Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Kelainan mata
glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi saraf optikus, dan
menciutnya lapang pandang. Glaukoma adalah suatu penyakit di mana tekanan di dalam
bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan menyebabkan
penurunan fungsi penglihatan. Meningkatnya tekanan di dalam bola mata ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan pembuangan cairan dalam bola
mata, sehingga merusak jaringan syaraf halus yang ada di retina dan di belakang bola mata
(COS, 2008).
Glaukoma adalah suatu neuropati optik multifaktorial dengan karakteristik hilangnya
serat saraf optik (Olver dan Cassidy, 2005). Pada glaukoma akan terdapat kelemahan fungsi mata
dengan terjadinya cacat lapangan pandang dan kerusakan anatomi berupa ekskavasi serta
degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan. Glaukoma dapat disebabkan
bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar atau karena berkurangnya pengeluaran
cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil (Ilyas dan Yulianti, 2014).
Mekanisme peningkatan tekanan intraokular pada glaukoma adalah gangguan aliran
keluar aqueous humor akibat kelainan sistem drainase sudut bilik mata depan (glaukoma sudut
terbuka) atau gangguan akses aqueous humor ke sistem drainase (glaukoma sudut tertutup)
(Riordan-Eva dan Witcher, 2008).
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua di seluruh dunia, dengan morbiditas
yang tidak proporsional di antara wanita dan orang Asia (Stamper et al., 2009).Berbeda dengan
katarak, kebutaan yang diakibatkan glaukoma bersifat permanen atau tidak dapat diperbaiki
(irreversible) (Kemenkes, 2015). Jumlah penyakit glaukoma di dunia oleh World Health
Organization (WHO) diperkirakan ± 60,7 juta orang di tahun 2010, akan menjadi 79,4 juta di
tahun 2020 (Artini, 2011).
Kelainan mata glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil
saraf optik, dan menciutnya lapangan pandang (Ilyas dan Yulianti, 2014). Kerusakan saraf pada
glaukoma umumnya terjadi karena peningkatan tekanan dalam bola mata. Bola mata normal
memiliki kisaran tekanan antara 10-20 mmHg sedangkan penderita glaukoma memiliki tekanan
mata yang lebih dari normal bahkan terkadang dapat mencapai 50-60 mmHg pada keadaan akut.
Tekanan mata yang tinggi akan menyebabkan kerusakan saraf, semakin tinggi tekanan mata akan
semakin berat kerusakan saraf yang terjadi (Kemenkes RI, 2015).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Glaukoma
2.1.1 Definisi
Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glakukoma. Glaukoma adalah suatu
keadaan dimana tekanan mata seseorang demikian tinggi atau tidak normal. Sehingga
mengakibatkan kerusakan pada saraf optic dan mengakibatkan gangguan pada sebagian atau
seluruh lapang pandang atau buta (Ilyas, 2001). Glaukoma adalah suatu neuropati optic
multifactorial dengan karakteristik hilangnya serat araf optic (Olver & Cassidy, 2015).
Pada glaucoma akan terdapat kelemahan fungsi dengan terjadinya cacat lapangan pandang
dan kerusakan anatomi berupa ekskavasi serta degenerasi papil saraf optik yang dapat
berakhir dengan kebutaan. Glaukoma dapat disebabkan karena bertambahnya produksi
cairan mata oleh badan siliar atau karena berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah
sudut bilik mata atau di celah pupil (Ilyas & Yulianti, 2014). Kerusakan saraf pada glaucoma
umumnya terjadi karena peningkatan tekanan dalam bola mata. Bola mata normal memeliki
kisaran tekanan mata 10-20 mmHg sedangkan penderita glaucoma memiliki tekanan mata
yang lebih dari normal bahkan terkadang dapat mencapai 50-60 mmHg pada keadaan akut.
Tekanan mata yang tinggi akan menyebabkan kerusakan saraf, semakin tinggi tekanan mata
akan semakin berat kerusakan saraf yang terjadi.
2.1.2 Klasifikasi
2.1.2.1 Glaukoma Primer
A. Glaukoma Sudut Terbuka Primer
Perkembangana kejadian dan kelainan pada glaukoma primer terjadi secara
lambat. Disebut sudut terbuka karena akuos humor mempunyai pintu terbuka ke
jaringan trabecular. Pengaliran dihambat oleh perubahan degenerative jaringan
trabecular, saluran schlemm dan saluran yang berdekatan. Perubahan saraf optic
juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnose dengan
peningkatan tekanan intraocular dan sudut ruang anterior normal. Peningkatan
tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata timbul (Ilyas, 2003).
B. Glaukoma primer sudut tertutup
Disebut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga
iris terdorong ke depan, menempel trabecular dan menghambat akuos humor
mengalir ke saluran schlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena peningktan
tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang mengeras
karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba-tiba dan
meningkatnya TIO dapat berupa nyeri mata yang berat dan penglihatan yang
kabur (Ilyas, 2003).
2.1.2.2 Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder dapat terjadi dari peradangan mata, perubahan pembuluh
darah dan trauma. Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup tergantung pada
penyebab:
a. Perubahan lensa
b. Kelainan uvea
c. Trauma
d. Bedah (Ilyas, 2003).
2.1.2.3 Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongenital merupakan glaucoma yang ditemukan sejak dilahirkan dan
biasanya disebabkan oleh sistem saluran pembuangan di dalam mata tidak berfungsi
dengan baik sehingga menyebabkan pembesaran bola mata yang disebut sebagai
buftalmos (Ilyas, 2003). Gejala dlaukoma kongenital biasanya sudah dapat terlihat
pada bulan pertama atau sebelum 1 tahun. Kelainan pada glaukona kongenital
terdapat pada kedua mata. Rasa silau dan sakit akan terlihat pada bayi yang
menderita glaucoma kongenital, hal ini terlihat pada suatu sikap seakan-akan ingin
menghindari sinar sehingga bayi tersebut akan selalu menyembunyikan kepala dan
matanya (Ilyas, 2003).
2.1.2.4 Glaukoma Absolut
Merupakan stadium akhir glaucoma dimana sudah terjadi kebutaan total akibat
tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaucoma absolut
kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa,
mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit. Pengobatan glaucoma absolut dapat
dengan memberikan sinar beta pada bahan siliar, alkohol retrobulber atau melakukan
pengangkatan bola mata karena mata tidak berfungsi (Radjiman et al. 1993).

2.1.3 Patogenesis
Bilik mata depan merupakan ruangan didalam mata yang dibatasi kornea, iris,
pupil, dan lensa yang diisi oleh cairan mata (akuos humor). Akuos humor mengatur
oksigen dan makanan seperti: gula dan nutrient/zat gizi penting lainnya untuk kornea
dan lensa. Akuos humor mempunyai kapasitas isi tertentu untuk mempertahankan bola
mata agar menjadi bulat. Akuos humor dihasilkan oleh jonjot badan siliar yang terletak
di belakang iris. Melalui celah iris dan lensa, akuos humor keluar melalui pupil dan ke
bilik mata depan, setelah itu melalui jarring ttrabekulum Akuos humor masuk ke
dalam saluran yang disebut kanal Schlem menuju ke pembuluh darah. Normalnya
antara produksi akuos humor dan aliran keluarnya adalah seimbang, jika aliran
keduanya terhambat atau produksinya berlebihan maka tekanan bola mata akan
meninggi (Ilyas, 2001).
Kanski JJ (1994) menyebutkan bahwa terdapat beberapa mekanisme terjadinya
peningkatan tekanan intaokuler :
a. Korpus siliaris memproduksi terlalu banyak cairan bilik mata, sedangkat
pengeluaran pada jalinan trabekuler normal.
b. Hambatan pengaliran pada pupil sewaktu pengaliran cairan bilik mata belakang ke
mata depan.
c. Pengeluaran di sudut bilik mata terganggu.

