Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

BUTA WARNA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4B
NAMA NIM
THANIA FATHIMAH AZ ZAHRA 1907026003
ARNI ROSITA 1907026006
PUTRI ANNISA PUJI LESTARI 1908026027
RAMA ZULVIKAR 1907026028
MUHAMMAD SATRIA PAMUNGKAS 1907026033
AN NISSA FALAQ QURRAHMAH 1907026048

LABORATORIUM FISIOLOGI, PERKEMBANGAN DAN


MOLEKULER HEWAN
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Buta warna atau defisiensi penglihatan warna adalah berkurangnya
kemampuan seseorang untuk melihat warna atau membedakan warna. Hal ini
dapat berdampak pada kegiatan sehari-hari penderita seperti memilih pakaian,
melihat lampu lalu lintas dan menjinakkan bom. Selain itu, buta warna dapat
menyebabkan kegiatan edukasi penderita menjadi lebih sulit. Namun, penderita
buta warna bisa dibilang sangatlah kecil dan kebanyakan para penderita telah
beradaptasi terhadap keadaannya. Orang dengan buta warna total (achromatopsia)
cenderung merasa tidak nyaman berada di lingkungan dengan intensitas cahaya
yang tinggi dan cenderung mengalami penurunan ketajaman penglihatan
(National Eye Institute, 2015. Diakses pada 7 Desember 2020).
Buta warna dibagi menjadi dua, yaitu buta warna parsial dan buta warna total.
Buta warna parsial adalah keadaan di mana seseorang mengalami kesulitan untuk
membedakan warna tertentu, seperti merah, hijau, dan biru, sedangkan buta warna
total adalah keadaan di mana seseorang yang hanya melihat semua warna menjadi
hitam dan putih saja. Tes buta warna merupakan sebuah tes yang digunakan untuk
mengetahui kondisi apakah seseorang tersebut mengalami buta warna atau tidak.
Tes Ishihara adalah sebuah tes yang digunakan untuk mengetahui keadaan
seseorang mengalami kelainan buta warna, bentuk dari tes Ishihara ini terdiri dari
serangkaian lingkaran yang terdapat titik titik berwarna kecil yang disebut plate
Ishihara. Hasil dari tes buta warna ada tiga hasil yang terdiri dari butawarna total,
buta warna sebagian (parsial dan normal) (Kurniadi, 2016).
Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui penyebab buta
warna, jenis-jenis buta warna dan bagaimana buta warna diturunkan.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini antara lain:
- Untuk mengetahui penyebab buta warna pada manusia
- Untuk mengetahi jenis-jenis buta warna pada manusia
- Untuk mengetahui bagaimana buta warna diturunkan pada manusia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Mata


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, mata ialah salah satu pancaindra
yang terdapat di wajah yang digunakan untuk melihat atau indra untuk melihat
dan penglihatan. Sedangkan menurut sumber lain mata ialah organ penglihatan
yang mendeteksi cahaya yang dilakukan mata yang paling sederhana tak lain
hanya mengetahui apakah lingkungan sekitarnya terang atau gelap. Proses melihat
pada mata ialah ibarat menangkap gambar secara umum dan mengetahui ada
kejadian, kondisi sesuatu (Jannah, 2012).

2.2. Macam-Macam Retina


Retina memiliki dua macam sel reseptor pada retinanya yaitu sel kerucut dan
sel batang yang berisi pigmen ungu. Pigmen ungu yang berada pada sel batang
disebut dengan rodopsin apabila terkena cahaya matahari rodopsin akan terurai
menjadi protein dan vitamin A. Pembentukan pigmen akan terjadi kembali jika
dalam keadaan gelap. Dalam pembentukan memerlukan adaptasi gelap (adaptasi
rodopsin). Pada saat gelap inilah mata akan sulit untuk melihat pigmen lembayung
yang berada di sel kerucut (iodopsin) yang merupakan gabungan antara retinin
dan opsin. Ada tiga macam sel kerucut yaitu sel yang peka terhadap 3 warna
diantaranya merah, hijau dan biru. Dengan ketiga macam sel kerucut tersebut
mata bisa menangkap spektrum warna. Jika salah satu sel kerucut rusak itu yang
menyebabkan buta warna (Jannah, 2012).

