Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Human Immunodficiency Virus (HIV)
Human Immunodficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab
Acquired immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan masalah
kesehatan global baik di Negara maju maupun negara berkembang. HIV/
AIDS ditularkan melalui darah penderita, pada waktu transfusi darah atau
penggunaan alat suntik yang dipakai bersama-sama. Penularan melalui
hubungan seksual baik pada homoseksual maupun heteroseksual dan
penularan pada waktu poses persalinan dari ibu yang menderita HIV/AIDS
ke anak yang dilahirkan juga merupakan penyebab utama penyakit ini
(Soedarto, 2010).
2. Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan
integrasi kedalam genom, ekspresi gen virus dam produksi partikel virus.
Virus menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelop yang
disebut gp120 (120kD gliko-protein) yang terutama mengikat sel CD4+
dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena
itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4+. Makrofag dan
sel dendritik juga dapat diinfeksinya.
Virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan
membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus
dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA
virus disintesis oleh enzim transcriptase dan kopi DNA bersatu dengan
DNA penjamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat
diaktifkan, sehingga diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang virus
mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membran sel, memperoleh
envelop lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat
menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten
dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga
tersembunyi dari sistem terapi antivirus (Baratawidjaja, 2010).

5
6

Sumber: Baratawidjaja, Karnen Garna: Iris R. 2010.


Gambar 2.1 Sel sasaran infeksi HIV dan aktivasi pro-virus

3. Patogenesis
Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen dan sekret vagina. Penularan sebagian besar (75%) terjadi
melalui hubungan seksual. Virus masuk kedalam tubuh penderita (sel
hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian
diintergrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus (Daili, 2014).
HIV menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen CD4, terumata sekali limfosit T Helper yang memegang peranan
penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
Selain limfosit T Helper virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan
makrofag, sel Langerharis pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar
limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel
mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri. HIV juga mempunyai sejumlah
gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru.
Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus
sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara
7

besar-besaran yang akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh


menjadi lumpuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan
timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan
gejala-gejala klinis AIDS (Daili, 2014).
4. Dampak infeksi HIV terhadap respons Imun
Infeksi HIV menyebabkan destruksi sel T CD4+ dan sebagian besar
virus yang terdapat dalam darah berasal dari sel T CD4+ yang mengalami
lisis. Penurunan sel T CD4+ terutama disebabkan destruksi sel ini oleh
virus HIV. Efek sitopatik langsung infeksi HIV terhadap limfosit
dibuktikan dengan hal-hal berikut:
a. Produksi virus dengan ekspresi gp41 dan budding partikel virus
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran dan lisis osmotik sel
CD4.
b. Membran sel terinfeksi melakukan fusi dengan sel lain yang belum
terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4 sehingga membentuk sel berinti
banyak atau syncytia.
c. DNA virus yang tidak terintegrasi dan terdapat dalam sitoplasma dapat
menjadi toksik untuk sel terinfeksi.
d. Produksi virus dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein sel dan
berakibat kematian sel.
e. Pengikatan gp120 pada CD4 intraseluler yang baru dibentuk dapat
menggangu proses ekspresi CD4 pada permukaan sel (Kresno, 2013).
Penurunan jumlah CD4+ dan rasio CD4/CD8 tidak hanya
disebabkan destruksi sel oleh virus tetapi akibat gangguan “trafficking”
limfosit. Penurunan jumlah sel CD4+ terutama disebabkan kematian sel
dan apoptosis akibat pembunuhan langsung oleh virus atau mekanisme sel
yang lain, pada saat infeksi HIV akut penurunan jumlah limfosit dalam
darah tepi tidak spesifik untuk CD4+ tetapi juga terjadi penurunan jumlah
subset CD8+ dan CD20+. Pada saat jumlah limfosit dalam darah tepi
berkurang >80%, ukuran kelenjar getah bening dan rasio CD4/CD8 dalam
kelenjar masih normal, sekalipun terdapat banyak sel yang mengandung
HIV-RNA. Penurunan CD4+ dalam darah tepi tidak saja disebabkan oleh
8

lisis sel CD4+ oleh virus tetapi ekstravasasi sel CD4+ merupakan salah satu
factor yang berperan dalam penurunan CD4+ dalam darah (Kresno, 2013).
Sel CD4+ untuk memperbaharui diri dapat disebabkan perubahan
hambatan pada sel preserior dan lingkungannya akibat infeksi HIV.
Ketidak mampuan sistem imun untuk regenerasi sel T terbukti dari
lambatnya repopulasi sel T. Adanya mekanisme alternative di atas
merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi infeksi HIV,
yaitu bahwa pengobatan penyakit ini dengan menekan replikasi virus saja
tidak cukup tetapi perlu disertai upaya untuk mengingkatkan fungsi atau
rekonstitusi sistem imun (Kresno, 2013).
5. Distribusi penderita
a. Distribusi Penderita menurut golongan usia
Penderita HIV di Indonesia sebanyak (60%) dari semua berusia
antara 25-49 tahun. Berdasarkan kelompok usia 25-49 tahun (69,3%),
kelompok usia 20-24 tahun (17,1%), kelompok usia >50 tahun (7,3%), dan
kelompok usia <4 tahun (1,9%). Penemuan kasus HIV pada usia dibawah
4 tahun menandakan masih ada penularan HIV dari ibu ke anak dan
diharapkan menurun di tahun selanjutnya sebagai upaya tujuan nasional
dan global dalam rangka triple elimination (eliminasi HIV, hepatitis B dan
sifilis) pada bayi. Proposi terbesar kasus HIV masih pada penduduk usia
produktif (15-49 tahun), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia
remaja (Profile Kesehatan RI, 2017).
b. Distribusi Penderita menurut jenis kelamin
Pola penularan HIV menurut jenis kelamin memiliki pola yang
hampir sama beberapa tahun terakhir yaitu lebih banyak terjadi pada
kelompok laki-laki dibandingkan kelompok perempuan (Infodatin, 2016).
Presentase kasus baru HIV positif pada laki-laki lebih besar dibandingkan
perempuan. Terdata 63,6% dari semua Penderita HIV di Indonesia adalah
laki-laki, sementara 36,4% penderita HIV di Indonesia adalah perempuan
(Profile Kesehatan RI, 2017).
9

6. Penularan HIV
Virus HIV menular melalui 6 cara penularan, yaitu:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS. Hubungan seksual secara
vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan dapat
menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan
vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau
mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran
darah. Selama berhubungan juga dapat terjadi lesi mikro pada dinding
vagina, dubur, dan mulut yang dapat menjadi jalan HIV untuk masuk ke
aliran darah pasangan seksual.
b. Ibu pada janinnya. Penularan HIV dari ibu pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke bayi
adalah 0,01%-0,7%, jika ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala
AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan jika
gejala AIDS sudah jelas pada ibu, kemungkinannya mencapai 50%.
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS. HIV sangat cepat
menular karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar
ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril. Alat pemeriksaan kandungan
seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang darah, cairan vagina
atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang
lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.
e. Alat-alat untuk menoreh kulit. Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau,
silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan
sebagainya dapat menularkan HIV karena alat tersebut mungkin dipakai
tanpa disterilkan terlebih dahulu.
f. Jarum suntik yang digunakan secara bergantian. Jarum suntik yang
digunakan di fasilitas kesehatan maupun yang digunakan oleh pengguna
narkoba (injecting drug user, IDU) sangat berpotensi menularkan HIV.
10

Para pemakai IDU umumnya secara bersama-sama juga menggunakan


tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan. HIV tidak menular melalui peralatan
makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-
sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita
HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain (Kuswiyanto,
2016).
7. Gejala klinis
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik
dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik)
pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium
yang lebih lanjut. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang-ulang dan
pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan
kearah AIDS. Penurunan sel CD4 < 200/ml menunjukkan perkembangan
yang semakin buruk. Keadaan yang memburuk juga ditunjukan oleh
peningkatan B2 mikro globulin, p24 (antibodi terhadap protein core) dan
juga peningkatan IgA (Daili, 2014).
a. Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokan menjadi 4 golongan
yaitu:
1) Penderita asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa inkubasi yang
berlangsung antara 7 bulan-7 tahun lamanya.
2) Persistent Generalized Lymphadenopathy (PLG) dengan gejala
limfadenopati umum.
3) AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan
sistem imun atau kekebalan.
4) Full Blows AIDS merupakan fase terakhir AIDS dengan gejala klinis yang
berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali,
splenomegali, dan kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi
oportunistik dan neoplasia misalnya Sarkoma Kaposi. Penderita akhirnya
meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto,
2010).
11

b. Gelaja klinik khas HIV adalah sebagai berikut:


1) HIV stadium 1 : asimktomatis atau terjadi PLG (persistent generalized
lymphadenopathy).
2) HIV stadium 2 : berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus atau jamur di
mulut, menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis rekuren.
3) HIV stadium 3 : berat badan menutun lebih dari 10%, diare kronis dengan
sebab takjelas lebih dari 1 bulan.
4) HIV stadium 4 : berat badan menurun lebih dari 10%, gelaja-gejala infeksi
pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya
sebagai komplikasi turunnya sistem imun (AIDS) (Soedarto, 2010).
8. Pencegahan dan Pengobatan HIV
Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi
paparan faktor risiko. Pendekatan kunci untuk pencegahan HIV, yang
sering digunakan dalam kombinasi, antara lain:
a. Penggunaan kondom pria dan wanita yang benar dan konsisten selama
penetrasi vagina atau anal dapat melindungi terhadap penyebaran.
b. Tes dan konseling untuk HIV dan IMS lainnya sangat disarankan untuk
semua yang terpapar pada salah satu faktor risiko, dengan ini orang belajar
status infeksi mereka sendiri dan mengakses layanan pencegahan dan
perawatan tanpa penundaan.
c. Pengujian dan konseling, hubungan dengan perawatan Tuberkulosis (TB)
penyakit yang paling umum muncul dan penyebab kematian di antara
orang dengan HIV, fatal jika tidak terdeteksi atau tidak diobati.
Pengobatan TB yang efektif dan resistan terhadap multi-obat dan ART.
d. Sunat laki-laki medis sukarela, mengurangi risiko infeksi HIV yang
didapat secara heteroseksual pada laki-laki sekitar 60%. Pencegahan ini
didukung 15 negara di Afrika Timur dan Selatan dengan prevalensi HIV
yang tinggi dan tingkat sunat laki-laki yang rendah.
e. Pengunaan obat antiretroviral (ART) menunjukkan bahwa risiko penularan
HIV melalui hubungan seks, di mana kondom tidak digunakan, pada
pasangan gay serodifferent secara efektif nol ketika viral load HIV ditekan
melalui pengobatan ART (WHO, 2019).
12

Pengobatan penyakit HIV dapat ditekan dengan kombinasi ART


yang terdiri dari 3 atau lebih obat ARV. ART tidak menyembuhkan
infeksi HIV tetapi menekan replikasi virus dalam tubuh seseorang dan
memungkinkan system kekebalan untuk memperkuat dan mendapatkan
kembali kapasitas untuk melawan infeksi. Pada tahun 2016 WHO
mengeluarkan pedoman Konsolidasi edisi kedua tentang penggunaan obat
antiretroviral untuk mengobati dan mencegah infeksi HIV. Pedoman ini
merekomendasikan untuk menyediakan ART seumur hidup untuk semua
orang yang hidup dengan HIV termasuk anak-anak, remaja dan orang
dewasa, wanita hamil dan menyusui, terlepas dari status klinis atau jumlah
CD4 (WHO, 2019).
9. A. Diagnosis HIV
Tes serologis, seperti RDT atau Enzyme Immunoassays (EIAs),
mendeteksi ada tidaknya antibodi terhadap antigen HIV-1/2 dan HIV p24.
Tidak ada tes HIV tunggal yang dapat memberikan diagnosis HIV-positif.
Tes ini digunakan dalam kombinasi dan dalam urutan tertentu yang telah
divadilasi dan didasarkan pada prevalensi HIV dari populasi yang diuji.
Infeksi HIV dapat dideteksi dengan sangat akurat, menggunakan tes pra-
kualifikasi WHO dalam pendekatan yang divalidasi (WHO, 2019).
Diagnosis Laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode:
a. Langsung : isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan
menggunakan mikroskop electron dan deteksi antigen virus Polymerase
Chain Reaction (PCR).
b. Tidak langsung : melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan ELISA,
Western blot, immunofluorescent assay (IFA), atau
radioimmunoprecipitation assay (RIPA) (Daili, 2014).
B. Metode umum untuk diagnosis HIV meliputi:
a. ELISA (Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay)
Prinsip : Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui diimobilisasi
pada suatu permukaan solid, baik yang non-spesifik atau spesifik. Setelah
antigen diimobilisasi, antibody pendeteksi ditambahkan, membentuk
kompleks dengan antigen.
13

Sensitivitas tinggi, 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3


bulan sesudah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan Western blot. Tes ELISA akhir-akhir ini telah menggunakan
recombinant antigen, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.
Antibodi terhadap envelope ditemukan ada semua stadium infeksi HIV,
sedangkan antibody terhadap p24 (protein core) bila positif menunjukkan
hasil penderita sedang mengalami kemunduran (Daili, 2014).
b. Western blot
Prinsip : Ikatan antigen –antibodi komplek. Protein pada NC kita anggap
sebagai antigen. Antibody primer adalah antibody yang dapat berikatan
secara spesifik pada antigen pada NV. Agar dapat melihat ikatan dari
antigen-antibodi komplek maka kita memberikan warna pada antigen-
antibodi tersebut.
Spesifisitas tinggi 99,6%-100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal
dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk
konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA yang positif (Daili, 2014).
c. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Prinsip : Penggunaan metode PCR diperlukan empat komponen utama,
yakni (1) DNA cetakan, (2) oligonukleotida primer, (3)
deosiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP, dGTP,
dTTP, dan (4) enzim polymerase yang digunakan untuk mengkatalis reaksi
sintesis rantai DNA.
1) Tes HIV pada bayi, pada saat zat anti maternal masih ada pada bayi yang
dapat menghambat pemeriksaan secara serologis.
2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi.
3) Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah
untuk HIV-2 (Daili, 2014).
14

d. Imunokromatografi (Rapid Test)


Prinsip : specimen yang diteteskan pada ruang membran bereaksi dengan
partikel yang terdapat pada bantalan spesimen mengandung antibodi HIV
maka akan timbul satu garis bewarna (Insert Kit SD BIOLINE HIV 1/2).
Perangkat uji cepat dengan kinerja diagnostik yang sebanding dengan
metode EIA tradisional (yaitu sensitivitas > 99% dan spesifisitas > 98%)
saat ini tersedia secara komersial. Tes HIV cepat dapat didasarkan pada
beberapa format tes; tes-tes ini dirancang untuk digunakan dengan
specimen individual, cepat dan mudah dilakukan membuatnya lebih hemat
biaya dari pada EIA di laboratorium dengan aliran rendah. Mereka dapat
digunakan dengan darah utuh serum/plasma dan vena atau kapilar.
Sebagian besar tes cepat disajikan sebagai kit yang menggabungkan
reagen, dan biasanya tidak memerlukan peralatan tambahan. Hasil tes
tersedia dalam 10-30 menit dan interpretasi mereka pada diatas 18 bulan
umumnya mudah (WHO, 2010).
B. Kerangka Konsep

Persentase hasil pemeriksaan


a. HIV reaktif di Puskesmas
Simpur Bandar Lampung
Virus HIV tahun 2018-2019
b. Jenis Kelamin
c. Kelompok Usia

Anda mungkin juga menyukai