Bahannann
Bahannann
Dosen:
Oleh :
oleh
i
KATA PENGANTAR
Disadari atau tidak daratan yang ada di permukaan bumi dapat dikatakan
sebagai DAS. manusi hidup di sebuah tempat yang disebut dengan daerah aliran
sungai (DAS). Untuk bertahan hidup manusia bekerja dan berjuang memenuhi
kebutuhan hidupnya pada sumber daya alam serta ketersedian air yang terdapat di
DAS.
ii
airtanah. Dua persen sisanya adalah kelembaban tanah.Jumlah air di bumi secara
keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENERIMAAN.......................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................vii
1 PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................2
2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................3
2.1 Konsep dan Lingkup PSDA........................................................................3
2.1.1 Dasar Hukum.....................................................................................3
2.1.2 Permasalahan.....................................................................................3
2.2 Kebutuhan Air.............................................................................................4
2.3 Sumber Air..................................................................................................4
2.3.1 Distribusi Air.....................................................................................4
2.3.2 Distribusi Curah Hujan......................................................................4
2.3.3 Total Air Dunia.................................................................................5
2.3.4 Jumlah Air.........................................................................................6
2.3.5 Sumber air duration...........................................................................6
2.3.6 Siklus Hidrologi................................................................................6
2.3.7 Smber air...........................................................................................6
2.3.8 Siklus hidrologi.................................................................................6
2.3.9 Air Tanah...........................................................................................6
2.3.10 Aquifer........................................................................................6
2.3.11 Aquifer tertekan / bebas..............................................................6
2.3.12 Aquifer tertekan..........................................................................6
2.3.13..........................................................................................................6
2.4 Konservasi SDA.........................................................................................6
2.5 Kebutuhan air bersih...................................................................................7
2.5.1 Siklus hidrologi dan hidrogeologi.....................................................7
2.5.2 Grond water.......................................................................................7
2.6 Pandangan dan penanganan limpasan permukaan untuk kelangsungan
SDA 8
2.7 Teknik penentuan air harga air baku dan kawasan hutan...........................8
2.8 Teknologi konservasi dan penentuan sumber daya air berkelanjutan........8
2.9 Pengembangan rawa berkelanjutan............................................................8
2.10 Pengendalian daya rusak air.......................................................................8
2.11 Banjir..........................................................................................................8
2.12 Sempedan air...............................................................................................8
2.13 Pengelolaan sumber daya air terpadu.........................................................8
2.14 Waduk sebagai konservasi SDA.................................................................8
3 KESIMPULAN...................................................................................................9
4 KESIMPULAN.................................................................................................10
4.1 Lokasi dan Waktu.....................................................................................10
4.2 Tahapan Penelitian....................................................................................10
4.3 Metodologi................................................................................................10
DAFTAR GAMBARY
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1 Daerah Aliran Sungai dan Banjir
Salah satu aspek yang kerap kali dilupakan berkaitan dengan terjadinya banjir di satu
kota adalah banjir itu sangat berkaitan erat dengan kesatuan wilayah yang disebut
dengan daerah aliran sungai (DAS).
DAS sendiri didefinisikan sebagai satu hamparan wilayah dimana air hujan yang jatuh
di wilayah itu akan menuju ke satu titik outlet yang sama, apakah itu sungai, danau,
atau laut.
sumber: http://www.recycleworks.org/kids/water.html
Jadi jika air hujan yang jatuh di rumah Anda mengalir ke selokan dan menuju ke
Sungai Ciliwung, maka Anda adalah warga DAS Ciliwung. Itu artinya, jika air sungai
Ciliwung meluap dan menggenangi dataran banjir di sekitarnya, maka Anda (air hujan
dari persil lahan Anda) punya kontribusi terhadap terjadinya banjir itu.
Dengan demikian setiap kita pasti warga dari satu DAS dan setiap warga DAS
berpotensi untuk memberikan kontribusi terhadap terjadinya banjir di bagian hilir DAS
yang bersangkutan. Dalam perspektif ilmu lingkungan, setiap warga DAS berpotensi
menghasilkan eksternalitas negatif dari sisi hidrologi.
Kita, sebagai warga DAS (pemilik persil lahan), tidak menanggung akibat eksternal
dari air hujan yang jatuh di persil lahan kita dan keluar dari persil kita sebagai aliran
permukaan (run off). Padahal, kumpulan aliran permukaan dari persil-persil lahan di
wilayah DAS itu berakumulasi dan menyebabkan terjadinya banjir. Biaya eksternalitas
itu ditanggung oleh warga yang kebanjiran antara lain dalam berbagai bentuk
ketidaknyamanan, kerugian harta dan materi, bahkan jiwa.
1
2
Dari perspektif tersebut, maka setiap warga DAS perlu melakukan apa yang dalam
ilmu lingkungan disebut sebagai internalisasi, yaitu melakukan “sesuatu” di persil
lahan yang dimiliki atau dikuasai, sehingga bagian air hujan yang jatuh di persil lahan
kita menimbulkan eksternalitas negatif yang seminimal mungkin.
Suatu “daerah aliran sungai” atau DAS adalah sebidang lahan yang menampung air
hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau
laut. Istilah yang juga umum
digunakan untuk DAS adalah daerah tangkapan air (DTA) atau catchment atau
watershed. Batas DAS adalah
punggung perbukitan yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya (Gambar 1).
Karena air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah sepanjang
lereng maka garis batas sebuah DAS adalah punggung bukit sekeliling sebuah sungai.
Garis batas DAS tersebut merupakan garis khayal yang tidak bisa dilihat, tetapi dapat
digambarkan pada peta.
Batas DAS kebanyakan tidak sama dengan batas wilayah administrasi. Akibatnya
sebuah DAS bisa berada pada lebih dari satu wilayah administrasi. Ada DAS yang
3
Tidak ada ukuran baku (definitif) suatu DAS. Ukurannya mungkin bervariasi dari
beberapa hektar sampai ribuan hektar. DAS Mikro atau tampungan mikro (micro
catchment) adalah suatu cekungan pada bentang lahan yang airnya mengalir pada
suatu parit. Parit tersebut kemungkinan mempunyai aliran selama dan sesaat sesudah
hujan turun (intermitten flow) atau ada pula yang aliran airnya sepanjang tahun
(perennial flow). Sebidang lahan dapat dianggap sebagai DAS jika ada suatu titik
penyalur aliran air keluar dari DAS tersebut.
Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan sub DAS;
merupakan daerah tangkapan air dari anak sungai.
DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir.
Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran.
Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem
hilir merupakan pemakai air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem ini menjadikan
DAS sebagai satu kesatuan hidrologis. Di dalam DAS terintegrasi berbagai faktor yang
dapat mengarah kepada kelestarian atau degradasi tergantung bagaimana suatu DAS
dikelola.
Di pegunungan, di dataran tinggi dan dataran rendah sampai di pantai dijumpai iklim,
geologi, hidrologi, tanah dan vegetasi yang saling berinteraksi membangun ekosistem.
4
Setiap ekosistem di dalam DAS memiliki komponen hidup dan tak-hidup yang saling
berinteraksi. Memahami sebuah DAS berarti belajar tentang segala proses-proses
alami yang terjadi dalam batas sebuah DAS.
Beberapa proses alami dalam DAS bisa memberikan dampak menguntungkan kepada
sebagian kawasan DAS tetapi pada saat yang sama bisa merugikan bagian yang lain.
Banjir di satu sisi memberikan tambahan tanah pada dataran banjir tetapi untuk
sementara memberikan dampak negatif kepada manusia dan kehidupan lain.
3.1.1
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh
punggungpunggung bukit yang menampung air hujan dan mengalirkannya melalui
5
saluran air, dan kemudian berkumpul menuju suatu muara sungai, laut, danau atau
waduk.
Pada daerah aliran sungai terdapat berbagai macam penggunaan lahan, misalnya
hutan, lahan pertanian, pedesaan dan jalan. Dengan demikian DAS mempunyai
berbagai fungsi sehingga perlu dikelola.
Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, petani
dan pemerintah untuk memperbaiki keadaan lahan dan ketersediaan air secara
terintegrasi di dalam suatu DAS.
Dari namanya, ‘DAS’ menggambarkan bahwa ‘sungai’ atau ‘air’ merupakan faktor yang
sangat penting dalam pengelolaan DAS karena air menunjang kehidupan berbagai
makhluk hidup di dalamnya.
Masalah pada DAS yang utama berhubungan dengan jumlah (kuantitas) dan mutu
(kualitas) air.
Potensi DAS: Kemiringan lahan rata-rata 40%, curah hujan tahunan 2200 mm,
kesuburan sedang, luas DAS 22,000 ha, jumlah penduduk 50,000 jiwa. DAS
digunakan untuk pertanian tanaman semusim secara intensif.
Masalah: Air sungai makin berlumpur dan banjir lebih sering terjadi
dibandingkan dengan ketika lahan masih berupa hutan.
Tujuan pengelolaaan: Air sungai bersih kembali dan banjir terkendali
Perbaikan yang mungkin dilakukan: Perubahan pola tanam menjadi tanaman
tahunan atau campuran tanaman tahunan dengan tanaman semusim dan
pembuatan embung.
Perubahan yang mungkin terjadi: Kekeruhan air sungai dan banjir berkurang,
air untuk minum ternak dan menyiram tanaman tersedia lebih lama karena
adanya embung.
4 Pengelolaan DAS
Dalam mengelola sumberdaya lahan suatu DAS perlu diketahui apa yang menjadi
masalah utama DAS. Masalah DAS pada dasarnya dapat dibagi menjadi:
o Banjir dan kekeringan
o Menurunnya tinggi muka air tanah
o Tingginya fluktuasi debit puncak dengan debit dasar.
b. Kualitas air
o Tingginya erosi dan sedimentasi di sungai
8
o Tercemarnya air sungai dan air tanah oleh bahan beracun dan
berbahaya
o Tercemarnya air sungai dan air danau oleh hara seperti N dan P
(eutrofikasi)
Masalah ini perlu dipahami sebelum dilakukan tindakan pengelolaan DAS. Sebagai
contoh, apabila masalah utama DAS adalah kurangnya debit air sungai untuk
menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA), maka penanaman pohon
secara intensif tidak akan mampu meningkatkan hasil air. Seperti telah diterangkan
terdahulu, pohon-pohonan mengkonsumsi air lebih tinggi dibandingkan dengan
tanaman pertanian semusim dan tajuk pohon-pohonan mengintersepsi sebagian air
hujan dan menguapkannya kembali ke udara sebelum mencapai permukaan tanah.
Apabila masalah utama suatu DAS adalah kerawanan terhadap banjir maka teknik
yang dapat ditempuh adalah dengan mengusahakan agar air lebih banyak meresap ke
dalam tanah di hulu dan di bagian tengah DAS. Usaha ini dapat ditempuh dengan
menanam pohon dan/atau dengan tindakan konservasi sipil teknis seperti pembuatan
sumur resapan, rorak dan sebagainya.
Apabila yang menjadi masalah DAS adalah tingginya sedimentasi di sungai maka
pilihan teknik konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki fungsi
filter dari DAS.
Peningkatan fungsi filter dapat ditempuh dengan penanaman rumput, belukar, dan
pohon pohonan atau dengan membuat bangunan jebakan sedimen (sediment trap).
Apabila menggunakan metode vegetatif, maka penempatan tanaman di dalam suatu
DAS menjadi penting. Penanaman tanaman permanen pada luasan sekitar 10% saja
dari luas DAS, mungkin sudah sangat efektif dalam mengurangi sedimentasi ke sungai
asalkan tanaman tersebut ditanam pada tempat yang benar-benar menjadi masalah,
misalnya pada zone riparian (zone penyangga di kiri kanan sungai).
Apabila suatu DAS dihutankan kembali maka pengaruhnya terhadap tata air DAS akan
memakan waktu puluhan tahun. Pencegahan penebangan hutan jauh lebih penting
dari pada membiarkan penebangan hutan dan menanami kembali lahan gundul
dengan pohonpohonan.
Lagipula apabila penanaman pohon dipilih sebagai metode pengatur tata air DAS,
penanamannya harus mencakup sebagian besar wilayah DAS tersebut. Jika hanya 20-
30% dari wilayah DAS ditanami, pengaruhnya terhadap tata air mungkin tidak nyata.
9
Penyebaran tanaman kayu-kayuan secara merata dalam suatu DAS tidak terlalu
memberikan arti dalam menurunkan sedimentasi. Tabel 4.1 memberikan ringkasan
masalah DAS dan alternatif teknologi yang dapat dipilih untuk mengatasinya.
Permasalahan pokok yang mungkin dijumpai di dalam DAS adalah erosi dan degradasi
lahan, kekeringan dan banjir, penurunan kualitas air sungai, dan pendangkalan sungai,
danau atau waduk. Pemilihan teknologi untuk pengelolaan DAS tergantung pada sifat
DAS yang mencakup tanah, iklim, sungai, bukit dan masyarakat yang ada di
dalamnya. Oleh sebab itu tidak ada resep umum yang bisa diberikan dalam
memecahkan permasalahan DAS.
Pertimbangan pemilihan teknologi itu adalah tercapainya sasaran konservasi lahan dan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya. Berikut ini
disampaikan prinsip-prinsip tindakan yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan DAS
sehingga masyarakat dapat memilih teknologi yang sesuai:
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur
utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya
manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa
tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat
kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya
yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin
menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan
sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya
dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir
demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya
kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat
rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian
DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan
yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional
arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya
ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-
sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan
sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan
dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Pedoman ini disusun dengan maksud memberikan arahan umum atau acuan dalam
menyelenggarakan pengelolaan DAS dan disesuaikan dengan perkembangan dan
pergeseran paradigma dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Pedoman ini sifatnya umum yang dapat digunakan baik untuk pengelolaan DAS lintas
propinsi, lintas kabupaten/Kota maupun DAS dalam satu kabupaten/Kota. Karena itu
Pedoman ini diharapkan dapat disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan spesifik pada
masing-masing wilayah dan disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki masing-
masing daerah.
Sasaran wilayah pengelolaan DAS adalah wilayah DAS yang utuh sebagai satu
kesatuan ekosistem yang membentang dari hulu hingga hilir. Penentuan sasaran
wilayah DAS secara utuh ini dimaksudkan agar upaya pengelolaan sumberdaya alam
dapat dilakukan secara menyeluruh dan terpadu berdasarkan satu kesatuan
perencanaan yang telah mempertimbangkan keterkaitan antar komponen-komponen
penyusun ekosistem DAS (biogeofisik dan sosekbud) termasuk pengaturan
kelembagaan dan kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan yang disebutkan terakhir
berfungsi sebagai instrumen pengelolaan yang akan menentukan apakah kegiatan
yang dilakukan telah/tidak mencapai sasaran.
Beberapa istilah yang perlu dipahami dan disepakati bersama dalam pengelolaan DAS
adalah sebagai berikut:
a) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah
topografis yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan
dan mengalirkannya melalui ke danau atau ke laut secara alami.
b) Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui
anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS.
c) Satuan Wilayah Sungai (SWS) adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air
dalam satu atau lebih DAS dan atau satu atau lebih pulau-pulau kecil , termasuk
cekungan air bawah tanah yang berada dibawahnya.
d) Cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas
hidrogeologis,
temapat sema kejadian hidrologis seperti proses pengibuhann, pengaliran, pelepasan
air bawah
tanah berlangsung.
f) Pengelolaan DAS Secara Terpadu adalah suatu proses formulasi dan implementasi
kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya
buatan dan manusia dalam suatu DAS secara utuh dengan mempertimbangkan aspek-
aspek fisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
h) Tata air DAS adalah hubungan kesatuan individual unsur-unsur hidrologis yang
meliputi hujan, aliran permukaan dan aliran sungai, peresapan, aliran air tanah,
evapotranspirasi dan unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu DAS.
i) Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga lahan
tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai
media produksi maupun sebagai media tata air.
k) Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) adalah upaya manusia untuk
memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan daya dukung lahan agar berfungsi
optimal sesuai dengan peruntukannya.
b) Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang tidak selalu
saling mendukung.
c) Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik dalam
bentuk daur hidrologi.
Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat
partisipatif dari berbagai pihak – pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan dan
konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini
mempersyaratkan adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung
jawab, dan mempunyai rasa ketergantungan (interdependency) di antara sesama
16
Dalam melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus
dinyatakan dengan jelas. Tujuan umum pengelolaan DAS terpadu adalah :
Mengkaji Daerah Aliran Sungai dewasa ini tidak mungk in hanya didasarkan kepada
satu atau beberapa undang-undang yang sejenis atau sebidang. Daerah aliran sungai
harus dipandang sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh-menyeluruh yang terdiri
dari daerah tangkapan air, sumber-sumber air, sungai, danau, dan waduk, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahpisahkan.
a) Ketetapan MPR No. IX/ MPR/ 1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. II/ MPR/
1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
b) Ketetapan MPR No. X/ MPR/ 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
dalam
rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
2.1.3 Undang-Undang
a) Keputusan Presiden No. 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan
Sumber Daya Air.
b) Keputusan Presiden No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah.
c) Keputusan Presiden No. 163 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan,
Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara.
d) Keputusan Presiden No. 183 Tahun 2000 tentang Susunan dan Personalia Kabinet.
Kebijakan Dasar:
d) Masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS, baik secara langsung
maupun tak langsung, wajib menanggung biaya pengelolaan secara proporsional
(prinsip insentifdisinsentif).
e) Sasaran wilayah Pengelolaan DAS adalah wilayah DAS secara utuh sebagai satu
kesatuan ekosistem.
Penentuan sasaran DAS secara utuh ini dimaksudkan agar upaya penanganan kegiatan
yang direncanakan dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu berdasarkan
satu kesatuan perencanaan yang utuh, sekaligus berkaitan dengan kegiatan
monitoring dan evaluasi DAS yang ditinjau dari aspek tata air, penggunaan lahan,
sosial ekonomi dan kelembagaan.
c) Kebijakan penatagunaan tanah pada tingkat kabupaten dan kota yang mencakup
semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam kedua-
dua butir di atas.
21
Batas DAS atau Wilayah Sungai tidak selalu bertepatan (coincided) dengan batas-
batas wilayah administrasi. Oleh karena itu, perlu adanya klasifikasi DAS menurut
hamparan wilayahnya dan fungsi strategisnya sebagai berikut:
3. DAS Lintas Propinsi: letaknya secara geografis melewati lebih dari satu Daerah
Propinsi, dan/atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari
satu Daerah Propinsi, dan/atau; DAS Regional yang atas usulan Pemerintah
Propinsi yang bersangkutan, dan hasil penilaian ditetapkan untuk
didayagunakan (dikembangkan dan dikelola) oleh Pemerintah Pusat, dan/atau
DAS yang secara potensial bersifat startegis bagi pembangunan nasional.
4. DAS Lintas Negara: letaknya secara geografis melewati lebih dari satu negara,
dan/atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari satu negara,
dan/atau DAS yang secara potensial bersifat startegis bagi pembangunan
lintas negara.
dan kendala yang mungkin timbul. Perencanaan pengelolaan DAS merupakan salah
satu proses dari rangkaian atau siklus penyelenggaraan pengelolaan DAS yang secara
umum meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan (pengembangan,
penggunaan/pemanfaatan, perlindungan,dan pengendalian), pemantauan dan
evaluasi. Hasil pemantauan dan evaluasi akanmerupakan umpan balik untuk
penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di DAS.
1. Sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan pengelolaan DAS dan dapat
memberikan komitmen kepada para pihak untuk melaksanakan kegiatan masa
depan.
2. Sebagai alat untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar pihak yang
terlibat dalam pengelolaan DAS
4. Sebagai salah satu unsur atau masukan dalam penyusunan, penijauan kembali
dan atau penyempurnaan rencana tat ruang wilayah.
Landasan untuk pengelolaan secara menyeluruh suatu DAS berawal dari perencanaan.
Oleh karena itu, tahap perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS merupakan bagian
strategis untuk tercapainya muara dari upaya aktivitas pembangunan, yaitu
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sasaran dan tujuan
fundamental perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS adalah perbaikan keadaan
sosial-ekonomi pihak – pihak yang berkepentingan dengan tidak mengabaikan
keterlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan. Karena pengelolaan DAS
dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas, maka pemerintah dan masyarakat
harus bekerjasama untuk mewujudkan tujuan dilakukannya pengelolaan DAS. Tingkat
dan intensitas kerjasama tersebut bervariasi dan ditentukan, antara lain, oleh struktur
pemerintahan. Suatu pemerintahan, dimanapun berada, dibentuk untuk menga tur
kehidupan masyarakat termasuk tingkat kesejahteraannya. Oleh karena itu,
pemerintahan yang baik seharusnya dapat mengupayakan agar kesejahteraan
tersebut dapat dirasakan oleh berbagai tingkatan (sosial) yang ada di masyarakat.
Demikian pula, dipandang perlu bahwa dalam struktur organisasi pengelolaan DAS
seharusnya memberikan peran lebih penting terhadap Komisi Pengelola DAS dan
Komite Penasehat. Tidak kalah pentingnya adalah masukan atau informasi dari
26
masyarakat pada tingkat lokal dalam proses penyusunan rencana. Peran dan fungsi
masyarakat dalam proses perencanaan harus dinyatakan dan diatur dengan jelas
melalui suatu pedoman kebijakan dan kerangka kerja kelembagaan.
Dengan aturan seperti diamanatkan oleh PP No. 25, maka pembentukan Pusat
Perencanaan seperti tersebut dalam Gambar 3.3 menjadi sangat relevan.
Pertimbangan kedua adalah dengan semakin meluasnya kehendak masyarakat untuk
membuat Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam yang akan
menaungi dan mengendalikan Undang-Undang pengelolaan sumberdaya alam sektoral
yang telah berlaku, misalnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU No. 11
Tahun 1974 tentang Pengairan, dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan, maka pola perencanaan menyeluruh
pengelolaan DAS tersebut di atas juga menjadi relevan, terutama peran yang akan
dimainkan oleh Komisi DAS Nasional.
Hal yang penting diperhatikan dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS adalah
bahwa perencanaan adalah suatu proses berulang (iterative process). Perencanaan
tersebut mengatur langkah-langkah atau aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS yang
harus dilaksanakan termasuk rencana monitoring dan evaluasi (monev) terhadap
tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Dengan demikian, dapat tercipta suatu
mekanisme umpan balik (feedback) terhadap keseluruhan rencana pengelolaan DAS
sehingga dapat dilakukan perbaikan terhadap rencana yang telah disusun (Gambar
3.1).
27
3. Perumusan tujuan dan sasaran secara jelas, spesifik dan terukur dengan
memperhatikan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa dari
ekosistem DAS, peraturan dan kebijakan pemerintah, adat istiadat masyarakat
dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengelolaan DAS.
Rencana kegiatan tersebut terinci pada masing-masing program dengan skala prioritas
yang jelas, dipilih sesuai dengan permasalahan yang menonjol pada DAS yang
bersangkutan. Misalnya kegiatan untuk pengelolaan ruang, lahan dan vegetasi,
kegiatan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya air (water resources
management), dan kegiatan untuk pemberdayaan dan partisipasi masyarakat
(empowering and public participation).
Apabila hal ini terjadi, diperlukan identifikasi tentang wilayah administratif yang
termasuk/tidak termasuk dalam DAS yang menjadi kajian. Disamping itu, adanya
keterkaitan biofisik antara hulu dan hilir DAS perlu juga dilakukan identifikasi,
penentuan lokasi, kategori dan bentuk aktifitas pihak – pihak yang berkepentingan
dalam suatu DAS. Selanjutnya, dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah
mempertimbangkan mekanisme, regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan
menerapkan prinsip-prinsip insentif dan disinsentif terhadap pihak – pihak yang
berkepentingan sesuai dengan kategori dan kedudukannya dalam perspektif prinsip
pembiayaan bersama (cost sharing principle). Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan
konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan
dengan adanya biaya dari pihak – pihak yang berkepentingan yang mendapat manfaat
sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Dengan mekanisme ini terjadi interaksi di
antara pihak – pihak yang berkepentingan di
daerah hulu, tengah dan hilir DAS.
Rencana jangka panjang bersifat umum dan strategis yang harus menggambarkan
rencana makro pengelolaan DAS terpadu dan memuat karakteristik DAS,
permasalahan yang dihadapi, tujuan, sasaran umum, kebijakan, strategi penanganan
31
Rencana Jangka Menengah lebih bersifat teknis pelaksanaan dari setiap sektor,
misalnya Rencana Induk Pengembangan sumberdaya Air atau Rencana Teknik
Lapangan Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Rencana Teknik Lapangan RHL ini
memiliki output yang meliputi rekomendasi teknis kegiatan RHL, proyeksi kegiatan
tahunan RHL, analisis manfaat (finansial dan ekonomi), serta rencana monitoring dan
evaluasi. Satuan wilayah perencanaan pada rencana jangka menengah ini bisa berupa
DAS yang tidak terlalu luas atau suatu Sub DAS yang cukup luas dan dipilih sebagai
Sub DAS prioritas pada DAS yang sangat luas.
Rencana Jangka Pendek (tahunan) dibuat sangat rinci dan dilengkapi dengan deskripsi
jenis, lokasi, volume, waktu dan biaya kegiatan secara rinci. Jenis rencana jangka
pendek misalnya Rencana Teknik Reboisasi, Rencana Teknik Penghijauan yang
biasanya ditindaklanjuti dengan rancangan kegiatan pembuatan tanaman, pembuatan
bangunan-bangunan fisik (check dam, drop structure, terrace).
Agar rencana yang dibuat dapat mengikat semua pihak yang berkepentingan untuk
mengimplementasikannya, maka penyusunan rencana harus melibatkan semua pihak
yang berkepentingan dan rencana yang dihasilkan harus berkekuatan hukum.
Misalnya, rencana dibuat dalam bentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Daerah
(Perda). Jika rencana tersebut tidak dijadikan sebagai Keputusan Presiden atau
Peraturan Daerah yang utuh (tersendiri), maka dalam salah satu pasalnya Rencana
tersebut harus tercantum sebagai rujukan dalam pembangunan wilayah atau
pengelolaan sumberdaya alam DAS.
Karena Rencana merupakan salah satu dasar tahap pelaksanaan pengembangan dan
pemanfaatan sumberdaya alam DAS, maka rencana yang telah ditetapkan tersebut
harus didistribusikan dan disosialisasikan kepada semua pihak yang berkepentingan
agar dapat diketahui, dipahami dan kemungkinan adanya penyesuaian sebelum
diimplementasikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
32
Memprakirakan kondisi yang akan datang berdasarkan data dan informasi yang telah
dikumpulkan telah menjadi kendala bagi para perencana pengelolaan DAS. Data atau
informasi yang akan digunakan untuk menyusun rencana mungkin tidak tersedia sama
sekali, atau kalau tersedia, bisa jadi telah kadaluwarsa, tidak lengkap, atau tidak
relevan dengan materi perencanaan.
Sejumlah ketidakpastian yang berkaitan dengan data dan informasi tampaknya harus
dihadapi dalam proses penyusunan rencana pengelolaan DAS. Ketidakpastian
umumnya meliputi data iklim, masalah teknis, dan ketidakpastian masalah sosial-
ekonomi.
Apabila dalam masalah teknis saja dijumpai adanya ketidakpastian, maka kadar
ketidakpastian dalam masalah sosial-ekonomi tentunya menjadi lebih besar. Data dan
informasi yang sering dimanfaatkan untuk perencanaan sosial seperti kekayaan,
kesejahteraan, pendapatan, tingkat pendidikan dan lain sebagainya, untuk tempat-
tempat tertentu, boleh jadi sulit untuk memperolehnya. Dalam keadaan demikian,
prakiraan variabel-variabel sosial untuk waktu yang akan datang akan menghadapi
tingkat ketidakpastian yang lebih besar.
Kekacauan sosial dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi dari suatu
masyarakat. Keadaan ini, pada gilirannya, dapat juga mengacaukan arah kebijakan
33
dan pengelolaan sumberdaya untuk masa-masa yang akan datang. Ia juga dapat
menciptakan ketidakpastian tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
sistem pemilikan tanah dan beberapa hak lain yang dimiliki oleh masyarakat.
Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan dengan pengelolaan DAS
telah dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan
Nasional, Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen
Pertambangan dan Energi dan pihakpihak lainnya. Masing-masing instansi mempunyai
pendekatan yang berbeda dalam kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit
perencanaan maupun implementasinya sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan
35
DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik ditinjau dari banyaknya pihak yang
terlibat maupun aspek-aspek yang ada di dalam suatu DAS. Dengan kondisi yang
demikian maka dibutuhkan suatu sistem yang dapat menciptakan percepatan dalam
pengelolaan DAS secara ideal.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral, dan oleh karenanya,
seringkali terjadi tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang
terlibat dalam pengelolaan DAS. Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan,
diperlukan klarifikasi dan identifikasi secara jelas tugas dan wewenang masing-masing
lembaga dalam menjalankan fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan,
masalah lain yang umum terjadi dalam pengelolaan sumberdaya yang melibatkan
banyak lembaga adalah masalah kerjasama dan koordinasi antar lembaga. Oleh
karena itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang mengatur mekanisme kerja
antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan matang sehingga dapat menghasilkan
pola kerjasama dan koordinasi yang optimal.
a) Melakukan identifikasi dan membuat daftar seluruh lembaga dan pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan pengelolaan DAS termasuk mereka yang
diprakirakan akan terkena dampak atas pelaksanaan program pengelolaan DAS.
c) Merumuskan bentuk lembaga atau badan pengelola DAS yang sesuai dengan
karakteristik biogeofisik dan sosekbud serta letak geografis DAS.
Dalam pengelolaan DAS, ada lembaga tertentu memiliki tanggung jawab khusus untuk
suatu wilayah pengelolaan, misalnya pengurusan konservasi tanah dan air di areal
hutan menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan dan Perkebunan (c.q. Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah). Konservasi tanah dan air di lahan-lahan
milik di lokasi yang berdekatan dengan hutan menjadi tanggung jawab Departemen
Dalam Negeri (Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah). Demikian pula, pembagian
kewenangan dan tanggung jawab dalam satu atau lebih departemen dapat berbeda-
beda, misalnya ada bagian yang menangani irigasi, pengendalian banjir, pembangkit
listrik tenaga air (hydropower), perikanan, pariwisata, dan seterusnya.
c) Tentukan suatu mekanisme koordinasi dan kooperasi antar lembaga pengelola DAS
yang bersifat menyeluruh dari hulu hingga hilir DAS serta mencakup keseluruhan
lembaga/organisasi yang terlibat dalam pengelolaan DAS termasuk kewenangan
masingmasing lembaga/organisasi berdasarkan fungsinya.
Bentuk lembaga pengelola DAS dalam arti mempunyai tugas operasional dapat dipilih
dari tiga bentuk lembaga sebagai berikut:
1. Badan Koordinasi
Sebagai koordinator adalah instansi yang berwenang mengkoordinasikan
penyelenggaraan pengelolaan DAS. Pelaksana operasional dan pemeliharaan
dilaksanakan oleh instansi fungsional terkait.
2. Badan Otorita
Badan ini dibentuk oleh pemerintah sebagai pelaksana dengan tugas
mengurus dan mengusahakan pemberdayaan Daerah Aliran Sungai dengan
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Dewan Air (Komisi DAS).
3. Badan Usaha
Badan Usaha (dalam bentuk BUMN atau BUMD) dibentuk oleh pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang ditugasi mengusahakan DAS sesuai dengan kebijakan
yang ditetapkan oleh Dewan Air (Komisi DAS).
Keanggotaan Komisi DAS tersebut terdiri atas wakil seluruh pihak – pihak yang
berkepentingan, yaitu:
Sistem koordinasi pengelolaan DAS sebelum taun 2001 diatur dalam Keppres no 9
tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan
Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah aliran Sungai. Akan tetapi Keppres
tersebut diganti dengan Kepres No.123 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim
Koordinasi Pengelolaan Sunmber Daya Air. Dalam Keppres 123 tersebut ditentukan
bahwa Ketua Tim Koordinasi adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Wakil
Ketua adalah Menteri Negara Perncnaan Pembangunan Nasional dan Ketua Harian
adalah Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Sedangkan anggotanya adalah
Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal, Menteri
Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan,
Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan
Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Tim Koordinasi Sumber Daya Air bertugas membantu Presiden dalam merumuskan
kebijakan nasional sumberdya air dan berbagai perangkat kebijakan lain yang
diperlukan dalam bidang sumberdaya air. Untuk melaksanakan tugas tersebut Tim
Koordinasi mempunyai fungsi :
b. Melakukan konsultasi internal dan eksternal dengan semua pihak baik pemerintah
maupun non-pemerintah dalam rangka keterpaduan kebijakan dan pencegahan konflik
antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya air;
Penyelenggaraan tugas dan fungsi Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air sehari-
hari dilaksanakan oleh Ketua Harian dibantu oleh Sekretariat Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumberdaya Air yang diketuai oleh Sekretaris I Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumberdaya Air yaitu Deputi Bidang Produksi, Perdagangan dan
40
Prasarana, Bappenas. Sekretariat Tim koordinasi ini terdiri dari Tim Pengarah, Tim
Pelaksana dan Tim Kerja yang keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur pemerintah
dan non-pemerintah.
