Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Berlakang

Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran Islam telah


memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiranini muncul setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya
berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya faktor politik
sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan
pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan
khawarij. Lalu munculah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan
satu pada golongan yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Ada yang sesuai koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan
tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada
yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang
berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang menamakan dirinya
sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H
timbulah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin
oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al
Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ariyah dan Syeikh Abu Mansur Al
Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Aliran Asy’ariah dan Maturidiyah
inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Sejarah munculnya aliran Asy’ariah dan Maturidiyah 
2. Apa yang dimaksud dengan Asy’ariyah?
3. Apa yang dimaksud dengan Maturidiyah?
4. Siapa tokoh-tokoh pada barisan kedua aliran tersebut?
5. Apa saja contoh pemikiran kalam dari kedua aliran tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Sejarah munculnya aliran Asy’ariah dan Maturidiyah 
2. Untuk mengetahui apa itu Asy’ariyah.
3. Untuk mengetahui apa itu Maturidiyah.
4. Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh Asy’ariyah dan Maturidiyah.
5. Untuk mengetahui bagaimana teologi ajaran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH MUNCULNYA ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

2.1.1 Sejarah Asy’ariyah

Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua
abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah
dan Salafiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Aliran
asy’ariyah dibangun oleh Abu Hasan Ali ibn Ismail Al-Asy’ari ( 873-935M ).
Pada mulanya, Al-Asy’ari adalah seorang tokoh Mu’tazilah. Karena itulah,
menurut Al-Askari, Al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan
kepada Al-Asy’ari1. Ini merupakan indikasi bahwa Al-Asy’ari  sebagai salah
seorang pengikut Mutazilah yang tangguh.
Namun, karena sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari, walaupun
telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, ia akhirnya meninggalkan
ajaran tersebut. Menurut Ibnu Asakir, Al-Asy’ari meninggalkan mu’tazilah karena
ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa mazhab
Mu’tazilah itu sesat sedangkan mazhab Ahl Al-Hadits benar. Pendapat lain
menyebutkan bahwa Al-Asy’ari berdebat dengan gurunya, Al-Jubba’i, seputar
orang mukmin, orang kafir, dan anak kecil. Dalam perdebatan itu, sang guru tidak
menjawab pertanyaan murid2 .
Terlepas dari sebab-sebab diatas, yang jelas ajaran Asy’ariyah  ini muncul
sebagai alternatif yang menggantikan kedudukan ajaran Mu’tazilah yang sudah
hilang pamornya pasca penghapusannya oleh Al-Mutawakkil sebagai mazhab
negara. Ini menunjukkan bahwa aliran Asy’ariyah muncul karena kondisi yang
menuntut demikian.
Selain oleh Al-Asy’ari, aliran Asy-a’riyah ini dikembangkan pula oleh murid-
muridnya seperti Muhammad Thayyib bin Muhammad Abu Bakr Al-Baqillani,

1
Ahmad Amin, Zhuhr Al-Islam ( Kairo: Dar Al-Nahdhah, 1965 ), hlm. 65.
2
Untuk jelasnya, lihat Ahmad Mahmud Subhi, Fi Illem al-Kalam, Dar al Kutub al-Jamiah, Kairo,
1969, hlm. 187
Abd Al-Malik Al-Juwani (419-478 H), Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (450-
505 H), dan Alauddin Al-‘Ijji (w. 756 H).
Sebagai sebuah aliran teologi, Asy’ariyah mempunyai ajaran-ajaran yang
banyak diikuti masyarakat, khususnya yang cenderung mengikutinya. Ajaran-
ajaran tersebut dapat diketahui dari buku yang ditulis Al-Asy’ari sendiri dan para
muridnya.

