Anda di halaman 1dari 5

Pemimpin mesti berempati

Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah sebagai
pemimpin atau khalifah. Manusia dibekali dengan segala potensi untuk mengelola
bumi dan umat manusia. Sebagai pemimpin seorang muslim pasti akan merujuk
atau mencontoh kepada pemimpin terbaik dalam sejarah peradaban manusia yaitu
Nabi Muhammad. Bagaimana Rasulullah berhasil memimpin peradaban manusia?
Dalam sebuah organisasi kampus, pemuda atau pelajar seperti Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) yang dimana usia antara pemimpin dengan yang dipimpin
tidak jauh berbeda atau mungkin sebaliknya, yang dimpimpin lebih tua dibanding
yang memimpin, sangat diperlukan sebuah kebutuhan pendekatan kepemipinan
tersediri. Dalam kondisi seperti ini pendekatan kharismatik dan kewibawaan tidak
begitu ampuh untuk beberapa orang karena kedekatan usia yang membuat tidak
bisa terlihat lebih berwibawa di depan yang dipimpin tersebut. Karena memang pada
dasarnya dalam kondisi tersebut pemimpin dan yang dipimpin sudah mengetahui
kelebihan dan kekurangan bahkan aib yang ada pada diri masing-masing.

Pada tahun kepengurusan sebelumnya, saya mencoba tetap mengimplementasikan


konsep pendekatan kepemimpinan kharismatik dan berwibawa. Dan hasilnya
cenderung membentuk kurva negatif. Maka, sebuah evaluasi yang kemudian saya
lakukan adalah penggunaan pendekatan empati sebagai pengganti pendekatan yang
sebelumnya digunakan.
Pendekatan cara pemimpin empati ditunjukkan dengan kedekatan emosional,
dengan kelembutan dan kebersamaan seorang pemimpin dan yang dipimpin. Kata
empati lebih sering digunakan sebagai tidak lanjut dari sikap simpati yang
ditunjukkan sebelumnya. Simpati tidak hanya ditunjukkan ketika diliputi kesedihan,
tetapi juga ketika dihujani kebahagiaan. Dengan menjadi pemimpin empati maka kita
akan dapat menjadi pemimpin yang akan diterima oleh berbagai kalangan. Karena
dalam kondisi ini, kita dipandang sebagai pemimpin yang dekat dan merangkul
setiap anggota baik yang lebih tua atau lebih muda.

dalam islam pemimpin harus memiliki rasa empati

Menurut riwayat Baihaqi dan Ibnu Asakir, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Di antara
keturunanku, ada seseorang yang terdapat bekas luka di wajahnya. Dia adalah orang yang akan
menegakkan keadilan di muka bumi.” Siapakah yang diramalkan Umar itu?

Dialah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abi Ash. Lahir di keluarga ulama dan
bangsawan, dia mewarisi jiwa kepemimpinan kakek buyutnya, Umar bin Khattab. Ibunya
bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai gubernur
Mekah dan Madinah pada masa Walid bin Abdul Malik, khalifah keenam Bani Umaiyah. Setelah
mangkatnya Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah ketujuh Bani Umaiyah sekaligus sepupu dari
jalur ayahnya, Umar bin Abdul Aziz kemudian diangkat sebagai khalifah kedelapan Bani
Umaiyah.

Kelak, sejarah mencatat nama Umar bin Abdul Aziz dengan tinta emas. Sejak menjabat khalifah,
dia langsung meninggalkan semua hartanya. Kesederhanaan adalah pilihan hidupnya. Ketika
sedang berbincang dengan istrinya di ranjang kamar, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz teringat
akhirat. Mukanya berubah pucat, seperti seekor burung yang berada di atas air. Dia lalu duduk,
kemudian menangis. Melihat itu, istrinya yang bernama Fatimah bin Abdul Malik berkata,
“Seandainya saja jarak antara kami dan tugas kekhalifahan dijauhkan seperti jauhnya jarak
antara barat dan timur.”

Umar bin Abdul Aziz tidak merasa enak-enakan memegang tampuk kuasa. Dia mengumpulkan
sejumlah ulama fikih di Madinah, seperti Urwah bin Zubair bin Awwam, Ubaidillah bin Atabah,
Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar, Qasim bin Muhammad Salim bin Abdullah,
Abdullah bin Ibnu Amir, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Sulaiman, dan Abdullah bin Abdullah
Ibnu Umar bin Khattab. Mereka semua diminta menulis setiap kezaliman yang mereka lihat.
Padahal keadaan rakyat di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz sangat sejahtera. Kas
negara melimpah. Tanah-tanah ditanami. Sumur-sumur air meruah. Jalan-jalan licin. Masjid-
masjid banyak dan ramai. Hebatnya, tidak ada orang miskin yang mau menerima sedekah. Gaji
pegawai juga mencapai 300 dinar.

Tidak ditemukan kezaliman menimpa rakyat, karena keadilan sangat dijunjung tinggi. Bahkan,
salah seorang pejabat negara bernama Jarah Al-Hukmi pernah dicopot gara-gara mengambil
upeti dari orang-orang yang sudah masuk Islam. Padahal, Jarah Al-Hukmi melakukan itu karena
paham bahwa orang-orang tersebut masuk Islam semata agar selamat dari kewajiban
membayar upeti. Tetapi, ketegasan sang khalifah ternyata tidak tebang pilih. Tidak heran, para
ulama sepakat bahwa Umar bin Abdul Aziz merupakan salah seorang Al-Khulafa Ar-Rasyidun.
Seperti dikatakan Imam Syafi’i, “Al-Khulafa Ar-Rasyidun itu ada lima. Mereka adalah Abu Bakar
As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz.”   

Sejarah Islam dipenuhi kisah-kisah heroik dan berpengaruh besar terhadap peradaban. Sekian
lama manusia hidup di masa-masa kelam, kehadiran Islam jelas merupakan babak baru sejarah
yang memancarkan cahaya benderang. Di balik sejarah gemilang tentu ada sosok-sosok
cemerlang di belakangnya. Karena, sejarah terhormat pasti lahir dari aktor-aktor terhormat.
Sebaliknya, sejarah menjadi kelam karena dikendalikan aktor-aktor pecundang. Hari ini, umat
Islam di seluruh dunia dan Indonesia khususnya, sedang berada di roda bagian bawah sejarah.
Kita menanti lahirnya pemimpin-pemimpin besar yang mampu melambungkan umat Islam ke
mercusuar peradaban.

Kita merindukan sosok pemimpin yang memiliki kecerdasan brilian dan empati besar semacam
empat khalifah pengganti Rasulullah, Said bin Amir Al-Jumahi, Al-Ala Al-Hadhrami, Abdul Malik
bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abu Ja’far
Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Rasyid, Abdullah Abu Abbas Al-Makmun, dan pemimpin lain
sekaliber mereka.

Nabi dan Rasul itu berpikiran brilian, empati mereka besar. Misalnya, dengan kebijakannya yang
cerdas, Nabi Yusuf mampu menyelamatkan rakyat Mesir dari bencana kelaparan. Persediaan
makanan di gudang negara sangat cukup untuk menghidupi rakyat selama tujuh tahun Mesir
dilanda kekeringan. Bahkan, stok kebutuhan pokok itu juga digunakan untuk menyuplai
tetangga-tetangga Mesir yang sedang mengalami krisis pangan. Rombongan peminta bantuan
berdatangan, termasuk rombongan saudara-saudara Nabi Yusuf dari Palestina yang dulu sangat
memusuhinya.

Juga Nabi Musa yang siap pasang badan demi menyelamatkan rakyatnya dari kekejaman Firaun
Minephtah. Hati Nabi Musa teriris-iris menyaksikan rakyat Bani Israil di Mesir menjadi bulan-
bulanan raja super zalim itu. Sementara, tidak seorang pun berani menentang titah Firaun,
termasuk kebijakannya untuk membunuh setiap jabang bayi laki-laki. Rumah-rumah penduduk
dimasuki petugas Firaun untuk memeriksa setiap ibu yang baru melahirkan bayi. Kesewenang-
wenangan itulah yang menggugah Nabi Musa. Sedari bayi hidup sebagai anak pungut Firaun
ternyata tidak menghentikan tekad Nabi Musa untuk menumpas beragam kekejaman Firaun.
Semuanya untuk rakyat Bani Israil. 

Pemimpin besar terbukti mampu memposisikan perasaan dan keadaan dirinya seperti perasaan
atau keadaan rakyat yang dipimpinnya. Itulah pemimpin yang memiliki empati. Tentu empati
tidak hanya didasarkan atas kekayaan, jabatan, keturunan, kepintaran, dan prestasi seseorang.
Bagi pemimpin besar, simbol-simbol bersifat keduniaan itu sudah melebur dalam dirinya,
berganti rasa kepedulian dan kasih sayang. Kepada siapa pun, termasuk kalangan jelata sekali
pun, pemimpin besar tidak akan berlaku pilih kasih. Tidak kenal istilah pandang bulu. Pemimpin
besar sangat mencintai sekaligus dicintai rakyatnya.

Ada kisah mengharukan yang terjadi pada awal-awal Islam datang di Mekah. Selain Khadijah
binti Khuwailid, Waraqah bin Naufal, Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar As-Shiddiq, beberapa orang
miskin, seperti Zaid bin Haritsah, Said bin Abu Waqqas, Ibnu Mas’ud, dan Bilal bin Rabah juga
menyatakan keimanan kepada Rasulullah. Tetapi ketika mereka berkumpul bersama Rasulullah,
para pembesar dari kalangan kafir Mekah datang dan berkata, “Usirlah mereka dari kami!”
Tampaknya mereka merasa tidak level duduk satu majelis dengan orang-orang rendahan itu.
Apa jawab Rasulullah? Beliau membacakan firman Allah yang seketika itu turun sebagai
jawaban atas penghinaan kafir Mekah kepada orang-orang yang sebenarnya sangat mulia di sisi
Allah itu.

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari,
sedang mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun
terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap
perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk
orang-orang yang zalim).” [QS Al-An’am/6: 52].

Pemimpin sekarang harus menakar kebesarannya. Memimpin tidak cukup hanya bermodal
uang, popularitas, citra, apalagi tampang. Selain kecerdasan, empati yang besar mutlak
diperlukan dalam tugas kepemimpinan. Dengan demikian, tidak akan ada rakyat yang
menjadikan pemimpin sebagai sasaran kebencian dan hinaan. Pejabat di bawahnya juga akan
bekerja secara benar, jujur, dan ikhlas. Seluruh rakyat merasa senang dan bangga karena
memiliki pemimpin yang sangat peduli dengan kehidupan dan kesejahteraan mereka.

Pemimpin & Kepemimpinan :Empati Memaksimalkan


Fungsi Kepemimpinan
Salah satu sikap yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah empati, yakni sikap
menyelami kondisi faktual, aspirasi dan bahkan suasana batin orang-orang yang dipimpinnya
(*). Dalam Quran, Rasulullah saw digambarkan sebagai seorang pemimpin yang sangat
ِ ‫لَقَ ْد َجا َء ُك ْم َرسُو ٌل ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم ع‬
berempati terhadap penderitaan umatnya: " ‫َزي ٌز َعلَ ْي ِه َما َعنِتُّ ْم َح ِريصٌ َعلَ ْي ُك ْم‬
Nَ ِ‫“ "بِ ْال ُم ْؤ ِمن‬Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
ٌ ‫ين َر ُء‬
‫وف َر ِحي ٌم‬
sendiri; berat terasa olehya (sangat peduli dan berempati) dengan penderitaanmu; sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu; terhadap orang-orang mu’min bersikap
amat berbelas kasih dan penyayang” (QS At-Taubah, ayat 128). Empati seorang pemimpin
adalah upaya serius untuk memahami persoalan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya,
dan berdasarkan hasil penyelaman itulah, sang pemimpin berusaha secara adil dan bijak
merumuskan kebijakan untuk merespon dan memenuhi aspirasi tersebut. Contoh, kecil
kemungkinan seorang pemimpin bisa berempati tentang bagaimana rasanya menaiki kereta
komuter jurusan Bogor-Jakarta di pagi dan sore hari, waktu berangkat dan pulang kerja, bila
pemimpin itu tidak pernah naik kereta komuter. Tentu dimungkinkan saja seorang pemimpin
memperoleh gambarannya melalui laporan staf. Tapi, seperti lazimnya laporan
penggambaran, selalu tidak luput dari distorsi, tidak mungkin utuh. Makanya ada ungkapan
yang mengatakan (‫ْس َم ْن َرأَي َك َم ْن َس ِم َع‬
َ ‫)لَي‬, “Tidak mungkin sama antara orang melihat dengan
orang yang hanya mendengar”. Apalagi kalau pengalaman melihat itu diperkuat dengan
pengalaman riil melakoninya. Dalam poin ini, terlepas dari niat dan tujuannya, saya termasuk
salut dengan praktek blusukan Jokowi, baik ketika menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI
ataupun setelah menjadi RI-1. Menarik merenungkan kisah Umar bin Khattab dan para
prajuritnya di medan tempur: Di era kekuasaan Umar bin Khattab, terjadi ekspansi kekuasaan
secara massif: pasukan dikirim ke berbagai wilayah ekspansi. Konsekuensinya, para prajurit
di garis depan mengalami persoalan serius terkait seberapa lama seorang prajurit bisa
bertahan secara normal tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya. Sebagai pemimpin
yang peduli dan berempati dengan persoalan umatnya, Umar bin Khattab menilai persoalan
ini sangat serius. Dia ingin memastikan seberapa lama prajurit bisa bertahan tidak
berhubungan dengan istrinya, dan juga seberapa lama seorang istri mampu bertahan ditinggal
suaminya. Lalu Umar bin Khattab melakukan penyelidikan, sejenis polling. Sejumlah istri
prajurit ditanyai: berapa lama sanggup bertahan ditinggal suaminya? Para prajurit dimintai
jawaban seberapa lama mampu bertahan tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya.
Jawaban para prajurit dan istri-istrinya tentu tidak seragam. Ada yang menjawab mampu
bertahan selama satu tahun. Sebagian menjawab bisa bertahan selama enam bulan. Lainnya
menjawab hanya bisa bertahan maksimal tiga bulan, dua bulan. Berdasarkan hasil investigasi
itulah, Umar mengambil kebijakannya yang sangat populer: rolling (pengiriman dan
penarikan) prajurit ke dan dari medan tempur maksimal enam bulan. Beberapa riwayat
menyebutkan, kebijakan itu kemudian direvisi lagi menjadi maksimal 4 bulan. Kebijakan
Umar bin Khattab tersebut merupakan empati, menyelami fakta dan dan persoalan yang
dialami oleh orang-orang yang dipimpinnya. Kebijakan Umar itu dianggap sebagai sebuah
terobosan seorang pemimpin yang berempati, karena persoalan ini memang tidak ada dalil
langsungnya di dalam Quran maupun Sunnah Nabi. (*) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, 2002: empati: keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi
dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain).
Syarif
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sabdullah/pemimpin-kepemimpinan-07-empati-
memaksimalkan-fungsi-kepemimpinan_56b54c1d3497736505e75668

Anda mungkin juga menyukai