41
Mengacu pada Kepres No. 123 Tahun 2001 dan Rancangan Undang-Undang
Sumberdaya Air (sedang disiapkan), maka koordinasi pengelolaan DAS untuk tingkat
nasional adalah bagian dari fungsi dan tugas pokok Tim Koordinasi Pengelolaan
Sumberdaya Air karena DAS dikategorikan sebagai bagian sumber air selain Waduk,
Rawa, dan badan sungai itu sendiri.
Dengan fungsi dan tugas serta struktur tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa
Tim Koordinasi beserta pelaksananya di lapangan dapat klasifikasikan sebagai
pelaksana dalam pelaksanaan pengelolaan terpadu DAS. Sedangkan menurut
Rancangan Undang-Undang Sumberdaya Air, Komisi DAS Nasional secara struktural
berada di bawah koordinasi Dewan Nasional Sumberdaya Air. Komisi DAS yang terdiri
atas para pihak – pihak yang berkepentingan merupakan gabungan dari wakil
masyarakat, pakar (universitas), masyarakat industri/bisnis, anggota parlemen
bersifat sebagai pengguna/pemanfaat sumberdaya air.
Dengan anggota dan kedudukan tersebut di atas, maka Komisi DAS dapat
dikategorikan sebagai pengawas ?.
Mekanisme kerja antara Tim Koordinasi dan Komisi DAS bersifat kemitraan dimana
dalam proses penyusunan kebijakan, kriteria/standar, pedoman, Tim Koordinasi akan
mendiskusikannya dengan Komisi DAS Nasional. Dengan demikian, hasil penyusunan
kebijakan, pedoman, kriteria/standar dapat diterima semua pihak yang berkaitan
dengan pengelolaan DAS.
Hubungan kerja Tim Koordiansi Pengelolaan Sumberdaya Air Nasinal dengan Tim
Koordiansi tingkat Daerah bersifat konsultatif dan koordinatif.
Partisipasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana pihak yang akan
memperoleh dampak (positif dan/atau negatif) ikut mempengaruhi arah dan
pelaksanaan kegiatan, tidak hanya menerima hasilnya.
a) Bentuk Partisipasi
1. Tahap pembuatan keputusan. Dalam hal ini, sejak awal masyarakat telah
dilibatkan dalam proses perencanaan dan perancangan kegiatan serta dalam
pengambilan keputusan atas rencana yang akan dilaksanakan.
Untuk mencapai tingkat partisipasi yang tinggi, berikut ini adalah beberapa elemen
kunci yang perlu dipertimbangkan:
c) Metode Partisipasi
Berikut ini adalah kegiatan yang relevan dengan pengelolaan DAS untuk menjamin
kelestarian serta adanya peran para pengelola yang terlibat.
Sesuai dengan rencana makro, rencana kerja jangka menengah dan tahunan
konservasi Daerah Tangkapan Air (DTA/catchment area), Dinas/instansi terkait dan
masyarakat, sebagai pelaksana pengelolaan sumberdaya alam di DAS melaksanakan
kegiatan pemanfaatan dan konservasi DTA.
b. Prediksi Kekeringan
c. Penanggulangan Kekeringan
e. Alokasi Air
f. Distribusi Air
Bersama Dinas/Instansi terkait menyiapkan rencana induk dan program kerja jangka
menengah dan tahunan pengendalian pencemaran air dan peningkatan kualitas air.
a. Pemeliharaan Preventif
Melakukan pemeliharaan rutin, berkala dan perbaikan kecil untuk mencegah terjadinya
kerusakan prasarana pengairan yang lebih parah.
b. Pemeliharaan Korektif
c. Pemeliharaan Darurat
Menyiapkan pedoman siaga banjir yang berlaku sebagai SOP (Standard Operation
Procedure) pengendalian banjir yang dipergunakan oleh seluruh instansi terkait.
Pengendalian banjir dilakukan melalui pengaturan operasi waduk untuk menampung
debit banjir, dan pengaturan bukaan pintu air guna mendistribusikan banjir sehingga
dapat dikurangi/dihindari dari bencana akibat banjir.
c. Penanggulangan Banjir
Mengembangkan pemanfaatan sungai dan waduk untuk keperluan wisata, olah raga,
dan
transportasi air bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.
Selain sebagai sistem ekologi yang bersifat kompleks, DAS juga dapat dianggap
sebagai sistem hidrologi. Sebagai suatu sistem hidrologi, maka setiap ada masukan
(input) ke dalam sistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang
berlangsung dengan melihat keluaran (output) dari sistem. Dalam sistem hidrologi
DAS, komponen masukan terdiri atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiri
atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemar di
dalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-komponen vegetasi, tanah, topografi,
air/sungai, dan manusia dalam hal ini berlaku sebagai prosesor.
Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini,
antara lain, dari segi fungsi tata air. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan/atau cara
bercocok tanam yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di
daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transpor sedimen serta
material terlarut lainnya. Oleh adanya bentuk keterkaitan daerah hulu- hilir seperti
tersebut di atas, maka kondisi biofisik dan sosek suatu DAS dapat dimanfaatkan
sebagai variabel monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air. Lebih spesifik,
hubungan antara indikator masukan (a.l., curah hujan) dan indikator keluaran (a.l.,
debit aliran, muatan sedimen, bahan pencemar) dari suatu DAS dapat dimanfaatkan
untuk analisis dampak suatu aktivitas pembangunan terhadap lingkungan (hidrologi)
di lokasi berlangsungnya aktivitas pembangunan (on-site) dan, terutama pengaruhnya
di daerah hilir (off-site).
Untuk memperoleh data dan informasi yang dapat memberikan gambaran menyeluruh
mengenai perkembangan keragaan DAS, maka diperlukan kegiatan monitoring dan
evaluasi DAS, yang ditekankan pada aspek tata air, perubahan penggunaan lahan dan
sosial ekonomi.
Tujuan utama monitoring dan evaluasi adalah memperoleh data dan informasi kondisi
sumberdaya DAS yang dapat dimanfaatkan dalam penetuan kebijakan, perencanaan
dan pelaksanaan program pengelolaan DAS, terutama pola pengelolaan yang bersifat
holistik/integratif mencakup wilayah hulu-hilir DAS. Program monitoring dan evaluasi
juga dianggap penting mengingat bahwa masih banyak pengambil keputusan dalam
pengelolaan DAS yang belum menyadari bahwa solusi bagi kebanyakan permasalahan
DAS adalah dengan memanfaatkan hasil monitoring dan evaluasi dalam sistem
perencanaan pengelolaan DAS.
dirumuskan. Oleh karena itu, diperlukan sistem monitoring dan evaluasi termasuk
sistem manajemen data.
a) Data curah hujan; diperoleh dari stasiun pencatat hujan yang ada di wilayah kerja.
b) Data besarnya aliran air sungai (debit sungai) diperoleh dari outlet DAS/Sub DAS.
c) Data kualitas air terutama kandungan lumpur terlarut (suspended sediment).
Evaluasi tata air didasarkan pada hasil analisis terhadap debit sungai maksimum dan
minimum hingga dapat diketahui nilai koefisien rejim sungai (KRS)-nya, hasil
perhitungan muatan sedimen sungai sehingga dapat dipakai untuk memperkirakan
erosi yang terjadi, membandingkan antara debit sungai dengan curah hujan, sehingga
dapat diketahui perubahan koefisien run-off dari tahun ke tahun.
alam seperti rehabilitasi hutan dan lahan baik secara vegetativ maupun secara sipil
teknis.
b) Perubahan tataguna lahan yang mencakup perubahan pemanfaatan lahan, dari segi
produksinya dan juga tingkat konservasinya.
Kriteria pengelolaan terpadu Daerah Aliran Sungai adalah ukuran yang menjadi dasar
penilaian tingkat keberhasilan dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
dan pengendalian dalam optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dalam DAS yang
berkelanjutan. Indikator pengelolaan DAS yang berkelanjutan adalah alat pemantau
yang dapat memberikan petunjuk untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan
pengelolaannya.
Dalam pedoman pengelolaan DAS, kriteria dan indikator kinerja DAS perlu ditentukan
karena keberhasilan maupun kegagalan hasil program pengelolaan DAS dapat
dimonitoring dan dievaluasi melalui kriteria dan indikator yang ditentukan khusus
untuk maksud tersebut. Perlu ditekankan bahwa kriteria dan indikator yang diusulkan
53
seharusnya bersifat sederhana dan cukup praktis untuk dilaksanakan, terukur, dan
mudah difahami terutama oleh para pengelola DAS dan pihak lain yang mempunyai
kepentingan terhadap program pengelolaan DAS. Tabel 7.1 menunjukkan kriteria dan
indikator untuk menentukan kinerja DAS.
Penetapan kriteria dan indikator kinerja DAS diupayakan agar relevan dengan tujuan
penetapan kriteria dan indikator dan diharapkan mampu menentukan bahwa program
pengelolaan DAS dianggap berhasil atau kurang/tidak berhasil. Dengan kata lain,
status atau “kesehatan” suatu DAS dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria-
kriteria kondisi tata penggunaan lahan, sosialekonomi, dan kriteria kelembagaan.
Tabel 7.1. menunjukkan kriteria dan indikator yang digunakan untuk menentukan
status “kesehatan” DAS termasuk parameter yang digunakan.
Pada Tabel 7.1. untuk menentukan kinerja suatu DAS dari aspek tata air, maka
diperlukan indikator- indikator: debit aliran, kandungan sedimen dan bahan pencemar
lainnya, dan nisbah hantar sedimen (Sediment Delivery Ratio). Untuk masing- masing
indikator tersebut di atas, ditentukan parameternya, misalnya parameter untuk debit
aliran sungai adalah data serial debit aliran sungai. Dengan cara yang sama, kinerja
suatu DAS ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria penggunaan lahan, kriteria sosial-
ekonomi, dan kriteria kelembagaan.
a Ekosistem
b Kelembagaan
c Teknologi
d Pendanaan
Kriteria untuk perencanaan yang disusun dalam rangka pengelolaan terpadu DAS
terdiri dari :
Uraian di atas menunjukkan bahwa kriteria dan indikator memainkan peran penting
bagi tercapainya pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Uraian kriteria dan indikator
yang lebih lengkap dan menyeluruh ditunjukkan oleh Tabel 7.2.
58
6.2 41 Komentar »
1.
2.
Pak Harto, merubah suatu pemanfaatan lahan yang terlanjur berubah fungsi,
apalagi menjadi kawasan terbangun, dan pembangunannya legal, umumnya
sulit dilaksanakan kalau tidak dikatakan mustahil. Meskipun daerah itu rawan
banjir.
Sumber: http://www.rudyct.com/PPS702-
ipb/04212/andi_rahmadi.htm
Abstrak
Pendahuluan
62
DAFTAR PUSTAKA
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Naik Sinukaban
Ketua Umum Pengurus Pusat MKTI Periode 2004 – 2007 Jurusan ilmu Tanah,
Institut Pertanian Bogor
8.1.1 PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas
topografi secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam
DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam
DAS tersebut. Dalam Bahasa Inggris pengertian DAS sering diidentikan
dengan watershed, catchment area atau river basin.
Pengertian DAS tersebut menggambarkan bahwa DAS adalah suatu wilayah yang
mengalirkan air yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan terlarut melalui titik
yang sama sepanjang suatu aliran atau sungai. Dengan demikian DAS
atau watershed dapat terbagi menjadi beberapa sub DAS dan sub-sub DAS, sehingga
68
luas DAS pun akan bervariasi dari beberapa puluh meter persegi sampai ratusan ribu
hektar tergantung titik pengukuran ditempatkan.
Apabaila ada kegiatan di suatu DAS maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi
aliran air di bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penebangan hutan
secara sembarangan di bagian hulu suatu DAS dapat mengganggu distribusi aliran
sungai di bagian hilir. Pada musim hujan air sungai akan terlalu banyak bahkan sering
menimbulkan banjir tetapi pada musim kemarau jumlah air sungai akan sangat sedikit
atau bahkan kering. Disamping itu kualitas air sungai pun menurun, karena sedimen
yang terangkut akibat meningkatnya erosi cukup banyak. Perubahan penggunaan
lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok pun dapat mempengaruhi
kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir.
Oleh karena itu, dari segi hidrologi, erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap
sebagai suatu sistem dimana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan
mempengaruhi bagian lain dalam DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengelolaan
dan pengembangan DAS yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air, yang
pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan hidup, antara lain, penebangan hutan,
penambangan, permukiman, lingkungan pabrik, perubahan penggunaan lahan,
penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembangan pertanian lahan kering,
termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, seperti tebu, karet, kelapa sawit,
dan perubahan agroteknologi.
Sumberdaya alam utama yang terdapat dalam suatu DAS yang harus diperhatikan
dalam pengelolaan DAS adalah sumberdaya hayati, tanah dan air. Sumberdaya
tersebut peka terhadap berbagai macam kerusakan (degradasi) seperti kehilangan
keanekaragaman hayati (biodiversity), kehilangan tanah (erosi), kehilangan unsur
hara dari daerah perakaran (kemerosotan kesuburan tanah atau pemiskinan tanah),
akumulasi garam (salinisasi), penggenangan (water logging), dan akumulasi limbah
industri atau limbah kota (pencemaran) (Rauschkolb, 1971; ElSwaify, et. al. 1993).
Menurunnya kualitas air yang disebabkan baik oleh sedimen yang bersumber dari erosi
maupun limbah industri (polusi) sudah sangat dirasakan di daerah aliran sungai yang
berpenduduk padat.
Erosi di daerah tropika basah dengan berbagai fenomena yang bertalian erat
dengannya seperti penurunan produktivitas tanah, sedimentasi, banjir, kekeringan,
termasuk jenis kerusakan DAS yang memerlukan penanganan segera dengan
menggunakan teknologi yang telah dikuasai maupun teknologi baru, agar degradasi
lingkungan tidak berlanjut mencapai tingkat yang gawat. Dampak negatif erosi terjadi
69
pada dua tempat yaitu pada tanah tempat erosi terjadi, dan pada tempat sedimen
diendapkan.
Kerusakan utama yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi adalah kemunduran
kualitas sifat-sifat biologi, kimia, dan fisik tanah. Kemunduran kualitas tanah tersebut
dapat berupa kehilangan keanekaragaman hayati, unsur hara dan bahan organik yang
terbawa oleh erosi, tersingkapnya lapisan tanah yang miskin hara dan sifat-sifat fisik
yang menghambat pertumbuhan tanaman, menurunnya kapasitas infiltrasi dan
kapasitas tanah menahan air, meningkatnya kepadatan tanah dan ketahanan
penetrasi serta berkurangnya kemantapan struktur tanah. Hal tersebut pada akhirnya
berakibat pada memburuknya pertumbuhan tanaman, menurunnya produktivitas
tanah atau meningkatnya pasokan yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi.
Memburuknya sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah serta menurunnya produktivitas
tanah sejalan dengan semakin menebalnya lapisan tanah yang tererosi (Sudirman et
al 1986).
Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh aliran permukaan diendapkan di
bagian tertentu atau masuk ke sungai serta diendapkan di dalam sungai, waduk,
danau atau saluran-saluran air. Disamping itu dengan berkurangnya
kapasitas infiltrasi tanah yang mengalami erosi akan menyebabkan aliran permukaan
(run off) meningkat. Peningkatan aliran permukaan dan mendangkalnya sungai
mengakibatkan banjir semakin sering dengan tingkatan (derajat) yang semakin berat
pada setiap musim hujan. Terjadinya banjir sudah merupakan fenomena yang
berulang setiap tahun di banyak DAS di Indonesia.
Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS
menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga
berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian
terlihat bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang tidak
terpisahkan dari peristiwa eropsi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara
terutama N dan P serta bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam
waduk atau sungai (Sinukaban 1981). Hal ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi
berlebihan dalam danau atau waduk sehingga memungkinkan perkembangan tananam
air menjadi lebih cepat dan pada akhirnya mempercepat pendangkalan dan kerusakan
waduk atau danau tersebut. Meningkatnya aktivitas pertambangan dan pembanguan
pabrik yang tidak diikuti dengan teknik konservasi dan penanganan limbah yang
memadai, akan meningkatkan pencemaran yang luar biasa di bagian hilir.
