id
ﺼ ﱢﻞ ﻓﺈﻧﻚ ﻟﻢ ﺗُ ﱢ
ﺼﻞ َ ارﺟ ْﻊ َﻓ
ِ
1/8
Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah
menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat
yang benar kepadanya dengan bersabda:
“Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…”
(HR. Bukhari 757, Muslim 397)
Menujukkan tata cara yang disebutkan Nabi tersebut adalah hal-hal yang membuat shalat
menjadi sah, diantaranya takbiratul ihram.
“Pembuka shalat adalah bersuci (wudhu), yang mengharamkan adalah takbir dan
yang menghalalkan adalah salam” (HR. Abu Daud 618, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Abi Daud)
Sebagaimana kita ketahui, ketika dalam keadaan shalat, kita diharamkan berbicara,
makan, minum dan lain-lain hingga shalat selesai.
Mengganti ucapan takbiratul ihram, misalnya dengan أﺟﻞ اﷲ ﱡ/Allahu Ajall/ atau اﷲ أﻋﻈ ُﻢ
/Allahu A’zham/ atau lafadz-lafadz lain, hukumnya haram, walaupun masih berupa
lafadz pujian dan pengagungan terhadap Allah. Karena lafadz takbir itu tauqifiyyah,
ditetapkan oleh dalil. Menggantinya dengan lafadz lain adalah perbuatan bid’ah.
Namun para ulama berselisih pendapat jika lafadz takbir menggunakan ucapan اﻷﻛﺒﺮ
ُ اﷲ
/Allahul Akbar/. Sebagian ulama, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i,
menganggapnya sah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa alif lam dalam lafadz tersebut
hanya tambahan tidak mengubah lafadz dan makna (Shifatu Shalatin Nabi, 58).
Demikian juga perihal mengganti lafadz Allahu Akbar dengan bahasa selain arab.
Yang benar, semua itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tidak
boleh mengganti lafadz takbir dengan selain أﻛﺒﺮ
ُ اﷲ. Karena hadits-hadits yang
menyebutkan tentang lafadz takbir dalam shalat, disebutkan hanya lafadz أﻛﺒﺮ
ُ اﷲ.
Misalnya hadits:
ُ َاﷲُ أ
ﻛﺒﺮ ُ ﻓﯿﻀﻊ اﻟﻮﺿﻮ َء ﻣﻮاﺿ َﻌ ُﻪ ﺛ ﱠﻢ
ﯾﻘﻮل ﱠ َ َﯾﺘﻮﺿﺄ
ﺎس ﺣﺘﱠﻰ ﱠ َ إﻧﱠ ُﻪ ﻻ ﺗﺘ ﱡﻢ ﺻﻼٌة ﻷﺣ ٍﺪ
ِ ﻣﻦ اﻟﻨﱠ
“Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia berwudhu, lalu ia membasuh air wudhu
pada tempat-tempatnya, lalu ia berkata ‘Allahu Akbar’” (HR Abu Daud 857,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
2/8
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat” (HR. Bukhari 631, 5615, 6008)
Adapun bagi orang non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan takbir, sebagian
ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf membolehkan pelafalan takbir dengan
bahasa lain. Sebagian ulama seperti Malikiyyah dan Al Qadhi Abu Ya’la berpendapat
bahwa gugur baginya kewajiban takbiratul ihram.
Takbiratul ihram itu wajib diucapkan dengan lisan, tidak boleh hanya diucapkan di dalam
hati. Lalu para ulama berselisih pendapat apakah dipersyaratkan suara takbir minimal
dapat didengar oleh diri sendiri atau tidak. Sebagian ulama seperti Hanabilah
mempersyaratkan demikian, yaitu suara takbir dapat didengar oleh sebelahnya atau
minimal dapat didengar oleh si pengucap sendiri (Syarhul Mumthi’, 3/20). Namun yang
rajih, hal ini tidak dipersyaratkan. Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Yang benar, tidak
dipersyaratkan seseorang dapat mendengar suara takbirnya. Karena terdengarnya takbir
itu zaaid (objek eksternal) dari pengucapan. Maka bagi yang meng-klaim bahwa hal ini
diwajibkan, wajib mendatangkan dalil” (Syarhul Mumthi’, 3/20).
Orang bisu atau orang yang memiliki gangguan fisik sehingga tidak bisa berkata-kata,
maka ia cukup bertakbir di dalam hati. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
menjelaskan: “Karena perkataan Allahu Akbar itu mencakup ucapan lisan dan ucapan
hati. Tidaklah lisan seseorang mengucapkan Allahu Akbar kecuali pasti hatinya
mengucapkan dan memaksudkannya dalam hati. Sehingga jika seseorang terhalang
untuk mengucapkannya, yang wajib baginya adalah cukup dengan mengucapkan dengan
hatinya” (Syarhul Mumthi’, 3/20)
Namun para ulama berbeda pendapat apakah orang tersebut harus menggerakan
bibirnya sambil mengucapkan di dalam hati? Sebagian ulama seperti Syafi’iyyah tetap
mewajibkan menggerakkan bibir, karena yang dinamakan al qaul dalam bahasa arab, itu
disertai dengan gerakan bibir. Dan jika seseorang terhalang untuk bertakbir secara
sempurna, maka wajib baginya bertakbir sesuai kemampuan yang ia miliki, termasuk
menggerakkan bibir. Sebagian ulama seperti Malikiyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah tidak
mewajibkan, karena gerakan bibir bukanlah tujuan namun sarana atau wasilah untuk
mengucapkan takbir. Sehingga ketika seseorang terhalang untuk melakukan pengucapan,
maka gugur pula sarananya. Dan sekedar gerakan bibir itu tidak teranggap dalam syari’at
(Syarhul Mumthi’, 3/20, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 19/92).
Para ulama bersepakat bahwa disyar’iatkan mengangkat kedua tangan ketika takbiratul
ihram. Dalilnya hadits:
ّ ّ
3/8
اﻟﺮﻛﻮع وإذا ﻛﺒﱠ َﺮ ﱡ،اﻟﺼﻼ َة
وإذا رﻓﻊ رأﺳﻪ ﻣﻦ ﱡ،ﻟﻠﺮﻛﻮع ُ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠّﻢ ﻛﺎن
ﯾﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ ﺣﺬ َو َﻣﻨﻜﺒﯿﻪ؛ إذا اﻓﺘﺘﺢ ﱠ أن ﱠ ﱠ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk
ruku’ dan ketika mengangkat kepada setelah ruku’, beliau mengangkat kedua
tangannya setinggi pundaknya” (HR. Bukhari 735)
Namun pendapat ini tidak tepat, karena banyak tata cara shalat yang beliau selalu
lakukan seperti duduk tawarruk, duduk iftirasy, berdoa istiftah, dll namun tidak wajib
hukumnya. Bahkan ini semua tidak dinilai wajib oleh ulama yang mewajibkan
mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Sehingga ada idthirad (kegoncangan) dalam
pendapat ini. Yang benar, Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah (Shifatu Shalatin Nabi, 63-67).
Jari-jari direnggangkan, tidak terlalu terbuka dan juga tidak dirapatkan. Berdasarkan
hadits:
ﻛﺎن إذا ﻗﺎم إﻟﻰ اﻟﺼﻼة ﻗﺎل ﻫﻜﺬا – وأﺷﺎر أﺑﻮ ﻋﺎﻣﺮ ﺑﯿﺪه وﻟﻢ ﯾﻔﺮج ﺑﯿﻦ أﺻﺎﺑﻌﻪ وﻟﻢ ﯾﻀﻤﻬﺎ
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika shalat beliau begini, Abu Amir (perawi
hadits) mengisyaratkan dengan gerakan tangannya, beliau tidak membuka jari-
jarinya dan tidak merapatkannya” (HR. Ibnu Khuzaimah 459, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Ibni Khuzaimah)
Untuk telapak tangan, sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim, At Thahawi, Abu Yusuf dan
sebagian besar Hanabilah menganjurkan mengarahkan telapak tangan lurus ke arah
kiblat ketika mengangkat kedua tangan, berdalil dengan hadits :
وﻟﯿﺴﺘﻘﺒﻞ ﺑﺒﺎﻃﻨِﻬﻤﺎ اﻟ ِﻘﺒﻠ َﺔ، إذا اﺳﺘﻔﺘﺢ أﺣ ُﺪﻛﻢ اﻟﺼﻼ َة ﻓﻠﯿﺮﻓﻊ ﯾﺪ ْﯾ ِﻪ
“Jika salah seorang kalian memulai shalat hendaklah mengangkat kedua tangannya,
lalu hadapkan kedua telapak tangannya ke arah kiblat” (HR. Al Baihaqi dalan Sunan Al
Kubra 2/27, dalam Silsilah Adh Dha’ifah (2338) Al Albani berkata: “dhaif jiddan”)
Dan ada beberapa hadits yang semakna namun tidak ada yang shahih. Adapun hadits dari
Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:
ﻷﻧﻈﺮن اﻟﻰ ﺻﻼة رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻓﻠﻤﺎ اﻓﺘﺘﺢ اﻟﺼﻼة ﻛﺒﺮ ورﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ ﻓﺮأﯾﺖ إﺑﻬﺎﻣﯿﻪ ﻗﺮﯾﺒﺎ ﻣﻦ أذﻧﯿﻪ
4/8
“Sungguh aku menyaksikan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ketika beliau
memulai shalat beliau bertakbir lalu mengangkat kedua tangannya sampai aku melihat
kedua jempolnya dekat dengan kedua telinganya” (HR. An Nasa-i 1101, dishahihkan Al
Albani dalam Sunan An Nasa-i)
bukan merupakan dalil yang sharih akan perbuatan ini. Namun memang terdapat atsar
shahih dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:
“Ibnu Umar biasanya ketika bertakbir beliau menyukai menghadapkan kedua ibu
jarinya ke arah kiblat” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 4/157, dinukil dari Shifatu
Shalatin Nabi, 63)
Sebagian ulama berdalil dengan keumuman keutamaan menghadap kiblat di luar dan di
dalam ibadah. Diantaranya seperti ayat:
“Masjidil Haram adalah kiblat kalian ketika hidup maupun ketika mati” (HR. Abu Daud
2875)
Hadits ini diperselisihkan keshahihannya dan secara umum ini adalah pendalilan yang
tidak sharih (tegas). Oleh karena itu, yang rajih insya Allah, mengarahkan kedua telapak
tangan ke kiblat ketika takbiratul ihram itu boleh dilakukan sebagaimana perbuatan Ibnu
Umar radhiallahu’anhu namun tidak sampai disunnahkan (Shifatu Shalatin Nabi, 63-
66).
Ukuran Tinggi
Kedua tangan diangkat setinggi pundak atau setinggi ujung telinga. Berdasarkan hadits:
Juga hadits:
5/8
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika memulai shalat beliau
mengangkat kedua tangannya sampai setinggi kedua telinganya” (HR. Al Baihaqi
2/26)
Ini adalah khilaf tanawwu’ (perbedaan variasi), maka seseorang boleh memilih salah satu
dari cara yang ada. Bahkan yang lebih utama terkadang mengamalkan yang satu dan
terkadang mengamalkan yang lain, sehingga masing-masing dari sunnah ini tetap lestari
dan diamalkan orang.
Sebagian ulama memperinci ukuran tersebut, yaitu bagian bawah telapak tangan setinggi
pundak, atau bagian atas telapak tangan setinggi pangkal telinga. Namun yang tepat,
dalam hal ini perkaranya luas, yang mengangkat kedua telapaknya tangan sampai sekitar
pundak atau sampai sekitar telinga tanpa ada batasan tertentu itu sudah melakukan yang
disunnahkan oleh Nabi (lihat Syarhul Mumthi, 3/31). Adapun praktek sebagian orang
yang meyakini bahwa kedua telapak tangan harus menyentuh daun telinga, ini tidak ada
asalnya sama sekali (Shifatu Shalatin Nabi, 63).
اﷲُ َﻋﻠَْﯿ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إذا ﻗﺎم إﻟﻰ اﻟﺼﻼة؛ رﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﻜﻮﻧﺎ ﺣﺬو ﻣﻨﻜﺒﯿﻪ ﺛﻢ ﻛﺒﱠﺮ
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ
َ ﻛﺎن رﺳﻮل اﷲ
ﺛﻢ،اﷲُ َﻋﻠَْﯿ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إذا ﻗﺎم إﻟﻰ اﻟﺼﻼة؛ ﯾﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ ﺣﺘﻰ ﯾﺤﺎذي ﺑﻬﻤﺎ ﻣﻨﻜﺒﯿﻪ
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ
َ ﻛﺎن رﺳﻮل اﷲ
ﯾﻜﺒﺮ
6/8
“Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua
tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” (HR. Abu Daud 729
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
ﻓﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ ﺣﯿﻦ ﯾﻜﺒﺮ ﺣﺘﻰ ﯾﺠﻌﻠﻬﻤﺎ،اﷲُ َﻋﻠَْﯿ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻓﺘﺘﺢ اﻟﺘﻜﺒﯿﺮ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ
َ رأﯾﺖ اﻟﻨﺒﻲ
“Aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir. Lalu
beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga keduanya setinggi
pundak. Jika beliau hendak ruku, beliau juga melakukan demikian” (HR. Bukhari 738)
وإذا رﻓﻊ رأﺳﻪ ﻣﻦ اﻟﺮﻛﻮع، وإذا أراد أن ﯾﺮﻛﻊ، ﯾﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ ﺣﯿﻦ ﯾﻜﺒﺮ ﺣﯿﺎل أذﻧﯿﻪ، أن رﺳﻮل اﷲ ﻛﺎن إذا ﺻﻠﻰ
. وإذا رﻓﻊ رأﺳﻪ ﻣﻦ اﻟﺮﻛﻮع رﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ. وإذا أراد أن ﯾﺮﻛﻊ رﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ. ﺛﻢ رﻓﻊ ﯾﺪﯾﻪ. إذا ﺻﻠﻰ ﻛﺒﺮ، أﻧﻪ رأى ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ اﻟﺤﻮﯾﺮث
وﺣﺪث ؛ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﻛﺎن ﯾﻔﻌﻞ ﻫﻜﺬا
“Ia melihat Malik bin Al Huwairits radhiallahu’anhu jika shalat ia bertakbir, lalu
mengangkat kedua tangannya. Jika ia ingin ruku, ia juga mengangkat kedua tangannya.
Jika ia mengangkat kepala dari ruku, juga mengangkat kedua tangannya. Dan ia pernah
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melakukan seperti itu”
(HR. Muslim 391)
Referensi:
1. Shifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq
Ath Tharifi, cetakan Maktabah Darul Minhaj
2. Asy Syarh Al Mumthi’ Ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin, Asy Syamilah
3. Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Kementrian Agama Kuwait, Asy
Syamilah
7/8
4. Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah
Artikel Muslim.Or.Id
Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. InsyaAllah, setiap artikel yang dibaca,
bisa menjadi pahala untuk kita semua. Donasi sekarang.
ԍ Perbedaan Aqidah Dan Akhlak, Cara Menghilangkan Kebodohan, Percikan Air Kencing
Dimaafkan, Dzikir Sesudah Sholat Fardu, Rukun Islam Dan Penjelasannya
8/8