Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan tentang tinjauan pustaka yang berhubungan

dengan penelitian yang meliputi: (1) Konsep jajanan sehat, (2) Konsep perilaku,

(3) Konsep dasar teori yang mendukung penelitian, (3) Kerangka teori, kerangka

konsep, dan hipotesis penelitian.

2.1 Konsep Jajanan Sehat

2.1.1 Pengertian Jajanan

Makanan jajanan merupakan makanan dan minuman siap dimakan yang

dijual di tempat umum, terlebih dahulu dipersiapkan/dimasak di tempat produksi

seperti di rumah/di tempat berjualan (Murniawan, 2006). Menurut FAO, makanan

jajanan atau yang dikenal dengan street food didefinisikan sebagai makanan dan

minuman yang dipersiapkan dan atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan

dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau

dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (Rahma Savitri, 2009).

Jajanan sehat adalah makan yang memenuhi triguna makanan yaitu

makanan yang bersih, makanan yang aman, dan makanan yang halal. Makanan

yang bersih adalah makan yang bebas dari lalat, debu, dan serangga lainnya.

Makanan yang aman adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya

yang dilaang untuk dikonsumsi seperti zat pewarna, zat pengawet dan penambah

rasa yang diperuntukkan untuk makanan dan tidak tercemar oleh bahan kimia

yang membahayakan manusia. Makana yang halal adalah makana yang tidak

bertentangan dengan agama yang dianut oleh siswa.

11
12

2.1.2 Jenis Jajanan

Pangan jajanan menurut Nuraida et al (2009) dapat dikelompokkan

sebagai makanan sepinggan, makanan camilan, minuman dan buah.

1) Makanan sepinggan merupakan kelompok makanan utama yang dapat

disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di kantin. Contoh makanan

sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong

sayur dan lain-lain.

2) Makanan camilan adalah makanan yang dikonsumsi di antara dua waktu

makan. Makanan camilan terdiri dari:

1. Makanan camilan basah seperti pisang goreng, lemper, lumpia, risoles dan

lain-lain.

2. Makanan camilan kering, seperti produk ekstruksi (brondong), keripik,

biskuit, kue kering dan lain-lain.

3) Kelompok minuman yang biasa dijual di kantin sekolah meliputi:

1. Air putih, baik dalam kemasan atau disiapkan sendiri.

2. Minuman ringan meliputi minuman dalam kemasan seperti teh, minuman

sari buah dan lain-lain.

3. Minuman campur seperti es buah, es campur, es cendol, dan lain-lain.

4) Buah merupakan salah satu jenis makanan sumber vitamin dan mineral yang

penting untuk anak sekolah. Buah-buahan sebaiknya dikonsumsi setiap hari

dalam bentuk:

1) Utuh misalnya pisang, jambu, jeruk, dan lain-lain.

2) Kupas atau potong misalnya pepaya, nanas, mangga, dan lain-lain.


13

Pangan jajanan yang paling banyak dijual di lingkungan sekolah adalah

sekelompok makanan ringan (54.1%), dibanding dua kelompok minuman (26.0%)

dan makanan utama (2.0%). Dari keseluruhan kelompok pangan jajanan dijual,

lebih dari separuh (55.8%) PJAS dalam bentuk pangan siap saji, selanjutnya

36.0%. (Andarwulan et al, 2009).

2.1.2.1 Jenis Jajanan Berdasarkan Hubungan Dengan Kesehatan

1) Jenis makanan jajanan yang aman di konsumsi yaitu makanan jajanan yang di

sajikan dalam keadaan panas misalnya bakso, soto,,bubur, dan makanan yang

di bakar.

2) Jenis makanan yang tidak aman di konsumsi

a. Makanan jajanan yang di sajikannya dalam keadaan tidak panas.

Misalnya : gado-gado, ketoprak, pecel, ketupat tahu, nasi remes, dan nasi

uduk karena lebih berpeluang dan terkontaminasi oleh mikroba.

b. Makanan jajanan yang berair dan tidak dipanaskan.

Misalnya : es cendol, es campur, es cincau, es puter, es klapa, agar- agar,

asinan dan rujak mempunyai resiko tinggi pada terkontaminasi.

c. Aneka ragam kue kue tradisional yang tidak di bungkus.

Misalnya getuk, ondol ondo, cenel, lupis dll juga mempunyai resiko tinggi

terkontaminasi.

2.1.3 Manfaat Makan Jajanan

Kebiasaan jajan di sekolah sangat bermanfaat jika makanan yang dibeli itu

sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, sehingga dapat melengkapi atau

menambah kebutuhan gizi anak. Disamping itu juga untuk mengisi kekosongan

lambung, karena setiap 3-4 jam sesudah makan, lambung mulai kosong. Akhirnya
14

apabila tidak beri jajan, si anak tidak dapat memusatkan kembali pikirannya

kepada pelajaran yang diberikan oleh guru dikelasnya. Jajan juga dapat

dipergunakan untuk mendidik anak dalam memilih jajan menurut 4 sehat 5

sempurna (Yusuf, dkk, 2008).

Namun, jajan yang terlalu sering dan menjadi kebiasaan akan berakibat

negatif, antara lain nafsu makan menurun, makanan yang tidak higienis akan

menimbulkan berbagai penyakit, dapat menyebabkan obesitas pada anak, kurang

gizi karena kandungan gizi pada jajanan belum tentu terjamin dan pemborosan.

Permen yang menjadi kesukaan anak-anak bukanlah sumber energi yang baik

sebab hanya mengandung karbohidrat (Irianto, 2007).