2.3. Pengertian Buta Warna


Buta warna sendiri ialah kondisi dimana penglihatan mengalami kelainan
yang umumnya disebabkan karena kerusakan sel kerucut pada retina mata dalam
menangkap suatu spektrum warna. Bagi penderita buta warna, ia akan melihat
warna yang bukan warna aslinya (Jannah, 2012).
2.4. Jenis-Jenis Buta Warna
Buta warna dapat dapat terjadi sejak lahir atau akibat penggunaan obat-
obatan yang berlebihan. Buta warna umumnya terjadi pada laki-laki, pada
perempuan jarang terjadi karena perempuan hanyalah sebagai pembawa (resesif)
(Kurnia, 2009). Ada tiga jenis gangguan penglihatan terhadap warna, yaitu:
1. Monochromacy ialah keadaan dimana sel kerucutnya tidak dapat berfungsi
semua. Monochromacy ada dua jenis, yaitu
a. Red monochromacy (typical) penderita ini sangat jarang terjadi, yaitu
kemampuan tidak dapat melihat semua jenis warna, sehingga yang
terlihat hanyalah warna hitam, putih dan abu-abu.
b. Cone monochromacy (atypical) penderita ini sangat jarang terjadi, yang
disebabkan karena tidak berfungsinya dua sel kerucujt. Sehingga
penderita masih bisa melihat warna tertentu, karena masih memiliki satu
sel kerucut.
2. Dichromacy ialah jenis buta warna dimana salah satu sel kerucutnya tidak
berfungsi. Sehingga penderita ini akan kesulitan dalam melihat warna-warna
tertentu. Dichromacy dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Protanopia yaitu salah satu tipe Dichromacy yang disebabkan karena
tidak adanya photoreseptor retina merah. Sehingga pada kasus ini
penglihatan warna merah tidak ada. Protonopia juga dikenal dengan buta
warna merah-hijau.
b. Deutanopia adalah gangguan penghilangan warna karena tidak adanya
photoreseptor retina hijau. Sehingga penderita kesulitan dalam
membedakan hue pada merah dan hijau.
c. Tritanopia yaitu keadaan dimana penderita kesulitan dalam membedakan
warna biru-kuning dari spektrum cahaya yang tampak. Tipe ini jarang
dijumpai.
3. Anomalous trichromacy ialah salah satu gangguan penglihatan yang
disebabkan karena faktor keturunan atau kerusakan pada mata saat dewasa.
Pada penderita ini memiliki tiga sel kerucut yang lengkap namun terjadi
kerusakan mekanisme sentivitasnya terhadap salah satu dari tiga sel reseptor
warna. Tipe ini dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Protanomaly ialah keadaan dimana terjadi kelainan terhadap pigmen
merah, sehingga menyebabkan rendahnya sensifitas terhadap cahaya
merah.
b. Deuteranormaly dimana terjadi kelainan terhadap pigmen warna hijau.
Penderita tidak mampu melihat perbedaan kecil warna merah, orange,
kuning dan hijau.
c. Tritanomaly adalah tipe yang sangat jarang terjadi, dimana kelainan
terhadap pigmen biru. Pigmen biru akan lebih terlihat hijau dari spektrum
warna.

2.5. Metode Menguji Buta Warna


Metode yang digunakan dalam menguji buta warna yaitu salah satunya
dengan metode ishiar. Metode ishiara yaitu suatu pengujian guna mendeteksi
adanya gangguan persepsi warna, berupa tabel warna khusus dalam lembaran
pseudoisokromatik (plate) yang tersusun dalam titik-titik dengan kepadatan warna
yang berbeda, bisa dilihat dengan mata normal namun bagi penderita buta warna
akan mengalami defisiensi sebagian warna (Dhika et al, 2014).
Plate ialah warna-warna primer dengan dasarnya yang mirip dengan
warna abu-abu. Metode ishihara juga dipercaya dapat membedakan defisit warna
merah dan defisit warna hijau. Metode ishihara berupa lembaran yang didalamnya
terdapat titik-titik dengan tersusun oleh bermacam-macam warna dan ukuran.
Titik-titik berwarna tersebut akan membentuk pola angka atau bentuk yang
berkelok-kelok. Warna dari tiktik-titik tersebut dibuat sedemikian rupa agar
penderita buta warna tidak akan berhasil melihat angka atau pola yang terbentuk
(Dhika et al, 2014)
Dalam ruangan dengan penerangan yang cukup, penderita buta warna
akan diminta untuk melihat lembaran kertas yang berisi titik-titik warna yang
berbeda biasanya berwarna merah, hijau dan biru, kemudian penderita harus
menyebutkan angka atau pola yang dilihatnya. Jika pada orang normal, maka akan
melihat bentuk pola yang terbentuk namun bagi penderita buta warna tidak akan
melihat angka maupun pola garis yang terbentuk karena penderita buta warna sulit
membedakan spektrum cahaya (Dhika et al, 2014).

2.6. Faktor Genetika Buta Warna


Buta warna disebabkan karena adanya ketidakmampuan sel-sel kerucut
dalam menangkap spektrum cahaya warna tertentu yang diseebabkan faktor
genetis. Buta warna diturunkan oleh orang tua kepada keturunannya, kelainan ini
sering disebut dengan Sex Linked, yang dibawa oleh kromosom X, kromosom Y
tidak membawa sifat buta warna. Oleh karena itu kebanyakan penderita buta
warna terjadi pada laki-laki, karena perempuan terdapat istilat ‘pembawa sifat’
yang menandakan bahwa salah satu kromosom X nya membawa sifat buta warna.
Yang kemudian diturunkan kepada anaknya kelak, namun jika perempuan
tersebut kedua kromosom X nya mengandung faktor buta warna maka bisa
dikatakan perempuan tersebut menderita buta warna (Agusta et al, 2012).
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Fisiologi Hewan mengenai “Buta Warna” dilaksanakan pada
Rabu, 2 Desember 2020 pukul 13.00 – 15.00 WITA di Laboratorium Fisiologi
Perkembangan dan Molekuler Hewan, Gedung C lantai 2, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mulawarman, Samarinda.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Pada praktikum ini digunakan alat yaitu buku tes buta warna metode
Ishihara, dan alat tulis .
3.2.2 Bahan
Pada praktikum ini diperlukan 30 orang probandus.

3.3 Cara Kerja


Disiapkan alat dan bahan untuk uji buta warna. Temukan 30 probandus
dengan masing-masing probandus diberikan waktu 1 menit menyebutkan angka-
angka yang terdapat pada lembar uji buta warna pada jarak 1 meter. Catat dan
hitung X2 dengan menggunakan rumus Chi-Square :

Hasil yang didapatkan kemudian disimpulkan.


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Tabel 4.1 Data hasil tes buta warna
Jenis Kelamin
No. Nama Umur Hasil Tes
(L/P)
1. Mukhlis 31 L Normal

2. Stefani Monica 45 P Buta warna

3. Rizky Oktavianus 16 L Normal

4. Valentinus 20 L Normal

5. Merliana Azizah 20 P Buta warna

6. Ratih Ardianti 20 P Buta warna

7. Reni 39 P Buta warna

8. Radika Nur Fatiha 21 L Normal

9. Marhani 35 P Normal

10. Anisah Maulidya 25 P Buta warna

11. Raihan 15 L Normal

12. Aderiyani 47 P Buta Warna

13. Nur Andriani 21 P Normal

14. Nur Miati 20 P Normal

15. Rahmat Utama 17 L Normal

16. Anjas 18 L Normal

17. Dewi Mardani 19 P Normal


18. Elma Novita 20 P Normal

19. Helce 20 P Normal

20. Claresta 14 P Normal

21. Zaneta 17 P Normal

22. Jihan Nabila 20 P Normal

23. Zainal Kusnan 51 L Normal

24. Meganingrum 23 P Normal

25. Muhammad Fadil 11 L Normal

26. Naila Tadmar 18 P Normal

27. M. Fredy Hariyanto 22 L Normal

28. Suwati 43 P Normal

29. Shanaz Tulzahrah 19 P Normal

30. Farisa Yuli Estherina 33 P Normal

31. Firdaus Hanun 45 P Normal

32. Yoyon 20 P Normal

33. Imah 19 P Normal

34. Nanik Tri 19 P Normal

35. Ade Laila 19 P Normal

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa terdapat 35 probandus yang


diuji dengan tes buta warna menggunakan metode Ishihara. Terdapat 25
probandus perempuan dan 10 probandus laki-laki dengan usia yang beragam
berkisar mulai dari 11 tahun hingga 47 tahun. Dalam melakukan pengujian tes
buta warna, probandus akan diperlihatkan pola-pola yang terdapat pada lembar
kertas tes buta warna dan probandus diminta untuk menyebutkan pola apa yang
terbentuk dari sekumpulan titik-titik berwarna yang terdapat pada lembar tes buta
warna tersebut. Setelah dilakukan pengujian terhadap probandus, hasil kemudian
dicatat dalam bentuk tabel dengan keterangan berupa data diri probandus seperti
nama, umur, jenis kelamin, dan hasil tes. Berdasarkan hasil tes buta warna yang
telah dilakukan kepada 35 probandus diperoleh hasil yaitu, terdapat 29 probandus
yang memiliki penglihatan normal dan terdapat 6 probandus yang mengalami buta
warna.
Menurut Ardiyan dkk. (2019), buta warna merupakan keadaan dimana
seseorang memiliki kekurangan penglihatan atas beberapa warna. Keadaan ini
terjadi karena ada masalah dengan pigmen pada reseptor warna di mata. Apabila
ada pigmen yang hilang, maka mata individu tersebut tidak bisa membedakan
warna. Umumnya penderita buta warna sulit melihat warna merah, hijau, biru,
atau beberapa campuran dari warna tersebut. Pada penderita buta warna total,
tidak ada warna yang dapat dilihat sama sekali. Individu dengan buta warna total
merupakan kasus yang sangat jarang terjadi.
Dalam Ardiyan dkk. (2019), disebutkan bahwa buta warna merupakan
kelainan genetik yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Menurut Artadana
dan Savitri (2018), apabila terjadi perkawinan antara wanita normal dengan
genotip XCXC dengan lelaki buta warna bergenotip XcY maka anak perempuannya
akan bergenotip XCXc yaitu carrier dan anak laki-lakinya normal bergenotip XCY.
Apabila terjadi perkawinan antara wanita buta warna bergenotip X cXc dengan
laki-laki normal bergenotip XCY maka seluruh anak perempuannya bergenotip
XCXc yaitu carrier dan seluruh anak lelakinya buta warna bergenotip X cY hal
tersebut terjadi karena kromosom X pada laki-laki berasal dari ibunya sedangkan
kromosom X pada perempuan diwariskan oleh ayahnya.
Menurut Ardiyan dkk. (2019), beberapa penyebab seseorang menderita
buta warna yaitu menderita suatu penyakit, faktor usia, faktor genetika,
kontaminasi bahan kimia, dan efek samping dari pengobatan tertentu. Beberapa
penyakit yang bisa menyebabkan kondisi buta warna yaitu Parkinson, Alzheimer,
leukemia, glaukoma, neuritis optis, diabetes, siklemia, pecandu alkohol kronis,
dan macular degeneration. Usia memengaruhi kemampuan seseorang dalam
membedakan warna. Seiring dengan bertambahnya usia, maka kemampuan untuk
membedakan warna akan berkurang. Hal ini terjadi karena proses penuaan.
Genetika merupakan faktor yang sangat berperan dalam buta warna. Sebagian
besar kasus buta warna terjadi karena faktor genetik. Kondisi ini diturunkan dari
ornag tua ke anaknya. Umumnya penderita buta warna karena faktor genetik
adalah pria. Kontaminasi bahan kimia juga dapat menyebabkan buta warna.
Contohnya saja karbon disulfidan dan pupuk. Buta warna yang terjadi karena
pengaruh dari suatu obat biasanya akan hilang dan kembali normal setelah
beberapa waktu. Beberapa obat yang dapat menyebabkan kondisi buta warna yaitu
digoxin, pheytoin, chloroquine dan sildenafil.
Menurut Ardiyan dkk. (2019), metode-metode uji yang dilakukan untuk
mengetahui buta warna antara lain metode Ishihara, metode color gradation, dan
metode Farnsworth. Metode Ishihara merupakan metode yang dilakukan
menggunakan pelat yang berisi gambar angka yang tersusun atas kombinasi titik-
titik berwarna. Dengan metode ini kepekaan mata seseorang terhadap warna akan
diketahui. Metode color gradation merupakan metode yang dilakukan
menggunakan enam buah pelat yang membentuk sebuah gradasi warna. Dengan
metode ini, kepekaan mata seseorang terhadap beberapa warna yang mirip akan
diketahui. Metode Farnsworth adalah metode yang dilakukan menggunakan 13
buah pelat gambar Farnsworth. Pelat ini membentuk sebuah gradasi warna yang
tingkat kesulitannya lebih tinggi dari pada metode color gradation.
Menurut Widianingsih dkk. (2010), metode Ishihara pertama kali
dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara pada tahun 1917 di Jepang. Metode ini
kemudian digunakan untuk mengetes buta warna oleh seluruh orang di dunia
hingga saat ini. Metode tes buta warna Ishihara berdasarkan pada prinsip pseudo-
isochromaticism. Metode tes ini terdiri dari 38 pelat gambar berurutan yang
tersusun atas titik-titik yang membentuk suatu angka atau pun pola. Warna titik-
titik yang menyusun pelat tersebut disusun sedemikian rupa sehingga dapat
diketahui apabila individu yang dites menderita buta warna atau tidak.
Menurut Suryo (2013) dalam Karolina dkk. (2019), Colour Vision
Deficiency (CVD) atau biasa dikenal dengan istilah buta warna adalah suatu
keadaan dimana mata tidak dapat membedakan warna-warna tertentu akibat
adanya gen resesif c pada kromosom X. Berdasarkan Kartika (2014) buta warna
merupakan kelainan genetik sex-linked yang dibawa oleh kromosom X sehingga
mayoritas penderita buta warna ialah laki-laki. Dalam Campbell (2002), buta
warna tidak tergolong sebagai kelainan fatal yang membahayakan dengan
pewarisan sifat terpaut seks. Pada anak perempuan yang mengalami buta warna
kemungkinan dilahirkan oleh seorang ibu yang carrier atau membawa gen buta
warna dan seorang ayah yang buta warna.
Buta warna dapat bersifat diwariskan sehingga tidak dapat disembuhkan
serta tidak progresif atau bersifat statis dengan keadaan yang tetap tanpa adanya
perubahan. Akan tetapi ada pula buta warna yang disebabkan oleh adanya suatu
penyakit. Pada umumnya buta warna lebih banyak dialami oleh laki-laki (Kartika,
2014).
Menurut Kartika (2014), buta warna dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Trikromatik, suatu keadaan dimana masih terdapat 3 pigmen kerucut yang
berfungsi, akan tetapi interpretasi warna yang dihasilkan berbeda dengan
orang yang berpenglihatan normal. Interpretasi warna tersebut dapat dibagi
menjadi 3, yaitu :
 Deuteranomali, adanya absorpsi pada sel kerucut M cone sehingga tidak
dapat membedakan warna hijau dan kuning
 Protanomali, absorpsi sel kerucut L cone ke arah gelombang yang lebih
rendah sehingga tidak dapat membedakan warna merah dan kuning
 Tritanomali, absorpsi sel kerucut S cone ke arah gelombang yang lebih
panjang sehingga menyebabkan lemah terhadap warna biru
Pada deuteranomali dan protanomali, kelainan interpretasi warnanya
disebabkan oleh terkaitnya kromosom X, tetapi pada tritanomali bersifat
autosomal dengan kasus yang jarang ditemukan.
2. Dikromatik, suatu keadaan dimana hanya terdapat 2 pigmen kerucut, dapat
dibagi menjadi 3, yaitu:
 Protanopia, tidak terdapat sel kerucut L cone sehingga penglihatan
terhadap warna merah hijau (red-green opponent) terganggu
 Deuteranopia, tidak terdapat sel kerucut M cone sehingga tidak dapat
membedakan warna kemerahan dan kehijauan (viable red-green
opponent)
 Tritanopia, hilangnya sel kerucut S cone sehingga tidak dapat
membedakan warna biru
3. Monokromatik atau lebih dikenal dengan istilah buta warna total disebabkan
karena hanya memiliki 1 pigmen sel kerucut dengan 2 pigmen lainnya dalam
keadaan rusak. Hal ini menyebabkan seseorang yang mengalaminya hanya
dapat membedakan semua warna menjadi hitam dan putih. Buta warna total
bersifat autosomal resesif dan dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
 Monokromatisme sel batang atau akromatopsia adalah kelainan pada
kedua mata dengan seluruh pigmen kerucut bersifat tidak normal. Dapat
diketahui dengan adanya gangguan penglihatan total, fotofobia,
hemeralopia (buta silang), dan tajam penglihatannya kurang dari 6/60.
Akromatopsia diwariskan secara autosomal resesif sehingga terjadi
mutasi pada gen yang mengkode protein photoreceptor cation channel or
cone transducin
 Monokromatisme sel kerucut (cone monochromatism), keadaan dimana
hanya terdapat setidaknya 1 pigmen kerucut yang dapat berfungsi dengan
baik. Kasus kelainan ini jarang ditemukan dan disebabkan adanya
monokromasi biru yang terkait dengan kromosom X resesif sehingga
terjadi mutasi pada gen yang mengkode opsin kerucut merah dan hijau.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
 Berdasarkan hasil studi pustaka disimpulkan bahwa buta warna merupakan
kelainan genetik sex-linked yang dibawa oleh kromosom X sehingga
mayoritas penderita buta warna ialah laki-laki. Buta warna tidak tergolong
sebagai kelainan fatal yang membahayakan dengan pewarisan sifat terpaut
seks. Pada anak perempuan yang mengalami buta warna kemungkinan
dilahirkan oleh seorang ibu yang carrier atau membawa gen buta warna dan
seorang ayah yang buta warna. Buta warna dapat bersifat diwariskan sehingga
tidak dapat disembuhkan serta tidak progresif atau bersifat statis dengan
keadaan yang tetap tanpa adanya perubahan.
 Berdasarkan hasil studi pustaka disimpulkan bahwa jenis-jenis buta warna
pada manusia terbagi menjadi beberapa jenis. Pertama, trikromatik yaitu suatu
keadaan dimana masih terdapat 3 pigmen kerucut yang berfungsi, akan tetapi
interpretasi warna yang dihasilkan berbeda dengan orang yang berpenglihatan
normal. Kedua dikromatik, suatu keadaan dimana hanya terdapat 2 pigmen
kerucut. Lalu yang terakhir monokromatik atau lebih dikenal dengan istilah
buta warna total disebabkan karena hanya memiliki 1 pigmen sel kerucut
dengan 2 pigmen lainnya dalam keadaan rusak. Hal ini menyebabkan
seseorang yang mengalaminya hanya dapat membedakan semua warna
menjadi hitam dan putih.
 Berdasarkan hasil studi pustaka disimpulkan bahwa buta warna merupakan
kelainan genetik sex-linked yang dibawa oleh kromosom X sehingga
mayoritas penderita buta warna ialah laki-laki.

5.2 Saran
Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya dapat digunakan metode lain seperti
metode Colour Gradation atau metode Farnsworth sebagai parameter
pembanding, agar hasil yang didapat bisa lebih bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA

Agusta, Sofiar et al,. 2012. Instrumen pengujian Buta warna Otomatis. Jurnal
Ilmiah Elite Elektro. 3(1): 15-22

Ardiyan, Riski. 2019. Aplikasi Tes Buta Warna dengan Metode Ishihara Metode
Colour Gradation dan Metode Farnsworth. Jurnal Sisten dan Teknologi
Informasi. 7 (4): 250-256.

Artadana, Ida Bagus Made dan Savitri, Wina Dian. 2018. Dasar-dasar Genetika
Mendel dan Pengembangannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Campbell, Neil A., et al. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga

Dhika, Randy Viyata et al,. 2014. Aplikasi Test Buta Warna Dengan Metode
Ishihara Pada Smarthphone Android. Jurnal Pseudocode. 7(1): 51-59

Jannah, Raudatul. 2012. Gangguan Kesehatan Mata. Jakarta: Guepedia


Karolina, Ni Wayan dkk. 2019. Prevalensi dan Frekuensi Gen Buta Warna Siswa
Sekolah Dasar di Kabupaten Badung, Bali, Indonesia. Jurnal Biologi
Udayana. 23 (2): 42-49

Kartika dkk. 2014. Patofisiologi dan Diagnosis Buta Warna. Cermin Dunia
Kedokteran. 41 (4): 268-271

Kurnia, Rahmadi. 2009. Penentuan Tingkat Buta Warna Berbasis HIS pada Citra
Ishihara. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. ISSN: 1907-5022
Kurniadi, D., Fauzi, M. M., dan Mulyani, A. 2016. Aplikasi Simulasi Tes Buta
Warna Berbasis Android Menggunakan Metode Ishihara. Jurnal Algoritma.
13(2):451-456.
National Eye Institute. 2015. Facts about Color Blindness.
www.nei.nih.gov/learn-about-eye-health/eye-conditions-and-diseases-/color-
blindness (diakses tanggal 12 Desember 2020).

Widianingsih, Ratri. 2010. Aplikasi Tes Buta Warna Dengan Metode Ishihara Berbasis
Komputer. Jurnal Informatika Mulawarman. 5 (1): 36-41.

Anda mungkin juga menyukai