LANDASAN TEORI
2.1. Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu dari aktivitas manusia yang dikenali oleh
semua orang namun sangat sedikit yang dapat mendefinisikannya secara
memuaskan. John Fiske (2014) menyatakan komunikasi sebagai “interaksi sosial
melalui pesan”. Terdapat dua mahzab utama dalam ilmu komunikasi. Mahzab
Pertama, kelompok yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Kelompok
ini fokus dengan bagaimana pengirim dan penerima megirimkan dan menerima
pesan. Pandangan ini melihat komunikasi sebagai proses dimana seseorang
mempengaruhi perilaku atau cara berpikir orang lain. Jika efek yang muncul tidak
sesuai keinginan, mahzab ini menyatakan bahwa itu sebuah kegagalan
komunikasi. Fiske menyebut pandangan ini sebagai kelompok “proses”. Mahzab
proses cenderung mengaitkan diri dengan ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi
dan sosiologi, dan cenderung memfokuskan dirinya terhadap tindak (acts)
komunikasi.
9
Kelompok pertama (kelompok proses) mendefinisikan komunikasi
sebagai proses dimana seseorang berhubungan dengan orang lain, atau proses
mempengaruhi perilaku, cara berpikiran ataupun respon emosional, terhadap
orang lain dan tentu saja sebaliknya. Kelompok kedua (kelompok semiotik)
mendefinisikan komunikasi sebagai hal yang membuat individu menjadi anggota
budaya atau masyarakat tertentu.
1
Sumber jurnal: Mellisa, 2013. “Pembentukan Opini Publik Tentang Citra Polisi Terkait Berita
Tindak Kekerasan Polisi di Harian Samarinda Pos”, eJournal Ilmu Komunikasi Unmul, vol. 1 no.
2, pp.236-248.
10
2.2. Film
Komunikasi visual merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk
menyampaikan pesan. Film amat efektif untuk mengkomunikasikan informasi
kepada berbagai kelompok dengan menyajikan informasi kepada semua anggota
kelompok secara serentak. Informasi yang didapat dari film bisa diingat secara
lebih lama ketimbang informasi dari sumber-sumber lain (Moore, 2005 : 306). Isi
media, termasuk film maupun iklan, pada hakikatnya adalah hasil konstruksi
realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja
sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti
apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media
massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan
11
gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2001:87-
88).
Dalam perkembangannya, film tidak hanya dijadikan sebagai media
hiburan semata tetapi juga digunakan sebagai alat propaganda, terutama
menyangkut tujuan sosial atau nasional. Berdasarkan pada pencapaiannya yang
menggambarkan realitas, film dapat memberikan imbas secara emosional dan
2
popularitas. Film sebagai suatu media komunikasi, merupakan suatu kombinasi
antara usaha penyampaian pesan melalui gambar yang bergerak, pemanfaatan
teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut dilatarbelakangi oleh
suatu cerita yang mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara
kepada khalayak film (Susanto, 1982 : 60). Menurut Moore (2005), sebuah
gambar menyampaikan makna lebih cepat daripada kata-kata. Berdasarkan
pernyataan Moore dan Susanto, peneliti menyimpulkan bahwa setiap film
memiliki sebuah makna dan pesan dibaliknya. Secara umum film dibangun
dengan banyak tanda, didalam tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda
yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. 3
2.3. Semiotika
2
Sumber Jurnal: Faddli, Ilham M & Rochim M, 2015. “Kajian Representasi Pencitraan Polisi di
Film Comic 8”, Prosiding Penelitian SPeSIA 2015
3
Sumber Jurnal: Mudjiono, Yoyon. 2011. “Kajian Semiotika Dalam Film”, Jurnal Ilmu
Komunikasi, vol. 1 no. 1.
12
akan menginterpretasikan tanda tersebut. Misalnya ketika orang menyebut kata
“dasar” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda
kemarahan (signified). Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat
dipisahkan seperti dua sisi dari sehelai kertas (Sobur, 2003:46).
Bidang kajian semiotik atau semiologi adalah mempelajari fungsi tanda
dalam teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang
berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan yang terkandung
di dalamnya. Dengan ungkapan lain, semiologi berperan untuk melakukan
interogasi terhadap tanda-tanda yang dipasang oleh penulis agar pembaca bisa
memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan dalam sebuah teks. (Hidayat, 1996 :
163).
Istilah teks biasanya mengacu pada pesan yang telah dibuat dalam
beberapa cara (tulisan, rekaman audio dan video) sehingga secara fisik, antara
pengirim dan penerima tidak terikat satu sama lain. Teks adalah kumpulan tanda-
tanda (seperti kata-kata, gambar, suara dan atau gerakan) yang dikonstruksikan
(dan diinterpretasikan) dengan mengacu pada konvensi yang terkait dengan genre
dan media komunikasi.4
13
tanda dan pemaknaannya dalam semiotik, diantaranya adalah signifier dan
signified serta denotasi dan konotasi. Barthes melengkapi penanda dan petanda
dengan dua strata dimana penanda ataupun petanda juga memuat bentuk dan
substansi (Kurniawan, 2001:56).
Barthes membedakan dua level pengertian (signification) dari semiotika
yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level deskriptif dan harafiah makna
yang disepakati seluruh anggota budaya. Pada level konotasi, makna dihasilkan
oleh hubungan antara signifier dan budaya secara luas yang mencakup
kepercayaan, tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi dari sebuah formasi sosial.
Semiologi, dalam istilah Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things), memaknai (to signify) dalam
hal ini tidak dapat dicampur-adukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2001:15).
Gambar 1
Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes
(Sumber: Sobur, 2001:12)
14
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai “mitos”dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan
yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran kedua.5
Ketika menganalisis sebuah film, akan menjadi jelas bahwa tanda
linguistik, visual, dan jenis tanda lain mengenai bagaimana film itu di
representasikan (seperti scene, actor, caption, jingle, dan sebagainya) tidaklah
sesederhana mendenotasikan suatu hal , tetapi juga menciptakan tingkat konotasi
yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini, membawa tanda
dan konotasinya untuk menimbulkan kesan atau pesan tertentu, sebagai
penciptaan mitos (Bignell, 1997:16). Pengertian mitos disini bukanlah menunjuk
pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya dongeng atau cerita-
cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan. (Barthes, 2004:152)
Pada film “ENIGMA” ada sesuatu hal yang bias mengenai citra polisi
yang dibentuk oleh sang sutradara, dimana pada film tersebut citra positif polisi
lebih ditonjolkan. Untuk melakukan analisis film “ENIGMA”, peneliti
menemukan scene atau adegan dalam film tersebut yang menunjukkan adanya
representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia. Dari setiap scene
tersebut akan dilakukan analisis terhadap setiap penanda yang muncul untuk
mengetahui makna denotatif pada signifikasi tahap pertama. Kemudian makna
denotatif tersebut menjadi penanda pada signifikasi tahap kedua untuk
mengetahui makna konotatif. Setelah itu, dilakukan analisis untuk mencari mitos
yang terkandung pada makna konotatif tersebut. Melalui pendekatan Semiotika
analisis Roland Barthes, peneliti akan menelaah representasi citra Institusi
Kepolisian Republik Indonesia pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”
5
Sumber Jurnal : Asrofah. 2014. “Semiotik Mitos Roland Barthes dalam Analisis Iklan di Media
Massa”, Universitas PGRI Semarang, Vol.2 no. 1
15
2.4. Representasi
16
2.5. Teori Hiperealitas
17
Tahap Keempat (Dadang mengenai makna denotasi dan konotasi,
Nulang Lunung Tapu). namun fungsi teks terjawab melalui
Universitas Kristen Satya hubungan antara Semiotika Barthes,
Wacana. Hermeneutika, dan Kebudayaan.
2.Seluruh simbol yang digunakan dalam adat
perkawinan yaitu benda alat maupun syair
adat merupakan hasil interpretasi yang
dibangun dari budaya masyarakat.
2 Priscillia Marietta. 2012. Hasil dari penelitian ini adalah:
Analisis Semiotika Fashion 1.Elemen semiotik (tanda yang berupa
pada Rubrik What‟s Hot Now pakaian, aksesoris, gaya dandan) berpadu
Majalah Go‟Girl Periode sebagai sebuah komposisi semiotik yang
Tahun 2011 (Studi Semiotika bermakna. Makna yang ditafsirkan dilihat
Fashion dengan Pendekatan secara denotatif dan konotatif juga berkaitan
Roland Barthes dan Umberto dengan mitos sesuai dengan kebudayaan
Eco). Universitas Kristen masyarakat. Sehingga budaya menjadi kunci
Satya Wacana. penting dalam memahami fenomena busana.
2.Budaya, dalam hal ini dilihat dari cara
berpakaian dan berdandan yang ada dalam
rubrik fashion “What‟s Hot Now” adalah
budaya barat, khususnya budaya negara
Amerika Serikat (Hollywood), London, dan
Paris. Sehingga, tidak semua yang
ditampilkan dalam rubrik tersebut relevan
dengan kehidupan di Indonesia dan harus
melalui proses penyesuaian baik dalam acara
maupun pemakainya.
3 Ilham Maizha Faddli dan M. Hasil dari penelitian ini adalah:
Rochim. 2015. Kajian 1.Dalam level Realitas, peneliti menemukan
Representasi Pencitraan 4 kode sosial yang muncul dalam film
18
Polisi di Film Comic 8. “Comic 8” , yaitu kode penampilan, kode
Universitas Islam Bandung lingkungan, gesture (gerakan) dan kode
expression (ekspresi), dimana kode tersebut
dapat merepresentasikan citra polis pada film
tersebut.
2.Dalam level Representasi, peneliti
menemukan 3 kode sosial yang muncul
dalam film “Comic 8”, yaitu kode camera
(kamera), kode setting (latar) dan kode
conflict (konflik). Citra polisi pada film di
sini terbentuk dengan sistemik.
3. Dalam level Ideologi, peneliti menemukan
bahwa sutradara “Comic 8” memproduksi
citra polisi dalam praktek-praktek nyata dari
kebiasaan sehari-hari. Ideologi yang
ditonjolkan sutradara yaitu membentuk citra
yang baik tentang kinerja kepolisian.
Sutradara dalam filmnya tidak
merepresentasikan tentang keburukan atau
sisi negatif dari polisi itu sendiri, melainkan
membangun citra yang baik dari kerja polisi
dalam menangani sebuah kasus
perampokkan.
4 Muhamad Fajar Rifai . 2011. Hasil dari penelitian ini adalah:
Stereotipe Terhadap Institusi 1.Untuk tema kasus Markus di dalam Institusi
Kepolisian dalam Media. Kepolisian karakteristik negatif yang muncul
Universitas Muhammadiyah adalah karakteristik rakus, bengis, tamak, sok
Surakarta. jago, dan congkak. Sedangkan untuk peran
negatif yang muncul adalah koruptor,
Markus, dan pelaku kriminal. Untuk tema
kepemimpinan Kapolri karakteristik negatif
19
yang muncul hanya congkak dan pestimistis.
Sedangkan untuk peran negatif yang muncul
adalah calon Kapolri yang glamour dan
Kapolri yang akan segera pensiun.
2.Sampul majalah Tempo syarat akan muatan
simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe
terhadap Institusi Kepolisian dilihat dari
karakteristik negatif yang muncul dalam
sampul majalah Tempo seperti rakus, bengis,
tamak, sok jago, congkak, dan pesimistis.
Sedangkan peran negatif dalam sampul
majalah Tempo seperti koruptor, Markus,
pelaku kriminal, calon Kapolri yang glamour
dan Kapolri yang akan segera pensiun.
5 Nidya Syifa dan M. Husen Hasil dari penelitian ini adalah:
Fahmi. 2015. Hubungan 1.Terdapat hubungan yang sedang antara
Antara Tayangan 86 di Net Intensitas tayangang 86 di Net TV dengan
TV dengan Citra Polisi di citra polisi di mata masyarakat.
Kalangan Masyarakat. 2. Terdapat hubungan yang kuat antara isi
Universitas Islam Bandung. pesan tayangan 86 di Net TV dengan citra
polisi di mata masyarakat.
3.Terdapat hubungan yang kuat antara daya
tarik tayangan 86 di Net TV dengan citra
polisi di mata masyarakat.
Tabel 2.1
Kajian Penelitian Terdahulu
20
2.7. Kerangka Pikir
Denotasi
First order
Signifier
Signified
Second order
Form Content
Konotasi Mitos
Gambar 2
Kerangka Pikir Penelitian
21