2.1.4 Pengaruh Positif dan Negatif Makanan Jajanan

Menurut Kus dan Kusno (2007) pada umumnya anak-anak lebih menyukai

jajanan di warung maupun kantin sekolah daripada makanan yang telah tersedia di

rumah. Kebiasaan jajan di sekolah sangat bermanfaat jika makanan yang dibeli itu

sudah memenuhi syarat kesehatan sehingga dapat melengkapi kebutuhan gizi

anak. Disamping itu juga untuk mengisi kekosongan lambung, karena setiap 3-4

jam sesudah makan lambung mulai kosong. Akhirnya apabila tidak beli jajan,

anak tidak dapat memusatkan kembali pikirannya pada pelajaran yang diberikan

guru. Jajan juga dapat dipergunakan untuk mendidik anak dalam memilih

makanan jajanan 4 (empat) sehat 5 (lima) sempurna (Yusuf, dkk, 2008).

Melalui makanan jajanan anak bisa mengenal berbagai makanan yang ada

sehingga membantu anak untuk membentuk selera makan yang beragam,

sehingga saat dewasa anak dapat menikmati aneka ragam makanan. Manfaat atau

keuntungan dari kebiasaan jajan anak yakni :


15

1) Memenuhi kebutuhan energi.

2) Mengenalkan diversifikasi (keanekaragaman) jenis makanan.

3) Meningkatkan gengsi dengan teman-teman.

Selain memberikan dampak positif, kebiasaan jajan juga dapat berdampak

negatif. Makanan jajanan berisiko terhadap kesehatan karena penanganganannya

sering tidak baik yang memungkinkan makanan jajanan terkontaminasi mikroba

beracun dan menggunakan BTP yang tidak diizinkan (Mudjajanto, 2006).

Jika terlalu sering dan menjadikan konsumsi makanan jajanan menjadi

kebiasaan akan berakibat negatif, antara lain:

1) Nafsu makan menurun.

2) Makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai penyakit.

3) Salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak.

4) Kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan tidak terjamin.

5) Pemborosan.

Makanan jajanan mengandung banyak risiko. Debu, asap kendaraan

bermotor, dan lalat yang hinggap pada makanan yang tidak ditutup serta peralatan

makan seperti sendok, garpu, gelas, dan piring yang tidak dapat dicuci dengan

bersih karena persediaan air terbatas dapat menyebabkan penyakit pada sistem

pencernaan seperti disentri, tifus ataupun penyakit perut lainnya (Kus dan Kusno,

2007).

2.1.5 Panduan Tepat Untuk Memilih Jajanan Sehat

1) Amati warna makanan

Jangan memilih untuk mengkonsumsi makanan dengan warna yang mencolok

dan jauh berbeda dari warna asli pada umumnya. Zat pewarna yang tidak
16

aman kerap ditemui pada jajanan seperti kerupuk, es krim atau snack lainnya.

Amatilah warna makanan untuk mencegah berbagai penyakit berbahaya dari

pewarna yang tidak aman.

2) Cicipi rasanya

Jika pada saat mencicipi makanan terasa tajam, seperti gurih yang berlebih

hingga membuat lidah bergetar, jangan teruskan memakannya. Ingatlah bahwa

lidah dalam membedakan makanan yang aman dan tidak biasanya cukup jeli.

3) Resapi aromanya

Jangan langsung memakan jajanan sebelum mencium baunya.

Mikroorganisme sudah terkontaminasi pada makanan dengan aroma bau apek

atau tengik. Tidak ada pilihan lain selain membuangnya demi kesehatan.

4) Lihatlah komposisinya

Untuk makanan dengan kemasan, biasanya tertera komposisi bahan

makanannya. Pastikan produk sudah terdaftar dan memiliki izin Badan

Pengawas Obat dan Makanan, terlebih pada produk impor. Cermati itu pada

label kemasan. Telitilah membaca dan jadilah konsumen cerdas.

5) Perhatikan Teksturnya

Kesegaran makanan bisa dilihat dari teksturnya. Banyaknya jajanan di pasar

membuat anda harus cermat memilih. Jika warnanya sudah berubah, terlebih

berjamur, maka produk tersebut sudah kadaluarsa. Sehingga tidak layak

konsumsi.
17

2.2 Konsep Perilaku


2.2.1 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup)

yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk

hidup mulai tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku,

karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing (Notoatmodjo, 2007).

Pola-pola prilaku manusia disebut sebagai sistem sosial. Pada prinsipnya,

perilaku manusia senantiasa dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya.

Pola-pola tindakan juga sangat dipengaruhi oleh alam lingkungan yang

dijadikannya sebagai tempat belajar mengenai apa yang baik ataupun tidak baik

sebagaimana yang terkonstruk dalam sistem budayanya.

Perilaku merupakan segala sesuatu yang menjadi pengetahuannya

(knowledge), sikapnya (attitudes) dan yang biasa dikerjakannya (action). Perilaku

tidak muncul dalam diri individu tersebut (internal), melainkan merupakan khas

interaksi individu dengan lingkungannya (Rahmawati, 14: 2004).

Gibson Cs menyatakan bahwa perilaku individu adalah segala sesuatu

yang dilakukan seseorang, seperti: berbicara, berjalan, berfikir atau tindakan dari

suatu sikap. Salah satu contoh dari perilaku individu adalah perilaku makan.

Istilah kebiasaan makan memberi konotasi sesuatu yang stabil, sedangkan

perilaku makan mempunyai makna yang dinamis. Perilaku dinamis yang

dimaksud adalah perilaku makan seseorang dipengaruhi oleh sistem budayanya,

dimana setiap kelompok memiliki sistem budaya yang berbeda pula (Rahmawati,

13: 2004).

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan, yaitu perilaku pada

umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.


18

Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh individu yang

bersangkutan. Freud adalah orang pertama yang memahami pentingnya motivasi

dibawah sadar (subconcious motivation). Freud beranggapan bahwa manusia

tidak selalu menyadari tentang segala sesuatu yang diinginkan mereka sehingga

sebagian besar perilaku mereka dipenuhi oleh kebutuhan-kebutuhan dibawah

sadar. Maka oleh karenanya, sering kali hanya sebagian kecil dari motivasi jelas

terlihat atau disadari oleh orang yang bersangkutan (Robbins, 1993).

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia

adalah semua kegiatan yang dapat diamati langsung maupun tidak dapat diamati

oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Selanjutnya menurut Green dikutip dari

Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa dalam menganalisis perilaku manusia

dari tingkat kesehatan. Kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor perilaku

(behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior causes). Sedangkan

perilaku tersebut ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor, antara lain:

a. Faktor predisposisi (Predisposing faktor)

Faktor predisposisi ini merupakan faktor yang mempermudah

terjadinya perilaku seseorang seperti nilai, keyakinan, kepercayaan, tradisi,

sikap, dan pengetahuan.

1) Nilai merupakan sifat-sifat atau hal penting bagi kemanusiaan. Di dalam

suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan

setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.

2) Keyakinan menurut kamus lengkap bahasa indonesia (1990) merupakan

kepercayaan yang sungguh-sungguh.


19

3) Kepercayaan merupakan anggapan terhadap sesuatu yang dipercayai

benar. Kepercayaan sering di peroleh dari orang tua, kakek, atau nenek.

Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa

adanya pembuktian terlebih dahulu. Kepercayaan merupakan salah satu

komponen dari kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Edward

Burnett Tylor (1974) yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan

keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat

seseorang sebagai anggota masyarakat.

4) Tradisi secara sederhana diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan

untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok

masyarakat. Dalam pengertian tradisi ini, hal yang paling mendasar dari

tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi

baik tertulis maupun (sering kali) lisan. Menurut kamus lengkap Bahasa

Indonesia (1990) tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku

manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara

turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya

akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang.

Suatu tradisi dapat punah, karena manusia dalam berbuat akan melihat

realitas yang ada di lingkungan sekitarnya sebagai upaya dari sebuah

adaptasi walaupun sebenarnya orang tersebut telah mempunyai motivasi

berperilaku yang sesuai dengan tradisi yang ada pada dirinya. Disamping

itu, manusia dalam berperilaku selalu mengidentifikasikan dirinya dengan

orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sarwono (1997) yang
20

mengatakan bahwa bila lingkungan memberikan sesuatu yang positif,

maka perilaku yang positif akan dipertahankan. Namun, bila ada keberatan

atau kritik dari kelompok, maka individu akan kembali pada perilaku

semula. Dalam proses ini, keluarga dan lingkungan tempat tinggal

merupakan hal yang terdekat. Selain itu, tradisi juga dapat diartikan

sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat yang secara otomatis akan

mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari (Rendra,

2002). Oleh karena itu, gambaran kehidupan yang berlangsung lama

secara turun-temurun dari nenek moyangnya yang telah menjadi tradisi

diidentifikasikan sebagai perilaku dirinya. Dalam jangkauan waktu

tertentu, perilaku diri sendiri ini akan menjadi perilaku kelompok atau

masyarakat.

5) Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek.

Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling

dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau

objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu

terwujud dalam suatu tindakan yang nyata.

6) Pengetahuan menurut Notoatmodjo (1997) merupakan hasil tahu setelah

individu mendapat penginderaan terhadap objek. Menurut Muhibbinsyah

(2001) pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman,

dan usia.

b. Faktor pendukung (Enabling faktor)

Faktor pendukung merupakan faktor yang memungkinkan atau

memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini terwujud dalam lingkungan


21

fisik berupa tersedianya sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya

perilaku kesehatan. Fasilitas atau sarana merupakan sesuatu yang dapat

dipakai untuk mempermudah pekerjaan, maksud, dan tujuan (Kamus lengkap

Bahasa Indonesia, 1990). Adanya sarana juga dapat memberi pengetahuan

kepada masyarakat, karena sarana dapat dijadikan salah satu bentuk media

pembelajaran yang berwujud asli. Hal ini sesuai dengan pernyataan Elgar

Dale yang dikutip Notoatmodjo (2003) yang membagi 11 bentuk media. Akan

tetapi ada suatu perhatian terhadap kondisi sarana, agar masyarakat

termotivasi dalam menggunakan sarana tersebut.

c. Faktor pendorong (Reinforcing faktor)

Faktor ini bertujuan memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud

dalam sikap dan perilaku tugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Secara matematis, perilaku menurut Green dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan: B = Behavior

PF =Predisposising faktor
B = f (PF, EF, RF)
EF = Enabling faktor

RF = Reinforcing faktor

Gambar 2.1 Model determinan prilaku menurut Lawrence Green

Berdasarkan model diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku individu

atau masyarakat ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dari

individu yang bersangkutan. Ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku petugas

kesehatan juga mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.


22

2.2.2 Bentuk – Bentuk Perilaku

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas. Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi

pendidikan membagi perilaku ke dalam tiga domain atau ranah/kawasan yaitu

ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain) dan ranah

psikomotor (psychomotor domain), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak

mempunyai batasan yang jelas dan tegas.

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) seorang ahli psikologi,

merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap

stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui

proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut

merespon, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-

Respons. Skiner membedakan adanya dua respons :

1) Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.

Misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya

terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini

juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah

menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan

mengadakan pesta, dan sebagainya.

2) Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena


23

memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan

melaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya atau

job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus

baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam

melaksanakan tugasnya.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua : (skiner, 1938)

1) Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau

tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas

pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada

orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas

oleh orang lain.

2) Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata

atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk

tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau

dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata

atau praktek (practice) misal, seorang anak yang tidak membeli jajanan di

kantin sekolahnya dikarenakan sudah sarapan di rumahnya.

2.2.3 Domain Perilaku

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas. Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010), seorang ahli

psikologi pendidikan, membedakan adanya 3 area, wilayah, ranah atau domain


24

perilaku ini, yakni kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor

(psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di Indonesia ketiga domain ini

diterjemahkan kedalam cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotor),

atau pericipta, perirasa, dan peritindak. Dalam perkembangan selanjutnya,

berdasarkan pembagian domain oleh bloom ini, dan untuk kepentingan

pendidikan praktis, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai

berikut :

1) Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan umumnya dating dari

pengalaman,juga bias didapat dari informasi yang disampaikan oleh guru,

orang tua, teman, buku dan surat kabar. Pengetahuan seseorang terhadap

objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis

besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yakni:

a. Tahu (Knowledge)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Misalnya: tahu bahwa tomat banyak mengandung vitamin C, jamban

adalah tempat membuang air besar, dan sebagainya. Untuk mengetahui


25

atau mengukur orang tahu sesuatu dapat digunakan pertanyaan-

pertanyaan misalnya: bagaimana cara melakukan pemberantasan srang

nyamuk, apa tanda anak yang kurang gizi, dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahai suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek

tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus

dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang dilakukan

tersebut. Misalnya: orang yang memahami cara pemberantasan

penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3M

(mengubur, menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan

mengapa harus menutup, menguras, dan sebagainya.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek

yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya: seseorang yang telah

paham tentang proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan

program kesehatan di tempat ia bekerja, atau dimana saja.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan

atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen

yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan,

membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.


26

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari

komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis

adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-

formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek

tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria

yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyrakat.

Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan seseorang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun

orang lain. Seseorang melakukan sesuatu yang positif atau negatif bisa

dari pengalaman sendiri maupun orang lain.

b. Tingkat pengetahuan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang

kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri

bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula

bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin

banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.


27

c. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa

adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi

pengetahuan seseorang baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.

d. Sosial budaya

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu

wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan, maka

sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu

menjaga kebersihan lingkungan karena lingkungan sangat berpengaruh

dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.

2) Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup

dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak

dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat menafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku yang tertutup, sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-

hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial

(Notoatmodjo, 2010). Sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan

antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau

secara sederhana. Sikap merupakan respon terhadap stimulasi sosial yang

telah terkondisikan (Azwar,2011).


28

Sifat dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif

(Purwanto,2008) :

a. Sikap positif, kecenderungan

tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengaharapkan objek tertentu.

b. Sikap negatif, terdapat

kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai

objek tertentu.

Menurut Azwar (2011) sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang,

yaitu :

a. Komponen kognitif

Merupakan representatif apa yang dipercayai oleh individu pemilik

sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki

individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama

apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.

b. Komponen afektif

Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek

emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen

sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-

pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen

afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap

sesuatu.

c. Komponen konatif

Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai

dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang dan berisi tendensi atau
29

kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan

cara-cara tertentu. Dan berikatan dengan objek yang dihadapinya adalah

logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan

dalam bentuk tendensi perilaku.

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap terdiri dari empat tingkatan yaitu :

a. Menerima ( receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

Oleh karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau

mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau

salah, berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan

orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat

ketiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.


30

Menurut Azwar (2011), sikap manusia dapat dipengaruhi oleh

faktor – faktor sebagai berikut :

a. Pengalaman pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman

pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah

terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang

melibatkan faktor emosional.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang

konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi

dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap

penting tersebut.

c. Pengaruh kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah

sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap

anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak

pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

d. Media massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media

komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara

objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya

berpengaruh terhadap sikap konsumennya.


31

3) Praktek / Tindakan

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan

(overt behavior). Untuk terbentuknya suatu sikap agar menjadi suatu

perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang

memungkinkan antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga

diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain didalam tindakan atau

praktik (Notoatmodjo, 2010).

Tingkatan Praktek :

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil adalah merupakan tindakan tingkat pertama.

b. Respon Terpimpin (Guided respons)

Melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan

contoh merupakan indikator tindakan tingkat dua.

c. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mencapai tindakan tingkat tiga.

d. Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi

kebenaran tindakan tersebut.


32

SKEMA PERILAKU

Persepsi
Pengetahuan
Pengalaman Keyakinan
Fasilitas Keinginan PERILAKU
Sosialbudaya Motivasi
Niat
Sikap

EKSTERNAL INTERNAL RESPONS

Gambar 2.2 Skema perilaku menurut Benyamin Bloom (1908)

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Perkembangan dan peningkatan perilaku banyak dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut terbagi kedalam dua kelompok yaitu faktor

internal danfaktor eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

perilaku dijelaskan dalam uraian berikut:

2.2.4.1 Faktor Internal

Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri

baik yang bersifat fisik maupun psikis. Yusuf (1984) menyebutkan faktor internal

yang berpengaruh terhadap perilaku yaitu harga diri (self estem) dan faktor

kepandaian atau kecerdasan (intelligence).

2.2.4.2 Faktor Eksternal

Yang dimaksud dengan faktor eksternal dsni adalah faktor yang berasal

dari pengalaman atau lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku siswa

antara lain faktor keluarga, teman sebaya dan sekolah.


33

a. Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak

lahir sampai datang ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga

sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling

intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak

mengenal lingkungan yang lebih luas, anak terlebih dahulu mengenal

lingkungan keluarganya. Oleh karena itu sebelum mengenal norma-norma dan

nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap nilai dan norma

dari keluarganya dan norma atau nilai itu dijadikan bagian dari

kepribadiannya.

Perilaku sosial dan sikap anak mencerminkan perilaku yang diterima

di rumah. Sikap dan kebiasaan orang tua memegang peranan penting dalam

perkembangan anak. Sikap orang tua yang terlalu melindungi dan sikap

penolakan orang tua terhadap anak akan mengakibatkan ketergantungan anak

kepada orang tua dalam bertingkah laku, mudah mengembangkan ciri-ciri

agresivitas, tingkah laku bermusuhan, dan menampakkan gejala-gejala

menyeleweng seperti berdusta dan mencuri. Selain itu sebagian anak juga ada

yang cenderung manolak atau kurang membutuhkan pengawasan dari orang

tua yaitu cenderung menginginkan kebebasan dalam segala hal misalnya

cenderung bebas dalam mengeksplorasikan dan menampilkan diri sendiri dan

bebas dalam mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok.


34

b. Faktor Teman Sebaya.

Selama masa usia sekolah anak menghabiskan sebagian besar

waktunya bersama teman. Mereka berkumpul bersama-sama pergi ke suatu

tempat, berolahraga, berjalan-jalan atau sekedar mengobrol. Umumnya

mereka berkumpul dengan teman yang samam jenis kelaminnya. Teman

sebaya berbahaya baik dan buruk. Pengaruh teman sebaya adalah dalam hal

pengembangan konsep diri dan pembentukan harga diri. Teman sebaya

membantu anak membentuk opini tentang dirinya seperti apa yang dilihat

orang lain. Hal ini merupakan dasar kemampuan yang realistic.

Pengaruh buruk teman sebaya antara lain mereka sering melakukan

nilai-nilai yang kurang baik kepada anak. Anak yang lemah tidak dapat

menolak tekanan semacam itu. Pengaruh buruk lainnya adalah bentuk

ancaman dan pemerasan misalnya ancaman memberikn soal tes di kelas,

ancaman untuk memberikan uang jajannya, mengancam anak jika tidak

mengikuti kehendaknya. Teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat

besar terhadap perkembangan anak dalam tahap-tahap pertengahan dan akhir

usia sekolah.

c. Faktor Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis

melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka

membantu siswa agar mampu mandiri dan mampu mngembangkan

potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual,

emosional maupun social.


35

Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak

Hurlock mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi

perkembangan kepribadian siswa baik dalam berfikir, bersikap, maupun dalam

berprilaku. Sekolah berperan sebagai susitusi keluarga dan guru sebagai

subsitusi orang tua.

2.2.5 Perilaku Terhadap Pemilihan Makanan

Perilaku pemilihan makanan merupakan respon individu terhadap

makanan yang meliputi pengetahuan, persepsi, sikap, dan praktik terhadap

pemilihan makanan serta pengelolaan makanan (Zulfan Saam, 2012).

2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Anak Dalam Memilih

Jajanan

Menurut Worthington (2000) dalam Dilapanga (2008) perilaku konsumsi

makanan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu:

1) Faktor intrinsik yang terdiri dari jenis kelamin,

pengetahuan dan keyakinan.

a Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi

seseorang. Pertumbuhan dan perkembangan remaja sangat berbeda antara

laki-laki dan perempuan. Puncak pertumbuhan cepat pada perempuan

adalah pada umur 11-13 tahun. Tetapi intensitas pertumbuhan pada laki-

laki umumnya lebih besar daripada perempuan, sehingga pada usia

dewasa, laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Husaini dan Husaini,

1989 dalam savitri, 2009).


36

Untuk menopang pertumbuhan remaja, anak perempuan dan laki-

laki membutuhkan energi, protein, dan zat-zat gizi lainnya lebih banyak.

Anak-anak laki umumnya lebih aktif dalam berolah raga dan kegiatan fisik

serta intensitas tumbuh yang lebih besar, oleh karena itu membutuhkan

energi dan protein yang lebih banyak, sebaliknya anak perempuan

membutuhkan zat besi lebih banyak untuk mengganti darah yang hilang

saat menstruasi (Depkes RI, 1998).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja laki-laki

memiliki frekuensi konsumsi makanan jajanan lebih sering daripada

perempuan, karena remaja perempuan lebih mementingkan penampilannya

sehingga membatasi diri untuk tidak memakan makanan yang akan

membuat badannya gemuk (Murniawan, 2006).

b Pengetahuan

Pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan.

Pengetahuan merupakan faktor penentu utama dari perilaku konsumen.

Apa yang konsumen beli, dimana konsumen membeli dan kapan

konsumen membeli akan bergantung pada pengetahuan yang relevan

dengan keputusan tersebut (Engel, Blackwell, and Miniard, 1994 dalam

Savitri, 2009).

Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh dari

berbagai media, meliputi media cetak dan media elektronik dan

pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun informal. Tingkat

pengetahuan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang

karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan konsep


37

mengenai obyek tertentu. Jika pengetahuan gizi yang dimiliki seseorang

tinggi makan cenderung untuk memilih makanan bernilai gizi yang lebi

tinggi (savitri, 2009).

Pengetahuan gizi menjadi landasan yang menentukan konsumsi

pangan individu yang memiliki pengetahuan yang akan mempunyai

kemampuan dalam menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan

maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan mencukupi

kebutuhan (Nasution dan Khomsan, 1995 dalam Savitri, 2009).

Pengetahuan gizi adalah kemampuan responden dalam menjawab

pertanyaan tentang gizi. Pengetahuan gizi bertujuan untuk mengubah

perilaku masyarakat ke arah konsumsi pangan yang sehat dan bergizi. Jika

pengetahuan gizi tinggi maka kecendrungan untuk memilih makanan yang

lebih murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi (Mulya, 2006).

c Keyakinan

Keyakinan seorang anak merupakan suatu patokan seorang anak

melakukan perilaku yang mereka anggap benar, misalnya seorang anak

yang yakin akan jajanan yang mereka pilih bersih dan sehat maka mereka

tidak ragu untuk memakannya.

2) Faktor ekstrinsik yang terdiri dari tingkat ekonomi,

pendidikan, pengalaman, iklan, dan pengaruh teman sebaya.

a Besarnya uang jajan

Menurut Ariyanti (2005), tingkat ekonomi bisa di tentukan oleh

besaran uang jajan yang merupakan jumlah uang dalam rupiah yang

diberikan orang tua siswa setiap hari untuk keperluan jajan. Uang jajan
38

merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan

kepada anak untuk jangka waktu tertentu. Pemberian uang jajan sering

menjadi sebuah kebiasaan, anak diharapkan belajar mengelola dan

bertanggung jawab atau uang jajan yang dimilikinya (savitri, 2009).

Tersedianya berbagai jenis jajanan khususnya di kota-kota besar

akan mempengaruhi pengeluaran dan penggunaan uang saku siswa.

Apabila dilihat lamanya siswa berada di sekolah antara 5 – 6 jam,

bagaimanapun juga siswa perlu untuk mengkonumsi makanan. Makanan

jajanan dapat memberikan dampak positif karena akan menunjang

kecukupan gizi bagi mereka, namun jika keamanannya kurang terjamin

maka akan dapat memberikan dampak yang negatif. Besarnya uang saku

berpengaruh terhadap frekuensi jajan pada anak, semakin besar uang jajan

yang dimiliki anak maka semakin sering anak mengeluarkan uang tersebut

untuk membeli makanan jajanan dan semakin beragam pada makanan

jajanan yang dibelinya (Murniawan, 2006).

Penghasilan keluarga juga berpengaruh terhadap besar uang jajan

pada anak. Biasanya orang tua yang tingkat penghasilannya tinggi

memberikan uang jajan yang lebih besar dibandingkan orang tua yang

penghasilannya rendah (Savitri,2009).

b Pendidikan Orang tua

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam

tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik maka orang

tua dapat menerima segala informasi tentang kesehatan terhadap anaknya.

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan


39

seseorang, termasuk dalam memilih bahan pangan demi memenuhi

kebutuhan hidupnya. Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi

cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas maupun

kualitasnya dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah

(Hardinsyah, 1985 dalam Savitri 2009).

Tingkat pendidikan biasanya sejalan dengan pengetahuan, semakin

tinggi pengetahuan gizi semakin baik dalam hal pemilihan bahan

makanan. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar belakang pendidikan

lebih tinggi akan mendapatkan kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.

Hal ini disebabkan keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau

hal-hal baru untuk pemeliharaan kesehatan anaknya (Savitri, 2009).

Pendidikan orang tua khususnya ibu mempengaruhi perilaku

konsumsi makanan anaknya sehari-hari, karena semakin tinggi pendidikan

ibu semakin tinggi juga pengetahuannya untuk memungkinkan anaknya

supaya lebih berhati-hati dalam memilih makanan sehari-harinya di

sekolah, begitu juga sebaliknya bagi ibu dengan pendidikan rendah maka

kemungkinan ibu tersebut memiliki pengetahuan yang rendah pula

sehingga tidak dapat membedakan makanan yang baik atau aman untuk

dikonsumsi dan tidak baik untuk dikonsumsi. Tingkat pendidikan juga

akan menentukan jenis pekerjaan dan besarnya pendapatan yang akan

diperoleh sehingga dapat menentukan daya beli seseorang. Makin tinggi

tingkat pendidikan formal ayah, makin tinggi tingkat pendidikan anaknya.

Tingkat pendidikan ibu yang rendah lebih menentukan rendahnya

pengetahuan anak termasuk pengetahuan gizi, karena ibu lebih berperan


40

dalam kegiatan memilih dan menentukan makanan yang dikonsumsi

keluarga.

Peran orang tua khususnya ibu mempunyai pengaruh yang penting

dalam menunjang kesehatan, perilaku serta proses tumbuh kembang anak.

Peran tersebut diantaranya yaitu membawakan bekal anaknya ke sekolah,

memberi sarapan pada anaknya sebelum brangkat ke sekolah, dan

sebagainya (Savitri, 2009). Kebiasaan membawa bekal makanan pada

anak ketika sekolah memberikan beberapa manfaat antara lain dapat

menghindarkan dari gangguan rasa lapar dan dari kebiasaan jajan. Hal ini

sekaligus menghindarkan anak dari bahaya jajanan yang tidak sehat dan

tidak aman (Handayani N, 2009).

c Iklan

Media massa berupa radio, surat kabar serta iklan-iklan yang

terdapat di papan reklame maupun billboard juga berpengaruh besar

dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Media massa berisi

pesan yang mengandung sugesti yang dapat mempengaruhi pendapat

seseorang, gaya hidup, selera, nilai, norma. Anak-anak mendapat paparan

iklan dari berbagai media. Iklan merupakan medium untuk sosialisasi dan

internalisasi nilai-nilai sosial pada anak. Iklan makanan tidak jarang

menonjolkan karakteristik fisik makanan seperti rasa renyah, gurih, atau

manis. Hal ini memberikan dorongan bagi anak untuk terpengaruh dengan

produk yang ditawarkan, karena karakteristik anak yang cenderung mudah

tertarik. Peningkatan asupan makanan tinggi lemak dan makanan jajanan

manis padat energi dapat dipengaruhi oleh iklan. Iklan di media massa
41

mendorong anak-anak untuk mengonsumsi jajanan yang tidak sehat

walaupun tidak semua makanan jajanan yang diiklankan adalah jajanan

yang tergolong tidak sehat (Halford JCG, 2009).

d Pengaruh teman sebaya

Pengaruh teman sebaya sangat kuat pada masa remaja awal.

Remaja belum sepenuhnya matang, baik secara fisik, kognitif, dan

psikososial. Dalam masa ini, remaja cepat sekali terpengaruh lingkungan

dan sangat menyadari penampilan fisik dan perilaku sosial mereka dan

selalu berusaha menyesuaikan dengan kelompoknya. Kebutuhan untuk

menyamakan diri dengan kelompoknya dapat mempengaruhi intake gizi

remaja (Brown et al, 2005).

Pola konsumsi remaja sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi

teman sebayanya. Selain itu remaja juga akan merasa senang apabila

makan bersama dengan orang terdekat, dimana remaja lebih banyak

menghabiskan waktunya di luar rumah bersama dengan teman-teman

sebayanya di dalam kelompok yang mengakibatkan pengaruh teman

sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih

kuat daripada pengaruh keluarga (Murniawan, 2006).

Keluarga menjadi tidak begitu penting dibandingkan dengan

lingkungan sosial dan teman-teman sebayanya. Pada umumnya dikatakan

ketergantungan dan kelekatan seseorang individu dengan orang tuanya

pada masa kanak-kanak dan masa awal sekolah akan berubah menjadi

kesadaran dan keinginan untuk berinteraksi dengan teman-teman

sebayanya pada masa sekolah, dan akhirnya akan asyik dengan


42

penerimaan teman sebaya dan kemandirian selama masa remaja (La

Greca, 1998 dalam Dilapanga, 2008).

2.3 Konsep Dasar Teori yang Mendukung Penelitian

Model kepercayaan (Health belief model) adalah suatu bentuk penjabaran

dari model sosio-psikologi. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan

bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau

masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit

yang diselenggarakanoleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori

yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior)

yang oleh becker (1974) dikembangkan dari teori lapangan (Field Theory, Lewin,

1954) menjadi model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model)

(Notoatmodjo, 2010).

Teori lewin menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup

kehidupan social (masyarakat). Di dalam kehidupan ini individu akan bernilai,

baik positif maupun negative, disuatu daerah atau wilayah tertentu. Apabila

seseorang keadaannya atau berada pada daerah positif, maka berarti ia ditolak dari

daerah negative. Implikasinya di dalam kesehatan adalah, penyakit atau sakit

adalah suatu daerah negative sedangkan sehat adalah daerah positif.

Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya,

ada 4 variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan

yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang

diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakannya melawan penyakitnya,

dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut.


43

1) Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia

harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut.

Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan

timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan

terhadap penyakit tersebut.

2) Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness)

Tindakan individu untuk mencari pengobatan atau pencegahan penyakit akan

didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau

masyarakat. Penyakit polio, misalnya, akan dirasakan lebih serius bila

dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan pencegahan polio akan

lebih banyak dilakukan bila dibandingkan pencegahan (pengobatan) flu.

3) Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived benafis and

bariers)

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit yang dianggap gawat

(serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan

tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang

ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat

tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin

ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut.

4) Isyarat atau tanda-tanda (cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,

kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang

berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, misalnya, pesan-pesan


44

pada media massa, nasehat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga

lain dari yang sakit, dan sebagainya.

Menurut Becker faktor yang mempengaruhi perilaku jajanan terdiri dari 3

variabel yaitu:

1) Variabel demografis (usia dan jenis kelamin)

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi

seseorang. Pertumbuhan dan perkembangan remaja sangat berbeda antara

laki-laki dan perempuan. Puncak pertumbuhan cepat pada perempuan adalah

pada umur 10-12 tahun. Tetapi intensitas pertumbuhan pada laki-

lakiumumnya lebih besar daripada perempuan, sehingga pada usia dewasa,

laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Husaini dan Husaini, 1989).

Untuk menopang pertumbuhan remaja, anak perempuan dan laki-laki

membutuhkan energi, protein, dan zat-zat gizi lainnya lebih banyak. Anak-

anak laki umumnya lebih aktif dalam berolah raga dan kegiatan fisik serta

intensitas tumbuh yang lebih besar, oleh karena itu membutuhkan energi dan

protein yang lebih banyak, sebaliknya anak perempuan membutuhkanzat besi

lebih banyak untuk mengganti darah yang hilang saat menstruasi (Depkes RI,

1998).

Hasil penelitian Mumtahanah (2002) menunjukkan bahwa remaja laki-

laki di wilayah Jakarta memiliki frekuensi konsumsi makanan jajanan lebih

sering daripada perempuan, karena remaja perempuan lebih mementingkan

penampilannya sehingga membatasi diri untuk tidak memakan makanan yang

akan membuat badannya gemuk (Murniawan, 2006).


45

2) Variabel social psikologis (pengetahuan, keyakinan, pendidikan, besarnya

uang jajan, dan pengaruh teman sebaya)

a) Pengetahuan

Pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan.

Pengetahuan merupakan faktor penentu utama dari perilaku konsumen.

Apa yang konsumen beli, dimana konsumen membeli dan kapan

konsumen membeli akan bergantung pada pengetahuan yang relevan

dengan keputusan tersebut (Engel, Blackwell, and Miniard, 1994 dalam

Savitri, 2009).

Pengetahuan gizi menjadi landasan yang menentukan konsumsi

pangan individu yang memiliki pengetahuan yang akan mempunyai

kemampuan dalam menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan

maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan mencukupi

kebutuhan (Nasution dan Khomsan, 1995 dalam Savitri, 2009).

b) Keyakinan

Keyakinan seorang anak merupakan suatu patokan seorang anak

melakukan perilaku yang mereka anggap benar, misalnya seorang anak

yang yakin akan jajanan yang mereka pilih bersih dan sehat maka mereka

tidak ragu untuk memakannya.

c) Pendidikan

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam

tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik maka orang

tua dapat menerima segala informasi tentang kesehatan terhadap anaknya.

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan


46

seseorang, termasuk dalam memilih bahan pangan demi memenuhi

kebutuhan hidupnya. Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi

cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas maupun

kualitasnya dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah

(Hardinsyah, 1985 dalam Savitri 2009).

d) Besarnya uang jajan

Menurut Ariyanti (2005), tingkat ekonomi bisa di tentukan oleh

besaran uang jajan yang merupakan jumlah uang dalam rupiah yang

diberikan orang tua siswa setiap hari untuk keperluan jajan. Uang jajan

merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan

kepada anak untuk jangka waktu tertentu. Pemberian uang jajan sering

menjadi sebuah kebiasaan, anak diharapkan belajar mengelola dan

bertanggung jawab atau uang jajan yang dimilikinya (savitri, 2009).

Tersedianya berbagai jenis jajanan khususnya di kota-kota besar

akan mempengaruhi pengeluaran dan penggunaan uang saku siswa.

Apabila dilihat lamanya siswa berada di sekolah antara 5 – 6 jam,

bagaimanapun juga siswa perlu untuk mengkonumsi makanan. Makanan

jajanan dapat memberikan dampak positif karena akan menunjang

kecukupan gizi bagi mereka, namun jika keamanannya kurang terjamin

maka akan dapat memberikan dampak yang negatif. Besarnya uang saku

berpengaruh terhadap frekuensi jajan pada anak, semakin besar uang jajan

yang dimiliki anak maka semakin sering anak mengeluarkan uang tersebut

untuk membeli makanan jajanan dan semakin beragam pada makanan

jajanan yang dibelinya (Murniawan, 2006).


47

e) Pengaruh teman sebaya

Pengaruh teman sebaya sangat kuat pada masa remaja awal.

Remaja belum sepenuhnya matang, baik secara fisik, kognitif, dan

psikososial. Dalam masa ini, remaja cepat sekali terpengaruh lingkungan

dan sangat menyadari penampilan fisik dan perilaku sosial mereka dan

selalu berusaha menyesuaikan dengan kelompoknya. Kebutuhan untuk

menyamakan diri dengan kelompoknya dapat mempengaruhi intake gizi

remaja (Brown et al, 2005).

Pola konsumsi remaja sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi

teman sebayanya. Selain itu remaja juga akan merasa senang apabila

makan bersama dengan orang terdekat, dimana remaja lebih banyak

menghabiskan waktunya di luar rumah bersama dengan teman-teman

sebayanya di dalam kelompok yang mengakibatkan pengaruh teman

sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih

kuat daripada pengaruh keluarga (Murniawan, 2006).

3) Variabel struktur (iklan)

Media massa berupa radio, surat kabar serta iklan-iklan yang terdapat

di papan reklame maupun billboard juga berpengaruh besar dalam

pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Media massa berisi pesan

yang mengandung sugesti yang dapat mempengaruhi pendapat seseorang,

gaya hidup, selera, nilai, norma. Anak-anak mendapat paparan iklan dari

berbagai media. Iklan merupakan medium untuk sosialisasi dan internalisasi

nilai-nilai sosial pada anak. Iklan makanan tidak jarang menonjolkan

karakteristik fisik makanan seperti rasa renyah, gurih, atau manis. Hal ini
48

memberikan dorongan bagi anak untuk terpengaruh dengan produk yang

ditawarkan, karena karakteristik anak yang cenderung mudah tertarik.

Peningkatan asupan makanan tinggi lemak dan makanan jajanan manis padat

energi dapat dipengaruhi oleh iklan. Iklan di media massa mendorong anak-

anak untuk mengonsumsi jajanan yang tidak sehat walaupun tidak semua

makanan jajanan yang diiklankan adalah jajanan yang tergolong tidak sehat

(Halford JCG, 2009).


49

2.4 Kerangka Teori, Kerangka Konseptual dan Hipotesa Penelitian

2.4.1 Kerangka Teori


Persepsi individu Faktor modifikasi Tindakan yang mungkin

Variable demografis:

Usia, Jenis Kelamin

Bangsa, Kelompok etnis, Ras, suku

Variable social psikologis:


Keuntungan yang
Kepribadian,Pengalaman dirasakan dari
sebelumnya, pencegahan
perilaku memilih
Pengetahuan, Keyakinan, jajanan tidak sehat

Pendidikan orang tua, Barier yang


dirasakan untuk
Pengaruh teman sebaya tindakan
pencegahan
Variable struktur:

Kelas sosial

Akses ke pelayanan kesehatan,

Kerentanan yang Iklan, Besarnya uang jajan


dirasakan terhadap
perilaku memilih
jajanan tidak sehat Ancaman yang
Perilaku pemilihan
dirasakan dari jajanan jajanan sehat
Keseriusan yang
dirasakan (keparahan) tidak sehat
perilaku memilih
jajanan yang tidak sehat
Pendorong untuk bertindak (Cues
of action) :

 Kampanye media massa

 Nasehat dari orang tua

 Penyakit anggota keluarga atau


teman

Keterangan :

: di teliti

: tidak di teliti

Gambar 2.3 Kerangka teori Health Belief Model oleh Becker (1974) tentang
faktor dominan yang mempengaruhi perilaku anak sekolah dasar
kelas v dalam memilih jajanan sehat di wilayah Kecamatan Gapura
Kabupaten Sumenep Madura.
50

Dalam kerangka teori ini menggunakan teori Becker (1974) tentang model

kepercayaan kesehatan (Health Belief Model), menurut Becker suatu perilaku

memilih jajanan dipengaruhi oleh 3 aspek variable yaitu variable demografis

(Usia dan jenis kelamin), variable social psikologis (pengetahuan, keyakinan,

pendidikan orang tua, pengaruh teman sebaya), variable struktur (iklan dan

besarnya uang jajan) ketiga variable tersebut akan mempengaruhi perilaku

mamilih jajanan dan jika perilaku itu negative maka akan menimbulkan ancaman

yang dirasakan akibat dari pemilihan jajanan yang tidak sehat sehingga jika

individu tersebut sadar akan ancaman itu maka akan timbul suatu perilaku

memilih jajanan yang sehat. Kesadaran dari individu tersebut didorong oleh hal-

hal seperti kampanye media massa, tulisan dalam surat kabar, nasehat dari orang

lain, dan lain-lain. Sehingga apabila individu bertindak untuk melawan atau

mengobati penyakitnya, ada 4 variabel kunci yang terlibat didalam tindakan

tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan

yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam

tindakannya melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan

tersebut.
51

2.4.2 Kerangka Konseptual

Variable demografis:

Usia, Jenis Kelamin

Bangsa, kelompok etnis, ras, suku

Variable social psikologis:

Kepribadian, Pengalaman
sebelumnya
Perilaku anak sekolah
Pengetahuan, Keyakinan dalam jajanan sehat
Pendidikan orang tua

Pengaruh teman sebaya

Variable struktur:

Kelas social, akses ke pelayanan


kesehatan
Iklan, Besarnya uang jajan

Gambar 2.4 Kerangka konseptual faktor dominan yang mempengaruhi perilaku


anak sekolah dasar kelas v dalam memilih jajanan sehat di Wilayah
Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep Madura.

2.4.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah pengetahuan anak sekolah merupakan

faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perilaku anak sekolah dasar

kelas v dalam memilih jajanan sehat di Wilayah Kecamatan Gapura Kabupaten

Sumenep Madura.

Anda mungkin juga menyukai