PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus dicari etiologi
yang spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta (termasuk plasenta akreta dan variannya),
sisa plasenta, dan laserasi traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar
perdarahan post partum. Dalam 20 tahun terakhir, plasenta akreta mengalahkan atonia
uteri sebagai penyebab tersering perdarahan post partum yang keparahannya
mengharuskan dilakukan tindakan histerektomi. Berdasarkan latar belakang di atas maka
kami akan membahas secara khusus mengenai post partum dengan komplikasi
perdarahan.
B. Tujuan
TEORI
A. Defenisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah
bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Kondisi
dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang
terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari
normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh
lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90
mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 10 g/dL (Bobak, 2004) .
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam
setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post
partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah
anak dan plasenta lahir (Mochtar, R. 1998).
B. Etiologi
Menurut Brunner dan Suddart (1996) penyebab umum perdarahan postpartum
adalah:
1. Atonia uteri
2. Retensi plasenta
3. Sisa plasenta dan selaput ketuban
a. Pelekatan yang abnormal (plasaenta akreta dan perkreta)
b. Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
4. Trauma jalan lahir
a. Episiotomi yang lebar
b. Lacerasi perineum, vagina, serviks, forniks dan rahim
c. Rupture uteri
5. Penyakit darah
Kelainan pembekuan darah misalnya afibrinogenemia/hipofibrinogenemia.
Tanda yang sering dijumpai :
a. Perdarahan yang banyak
b. Solusio plasenta
c. Kematian janin yang lama dalam kandungan
d. Pre eklampsia dan eklampsia
e. Infeksi, hepatitis dan syok septik
6. Hematoma
7. Inversi uterus
8. Subinvolusi uterus
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinis umum yang terjadi adalah kehilangan darah dalam jumlah yang
banyak (> 500 ml), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah,
letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, dan
mual (Soetomo, 2001).
a. Atonia Uteri
Gejala yang selalu ada : uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera
setelah anak lahir (perarahan postpartum primer). Gejala yang kadang-kadang timbul :
syok (tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah,
mual dan lain-lain).
b. Robekan jalan lahir
Gejala yang selalu ada : perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi
lahir, kontraksi uterus baik, plasenta baik. Gejala yang kadang-kadang timbul : pucat,
lemah, dan menggigil.
c. Retensio plasenta
Gejala yang selalu ada : plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera,
kontraksi uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul : tali pusat putus akibat traksi
berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan.
d. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)
Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah)
tidak lengkap dan perdarahan segera. Gejala yang kadang-kadang timbul : uterus
berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
e. Inversio uterus
Gejala yang selalu ada : uterus tidak teraba, lumen vagina terisi massa, tampak tali pusat
(jika plasenta belum lahir), perdarahan segera, dan nyeri sedikit atau berat. Gejala yang
kadang-kadang timbul : syok neurogenik dan pucat.
D. Klasifikasi
Menurut Bobak (2004) perdarahan post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
Berdasarkan penyebabnya :
E. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan
sirkulasi kesana, atonia uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus
menurun sehingga pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi terus menerus. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada
keadaan shock hemoragik (Sarwono, P. 1997).
1. Perdarahan Postpartum akibat Atonia Uteri
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari
rahim dan sebagian lagi belum; karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia
uteri. Atonia uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama; pembesaran
rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar;
persalinan yang sering (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat
terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim
ke bawah sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila
perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan
banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan karena
atonia uteri, rahim membesar dan lembek.
a. Inversio uteri ringan: fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun
belum keluar dari ruang rongga rahim.
b. Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.
c. Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar
vagina.
a. Robekan Serviks
Persalinan Selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga servik seorang
multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan servik
yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus.
Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir
lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan
jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.
b. Robekan Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak
sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering
terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus
diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan
speculum.
c. Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi
digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah
dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipito bregmatika.
Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang
berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat.
F. Komplikasi
1. Syok hemoragie
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran
akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah
ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat.
a. Pengkajian
b. Mengidentifikasi penyebab dari syok hemorogie
c. Melakukan tindakan mandiri
d. Melakukan tindakan kolaborasi.
Apabila hal ini tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka akan
menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan selanjutnya merusak bagian
korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka akan
menyebabkan ibu tidak terselamatkan.
2. Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan perubahan
hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut
menjadi masalah apabila tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga
akan berdampak juga pada asupan ASI bayi.
3. Sindrom Sheehan
Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan postpartum sampai syok.
Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis
kelenjar hipofisis. Nekrosis kelenjar hipofisis dapat mempengaruhi sistem endokrin.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pencegahan
a. Obati anemia dalam masa kehamilan
b. Pada pasien yang mempunyai riwayat perdarahan sebelumnya, agar
dianjurkan untuk menjalani persalinan di RS
c. Jangan memijat dan mendorong uterus sebelum plasenta lepas
2. Penanganan
a. Tentukan CGS atau skala kesadaran
b. Bila syok dan koma maka kolaborasikan terapi intravena berupa darah
c. Kontrol perdarahan dengan pemberian O2 3 liter/menit
3. Penatalaksanaan secara umum saat terjadinya perdarahan
a. Hentikan perdarahan
b. Cegah terjadinya syock
c. Ganti darah yang hilang
4. Penatalaksanaan khusus:
a. Tahap I (perdarahan yang tidak terlalu banyak): berikan uterotonika, urut/ massage
pada rahim, pasang gurita.
b. Tahap II (perdarahan lebih banyak): lakukan penggantian cairan (transfusi atau infus),
prasat atau manuver (Zangemeister, frits), kompresi bimanual, kompresi aorta,
tamponade uterovaginal, menjepit arteri uterina.
c. Bila semua tindakan di atas tidak menolong: ligasi arteria hipogastrika, histerekstomi.
(Prawirohardjo, 1997)
I.Terapi
Dengan adanya perdarahan yang keluar pada kala III, bila tidak berkontraksi
dengan kuat, uterus harus diurut :
1. Pijat dengan lembut daerah uterus, sambil menyokong segmen uterus bagian bawah
untuk menstimulasi kontraksi dan kekuatan penggumpalan. Waspada terhadap kekuatan
pemijatan. Pemijatan yang kuat dapat meletihkan uterus, mengakibatkan atonia uteri
yang dapat menyebabkan nyeri. Lakukan dengan lembut. Perdarahan yang signifikan
dapat terjadi karena penyebab lain selain atonia uteri.
2. Dorongan pada plasenta diupayakan dengan tekanan manual pada fundus uteri. Bila
perdarahan berlanjut pengeluaran plasenta secara manual harus dilakukan.
3. Pantau tipe dan jumlah perdarahan serta konsistensi uterus yang menyertai selama
berlangsungnya hal tersebut. Waspada terhadap darah yang berwarna merah dan uterus
yang relaksasi yang berindikasi atoni uteria atau fragmen plasenta yang tertahan.
Perdarahan vagina berwarna merah terang dan kontra indikasi uterus, mengindikasikan
perdarahan akibat adanya laserasi.
4. Berikan kompres es salama jam pertama setelah kelahiran pada ibu yang beresiko
mengalami hematoma vagina. Jika hematoma terbentuk, gunakan rendam duduk setelah
12 jam.
5. Pertahankan pemberian cairan IV dan mulai cairan IV kedua dengan ukuran jarum 18,
untuk pemberian produk darah, jika diperlukan. Kirim contoh darah untuk penentuan
golongan dan pemeriksaan silang, jika pemeriksaan ini belum dilakukan diruang
persalinan.
6. Pemberian 20 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan RL atau saline normal, terbukti
efektif bila diberikan infus intravena + 10 ml/mnt bersama dengan mengurut uterus
secara efektif.
7. Bila cara diatas tidak efektif, ergonovine 0,2 mg yang diberikan secara IV, dapat
merangsang uterus untuk berkontraksi dan berelaksasi dengan baik, untuk mengatasi
perdarahan dari tempat implantasi plasenta.
8. Pantau asupan dan haluaran cairan setiap jam. Pada awalnya masukan kateter foley
untuk memastikan keakuratan perhitungan haluaran.
9. Berikan oksigen malalui masker atau nasal kanula. Dengan laju 7-10 L/menit bila
terdapat tanda kegawatan pernafasan.
a) Pasang infus.
b) Pemberian uterotonika intravena tiga hingga lima unit oksitosina atau
ergometrin 0,5 cc hingga 1 cc.
c) Kosongkan kandung kemih dan lakukan masase ringan di uterus.
d) Keluarkan plasenta dengan perasat Crede, bila gagal, lanjutkan dengan;
e) Plasenta manual (seyogyanya di rumah sakit).
f) Periksa apakah masih ada plasenta yang tertinggal. Bila masih berdarah;
g) Dalam keadaan darurat dapat dilakukan penekanan pada fundus uteri atau
kompresi aorta.
Untuk robekan yang lokasinya dalam atau sulit dijangkau, berilah tampon pada
liang senggama/vagina dan segera dirujuk dengan terlebih dahulu memasang infus
dan pemberian uterotonika intravena (Soetomo, 2001).
J. Pathway
Proses persalinan – kl pembukaan 0-lengkap kll lengkap sampai bayi lahir > kel pemb
darah
KIII > 30 menit plasenta belum lahir
>Sisah plasenta > kontraksi uterus terganggu
BAB III
KOMPLIKASI PERDARAHAN
A. Pengkajian
Identitas pasien :
1. Nama pasien : Ny. M.s
2. Umur : 32th
3. Status : kawin
4. Agama : kristen
5. Warga negara : indonesia
6. Pendidikan : SMA
7. Pekerjaan : IRT
8. Dx medis : post partum dengan komplikasi perdarahan
B. Diagnosa Keperawatan
Rencana tindakan:
a. Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap terlentang
Rasional : dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan
memungkinkan darah keotak dan organ lain
e. Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas
sympisis
Rasional : massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan
placenta, satu tangan diatas sympisis mencegah terjadinya inversio uteri
i. Berikan antibiotik
Rasional : antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan
Rencana keperawatan :
b. Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
Rasional : dengan vaso kontriksi dan hubungan ke organ vital, sirkulasi di jaringan
perifer berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
Rencana tindakan :
Rencana tindakan :
a. Catat perubahan tanda vital
Rasional : perubahan tanda vital (suhu) merupakan indikasi terjadinya infeksi
b. Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, dan
nyeri panggul
Rasional : tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang
tidak terdeteksi
f. Tindakan kolaborasi :
a) Berikan zat besi (Anemi memperberat keadaan)
b) Beri antibiotika (Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan
infeksi).
Rencana tindakan :
e. Tindakan Kolaborasi:
a) Pemberian cairan infus/ transfusi
D. Pelaksanaan
E. Evaluasi
BAB IV
PENUTUP
A. kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perdarahan
postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir.
Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah
perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta
lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, 1998). Post partum/ puerperium adalah masa
dimana tubuh menyesuaikan, baik fisik maupun psikososial terhadap proses melahirkan.
Masa post partum dibagi dalam tiga tahap : Immediate post partum dalam 24 jam
pertama, Early post partum period (minggu pertama) dan Late post partum period
(minggu kedua sampai minggu ke enam). Potensial bahaya yang sering terjadi adalah
pada immediate dan early post partum period sedangkan perubahan secara bertahap
kebanyakan terjadi pada late post partum period. Bahaya yang paling sering terjadi itu
adalah perdarahan pasca persalinan atau HPP (Haemorrhage Post Partum).
B. Saran
Diharapkan askep ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam memberikan
pelayanan keperawatan maternitas dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.