Mekanisme utama kehilangan penglihatan pada glaucoma adalah apoptosis sel


ganglion retina. Optik disk menjadi atropi dengan pembesaran cup optic. Efek dari
peningkatan tekanan intraokuler dipengaruhi oleh waktu dan besarnya peningkatan
tersebut. Pada glaucoma akut sudut tertutup, Tekanan Intra Okuler (TIO) mencapai 60-
80 mmHg, sehingga mengakibatkan iskemik iris dan timbulnya edem kornea serta
kerusakan saraf optik. Pada glaucoma primer sudut terbuka , TIO biasanya tidak
mencapai diatas 30 mmHg dan kerusakan sel ganglion retina berlangsung perlahan,
biasanya dalam beberapa tahun (Vaughan et al., 2000).
2.1.4 Gejala Klinik
Ada dua keluhan pasien Glaukoma, yang pertama adalah pada glaukoma akut
(mendadak) yaitu penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intraokular (TIO) atau
tekanan di dalam bola mata yang tinggi secara mendadak. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan kebutaan dalam waktu relatif cepat yaitu dalam hitungan hari. Gejalanya
adalah mendadak nyeri pada mata, sakit kepala, kelopak mata bengkak, mata merah,
melihat pelangi disekitar sumber cahaya atau lampu (adanya halo), dan mual sampai
muntah (Ramatjandra & Ilyas, 1991). Yang kedua adalah pada glaukoma kronis
(menahun) yaitu penyakit mata yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler
(TIO) atau tekanan di dalam bola mata secara perlahan-lahan. Biasanya muncul diusia
40 tahun keataspada glaukoma kronis (menahun) saraf mata mengalami kerusakan dan
kematian yang spesifik, sehingga mengakibatkan kehilangan lapang pandangan sesuai
dengan beratnya Glaukoma. Namun terkadang glaukoma kronis (menahun) terjadi
tanpa keluhan.
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
2.1.5.1 Tonometri
Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler yang
menggunakan alat berupa tonometer Goldman. Semakin tebal kornea pasien maka
tekanan intraokuler yang di hasilkan cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya,
semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler bola mata juga rendah. Penilaian
tekanan intraokuler normal berkisar 10-21 mmHg (Kanski JJ, 1994)
2.1.5.2 Oftalmoskopi
Oftalmoskopi yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan saraf
optik berdasarkan penilaian bentuk saraf optik. Rasio cekungan diskus (C/D)
digunakan untuk mencatat ukuran diskus 18 otipus pada penderita glaukoma.
Apabila terdapat peninggian TIO yang signifikan, rasio C/D yang lebih besar dari
0,5 atau adanya asimetris yang bermakna antara kedua mata, mengidentifikasikan
adanya atropi glaukomatosa (Kanski JJ, 1994).
2.1.5.3 Gonioskopi
Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang menggunakan lensa
khusus untuk melihat aliran keluarnya humor aquos. Fungsi dari gonioskopi
secara diagnostik dapat membantu mengidentifikasi sudut yang abnormal dan
menilai lebar sudut kamera okuli anterior (Kanski JJ, 1994).
2.1.5.4 Biometri
Untuk menentukan kondisi segmen anterior mata, dengan pemeriksaan ini
dapat ditentukan apakah glaukomanya merupakan glaukoma primer atau sekunder
(Kanski JJ, 1994).

2.1.6 Penatalaksanaan Glaukoma


2.1.6.1 Operasi
Pembedahan (trabeculectomy) merupakan suatu tindakan yang dilakukan
apabila tetes mata dan penanganan dengan laser telah gagal dalam mengontrol
tekanan pada bola mata. Sebuah saluran dibuat untuk memungkinkan cairn mata
mengalir keluar. Tindakan ini dapat menyelamatkan sisa penglihatan yang ada
tapi tidak memperbaiki lapang pandangan yang telah rusak (Ilyas, 2000).
2.1.6.2 Terapi dengan Obat
a. Golongan β-adrenergik Blocker
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau dengan
kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β- adrenergic bloker
misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%,
levobunolol dan lain-lain. Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker
dengan cara menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler
dapat turun. Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat
mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik. Indikasi
pemakaian diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka sebagai terapi
inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi dengan miotik (Niel, 2006).
b. Golongan α2-adrenergik Agonis
Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif
dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif misalnya
apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor aquos, meningkatkan
aliran keluar humor aquos melalui trabekula meshwork dengan menurunkan
tekanan vena episklera dan dapat juga meningkatkan aliran keluar uveosklera.
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan akut tekanan
intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi pemakaian obat ini
apabila pasien dengan mono amin oksidase (MAO) dan trisiklik depresan
karena mempengaruhi metabolisme dan uptake katekolamin (Blanco et al.,
2002).
c. Penghambat Karbonat Anhidrase
Obat golongan penghambat karbonat anhydrase yang dapat digunakan
terdiri dari sediaan topikal dan oral. Pengobatan oral yang dapat diberikan
adalah Asetasolamid oral. Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan
tekanan intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan
tekanan introkuler pada pseudo tumor serebri (Niel, 2006). Pemberian
dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui kornea dan sklera ke epitel
tak berpigmen prosesus siliaris sehingga dapat menurunkan produksi humor
aqueus dan HCO3- dengan cara menekan enzim karbonik anhidrase II (Blanco
et al., 2002).
2.2. Study Kasus

MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO)


Kasus 4
Keluhan utama:

“Mata kiri saya seperti berkabut dan buram dan saya merasa sakit kepala”

Riwayat kondisi dahulu :

Bpk. ST berusia 42 tahun (BB 75 kg, TB 170 cm) dengan riwayat “open angle glaucoma”
berobat ke optamologist dengan keluhan pandangan berkabut dan buram pada mata kiri. Dia
mengalami sensitivitas yang tinggi terhadap cahaya dan mengalami sakit kepala. Dia juga
mengeluh mengalami periode distorsi pada mata kiri sejak 3 bulan yang lalu, sering kondisi ini
berhubungan dengan buramnya pandangan di daerah sentral visual. MA pernah mengalami
kecelakaan mobil dan mengalami patah tulang belakang sekitar 9 tahun yang lalu.

Riwayat penyakit dahulu :

Asma semenjak masa kecil yang bisa terkontrol pada masa pubertas.

Depresi akibat open angle glaucoma yang kronik dan perburukan pandangan sesudah menempuh
pendidikan sarjana.

Pernah menjalani tonsilectomi ketika kecil dahulu.

Riwayat keluarga :

Ayah, ibu dan kakak perempuannya mempunyai gangguan glaukoma. Ayahnya menderita
hipertensi.

Riwayat sosial :

Tidak ada riwayat merokok. Pernah mempunyai kebiasaan minum minuman keras 4 gelas per
hari selama tiga tahun pada saat kuliah.

Pemeriksaan lab/radiologi:

Tidak ada gangguan jantung, paru, dan problem kardiovaskuler, serta tidak mempunyai
gangguan stroke atau anemia.

Pemeriksaan fisik :

Vital sign : TD = 120/82, Kecepatan Nadi = 70, RR = 18

Pemeriksaan mata :
Aktivitas visual : OD – hand motion pada jarak 3 cm dengan koreksi spektakles

OS – 20/30.

Tekanan intraokuler : OD = 14 mm Hg , OS = 23 mm Hg

Pemeriksaan vitreous : bersih

Disks : C/D ratio = 1.0 OS C/D ratio = 0.99 dengan sedikit lingkaran (normal C/D ratio = <
0.33). n

Pemeriksaan laboratorik :

Na 138 mEq/L
K 3.3 mEq/L
Cl 99 mEq/L
CO2 25 mEq/L
BUN 10 mg/dL
SCr 0.9 mg/dL
Gula darah puasa 126 mg/dL
Diagnosis :

Miopia tinggi dengan kronik juvenil open angle glaukoma yang progresif
Tidak ada tanda edema makuler
Tidak ada katarak
Depresi akibat open angle glaukoma yang kronik.

Pengobatan (20 Juli 2019)

Cendo Timol 0,25% pada kedua mata BID


Iopidine 0.5% pada mata kiri TID
Trusopt 2% pada mata kiri TID
FML 0.1% pada kedua mata TID
Bion tetes pada kedua mata BID
Nifedipine 10 mg po TID
Trental 400 mg po TID
Tofranil 25 mg po dua kali sehari
Kejadian ADR

Seminggu setelah menggunakan obat yang diberikan oleh dokter, MA mengeluh sesak napas.
Keluhan tersebut sedikit berkurang setelah pengobatan dihentikan dan diberikan aminofilin. Dua
hua hari setelah penghentian obat MA merasa gejala glaukoma yang dirasakan masih berat maka
pengobatan dilanjutkan. Setelah pengobatan dilanjutkan selama tiga hari pasien, mengalami
sesak napas yang lebih berat sehingga keluarga memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
Pasien belum pernah mengalami keluhan sesak napas sebelumnya walaupun menggunakan
pengobatan yang sama.

Berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri dan anamnesis dokter menunjukkan pasien mengalami
asma akut berat akibat penggunaan obat, yang diperberat oleh kondisi pasien yang mengalami
depresi.

Tugas:
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah dilaporkan.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.

