Bab 11 Otonomi Daerah
Bab 11 Otonomi Daerah
OTONOMI DAERAH
PENGANTAR
Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diyakini akan mampu
mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memupuk demokrasi lokal. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan
pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara.
Berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu maka sangat tepat untuk
menerapkan otonomi daerah. Hal ini akan memberi peluang seluas luasnya bagi tiap
daerah untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di
masing masing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisi antar
daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Suasana kompetisi dan persaingan antar daerah di masa lalu hampir tidak dikenal
karena semua kebijakan fiskal, adminsitratif dan politis diatur dari pusat, Jakarta.
Hampir tidak ada ruang bagi eksekutif di daerah untuk menentukan kebijakan sendiri.
Bupati atau walikota yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
di daerah akan dapat ditolak oleh otoritas pusat jika tidak sesuai dengan kepentingan
politik elite penguasa di Jakarta. Jadi, eksekutif danlegislatif daerah pada masa itu
hanya jari jari kekuasaan pusat yang berada di daerah. Harapan normatif yang
dilekaktkan kepada DPRD sebagai wakil rakyat kandas dilumat sistim yang memang
dirancang untuk melestarikan status quo autoritarian di bawah rejim Orde Baru,
anggota dan badan legislatif dikooptasi.
Perjuangan reformasi yang kemudian berhasil menumbangkan rejim Orde Baru tahun
1997 sangat membuka perluang untuk merombak tata pemerintahan yang sentralisitik.
Satu diantara pilarnya reformasi adalah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.
Meski pemerintah pusat telah menjalankan desentralisasi sebagai konsekuensi
reformasi politik, namun desentralisasi dan otonomi daerah lebih dilihat sebagai
hadiah (kemurahan hati) pusat membagi kekuasaan kepada daerah. Bukan sebaliknya,
sebagai satu keharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling tepat bagi Indonesia
yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan keanekaragaman kultur lokal.
Kecurigaan terhadap adanya usaha usaha sengaja untuk kembali ke sentralisasi telah
mulai mencuat ketika pemerintah melakukanrevisi UU Otda No. 22/1999 dengan UU
Otda No.32/2004, yang sering dikaitkan dengan bentuk ketidakrelaan pusat
membiarkan daerah mengatur dirinya sendiri. Formula UU Pemda ini juga banyak
mengandung kontroversi, terutama dalam hal mekanisme pemilihan kepala daerah
yang tertuang dalam PP 06/2005.
Bab ini mengemukakan tiga tema sentral yang berkaitan langsung dengan otonomi:
pemahaman dasar tentang otonomi, partisipasi rakyat dalam otonomi, dan koflik
konflik di masa desentralisasi. Kami nilai pemilihan ketiga tema ini akan banyak
membantu dalam upaya kita memetakan dan mendalami persoalan persoalan otonomi
yang semakin hari justru semakin komplek.
C. Reformasi Sistem
Otonomi Daerah merupakan isu yang mengemuka di tahun 1990-an dan pada
akhirnya terealisasi pada tahun 1999 dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999.
Peralihan sistem yang semula sentralistik menjadi desentralistik idealnya dibarengi
pula dengan perubahan pola pikir. Hal ini penting dilakukan karena sistem tersebut
masingmasing memiliki filosofi dan logikanya sendiri. Indonesia telah berproses
cukup panjang dalam hal upaya menata hubungan antara pemerintah pusat dan
Pinjaman Daerah
Pemerintah daerah diberikan kewenangan berdasarkan UU No. 22/1999 untuk
mencari pinjaman baik domestik maupun dari luar negeri, dari institusi keuangan
multilateral dan agen pemberi bantuan dan pemerintah pusat seperti juga dari
institusi keuangan swasta.
Walaupun demikian, terdapat pembatasan tertentu yang dirancang dengan tujuan
untuk menjamin manajemen keuangan yang berhatihati pada pemerintah daerah.
Utang jangka panjang terbatas untuk pembangunan infrastruktur yang dapat
menghasilkan pendapatan, sedangkan utang jangka pendek hanya dapat digunakan
untuk operasi keuangan untuk penyesuaian aliran kas musiman. Utang jangka panjang
tidak boleh melebihi 75% pendapatan umum, rasio bunga dari utang jangka panjang
tidak boleh lebih dari 2,5 kali, dan utang jangka pendek tidak boleh melebihi 1/6 total
anggaran belanja.
Pinjaman internasional harus melalui pemerintah pusat. Ketentuan penting dalam
peraturan pemerintah adalah kewenangan Menteri Keuangan untuk mengawasi
pinjaman daerah untuk tujuan kebiakan ekonomi makro.
Berdasarkan UU No. 25/1999, terutama pasal 11-14, pemerintah daerah diperbolehkan
untuk mengajukan pinjaman dengan syarat:
a. Semua pinjaman daerah harus mendapatkan pengesahan dari DPRD dan
pemerintah pusat;
b. Pinjaman jangka pendek hanya untuk kebutuhan aliran keuangan dan harus segera
dibayar penuh pada tahun anggaran yang sama. Sementara itu, pinjaman jangka
panjang digunakan untuk membiayai infrastruktur daerah dan selayaknya
merupakan proyek yang menghasilkan pendapatan bagi daerah harus dalam
rangka kepentingan sosial.Selanjutnya, pemerintah daerah menunjukkan
kapasitasnya dalam membayar kembali pinjaman tersebut. Namun demikian,
mengacu pada formula dalam PP 107/2000, tidak semua daerah harus demikian
karena adanya perbedaan yang besar antara daerah yang mempunyai kemampuan
finansial yang kuat dan daerah yang tidak mempunyai kemampuan finansial;
c. Tidak boleh melakukan pinjaman daerah yang melampaui batas jumlah pinjaman
yang ditetapkan.