Anda di halaman 1dari 3

“dunia penyiaran yang bermartabat”.

Sudah lama Komisi Penyiaran Indonesia mempersiapkan dirinya sebagai lembaga independen
yang berperan sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, yaitu dalam fungsi
pengawasan terhadap isi siaran sambil sekaligus melayani pengaduan masyarakat terhadap isi
siaran.
Pada kenyataannya, fungsi pengawasan dapat bersifat formal dan informal. Akan tetapi,
mengingat peran KPI amat bersifat aksiologis, yaitu dalam rangka menjaga moral bangsa, sifat
formal dan informal di balik fungsi pengawasan tersebut oleh KPI tampak disinergikan menjadi
suatu mekanisme pengawasan yang benar-benar ampuh, sehingga KPI tidak bisa didentikkan
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Hal di atas, oleh KPI Pusat periode 2016-2019 diwujudkan melalui pembentukan unit baru
bernama Unit Penelitian dan Pengembangan , yang sejak awal pembentukannya telah bergegas
menetapkan format survei yang disebut Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. Program siaran
mesti menggambarkan kebhinnekaan serta menghormati keragaman. Ketiga, landasan sosiologis.
Konten siaran mesti menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan antarsesama.
Keempat, landasan yuridis. Program siaran wajib mematuhi peraturan perundangan-undangan,
yaitu UU Penyiaran No. 32/2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran .
Pada 2018, KPI telah melakukan survei sebanyak tiga kali. Survei Periode I berlangsung pada
Januari-Maret yang hasilnya secara umum menunjukkan bahwa dari 8 kategori program siaran
baru 4 program siaran yang memenuhi standar KPI . Alhasil, program siaran tentang keempat hal
tersebut, pada hakikatnya dapat disebut sebagai cerminan aturan-aturan tersebut, sehingga tentu
saja bersifat amat Indonesia. Sementara itu, survei Periode III, yang berlangsung pada Juli-
September, ternyata memperlihatkan fenomena yang berbeda dari dua periode sebelumnya.
Pasalnya, dari 8 kategori program siaran, 4 program siaran yang telah memenuhi standar kualitas
KPI adalah program Berita . Sementara itu, 4 program siaran lainnya yang tidak memenuhi
standar kualitas KPI justru adalah program siaran Anak . Perbedaan fenomena ini, setidaknya
mencerminkan harapan terbesar masyarakat terhadap kualitas seluruh program siaran televisi
Indonesia.
Dengan demikian, mungkin bisa dikatakan bahwa keempat program siaran yang telah memenuhi
standar KPI tersebut (Berita, Wisata Budaya, Religi, dan Talkshow), jika penayangannya tetap
dilandaskan dalam konteks etika berbangsa dan bernegara, sebagaimana telah dijelaskan,
berpeluang menjadi “mahkota” program siaran. Pasalnya, nilai-nilai aksiologis di baliknya akan
terus-menerus memperbaiki kualitas kehidupan manusia Indonesia. Sementara itu, program
siaran lainnya yang merosot dari standar kualitas KPI, mesti dijadikan catatan penting oleh para
pengelola lembaga penyiaran kita. Bukankah kita sudah memahami bahwa program siaran Anak
mestinya akan merangsang kognisi anak, program siaran Variety Show mestinya akan mengasah
kepekaan sosial masyarakat, program siaran sinetron mestinya tidak dimuati aspek kekerasan,
dan program siaran infotainmen mestinya menghormati kehidupan pribadi. Semua hal ini, tentu
saja, merefleksikan nilai-nilai Pancasila sebagai etika berbangsa dan bernegara.
Masyarakat Konsumsi
Sebenarnya, tidak ada yang salah dalam “kehidupan” konsumsi, sejauh masyarakatnya tidak
melepaskan diri dari tradisinya. Akan tetapi, yang terjadi malah «mengerikan». Kehidupan
masyarakat kotakota besar diubah secara sistemik oleh suatu kekuatan yang disebut oleh
Baudrillard sebagai rezim mondialisasi. Implikasinya, kita amat tergantung padanya.

Ketergantungan pada “dewa baru” itu sudah barang tentu membuat kita selain hidup terasing
juga terputus dengan rantai tradisi. MIngin menyaksikan pergelaran wayang, contohnya, kita
tidak perlu lagi begadang, tetapi cukup dua-tiga jam saja. Dampaknya, wayang, yang secara
tradisi penuh bermuatan nilai-nilai luhur bangsa, kini tinggal menjadi komoditas hiburan semata.
Ingin membeli mobil, contoh lain, kita tinggal meminta tolong pada «dewa baru» itu, tanpa perlu
bertatap muka dengan penjualnya.

Begitu pula dalam dunia pertelevisian, “dewa baru” tersebut, misalnya handphone, tablet, dan
komputer, adalah wahana menonton program siaran yang dianggap paling efektif-efisien.
Dituntut oleh kenyataan tentang perubahan perilaku konsumen bahwa dewasa ini tidak perlu lagi
menonton program siaran televise dengan cara duduk berjam-jam di depan pesawat televisi, tak
heran jika masyarakat konsumsi tidak lagi menganggap pesawat televisisebagai sesuatu yang
«sakral», misalnya sebagai arena perekat nilainilai kekeluargaan atau sebagai pengembang sikap
kritis . Yang penting mampu menghibur habis-habis individu per individu konsumen. Hal inilah
yang sebenarnya menjadi alasan epistemologis KPI ketika menyebutkan bahwa program siaran
Berita, Variety Show, Sinetron, dan Infotainmen belum memenuhi standar kualitas yang
ditetapkan KPI.

Dampak dari derasnya iklan gadget baru, contohnya, cenderung membuat kita bermain-main
dengan produk baru tersebut daripada menggunakannya berdasarkan fungsi utamanya sebagai
alat komunikasi. Tak heran jika kita selalu termotivasi memiliki gadget baru. Padahal,
kepedulian itu sama sekali tidak nyata dan tidak etis, selain bersifat semu, dipaksakan, dan
dipalsukan. Contohnya, iklan selalu disimbolkan melalui ungkapan bahasa , yang di dalam
tradisi kita sejatinya menjadi anasir penting, dalam rangka mendekatkan perasaan.

Dalam ungkapan lain, rezim globalisasi itu mampu menjual gaya hidup konsumtif kepada
bangsa-bangsa yang mereka anggap melarat dan miskin. Dengan bahasa yang lembut dan
bersahabat, yang ditopangkan pada kehebatan teknologi komunikasi, rezim itu berhasil memutus
rantai tradisi bangsa-bangsa yang mereka sasar, dan kemudian, sebagaimana telah disebutkan,
melahirkan suatu masyarakat baru bernama masyarakat konsumsi. Melalui produk film mereka,
misalnya, Superman, Batman, dan Ironman, kita tahu telah menggantikan posisi Gatot Kaca,
Arjuna, dan Bima. Tak heran, jik tayangan talkshow tentang politik, misalnya, lebih didominasi
oleh semangat hitam-putih atau pro-kontra, sehingga lebih memunculkan aura perdebatan sengit
yang dibangun oleh semangat keliru logika.

Dampaknya, kita, bangsa kita, dapat diibaratkan sedang terkena tsunami informasi yang
membuat diri kita menjadi subjek-subjek yang berposisi lemah. Dalam pernyataan lain, menjadi
wajar jika KPI sebagai lembaga pengawas program siaran «melawannya» secara etis melalui
simbol bahasa lain yang jauh lebih ilmiah, berupa Survei Indeks Kualitas Program Siara Televisi,
karena memiliki patokan yang kritis reflektif. Dalam konteks ini, «perlawanan etis» yang
dimaksudkan, yang tercermin melalui buku ini, adalah upaya KPI dalam mengawasi program
siaran televisi agar lebih bermartabat, sejalan dengan nilainilai berbangsa dan bernegara. Bahkan,
sebagaimana telah disebutkan, KPI berbeda corak dengan lembaga lain yang juga berperan
sebagai pengawas.

Anda mungkin juga menyukai