Anda di halaman 1dari 7

RESUME BUKU

MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA


DAN TATA KELOLA BADAN USAHA MILIK DESA
Karya Drs. Yayat Rukayat, M. Si

Dosen Pengampu:
Dr. Wawan Gunawan S. Sos., M. Si

Mata kuliah Pembangunan Ekonomi Pedesaan

Disusun oleh:
Ajeng Ayu Putri Audah
6111181087
Ilmu Pemerintahan B2

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
CIMAHI
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mampu melahirkan


paradigma baru dalam pembangunan, bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan
tidak harus selalu ke kota dengan Pembangunan Merata, bisa bisa memberikan kehidupan yang
layak, menjanjikan kesejahteraan dan Kemakmuran bagi warganya. Pada posisi ini sesungguhnya
desa tengah didorong menjadi pusat pembangunan nasional dalam upaya menciptakan pemerataan
dan percepatan pembangunan yang berkeadilan.
Pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal serta pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Masyarakat desa dapat menentukan arah
pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan pengembangan potensi yang ada, melalui proses ini
diharapkan dapat tercipta pembangunan yang ber keadilan, Merata dan ber Kesinambungan untuk
kesejahteraan dan Kemakmuran warga Desa.
Menurut kementerian keuangan republik Indonesia sejak tahun 2015 hingga tahun 2019
dana yang diterima per desa meningkat setiap tahunnya, dengan rata rata mencapai ADD hampir
1 Triliun Rupiah per tahun yang diterima desa, pemerataan dan percepatan pembangunan yang ber
keadilan dapat segera terwujud serta masyarakat Desa tidak perlu lagi berbondong ke kota untuk
mencari kehidupan yang lebih layak. Namun tampaknya anggaran yang entar kan pemerintah pusat
ke desa di Indonesia belum memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan
dan Kemakmuran masyarakat desa kondisi ini bisa terjadi karena pemerintah desa belum mampu
mengelola anggaran pembangunan yang diberikan pemerintah pusat secara optimal. Sehingga
pembangunan di desa tidak memiliki arah yang jelas atau hanya sekedar melaksanakan tugas agar
anggaran yang dikucurkan habis dibelanjakan.
Persoalan manajemen pemerintahan desa menjadi persoalan serius yang dihadapi
perangkat pemerintahan desa. Dalam pengertian lain pemerintahan desa baik pemerintah desa
maupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai Representasi masyarakat dalam
pemerintahan desa belum dapat menjalankan fungsinya secara baik. Sementara disisi lain
pengawasan masyarakat cenderung lemah dengan berbagai keterbatasan termasuk tidak
transparannya pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa.