PENYELESAIAN

1. Lakukanlah studi literature untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah


dilaporkan?
Jawab
Satish et al. (2016) melaporkan kasus Bronkokonstriksi sekunder pada
penggunaan topikal timolol terhadap pasien non asma. Seorang petani (laki-
laki) berusia 36 tahun dirawat dengan riwayat demam tinggi dan kongesti
konjungtiva. Pasien tidak memiliki riwayat asma bronkial atau sesak napas
saat beraktivitas dan tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita asma
bronkial. Pasien bukanlah seorang perokok. Pemeriksaan fisik pasien
menunjukkan sufusi konjungtiva dengan perdarahan subkonjungtiva.
Pemeriksaan sistem pernafasan normal, parameter laboratorium normal
kecuali leukositosis (14.600 sel/cu. Mm). Foto rontgent dada pasien
menunjukkan tanda vascular broncho perihilar yang menonjol. Berdasarkan
hasil evaluasi menunjukkan adanya peningkatan tekanan intraocular dan
pasien didiagnosis menderita Glaukoma primer sudut terbuka. Pasien
dirsepkan dengan kombinasi brimonidine dengan larutan oftalmik timolol
0,5% dua kali sehari. Pasien juga diberikan piperasilin-tazobaktam dengan
doksisiklin sebagai terapi empiris untuk leptospirosis.
Pasien mengalami batuk kering pada hari ke-3 setelah mulai
menggunakan obat tetes mata timolol. Auskultasi dada menunjukkan rhonchi
polifonik bilateral, namun demam dan gejala sistemik lainnya telah mereda.
Rontgent dada berulang menunjukkan pembersihan bayangan perihilar. Pasien
mulai diberikan salbutamol dan ipratropium bromide nebulizer untuk
mengobati keluhan pada sistem pernafasannya. Batuk yang diderita pasien
meningkat pada hari-hari berikutnya dan ronchi pasien memburuk.
Pengobatan timolol pada pasien dihentikan dan brimodine (agonis reseptor
adrenergic α2) dilanjutkan. Setelah penghentian timolol gejala pasien
membaik dan rhonchi benar-benar sembuh dalam 2 hari. Pada follow-up
setelah 2 minggu, pasien asimtomatik dan memiliki tekanan intraocular
normal.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan alogaritma Naranjo.
Jawab:
Analisis Naranjo Timolol
ALOGARITMA NARANJO
Scale

No Pertanyaan Tidak Skor


Ya Tidak diketah
ui
1 Apakah ada laporan efek samping obat yang 1 0 0 0
serupa?
2 Apakah ada efek samping obat terjadi 2 -1 0 2
setelah pemberian obat yang dicurigai?
3 Apakah efek samping obat membaik setelah 1 0 0 1
dihentikan atau obat antagonis khusus
diberikan?
4 Apakah efek samping obat terjadi berulang 2 -1 0 2
setelah obat diberikan kembali?
5 Apakah ada alternatif penyebab yang dapat -1 2 0 -1
menjelaskan kemungkinan terjadinya efek
samping obat?
6 Apakah efek samping obat muncul kembali -1 1 0 0
ketika plasebo diberikan?
7 Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di 1 0 0 0
dalam darah atau cairan tubuh lainnya
dengan konsentrasi yang toksik?
8 Apakah efek samping obat bertambah parah 1 0 0 0
ketika dosis obat ditingkatkan atau
bertambah ringan ketika obat diturunkan
dosisnya?
9 Apakah pasien pernah mengalami efek 1 0 0 0
samping obat yang sama atau dengan obat
yang mirip sebelumnya?
10 Apakah efek samping obat dapat 1 0 0 1
dikonfirmasi dengan bukti yang obyektif?
Total Skor 6

NARANJO PROBABILITY SCALE


Score Kategori
≥9 High probable (sangatmungkin)
5-8 Probable (mungkin)
1-4 Posibel (cukupmungkin)
0 Doubtful (ragu-ragu)
Keterangan :
Nomor 1 : Terdapat laporan kasus terjadinya efek saming cendo timol.
Bukti :
Seorang petani (laki-laki) berusia 36 tahun dirawat dengan riwayat demam tinggi dan
kongesti konjungtiva. Pasien tidak memiliki riwayat asma bronkial atau sesak napas saat
beraktivitas dan tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita asma bronkial
Pasien mengalami batuk kering pada hari ke-3 setelah mulai menggunakan obat tetes
mata timolol. Auskultasi dada menunjukkan rhonchi polifonik bilateral, namun demam dan
gejala sistemik lainnya telah mereda. Rontgent dada berulang menunjukkan pembersihan
bayangan perihilar. Pasien mulai diberikan salbutamol dan ipratropium bromide nebulizer untuk
mengobati keluhan pada sistem pernafasannya. Batuk yang diderita pasien meningkat pada hari-
hari berikutnya dan ronchi pasien memburuk. Pengobatan timolol pada pasien dihentikan dan
brimodine (agonis reseptor adrenergic α2) dilanjutkan. Setelah penghentian timolol gejala pasien
membaik dan rhonchi benar-benar sembuh dalam 2 hari. Pada follow-up setelah 2 minggu,
pasien asimtomatik dan memiliki tekanan intraocular normal.
Nomor 2-4 : Hasil keterangan dari pasien langsung
Nomor 5 :
Nomor 6-9 : Uji klinis tidak diketahui
Nomor 10 : terdapat data lab

3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.


Jawab :

- Efek samping sesak napas pada pasien tersebut kemungkinan terjadi sebagai efek dari
penggunaan obat timolol. Timolol merupakan golongan beta blocker yang bekerja
dengan cara menghambat produksi humor aquaeus. Efek samping yang dapat muncul
pada penggunaan timolol adalah hipotensi, bradikardi, sinkop, halusinasi, kambuhnya
asma, dan gagal jantung kongestif.
- Maka dari itu untuk mengatasi efek samping dari timolol maka dapat dilakukan
penggantian timolol dengan analog prostaglandin. Analog prostaglandin dapat
menurunkan tekanan intraokuler dengan meningkatkan aliran keluar (outflow) akuos
humor melalui jalur uveoskeral, dimana hal tersebut terjadi melalui dua mekanisme yaitu
relaksasi otot siliaris dan dilatasi atau pelebaran ruang antar otot siliaris. Kelebihan utama
dari analog prostalglandin adalah efek samping sistemik analog prostalglandin lebih
rendah jika dibandingkan dengan beta blocker. Selain itu, analog prostalglandin lebih
efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler dengan dosis pemberian satu kali per hari.
Analog prostaglandin dapat menurunkan tekanan intraokuler baik pada saat tidur (malam
hari) maupun saat siang hari, analog prostalglandin dapat menurunkan tekanan
intraokuler sekitar 31-33% dari baseline (Tobing LM, 2014). Analog prostaglandin yang
dapat digunakan yaitu Bimatoprost, Latanoprost, Travoprost.
- Obat nifedipine yang di minum pasien bisa disebut obat tanpa indikasi, karena dilihat dari
tekanan darah pasien tidak menunjukan adanya hipertensi jadi pemakaian obat bisa
dihentikan.
- Tifranil merupakan obat antidepresan, obat SSRI beresiko tinggi untuk glaukoma
terutama pada dosis yang lebih tinggi dan dengan penggunaan jangka panjang.
- FML 0,1% dengan dandungan fluorometholone, yang bisa menyebabkan kebutaan pada
pemakaian jangka panjang dan penggunaan tidak tepat untuk glaukoma, disarankan untuk
penghentian penggunaan obat.
- Trental digunakan untuk peredaran darah memiliki efek samping kronkospasme dan tidak
diperlukan untuk terapi pengobatan, jadi pemakaian bisa dihentikan.
BAB 3

KESIMPULAN

1.

DAFTAR PUSTAKA

Blanco AA, Costa VP, dan Wilson RP. 2002. Handbook of Glaucoma. London: Martin Dunitz.

Ilyas S. 2000. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Ilyas, S. 2001. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi) Edisi II. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas, S. 2003.Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Ilyas S & Yulianti SR. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Kanski JJ. 1994. Clinical Opthalmology 3rd Ed. Oxford: Butterworth-Heinermann.

Olver & Cassidy.2005. Ophtalmology at a Glance. USA:Blackwell Science.

Radjiman et al. 1993. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Surabaya: Airlangga University Press.

Ramatjandra & Ilyas S. 1991. Klasifikasi dan Diagnostik Banding Penyakit-Penyakit Mata.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Vaughan DG, Asbury T, dan Riordan EP. 2000. Glaucoma in General Opthalmology, general
Opthalmology 14th Ed. Jakarta: Widya Medika.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai