Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN KOMUNITAS 1

Dianjurkan untuk memenuhi salah satu tugas kuliah Keperawatan Maternitas

Dosen :
Ibu Ns.Ernauli Meliyana, S.Kep.,M.Kep

DISUSUN OLEH :

INDRIANI
LIA APRILIAN
MELISA
MIA DEWI AMINAH
OCTAVIANI ELPA RESI
RISMA AYU GURNING

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDISTRA INDONESIA
2020/2021

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi
petunjuk dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini,
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa susunan dan materi yang terkandung di dalam makalah ini
belumlah sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun selalu penulis
harapkan dengan senang hati dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Insya Allah makalah ini dapat membawa pemahaman dan pengetahuan bagi kita semua tentang
Makalah Keperawatan Komunitas 1

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................6

1.3 Tujuan........................................................................................................................................6

BAB II.........................................................................................................................................................7

TINJAUAN TEORI.....................................................................................................................................7

2.1 Pengertian Terapi Komplementer............................................................................................7

2.2 Penggunaan Terapi Tradisional Komplementer.....................................................................7

2.3 Macam-macam Terapi Komplementer....................................................................................8

2.4 Konsep Pembangunan Kesehatan di Indonesia.....................................................................10

2.5 Strategi dan Program Pembangunan Kesehatan di Indonesia.............................................11

2.6 Trend dan Issue Pembangunan Kesehatan............................................................................12

2.7 Sistem Pelayanan Kesehatan dan Kebijakan Era Otonomi Daerah....................................15

2.8 Epidemiologi dan Kependudukan..........................................................................................18

BAB III.....................................................................................................................................................21

PENUTUP................................................................................................................................................21

Kesimpulan..........................................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan pengobatan tradisional merupakan bukti sejarah dari upaya pelayanan
kesehatan pada masa lalu. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 80% dari
total populasi di benua Asia dan Afrika bergantung pada pengobatan tradisional. WHO
juga telah mengakui pengobatan tradisional dapat mengobati berbagai jenis penyakit
infeksi, penyakit akut, dan penyakit kronis. Misalnya, tanaman qinghaosu (yang
mengandung artemisinin) sebagai obat antimalaria yang telah digunakan di China sejak
2.000 tahun yang lalu.
Pengobatan tradisional menjadi pilihan beberapa masyarakat Indonesia sebagai
komplementer atau subsider pada pengobatan konvensional akibat mahalnya biaya
pengobatan konvensional. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2010, persentase
penduduk Indonesia yang pernah mengonsumsi jamu sebanyak 59,12%. Dari jumlah
tersebut sekitar 95,60% yang merasakan manfaatnya. Dengan kata lain, lebih dari
setengah penduduk Indonesia mengonsumsi jamu. Hal ini merupakan pangsa pasar yang
besar dalam mengembangkan pengobatan tradisional di Indonesia.
Pengobatan tradisional merupakan salah satu dari tujuh belas macam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan.
Pelayanan kesehatan tradisional merupakan pengobatan dan/atau perawatan
dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun-temurun
secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Dalam Pasal 59 ayat (2) disebutkan bahwa pelayanan
kesehatan tradisional tentunya dibina dan diawasi oleh pemerintah agar dapat
dipertanggungjawabkan maanfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan
norma agama dan kebudayaan masyarakat.
Obat tradisional termasuk ke dalam sediaan farmasi selain obat, bahan obat, dan
kosmetika. Dalam definisi yang disebutkan dalam UU Kesehatan, obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,