2.1.2 Pengertian Asy’ariyah


Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn
Ismail al-Asy’ari (lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafat di Baghdad 324 H/935
M). Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-
Jubbai, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia
menyatakan diri meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Munurut Harun Nasution, ada kemungkinan keluarnya al-Asy’ari dari
paham Mu’tazilah karena melihat bahwa teologi ini memang tidak dapat diterima
oleh kalangan umum umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran. Hal ini
akan menimbulkan pengaruh negatif dalam kalangan umat Islam. Demi
kemaslahatan dia berusaha menyusun teologi baru yang lebih sesuai dengan
kondisi dan pemikiran kalangan umum sebagai pegangan untuk mereka. Juga
perlu dicatat bahwa al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah pada saat
golongan ini berada dalam fase kemunduran.
Setelah keluar dari Mu’tazilah, al-Asy’ari meletakkan dasar-dasar bagi
suatu mazhab baru dengan mengambil posisi antara ekstrem rasionalis
(Mu’tazilah) yang mengakui keunggulan akal dan menimbang semua penyataan,
kepercayaan dan dogma agama melalui neraca akal dan dan golongan ekstrem
tektualis (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiyah). Karena
mengambil jalan tengah, sehingga perumusan dogma Al-Asy’ari pada intinya
menyuguhkan suatu usaha untuk membuat sintesa antara pandangan ortodoks
yang waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Mu’tazilah.
2.1.3 Tokoh-tokoh Asy’ariyah
1. Al-Baqillani
Al-Baqillani merupakan tokoh kedua dalam teologi Asy’ariyah setelah al-
Asy’ari sendiri. Nama lengkap al-Baqillani adalah Abu Bakar Muhammad ibn
Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim Abu Bakar al Baqillani. Ia
diperkirakan lahir di Basrah setelah paroh kedua abad keempat hijriyah. Ia wafat
di Baghdad tahun 403 H/1013 M.
Ia mengenal ajaran-ajaran al-Asy’ari melalui dua orang murid al-Asy’ari
yaitu Ibnu Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahilli.Dalam beberapa hal pemikiran
kalam al-Baqillani tidak sejalan dengan al-Asy’ari.
Di antara pemikiran al-Baqillani yang berbeda dengan al-Asy’ari adalah
tentang sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan bagi al-Baqillani bukanlah sesuatu yang
berada diluar dzat-Nya atau sesuatu yang menempel pada dzat-Nya. Sifat
disamakannya dengan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang merusak
keesaan Tuhan.
2. Al-Juwaini
Nama lengkap al-Juwaini adalah Abdul Ma’ali Abdul Malik ibn Syaikh
Abi Muhammad. Ia dilahirkan di Juwaini kawasan Naisabur, Persi pada tahun 419
H/1028 M. Ia mendapat gelar “Dhiya’u al-Din” tetapi lebih dikenal dengan
gelarnya “Imam al-Haramain”, Imam dari dua tanah suci (Mekkah dan Madinah),
karena ia menetap disana sambil mengajar. Kemudian atas perintah Perdana
Menteri Nizam al-Muluk di Nizamiyah sampai akhir hayatnya pada tahun 478
H/105 M. Ia adalah guru utama Imam al-Ghazali yang pertama kali
memperkenalkan kepada muridnya itu studi kalam, filsafat, dan logika.
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Allah menjadi dua kategori. Pertama
adalah sifat Nafsiyah (sifat itsbat/positif bagi zat dan selalu ada sepanjang ada zat)
sifat ini qidam, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah, berbeda dengan makhluk dan
tidak mempumyai ukuran (imtidad-dimensi). Kedua adalah sifat Ma’nawiyah
(sifat yang timbul/ada karena sesuatu illat yang ada pada dzat), seperti sifat
berkuasa.
3. Al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
al-Ghazali. Pada usia muda al-Ghazali sudah mempelajari fiqih di Thus dan
kemudian melanjutkan studinya di Jurjan di bawah bimbingan Abu Nasr al-
Isma’ili. Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus dan kemudian pergi ke Naisabur.
Waktu di Naisabur, di bawah bimbingan al-Juwaini, al-Ghazali menekuni
ilmu fiqh, ushul fiqh, mantiq dan ilmu kalam hingga al-Juwaini wafat tahun 478
H/1085 M.
Setelah imam al-Haramain meninggal, al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan
menetap disana kurang lebih lima tahun. Pada saat itu ia sering menghadiri
pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana perdana menteri Nizam al-
Muluk. Melalui pertemuan-pertemuan ilmiah inilah al-Ghazali mulai muncul
sebagai ulama yang menonjol. Pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat sebagai guru
besar di Universitas Nizamiyah Baghdad dalam usia 34 tahun. Disana ia
memperdalam pengetahuannya di bidang filsafat. Dua karya yang ditulisnya pada
masa ini adalah Maqasid al-Falasifah (Maksud-maksud para filosof) dan Tahafut
al-Falasi.

2.1.4  Teologi Asy’ariyah


1. Sifat-sifat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang riil dan
abadi. Tuhan mengetahui melalui sifat pengetahuan-Nya, berkehendak dengan
sifat kehendak-Nya, dan seterusnya.sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan
Zat-Nya, tetapi tidak pula berbeda dari pada-Nya. Sifat-sifat tersebut adalah riil
walaupun tidak diketahui ‘bagaimana’-nya sifat-sifat itu.
2. Al-Quran
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Al-quran adalah kalam Allah yang bersifat
qadim, tidak diciptakan. Menurutnya, orang yang mengatakan bahwa Al-quran
adalah makhluk berarti mereka menyamakan Tuhan dengan patung yang tidak
mempunyai kalam dan tidak bertutur kata, sebagaimana jawaban Nabi Ibrahim,
ketika ditanya oleh kaumnya tentang orang yang telah merusak Tuhan-Tuhan
mereka, Nabi Ibrahim berkata:
Kalimat Nabi Ibrahim tersebut  menunjukan bahwa jika berhala-berhala
itu tidak dapat berbicara, tentu mereka tidak bisa diakui sebagai Tuhan.
3. Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat kelak.
Pandangan ini didasarkan kepada firman Allah dalam al-Qiyamah ayat 22-23:
“Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Al-Asy’ari membantah pendapat golongan al-Mu’tazilah yang mengatakan
bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan argumen firman Allah dalam Surah al-
An’am (6) ayat 103:
Menurut al-Asy’ari, yang dimaksud tidak dapat dilihat pada ayat tersebut
adalah dunia, namun akhirat Allah dapat dilihat karena melihat Allah SWT
merupakan sesuatu yang paling lezat.
4. Perbuatan Manusia
Al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh
Tuhan. Bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa
perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
5. Antropomorfisme
Al-Asyari berpendapat bahwa Tuhan bertahta di ‘Arsy, mempunyai
makna, tangan, dan mata; tetapi tidak dapat ditentukan bagaimana (bila kaifa).
Menurut al-Asy’ari Tuhan hidup dengan hayat, tetapi hayat-Nya tidak sama
dengan hayat manusia. Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi tidak sama dengan
tangan manusia.
6. Keadilan Tuhan
Al-asy’ari mengatakan bahwa tidak ada satupun yang wajib bagi Tuhan.
Tuhan adalah berkuasa mutlak. Andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia
kedalam surga. Hal ini bukan berarti dia tidak adil. Sebaliknya andaikata Tuhan
memasukkan seluruh manusia kedalam neraka maka Tuhan tidak dapat dikatakan
bersifat zalim,Tuhan adalah penguasa mutlak, bisa berbuat apa saja yang Dia
inginkan.

2.2 Sejarah Maturidiyah


Aliran Maturidiah muncul sebagai reaksi keras terhadap aliran Mu’tazilah.
Tidak heran jika aliran ini banyak memiliki kesamaan dengan aliran Asy’ariah,
walaupun tidak menutup kemungkinan banyak perbedaan diantara keduanya.
Nama aliran Maturidiah ini diambil dari pendirinya, Abu Mansur
Muhammad Al-Maturidi, yang lahir di Maturid, Samarkand pada pertengahan
abad ke-3 H. Riwayat hidup Al-Maturidi ini tidak banyak diketahui orang seperti
halnya ajaran dan alirannya yang tidak banyak ditulis dan dibukukan orang.
Aliran Maturidiah diperkirakan muncul ketika popularitas Mu’tazilah
mulai menurun. Pada masanya, Al-Maturidi menyaksikan terjadinya perdebatan-
perdebatan dalam masalah keagamaan, seperti yang terjadi antara mazhab fiqih
Hanafiah dan Syafi’iah, dan juga perdebatan antara para ahli fiqih dan ahli hadits
disatu pihak, dan aliran Mu’tazilah dipihak yang lain. Menyaksikan perdebatan-
perdebatan itu menjadikan Al-Maturidi sangat tertarik untuk memperdalam
masalah teologi.
Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut Abu Hanafiah, yang banyak
menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya. Ia memang banyak
menggunakan akal dalam sistem teologinya. Menurut para ulama Hanfiah, dalam
bidang akidah, Al-Maturidi mirip dengan pendapat Abu Hanafiah .
Tokoh lain dari Maturidiyah antara lain Al-Bazdawi, At-Taftazani, Al-
Nasafi, dan Ibn Al-Hamman. Diantara mereka yang terkenal yaitu Al-Bazdawi.
Karena itu, dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan yaitu Maruridiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.
Dalam masalah teologi, Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan
pemikiran mu’tazilah. Sedangkan dalam masalah sifat-sifat Allah terdapat
persamaan antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ariah. Maturidiyah Samarkand sendiri
kebanyakan pengikutnya adalah pendukung Al-Maturidi sendiri.
Maturidiyah Bukhara sendiri dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-
Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik
dalam pemikirannya. Al-Bazdawi, dalam teologinya tidak selamanya sepaham
dengan gurunya, Al-Maturidi. Antara Maturidiyah Samarkand dan Bukhara
terdapat perbedaan yang berkisar pada persoalan kewajiban mengetahui Allah.
Matruridiyah Samarkand kewajiban mengetahui Allah dapat diketahui dengan
akal, sedangkan Maturidiyah Bukhara tidak demikian. Menurut Maturidiyah
Bukhara, kewajiban mengetahui Allah hanya dapat diketahui dengan wahyu,
begitu pula dengan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan
yang jahat.