1.2 Pemerintahan Desa di Indonesia dari Masa ke Masa

- Pemerintahan Desa pada Masa Kolonialisme


Ketika masa penjajahan VOC, pemerintahan desa tidak mendapatkan perhatian yang layak.
Bahkan pemerintah desa yang dipimpin kepala desa hanya dijadikan objek eksploitasi VOC. Para
penjajah VOC menjalin hubungan erat dengan para raja raja atau bupatibupati pribumi yang
keberadaannya sangat di hormati oleh para kepala desa dan perangkat pemerìntah desa lainnya.
Pada masa ini, dikeluarkan beberapa peraturan tentang desa oleh VOC. Pertama, Indische
Stautsregeling pada 2 September 1854 (Staatblaad 1854 No. 2. jo 1). Pasal 128 Undang-Undang
Ketatanegaraan Hindia-Belanda ini menempatkan desa sebagai wilayah-wilayah administrasi yang
tidak memiliki otonomi. Kedua, Inlandsche Gemeente Ordonantie (1GO) pada I Mel 1906
(Stoatbloud 1906 No.83) yang hanya berlaku untuk desa desa di Jawa dan Madura. Dalam
ordonantie tersebut salah satu ketentuan yang sangat menonjol adalah mengenai kuatnya
kedudukan hukum adat dan kolektivitas pemerintahan desa (Maschab, 2013: 54). Dengan
diberlakukannya 1GO 1906 keberadaan desa-desa dl Jawa dan Madura secara legal sernakin
terintegrasi dalam struktur pemerintahan kolonial.
Dari berbagai peraturan perundang undangan mengenai desa bumiputera Yang berbeda
beda tersebut, terdapat tiga sifat yang penting dari kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda
dalam pengaturan pemerintahan desa, yaitu legalistik atau sekedar memberikan legitimasi, statis
atau memelihara status quo, serta parsial atau ditetapkan secara khusus untuk daerah daerah
tertentu yang berbeda satu sama lain.
Dengan demikian pada masa penjajahan, baik pada masa kolonial Belanda maupun Jepang
pemerintah desa hanya dijadikan alat kepentingan penjajah. Baik dalam rangka pengumpulan
sumber daya alam yang dihasilkan masyarakat desa, maupun kebutuhan tenaga kerja yang bekerja
dalam berbagai proyek kerja paksa yang Dilaksanakan pada penjajah. Pemerintah desa terlebih
masyarakat desa tidak berdaya dan hidup dalam tekanan dan terjajah.

- Pemerintahan Desa Masa Orde Lama


Beberapa peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan desa yang diterbitkan pada masa
itu adalah:

a. UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah


Keberadaan pernerintah desa dalam UU Nomor 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah diakui sebagai sebuah daerah otonom yang merniliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Selain menetapkan tiga susunan daerah sebagai pemerintahan
otonom, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 menetapkan kewedanaan dan kecamatan sebagai
satuan administratif (Dekonsentrasi). Tampak dalam undang-undang ini pemerintah ingin
memposisikan pemerintah desa sebagai tumpuan pernerintah daerah dalam penyelenggara
pemerintahan.

b. UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok pokok pemerintahan desa


Lebih lanjut, pengakuan pemerintahan desa sebagai daerah otonom yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ¡ni secara tegas disampaikan bahwa wilayah Republik
Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil yang sebanyak-banyaknya dibagi tiga tingkat, yaitu:
1. Daerah Tingkat ke I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya,
2. Daerah Tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan
3. Daerah Tingkat ke III
Kendati dalarn UU Nomor 1 tahun 1957 keberadaan desa sebagai pemerintahan otonom namun
dalam pelaksanaan nya pemerintah desa tidak memiliki kewenangan untuk mengatur rumah
tangganya sendiri.
Sebelum UU Nomor 6 tahun 1959 diberlakukan, terjadi gejolak politik yang merubah
ketatanegaraan RI secara fundamental. Melalui Dekrit Presiden 5 JuIi 1959, UUD 1945 kembali
diberlakukan. Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka pemerintahan daerah tidak lagi
mengacu pada UU Nomor 1 tahun 1957 yang merupakan pelaksanaan dan UUD Sementara tahun
1950. Dan untuk mengatasi kekosongan hukum ketika itu, dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor
6 tahun 1959 tentang Pernerintah Daerah Kemudian isinya disempurnakan dan dimuat dalam
Lembaran Negara 1959 Nomnor 129 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1896 (Ian yang
berlaku surut mutai 7 September 1959.

c. UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok pemerintahan Daerah


Pemerintah Indonesia mencoba merumuskan kembali keberadaan desa melalui UU Nomor
18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Sebelum disahkan menjadi UU. Pasal
1 ayat (4) UU Nomor 18 Tahun 1965 menyebutkan yang dimaksud dengan Desa atau daerah yang
setingkat dengan itu adalah kesatuan masyarakat hukum dengan kesatuan penguasa yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 18
UUD 1945. Kernudian dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan, sesuatu atau beberapa desa atau daerah
yang setingkatdengan desa, dengan mengingat kehidupan masyarakat dan kemajuan
perkembangan sosial ekonominya serta dengan memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat
dan susunan ash yang masih hidup dan berlaku, dapat dibentuk menjadi Daerah Tingkat III.

d. UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja


Otonomi desa juga selanjutnya ditegaskan dalam UU Nornor 19 Tahun 1965 tentang
Desapraja. Disebutkan dalam pasal 1 yang dimaksud Desapraja ialah kesatuan masyarakat hukum
yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih
penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Pada dasarnya UU Nomor 19 Tahun 1965 ini
dimaksudkan untuk menggantikan semua peraturan perundang-undangan mengenal tata pedesaan
yang masih mengandung sifat-sifat kolonial feodal yang masih berlaku. Maka semua peraturan
mengenai Pemerintahan Desa yang sebelum itu dicabut.
Pada kenyataannya pembangunan desa tetap diatur dan ditentu kan oleh pemerintahan di
atasnya. Pemerintah desa hanya dijadikan kepanjangan tangan pemerintah di atasnya untuk
mensosialisasikan berbagai kepentingan pemerintah pusat. Bahkan dalam pengelolaan sumber
daya alam milik desa misalkan, pemerintah desa tidak memiliki hak kelola, sehingga sulit untuk
dikatakan pemerintah desa dapat mandin dalam menjalankan roda pemerintahan.

- Pemerintahan Desa di Era Orde Baru


Memasuki masa Orde Baru keberadaan pemerintahan desa diatur dalam dua produk
hukum, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang merupakan pengganti UU Nomor
19 Tahun 1965 tentang Desapraja. UU Nomor 19 tahun 1965 ini tidak banyak memberikan
perubahan kondisi pemerintahan desa ketika itu. Bahkan banyak pihak menilai, UU ini menjadi
tidak relevan dengan kofilidasi yang ada dan cenderung menghambat pembangunan.

Soetandyo mencatat, terdapat dua hal pokok yang patut dicatat terhadap kebijakan dasar
UU Nomor 5 Tahun 1979. Pertama, undang-undang itu tercipta sebagai bagian dan strategi
developmentalism kekuasaan sentral yang terbilang bureaucratic authoritarian dengan
menggunakan instrumental di bidang hukum, dengan mengkonsepkan hukum sebagai tool of
social engineering. Kedua, Undang-undang ini mengabaikan varian-varian yang ada dalam
kehidupan pedesaan di seluruh wilayah yurisdiksi Republik Indonesia. Oleh sebab itu, lalu
memformat secara koersif satuan-satuan pedesaan di Indonesia ¡ni tanpa kecuali untuk
diseragamkan dengan menuruti model pemerintahan desa yang telah berkembang dan
terkonstruksi di, dan atau untuk desa-desa Jawa.