4
sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-
temuruntelah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Obat tradisional yang berizin harus berasal dari sumber yang
sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan,
perawatan, dan/ atau pemeliharaan kesehatan.
Dalam Indonesia Sehat 2015, lingkungan yang diharapkan adalah yangkondusif
bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan yang bebas dari polusi,tersedianya air
bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat,
perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, sertaterwujudnya kehidupan
masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.
Perilaku masyarakat Indonesia sehat 2015 adalah perilaku proaktif untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah terjadinya resiko
penyakit,melinduni diri dari ancaman penyakit serta berpartisifasi akif dalam
gerakankesehatan masyarakat. Selanjutnya masyarakat mempunyai kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu. Layanan yang tersedia adalahlayanan
yang berhasil guna dan berdaya guna yang tersebar secara merata dindonesia. Dengan
demikian terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal yangmemungkinkan
setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomis.
Data UNDP tahun 1997 mencatat bahwa Indeks pembangunan manusia di
Indonesia masih menempati urutan ke 10) dari 106 dari 176 negara. Tingkat pendidikan,
pendapatan serta kesehatan penduduk Indonesia memang belum memuaskan, menyadari
bahwa tercapainya tujuan pembangunan nasional merupakan kehendak dari seluruh
rakyat Indonesia, dan dalam rangka menghadapi makin ketatnya persaingan bebas pada
era globalisasi, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan. Dalam
hal ini peranan keberhasilan pembangunan kesehatan sangat menentukan. Penduduk yang
sehat bukan saja akan menunjangkeberhasilan program pendidikan, tetapi juga
mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk.
Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan
kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan melibatkan
semua sektor terkait, pemerintah, swasta dan masayarakat. Keberhasilan pembangunan
kesehatan tidak hanya ditentukan oleh kinerja sektor kesehatan semata, melainkan sangat

5
dipengaruhi oleh interaksi yang dinamis dari berbagai sektor. Upaya untuk menjadikan
pembangunan nasional berwawasan kesehatan sebagai salahsatu misi serta strategi yang
baru harus dapat dijadikan komitmen semua pihak,disamping menggeser paradigma
pembangunan kesehatan yang lama menjadi paradigma sehat.
Penyusunan rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2015 ini
adalah manifestasi konkrit dari kehendak untuk melaksanakan pembangunan nasional
berwawasan kesehatan dan paradigma sehat tersebut. Diharapkan dengan terwujudnya
lingkungan dan perilaku hidup sehat serta meningkatnya kemampuan masyarakat tersebut
di atas, derajat kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat dapat ditingkatkan secara
optimal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian terapi pengobatan dikomunitas ?
2. Bagaimana konsep pembangunan kesehatan di Indonesia ?
3. Bagaimana sistem pelayanan kesehatan dan kebijakan di era otonomi daerah ?
4. Bagaimana epidemiologi dan kependudukan ?
1.3 Tujuan

6
BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Terapi Komplementer
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi
modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan
kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya
dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi
individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan
pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004).
Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai sebuah
domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas,
praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem
pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary
and alternative medicine/CAM Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder
& Lindquis, 2002). Terapi komplementer dan alternatif termasuk didalamnya seluruh
praktik dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai pencegahan atau pengobatan
penyakit atau promosi kesehatan dan kesejahteraan.
Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi
tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi
keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Hasil terapi yang
telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga sudah disamakan
dengan obat modern. Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan yang memandang
manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual).
2.2 Penggunaan Terapi Tradisional Komplementer
Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak dan tidak
dijelaskan dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang berhasil dibuktikan secara

7
ilmiah misalnya terapi sentuhan untuk meningkatkan relaksasi, menurunkan nyeri,
mengurangi kecemasan, mempercepat penyembuhan luka, dan memberi kontribusi positif
pada perubahan psikoimunologik (Hitchcock et al., 1999). Terapi pijat (massage) pada
bayi yang lahir kurang bulan dapat meningkatkan berat badan, memperpendek hari rawat,
dan meningkatkan respons. Sedangkan terapi pijat pada anak autis meningkatkan
perhatian dan belajar. Terapi pijat juga dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan
citra tubuh, dan menurunkan kecemasan pada anak susah makan (Stanhope, 2004).
Terapi kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan level plasma prostaglandin
selama haid (Fontaine, 2005).
Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi. Salah satu
aromaterapi berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi infeksi
bakteri dan jamur (Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh bakteri
streptokokus, stafilokokus dan tuberkulosis (Smith et al., 2004). Tanaman lavender dapat
mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat membersihkan jerawat dan membatasi
kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl menemukan bahwa penderita kanker lebih cepat
sembuh dan berkurang rasa nyerinya dengan meditasi dan imagery (Smith et al., 2004).
Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai oksigen, perubahan
vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan
(Fontaine, 2005).
Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai manfaat
selain dapat meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih murah. Terapi
komplementer terutama akan dirasakan lebih murah bila klien dengan penyakit kronis
yang harus rutin mengeluarkan dana. Pengalaman klien yang awalnya menggunakan
terapi modern menunjukkan bahwa biaya membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam
beberapa bulan setelah menggunakan terapi komplementer (Nezabudkin, 2007).
2.3 Macam-macam Terapi Komplementer
Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif.
1. Terapi invasif
Contoh terapi komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah)
yang menggunakan jarum dalam pengobatannya.
2. Terapi non invasive

8
Jenis non-invasif seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara),
terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin,
hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi,
reiki, rolfing, dan terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999)
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM) membuat
klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima kategori.
1. Kategori pertama
Mind-body therapy yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk
memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh
misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling,
biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni.
2. Kategori kedua
Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan kesehatan yang
mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya
pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo,
homeopathy, naturopathy.
3. Kategori ketiga
Dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu natural dan praktik biologis
dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan).
4. Kategori keempat
Terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh manipulasi dan
pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing,
terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi.
5. Kategori kelima
Terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh
(biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan,
pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet.
Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup (pengobatan
holistik, nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi); manipulatif (kiropraktik,
akupresur & akupunktur, refleksi, massage); mind-body (meditasi, guided imagery,
biofeedback, color healing, hipnoterapi). Jenis terapi komplementer yang diberikan sesuai

9
dengan indikasi yang dibutuhkan. Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa
indikasinya seperti meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan
kecemasan, mempercepat penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses
kematian (Hitchcock et al., 1999).
Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu mengetahui
pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi komplementer
diantaranya untuk membantu mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi klien, menjawab
pertanyaan dasar tentang terapi komplementer dan merujuk klien untuk mendapatkan
informasi yang reliabel, memberi rujukan terapis yang kompeten, ataupun memberi
sejumlah terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Selain itu, perawat juga harus
membuka diri untuk perubahan dalam mencapai tujuan perawatan integratif (Fontaine,
2005)
2.4 Konsep Pembangunan Kesehatan di Indonesia
Visi pembangunan kesehatan di Indonesia adalah Indonesia sehat 2015. Dalam
Indonesia sehat 2015, lingkungan yang diharapkan adalah lingkungan yang kondusif
bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu (Wahit, 2013) :
1. Lingkungan yang bebas dari polusi
2. Tersedianya sumber air bersih
3. Sanitasi lingkungan yang memadai
4. Perumahan dan pemukiman yang sehat
Terwujudnya kesehatan masyarakat yang saling tolong menolong dengan
memelihara nilai-nilai budaya bangsa.
Perilaku masyarakat Indonesia sehat yang diharapkan adalah (Wahit, 2013) :
1. Bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
2. Mencegah resiko tejadinya penyakit
3. Melindungi diri dari ancaman sakit
4. Berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat
Selanjutnya, pada masa depan diharapkan masyarakat mampu menjangkau
pelayanan kesehatan bermutu yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat
ekonomi maupun non ekonomi. Pelayanan kesehatan yang bermutu yang dimaksudkan

10
adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan pengguna jasa, serta diselenggarakan
sesuai dengan standard an etika profesi . (Wahit, 2013)
Untuk mencapai visi diatas, disusunlah misi pembangunan kesehatan sebagai berikut
(Wahit, 2013) :
1. Menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatann. Keberhasilan
pembangunan kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh hasil kerja sector
kesehatan saja, tetapi sangat dipengaruhi oleh hasil kerja serta kontribusi positif
berbagai sector kesehatan saja, tetapi sangat dipengaruhi oleh hasilkerja , tetapi
sangat dipengaruhi oleh hasil kerja keras serta kontribusi positif berbagai sector
pembangunan lainnya.
2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Kesehatan adalah tanggung
jawab bersama setiap individu, masyarakat, pemerintah, dan swasta. Jika hanya
mengandalkan pemerintah tanpa kesedaran individu dan masyarakat untuk menjaga
kesehatannya, maka tujuan Indonesia sehat 2010 tidak akan tercapai. Perilaku sehat
dan kemampuan masyarakat untuk memilih serta mendapatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu sangat menentukan keberhasilan program pembangunan kesehatan.
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau. Salah satu tanggung jawab sector kesehatan adalah menjamin tersedianya
pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau oleh masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak semat-mata berada ditangan pemerintah,
melainkan mengikut sertakan peran serta aktif segenap anggota masyarakat dan
berbagai potensi peran swasta dengan sebesar-besarnya.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta
lingkungannya. Tugas utama sector kesehatan adalah memelihara dan meningkatkan
kesehatan segenap warga negaranya, yaitu setiap individu,keluarga, dan masyarakat
Indonesia, tanpa meninggalkan upaya penyembuhan penyakit atau pemulihan
kesehatan. Untuk terselengaranya upaya tersebut, penyelengaraan upaya kesehatan
yang harus diutamakan adalah yang bersifat promotif dan preventif, yang didukung
oleh upaya kuratif dan rehabilitative.
2.5 Strategi dan Program Pembangunan Kesehatan di Indonesia
Strategi pembangunan kesehatan 2015-2019 meliputi (Kemenkes, 2015) :

11
1. Akselerasi pemenuhan akses pelayanan kesehatan ibu, anak, remaja, dan lanjut usia
yang berkualitas.
2. Mempercepat perbaikan gizi masyarakat
3. Meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan
4. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas
5. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan rujukan yang berkualitas
6. Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, dan kualitas farmasidan alat
kesehatan
7. Meningkatkan pengawasan obat dan makanan
8. Meningkatkan ketersediaan, penyebaran dan mutu sumber daya manusia kesehatan
9. Meningkatkan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
10. Menguatkan managemen, penilaian pengembangan dan system informasi
11. Memantapkan pelayanan system jaminan social nasional bidang kesehatan
12. Mengembangkan dan meningkatkan efektifitas pembiayaan kesehatan.
2.6 Trend dan Issue Pembangunan Kesehatan
Dalam membahas topic trend dan isu pembangunan kesehatan, tidak terlepas dari
peran daerah di era globalisasi dan bidang kesehatan. Undang-undang no.22 tahun 1999
tentang pemerintah daerah dan undang-undang no.25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah membawa perubahan yang mendasar dalam
penyelenggaraan pemerintah. System pemerintahan berubah menjadi desentralisasi,
kewenangan pemerintah yang selama ini berada di tangan pemerintahan pusat beralih ke
pemerintahan daerah (Wahit, 2013).
Di era otonomi ini, baik kegiatan birokrasi, administrasi, maupun ekonomi daerah
tidak banyak bergantung pada pemeritahan pusat. Daerah pun dapat menyusun rencana
kegiatan pembangunan sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyrakatnya dalam berbagai aspek, termasuk dibidang kesehatan (Wahit,
2013).
Hal ini mengacu kepada
1. Pasal 11 ayat 2 undang-undang no.22 tahun 1999
2. Pasal 2 ayat 1 peraturan pemerintah (pp) 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom

12
DESENTRALISASI
Undang-undang No. 22 tahun1999 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan
pengertian desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait
dengan pengertiam tersebut, maka desentralisasi bidang kesehatan juga penyerahan
wewenang oleh pemerintah di bidang kesehatan kepada daerah otonom, sebagaimana
diamankan pada pasal 11 ayat 2 undang-undang No.23 tahun1999 (Wahit, 2013).
 Peran Pemerintah Daerah
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dab PP No. 25 tahun 2000 diketahui bahwa
daerah terdiri dari daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dan tidak mempunyai
hubungan hierarki. Kewenangan daerah provinsi sebagai daerah otonom mencakup
wewenang dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah (dekonsentrasi). Kewenangan daerah kabupaten atau kota dalam bidang
kesehatan adalah semua kewenangan diluar kewenangan yang diatur dalam PP No.25
tahun 2000 (Wahit, 2013).
 Isu Startegi yang terkait dengan desentralisasi bidang kesehatan
1. Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan
Dalam tatana otonomi daerah, keberhasilan pembangunan nasional dalam bidang
kesehatan sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan yang diselenggarakan
oleh daerah-daerah. Oleh karena itu, kelangsungan pembangunan kesehatan sangat
ditentukan oleh kemauan dan kemampuan daerah.
2. Ketersediaan dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah pelayanan jasa yang tidak terpisahkan dengan sumber
daya tenaga. Ketersediaan dan pemerataan pelayanan kesehatan akan terkait dengan
ketersediaan dan pemerataan sumber daya tenaga.
3. Kecukupan dalam Pembiayaan Kesehatan
Pada dasarnya, pembangunan kesehatan harus dilaksakan bersama atas pemerintah,
termasuk pemerintah daerah dan masyarakat dalam hal pembiayaan kesehatan. Untuk
itu, pengembangan jaminan kesehatan masyarakat atau bentuk-bentuk asuransi
kesehatan lainnya merupakan indicator bagi peran serta masyarakat dalam
pembiayaan kesehatan saat ini

13
4. Keberadaan Prasarana dan Sarana Kesehatan
Di era desentralisasi, kepemilikan atas pengelolaan prasarana dan sarana kesehatan
dilimpahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bagi kelangsungan kegiatan
operasional kesehatan. Namun, pengalihan kepemilikan dan pengelolaan prasarana
dan sarana kesehatan ini tidak menimbulkan perubahan fungsinya.
5. Kemampuan Manajemen Kesehatan
Selain misi, visi, strategi, serta sumber daya keberhasilan pembangunan kesehatan di
daerah sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen kesehatan dari aparatur
kesehatan itu sendiri. Kemampuan manajemen ini meliputi kemampuan dalam
perencanaan dan penganggaran kesehatan pemantauan dan evaluasi, serta
pengembangan dukunan system informasi (Wahit, 2013)
 Manfaat atau Keuntungan Desentralisasi
1. Memungkinkan pengorganisasian pelayanan kesehatan agar lebih rasional dan
terpadu dengan dasar area geografis dan administrasi, terutama untuk pelayanan
kesehatan primer
2. Keterlibatan dan partisipasi pemerintah kabupaten atau kota akan lebih besar,
terutama dalam hal perencanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan yang mendasar
dalam wilayah kerjanya
3. Dapat menekan biaya dan duplikasi pelayanan kesehatan, terutama pada tingkat
sekunder atau tersier dengan cara melibatkan tanggung jawab masyarakat dalam
wilayah kerjanya
4. Kegiatan pelayanan kesehatan pemerintah, non pemerintah , dan swasta lebih terpadu
5. Meringankan tugas-tugas rutin pemerintah pusat dalam hal perencanaan dan
penentuan kebijakan
6. Kualitas program kesehatan akan meningkat dengan mengurangi kontol dari pusat,
terutama dalam hal administrasi
7. Koordinasi lintas sector semakin baik dengan fasilator pemerintah kabupaten atau
kota (Wahit, 2013).
 Kendala Pelaksanaan Desentralisasi
1. Kekhawatiran pemerintah pusat akan kehilangan sumber keuangan dan pengaruh politik

14
2. Pemerintah pusat masih meragukan kemampuan administrative dan managemen daerah
untuk dapat bekerja secara efisien dan efektif
3. Hambatan aspek keuangan (pembiayaan penganguran) di sebagian besar daerah di
Indonesia
4. Penentuan kebijakan serta ketenagakerjaan masih sangat bergantung pada pemerintahan
pusat
5. Adanya anggapan beberapa kabupaten/kota bahwa pelayanan kesehatan dapat dijadikan
sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) bukan sebagai investasi, sehingga
orientasinya masih pada profil atau material yang dapat diraih dengan cepat
6. Pemborosan dan inefisiensi dan di sector kesehatan, terutama di tingkat pengambil
keputusan dalam alokasi sumber daya yang mempengaruhi seluruh system kesehatan
(Wahit, 2013).
 Desentralisasi dengan PP dan Permendagri Bermasalah Bagi Daerah
Otonomi daerah yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada tiap-tiap daerah
untuk mengelola dan mengatur pemerintahan daerah, ternyata tidak berjalan sesuai
dengan harapan. Campur tangan yang terlalu jauh melalui peraturan pemerintah (PP) dan
peraturan mentri dalam negri (permendagri) telah mewarnai program-program daerah
yang seharusnya mandiri dan otonom (Wahit, 2013).
2.7 Sistem Pelayanan Kesehatan dan Kebijakan Era Otonomi Daerah
A. Kajian Teori
Pelayanan kesehatan adalah salah satu faktor penentu derajat kesehatan
masyarakat. Salah satu sarananya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat atau sering
dikenal puskesmas.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan atau wewenang /
kekuasaan pada suatu wilayah /daerah yang mengatur dan mengelola untuk
kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan
pengaturan petimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi
yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungan .
B. Pelayanan Era Otonomi Daerah

15
Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang di laksanakan oleh Instansi
Pemerintah di Pusat dan Daerah , dan lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk
barang dan/jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksaan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
3 unsur penting dalam pelayanan public:
1. Unsur pertama adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu
Pemerintah Daerah.
2. Unsur kedua adlah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat
aatau organisasi yang berkepentingan,
3. Unsur ketiga adalah kepuasan yang diberikan dan atau diterima oleh penerima
layanan (pelanggan).
C. Pelayanan Dasar Kesehatan Otonomi Daerah
Puskesmas adalah ujung tombak pelyanan kesehatan dasar yang disedikan oleh
pemerintah . Puskesmas, bersama unit penunjang, seperti posyandu, pustu, pusling,
dan polindes. Sangat penting peranannya karena merupakan pelayanan kesehatan
utama yang dapat menyebar sampai ke masyarakat tingkat desa dan biayanya relatif
dijangkau oleh kantong masyarakat miskin.
1. Pelayanan Puskesmas
Sebagai pusat pelayan kesehatan dasar di tingkat kecamatan, umumnya
setiap puskesmas mempunyai seorang dokter yang merangkap sebagai kepala
puskesmas. Namun tugas administrasi seorang kepala puskesmas acapkali
menyita waktu pelayanan bagi masyarakat. Akibabtnya penaganan pasien
lebih banyak diserahkan kepada tenaga perawat dan bidan.
Di beberapa puskesmas juga ditemukan bahwa dokter kepala puskesmas
dan tenaga medis lainnyamemberikan pelayanan pesien pribadi pada ja kerja
puskesmas. Pasien yang ingin mendapat pelayanan dan obat yang lebih baik
umumnya memilih berobat ke dokter kepala puskesmas meskipun harus
membayar dengan biaya lebih tinggi. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan
fungsi puskesmas, yaitu sebagai tempat alternatif berobat bagi masyarakat
miskin unuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik.
2. Keuangan Puskesmas

16
Puskesmas di beberapa daerah mengeluhkan minimnya dana operasional
yang diterima di era otonomi daerah. Keluhan lain berkenaan dengan
monopoli pengelolahaan dana oleh kabupaten. Saat ini meskipun usulan
program dan rencana keuangan tahunan disusun oleh puskesmas, namun
puskesmas hanya menerima dana dalam bentuk program yang telah
ditentukan oleh kabupaten. Sebelum otonomi daerah justru sebaliknya, 80%
dana dari pemerintah pusat diterima puskesmas dalam bentuk “blog grant”,
sehingga puskesmas dapat mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhannya.
Secara sederhana, jika pemda menghendaki kualitas dan kuantitas pelayanan
puskesmas tetap sama dengan keadaan sebelum otonomi daerah, dana APBD
yang dialokasikan untuk puskesmas setidaknya harus sama dngan a;okasi
dana sebelum otonomi daerah. Meskipun jumlah dana bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi kualitas, tetapi kurangnya dana akan
mempengaruhi tingkat pelayanan. Kecendrungan lain setelah kebijakan
otonomi daerah diberlakukan adalah naiknya retribusi puskesmas.
Sebelumnya rata-rata pungutan retribusi yang dikenakan pada setiap pasien
antara Rp500-Rp2.000 per kunjungan. Setelah otonomi daerah berlaku,
sebagian kabupaten /kota menaikkan retribusi puskesmas menjadi Rp3.000-
Rp5.000. meskipun secara hukum retribusi adalah pungutan sah, tetapi perlu
diingat bahwa pelayanan puskesmas kebanyakan dimanfaatkan oleh
masyarakat miskin (yang tidak dapat mengakses pelayan oleh dokter swasta),
karena itu tarif yang tinggi ini dapat menghalangi mereka untuk mengakses
pelayanan kesehatan.
D. Kebijakan kesehatan Di Era Otonomi Daerah
1. Program Obat Murah
a. Mati suri, kucuran dana yang terkadang macet di tengah jalan.
b. Diragukan masyarakat karena kualitas dari obat murah tersebut.
2. Alternatif Kesehatan Reproduksi Di Era Otonomi Daerah.
a. Prokontra penghapusan dari dapartemen BKKBN dan tujuan dari BKKBN
di masukkan ke dalam deprtemen baru.

17
b. Kesehatan reproduksi tidak harus sebatas pada pelayanan teknis medis,
tetapi juga masalah sosial

2.8 Epidemiologi dan Kependudukan


 Epidemiologi
epidemiologi yang menggunakan system pendekatan epidemiologi dalam menganalisis
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan bidang demografi serta factor-faktor yang
mempengaruhi berbagai perubahan demografi yang terjadi dalam masyarakat.
jumlah, struktur, komposisi Mempelajari penduduk suatu wilayah dan perkembangannya
(Multilingual Demographic Dictionary (IUSSP, 1982), jumlah, persebaran, teritorial, komposisi
penduduk, dan perubahan serta sebab-sebabnya yg biasa timbul krn natalitas, mortalitas, migrasi,
dan mobilitas sosial (D.J. Bogue 1969). Studi matematik & statistik thd jumlah, komposisi,
distribusi spasial dr penduduk manusia, dan perubahan-perubahan dr aspek tsb yang selalu
terjadi akibat proses fertilitas , mortalitas , perkawinan , migrasi dan mobilitas sosial (Philip M.
Hauser & Duddley Duncan (1959)
Analisa statistik thd jumlah, distribusi, Demografi komposisi penduduk serta komponen-
komponen variasi dan perubahannya Membahas Hubungan antara.
Studi kependudukan variabel demografi dan variabel sistem lain
 Faktor yang mempengaruhi Jumlah Penduduk
 FERTILITAS (Blake and Davis)
• Intercourse Variabel Mempengaruhi tidak terjadinya hubungn kelamin
Mempengaruhi terjadinya hubungn kelamin
• Conception Variable Infertilitas tak disengaja
Kontrasepsi Infertilitas yang disengaja

 Gestation Variable Mortalitas janin (sengaja/tdk sengaja)


 Mortalitas janin (sengaja/tdk sengaja)

Fertilitas
• Norma dalam masyarakat dan keluarga
• Pendidikan

18
• Struktur umur
• Pekerjaan Suami
• Tempat tinggal
Dari definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam pengertian epidemiologi terdapat
3 hal Pokok yaitu :
1. Frekuensi masalah kesehatan
Frekuensi yang dimaksudkan disini menunjuk pada besarnya masalah kesehatan
yang terdapat pada sekelompok manusia/masyarakat. Untuk dapat mengetahui
frekwensi suatu masalah kesehatan dengan tepat, ada 2 hal yang harus dilakukan
yaitu :
a. Menemukan masalah kesehatan yang dimaksud.
b. Melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang ditemukan tersebut.
2. Distribusi ( Penyebaran ) masalah kesehatan Yang dimaksud dengan
Penyebaran/Distribusi masalah kesehatan adalah menunjuk kepada pengelompokan
masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang
dimaksudkan dalam epidemiologi adalah :
a. Menurut Ciri – ciri Manusia ( MAN ) siapakah yang menjadi sasaran
penyebaran penyakit itu atau orang yang terkena penyakit.
b. Menurut Tempat ( PLACE ) , di mana penyebaran atau terjadinya penyakit
. c. Menurut Waktu ( TIME ) , kapan penyebaran atau terjadinya penyakit
tersebut.
2. Determinan
( Faktor – faktor yang mempengaruhi ) Determinan adalah menunjuk kepada
factor penyebab dari suatu penyakit / masalah kesehatan baik yang menjelaskan
Frekwensi, penyebaran ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah
kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini ada 3 langkah yang lazim dilakukan yaitu :
a. Merumuskan Hipotesa tentang penyebab yang dimaksud.
b. Melakukan pengujian terhadap rumusan Hipotesa yang telah disusun.
c. Menarik kesimpulan.
tujuan Epidemiologi adalah :

19
1. Mendeskripsikan Distribusi, kecenderungan dan riwayat alamiah suatu penyakit atau
keadaan kesehatan populasi.
2. Menjelaskan etiologi penyakit.
3. Meramalkan kejadian penyakit.
4. Mengendalikan distribusi penyakit dan masalah kesehatan populasi. Sebagai ilmu yang
selalu berkembang, Epidemiologi senantiasa mengalami perkembangan pengertian dan
karena itu pula mengalami modifikasi dalam batasan/definisinya
 Kependudukan
1. Masalah kependudukan di Indonesia
- Jumlah penduduk relative besar : pada tahun 2000=200 juta
- Laju pertumbuhan penduduk tinggi; pada tahun 1971-1980=2,32%/tahun
- Kepadatan penduduk; penyebaran tidak merata
- Susunan umur penduduk tidak merata
- Mobilitas tidak serasi dan arus urbanisasi tinggi
2. Kebijaksanaan kependudukan di Indonesia
- Pengendalian kelahiran
- Penurunan tingkat kematian terutama anak-anak
- Perpanjangan usia harapan hidup
- Penyebaran penduduk yang lebih serasi dan seimbang
- Pola urbanisasi yang lebih seimbang dan merata
- Perkembangan dan penyebaran angkatan kerja

20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam


pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan,Terapi komplementer
juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh
bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah
keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan
fungsi.

21
DAFTAR PUSTAKA
Rahmi Yuningsih, 2012. Pengobatan Tradisional Di Unit Pelayanan Kesehatan. ISSN: 2088-
2351. URL :http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-5-I-P3DI-Maret-
2012-82.pdf
Widyatuti, 2008. Terapi Komplementer Dalam Keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia.
Volume 12, No 1, Hal: 53-57. URL :file:///C:/Users/E1-422/Downloads/200-556-1-PB.pdf
https://id.scribd.com/doc/312768726/Konsep-Pembangunan-Kesehatan-Di-Indonesia
https://doku.pub/documents/makalah-pelayanan-kesehatan-di-era-otonomi-daerah-4lo5g798jr0x
Otonomi, D. I. E. R. A. (n.d.). Di era otonomi. 1–
199.URL :https://batukarinfo.com/system/files/Kajian-Kebijakan-Penyelenggaraan-Jaminan-
Kesehatan-Di-Era-Otonomi-Daerah.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai