan puasa.
b) Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif
umpamanya kewajiban zakat.
c) Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku taklif
umpamanya kewajiban haji.
b. Mahkum Alaihi
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan
Allah itu. Dalam istilah Ushul Fiqih, subjek hukum itu disebut Mukkalaf atau orang-
orang yang dibebani hukum, atau mahkum’ alaih yaitu orang yang kepadanya
diperlakukan hukum.
“Agama itu didasarkan pada akal; tidak ada arti agama bagi orang yang
tidak berakal.”
2. Ia telah mampu menerima beban taklif dan beban hukum yang dalam istilah ushul
diseut ahlul al-taklif. Kecakapan menerima taklif adalah kepantasan untuk
menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai
hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
3. Kepantasan dikenai hukum (ahliyah al-wujub) dibagi menjadi :
a) Ahliyah al-wujub naqish (kecakapan dikenai hukum secara lemah) yaitu
kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima
kewajiban atau kebalikannya. Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan karena
hanya salah satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada
padanya.
b) Ahliyah al-wujub kamilah (kecakapan dikenai hukum secara sempurna) yaitu,
kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan
ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.
c) Ahliyah al-ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu, kepantasan
seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal
ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan
telah mempunyai akibat hukum. Ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat :
1) ‘Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir
sampai mencapai umur 7 tahun.
2) Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat secara lemah, yaitu manusia yang
telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
3) Ahliyah al-ada kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaaitu
manusia yang telah mencapai umur dewasa.
c. Mahkum Bihi
Mahkum bihi adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam
perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy. Sebagian ulama ushul fiqih
menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum. Adapun
yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau
diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib, sunnah,
makruh,atau haram,atau mubah adalah perbuatan mukallaf.
Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bih). Agar suatu perbuatan mukallaf pantas
diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah
memenuhi beberapa kriteria persayaratan.
Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah
sebagai berikut;
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi
kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’ yang terdiri atas :
1. Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya
makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait
hukum syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud
dan qishas.
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
4. Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum
syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.