- Pemerintahan Desa di Era Reformasi


Reformasi tahun 1998 memberikan era baru bagi keberadaan pemerintah desa di Indonesia.
Pengakuan hak dan kesatuan masyarakat hukum kembali rnendapatkan tempatnya dalam
pembangunan kendati dalarn UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah direduksi
menjadi bagian pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pengaturannya. Dengan kata lain UU
Nomor 22 tahun 1999 belum menempatkan desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
otonom dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Akhirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diganti
dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Seperti halnya UU
Nomor 22 Tahun 1999, pengaturan tentang Desa juga menjadi bagian dan UU Nomor 32 Tahun
2004. Karena diatur sebagal bagian dan UU Nomor 32 Tahun 2004, maka ketentuan mengenai
Desa dalam UU tersebut hanya mengatur hal-hal pokok.
Lahirnya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa memberikan harapan Iebih
terhadap perkembangan pemerintahan desa di Indonesia. Dalam Bab penjelasan UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa pengaturan Desa berasaskan: rekognisi (Pengakuan
terhadap hak asal usul sidiaritas (Penetapan kewenangan berskala lokal), keberagamanan
(Pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilal yang laku, kebersamaan, kegotongroyongan,
kekeluargaan, muswarah, dernokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, berdayaan, dan
keberlanjutan.
Dengan demikian melalui UU Nomor 6 tahun 2014 pemerintah desa memiliki kewenangan
sendiri (Bukan merupakan kewenangan penugasan maupun residu dan pemerintahan di atasnya)
dalam mengelola pembangunan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa
yang diatur dan diurus sendiri oleh Desa. Selain kewenangan tersebut, pemerintahan desa juga
memiliki kewenangan lain yang merupakan kewenangan berdasarkan tugas dan pemerintah pusat,
pernerintah daerah provinsi atau pemerintah Kabupaten/Kota yang dalam pengelolaannya diurus
oleh Desa.
1.3 Problem Manajemen Pemerintahan Desa
UU Nomor 6 Tahun 2014 membawa harapan baru terwujudnya desa yang mampu
mengelola pemerintahannya sendiri sehingga secara khusus pemerataan dan percepatan
pembangunan desa dapat segera terwujud. UU Desa memberikan hak dan wewenang secara penuh
kepada desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri, pemerintah desa bersama masyarakat dapat
merencanakan dan menentukan arah pembangunan nya sendiri sesuai kebutuhan. Sementara
pemerintah di atasnya lebih bersifat supporting Dan monitoring atau pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan desa agar dapat berjalan selaras dengan visi dan misi pembangunan
nasional.
Pemerintahan desa memiliki kewajiban yang tidak ringan yang diamanatkan UU Desa,
salah satunya adalah menerapkan papa kelola pemerintahan yang baik sebagai salah satu syarat
mencapai pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Sehingga makna pemerintahan desa
sebagai Suatu kesatuan masyarakat hukum yang menyelenggarakan pembangunan atas prakarsa
masyarakat dapat terwujud.
Dilihat dari kondisi sumber daya manusia yang terbatas, baik secara kuantitas maupun
kualitas. Disisi lain undang undang desa menciptakan ruang publik yang lebih dinamis. Pelayanan
yang optimal, keterbukaan, transparansi, Aspiratif dan demokratis adalah serangkaian tuntutan
yang akan hadir dalam dinamika pemerintahan desa. Di sinilah kemudian menjadi potensi konflik
ketika para penyelenggara pemerintahan desa tidak mampu mengelolanya dengan baik.
Salah satu isu yang kerap mematik konflik adalah Anggaran Dana Desa (ADD) Yang
dikucurkan pemerintah pusat kepada pemerintah desa, Hal itu merupakan kebijakan pemerintah
pusat dalam rangka pelaksanaan undang-undang desa. Anggaran tersebut menjadi sumber
pendapatan desa untuk membiayai jalannya roda pemerintahan desa.
Kapasitas pemerintahan desa hingga saat ini masih memiliki banyak kelemahan, baik
dalam hal manajemen pemerintahan desa maupun kompetensi kepala desa dan perangkat desa.
Dalam hal pengelolaan keuangan desa permasalahan muncul ketika alokasi dana desa yang
diterima tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Dalam penerapan Asas proporsional pemutakhiran dan Akurasi data dan wilayah demo
Grafi merupakan syarat penting yang harus dipenuhi. Namun pada kenyataannya di lapangan
penentuan alokasi dana desa berdasarkan pada data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
Yang berasal dari daerah seringkali kurang up date, bahkan merupakan data 2-3 tahun yang lalu.
Akibatnya Pemetaan kondisi demo Grafi wilayah pedesaan menjadi tidak sesuai dan timpang
dalam menentukan alokasi dana desa. Ketimpangan ini tentu menjadi problem di kemudian hari
bagi pemerintah desa sebagai penanggungjawab pengelolaan.

Serta yang kerap menjadi masalah dalam pengelolaan keuangan desa adalah seringkali
alokasi dana desa tertahan di khas pemerintah kabupaten atau kota, sehingga menyebabkan
beberapa agenda pembangunan tidak dapat dilaksanakan dengan tepat waktu. Dalam banyak
kasus, penundaan pencairan alokasi dana desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada kas
pemerintahan desa memunculkan pandangan negatif, mulai dari dinilai mempersulit pencairan
hingga adanya kepentingan-kepentingan tertentu oknum pemerintah kabupaten/kota.
Untuk menghindari kejadian penyelewengan dana desa pemerintah melalui kementerian
dalam Negeri dan kementerian keuangan serta kementerian desa sepakat bahwa pencairan dana
desa dilakukan langsung melalui kas negara rekening pemerintah desa tanpa melalui jenjang
kabupaten/kota Hal ini dapat menjamin kecepatan dan Akurasi dana desa yang diterima
pemerintah desa. Dengan demikian pemerintah desa dapat langsung mengelola dana desa demi
memperkuat Ketahanan ekonomi desa.

Lemahnya pengelolaan keuangan oleh aparatur pemerintah desa juga menjadi


permasalahan yang kerap Berujung di balik jeruji penjara. Dalam kasus aparatur desa maupun
kepala desa di penjara karena menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi. Lemahnya
kemampuan dalam pengelolaan keuangan semakin parah ketika pengawasan dari masyarakat
maupun BPD Juga lemah. Akibatnya dana desa tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sudah menjadi rahasia umum
bahwa dana desa tidak banyak memberikan manfaat bagi pembangunan masyarakat namun lebih
kental nuansa politis nya dibanding semangat pembangunan yang berkeadilan.
Banyak kasus ditemukan penyusunan perencanaan pembangunan sering terjadi tanpa
memperhatikan dokumen perencanaan pemerintah daerah. Akibatnya pembangunan desa kurang
sejalan dengan pembangunan yang dilakukan pemerintahan kabupaten/kota. Tidak sedikit aparatur
pemerintahan desa masih bingung bentuk perencanaannya, apakah mengikuti model pengeluaran
anggaran (DPA) atau model Rencana Anggaran Belanja (RAB) dalam banyak kasus ditemukan
dalam sesuai dengan yang direncanakan akibatnya pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan
perencanaan.
Dalam perencanaan pembangunan adalah pembangunan desa dengan tata ruang yang telah
ditetapkan. Hal ini seringkali disebabkan minimnya sosialisasi tata ruang daerah hingga ke tingkat
desa akibatnya pembangunan desa dapat melanggar tata ruang yang berdampak cukup signifikan
terhadap keberlangsungan pembangunan daerah.
Menjadi penyebab utama hambatan komunikasi antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten atau kota Dan pemerintah desa, penyebab utama hambatan
komunikasi selain perbedaan Haluan politik antara pemerintah desa dan pemerintah di atasnya Hal
ini menyebabkan koordinasi pembangunan juga terhambat.
Permasalahan lainnya yaitu tumpang Tindih lembaga yang menangani desa dan regulasi
juga menjadi persoalan dalam menjalankan pemerintahan desa. Kedua peraturan memberikan
kewenangan untuk mengatur aspek dalam undang undang desa akibatnya menyebabkan tumpang
Tindih kewenangan antara kementerian dalam Negeri dengan kementerian desa dan ini berdampak
serius terhadap implementasi di lapangan. Kondisi tumpang Tindih juga terjadi dalam penyusunan
indeks untuk ukur kemajuan pembangunan desa. PDTT Mengeluarkan indeks membangun sebagai
alat ukur kemajuan desa, sementara Dilain pihak badan perencanaan pembangunan nasional juga
mengeluarkan indeks indeks pembangunan desa. Ironisnya kedua indeks ini juga memiliki
orientasi yang sama yaitu tercapainya target 5000 desa maju sebagaimana ditetapkan dalam
RPJMN 2014-2019.

Anda mungkin juga menyukai