2.3 Pengertian Matudiriyah


Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl al-Sunnah wal-Jamaah yang
tumbuh hampir bersamaan dengan Asy’ariyah. Sebagaimana Asy’ariyah,
Maturidiyah ini juga timbul sebagai reaksi atas aliran Mu’tazilah. Hanya saja, al-
Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yang menggunakan rasio dalam
pandangan keagamaannya, sehingga dalam bidang teologipun, al-Maturidi banyak
menggunakan akal. Hal ini membuat Maturidiyah mempunyai bebearapa
perbedaan pandangan dengan Asy’ariyah.
Salah satu pengikut penting al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawi.ia mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Seperti al-
Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sepaham dengan al-
Maturidi.Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini terdapat perbedaan
sepaham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua
golongan-golongan Samarkand, yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan
golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
1. Maturidiyah Samarkand
Maturidiyah Samarkand didirikan oleh Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Hanafi al-Mutakalim al-Maturidi al-Samakandi. Ia
lahir sekitar tahun 859 M di Maturid dekat Samarkand Wilayah Transoxiana Asia
Tenggara (sekaranng termasuk wilayah Uzbekistan Uni Sovyet) dan meninggal
pada tahun 944 M. Oleh sebagian penulis, al-Maturidi dinyatakan sebagai
keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari, seorang sahabat Rasul di
Madinah.pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa sebagian kaum kerabat al-
Maturidi yang tinggal di Samarkand adalah orang-orang yang berasal dari Arab
Madinah.
Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yanng banyak mengunakan
rasio dalam pandangan-pandangan keagamaan. Sebagai pengikut Abu Hanifah
tentunya ia juga banyak menggunakan rasio dalam pemikiran teologi. Apa lagi ia
dibesarkan di Samarkand. Di daerah ini hadits tidak berkembang. Kedaan seperti
ini membuat al-Maturidi banyak memakai pertimbangan akal dalam memecahkan
berbagai masalah keagamaan. Oleh karena itu, meskipun al-Maturidi tampil
sebagai penentang ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah, pemikiran-
pemikiran yang dibawa oleh al-Maturidi justru lebih dekat kepada Mu’tazilah.
Dikalangan para penganut mazhab Hanafi, hasil pemikiran al-Maturidi
dalam bidang aqidah, dipandang sama dengan pendapat-pendapat imam Abu
Hanifah. Sebagaimana diketahui bahwa imam Abu Hanifah sebelum memasuki
lapangan fiqih secara intensif dikenal sebagai pemikir teologi. Kedudukannya
sebagai pemikir teologi itu juga melibatkan dirinya ke dalam kancah perdebatan
sebagai yang dituntut oleh suasana zamannya.
a. Pandangan Teologi Maturidiyah Samarkand
1) Fungsi Akal dan Wahyu
Menurut al-Maturidi, akal dapat megetahui tiga persoalan pokok, yaitu:
a) Mengetahui Tuhan
b) Mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
c) Mengetahui baik dan buruk.
Menurut al-Maturidi, kewajiban mengetahui Tuhan itu bisa ditemukan
berdasarkan penalaran akal. Hal itu didasarkan pada beberapa ayat al-Quran yang
memerintahkan manusia untuk berfikir mengenai kerjaan langit dan bumi dan
memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekiranya akal pikiran diarahkan
secara konsisten, terlepas dari pengaruh hawa nafsu dan taklid, niscaya ia akan
sampai kepada iman dan ma’rifah kepada Allah. Hal itu merupakan pengalaman
terhadap nash-nash al-Quran. Sebaliknya, meninggalkan berpikir merupakan
pengabaian terhadap nash-nash tersebut. Tidak menggunakan akal sebagai sarana
untuk mengetahui Allah merupakan penyia-nyiaan terhadap berbagai ketetapan
yang telah diatur oleh Allah melalui penalaran.
2) Sifat sifat Tuhan
Al-Maturidi tidak setuju dengan paham Mu’tazilah yang mengatakan
bahwa Tuhan tidak bersifat dalam arti sifat yang berdiri diluar dzat-Nya. Al-
Maturidi mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan, menurut al-
Maturidi, mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
Sehubungan dengan masalah tajassum, al-Maturidi tidak mempercayai
adanya “anggota tubuh” pada Tuhan. Dalam al-Quran memang terdapat kata-kata
seperti: wajh allah (wajah Allah), yad Allah (tangan Allah), ain Allah (mata
Allah). Menurut al-Maturidi, kata-kata itu bermakna kekuasaan Allah karena
Allah tidak mungkin mempunyai badan meskipun dalam arti yang tidak sama
dengan makhluk. Badan itu tersusun dari substansi dan accident (jauhar dan ard).
Manusia berhajat pada anggota badan karena tanpa anggota badan manusia
menjadi lemah; adapun Tuhan tanpa anggota badan , Ia tetap Maha Kuasa.
3) Melihat Tuhan
Meskipun al-Maturidi tidak mempercayai adanya tajassum, namun ia
mempercayai bahwa Allah bisa dilihat nanti di akhirat. Pandangan ini didasarkan
pada surat al-Qiyamah ayat 22-23:
“Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannya mereka melihat.”
Dalam ayat 23 di atas, kata nazirah/melihat disebut sesudah kata wujuh
atau muka dalam ayat 22, sedang muka adalah tempat mata. Oleh karena itu,
menurut al-Maturidi, peristiwa yang disebutkan dalam ayat itu benar-benar akan
terjadi kelak di akhirat karena Allah sebagi wajibul wujud tentu dapat dilihat
dengan mata kepala, bukan dengan mata hati.
4) Keqadiman Al-Quran
Al-Maturidi berpendapat bahwa kalam Allah al-Quran adalah kekal. Al-
Quran, kata al-Maturidi, adalah sifat kekal dari Tuhan, satu, tidak terbagi, tidak
terbahasa, tapi diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.
Lebih lanjut, al-Maturidi membagi al-Quran dalam dua bentuk. Pertama:
kalam nafsi, yaitu kalam yang ada pada zat Allah dan bersifat qadim (dahulu),
bukan dalam bentuk huruf atau suara. Kalam ini menjadi sifat Allah sejak dahulu
kala. Manusia tidak dapat mengetahui hakekat-Nya, bahkan Nabi Musa pun tidak
dapat mendengar kalam Allah yang sebenarnya, tetapi hanya dapat mendengar
suara yang mengatakan isi kalam itu. Kedua, kalam yang terdiri dari huruf dan
suara, yang disebut mushaf (kumpulan lembaran).
5) Perbuatan dan Kehendak Manusia 
Bagi golongan Maturidiyah perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan.
Dalam hubungan ini, al-Maturidi, sebagai pengikut Abu Hanifah, menyebut dua
perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan
mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakai daya itu
sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama dengan
perbuatan, jadi bukannya sebelum perbuatan. Perbuatan manusia adalah perbuatan
manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.
Mengenai soal kehendak al-Maturidi mengatakan bahwa kemauan
manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun
untuk kejahatan. Karena salah satu benarnya pilihan dalam memakai dayalah
maka manusia diberi hukuman atau upah.
Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia, manusia menggunakan daya
yang diciptakan-Nya. Karena manusia diberikan kebebasan untuk menggunakan
daya tersebut maka ia akan dimintakan pertanggungjawabannya.
6) Janji dan ancaman Allah
Menurut al-Maturidi, Allah wajib menepati janji-janji dan ancaman-
ancaman-Nya karena jika tidak dilakukan-Nya akan bertentangan kebebasan
memilih yang ada pada manusia. Dalam hal ini, al-Maturidi mempunyai
pandangan yang sama dengan Mu'tazilah yaitu bahwa upah dan hukum Tuhan tak
boleh tidak mesti terjadi kelak sesuai dengan amal perbuatan manusia.
7) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Dalam diri manusia itu diciptakan pula oleh Tuhan suatu potensi (daya)
yang dapat dipergunakan oleh manusia untuk berbuat baik atau buruk. Terhadap
potensi ini manusia bebas menentukannya sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mesti
menjatuhkan hukuman yang tidak sewenang-wenang. Kemastian hukuman
berdasarkan atas pilihan bebas manusia dalam menggunakan potensi itu.
Disamping itu, Tuhan juga telah berjanji untuk memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik dan memberi siksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji-janji
Tuhan itu, tidak boleh tidak mesti terjadi.
Oleh karena itu, kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan sudah tidak absolut
lagi. Namun, yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah zat selain Tuhan,
karena diatas Tuhan tidak ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah
diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan
dengan kemauan-Nya sendiri pula.
8) Keadilan Tuhan
Karena al-Maturidi menganut paham kebebasan berkehendak dan berbuat,
serta adanya batasan bagi kekuasan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai
posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah dari pada kaum Asy’ariyah.
Dengan kata lain, Tuhan dikatakan adil apabila Tuhan menepati janji-janji dan
ancaman-ancaman-Nya, yaitu akan memberi pahala kepada orang yang
berbuatbaik dan membari balasan siksa kepada oarang yang berbuat jahat.
9) Perbuatan Tuhan
Menurut Mu’tazilah, Tuhan wajib berbuat yang baik dan terbaik untuk
manusia (al-shalah wa al-shalah). Sementara menurut al-Asy’ari, Tuhan tidak
memiliki kewajiban apapun terhadap manusia karena Tuhan Maha Kuasa dan
tidak ada kekuasaan lagi diatasnya.
Al-Maturidi mempunyai pandangan berbeda dengan kedua pandangan
tersebut. Al-Maturidi berpendapat bahwa Allah maka Suci dari berbuat secara
main-main. Segala perbuatan-Nya senantiasa sesuai dengan kebijaksaan-Nya, dan
karena dia Maha Bijaksana serta Maha Mengetahui sebagaimana Dia telah
mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat itu. Ketika menetukan hukum taklif dan
melakukan segala perbuatan-Nya yang berkaitan dengan penciptaan, Allah
menghendaki dan memaksudkan semua itu atas dasar hikmah tersebut. Dalam
pada itu, tidak ada yang memaksa kehendak-Nya, karena Dia sepenuhnya bebas
memilih, Maha Menghendaki dan Maha Mengerjakan apapun yang dikehendaki-
Nya. Jadi berdasarkan hal itu tidaklah tepat dikatakan bahwa Allah berkewajiban
melakukan yang baik dan terbaik, karena kewajiban itu menafikan kehendak, dan
menandakan bahwa selain Allah ada yang berhak atas  diri-Nya. Padahal Allah
berada diatas semuanya.
2. Maturidiyah Bukhara
a) Pendiri Maturidiyah Bukhara
Tokoh utama Maturidiyah Bukhara adalah Abu al-Yusr Muhammad al-
Bazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421 H dan meninggal pada tahun 493 H/1099
M di Bukhara. Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Al-Bazdawi
sendiri mengetahui ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Al-Bazdawi juga tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara
kedua tokoh Maturidiyah ini terdapat perbedaan paham sehingga menjadi cabang
tersendiri yang kemudian disebut Maturidiyah Bukhara karena berkembangan di
Bukhara.
b) Pandangan Teologi Maturidiyah Bukhara
1) Fungsi Akal dan Wahyu
Al-Bazdawi sepaham dengan al-Maturidi dalam hal kemampuan akal
manusia untuk mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Akan
tetapi dia berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu tidak ada kewajiban
untuk mengetahui Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya, manusia juga tidak
wajib untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat.
Kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan
Tuhan itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
2) Sifat Tuhan
Al-Bazdawi tidak setuju dengan pandangan Mu’tazilah yang mengatakan
bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, karena menghilangkan sifat Allah berarti
meningkari pemiliknya. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memiliki sifat-sifat dan sifat-
sifat Allah itu kekal tetapi dengan kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan,
bukan dengan kekekalan sifat itu sendiri.
Berkenaan antropomorfisme, seperti “tangan Tuhan” dan “kursi Tuhan”,
al-Bazdawi berpendapat bahwa “tangan Tuhan” itu adalah sifat dan bukan
“anggota badan” Tuhan, yaitu sifat yang sama dengan sifat-sifat lain, seperti
pengetahuan, daya dan kemauan. Bahkan lebih jauh al-Bazdawi cenderung untuk
mentakwirkan ayat-ayat yang mengandung pengertian antropomorfisme.
3) Perbuatan Manusia
Al-Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Allah mewujudkannya dan manusia adalah pelakunya. Perbuatan manusia timbul
dari dirinya dengan kebebasan dan kemampuan yang baru. Perbuatan manusia
tersebut bukan perbuatan Allah. Perbuatan Allah hanyalah menjadikan dan
mewujudkan. Sedang perbuatan manusia adalah melakukan, bukan mewujudkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia hanya dapat
melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. Jika
diibaratkan  sebuah drama, manusia hanyalah bagaikan aktor yang harus
memainkan sekenario yang telah diciptakan oleh sutradara.
4) Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan
Pandangan Maturidiyah Bukhara menekankan berlakunya kehendak dan
kekuasan mutlak Tuhan. Tuhan berbuat sekendak-Nya dan tidak ada satu
laranganpun bagi Tuhan. Ia membuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak ada
yang dapat menentang dan membatasi kehendak Tuhan, kendatipun pembatasan
tersebut adalah kemauan Tuhan sendiri.
5) Janji dan Ancaman Allah
Kaum Maturidiyah Bukhara dalam hal janji dan ancaman Tuhan tidak
sepenuhnya sepaham dengan al-Asy’ari, namun juga tidak sepenuhnya sepaham
dengan Maturidiyah Samarkand. Dalam pandangan Maturidiyah Bukhara ini,
tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi hukuman kepada orang
yang berbuat jahat.
B. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA ASY’ARIYAH DAN
MATURIDIYAH
1. Persamaan
a. Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
b. Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi
mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
c. Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan
beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan,
tetapi bersifat qadim.
d. Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat
Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang
tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya.
e. Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan
istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan
mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang
dikatakan oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Sebagian dari mereka
mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan
Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah,
maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok
semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi.”  
2. Perbedaan
a. Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah
sedangkan Al-Maturidi menganut paham Qadariyah
b. Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat
Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk
berterima kasih kepada Tuhan
c. Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah
bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang
durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat
akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat
siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah muncul karena ketidakpuasan
Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn
Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan
oleh kelompok Muktazilah. Pokok-pokok ajaran Asy’ariah dan Maturidiyah pada
dasarnya memiliki beberapa perbedaan dan persamaan.
Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan
didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal
manusia dibandingkan dengan Asy’ari yang memberikan otoritas yang seimbang
antara akal dan wahyu. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua
kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu
kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-
paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara
yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

3.2 Saran
1. Untuk Mahasiswa
Sebagai mahasiswa sikap bijak mempelajari dan memahami aliran ilmu
kalam klasik ini tidak membuat diri menjadi orang yang fanatic terhadap
perbedaan pandangan.
2. Untuk Akademisi
Sebagai orang yang berpendidikan, tentunya pola fikir dan cara
menanggapi dari perbedaan kedua aliran tersebut dengan mengambil
sebuah kebenaran yang akurat dari berbagai sumber.yang
dapatpertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Zhuhr Al-Islam, Kairo: Dar Al-Nahdhah, 1965


Ahmad Mahmud, Subhi, Fi Illem al-Kalam, Dar al Kutub al-Jamiah,
Kairo, 1969
Harun Nasution, Teologi Islam, Cet, 5; Jakarta: UI Pres, 1986
Drs. H. M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta:
1993
Abbas, Siradjuddin. I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah. 2001.
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
2012.
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang:
Pustaka Rizki Purta. 2009.
Hanafi. Pengantar; Theology Islam. Jakarta: Al Husna Zikra. 2007.
Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia press. 1986.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: New Cordova.
2012.
http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?
m=1. Diakses 1Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai