Anda di halaman 1dari 17

STASE JIWA

LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

DISUSUN OLEH :

Belsi

2030020

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

STIKES CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG

TAHUN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik secara diri sendiri, orang

lain maupun lingkungan. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk

perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun. Setiap

aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Stuart GW, Sundeen.

2007).

Suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai

secara fisik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, suatu keadaan dimana

klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan,

termasuk orang lain dan barang-barang. Perilaku kekerasan dapat dibagi dua

menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik. Perilaku kekerasan adalah

keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada

dirinya sendiri ataupun orang lain (Carpenito, 2010).


B. ETIOLOGI

1. Faktor Predisposisi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan 

menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural adalah:

a. Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap

perilaku:

1) Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls 

agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.

Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau

menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem

informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada

sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku

kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak

mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak

sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis

mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.

Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku

agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat

agresif.
2) Biokimia

Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,

asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau

menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight

atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons

terhadap stress.

3) Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara

perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.

4) Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku

agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang

sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang  menimbulkan

perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,

khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku

agresif dan tindak kekerasan.

b. Teori Psikologik

1) Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak  terpenuhinya kebutuhan untuk

mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak

berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan

tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat

meningkatkan citra diri dan memberikan arti  dalam kehidupannya.


Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan

secara terbuka terhadap rasa  ketidakberdayaan dan rendahnya harga

diri.

2) Teori Pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,

biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena

dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku

tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi

ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.

Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru

pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika

masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan

anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku

kekerasan setelah dewasa.

3) Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan

struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang

secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk

menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada

perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa

kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara

konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut


dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial

dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

2. Faktor Presipitasi

Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan 

dengan (Yosep, 2009):

a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan  eksistensi diri atau simbol solidaritas

seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,

perkelahian masal dan sebagainya.

b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial

ekonomi.

c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak

membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan

kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan

dirinya sebagai seorang yang dewasa.

e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan

alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi

rasa frustasi.

f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,

perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan

keluarga.
C. TANDA DAN GEJALA

1. Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,

wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan

nada keras, kasar dan ketus.

3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak

lingkungan, amuk/agresif.

4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,

jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,

menyalahkan dan menuntut.

5. Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak

jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.

6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak

bermoral dan kreativitas terhambat.

7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan

sindiran.

8. Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.

(Kusuma wati, 2010)

D. MEKANISME KOPING

Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat

membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam

mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan


adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi,

represif, denial dan reaksi formasi.

Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang

berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat

berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat

menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk

bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini

tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan

yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan

berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai

diri, orang lain dan lingkungan)`

Selain diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang

kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan

klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering

keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak

maksimal (regimen terapeutik inefektif), (Keliet Ana Budi, 2009)

E. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi

penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis.

1. Penatalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan

keperawatan dan terapi modalitas.


a) Pendekatan proses keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses

keperawatan, yaitu meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa

keperawatan, rencana tindakan keperawatan serta evaluasi.

b) Terapi Modalitas

Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam

perawatan kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area

kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian

ini secara singkat menjelaskan modalitas terapi yang saat ini

digunakan baik pada lingkungan, rawat inap, maupun rawat jalan

c) Terapi lingkungan

Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan

bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan

agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan seperti permainan

kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film, atau diskusi

informal memberikan klien kesempatan untuk membicarakan

peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien

dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan. Penjadwalan

interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang

tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah,

pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat

meningkatkan rasa aman klien 


d) Terapi Kelompok

Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama

kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan

diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu

yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan

kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota

kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat,

mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau

menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari

keterampilan interpersonal yang penting.

e) Terapi keluarga

Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang

mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah

memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi

klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga,

merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptif, dan

menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga.

f) Terapi individual

Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan

pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan

perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi

dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami diri dan

perilaku mereka sendiri, membuat hubungan personal, memperbaiki


hubungan interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati atau

ketidakbahagiaan. Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina

melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien:

introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang

ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga

asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja

sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi 

(Videbeck, 2008).

2. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode

psikofarmakologi dan metode psikososial.

a. Metode Biologik

Berikut adalah beberapa metode biologik untuk penatalaksanaan medis

klien dengan perilaku kekerasan yaitu :

1) Psikofarmakologi

Penggunaan  obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari

penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem

saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi

perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. 


beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku

kekerasan adalah sebagai berikut:

a) Antianxiety dan Sedative Hipnotics

Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut.

Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering

digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan

perlawanan klien. Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam

waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan

ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala depresi. Selanjutnya

pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari

Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif.

Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku

kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini

ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien

dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.

b) Antidepressant

Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku

agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline

dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang

berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.

(Dr.Budi Anna Keliat, Dkk. 2005)


F. Pohon Masalah

Resiko mencedrai diri sendiri, orang lain dan


lingkungan

Prilaku kekerasan : core problem

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

G. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1.      Perilaku Kekerasan.

2.      Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

3.      Perubahan persepsi sensori.

4.      Harga diri rendah kronis.

5.      Isolasi sosial.

6.      Berduka fungsional.

7.      Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.

8.      Koping keluarga inefektif.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan ditetapkan sesuai dengan data yang didapat, dan saat

ini tidak melakukan perilaku kekerasan tetapi pernah melakukan perilaku

kekerasan dan belum mempunyai kemampuan mencegah/mengontrol perilaku

kekerasan.
I. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi


Perilaku Kekerasan Setelah dilakukan Sp pasien

tindakan keperawatan SP I

selama 3x pertemuan 1. identifikasi penyebab

klien dapat perasaan marah,

mengontrol emosinya. 2. tanda dan gejala yang

Kriteria Hasil : dirasakan,

1. Klien dapat 3. perilaku kekerasan

membina yang dilakukan,

hubungan saling akibatnya

percaya 4. serta cara mengontrol

2. Klien dapat secara fisik

mengontrol

perilaku kekerasan SP II

secara fisik 1. Evaluasi latihan nafas

3. Klien dapat dalam

mengontrol 2. Latih cara fisik ke-2:

perilaku kekerasan pukul kasur dan

secara sosial/verbal bantal

4. Klien dapat 3. Susun jadwal kegiatan

mengontrol harian cara kedua

perilaku kekerasan
secara spiritual SP III

5. Klien dapat 1. Evaluasi jadwal

mengontrol harian untuk dua cara

perilaku kekerasan fisik

dengan obat 2. Latihan

mengungkapkan rasa

marah secara verbal:

menolak dengan baik,

meminta dengan baik,

mengungkapkan

perasaan dengan baik.

3. Susun jadwal latihan

mengungkapkan

marah secara verbal

SP IV

1. Diskusikan hasil

latihan mengontrol

perilaku kekerasan

secara fisik dan

sosial/verbal

2. Latihan sholat/berdoa

3. Buat jadual latihan


sholat/berdoa

SP V

1. Evaluasi jadwal

kegiatan harian pasien

untuk cara mencegah

marah yang sudah

dilatih.

2. Latih pasien minum

obat secara teratur

dengan prinsip lima

benar (benar nama

pasien, benar nama

obat, benar cara

minum obat, benar

waktu minum obat,

dan benar dosis obat)

disertai penjelasan

guna obat dan akibat

berhenti minum obat.

3. Susun jadual minum

obat secara teratur

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC

Keliat, Ana Budi. Dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta; EGC

Keliat, Ana Budi. Dkk. 2009. Model kepeawatan profesional jiwa. Jakarta: EGC

Kusumawati, farida. 2010.Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :salemba medika

Stuart GW, Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC

Videbeck, Sheila L. 2008. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :EGC

Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung; Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai