Anda di halaman 1dari 57

PENGARUH WORK-FAMILY CONFLICT,STRES KERJA DAN KEPUASAN

KERJA TERHADAP TURNOVER INTENTION KARYAWAN DI BANK BRI

CABANG SLEMAN YOGYAKARTA

TESIS

Disusun oleh :
Yhupi Maya Hapsari
1807051002

Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia

PROGRAM STUDY S2 MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
TAHUN AJARAN 2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, persaingan dalam pasar semakin ketat.

Agar dapat lebih unggul dalam persaingan perusahaan harus memiliki kinerja yang lebih

baik. Untuk mencapai kinerja yang lebih baik perusahaan harus dapat memanfaatkan

resources yang ada didalamnya termasuk memaksimalkan fungsi sumber daya manusia.

Menurut Shafiq dan Hamza (2017) aset utama dalam perusahaan adalah sumber daya

manusia. Sumber daya manusia yang mampu memberikan kontribusi dengan baik

merupakan sumber daya manusia yang memberi dukungan kepada keberhasilan

perusahaan. Tanpa adanya sumber daya manusia yang berkualitas perusahaan tidak dapat

berjalan dengan baik.

Untuk mencapai Sumber Daya Manusia yang berkualitas karyawan harus memiliki

kinerja yang baik. Karyawan dengan kinerja yang buruk akan berdampak negative bagi

perusahaan sehingga tujuan perusahaan tidak bisa tercapai. Menurut Brounstein

(2003:03)”Sepanjang karyawan tidak dapat memenuhi standar kinerja, selama itu pula

masalah kinerja muncul” kinerja yang baik dalam diri karyawan membuat karyawan

tersebut dapat menyelesikan tugas secara efektif dan efisien. Sehingga masalah di dalam

perusahaan berkurang.

Salah satu masalah tentang kinerja karyawan adalah turnover. Fenomena turnover

menjadi masalah bagi perusahaan ketika karyawan berprestasi tinggilah yang keluar

perusahaan. Dampak negatif yang dirasakan akibat terjadinya turnover pada perusahaan

yaitu pada kualitas dan kemampuan untuk menggantikan karyawan yang keluar dari

perusahaan, sehingga butuh waktu serta biaya baru dalam merekrut karyawan baru

(Robbins, 2008). Saat itulah produktifitas perusahaan menurun sampai dengan adanya

karyawan yang baru.


Gejala awal terjadinya turnover biasanya ditandai dengan adanya keinginan untuk

pindah yang biasa disebut turnover intentions (intensi keluar). Turnover intention adalah

kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya untuk

berpindah ke perusahaan lain. Keinginan untuk meninggalkan suatu perusahaan umumnya

didahului oleh niat karyawan yang dipicu oleh ketidakpuasan karyawan terhadap pekerjaan

serta rendahnya komitmen karyawan untuk mengikatkan diri pada organisasi (Jimad,

2011). Karyawan yang merasakan turnover intention ditandai dengan beberapa perilaku

yang merugikan perusahaan seperti absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya

keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, dan keberanian untuk menentang atau protes

kepada atasan. Pengaruh kinerja sangat besar dalam menentukan keberhasilan dan

berkembangnya sebuah perusahaan. Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai

tujuannya tidak hanya bergantung kepada sarana dan prasarana yang ada tetapi juga

bergantung pada kinerja yang dicapai karyawannya. Oleh sebab itu, perusahaan harus

memastikan turnover karyawan yang rendah.

Turnover karyawan sudah menjadi permaalahan umum dan merupakan fenomena

yang sering terjadi dalam organisasi. Turnover karyawan penting untuk di kendalikan

karena dapat menimbulkan masalah lain dalam perusahaan atau organisasi. Turnover

memberikan dampak kerugian yang luas antara lain: biaya proses penerimaan pegawai,

biaya pesangon, terganggunya lingkungan social, struktur komunikasi, dan kehilangan

produktifitas organisasi, kehilangan pegawai yang berkinerja tinggi, berkurangnya kepusan

diantara pegawai yang masih bertahan dalam organisasi, dan hubungan masyarakat yang

negative dilakukan oleh pegawai yang keluar, Mopbley et al (1979).

Penelitian terdahulu memberikan bukti ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi

turnover Invention karyawan; Job Insecurity, dan stress kerja (Septiari dan Adnan,

2016),dan menurut Utama dan Desak (2015) turnover Intention dipengaruhi oleh Work-

Family Conflik,dan kepuasan kerja. Menurut Susanto dan Gunawan (2013)

mengungkapkan bahwa faktor turnover intention yaitu stres kerja, lingkungan kerja, dan
kepuasan kerja. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti tentang Work Family Conflick,

Stress Kerja,dan Kepuasan Kerja.

Menurut Frone (2000) dalam Triaryati (2003), work-Family conflick terjadi pada

saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut

dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan

keluarganya, dan sebaliknya. Hal tersebut biasanya terjadi pada seorang wanita yang sudah

berumahtangga. Permasalahan yang dialami karyawan dalam keluarhanya akan berdampak

pada perilakunya dalam pekerjaan. Tanggung jawab pada keluarga dapat menimbulkan

kelelahan dan akhirnya berdampak pada menurunnya kinerja seseorang saat berada di

tempat kerja , Hal ini berakibat pada turunnya produktifitas perusahaan.

Work Family Conflict bisa timbul dari tuntutan waktu yang sulit sehingga dapat

menyebabkan stress. Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi,

proses berpikir dan kondisi seseorang (Handoko, 2001). Stres kerja merupakan salah satu

faktor yang dapat mengakibatkan karyawan keluar dari pekerjaannya. Saat karyawan

merasa stress kinerjanya juga semakin memburuk hal ini akan merugikan perusahaan

karna berdampak pada turunnya prodiktifitas perusahaan. Stres kerja dapat diartikan

sebagai suatu perasaan negative akibar dari tidak mampunya seorang individu menghadapi

beban kerja yang melebihi kapasitasnya atau menghadapi berbagai tekanan dari tempat

kerja( Basri,2012)(blm di cari daftar pustakanya cari di internet)

Dalam pekerjaan banyak sekali indicator yang berpengaruh terhadap kepuasan dan

ketidak puasan. Kepuasan dan ketidakpuasan merupakan masalah yang kompleks karena

berasal dari berbagai indicator, seseorang dapat mengalami kepuasan untuk indicator

tertentu tetapi tidak untuk indicator yang lain, Darmawati dan Indarto (2015).Spector

(1997) menjelaskan kepuasan kerja memiliki 9 indikator yang dapat digunakan untuk

mengukur kepuasan kerja yaitu kepuasan terhadap gaji, promosi, supervise, tunjangan

tidak langsung, penghargaan kontijen, prosedur atau peraturan kerja, rekan kerja,pekerjaan

itu sendiri, dan komunikasi. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja maka tidak
akan mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi stress dan keluar

dari perusahaan. Saat itulah karyawan tidak lagi memiliki etos kerja yang tinggi dan akan

merugikan perusahaan.

Penelitian ini dilakukan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk Cabang Sleman

Yogyakarta. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk merupakn salah satu Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) yang bergerak di bidang Jasa Keuangan. PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk

merupakan perusahaan besar yang banyak di dambakan orang untuk menjadi karyawan di

dalamnya karnena beranggapan jaminan kesejahteraan dan gaji yang cukup menggiurkan.

Sehingga membuat mereka beranggapan kecil kemungkinan karyawan di PT Bank BRI

untuk keluar dari perusahaan. Walaupun karyawan PT Bank Rakyat Indonesia identik

dengan jaminan atas pekerjaan yang layak, bukan berarti semua karyawan merasa puas

dengan hal tersebut. Sehingga tidak menutup kemungkinan karyawan merasakan ingin

berpindah perusahaan (Turnover Intention).

Perusahaan tersebut harus mencari solusi untuk permasalahan yang di hadapi guna

mencapai tujuan yang di inginkan. Dengan adanya penurunan Turnover akan membawa

kemajuan bagi perusahaan untuk dapat bertahan dalam suatu persaingan. Work family

conflict, stress kerja dan kepuasan kerja tidak kalah penting karena hal ini sangat

berpengaruh terhadap kualitas karyawan dalam melaksanakan tugasnya.


B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

diidentifikasikan permasalahan yang ada sebagai berikut:

1. Sulitnya menyeimbangkan urusan pekerjaan dan keluarga sehingga terjadi work

family conflict.

2. Dukungan keluarga terhadap pekerjaan memberi dampak terhadap kinerja

3. Beban kerja yang terlalu banyak yang mengakibatkan waktu istirahat berkurang.

4. Tekanan pekerjaan untuk bisa mencapai target perusahaan yang dapat

menimbulkan stres kerja.

5. Hubungan dengan rekan kerja yang kurang baik sehingga membuat suasana

yang tidak menyenangkan saat bekerja.

6. Tidak tercapainya target dalam pekerjaan sehingga menurunkan kepuasan kerja

karyawan.

C. Batasan Masalah

Pembahasan dalam penelitian ini memfokuskan pada pengaruh work family

conflict, stres kerja, dan kepuasan kerja karyawan PT Bank Rakyat Indonesia

(Persero) Tbk Cabang Sleman Yogyakarta


D. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan

beberapa masalah sebagai berikut :

1. Apakah work family conflik berpengaruh terhadap Turnover Intention

karyawan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Sleman Yogyakarta?

2. Apakah Stres kerja berpengaruh pada Turnover Intention Karyawan pada

PT. Bank Rakyat Indonesia.tbk Cabang sleman Yogyakarta ?

3. Apakah Kepuasan Kerja berpengaruh pada Turnover Intention Karyawan

pada PT Bank Rakyat Indonesia. Tbk Cabang Sleman Yogyakarta?

4. Apakah Work Family Conflick, Stres kerja dan Kepuasan Kerja

berpengaruh secara simultan terhadap Turnover Intention karyawan pada

PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Sleman Yogyuakarta ?

E. Tujuan Penelitian

Adapun `tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh work family conflikc terhadap Turnover

Intention karyawan pada PT. Bank Rakyat Indonesia,Tbk Cabang Sleman

Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui pengaruh Stes kerja terhadap Turnover Intention

karyawan pada PT. Bank Rakyat Indonesia,Tbk Cabang Sleman

Yogyakarta.

3. Untuk mengetahui pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Turnover Intention

karyawan pada PT. Bank Rakyat Indonesia,Tbk Cabang Sleman

Yogyakarta.
4. Untuk mengetahui pengaruh Work-Family Conflict, Stres kerja dan

Kepuasan Kerja berpengaruh secara simultan terhadap Turnover Intention

karyawan pada PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Sleman

Yogyuakarta.

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi PT. Bank Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Sleman Yogyakarta

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai Work-

Family Conflict, Stres Kerja, dan Kepuasan Kerja dan hubungannya dengan

Turnover Intention pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Sleman

Yogyakarta. Penelitian ini Juga dapat membantu manajemen dalam mengelola

konflik antar kepentingan pekerjaan dan keluarga agar tidak berdampak terhadap

meningkatnya Turnover Intention serta memeberikan masukan cara menghindari

Work-Family Conflict, Stes Kerja dan Kepuasan Kerja agar Turnover Intention

tidak meningkat.

2. Bagi Pihak Akademisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mengaplikasikan ilmu

pengetahuan khususnya Manajenen Sumber Daya Manusia dan menjadi referensi

bagi penelitian selanjutnya ang terkait maslah Work-family Conflict, Stres Kerja

dan Kepuasan Kerja


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Turnover Intention

a. Pengertian Turnover Intention

Turnover adalah pengunduran secara sukarela atau aktivitas yang di

definisikan sebagai legiatan individu melintasi batas keanggotaan suatu

perusahaan atau organisasi. Jackofsky dan Peter(1983) memberikan batasan

turnover sebagai perpindahan pegawai dari pekerjaannya yang sekarang. Tett

dan Meyer(1993)mendefinisikan turnover intention sebagai sebuah hasrat atau

keinginan secara sadar dan terencana untuk meninggalkan organisasi.

Menurut Darma (2013) Turnover Intention adalah derajat kecenderungan

sikap yang dimiliki oleh karyawan untuk mencari pekerjaan baru ditempat lain

atau adanya rencana untuk meninggalkan perusahaan dalam masa tiga bulan

yang akan datang, enam bulan yang akan datang, satu tahun yang akan datang,

dan dua tahun yang akan dating. Menurut Handoko (2001, p.131) permintaan

berhenti dapat terjadi jika seorang karyawan melihat kesempatan karir yang

lebih besar di tempat lain.

Dalam penelitian Andini (2006) menyatakan bahwa timbulnya perasaan

individu yang berkeinginan untuk pindah dari suatu organisasi, mengakhiri

pekerjaannya di organisasi tersebut atau keluar dari organisasi yang ditempati

saat ini itu berhubungan dengan perasaan individu yang puas atau tidak puas

terhadap pekerjaannya saat ini. Turnover intention yang terjadi pada individu

didalam organisasi menggambarkan perasaan individu untuk keluar, mencari

pekerjaan di tempat lain dan keinginan individu untuk meninggalkan

pekerjaannya. Dengan demikian, turnover intention (intensi keluar) adalah


kecenderungan perasaan individu atau niat individu yang memiliki keinginan

untuk berhenti dari pekerjaannya (Zeffane, 1994).

b. Faktor penyebab Turnover Intention

Faktor-faktor yang menjadi penyebab turnover pegawai adalah kondisi

pasar tenaga kerja, harapan terhadap pilihan kesempatan kerja dan panjangnya

masa kerja dengan perusahaan. Selain itu penyebab terjadinya turnover

intention pada karyawan disebabkan adanya keinginan untuk mendapatkan

pekerjaan yang lebih baik di tempat lain. Menurut Andini (2006) penyebab

terjadinya turnover intention antara lain kepuasan gaji dan kepuasan kerja.

Abelson (1986, dalam Ridlo, 2012) menyebutkan faktor yang

menyebabkan terjadinya turnover intention antara lain :

1) Faktor individual.

a) Umur.

b) Pendidikan.

c) Keterampilan.

d) Besar keluarga.

e) Beban kerja.

f) Lama kerja.

g) Tipologi diri.

h) Copying stress.

2) Faktor organisasi.

a) Kebijakan organisasi.

b) Rekruitmen.

c) Imbalan.

d) Pengembangan karir.
e) Desain pekerjaan.

f) Afiliasi kerja.

g) Supervisi.

h) Kepemimpinan.

3) Faktor lingkungan.

a) Pesaing.

b) Geografis (jarak atau transportasi).

c. Dampak Turnover Intention

Menurut kasmir (2016), turnover akan berakibat baik positif maupun negatif

kepada perusahaan seperti :

a) Terjadi kekosongan. Artinya, jika ada karyawan yang keluar maka ada jabatan

atau posisi yang ditinggalkan, sehingga perlu mencari penggantinya.

Misalnya, penggantinya harus memiliki kualitas yang sama atau lebih dari

karyawan sebelumnya.

b) Perlu melakukan rekurutmen dan seleksi. Kekosongan karyawan dapat diisi

dari dalam jika memamg jumlahnya sedikit. Namun jika tidak

mendapatkannya maka terpaksa dilakukan rekrutmen dari luar perusahaan.

Proses rekrutmen dan seleksi ini tentu disamping mengeluarkan biaya juga

waktu, sedangkan ke kosongan harus segera diisi kalau tidak ada karyawan

yang berkerja dengan dua atau lebih beban pekerjaan.

c) Mengganggu proses kerja. Kehilangan karyawan akan mengganggu

proses kerja yang selama ini berjalan normal sekalipun sudah mendapatkan
penggantinya kesulitan lain adalah pengganti yang mengisi kekosongan belum

tentu memiliki kualitas yang sama dengan yang digantikan. Akibatnya, hal ini

akan mempengaruhi kualitas pekerjaan.

d) Kebocoran rahasia perusahaan. Dampak yang paling ditakuti adalah jika

karyawan tersebut membawa sejumlah rahasia perusahaan yang dimilikinya.

e) Menurunkan moral karyawan yang ditinggalkan. Terkadang bagi karyawan

yang keluar dan memiliki kualitas baik, akan ikut mempengaruhi aktivitas

karyawan lainnya. Artinya, moral karyawan yang lain ikut terpengaruh,

apalagi dikeluarkan dengan sebab tidak jelas. Bahkan bukan tidak mungkin

jejak karyawan yang keluar akan diikuti oleh karyawan yang lain.

f) Kehilangan tenaga potensial. Mencari pengganti karyawan yang memiliki

kemampuan dan keahlian khusus relative sulit dan memerlukan waktu. Dana

yang dibutuhkan untuk merekrut karyawan yang memiliki kemampuan dan

keahlian khusus juga relative cukup besar.

g) Mengurangi tenaga yang tidak produktif. Keluarnya karyawan yang tidak atau

kurang produktif merupakan nilai positif bagi perusahaan. Artinya, memang

karyawan tersebut tenaganya sudah tidak dibutuhkan perusaaan.

h) Mengeluarkan sejumlah biaya. Perusahaan perlu mengeluarkan sejumlah dana

kompensasi bagi karyawan yang keluar. Biaya ini dikeluarkan sebagai balas

jasa terhadap pengabdiannya selama ini diperusahaan.

tentu memiliki kualitas yang sama dengan yang digantikan. Akibatnya, hal ini

akan mempengaruhi kualitas pekerjaan.

d) Kebocoran rahasia perusahaan. Dampak yang paling ditakuti adalah jika

karyawan tersebut membawa sejumlah rahasia perusahaan yang dimilikinya.


e) Menurunkan moral karyawan yang ditinggalkan. Terkadang bagi karyawan

yang keluar dan memiliki kualitas baik, akan ikut mempengaruhi aktivitas

karyawan lainnya. Artinya, moral karyawan yang lain ikut terpengaruh,

apalagi dikeluarkan dengan sebab tidak jelas. Bahkan bukan tidak mungkin

jejak karyawan yang keluar akan diikuti oleh karyawan yang lain.

f) Kehilangan tenaga potensial. Mencari pengganti karyawan yang memiliki

kemampuan dan keahlian khusus relative sulit dan memerlukan waktu. Dana

yang dibutuhkan untuk merekrut karyawan yang memiliki kemampuan dan

keahlian khusus juga relative cukup besar.

g) Mengurangi tenaga yang tidak produktif. Keluarnya karyawan yang tidak atau

kurang produktif merupakan nilai positif bagi perusahaan. Artinya, memang

karyawan tersebut tenaganya sudah tidak dibutuhkan perusaaan.

h) Mengeluarkan sejumlah biaya. Perusahaan perlu mengeluarkan sejumlah dana

kompensasi bagi karyawan yang keluar. Biaya ini dikeluarkan sebagai balas

jasa terhadap pengabdiannya selama ini diperusahaan.

Berdasarkan penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa turnover intention

memberikan dampak positif jika karyawan yang keluar dari perusahaan tersebut

adalah karyawan yang kurang disiplin dan tidak memiliki keahlian yang

diandalkan oleh perusahaan. Disamping itu, turnover intention akan berpengaruh

negatif jika karyawan yang keluar dari perusahaan tersebut adalah karyawan yang

sangat dibutuhkan oleh karyawan karena memiliki kemampuan yang kompeten di

bidangnya yang akan menyebapkan kekosongan posisi dan terganggunya kegiatan

oprasional kerja perusahaan.


c. Indikator Turnover Intention

Menurut Mobley et al(1978) Indikator pengukuran turnover intention terdiri

atas:

1. Memikirkan untuk keluar (Thinking of Quitting)

mencerminkan individu untuk berpikir keluar dari pekerjaan atau tetap

berada di lingkungan pekerjaan. Diawali dengan ketidakpuasan kerja yang

dirasakan oleh karyawan, kemudian karyawan mulai berfikir untuk keluar

dari tempat bekerjanya saat ini.

2. Pencarian alternatif pekerjaan (Intention to search for alternatives)

mencerminkan individu berkeinginan untuk mencari pekerjaan pada

organisasi lain. Jika karyawan sudah mulai sering berpikir untuk keluar dari

pekerjaannya, karyawan tersebut akan mencoba mencari pekerjaan diluar

perusahaannya yang dirasa lebih baik.

3. Niat untuk keluar (Intention to quit)

mencerminkan individu yang berniat untuk keluar. Karyawan berniat untuk

keluar apabila telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan nantinya

akan diakhiri dengan keputusan karyawan tersebut untuk tetap tinggal atau

keluar dari pekerjaannya.

2. Work-Family Conflict

a. Pengertian Work-Family Conflick

Work- family conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu

tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan dengan peran

didalam keluarga (Greenhaus &Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan

beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya konflik

pekerjaan-keluarga, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk

bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energy yang bisa digunakan untuk

melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).


Frone (1997) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga sebagai konflik

peran yang terjadi pada karyawan, di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di

kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit

membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu

pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan

perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai

waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti

sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan

keluarga sehingga mengganggu pekerjaan.

Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban

kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan

terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan

waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga dan menjaga

anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi

keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap

anggota yang lain (Yang, Chen, dkk, 2000)

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa work-

family conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana secara

umum dapat didefinisikan sebagai kemunculan stimulus dari dua tekanan peran.

Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi

tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit membagi waktu

dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain.

b. Faktor faktor yang mempengaruhi work-family conflict

Stoner dan Charles (Suharmono & Natalia, 2015) menyatakan faktor-faktor

yang mempengaruhi work family conflict, yaitu :

a) Tekanan waktu

Tekanan waktu adalah jumlah waktu yang diperlukan untuk

menyelesaikan suatu peran akan mempengaruhi waktu yang diperlukan


untuk menyelesaikan peran yang lain. Semakin banyak waktu yang

digunakan untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga.

b) Ukuran keluarga dan dukungan keluarga

Ukuran keluarga yaitu jumlah anggota atau individu yang terdapat dalam

sebuah kelaurga. Semakin banyak anggota keluarga maka semakin akan

memungkinkan banyak konflik. Sedangkan dukungan keluarga adalah

bentuk motivasi dan dorongan serta penguatan yang diberikan keluarga

kepada individu khususnya wanita yang bekerja dan mengurus keluarga,

semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik.

c) Kepuasan kerja

Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang

menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima dan

jumlah yang diyakini harus diterima, semakin tinggi kepuasan kerja maka

konflik yang dirasakan semakin sedikit.

d) Kepuasan pernikahan

Kepuasan pernikahan yaitu sejauh mana pasangan yang menikah

merasakan dirinya tercukupi dan terpenuhi dalam hubungan yang dijalani.

Terdapat asumsi bahwa wanita bekerja memiliki konsekuensi yang

negatif terhadap pernikahannya.

e) Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan. Hal ini mungkin

saja mempengaruhi work family conflict seseorang.

c. Dampak Work-Family Conflict

Menurut Amstad, dkk(2011) Work-Family conflict sering dianggap sebagai

sumber stres yang berdampak negative pada perilaku maupun kesejahteraan

karyawan.
Dampak dampak work-family conflict sebagai berikut :

1. Pekerjaan

Dampak dari work-family conflict terhadap pekerjaan antara lain

kepuasan kerja, komitmen organisasi, absensi, Turnover Intention dan

Organizational Citizenship Behaviour.

2. Keluarga

Marital satisfaction serta kepuasan keluarga

3. Kedua Arah(Pekerjaan dan Keluarga)

Kepuasan hidup, tekanan psikis, keluhan somatic,depresi dan penggunaan

obat obatan terlarang.

Penelitian terdahulu yag dilakukan oleh Afrilia dan

Hamidah(2018) menyatakan bahwa work-family conflict berdampak pada

kepuasan kerja serta kinerja seorang kariyawan. Serta Saraswati dan

Made(2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dampak dari Work-

Family Conflict adalah timbulnya keinginan karyawan untuk keluar dari

perusahaan (turnover Intention). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

beberapa dampak yang terjadi jika karyawan mengalami work-Family

Conflict antara lain kepuasan kerja, kinerja serta Turnover Intention.

d. Indikator Work-Family Conflict

Menurut Carlson et al (2000) dalam Endang (2012), penelitia n-

penelitian yang ada saat ini mengidentifikasi 3 tipe dominan work-family

conflict, yaitu :

1). Time-based conflict (konflik disebabkan oleh waktu)

Konflik yang terjadi ketika waktu yang dituntut dari satu peranan

menghalangi terpenuhinya tuntutan dari peranan lain. Waktu yang

dibutuhkan untuk menjalankan salah tutuntutan (keluarga atau pekerjaan)

dapat mengurangi waktu yang digunakan untuk menjalankan tuntutan


yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). Hal ini disebabkan karena waktu

merupakan sumber daya yang terbatas.

2). Strain-based conflict(konflik disebabkan ketegangan)

Konflik yang terjadi ketika ketegangan atau kelelahan pada suatu peran

akan mempengaruhi peran laiinya, hal in terjadi ketika ketegangan dari

satu peran bersamaan dengan pemenuhan tanggung jawab peran laiinya.

3). Behavior-based conflict (konflik disebabkan oleh perilaku)suatu

konflik yang terjadi pola-pola perilaku dalam suatu peran tidak sesuai

dengan pola-pola pada peran laiinya,disebabkan perilaku pada suatu peran

yang mungkin tidak dapat dibandi ngkan dengan harapan pada peran

laiinya.

e. Pengaruh Work-Family Conflict terhadap Turnover Intention

Lathifah dan Rohman (2014) berpendapat bahwa work-family conflict

berpengaruh positif terhadap turnover intention. Berdasarkan sisi work-family

conflict, seseorang yang memiliki jam kerja yang lama maka akan merasa

kesulitan dalam menyeimbangkan tuntutan atas pekerjaan dan keluarga

sehingga timbul tekanan atau stres dalam dirinya dan berdampak pada

menurunnya kepuasan kerja dan keinginan untuk keluar atau pindah dari

organisasi tersebut (Amelia, 2010).

Work-family conflict mempunyai hubungan positif terhadap turnover

intention dan kepuasan kerja menurut Ghayyur dan Jamal (2012) dimana

konflik ini mempengaruhi perilaku melalui penarikan diri seperti gangguan

dalam keluarga, datang terlambat ke tempat kerja dan absensi. Penelitian yang

dilakukan oleh Blomme et al. (2010) dan Ngadiman dkk. (2014) juga

mengemukakan bahwa work-family conflict berpengaruh positif dengan


turnover intention. Semakin tinggi konflik yang dirasakan seseorang maka

semakin tinggi pula keinginan seseorang untuk meninggalkan perusahaannya.

3 Stes Kerja

a. Pengertian Stres Kerja

Stres kerja adalah kondisi dinamik yang di dalamnya individu

menghadapi peluang, kendala (constraints), atau tuntutan (demans), yang

terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan

sebagai tidak pasti tetapi penting (Robbins & Judge, 2008). Sedangkan

menurut Siagian (dalam Astianto, dkk, 2014) stres merupakan kondisi

ketegangan yangberpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik

seseorang. Stres yang tidak dapat diatasi dengan baik biasanya berakibat pada

ketidakmampuan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, baik

lingkungan pekerjaan maupun di luar pekerjaaan.

Cartwright dan Cooper (dalam Mauladi, 2015) mengemukakan stres

kerja sebagai suatu ketegangan atau tekanan yang dialami ketika tuntutan

yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Berdasarkan

pengertian tentang stres kerja yang telah dikemukakan di atas, peneliti

menyimpulkan bahwa stres kerja adalah suatu kondisi dinamik individu

dalam menghadapi peluang, kendala, atau tuntutan, yang terkait dengan apa

yang sangat diinginkan dan hasilnya dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak

pasti tetapi penting.

b. Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi stres,

yaitu:

1. Faktor organisasi berpengaruh juga terhadap stres kerja karyawan

dimana semua aktivitas di dalam perusahaan berhubungan dengan


karyawan. Seperti tuntutan kerja atau beban kerja yang terlalu berat,

kerja yang membutuhkan tanggung jawab tinggi sangat cenderung

mengakibatkan stres tinggi.

2. Faktor lingkungan sosial turut berpengaruh terhadap stres kerja pada

karyawan. Dimana adanya dukungan sosial berperan dalam

mendorong seseorang dalam pekerjaannya, apabila tidak adanya

faktor lingkungan sosial yang mendukung maka tingkat stres

karyawan akan tinggi.

3. Faktor individu berperan juga dalam faktor individu kepribadian

seseorang lebih berpengaruh terhadap stres pada karyawan. Dimana

kepribadian seseorang akan menenetukan sesorang tersebut mudah

mengalami stres atau tidak.

c. Dampak Stres Kerja

Stres biasanya terjadi ketika terlalu banyak yang harus dilakukan dan

terlalu banyak pikiran atau tuntutan tidak masuk akal atau bahkan ketika

berhadapan dengan situasi yang tidak terkontrol. Hal ini menyebabkan

penurunan produktivitas dan efisiensi karyawan, sebagai hasilnya,

meningkatkan kecelakaan kerja, masalah psikologis, fisiologis serta hilangnya

hasil tenaga kerja yang berkualitas.

Menurut Cox(2006) telah mengidentifikasikan efek dari stress kerja yang

mungkin muncul. Kategori yang disusun cox adalah sebagai berikut:

1. Dampak subjektif

Kekhawatiran/kegelisahan, kelesuan, kebosanan, depresi, keletihan,

frustasi, kehilangan kesabaran, perasaan terkucil dan merasa

kesepian.

2.
a. Pengertian Kepuasan Kerja Terdapat beberapa pengertian kepuasan kerja

menurut para ahli, diantaranya yaitu:

1) Robbins dan Timothy (2009: 107) kepuasan kerja dapat didefinisikan

sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang

merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.

2) Blum dalam As’ad (1995: 104) kepuasan kerja adalah sikap umum yang

merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktorfaktor

pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu diluar kerja.

3) Dipboye dalam Munandar (2012: 350) memandang kepuasan kerja sebagai

hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja

terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya.

4) Rivai (2012) kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa

jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

Kepuasan kerja juga adalah sikap umum yang merupakan dari beberapa

sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan

hubungan sosial individu. 11

5) Waluyo (2013: 131) kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang positif

yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap

kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya upah, kondisi sosial,

kondisi fisik, dan kondisi psikologis. Berdasarkan definisi dari beberapa


ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah hal

positif yang dirasakan karyawan mengenai pekerjaannya, yang akan

ditunjukkan dengan sikap timbal balik karyawan kepada perusahaan.

b. Aspek-aspek Kepuasan Kerja Faktor-faktor kepuasan kerja menurut Blum

(1956) dalam As’ad (1995: 112) adalah sebagai berikut:

1) Faktor individu seperti: umur, kesehatan, watak dan harapan.

2) Faktor sosial seperti hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,

kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerjaan, kebebasan

berpolitik dan hubungan kemasyarakatan.

3) Faktor utama dalam pekerjaan seperti: upah, pengawasan, ketentraman

dalam kerja, kondisi kerja, kesempatan untuk maju, penghargaan terhadap

kecakapan, hubungan sosial didalam pekerjaan, ketepatan dalam

menyelesaikan konflik antar manusia dan perasaan diperlukan adil baik

yang menyangkut pribadi maupun tugas.

Banyak faktor yang dapat menjadi penentu bagi kepuasan pegawai, salah

satunya adalah pekerjaan itu sendiri. Hackman dan Oldham (1976) dalam

Robbins (2006), inti dari kepuasan kerja adalah sebagai berikut:

1. Skill Varienty Semakin banyak variasi tugas yang dilakukan oleh

pegawai dalam pekerjaannya, semakin menantang pekerjaan bagi mereka.

2. Task Identity Sejauhmana pekerjaan menuntut diselesaikannya suatu

pekerjaan yang utuh dan dapat dikenali

3. Task Significane Besarnya dampak pekerjaan yang dilakukan dapat

mempengaruhi pekerjaan atau bahkan kehidupan orang lain. Hal ini akan

membawa dampak penghargaan psikologis.


4. Autonomy Sejauhmana pekerjaan memberi kebebasan,

ketidakketergantungan, dan keleluasaan untuk mengatur jadwal

pekerjaannya, membuat keputusan dan menentukan prosedur pekerjaan

yang dipakai.

5. Feedback Sejauh mana pelaksanaan kegiatan pekerjaan menghasilkan

informasi bagi individu mengenai keefektifan kinerjanya.

Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh tanggapan terhadap nilai 13

intrinsic dan extrinsic reward. Yang dimaksud dengan nilai intrinsic reward

yaitu timbulnya suatu perasaan dalam diri pegawai karena pekerjaan yang

dilakukan. Yang termasuk dalam extrinsic reward adalah perasaan suka

akan pekerjaannya, rasa tanggung jawab, tantangan dan pengakuan.

Extrinsic reward adalah situasi yang terjadi diluar pekerjaan, misalnya

karena bekerja dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan oleh

perusahaan, maka pegawai mendapatkan upah, gaji, dan bonus.

Menurut Wexley dan Yukl (1992) secara umum ada 3 (tiga) teori tentang

kepuasan kerja yaitu:

1) Teori Pertentangan (Discrepancy Theory). Teori ini dipelopori oleh

Porter (1961) dimana kepuasan ini diukur dengan menghitung selisih dari

apa yang seharusnya dengan kenyataan yang ada (dirasakan). Kemudian

Locke (1969) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap

beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan atas dua nilai

yaitu pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan

seseorang individu dengan apa yang ia terima, dan pentingnya apa yang

diinginkan individu.

2) Equity Theory. Pendahulu teori ini adalah Zeznik (1958) dan

dikembangkan oleh Adams (1963). Prinsip dari teori ini adalah bahwa puas
atau tidaknya seseorang itu tergantung pada apakah ia merasakan adanya

keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi, 14 diperoleh orang dengan

cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Bila perbandingan itu

dianggap tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan

kepuasan tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak

seimbang dan merugikan maka akan menimbulkan ketidakpuasan.

3) Two Factor Theory. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Hazberg

(1969), Hazberg mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya

menjadi dua kelompok yaitu kelompok dissatisfers atau hygiene factors.

Satisfiers (memotivator) atau intrinsic factor, job content motivator, adalah

faktor-faktor atau situasi yang dibuktikan sebagai sumber kepuasan kerja

terdiri dari: achievment, recognition, work it self, resposibilty, and

advancement.

Hadirnya faktor ini akan menimbulkan kepuasan tetapi tidak hadirnya

faktor ini tidak selamanya menimbulkan ketidakpuasan. Dissatisfiers

(Higiene factor) atau extrinsic factor, job content adalah faktor-faktor yang

terbukti menjadi ketidakpuasan yang terdiri dari: company policy and

administration, supervision technical salary, inter-pesonal relation, working

conditing, job security dan status. Menurut Weiss et al., (1967) dalam

Spector (2000), ada 20 (dua puluh) aspek dari pekerjaan yang diukur untuk

mengetahui kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawan, adalah sebagai

berikut: 15

1. Ability Utilization adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk

menggunakan semua kemampuan potensial yang dimilikinya untuk bekerja

di tempat kerja.
2. Activity adalah kesempatan yang dirasakan oleh karyawan untuk

melakukan kesibukan setiap waktu sehubungan dengan pekerjaan yang

dilakukan.

3. Achievment adalah kemampuan dari seorang karyawan untuk mencapai

tujuan dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat menantang.

4. Authority adalah kesempatan untuk memberitahu orang lain tentang apa

yang harus dilakukan.

5. Independence adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk

menggunakan pertimbangan-pertimbangannya sendiri dalam menyelesikan

tugas-tugas yang dibebankan oleh atasannya.

6. Moral Values adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak

bertentangan dengan paham yang dianut.

7. Responsibilty adalah kewajiban dan kebebasan karyawan untuk

melakukan pekerjaan tertentu atau melakukan pekerjaannya sendiri dari

atasan yang berwenang.

8. Security adalah indikasi-indikasi objektif yang menunjang rasa aman

karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya, misalnya kestabilan

perusahaan, jaminan hari tua, dan lain-lain.

9. Creativity adalah keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.

10. Social Service adalah perasaan karyawan terhadap kesempatan untuk

melakukan sesuatu bagi orang lain di tempat kerja baik fisik maupun

mental yang dapat mendorong semangat dan gairah karyawan untuk

bekerja.
11. Social Status adalah kesempatan untuk menjadi seseorang dalam

masyarakat.

12. Variety adalah pelaksanaan pekerjaan aktual atau tugas-tugas dari

pekerjaan, rutinitas atau variasi kerja, kreativitas, mudah atau sukarnya

pekerjaan yang dikerjakan.

13. Advancement adalah perubahan yang nampak secara objektif atau

adanya situasi yang dirasakan karyawan untuk dapat mengembangkan

keterampilan, profesi dan statusnya kearah yang lebih baik.

14. Company policy and practices adalah segala sesuatu yang menyangkut

perusahaan, khususnya mengenai masalah-masalah kebijakan perusahaan

dan administrasi yang berlaku.

15. Compensation adalah gaji yang diterima karyawan.

16. Recognition adalah pengakuan yang diperoleh seseorang dalam bekerja

meliputi penghargaan, pujian, dan perhatian baik dari 17 atasan, teman

seprofesi, bawahan, klien maupun masyarakat umum.

17. Supervision-human relation adalah cara pemimpin mengenai hubungan

antar sesama karyawan.

18. Supervision-technical adalah teknik langsung yang digunakan oleh

atasan untuk mengawasi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan.

19. Working Condition adalah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja,

dan peraturan kerja yang ada di tempat kerja.

20. Co-workers adalah kesempatan yang dimiliki oleh karyawan untuk

bekerja sama dengan karyawan lainnya, sehingga mereka dapat bertukar

pikiran dan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi Penelitian ini

menggunakan teori dari Weiss et al., (1967) dilihat dari 20 aspek yang ada,
aspek-aspek tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan

kerja dengan akurat karena meliputi semua elemen yang ada pada setiap

karyawan, baik aspek dari dalam atau dari luar karyawan untuk meraih

kepuasan kerja. Dibandingkan teori lain, teori ini paling kuat akurasinya.

Work Family Conflict (Konflik Pekerjaan-Keluarga)

a. Pengertian Work Family Conflict Terdapat beberapa pengertian work-

family conflict menurut para ahli, diantaranya yaitu:

1. Menurut Greenhaus & Buetell (1985), work-family conflict adalah

bentuk konflik peran di mana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara

mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal.

2. Frone, Russel & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan

keluarga (work family conflict) yang terjadi pada karyawan, dimana satu

sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus

memerhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara

pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan.

3. Menurut Ching dalam Rantika dan Sunjoyo (2010) work family conflict

(konflik pekerjaan keluarga) adalah bentuk konflik peran dimana tuntutan

peran dari pekerjaan dan keluarga tidak dapat disejajarkan dalam beberapa

hal. Berdasarkan beberapa definisi tentang work-family conflict di atas

dapat disimpulkan bahwa work-family conflict adalah terjadinya konflik

pada individu yang memiliki peran ganda antara peran dalam pekerjaan

dan peran dalam keluarga.

b. Jenis-jenis Work Family Conflict Greenhaus dan Beutell (1985)

mengidentifikasikan tiga jenis konflik pekerjaan-keluarga, yaitu:

1. Time-based conflict merupakan waktu yang dibutuhkan untuk

menjalankan salah satu tuntutan dapat berasal dari keluarga maupun dari
pekerjaan yang dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang

lainnya.

2. Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan salah satu peran

mempengaruhi kinerja peran yang lainnya.

3. Behavior-based conflict, berhubungan dengan ketidaksesuaian antara

pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan atau

keluarga). Kossek dan Ozeki dalam Rantika dan Sunjoyo (2010) membagi

work family conflict menjadi 2 (dua) dimensi, yaitu:

1. Work Interfering With The Family (WIF) merupakan konflik yang

muncul ketika peran pekerjaan mengganggu peran seseorang dalam

keluarga.

2. Family Interfering With The Work (FTW) merupakan konflik yang

muncul ketika peran seseorang dalam keluarga mengganggu peran dalam

pekerjaan. Dalam penelitian ini digunakan teori dari Greenhaus dan Beutell

(1985), karena identifikasi mereka terhadap jenis-jenis 20 konflik

pekerjaan-keluarga sesuai dengan apa yang akan diukur pada karyawan di

tempat penulis melakukan penelitian.

. Stres Kerja

a. Pengertian Stres Kerja Terdapat beberapa pengertian stres kerja menurut

para ahli, diantaranya yaitu:

1. Menurut Ivancevich dan Matteson dalam Luthans (2006: 442), stres

diartikan sebagai interaksi individu dengan lingkungan, tetapi kemudian

diperinci lagi menjadi respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan

individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan,

situasi, atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan

psikologis dan atau fisik secara berlebihan pada seseorang.


2. Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006: 442) mendefinisikan

stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara menusia dan

pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa

mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.

3. Menurut Cooper (1994) dalam Waluyo (2013: 91) stres didefinisikan

sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai

tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi

batas kemampuan subjek. 21

4. Menurut Selye (1956) dalam Waluyo (2013: 92) stres kerja dapat

diartikan sebagai sumber atau stresor kerja yang menyebabkan reaksi

individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku. Dari beberapa

pengertian tentang stres, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa stres

merupakan suatu respon individu terhadap kondisi lingkungan eksternal

yang berupa peluang, kendala (contraints), atau tuntutan (demands), yang

menghasilkan respon psikologis dan respon fisiologis, sehingga bisa

berakibat pada penyimpangan fungsi normal atau pencapaian terhadap

sesuatu yang sangat diinginkan dan hasilnya dipresepsikan sebagai tidak

pasti dan penting.

b. Penyebab Stres Penyebab stres kerja tidak hanya disebabkan oleh satu

faktor penyebab saja, namun stres bisa saja terjadi karena penggabungan

dari beberapa sebab sekaligus. Seperti pendapat dari Luthans (2006: 443)

bahwa penyebab stres ada beberapa faktor, yaitu:

1. Stresor Ekstraorganisasi Yaitu penyebab stres yang berasal dari luar

organisasi. Penyebab stres ini dapat terjadi pada organisasi yang bersifat

terbuka, yakni keadaan lingkungan eksternal memengaruhi organisasi.

Misalnya perubahan sosial dan teknologi, globalisasi, keluarga, dan lain-

lain. 22
2. Stresor Organisasi Yaitu penyebab stres yang berasal dari dalam

organisasi termpat karyawan bekerja. Penyebab ini lebih memfokuskan

pada kebijakan atau peraturan organisasi yang menimbulkan tekanan yang

berlebih pada karyawan.

3. Stresor Kelompok Yaitu penyebab stres yang berasal dari kelompok

kerja yang setiap hari berinteraksi dengan karyawan, misalnya rekan kerja

atau supervisor atau atasan langsung dari karyawan.

4. Stresor Individual Yaitu penyebab stres yang berasal dari individu yang

ada dalam organisasi. Misalnya seorang karyawan terlibat konflik dengan

karyawan lainnya, sehingga menimbulkan tekanan tersendiri ketika

karyawan tersebut menjalankan tugas dalam organisasi tersebut. Menurut

Handoko (2001) faktor yang memengaruhi stres kerja adalah segala hal

yang berhubungan dengan pekerjaan, yang bisa menimbulkan stres pada

karyawan.

Hal-hal yang bisa menimbulkan stres yang berasal dari beban pekerjaan

antara lain:

a. Beban kerja yang berlebihan.

b. Tekanan atau desakan waktu.

c. Kualitas supervisi yang jelek.

d. Iklim politis yang tidak aman.

e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai.

f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggungjawab.

g. Kemenduaan peran (role ambiguity).

h. Frustasi
i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok.

j. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan.

k. Berbagai bentuk perubahan.

c. Jenis-jenis Stres Kerja Quick dan Quick (1984) dalam Waluyo (2013:

92) mengategorikan stres kerja menjadi dua, yaitu:

1. Eustres, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat,

positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk

kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan

pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance

yang tinggi.

2. Distres, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak sehat,

negative, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk

konsekuensi individu dan juga organisasi 24 seperti penyakit

kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang

diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

d. Dampak Stres Kerja Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan

diri karyawan maupun perusahaan. Arnold (1986) dalam Waluyo (2013:

94) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat

stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu:

1. Terganggunya kesehatan fisik. Stres yang dialami oleh seseorang akan

merubah cara kerja system kekebalan tubuh. Penurunan respon antibodi

tubuh disaat mood sedang negatif dan akan meningkat naik pada saat mood

seseorang sedang positif. Banyak sudah penelitian yang menemukan

adanya kaitan sebab-akibat antara stres dengan penyakit, seperti jantung,

gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit

lainnya.
2. Terganggunya kesehatan psikis. Stres berkepanjangan akan

menyebabkan ketegangan dan kekhawatiran yang terusmenerus.

3. Kinerja terganggu. Pada tingkat kerja yang tinggi ataupun ringan akan

membuat menurunkan kinerja karyawan. Banyak karyawan yang tidak

masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan yang tidak selesai pada

waktunya entah karena kelambanan ataupun karena banyaknya kesalahan

yang berulang.

4. Memengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Seseorang yang

mengalami stres dalam bekerja tidak akan mampu menyelesaikan

pekerjaan dengan baik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teori dari Luthans (2006: 443) mengenai faktor-faktor penyebab stres kerja.

Teori ini digunakan karna melingkupi semua aspek, yaitu internaleksternal

organisasi, dan internal-eksternal individu tiap karyawan, sehingga

indikator dalam teori ini tepat sekali untuk digunakan dalam pengukuran

stres kerja.
B. Penelitian Terdahulu

1. Syahronica, G. (2015). Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stress Kerja terhadap

Turnover Intention (Studi Pada Karyawan Departemen Dunia Fantasi PT.

Pembangunan Jaya Ancol, Tbk), Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 20

No. 1 Maret 2015. Populasi yang digunakan sebanyak 1200 orang dan

sampel 550 orang, dengan teknik sampling studi lapangan yaitu observasi,

wawancara dan kuisioner, metode analisis data analisis deskriptif dan

analisis regresi linier berganda. Hasil menunjukan bahwa stres kerja

berpengaruh positif signifikan terhadap turnover intention.

2. Amany, T. J., Nasir, A., & Idrus, R. (2016). Pengaruh Stres Kerja,

Kepuasan Tingkat Gaji dan Kepemimpinan terhadap Turnover Intentions

Staff Auditor di Kantor Akuntan Publik (Studi pada KAP di Jakarta dan

Bandung), JOM Fekon Vol. 3 NO 1 (Februari) 2016. Populasi sebanyak

1300 orang dan sampel 120 orang dengan teknik sampling

pengumpulan data primer dengan kuisioner, metode analisis data

analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukan stres kerja

berpengaruh positif signifikan terhadap turnover intention.

3.. Penelitian Faqihuddin (2008) yang berjudul Pengaruh Stres Kerja terhadap

Kepuasan Kerja dan Intensi Meninggalkan Organisasi pada Bank-Bank Milik

Negara di Kota Tegal menyimpulkan bahwa stres kerja mempunyai pengaruh

signifikan dan negatif terhadap kepuasan kerja karyawan dengan koefisien

determinasi (R2 ) sebesar 0,5214 dan nilai t-hitung -5,5226 dengan taraf

signifikansi 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat stres yang rendah akan

mempengaruhi yang nyata pada tercapainya kepuasan kerja karyawan. Kepuasan

kerja memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap intensi

meninggalkan organisasi. Adanya kepuasan yang tinggi akan membuat karyawan


tetap bertahan di organisasi dan terus bekerja semaksimal mungkin mewujudkan

tujuan organisasi.

4. Penelitian Soeharto (2010) yang berjudul Konflik Pekerjaan-Keluarga

dengan Kepuasan Kerja Metaanalisis menyimpulkan bahwa ada hubungan

negatif konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja dengan korelasi

populasi sebesar -0,263, varians populasi sebesar 0,0011 dan standar deviasi

sebesar 0,0331, iterval kepercayaan 95% dengan batas penerimaan antara

-0,198 -0,327. Kepuasan merupakan hal yang penting bagi kehidupan

individu yang bekerja. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa hal antara

lain konflik pekerjaan-keluarga/work family conflict. Sikap dan perasaan

yang negatif terhadap pekerjaan merupakan akibat dari konflik pekerjaan-

keluarga yang dialami, sebaliknya, individu yang dapat menyeimbangkan

peran dalam pekerjaan dan keluarga akan membuat individu merasa dan

bersikap positif terhadap pekerjaan.

5. Penelitian Ahmed et al., (2012) yang berjudul The Impact of Work-Family

Conflict and Pay on Employee Job Satisfaction With the Moderating Affect

of Perceived Supervisor Support in Pakistan Banking Sector yang

menyimpulkan bahwa work family conflict berhubungan secara negatif

dengan kepuasan kerja dengan t-hitung sebesar -4,098 dengan taraf

signifikansi 100%, hal ini dikarenakan adanya jam kerja yang kaku,

pekerjaan yang berorientasi target, dan tidak fleksibel dalam jam kerja.
Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian

Pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang saling terkait dan sangat penting bagi

setiap orang. Kedua hal tersebut amatlah sulit diintegrasikan apabila orang tersebut

sudah menikah dan memiliki anak. Konflik akan muncul ketika seseorang harus

membuat pilihan diantara dua peran yang harus dijalani (peran dalam keluarga dan

pekerjaan) sehingga orang tersebut harus menjalankan peran ganda yaitu sebagai

suami/istri, orang tua, anak dan karyawan (Amelia, 2010). Karyawan yang mengalami

work family conflict dan stres kerja akan menyebabkan rendahnya kepuasan kerja

karyawan. Hasil penelitian Ghayyur dan Jamal (2012) dan Mansoor et al. (2011) yang

menyatakan bahwa semakin tinggi konflik dan stres yang dirasakan oleh seseorang maka

kepuasan kerjanya akan semakin menurun. Menurut Lathifah dan Rohman(2014)

mengemukakan bahwa, jika kepuasan kerja sudah dirasa kurang oleh seseorang, maka

akan muncul keinginan untuk keluar dari perusahaan tempat mereka bekerja. Kepuasan

kerja memiliki efek untuk menentukan akan meninggalkan atau tetap tinggal di

perusahaan tersebut. Karyawan cenderung untuk meninggalkan perusahaan jika mereka

merasa tidak puas terhadap pekerjaannya (Aydogdu dan Asikgil, 2011). Berdasarkan

uraian tersebut maka kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

TABEL KERANGKA BERFIKIR


1. Pengaruh Work-family conflict terhadap Kepuasan Kerja Kepuasan kerja

merupakan masalah umum yang dihasilkan melalui pemeriksaan hasil tes

mengenai work-family conflict yang menyebabkan ketidakpuasan kerja (Lathifah

dan Rohman, 2014). Menurut Amelia (2010) yang didukung hasil penelitian

Anafarta (2011), Laksmi dan Hadi (2012) berpendapat bahwa work-family

conflict berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja seseorang dalam bekerja.

Semakin tinggi konflik pekerjaan-keluarga yang dirasakan oleh seorang

karyawan maka kepuasan kerjanya akan semakin rendah, begitupula sebaliknya

semakin rendah konflik pekerjaan-keluarga yang dirasakan maka kepuasan

kerjanya akan semakin tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan

maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut.

H1 : Work-family conflict berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja

2. Pengaruh Stres Kerja terhadap Kepuasan Kerja

Mansoor et al. (2011) berpendapat bahwa stres berpengaruh negatif

terhadap kepuasan kerja karyawan yang memperkuat kepuasan kerja karyawan

sangat penting untuk keberhasilan perusahaan. Stres kerja mempunyai hubungan

negatif dengan kepuasan kerja, karena stres menjadi masalah utama dalam

bekerja yang sangat berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan (Jehangir,

2011). Menurut Iqbal dan Waseem (2012) stres kerja merupakan masalah serius

yang berhubungan dengan kepuasan kerja, hal ini dapat dibuktikan dengan

penelitian yang telah dilakukan mendapatkan hasil bahwa stres kerja berpengaruh

negatif terhadap kepuasan kerja, didukung pula dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Muamarah dan Kusuma (2012), Arifin dkk.(2010) serta Yinfah et

al. (2010). Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya maka

dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut. H2 : Stres kerja

berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja


3. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Turnover intention

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Waspodo dan Handayani (2013), Iqbal

et al .(2014) serta Garnita dan Suana (2014) mengemukakan bahwa kepuasan kerja

memiliki pengaruh negatif terhadap turnover intention. Semakin tinggi kepuasan

kerja karyawan yang tinggi akan menurunkan turnover intention (Muamarah dan

Kusuma, 2012). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat

turnover dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang (Aydogdu dan Asikgil, 2011).

Seseorang semakin tidak puas terhadap pekerjaannya akan semakin kuat

dorongannya untuk melakukan turnover. Ketidakpuasan yang menjadi penyebab

turnover memiliki banyak aspek diantaranya ketidakpuasan terhadap manajemen

perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, pengahargaan, gaji, promosi, dan

hubungan interpersonal (Manurung dan Ratnawati, 2012). Berdasarkan hasil

penelitian yang diuraikan maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai

berikut

H3 : Kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention

4. Pengaruh Work-family conflict terhadap Turnover intention

Lathifah dan Rohman (2014) berpendapat bahwa work-family conflict

berpengaruh positif terhadap turnover intention. Berdasarkan sisi work-family

conflict, seseorang yang memiliki jam kerja yang lama maka akan merasa kesulitan

dalam menyeimbangkan tuntutan atas pekerjaan dan keluarga sehingga timbul

tekanan atau stres dalam dirinya dan berdampak pada menurunnya kepuasan kerja

dan keinginan untuk keluar atau pindah dari organisasi tersebut (Amelia, 2010).

Work-family conflict mempunyai hubungan positif terhadap turnover intention dan

kepuasan kerja menurut Ghayyur dan Jamal (2012) dimana konflik ini

mempengaruhi perilaku melalui penarikan diri seperti gangguan dalam keluarga,


datang terlambat ke tempat kerja dan absensi. Penelitian yang dilakukan oleh

Blomme et al. (2010) dan Ngadiman dkk. (2014) juga mengemukakan bahwa work-

family conflict berpengaruh positif dengan turnover intention. Semakin tinggi

konflik yang dirasakan seseorang maka semakin tinggi pula keinginan seseorang

untuk meninggalkan perusahaannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

H4 : Work-family conflict berpengaruh positif terhadap turnover intention

5. Hubungan Stres Kerja dengan Turnover intention

Masalah turnover intention adalah masalah umum yang sering dihadapi oleh

perusahaan. Turnover intention dipicu oleh stres kerja yang dialami oleh karyawan

(Waspodo dkk.,2013). Hasil penelitian Muamarah dan Kusuma (2012) didukung pula

oleh Basri (2012), Malna dkk. (2012), dan Iqbal et al. (2014) mengemukakan bahwa

stres kerja memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention. Tingginya stres kerja

yang dirasakan oleh karyawan akan mempengaruhi tingkat keinginan karyawan untuk

keluar dari perusahaan tempat mereka bekerja (Manurung dan Ratnawati, 2012;

Rismawan dkk., 2014). Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dirumuskan

hipotesis penelitian sebagai berikut. H5 : Stres kerja berpengaruh secara positif terhadap

turnover intention

6. Peran Mediasi Kepuasan Kerja dalam Hubungan antara Work Family Conflict atau

Stres Kerja dan Turnover intention

Work Family Conflict dan stres kerja dapat menurunkan kepuasan kerja

sehingga dapat meningkatkan keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan. Hasil

penelitian terdahulu juga mengungkapkan bahwa ketidakpuasan kerja dan turnover

intention disebabkan oleh adanya work family conflict (Amelia, 2010). Work family

conflict juga memiliki hubungan signifikan dengan kepuasan kerja dan turnover

intention (Latifah dan Rohman, 2014). Kepuasan kerja juga dapat mempengaruhi
hubungan stres kerja dan turnover intention. Dalam penelitian sebelumnya seperti yang

dinyatakan oleh Muamarah dan Kusuma (2012) stres kerja berpengaruh negatif terhadap

kepuasan kerja dan berpengaruh positif terhadap turnover intention. Berdasarkan

beberapa hasil penelitian yang sudah diungkapkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan

hipotesis penelitian sebagai berikut.

H6 : Kepuasan kerja memediasi hubungan work family conflict dan turnover intention

H7 : Kepuasan kerja memediasi hubungan stres kerja dan turnover intention


BAB III

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian asosiatif kausal karena penelitian ini

bertujuan untuk meneliti dan mengetahui pengaruh work-family conflict dan stres kerja

terhadap kepuasan kerja karyawan di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang

Sleman Yogyakarta.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang

Sleman Yogyakarta,. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2021 sampai

selesai.

C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Variabel Independen Variabel independen adalah variabel yang memengaruhi

variabel terikat (dependen), baik secara positif atau negatif (Sekaran, 2006). Dalam

penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah, Variabel Penelitian dan

Pengukurannya Variabel penelitian ini terdiri atas variabel independen.

yaitu work-family conflict (X1)dan stres kerja (X2), variabel mediasi yaitu kepuasan

kerja (m), dan variabel dependen yaitu turnover intention (Y). Masing-masing variabel

tersebut merupakan variabel laten yang diukur dari beberapa indikator. Tiap-tiap

indikator terdiri atas beberapa item, yang dijabarkan dalam butir-butir pertanyaan dalam

instrumen penelitian.

Definisi Operasional Variabel 1) Work-family conflict (x1)

Work-family conflict (x1) adalah situasi yang timbul saat seseorang mengalami kesulitan

membagi peran antara pekerjaan dan keluarga ataupun sebaliknya. Penelitian dalam

mengukur variabel work-family conflict menggunakan skala Likert (Amelia, 2010).


Variabel work-family conflict diukur dengan 3 indikator seperti time-based conflict yaitu

tuntutan waktu pekerjaan kantor yang membawa kesulitan untuk mengurus rumah

tangga, keluarga dan tanggung jawab pribadi, strain-based conflict yaitu tekanan yang

timbul misalnya sesuatu yang ingin dilakukan dirumah tidak dapat dilakukan karena

tuntutan dari pekerjaan dan menimbulkan stress, dan behavior-based conflict yaitu

perilaku secara khusus yang dibutuhkan oleh salah satu peran (pekerjaan/keluarga)

sehingga membuat seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan peran

lainnya (pekerjaan/keluarga) seperti merubah waktu beraktivitas dan bersantai dengan

keluarga akibat kewajiban terhadap pekerjaan kantor.

2) Stres kerja (x2)

Stres kerja (x2) adalah suatu kondisi yang tercipta akibat seseorang tidak bisa

mengendalikan emosi yang berdampak pada proses berpikir dan kondisi diri sendiri

(Muamarah dan Kusuma, 2012). Variabel stres kerja diukur dengan 3 indikator seperti

lingkungan yaitu Ketidakpastian di lingkungan pekerjaan akan mempengaruhi desain dari

struktur organisasional, penugasan dan kebijakan serta standar operasional pekerjaan

(SOP) yang tidak pasti terkadang membuat karyawan sulit menyelesaikan pekerjaannya.

Organisasional yaitu tekanan dalam organisasi yang dapat menyebabkan stres dalam

menyelesaikan tugas dalam waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan, atasan

yang sangat menuntut dan tidak sensitif. Pribadi yaitu faktor pribadi yang dimaksud

dalam hal ini seperti permasalahan diri sendiri dengan pekerjaannya, dimana karyawan

menerima penugasan tanpa bantuan dan tidak mengetahui bagaimana atasan

mengevaluasi kinerja karyawan.

3) Turnover intention (y1)

Turnover intention (y1) adalah suatu hasrat atau keinginan untuk keluar dan mencari

pekerjaan lain yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya (Muamarah dan Kusuma,

2012). Variabel stres kerja diukur dengan 2 indikator yaitu berpikir keluar dari pekerjaan
baik dalam waktu dekat atau jangka waktu tertentu dan aktif mencari pekerjaan lain

apabila mendapatkan kesempatan dan gaji yang ditawarkan lebih besar dari sebelumnya.

4) Kepuasan kerja (m)

Kepuasan kerja (m) adalah suatu tingkatan dimana seseorang menyukai pekerjaan

(Amelia, 2010). Penelitian dalam variabel ini diukur dengan 4 indikator yaitu gaji yang

diperoleh sesuai dengan apa yang dilakukan, pengawasan yaitu kemampuan penyelia

untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku, pekerjaan itu sendiri yaitu

pekerjaan tersebut menarik, adanya kesempatan untuk belajar, dan rekan sekerja yaitu

secara teknis, rekan sekerjanya pandai dan sosial serta saling mendukung. Dalam

pengukuran data variabel-variabel penelitian ini menggunakan skala Likert dengan

interval penelitian mulai dari skor 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan skor 5 (sangat

setuju).

Populasi dan Responden Penelitian

Jumlah karyawan BRI Kanca Sleman sebanyak 165 orang yang terdiri dari … orang pria

dan … orang wanita, sedangkan karyawan yang statusnya sudah menikah sebanyak …

orang terdiri dari … pria dan …wanita. Responden dalam penelitian ini difokuskan pada

karyawan wanita yang sudah menikah, berjumlah …orang, dengan status pekerjaan

outsourcing, kontrak dan tetap. Sugiyono (2009) menyatakan apabila obyek penelitian

kurang dari 100 maka obyek penelitian yang digunakan adalah seluruhnya sehingga

penelitian ini disebut penelitian populasi.

Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini

meliputi data kuantitatif yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka seperti data jumlah

karyawan dan jumlah karyawan yang mengundurkan diri. Data kualitatif berupa uraian

atau deskripsi yang meliputi lokasi penelitian, gambaran umum perusahaan dan

karasteristik responden. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data


seperti kuesioner dan observasi. Instrumen penelitian sebelum digunakan untuk

pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Hasil pengujian

validitas instrumen terbukti valid karena nilai koefisien korelasi tiap tiap variabel

menunjukkan nilai di atas 0,30 ( r > 0,3). Demikian pula hasil pengujian reliabilitas

instrumen menunjukkan hasil reliabel karena nilai Alpha Cronbach setiap variabel

memiliki nilai lebih besar dari 0,60 (α ≥ 0,60).

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang bersifat kausalistik (Sugiyono,

2009). Penelitian ini menggunakan eksplanatori (explananatory research) yang bertujuan

untuk menjelaskan kausalitas atau hubungan antara variabel Work-family conflict (X1),

Stres Kerja (X2), Kepuasan Kerja (m), dan Turnover intention (Y) dengan menggunakan

metode PLS (Partial Least Square).

Anda mungkin juga menyukai