Dari gambaran tersebut telihat juga bahwa laju erosi suatu DAS dapat dijadikan salah
satu indikator kecepatan proses pengrusakan (degradasi) DAS. Untuk menilai laju
erosi yang terjadi di suatu DAS, petunjuk dasar yang mudah diperoleh adalah
70
Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau adalah indikator utama
kerusakan DAS yang sangat jelas. Pada dasarnya banjir terjadi karena sebagian besar
dari hujan yang jatuh ke bumi tidak masuk kedalam tanah mengisi akuifer, tetapi
mengalir di atas permukaan yang pada gilirannya masuk ke sungai dan mengalir
sebagai banjir ke bagian hilir. Hal ini terjadi karena kapasitas infiltrasi tanah sudah
menurun akibat rusaknya DAS. Faktor utama kerusakan DAS yang mengakibatkan
menurunnya infiltrasi adalah: (1) hilang / rusaknya penutupan vegetasi permanen /
hutan di bagian huilu, (2) pengunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya,
dan (3) penerapan teknologi pengelolaan lahan / pengelolaan DAS yang tidak
memenuhi syarat yang diperlukan.
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok agronomi
antara lain penanaman tanaman campuran (tumpang sari), penananam berurutan
71
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok vegetatif
antara lain penanaman tanaman pohon atau tanaman tahunan (seperti kopi, teh, tebu,
pisang), penanaman tanaman tahunan di batas lahan (tanaman pagar), penanaman
strip rumput (vetiver, rumput makanan ternak).
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok struktur
antara lain saluran penangkap aliran permukaan, saluran pembuangan air, saluran
teras, parit penahan air (rorak), sengkedan, guludan, teras guludan, teras bangku,
dam penahan air, dan embung pemanen air hujan.
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok manajemen
antara lain perubahan pengunaan lahan menjadi lebih sesuai, pemilihan usaha
pertanian yang lebih cocok, pemilihan peralatan dan masukan komersial yang lebih
tepat, penataan pertanian termasuk komposisi usaha pertanian, dan penentuan waktu
persiapan lahan, penanaman, dan pemberian input.
Penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai di berbagai proyek
pengembangan pertanian dan penelitian telah membuktikan bahwa teknik konservasi
tanah dan air mampu menstabilkan produktivitas pertanian dan bahkan pada beberapa
tempat mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani (Sihite dan
Sinukaban, 2004).
Penanaman sayuran mengikuti kontur pada tanah Andosol yang mempunyai drainase
yang baik di Citere Jawa Barat mampu mempertahankan produktivitas lahan dan
sangat efektif menekan erosi. Penggunaan rorak dan tananam penaung multistrata di
pekebunan kopi rakyat mampu menekan erosi dan meningkatkan pendapatan petani
sampai lebih dari Rp. 6.000.000 di DAS Besai Lampung barat.
Untuk menjaga kelestarian sumberdaya air di suatu DAS, maka penutupan vegetasi
permanen harus tetap dijaga kelestariannya, penggunaan lahan harus sesuai dengan
kemampuan lahan dan teknologi pengelolaan DAS harus memenuhi kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air. Di DAS yang didominasi oleh daerah pertanian, penerapan
teknik konservasi yang memadai sangat diperlukan untuk meningkatkan infiltrasi dan
menurunkan aliran permukaan yang pada gilirannya dapat melestarikan sumberdaya
air.
72
Hasil penelitian tentang pengaruh teknik konservasi tanah dan air yang memadai
dalam pengelolaan DAS terhadap kelestarian sumber daya air di Jawa Barat dan
Lampung sangat positif (Sinukaban et al, 1998, Sihite dan Sinukaban 2004). Penelitian
di Jawa Barat dan Lampung Barat tersebut menunjukan bahwa teknik pengelolaan
DAS yang memenuhi kaidah konservasi tanah dan air akan menurunkan aliran
permukaan (quick flow) dan menaikan aliran dasar (base flow) serta memperpanjang
masa aliran dasar secara substansial (Sinukaban et al, 198).
Walaupun hanya sepertiga dari luas DAS yang menerapkan teknik konservasi yang
memadai, teknik konservasi tersebut sudah mampu menekan koefisien aliran
permukaan dari 0,72 menjadi 0,49 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,39 dua tahun
setelah penerapan teknik konservasi. Disamping itu koefisien aliran dasar (base flow)
meningkat dari 0,28 menjadi 0,51 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,61 dua tahun
setelah peneapan teknik konservasi (Tabel 1). Disamping adanya peningkatan debit
aliran dasar, penerapan teknik konservasi tanah dan air juga memperpanjang lamanya
aliran dasar dari hanya sampai bulan Juni pada saat belum diterapkannya teknik
konservasi menjadi sampai bulan Juli setelah setahun penerapannya dan menjadi
sampai bulan Agustus setelah dua tahun (Gambar 1 dan 2). Bila dikombinasikan
dengan peningkatan penutupan vegetasi permanen dan menempatkan penggunaan
lahan yang sesuai dengan kemampuannya maka kelestarian sumberdaya air di DAS
akan terjaga secara lestari.
73
Gambar 1. Jumlah, rata-rata dan minimum aliran permukaandan hujan dari Oktober 1992 -
September 1995 di daerah tangkapan Citere Jawa Barat
74
75
Gambar 2. Perbandingan antara aliran maksimum, rata-rata dan minimum dari tiga musim
hujan di Daerah Tangkapan Citere Jawa Barat
Keadaan DAS dianggap sebagai suatu sistem, maka dalam pembangunannya pun, DAS
harus diperlakukan sebagai suatu sistem (Gill, 1979). Dengan memperlakukan DAS
sebagai suatu sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan
pembangunan berkelanjutan, maka sasaran pengembangan DAS akan menciptakan
ciri-ciri yang baik sebagai berikut:
3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. Salah satu faktor penting yang
harus diwujudkan dalam setiap sistem pengelolaan DAS adalah menjaga fungsi
DAS sebagai pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu fungsi hidrologis DAS
76
Suatu daerah aliran sungai terdiri dari bagian hulu, tengah dan hilir. Berbagai kegiatan
dapat dijumpai dalam pengembangan satu DAS, antara lain, kegiatan konstruksi
seperti: pembangunan jalan, perluasan kota / daerah permukiman, industri,
pengembangan tenaga listrik, dam atau waduk untuk irigasi atau hidrolistrik, kegiatan
pengerukan, pembangunan kanal, transportasi / navigasi, pertambangan, pertanian,
perikanan, perkebunan, kehutanan serta kegiatan lainnya.
Setiap kegiatan bertujuan untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Dari sisi lain
kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan menghasilkan dampak negatif terhadap
kegiatan lainnya. Oleh karena itu semakin banyak kegiatan dalam pengembangan
suatu DAS apabila tidak dilandasi oleh suatu perencanaan yang menyeluruh dan
terintegrasi, akan semakin besar terjadinya persaingan atau konflik atau benturan di
antara berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan berbagai masalah.
Gill, N. 1979. Watershed Development with Special Reference to Soil and Water
Conservation. FAO. Soil. Bull. No. 44.
Sihite, J. and Sinukaban. 2004. Economic Valuation of Land Use Cange in Besai Sub
Watershed Tulang Bawang Lampung. Proceed of International Seminar on “Toward
Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological
Production” 3 – 5 Dec 2004. Cilegon, Indonesia.
Sinukaban, N. 1981. Erosion Selectivity as Affected by Tillage Planting System. Ph.D
Thesis University of Winconsin, Madison, USA.
Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. J.L. Amstrong and MG Nethery, 1994. Effect of
Soil Conservation Practices and Slope Lengths on Run Off, Soil Loss and Yield of
Vegetables in West Java. Aust, J. Soil and Water Cons. 7(3): 25-29.
Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. and J. Amstrong. 1998. Impact of soil and
Water Conservation Practiceson Stream Flows in Citere Catchment, West Java,
Indonesia. Toward Sustainable Land Use. Advances in Geoecology 31:1275-1280
78
Sudirman, N. Sinukaban, Suwardjo dan S. Arsyad. 1985. Pengaruh Tingkat Erosi dan
Pengapurn terhadap Produktivitas Tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk
(6)9-14.
WASWC (World Association of soil dan eater Conservation). 1998. Wocat (World
Overview of Conervation Approachs and Technologies). A Frame Work for the
Evaluation of Soil and water Conservation. Lang Druck AG, Bern Switzerland.
Sumber: Naik Sinukaban (2007). “Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.” Dalam Fahmudin Agus et al (2007)
(Penyunting). “Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Pengurus
Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007.
Oleh : NAIK SINUKABAN
Sumber: http://muhtadi71.wordpress.com/2008/
Otonomi daerah (OTDA) yang secara universal dikenal sebagai desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah (UU Otonomi Daerah,1999). Desentralisasi secara efektif dan menyeluruh
telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1 Januari 2001 dengan dasar hukum pokok yaitu
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Undang-
undang tersebut desentralisasi menyangkut penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah (pusat) kepada daerah otonom yang berada pada tingkat di bawahnya.
Namun prinsip desentralisasi bukan hanya mengenai penyerahan wewenang
pemerintahan, tetapi yang lebih penting lagi adalah transfer proses pengambilan
keputusan (transfer of decision-making process) dari otoritas pusat kepada otoritas
tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat dalam merencanakan dan
melaksanakan kegiatan pembangunan.
79
Pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) yang luas dan utuh di Indonesia ditempatkan
pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan OTDA di propinsi merupakan
otonom yang terbatas. Penerapan desentralisasi merupakan respon atas gagalnya
sistem pembangunan nasional yang sentralistik dan keinginan berbagai daerah untuk
mendapatkan manfaat dan rasa keadilan dalam alokasi hasil pengelolaan sumberdaya
alam. Sistem sentralistik yang diterapkan di Indonesia selama masa orde baru telah
berakhir dengan kondisi antiklimaks dari pelaksanaan pembangunan jangka panjang
yang ditandai oleh terjadinya krisis ekonomi, sosial, dan politik. Era sentralisasi
ekonomi dan pemerintahan yang diterapkan secara nasional oleh pemerintahan orde
baru selama 32 tahun (1966-1998) telah banyak menguras sumberdaya alam (SDA)
lokal dan mengalirkan keuntungan ekonomi yang diperoleh ke pusat pemerintahan dan
bisnis di Jakarta sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial di daerah.
Indikator hasil pengurasan SDA secara sentralistik di Indonesia ditunjukkan dengan
terjadinya kesenjangan ekonomi antara daerah dan pusat, tingginya tingkat
kemiskinan di daerah, kerusakan lingkungan hidup di daerah , dan lemahnya
kelembagaan di daerah.
Munculnya era reformasi menggantikan orde baru menguatkan tuntutan daerah untuk
mendapatkan kewenangan yang luas dalam pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumberdaya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara
berkeadilan.
peran dan manfaat yang diharapkan dari penerapan desentralisasi antara lain adalah:
(a) mempercepat terselenggaranya pelayanan publik dan pengadaan fasilitas kepada
masyarakat, sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, (b) alokasi dan
distribusi hasil pemanfaatan sumberdaya alam lebih adil dan merata, (c) membuka
peluang berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah yang
lebih merata, (d) meningkatkan peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam
pemanfaatan sumberdaya alam secara lebih efisien, efektif, dan sesuai dengan
dinamika masyarakat di daerah, dan (e) menempatkan posisi pengambil kebijakan
lebih dekat dengan kepentingan masyarakat.
kualitas lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada daerah
setempat (on-site effects) seperti longsor dan erosi tanah tetapi juga di luar daerah
setempat (off-site effects) seperti banjir dan sedimentasi. Fenomena degradasi
lingkungan seperti banjir, erosi, longsor, sedimentasi dimusim hujan serta kekeringan
dimusim kemarau itu sudah terjadi dengan frekuensi yang semakin sering dan
intensitas yang semakin parah.
Suatu kegiatan dibagian hulu DAS akan berpengaruh pada daerah dibagian hilir.
Dengan demikian DAS menjadi integrator beragam interaksi komponen ekosistem,
sehingga batas DAS sering dijadikan patokan batas bioregion. Batas bioregion dalam
pembagunan daerah menjadi sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan yang
menjamin keseimbangan fungsi ekologis dan ekonomi. Sungai, pada umumnya berada
di tengah DAS, sering dijadikan batas terluar dari batas administratif daerah otonom.
Oleh karena itu batas DAS akan bersifat lintas lokal melampaui batas-batas kekuasaan
politis dan administrasi, sehingga masalah DAS pada umumnya menyangkut beberapa
kabupaten dalam satu atau lebih propinsi. Pengaturan dan pengelolaan SDA dalam
DAS dirasakan semakin kompleks dalam era OTDA dan berpotensi menimbulkan
konflik antar daerah otonom. Oleh karena itu strategi atau konsep pengelolaan DAS
dalam era otonomi daerah sangat diperlukan untuk menghindari konflik dan degradasi
SDA dan lingkungan.
Masalah pengelolaan DAS dalam kaitannya dengan OTDA sebaiknya tidak diletakkan
dalam perspektif perbedaan antara batas ekologis DAS dengan batas administrasi
daerah otonom secara kaku. Oleh sebab itu DAS harus dipandang sebagai suatu
kesatuan bio-region yang mungkin terdiri dari beberapa daerah otonom yang secara
ekologis dan ekonomi saling berkaitan. Selanjutnya OTDA dijadikan alat untuk
mencapai tujuan pemanfaatan potensi SDA berkelanjutan dan bukan merupakan
82
tujuan. Pandangan ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang:
bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam perlu dilakukan secara
terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan
dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang
dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian
kemampuan lingkungan hidup.
Wilayah DAS sebagai kesatuan bio-region harus dipahami secara holistik dan
komprehensif oleh penyelenggara daerah otonom. Prinsip dasar dari DAS sebagai bio-
region adalah keterkaitan berbagai komponen dalam DAS secara spasial (ruang),
fungsional, dan temporal (waktu). Perubahan salah satu bagian dari bio-region atau
DAS akan mempengaruhi bagian lainnya, sehingga dampak dari perubahan bagian
bio-region atau DAS tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh bagian itu sendiri (on
site) tetapi juga bagian luarnya (off site). Rusaknya hutan di bagian hulu akan
menimbulkan banjir, erosi, sedimentasi, dan penurunan kualitas air di bagian hilirnya.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat selalu menimbulkan dampak negatif dalam
pembangunan, dimana pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan menjadi
tidak terjamin atau bahkan hancur. Oleh karena itu implementasi pengelolaan DAS
dalam pelaksanaan OTDA tidak boleh mengandung potensi konflik antar wilayah.
Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh strategi
pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan berkeadilan dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari uraian diatas terlihat bahwa kapasitas
untuk mengelola SDA atau DAS secara berkelanjutan masih sangat lemah . Untuk itu
diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas (Capacity building) yang sistematis secara
terus menerus. Strategi yang dapat ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk
menghindari terjadinya konflik antar-wilayah adalah :
83
Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu saling terkait,
sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan SDA perlu
dibangun kesepakatan antar daerah otonom. Dasar kesepakatan adalah komitmen
bersama untuk membangun sistem pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang
melandaskan setiap strategi pada upaya untuk mencapai keseimbangan dan
keserasian antara kepentingan ekonomi, ekologis, dan sosial budaya. Komitmen
bersama antar daerah otonom adalah strategi awal yang perlu dilakukan untuk
menyusun langkah-langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor dari ketidakberhasilan
pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen bersama antar
daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya perhatian dan
tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada setiap unit kegiatan
pembangunan di daerah masing-masing.
Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki kekuatan
untuk mengendalikan perilaku masyarakat (publik) apabila dikukuhkan oleh sistem
legal (hukum) yang memadai. Legislasi dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan
terutama dalam merancang dan mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS.
Beberapa peran legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik
adalah :
Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya yang dapat
dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat organisasi yang dibutuhkan
dalam mengimplementasikan pengelolaan DAS berkelanjutan.
Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan menjamin
sahnya alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah
Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan dalam DAS dan
“memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS
berkelanjutan.Legislasi lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam
hubungannya dengan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti lahan, air,
udara, mineral, hutan dan lanskap alam. Perilaku manusia dalam memanfaatkan
sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak menimbulkan degradasi sumberdaya
alam dan lingkungan.Legislasi memberikan kekuatan (power) dan kewenangan
(authorities) kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk berdasarkan undang-
undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan, pemeliharaan,
perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian konflik dan sebagainya,
dalam mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable
natural resources development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan
kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan DAS.
85
Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan
abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang
tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan
oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh
karena itu, institusi adalah instrumen yang mengatur antar individu
(Kartodihardjo, et.al, 2000).
Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai
aset produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan
perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas
anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara
langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong
percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya (Kartodihardjo, et. al, 2000).
Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia belum memiliki peranan yang kuat
terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS.
Pengembangan kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga intervensi
penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada.
Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum masih rendah dan
terdapat kesenjangan diseluruh daerah otonom. Kemampuan petani, perencana
pengelolaan DAS, pejabat yang melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah
untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one
plan.
Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat apa yang harus
dia lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi degradasi lahan yang dapat
menurunkan produktivitas lahannya. Penyuluh pertanianpun tidak dibekali
pengetahuan dan pedoman yang memadai untuk membimbing petani dalam memilih
dan menerapkan agroteknologi atau teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat
yang berwewenang menentukan kebijakan pun tidak punya pemikiran dan konsep
yang menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dalam suatu
DAS. Pejabat didaerah hilir hanya mau mempertimbangkan teknologi yang diperlukan
untuk mencegah banjir didaerahnya, walaupun ada teknologi pencegahan banjir yang
lebih efektif dan berkelanjutan melalui pengelolaan DAS dibagian hulu/ diluar
daerahnya. Padahal kalau teknologi pengelolaan DAS yang dilaksanakan dibagian hulu,
maka selain banjir dapat dicegah/ dikurangi, kekeringan dimusim kemaraupun dapat
diatasi.
87
Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara terus menerus
untuk meningkatkan kapasitas individu/ SDM dalam pengelolaan SDA agar prinsip
pembangunan berkelanjutan terlaksana diseluruh DAS dan daerah otonom.
Kesimpulan
Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan melalui
peningkatan kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi : (a) membangun
kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan SDA; (b)
membangun sistem legislasi yang kuat; dan (c) meningkatkan peranan institusi
(kelembagaan) dalam pengelolaan SDA dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui
pelatihan (training).
DAFTAR PUSTAKA
UU Otonomi Daerah, 1999. Undang-undang Otonomi Daerah UU No. 22. 1999 tentang
Pemerintah Daerah; UU No 25 Thn. 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah; UU No 28 Thn 1999, tentang penyelenggara yang
bersih dan bebas dari KKN.
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi
oleh punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir.
DAS oleh karenanya merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia
beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh
secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini secara singkat menyajikan pokok-
pokok pikiran tentang sistim ekologi dan filosofi DAS untuk mencapai pengelolaan DAS
yang berkelanjutan dan menguntungkan.
PENDAHULUAN
Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime)
sungai yang menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan
dengan istilah dalam bahasa inggris drainage basin, drainage area, atau river basin.
Sehingga batas DAS merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan
atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran yang satu dari yang lainnya. Dari
pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area)
yang membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di bawah
daerah tadah.
Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi,
(2) Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar
dalam pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang
diperlukan untuk merencanakan pengelolaan DAS.
Atas dasar kehadirannya, sumberdaya dapat dipilahkan ke dalam dua kelompok (1)
sumberdaya alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang
menggolongkan sumberdaya atas dasar kemantapannya terhadap kegiatan manusia :
(1) sumberdaya yang sangat mantap, (2) sumberdaya yang cukup mantap dan (3)
sumberdaya yang tidak mantap. Suatu sumberdaya tertentu dapat mempunyai nilai
kemantapan beragam, tergantung dari gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah
sebagai tubuh alam mempuyai nilai kemantapan daripada kesuburannya. Mutu air
jauh lebih mudah goyah daripada jumlahnya. Manusia secara jelas tidak dapat
mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi dia secara nisbi mudah
mencemarkannya.
DAS merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam
suatu hubungan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu
sistem dan tiap-tiap sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem)
90
atau anasirnya (component). Kalau kita menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini
berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan
semua anasirnya secara terpadu (integrated). Arti “terpadu” di sini ialah bahwa
keadaan suatu anasir ditentukan oleh dan menentukan keadaan anasir-anasir yang
lain.
Yang dinamakan “sistem” ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir
yang saling berhubungan di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan
sebagai suatu keseluruhan dalam menghadapi dan menanggapi rangsangan pada
bagian manapun (Dent dkk. 1979; Spedding, 1979). Disamping memiliki ciri penting
berupa “organisasi dalam“ (internal organization), atau disebut pula dengan “struktur
fungsi“ (fungtional structure), suatu sistem dipisahkan “batas system“ dari sistem
yang lain. Batas ini memisahkan sistem dari lingkungannya, atau memisahkan sistem
yang satu dari yang lain. “Lingkungan” ialah keseluruhan keadaan dan pengaruh luar
(external), yang berdaya (affect) batas hidup, perkembngan dan ketahanan hidup
(survival) suatu sistem (De Santo,1978).
Anasir-anasir DAS ialah iklim hayati (bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya
mineral, tanah, air (air permukaan dan air tanah), tetumbuhan (flora), hewan (fauna),
manusia dan berbagai sumberdaya budaya seperti sawah, ladang, kebun, hutan
kemasyarakatan (HKm), dan sebagainya. Berbagai anasir-anasir DAS yang telah
disebutkan di atas sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam sistim DAS. Sebagai
contoh, relief dapat mempengaruhi distribusi lengas tanah dan lama penyinaran
matahari. Tanah dan relief mempengaruhi keadaan hidrologi permukaan, keadaan
vegetasi dan keadaan sumberdaya budaya. Iklim ikut mengendalikan keadaan
vegetasi dan sumberdaya budaya.
DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan dapat dimanfaatkan oleh
manusia untuk berbagai peruntukan. Setiap anasir dalam DAS memerlukan cara
penanganan yang berbeda-beda tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan
masing-masing. Sebagai contoh, ketrampilan dan pengetahuan anasir manusia dapat
menyuburkan tanah yang tadinya gersang. Namun karena berlainan kepentingan,
maka dapat terjadi bahwa suatu tindakan yang baik untuk suatu anasir DAS tertentu
justru akan merugikan jika diterapkan pada anasir DAS yang lain. Sebagai contoh,
penanaman jalur hijau untuk melindungi tebing aliran terhadap pengikisan atau
longsoran, dapat mendatangkan kerugian atas pengawetan sumberdaya air karena
meningkatkan transpirasi yang membuang sebagian air yang dialirkan. Hal ini
menunjukkan bahwa perencanaan pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif,
yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the
combined output) dari pada pemaksimuman salah satu keluaran saja.
91
DAS yang mempunyai gatra ruang (space) atau luas (size), bentuk (form),
ketercapaian (accessibility) dan keterlintasan (trafficability). Gatra-gatra ini
menyangkut nilai ekonomi penggunaan DAS, karena menentukan tingkat peluang
berusaha dalam DAS, nilai hasil usaha dan kedudukan nisbi DAS selaku sumberdaya
dibanding dengan DAS yang lain. Gatra-gatra ruang, bentuk, ketercapaian dan
keterlintasan bersama-sama dengan harkat anasir-anasir DAS yang telah disebutkan
di atas, menentukan kedudukan DAS dalam urutan prioritas pengembangan,.
Keunikan dan keberagaman DAS menimbulkan berbagai pertimbangan dalam
penggunaan alternatif menurut kepentingan yang berubah sejalan dengan
perkembangan kebutuhan dan keinginan. Macam dan jumlah kebutuhan serta
keinginan merupakan fungsi waktu dan tempat. Maka dari itu pengertian tentang
makna waktu dan tempat sangat menentukan ketepatan perencanaan tataguna DAS.
Tanpa perencanaan tataguna yang memadai, penggunaan DAS dapat menjurus ke
arah persaingan antar berbagai kepentingan, yang akhirnya hanya akan saling
merugikan, dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang
tidak terkendalikan.
Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air,
mendistribusikan air yang tertampung lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir,
dan berakhir di suatu tubuh air berupa danau atau laut. Barsama dengan atmosfir dan
laut (atau danau), DAS menjadi tempat kelangsungan daur hidrologi. Hubungan
hidrologi antara atmosfir dan tubuh air bumi dapat berjalan secara langsung, atau
lewat peranan DAS. Terjadi pula hubungan hidrologi lansung antara DAS dan atmosfir.
Hubungan hidrologi segitiga antara atmosfir, DAS dan tubuh air bumi (laut) disajikan
pada Gambar 1. Bagan ini memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung dua
waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut. Ini menjadi dasar pertama dalam
pengelolaan DAS.
92
Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik
yang cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang
lahan (landscape) khas di berbagai wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di
dalam DAS dapat dikaji berdasar pertukaran bahan dan energi (Leopold dkk, 1964).
Hal ini menjadi dasar kedua dalam pengelolaan DAS. Gambar 2 merupakan acuan DAS
sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran bahan dan energi.
Setiap DAS cenderung memperluas diri, baik dengan jalan erosi mundur dan/atau
menyamping di daerah hulu, maupun dengan jalan pengendapan di daerah hilir,
termasuk pembentukan jalur berkelok (meander) di dataran pantai dan pembentukan
delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini maka DAS merupakan suatu satuan
geomorfologi yang bersifat sangat dinamik, dibentuk oleh proses- proses fluvial dan
memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua proses yang saling berlawanan. Proses
yang satu ialah degradasi (penurunan) di daerah hulu dan proses yang lain ialah
agradasi (peningkatan) di daerah hilir. Dengan demikian ada proses perpindahan
material dari hulu ke hilir. Salah satu hasil morfogenesa penting semacam ini adalah
pembentukan bentang tanah atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap DAS.
Keadaan ini merupakan dasar ketiga dalam pengelolaan DAS.
Di depan telah diuraikan tentang berbagai gatra dan keaneka ragaman pemanfaatan
DAS. Hal ini merupakan dasar keempat dalam pengelolaan DAS.
Dari dasar pengelolaan pertama dan kedua mengandung suatu pengertian penting,
bahwa DAS merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Hal ini dapat dilihat
93
Yang dapat ditunjuk sebagai kendala terhadap perkembangan DAS ialah iklim, relief,
tanah, air, sumberdaya mineral, vegetasi, beberapa gatra tertentu manusia,
ruang/luas, bentuk, ketercapaian dan keterlindasan. Pendek kata semua anasir DAS
yang dikenai atau terlibat dalam pengelolaan.
Dalam rencana pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan
pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadah atau daerah kepala sungai. Satuan
pengelolaan hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Oleh
Ray dan Arora (1973) istilah “watershed” digunakan secara terbatas untuk menamai
daerah tadah, sedang daerah bawahan mereka namakan dengan istilah “commanded
area”. Yang dinamakan “commended area” ialah daerah-daerah yang secara potensial
berpengairan. Di DAS yang dapat dibangun suatu bendungan atau waduk maka
seluruh daerah yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang terletak dibawah
garis tinggi pintu bendungan atau waduk) merupakan “commended area”.
Pengelolaan daerah tadah ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut ini (Roy &Arora,
1973): (1) Pengendalian aliran permukaan tanah (excess) yang merusak, sebagai
usaha mengendalikan banjir, (2) Memperlancar infiltrasi air kedalam tanah. (3)
Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud yang berguna,
(4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan
produksi.
Faktor-faktor yang berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau
DAS hulu ialah (Roy & Arora, 1973): (1) Bentuk dan luas daerah tadahan, (2) Lereng
dan timbulan makro (3) Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4)
Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan (5) Rupa dan mutu vegetasi
penutup, (6) Penggunaan lahan terkini.
Tujuan pengelolaan DAS hilir dapat diringkas sebagai berikut: (1) Mencegah atau
mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan
menurunkan kemampuan lahan.(2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk
meningkatkan kemampuannya. (3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber
air tersediakan. (4) Meliorasi tanah, termasuk memperbaiki daya tanggap tanah
terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi tanah atas tanah-tanah garaman,
alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah.
Faktor-faktor pokok yang berdaya atas program pengelolaan daerah hilir ialah: (1)
Bentuk daerah hilir dan perbandingan luasnya dengan luas daerah tadahan.(2)
Perbedaan landaian (gradient) lereng umum daerah hilir terhadap landaian lereng
umum daerah tadahan. (3) Timbulan makro, ketinggian muka lahan pukul rata, jeluk
95
(depth) pukul rata air tanah, dan keadaan tanah. (4) Intensitas, jangka waktu dan
agihan curah hujan.(5) Rupa dan vegetasi penutup. (6) Penggunaan lahan kini.
Hubungan ini dapat digambarkan pada Gambar 3. Dari bagian ini tampak, bahwa
pengelolaan DAS hulu bertujuan rangkap: (1) meningkatkan harkatnya sebagai lahan
usaha dan atau lahan permukiman, dan (2) memperbaiki dampaknya atas DAS hilir
untuk memperluas peluang memperbaiki keadaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir
berperanan melipatkan pengaruh perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut
pandangan ekologi maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang (donor)
bahan dan energi, atau boleh juga disebut sebagai lingkungan pengendali
(conditioning environtment). Sementara itu, daerah hilir merupakan daerah penerima
(acceptor) bahan dan energi, atau lingkungan konsumsi atau lingkungan yang
dikendalikan (commanded environment). Dengan demikian pengelolaan DAS harus
bersifat menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu sistem.
Erosivitas hujan bersama dengan erodibilitas tanah menentukan mutu lahan yang
disebut kerentanan lahan terhadap erosi air. Macam mutu yang lain antara lain
kesuburan tanah, iklim, kebersihan air, keterlindasan (trafficability), dan keramah
tamahan penduduk. Mutu dapat diharkatkan dengan sebutan (buruk, sedang, baik)
atau dengan nilai tertentu (scoring).
Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir atau gatra
DAS yang penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS. Macam data yang
sekurang-kurangnya harus dikumpulkan ialah:
1. Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah
menurut hidrologi lahan).
3. Keadaan iklim hayati, yang mencakup agihannya menurut tinggi tempat dan
kedudukan topografi.
9. Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan
teknologi.
Dari analisa dan penilaian data dasar akan diperoleh pengetahuan, kesimpulan atau
petunjuk tentang :
Dari macam ragam data dasar yang diperlukan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan
DAS harus dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan multidisiplin ialah
suatu titik tolak pandangan atau sikap, atau kerangka pendekatan, yang memadukan
berbagai bidang pengetahuan yang relevan dengan watak dan kelakuan masalah,
menjadi satu sistem analitik. Agar supaya sistem analitik ini dapat berfungsi efektif,
tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu
di dalam kerangka kerja. Unsur-unsur tersebut dapat diurutkan pada garis gerak
analisa sesuai dengan pertimbangan hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur
memperoleh masukan dari unsur lain yang berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada
gilirannya, unsur yang tersebut pertama tadi memberikan masukan kepada unsur
berikutnya yang berkedudukan hirarki lebih rendah.
Sistem analitik seperti ini mempunyai struktur bertingkat. Biasanya pengumpulan data
dasar dan analisa kualitatif fisik berada pada tingkat atas (langkah kerja pertama),
dan memberikan masukan kepada analisa sosial-ekonomi dan pengharkatan
kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah kerja kedua). Maka system
analisa seperti ini disebut pula “pendekatan bertingkat dua”. Dapat pula analisa semua
98
PENUTUP
Maksud pengelolaan DAS adalah untuk mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-
baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang menurut waktu. Mengingat
bahwa DAS merupakan suatu system yang terbentuk dari gabungan sumberdaya yang
saling berkaitan dan berinteraksi, maka dalam pengelolaannya harus memperhatikan
semua anasir-anasir penyusunnya. Karena DAS merupakan sumberdaya darat yang
sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif yang lebih
mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran daripada pemaksimuman salah
satu keluaran saja. Oleh karena itu, pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara
terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna mendapatkan manfaat sebaik-
baiknya. Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi, diharapkan
pengelolaan DAS akan dapat lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.
99
DAFTAR PUSTAKA
Brinkman, R. dan Smith, A.J. (1979). Land evaluation for rural purpose. ILRI Publ. No.
17. Wageningen.
Dawes, J.H. (1970). Influence of soil on water yield. Proc. Symp. Interdisc. Aspects
Watershed Management. Mon. State University.
Dent, J.B., Blackie, M.J. & Harrison, S.R.(1979). System simulation in agriculture.
Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
ILRI. (1977). Framework for land evaluation. Inter. Land Recl. Improv. Wageningen
Leopold, L.B., Wolman, MG. Dan Miller, J.P. (1964). Fluvial processes in
geomorphology. WH. Freeman and Co. San Fransisco.
Martin, G.L. 1970. Introduction. Proc. Symp. Interdisc. Ascept Watershed Man. Mon.
State Univ. h. 1-2. Amer. Soc. Civ. E. New York.
Meinzer, O.E. 1942. Ground Water. Dalam: Meinzer, O.E., Editor, Hydrology. Ch. XA.
Dover Publ. Inc. New York.
Menard, H.W. 1974. Geology. resources, and society. W. H. Freeman and Co. San
Francisco.
Michigan State Univ. 1976. Design and management of rural ecosystems. ASRA
Information Resosurces, National Science Foundation. Wasington, D. C.
Notohadiprawiro, T. 1977. Suatu cara pengharkatan cepat tapak darat (land site)
bagipendirian pemukiman baru. Kongres Nasional Ilmu Tanah II. Himpunan Ilmu
Tanah Indonesia. Yogyakarta.
___________, Sukodarmodjo, S., & Drajad, M. 1980. Beberapa fakta dan angka
tentang lingkungan fisik waduk Wonogiri dan kepentingannya sebagai dasar
pengelolaan. Lokakarya Pengembangan dan Pelestarian Wilayah Waduk Wonogiri.
Tawangmangu.
Oldeman, R. A. A. 1979. Blueprints for a new tropical agroforestry tradition. Proc. 50th
Symp. Trop. Agr. Bull. 303. Kon. Inst. Tropen. Amsterdam. H. 25-34.
Rqy, K. & Arora, D.R. 1973. Technology of agricultural land development and water
management. Satya pakashan. Tech. India Publ. New Delhi.
Soepraptohardjo, M. & Robinson, G. H., editors. 1975. A proposed land capability
appraisal system for agricultural uses in Indonesia. Soil. Inst. Bogor.
Steele, J. G. 1967. Soil suvey interpretation and iats use. Fao Soil Bull. No. 8.
Storie, R. E. 1964. Handbook of soil evaluation. Assoc. Students Store. Univ. Calif.
Berkeley.
Wassink, J. T. 1979. Agroforestry, een samenspel van land- en bosbouw ten behoeve
van de mens en zijn milieu. 67e Jaarverslag Kon. Inst. Tropen Amsterdam.
DISKUSI
Pertanyaan :
3. Yang diuraikan tadi hanya masih dalam teori-teori DAS saja, tetapi aplikasinya
belum.
Tanggapan :
101
1. Memang benar, bahwa yang disampaikan hanya bersifat teoritis, tetapi ini
berfungsi untuk meningkatkan kesadaran kita.
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, IBB. Jln. A. Yani –
Pabelan, Solo Email: bp2tp@indo.net.id
11.1.1 ABSTRAK
ABSTRACT
11.1.2 PENDAHULUAN
Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk atau danau serta maraknya
kejadian bencana alam akhir-akhir ini seperti longsor, banjir, dan kekeringan, dapat
dipandang sebagai indikator tidak optimalnya pengelolaan sumber daya (alam dan
manusia) dalam daerah aliran sungai (DAS). Intervensi dan kebutuhan manusia dalam
pemanfaatan sumber daya yang semakin meningkat membuat makin banyaknya DAS
yang rusak dan kritis.
Di Indonesia, pentingnya konservasi tanah dan air pada satuan sistem DAS mulai
disadari setelah terjadi banjir besar Bengawan Solo tahun 1966. Kesadaran tersebut
ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan pada skala luas melalui Proyek
Penghijauan Departemen Pertanian 001 pada tahun 1969. Sistem pengelolaan DAS
untuk mendukung pelaksanaan konservasi tanah diformulasikan pada tahun 1972
melalui proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development Project
(TA INS/72/006). Dari perjalanan waktu penyelenggaraan pengelolaan DAS, kegiatan
pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam (SDA)
berskala DAS berdasarkan integrasi keterlibatan masyarakat, pengetahuan teknis, dan
struktur organisasi beserta arah kebijakan kegiatan.
Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara
organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran
material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat hubungan antara hujan
sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input
dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh
manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau
diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan bisa
menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara
alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan
di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, dimana hulu
sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang
dilakukan di hulu. Sementara itu, hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan
pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Oleh karena itu, pengelolaan sumber
daya di dalam DAS perlu dilakukan secara terpadu (integrated resource management)
untuk dapat mengakomodir semua kepentingan.
Bertitik tolak dari pemahaman bahwa pengelolaan SDA dapat dikatakan bagian dari
pengelolaan DAS, maka permasalahan pengelolaan DAS yang timbul sebagian besar
juga bermuatan masalah pengelolaan SDA. Keberhasilan ataupun kegagalan dalam
pengelolaan SDA di dalam DAS akan berimplikasi pada pengelolaan DAS.
104
Indonesia dikaruniai salah satu hutan tropis yang terluas dan terkaya keanekaragaman
hayati serta potensinya di dunia. Namun demikian, laju kerusakan hutan dan
pembentukan lahan kritis di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Gambaran umum
kondisi kerusakan hutan menunjukkan bahwa dari 105 juta ha kawasan hutan di
Indonesia, 57,7 juta ha (55%) diantaranya mengalami kerusakan. Menurut laporan
Forest Watch Indonesia (2001), laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun
1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha/tahun,
kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha/tahun pada tahun 1990-an. Saat ini
laju kehilangan hutan telah mencapai 2 juta ha/tahun. Meskipun angka-angka tersebut
masih diperdebatkan kesahihannya, tetapi kecenderungan tersebut perlu diwaspadai
mengingat kebutuhan kayu terus meningkat dan kebakaran hutan menjadi rutin
terjadi.
Pada tahun 1998, kebutuhan kayu nasional adalah sebanyak 39,75 juta m3 dan
diperkirakan meningkat menjadi 52,18 juta m3 pada tahun 2003. Sementara itu,
kapasitas pemenuhan kebutuhan tersebut sampai saat ini hanya 18,14 juta m3,
sehingga masih ada kekurangan 34,04 juta m3 (Goldammer et al., 1999). Situasi
tersebut akan berdampak negatif apabila pemenuhan kebutuhan kayu tersebut tidak
diikuti dengan teknik silvikultur dan pembalakan yang lestari (Priyono et al., 2000).
Pengelolaan SDA hutan harus menerapkan teknologi yang mempraktekkan prinsip
pembalakan dengan dampak minimum (Reduced Impact Logging/RIL). Selain itu,
pengelolaan hutan juga menghadapi persoalan sosial berupa penjarahan dan
perambahan hutan. Kondisi tersebut dipicu oleh kesenjangan sosial ekonomi antara
masyarakat sekitar hutan dengan pengusaha hutan, selain kondisi politik dan
penegakan hukum yang tidak mendukung. Untuk itu, diperlukan teknologi dan
rekayasa sosial yang memberi ruang lebih luas dan penyertaan masyarakat untuk ikut
serta dalam pengelolaan hutan. Cukup banyak program yang bernuansa partisipatif
dikembangkan untuk memberi solusi masalah tersebut, tetapi pengalaman
menunjukkan bahwa program yang berhasil adalah yang berasal dari masyarakat
setempat.
Persoalan utama dalam pengelolaan sumber daya lahan (SDL) adalah penurunan luas
lahan pertanian sebagai akibat konversi ke non-pertanian. Peningkatan konversi lahan
pertanian menjadi lahan non-pertanian akan mengancam lahan hutan, karena
pertanian akan merambah kawasan hutan untuk dibuka menjadi lahan pertanian. Hal
tersebut disinyalir dari hasil penelitian Abbas (1997), Mulyana (1998), dan Cahyono
(2001). The World Bank (1990) memperkirakan 40.000 ha/tahun lahan pertanian
105
Ditinjau dari aspek kualitas, terjadi penurunan kualitas lahan sebagai akibat erosi yang
semakin meningkat. The World Bank (1990) mencatat bahwa rata-rata erosi di lahan
pertanian Pulau Jawa pada tanah vulkanik sebesar 6-12 t/ha/tahun dan pada tanah
kapur sebesar 20-60 t/ha/tahun. Sementara itu, laju pembentukan tanah sangat
lambat (30-725 tahun/mm tanah) dan ekstensifikasi pertanian sangat mahal. Hal ini
ditambah lagi dengan intensifikasi pertanian yang sudah mencapai taraf levelling off
apabila tidak ditemukannya teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas
pertanian. Mencermati hal tersebut, maka diperlukan pembatasan konversi lahan dan
pengendalian erosi dengan satuan pengelolaan DAS. Program tata ruang dengan
pendekatan pengelolaan DAS merupakan upaya penanganan masalah konversi lahan.
Di Pulau Jawa, jumlah air tersedia mencapai 142,3 milyar m3/tahun dan kebutuhan air
mencapai 77,8 milyar m3/tahun (Kananto et al., 1998). Angka tersebut merupakan
jumlah total dalam setahun sementara pada bulan-bulan kering jelas penggunaan dan
konsumsi lebih tinggi dari pasokannya. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air,
diperlukan penekanan pada jumlah pemakaian. Mengingat bahwa sektor pertanian
menggunakan 80-90% dari jumlah air tersedia maka penggunaan air di sektor
pertanian perlu terus ditingkatkan.
Sementara itu adanya otonomi daerah yang memberi ruang lebih besar pada daerah
dalam mengelola sumber daya air telah membawa beberapa konsekuensi pengelolaan
sumber daya air dalam konteks DAS, yaitu: a. pemanfaatan air oleh suatu daerah
berarti menghilangkan peluang pemanfaatan oleh daerah lain, padahal mungkin saja
oportunity cost di daerah lain lebih tinggi; b. pencemaran pada daerah hulu akan
berdampak pada bagian hilir; dan c. daerah hulu sering berfungsi sebagai daerah
pelestari, tetapi penerima manfaatnya di daerah hilir. Selain itu daerah hulu
kehilangan peluang pengembangan daerahnya untuk mendukung daerah hilir tanpa
adanya kompensasi dari yang menerima manfaat.
106
Pengembangan teknologi pengelolaan DAS untuk sumber daya air ditujukan pada
teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air (terutama irigasi) dan
konsumsi air. Selain itu perlu didukung dengan pengembangan kelembagaan
tradisional seperti Subak di Bali, Karuhan di Tasikmalaya Jawa Barat, atau Pasang di
Sulawesi Selatan. Dalam kaitan inilah, maka penggunaan DAS sebagai unit hidrologi
dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam pengembangan model dan
teknologi pengelolaan sumber daya air dalam DAS.
Bertitik tolak pada pemikiran bahwa DAS merupakan representasi ekosistem, maka
satuan DAS dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pengelolaan flora fauna.
Ekosistem dalam DAS terdiri atas beberapa subsistem yang saling terkait, berintegrasi,
berinteraksi, dan bersinergi.
Hasil penelitian Abbas (1997), Mulyana (1998), dan Cahyono (2001) menunjukkan
bahwa pembukaan areal padi mulai mengarah ke lereng-lereng DAS hulu dan lahan
marjinal. Begitu pula dengan tanaman palawija, hortikultura, tembakau, dan tanaman
bernilai ekonomis tinggi lainnya. Misal, kentang di Dieng Wonosobo, Tembakau di
Temanggung yang sangat menguntungkan secara ekonomi (Kurnia, 2000), meskipun
menyebabkan erosi (Donie, 2002). Akibatnya, terjadi penggundulan hutan,
penebangan pohon, dan pemanfaatan lahan secara intensif.
107
Pertanian sering dianggap eksploitatif akibat dari pelaksanaan konservasi tanah yang
belum merupakan bagian dari pengelolaan lahan maupun pengelolaan tanaman. Untuk
itu, maka sistem pertanian harus merupakan bagian dari pengelolaan lahan dalam
satuan DAS. Pertanian merupakan suatu sistem yang menggunakan input produksi
(lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen) melalui sebuah proses alam dan
menghasilkan produk pertanian. Hal ini identik dengan pengelolaan DAS yang dapat
dianggap pula sebagai sebuah sistem produksi.
Pengelolaan DAS dapat dilihat sebagai sebuah sistem perencanaan produksi yang
menggunakan pengelolaan input dengan input alam untuk menghasilkan output
berupa barang dan jasa, dengan konsekuensi efek pada sistem alam di on-site dan off
site (Gambar 1). Dari sisi ekonomi, sistem pengelolaan DAS adalah suatu cara proses
produksi dengan mengeluarkan biaya untuk input dan pengelolaan serta mendapat
manfaat ekonomi dari output yang dihasilkan. Gambar 1 juga menunjukkan prinsip
dasar analisis manfaat biaya.
Pengelolaan DAS dapat menghasilkan dampak positif berupa produksi pertanian, hasil
hutan, peternakan, rekreasi, air dan sebagainya. Selain itu pengelolaan DAS dapat
pula menghasilkan efek negatif berupa erosi, sedimentasi, kehilangan unsur hara,
longsor, dan sebagainya. Penurunan pada dampak negatif pengelolaan DAS akan
meningkatkan output. Apabila dampak positif yang dapat diperoleh dari pengelolaan
DAS lebih besar dibandingkan dengan dampak negatifnya, maka pengelolaan DAS
tersebut memberikan manfaat bersih yang positif. Jadi, tujuan pengelolaan DAS
adalah untuk memaksimumkan manfaat sosial ekonomi bersih pada kegiatan
penggunaan lahan di dalam DAS.
108
Manfaat bersih dari pengelolaan DAS akan berkelanjutan apabila disertai dengan
kegiatan konservasi tanah. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut
dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak
terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Konservasi tanah bukan berarti penundaan
atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya
dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat
yang diperlukan agar tanah berfungsi secara lestari. Setiap perlakuan yang diberikan
109
pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, sehingga usaha untuk
mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air.
Pengelolaan DAS yang baik membutuhkan adanya jejaring kerja yang baik antar
institusi pengelola SDA di DAS dalam suatu kerangka kerja yang disepakati bersama.
Konsensus akan kerangka kerja tersebut perlu dibangun dari seluruh pihak yang
terkait. Namun pengalaman juga menunjukkan bahwa konsensus sulit diharapkan
untuk dapat terjadi secara alamiah, tetapi di banyak kasus dibutuhkan suatu tekanan
dari salah satu pihak yang dominan. Yang penting dalam hal ini adalah, apabila
konsensus kerangka kerja telah disepakati, semua pihak perlu meng-implementasikan
secara konsisten sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
11.1.10 PENUTUP
Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat
Badan Pengendali Bimas. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Arifin, B. 1996. Kontroversi Program Konservasi Lahan. Jurnal Sosio Ekonomika 2 (3):
9-18.
Arsjad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press. Bogor.
Cahyono, S.A. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Beras di Propinsi Lampung
dan Kaitannya dengan Pasar Beras Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cahyono, S.A. 2002. Konservasi tanah dalam konteks kebijakan. Info DAS 13: 14-26.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Ditjen RRL (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan). 1999. Luas Lahan
Kritis di Indonesia dan Statistik dalam Angka. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Donie, S. 2002. Prilaku bertani masyarakat Dieng, kelestarian daerah aliran sungai
dan solusinya. hlm. 121-132 dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitan dan
Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Wonosobo, 9 September
2002.
Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Kehutanan Indonesia. Forest Watch Indonesia,
Bogor.
Kananto, W. Hatmoko, dan Widayati. 1998. Konsumsi dan produksi air Pulau Jawa.
hlm. 82-123 dalam Prosiding Seminar Sehari Pengelolaan Hutan dan Produksi Air
untuk Kelangsungan Pembangunan. Perum Perhutani-Yayasan IMTEK. Jakarta, 23
September 1998.
Kurnia, U. 2000. Penerapan Teknik Konervasi Tanah pada Lahan Usahatani Sayuran
Dataran Tinggi. hlm. 47-58 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil
111
Priyono, C.N.S, Mastur dan S. Donie. 2000. DAS merupakan unit pengelolaan sumber
daya alam yang lestari dan berkeadilan. hlm. 66-79 dalam Prosiding Ekspose Hasil
Penelitian BTP DAS Surakarta, Pengelolaan DAS dalam Kaitannya dengan Otonomi
Daerah. Surakarta, 21 November 2000.
The World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forest, Land and
Water. A World Bank Country Report. Washington.
Sumber:
ABSTRAK
Upaya pemerintah dalam memperbaiki pengelolaan lahan kering di daerah aliran
sungai (DAS) bagian hulu telah dilakukan melalui berbagai proyek. Proyek tersebut
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, serta untuk
mendorong partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air. Hasil
kajian menunjukkan bahwa sistem usaha tani konservasi teras bangku dan teras gulud
112
dapat meningkatkan produktivitas usaha tani dan pendapatan petani, serta dapat
menurunkan laju erosi. Tingkat adopsi teknologi secara parsial cukup tinggi,
khususnya teknologi pola tanam, varietas unggul, budi daya tanaman pakan dan
usaha ternak, serta upaya tindakan konservasi tanah secara vegetatif. Hasil tersebut
diduga karena evaluasi dan analisis alternatif sistem konservasi belum memberikan
informasi yang komprehensif. Untuk mengadopsi paket teknologi secara utuh, para
petani mengalami kesulitan karena beberapa kendala seperti keterbatasan modal dan
tenaga kerja keluarga. Implikasi kebijakan pada tahapan perbaikan teknologi dan
formulasi kebijakan perlu memperhatikan upaya untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam pelestarian sumber daya tanah dan air. Pada tahap awal,
pemerintah berperan untuk meningkatkan sumber daya manusia dan subsidi, dan
pada tahap pengembangan untuk mendorong pihak swasta agar berinvestasi di lahan
tersebut.
Kata kunci: Lahan kering, pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan lahan
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Lahan kering di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk pembangunan
pertanian. Namun, produktivitas umumnya rendah, kecuali sistem pertanian lahan
kering dengan tanaman tahunan/perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan
113
Lahan kering terutama di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu umumnya
menghadapi masalah kerusakan lingkungan yang makin parah sehingga menurunkan
produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan sedimentasi, serta memacu meluasnya
banjir pada musim hujan. Masalah tersebut memerlukan perhatian serius karena dapat
menghambat pembangunan pertanian khususnya peningkatan produksi pangan.
Upaya pemerintah untuk menangani masalah kerusakan lingkungan pada lahan kering
di DAS sebenarnya sudah dimulai sebelum perang kemerdekaan. Pada tahun 1950,
pemerintah menganjurkan petani untuk menanam pohonpohonan secara besar-
besaran, dan pada tahun 1967 mulai dianjurkan untuk membuat teras bangku (DHV
Consultants 1990). Namun, upaya tersebut belum berhasil. Luas lahan kritis yang
pada tahun 1980 mencapai 6.936.408 ha (Biro Pusat Statistik 1981) hanya turun
menjadi 6.400.400 ha pada tahun 1994 (Biro Pusat Statistik 1994) atau turun 7,70%
selama 14 tahun. Namun, perbaikan tersebut terjadi di luar kawasan hutan (hanya
32%). Di dalam kawasan hutan, luas lahan kritis justru makin meningkat (16,30%)
dalam periode yang sama.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS cukup serius. Sukmana et al.
(1988) mengemukakan bahwa, upaya pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut
dimulai pada awal tahun 1970-an melalui proyek DAS Solo, kemudian disusul Proyek
Citanduy I dan II, Proyek Wonogiri, dan Proyek Bangun Desa. Pada tahun 1985
dibentuk Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih
dikenal dengan nama Upland Agriculture and Conservation Project (UACP) untuk
menangani lahan kritis di DAS Brantas (Jawa Timur) dan DAS Jratunseluna (Jawa
Tengah), kemudian National Watershed Management and Conservation Project
(NWMKP) yang dimulai tahun 1995 dan berakhir bulan September 1999 (Abdurachman
dan Agus 2000).
Lahan kering di DAS kawasan barat Indonesia pada umumnya mempunyai curah hujan
tinggi, topografi curam, dan formasi geologi lemah sehingga tanah peka terhadap
erosi. Selain itu, tekanan kepadatan penduduk yang terus meningkat, pola tanam
114
yang kurang baik, lahan usaha tani sempit, serta keadaan fisik lingkungan dan sosial
ekonomi masyarakat petani yang sangat heterogen menyebabkan pengelolaan lahan
kering di kawasan DAS makin kompleks (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,
Tanah dan Air 1985).
Dalam upaya menangani lahan kering yang tergolong kritis, pemerintah telah
menetapkan 80 DAS yang tergolong kritis karena erosi. Dari 80 DAS bermasalah
tersebut, 36 DAS tergolong DAS prioritas, dan 11 DAS di antaranya terdapat di Pulau
Jawa, seperti DAS Citarum, Cimanuk, Citanduy, Solo, Jratunseluna, dan Brantas
(Sutadipradja et al. 1986). Luas lahan kritis di kawasan DAS tersebut diperkirakan
meningkat rata-rata 400.000 ha/tahun jika tidak ada upaya rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah yang memadai. Peningkatan luas lahan kritis terutama disebabkan
oleh pengelolaan yang tidak benar, antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan kemampuannya serta tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air.
Lebih lanjut Hardianto et al. (1992) menjelaskan bahwa usaha ternak merupakan
kegiatan yang cukup penting untuk menambah pendapatan, menyediakan tenaga
kerja dalam pengolahan tanah, dan menghasilkan pupuk organik. Jenis ternak yang
banyak dipelihara adalah sapi peranakan ongole (PO), kambing kacang, kambing
peranakan etawa (PE), domba gibas, dan ayam buras. Jenis pakan yang diberikan
berupa campuran rumput gajah, rumput setaria ditambah hijauan tanaman tahunan
dan limbah tanaman pangan. KEPAS (1985) mengidentifikasi permasalahan di daerah
lahan kering
sebagai berikut:
115
2. Di daerah lahan kering, potensi erosi cukup tinggi karena intensitas hujan
cukup tinggi, lereng curam, dan pola tanam kurang baik. Erosi yang
berlangsung lama telah menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahkan
mengurangi atau menghilangkan lapisan olah tanah.
Upaya Departemen Terkait Upaya mengatasi masalah lahan kritis di DAS perlu
memperhatikan beberapa hal, antara lain sumber terjadinya lahan kritis, tingkat
kekritisan lahan, jenis tanah dan iklim, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat bahaya
erosi. Upaya itu perlu diformulasikan dengan tepat dalam tiga komponen penanganan,
yaitu perbaikan teknologi, kebijakan yang tepat, dan partisipasi masyarakat secara
penuh (Nelson 1991). Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, selanjutnya ditetapkan
prioritas penanganan. Dengan memperhatikan dampak yang lebih luas dan
kemungkinan keberhasilan yang besar, maka prioritas utama penanganan adalah
lahan dengan tingkat kekritisan ringan, yaitu lahan yang berpotensi kritis dan
semikritis. Konservasi ditujukan untuk mencegah terjadinya degradasi lebih lanjut dan
menghindari hilangnya lahan produktif.
116
Pencetusan Pekan Penghijauan Nasional (PPN) di Gunung Mas, Bogor tahun 1961
ternyata tidak berhasil menghentikan perluasan lahan kritis. Pada tahun 1975, lahan
kritis di Indonesia mencapai 10.751.000 ha, tah n 1988 turun menjadi 9.731.000 ha,
pada tahun 1993 naik 22% (dibandingkan kondisi 1975) menjadi 13.218.970 ha, atau
setara luas Pulau Jawa. Padahal program reboisasi dan penghijauan bertujuan untuk
menghentikan proses pengkritisan lahan dan mengurangi jumlah lahan kritis. Untuk
meningkatkan usaha reboisasi dan penghijauan, pemerintah mencanangkan Gerakan
Satu Juta Pohon (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1985).
Penghijauan merupakan cara konservasi lahan yang efektif khususnya untuk menjaga
fungsi hidrologis lahan di DAS hulu. Erosi dan aliran permukaan masing-masing dapat
menurun 95,80% dan 76,90% (Pakpahan et al. 1992). Namun karena penghijauan
lebih banyak bertujuan melestarikan sumber daya lahan dibanding kepentingan petani,
maka pelaksanaannya banyak menemui hambatan. Menurut Pusat Pengembangan
Agribisnis (1991), tingkat adopsi teras melalui rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
(RLKT) pada daerah unit pelestarian sumber daya alam (UPSA) masih rendah yaitu
33%. Sejumlah petani (20%) sudah mengadopsinya tetapi masih perlu ditingkatkan,
sedangkan sisanya belum mengadopsi upaya RLKT tersebut.
Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal
dengan nama UACP, juga mempunyai tujuan pokok bukan semata-mata meningkatkan
penghasilan petani, tetapi juga melindungi infrastruktur (waduk, saluran irigasi) di
bagian hilirnya. Daerah kerja UACP meliputi lahan kering dengan kemiringan 15% dan
erosi sudah mengancam produktivitas lahan. Melalui kegiatan UACP dilakukan
penyempurnaan teras bangku dengan tanaman penguat teras yang selain berfungsi
untuk menstabilkan lahan juga untuk menyediakan pakan ternak. Proyek tersebut
dikelola secara lintas sektoral dengan Departemen Dalam Negeri selaku pelaksana
utama (leading agency) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air 1985).
Kebijakan pengembangan lahan kering di DAS bagian hulu berpedoman pada Surat
Keputusan Menteri Pertanian No.175/Kpts/RC.220/4/1987 tentang Pedoman Pola
Pembangunan di DAS yang dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kesesuaian
117
lahan, kemiringan lahan, kultur teknis, dan asas-asas konservasi yang berwawasan
lingkungan (Departemen Pertanian 1987). Di Jawa Tengah, kebijakan tersebut telah
dijabarkan dalam berbagai petunjuk pelaksanaan yang berisikan strategi, langkah-
langkah, dan kegiatan pembinaan.
Pengelolaan lahan kering di DAS bagian hulu perlu memperhatikan konservasi tanah
dan air untuk mencegah penurunan produktivitas lahan akibat erosi oleh air hujan
(Suwardjo 1981). Di Indonesia yang memiliki iklim basah, pada umumnya erosi terjadi
karena air hujan (Sofijah dan Suwardjo 1979). Sehubungan dengan itu, penanganan
lahan kering di DAS Brantas dan Jratunseluna bagian hulu dilakukan dengan usaha
tani konservasi yang mengkombinasikan teknik konservasi secara mekanik dan
vegetatif dalam suatu pola usaha tani terpadu (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,
Tanah, dan Air 1990). Sasarannya adalah meningkatkan produktivitas usaha tani dan
pendapatan petani, menurunkan laju erosi, serta meningkatkan partisipasi petani
dalam pelestarian sumber daya tanah dan air.
Model A: Sistem usaha tani yang dilakukan oleh petani sebagai pembanding.
Model B: Sistem usaha tani konservasi teras bangku, ditanami tanaman pangan dan
tahunan pada bidang olah, rumput pakan pada bibir dan tampingan teras, serta
melibatkan ternak.
Model C: Sistem usaha tani konservasi teras gulud, ditanami tanaman pangan dan
tanaman tahunan pada bidang olah, rumput dan leguminosa pohon pada guludan, dan
ternak.
Model D: Sistem usaha tani konservasi teras individu, ditanami tanaman tahunan,
rumput, dan leguminosa pohon, serta ternak.
Kesesuaian ketiga model usaha tani introduksi (B,C,D) didasarkan pada kemiringan
lahan, kedalaman tanah, kepekaan terhadap erosi, dan pola usaha tani. Model B dan C
diarahkan untuk memperbaiki usaha tani di tegalan, atau kemiringan lahan 15−45%,
sedangkan model D untuk memulihkan lahan perbukitan yang tandus dengan
kemiringan lahan lebih besar dari 45% .
Tabel 1 menyajikan produksi tanaman pangan, tanaman tahunan, dan tanaman pakan
pada setiap model usaha tani. Dua model introduksi (B dan C) menghasilkan
produktivitas usaha tani lebih tinggi dibanding model petani (model A). Pada model B
118
dan C, hasil panen selain diperoleh dari tanaman pangan juga dari tanaman tahunan
dan pakan ternak, sehingga secara kumulatif memberikan nilai produksi dan
pendapatan bersih lebih tinggi (Tabel 2). Pada usaha tani model D, hasil panen lebih
mengandalkan pada tanaman tahunan (buah-buahan dan kayu-kayuan), sehingga
selama tanaman tersebut belum menghasilkan, tingkat produktivitas usaha taninya
masih rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan model petani.
119
Setelah tahun ketiga, pendapatan usaha tani dari model B dan C semakin meningkat
dan stabil, sedangkan pada model petani relatif tetap. Sebaliknya pendapatan bersih
model D setiap tahun berfluktuasi, karena hasil panen masih ergantung pada tanaman
kayu-kayuan dan ternak kambing.
Batas ambang laju erosi setiap model usaha tani konservasi sebesar 10,60 t/ha/ tahun
untuk model A, 10,50 t/ha/tahun untuk model B, 8,40 t/ha/tahun untuk model C, dan
5,20 t/ha/tahun untuk model D (Tim Survei Tanah DAS Brantas 1988). Sembiring et
al. (1991) mengemukakan bahwa penurunan erosi sampai pada ambang laju erosi
terjadi pada dua model introduksi, yaitu model B sebesar 3,20 t/ha/tahun pada
1990/91 dan model C yang mencapai 6,40 t/ ha/tahun pada 1990/91. Pada dua model
lainnya (A dan D), erosi telah menurun tetapi masih di atas ambang laju erosi, yaitu
berturutturut 20,20 dan 11,40 t/ha/tahun. Penurunan erosi ini diduga karena kondisi
teras yang semakin mantap, tanaman penguat teras dan tanaman tahunan sudah
120
berkembang, serta pengelolaan tanaman dan lahan yang semakin baik. Ini terlihat dari
nilai crops practice (CP) yang semakin kecil.
Model analisis di atas kurang memadai untuk tanaman buah-buahan atau pada
model/sistem usaha tani lain yang mempunyai komponen tanaman tahunan yang
mempunyai nilai ekonomi, seperti kayu, getah, pupuk kompos, dan makanan ternak
(Syam et al. 1993). Periode evaluasi P3HTA selama 6 tahun belum menggambarkan
nilai ekonomi sepenuhnya dari tanaman tahunan, karena dalam periode tersebut, baru
2–3 tahun tanaman tahunan memberikan manfaat. Berkaitan dengan itu, nilai
investasi untuk membuat struktur teknik konservasi belum dihitung sebagai
pengeluaran.
Analisis proyek perlu dilakukan mengikuti prinsip berikut ini. Pertama, pengaruh erosi
terhadap produktivitas berbeda-beda pada setiap titik waktu (misalnya satu tahun)
121
selama periode yang diinginkan. Data setiap titik waktu tersebut kemudian dipakai
untuk menduga manfaat tiap tahun. Kedua, penghitungan tersebut diulangi untuk
kondisi yang akan dialami jika diterapkan suatu tindakan konservasi. Ketiga, manfaat
investasi penerapan teknologi konservasi diperoleh dengan mengurangi nilai kini (net
present value) biaya dan manfaat tanpa dan dengan teknologi konservasi.
Selanjutnya, manfaat dan biaya marginal dapat dihitung dan diperbandingkan satu
sama lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, teknologi yang diteliti di lahan kering DAS
merupakan teknologi usaha tani konservasi yang dikembangkan dari hasil-hasil
penelitian verifikasi teknologi, yang terdiri atas komponen teknologi ternak dan pakan,
tanaman tahunan/hortikultura, konservasi tanah, dan tanaman pangan. Dalam
pelaksanaannya dilakukan perbaikan secara bertahap menuju sistem usaha tani
dengan produktivitas yang stabil dan lestari dengan tetap memperhatikan kebutuhan
dan kemampuan petani. Konservasi tanah diarahkan pada penutupan lahan oleh
vegetasi (konservasi vegetatif) dengan penanaman rumput di bibir dan tampingan
teras, pertanaman lorong, dan tumpang sari.
Usaha tani di wilayah batuan kapur didominasi oleh tanaman pangan (Soemarno et al.
1985), dan ada kecenderungan terjadi pergeseran bertahap dari tanaman pangan
yang kurang mempunyai nilai ekonomi seperti ubi kayu ke tanaman lain yang bernilai
ekonomi lebih tinggi, seperti kedelai, kacang tanah, cabai, dan bawang merah.
Peluang pengembangan tanaman tersebut cukup besar karena memberikan
keuntungan yang relatif tinggi.
Analisis usaha tani empat pola tanam alternatif menunjukkan bahwa pola tanam
kedelai dan kacang tanah dapat meningkatkan pendapatan usaha tani. Dari keempat
pola alternatif tersebut, pola III memberikan keuntungan bersih tertinggi (Rp
1.478.350/ha), dan terendah pada pola II (Rp 120.000/ha). Pola I dan IV memberikan
pendapatan hampir sama, masing-masing Rp 877.850/ ha dan Rp 873.525/ha. Pada
pola III, komponen penerimaan terbesar diperoleh dari hasil penjualan kedelai dan
kacang tanah. Kedua komoditas tersebut memberikan hasil cukup tinggi, dan harga
jualnyapun cukup baik. Untuk pola II, rendahnya penerimaan disebabkan hasil cabai
cukup rendah, hanya 447 kg/ha karena iklim yang terlalu kering atau musim kemarau
panjang (Hardianto et al. 1992 dan Sembiring et al. 1991). Di lahan kering Kabupaten
Trenggalek dan Malang (Jawa Timur), pemberian pupuk kandang 10−15 ton yang
dikombinasikan dengan 200 kg urea, 200 kg TSP, dan 200 kg KCl/ha, memberikan
hasil cabai 4,43−5,13 t/ha di Trenggalek dan 5,81−6,50 t/ha di Malang (Hendarto et
al. 1991).
Ditinjau dari aspek konservasi tanah, pengembangan komoditas yang bernilai ekonomi
tinggi mempunyai dampak positif terhadap kesuburan tanah, karena petani cenderung
memberikan pupuk kandang ke lahan sehingga meringankan biaya investasi. Di
samping itu, dengan makin menurunnya tingkat erosi dan sudah membudayanya
pemberian pupuk kandang, kesuburan lahan akan meningkat sehingga membuka
peluang untuk budi daya tanaman komersial lainnya.
Selain dari tanaman pangan dan tanaman tahunan, petani model B, C, dan D juga
memperoleh pendapatan dari usaha pemeliharaan ternak kambing. Ternak kambing
yang diberikan pada tahun 1985 masing-masing 1 ekor pejantan dan 4 ekor induk per
petani telah berkembang pesat (Hardianto et al. 1992). Laju peningkatan populasi per
tahun tertinggi terjadi pada petani model D, rata-rata 44%, sedangkan pada petani
model B hanya 35,60% dan model C 28,90%. Laju kelahiran pada model B dan D
relatif tinggi, masing-masing 105,50% dan 102,20%, tetapi pada model C dan D
masih rendah masing-masing hanya 56,30% dan 12,60%.
Kemampuan optimal satu rumah tangga petani, dengan ketersediaan tenaga kerja
keluarga 3 orang, dalam memelihara ternak kambing berkisar antara 4−5 ekor.
Pemeliharaan kambing di atas 7 ekor dinilai kurang efisien oleh petani, khususnya
123
Jumlah petani penggaduh pada awal tahun proyek (1985) sebanyak 6 orang. Pada
tahun 1988 dan 1990 jumlah penggaduh bertambah masing-masing sebanyak 4
orang, dengan ternak gaduhan berasal dari hasil pengembangan ternak kambing
penggaduh pertama. Hal ini menunjukkan bahwa ternak kambing relatif lebih cepat
memeratakan subsidi kepada petani lainnya.
Keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani sangat penting. Asisten
lapang dan (3−4 orang di tiap lokasi) yang tinggal di desa memudahkan komunikasi
dengan kelompok tani dan koordinasi dengan penyuluh lapangan. Partisipasi petani
umumnya sangat baik pada awal proyek, tetapi selanjutnya menurun.
Di lahan kering DAS, petani banyak yang telah mengadopsi teknologi sistem usaha
tani konservasi karena mereka sudah mengetahui manfaatnya. Legum penutup tanah
124
misalnya dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga meningkatkan hasil ubi kayu
sampai 1 ton gaplek, dan jagung 0,30 ton pipilan kering. Di samping itu, tanaman
koro juga dapat menghasilkan biji sekitar 40 kg/600 m2 guludan (Sembiring et al.
1989). Selanjutnya Syam et al. (1989) menyimpulkan bahwa adopsi teknologi bukan
hanya terjadi pada petani kooperator, tetapi juga pada petani nonkooperator, seperti
teknologi pembuatan teras, penanaman tanaman penguat teras, pembuatan saluran
pembuangan air (SPA), pola tanam, dan penggunaan varietas unggul padi gogo dan
jagung.
Aspek pemasaran
Aspek teknis
Sembiring et al. (1989) mengemukakan bahwa pembuatan teras bangku dan teras
gulud dapat mengurangi erosi secara efektif. Hal ini karena bangunan teras berfungsi
untuk: 1) mengurangi panjang lereng sehingga dapat mengurangi laju aliran
permukaan, 2) mengatur aliran air ke saluran pembuangan dengan mengurangi
penghanyutan; dan 3) meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah. Penerapan teknik
konservasi tanah selayaknya mempertimbangkan tiga hal, yaitu curah hujan, kondisi
tanah (kemiringan, ketebalan solum, sifat tanah), dan kemampuan petani (biaya,
waktu dan tenaga kerja keluarga yang tersedia).
jenis dan kondisi tanah. Akibatnya bangunan teras sering rusak, seperti tampingan
teras runtuh, bidang teras bergeser, dan tanaman penguat teras lepas. Di samping itu,
air drainase lebih terpusat sehingga dibutuhkan tenaga khusus untuk penanganan
saluran air.
Teknik konservasi alternatif yang lebih sesuai untuk tanah dangkal dan tanah yang
didominasi liat 2:1 adalah teras gulud atau pertanaman lorong. Hal tersebut didukung
oleh Fagi et al. (1988) yang mengemukakan bahwa bangunan teras bangku terbukti
tidak stabil pada tanah bertekstur berat dan mengandung mineral liat 2:1
(Vertisol/Grumusol), serta tanah yang bersolum dangkal. Begitu juga Suwardjo et al.
(1984) menyatakan bahwa usaha pencegahan erosi dengan pembuatan teras bangku
memang cukup baik, tetapi hanya sesuai untuk tanah yang mempunyai solum dalam
dengan bahan induk tanah dari bahan vulkan. Pada tanah bersolum dangkal, atau
yang bersolum dalam tetapi kaya akan unsur beracun seperti Al dan Fe, pembuatan
teras bangku kurang baik untuk pertumbuhan tanaman pangan.
Beberapa jenis tanaman leguminosa yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan
kritis dengan jenis tanah Troporthent adalah koro pedang (Canavala ensiformis), koro
benguk (Mucuna pruriens), gude (Cajanus cajan), dan komak (Dilichos lablab). Koro
pedang dapat berproduksi 1,80 t biji/ha dan 0,36 t pupuk hijau/ha dengan
kemampuan penutupan tanah 90%. Koro benguk menghasilkan 0,51 t biji/ha dengan
penutupan tanah 90%. Gude menghasilkan 0,53 t biji/ha dengan penutupan tanah
70%, serta komak menghasilkan 1,04 t biji/ha dengan penutupan tanah 90%
(Sembiring et al. 1989). Produk tanaman leguminosa tersebut, selain dikonsumsi juga
dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi, serta daunnya dapat digunakan sebagai
pupuk hijau. Penanaman leguminosa dapat dilakukan dengan biaya rendah.
Tingkat migrasi penduduk yang cukup tinggi merupakan gejala umum di daerah lahan
kering DAS, sehingga jumlah tenaga kerja produktif di desa menjadi terbatas.
Tingginya tingkat migrasi tersebut berkaitan dengan perbaikan tingkat pendidikan
kaum muda dan rendahnya kesempatan berusaha di desa. Di masa mendatang,
keterbatasan tenaga kerja keluarga merupakan kendala pengembangan usaha tani
yang menuntut curahan tenaga lebih intensif. Modal juga merupakan kendala
126
Petani yang bermodal lemah hanya dapat mengusahakannya dalam jumlah terbatas.
Hasil penelitian di DAS Jratunseluna memberikan informasi bahwa ada hubungan
antara kelompok umur kepala keluarga dengan aktivitas luar usaha tani. Kepala
keluarga usia muda cenderung lebih aktif bekerja di luar usaha tani, terutama pada
kelompok usia 35−44 tahun (Rahmanto et al. 1989).
Luas penguasaan lahan yang relatif sempit menyebabkan petani tidak dapat
memanfaatkan tenaga kerja secara produktif serta pendapatan yang diperoleh dari
usaha tani belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (Napitupulu 1979). Untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, petani aktif pada berbagai kegiatan produktif di luar
usaha tani. Menurut Kristianto (1985), dalam melakukan kegiatan usaha tani petani
umumnya hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga.
Petani mengelola usaha taninya selama musim hujan, yaitu 5−6 bulan dalam setahun.
Setelah panen selesai, lahan diberakan dan petani mencari pekerjaan lain di desanya
atau di kota terdekat untuk mendapat tambahan pendapatan.
Teknologi usaha tani konservasi lahan kering sudah cukup banyak, baik yang bersifat
komponen tunggal maupun gabungan beberapa komponen yang saling memperkuat,
misalnya penanaman rumput pakan unggul pada teras bangku dan pengelolaan
pakan/limbah pertanian untuk meningkatkan produktivitas ternak.
Di samping itu, tanaman pangan atau hortikultura yang ditata berdasarkan pola tanam
yang sesuai dapat meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi erosi tanah.
Teknologi konservasi tersebut sudah disampaikan kepada petani oleh P3HTA melalui
demonstrasi model usaha tani dan oleh Sustainable Upland Farming System (SUFS)
melalui demplot.
Namun, tampaknya proses adopsi teknologi hanya terjadi pada petani kooperator dan
itu pun tidak secara berkelanjutan, misalnya bibir teras ditanami lagi dengan ubi kayu,
varietas tanaman pangan kembali ke varietas lokal, dan sisa panen tidak dikembalikan
ke dalam tanah atau dibakar (Abdurachman
et al. 1993).
Agar petani mau dan mampu menerapkan teknologi konservasi sederhana dan murah,
P3HTA melaksanakan penelitian usaha tani dengan pendekatan bottom-up yaitu
partisipasi petani diberi prioritas. Pendekatan ini sangat memperhatikan kelemahan
127
petani dalam hal permodalan dan pengetahuan, serta besarnya ketergantungan pada
alam. Namun, tingkat adopsi teknologi oleh petani tetap masih rendah yang antara
lain
disebabkan oleh:
Sehubungan dengan hal itu, pengembangan sistem usaha tani konservasi perlu
dilakukan dengan memperhatikan tiga hal, yakni: 1) bertitik tolak dari kondisi,
kebutuhan, partisipasi dan aspirasi petani; 2) berorientasi pada pemecahan masalah
petani dan wilayah; dan 3) melibatkan peneliti interdisiplin yang bekerja sama dengan
penyuluh, petani dan pihak terkait lainnya.
KESIMPULAN
Permasalahan lahan kritis terutama di DAS bagian hulu perlu mendapat perhatian
yang besar, karena 45% DAS tergolong prioritas dan 27,50% merupakan
superprioritas.
Akumulasi permasalahan terjadi karena selama ini program rehabilitasi dan konservasi
lahan kurang memadai. Petani yang umumnya miskin mempunyai lahan garapan
sempit dan menggunakan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak
disertai tindakan konservasi yang tepat. Di samping itu, program pemerintah kurang
128
memfokuskan perhatian kepada partisipasi petani karena kendala sosial budaya, serta
sarana/prasarana perhubungan.
Berbagai program penelitian dan pengembangan model rakitan teknologi usaha tani
konservasi dapat memberikan sumbangan besar terhadap pengelolaan DAS bagian
hulu. Model yang dirancang tidak saja bertujuan meningkatkan produktivitas lahan
dan pendapatan petani, tetapi juga untuk melindungi infrastruktur di bagian hilirnya.
Di DAS Brantas bagian hulu, penerapan model yang tepat dapat menurunkan erosi
24– 69% di bawah batas ambang erosi, selain meningkatkan produksi.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dalam evaluasi teknologi usaha tani konservasi perlu digunakan analisis proyek
sehingga informasi yang didapat lebih sempurna. Setiap DAS mempunyai karakteristik
yang spesifik sehingga memerlukan rakitan teknologi yang spesifik lokasi.
Partisipasi petani dalam pengelolaan DAS perlu diperluas, tidak hanya dalam tahap
pengembangan teknologi dan adopsi tetapi juga dalam pengelolaan DAS. Pada tahap
perbaikan teknologi, formulasi kebijakan perlu ditekankan pada upaya mendorong
partisipasi masyarakat. Pada tahap awal, peran pemerintah diperlukan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberikan subsidi, dan pada
tahap pengembangan untuk mendorong pihak swasta agar berinvestasi di lahan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., D. Lubis, dan H.M. Toha. 1993. Penelitian pengembangan sistem
usaha tani konservasi di DAS bagian hulu. Risalah Penelitian Pengembangan Sistem
Produksi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm.
235−248.
Adnyana, M.O. dan I. Manwan. 1993. Prosedur pelaksanaan, strategi dan program
penelitian pengembangan. Risalah Penelitian Pengembangan Sistem Produksi
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm 1−17.
Biro Pusat Statistik. 1981. Statistik Indonesia 1980/81. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
125 hlm.
Biro Pusat Statistik. 1994. Statistik Indonesia 1994. Biro Pusat Statistik. Jakarta. 131
hlm. Current, D., E. Lutz, and S.J. Scherr. 1995. The cost and benefits of agro-forestry
to farmers. The World Bank Research Observer 10(2): 151−180.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1985. Program pengelolaan DAS
di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Program Studi
Pengembangan DAS pada Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor. hlm 1−21.
DHV Consultants. 1990. Laporan Akhir Pengalaman Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Proyek Kali Konto Fase Ke-3 dan Perpanjangan Fase ke-3. Jilid I. Departemen
Kehutanan Republik Indonesia dan Departemen Luar Negeri Kerajaan Belanda. 65 hlm.
Fagi, A.M., I.G. Ismail, U. Kusnadi, Suwardjo, dan A.S. Bagyo. 1988. Penelitian sistem
usaha tani di daerah aliran sungai. Risalah Lokakarya Penelitian Lahan Kering dan
Konservasi. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. hlm. 1−14.
Hardianto, R., T. Hendarto, E. Masbula, dan N.L. Nurida. 1992. Status dan prospek
pengembangan sistem usaha tani konservasi di lahan kering berkapur DAS Brantas.
Prosiding Seminar Penelitian dan Pengembangan Sistem Usaha Tani Konservasi di
Lahan Kering DAS Jratunseluna dan Brantas. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,
Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 99−120.
Hendarto, T., Djumali, dan N.L. Nurida. 1991. Usaha perbaikan teknologi pemupukan
dan peran cabai merah dalam sistem usaha tani konservasi di lahan kering DAS
Brantas. Seminar Penelitian dan Pengembangan Sistem Usaha Tani Konservasi di
Lahan Kering DAS Jratunseluna dan Brantas. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan
Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 185−194.
Kristianto, K. 1985. Peranan peternakan dan pertanian lahan kering Dalam Peluang
Kerja dan Berusaha di Pedesaan. BPFE, Yogyakarta. 69 hlm.
Lutz, E., S. Pagiola, and C. Reiche. 1994. The cost and benefits of soil conservation.
The Farmer’s Viewpoint. The World Bank Research Observer 9(2): 273−295.
Pakpahan, A., N. Syafa’at, A. Purwoto, H.P. Saliem, dan G.S. Hardono. 1992.
Kelembagaan lahan dan konservasi tanah dan air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Monograph Series No.5: 98 hlm.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1985. Program Penelitian Pola
Usaha Tani Terpadu dan Konservasi Tanah 1986/87–1990/91. Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. 51 hlm.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1987. Laporan Tahunan
1986/87. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air, Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. 75 hlm.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1988. Laporan Tahunan
1987/88. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. 83 hlm.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1989. Laporan Tahunan
1988/89. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. 89 hlm.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1990. Petunjuk Teknis Usaha
Tani Konservasi Daerah Aliran Sungai. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah
dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 85 hlm.
131
Rachman, A., H. Suwardjo, R.L. Watung, dan H. Sembiring. 1989. Efisiensi teras
bangku dan teras gulud dalam pengendalian erosi. Risalah Diskusi Ilmiah Hasil
Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di Daerah Aliran Sungai. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm.
11−18.
Rahmanto, B., P. Amir, dan A. Syam. 1989. Penjajagan persepsi petani terhadap nilai
lahan garapan dan biaya pembuatan teras serta preferensi petani dalam menanamkan
modal. Risalah Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
di DAS. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. hlm. 257−266.
Setiani, C., B. Prasetyo, dan U. Haryati. 1991. Peranan kelembagaan dalam adopsi
sistem usaha tani konservasi (demplot) dan kapas (IKR), suatu tinjauan sosiologi.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Lahan
Sedimen dan Vulkan DAS Bagian Hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah
dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 77−90.
Sofijah, A. dan Suwardjo. 1979. Pengaruh teras, sistem pengelolaan tanaman dan sifat
hujan terhadap erosi dan aliran permukaan pada tanah Latosol Darmaga. Pusat
PenelitianTanah dan Agroklimat, Bogor. 14 hlm.
132
Sukmana, S. 1994. Budi daya lahan kering ditinjau dari konservasi tanah. Prosiding
Penanganan Lahan Kering Marginal melalui Pola Usaha Tani Terpadu di Jambi. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 18−29.
Sukmana, S., Suwardjo, U. Kusnadi, dan A. Syam. 1988. Usaha konservasi di daerah
aliran sungai bagian hulu. Sistem Usaha Tani di Lima Agroekosistem. Risalah
Lokakarya Penelitian Sistem Usaha Tani. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 199−222.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Sistem
Usaha Tani Tanaman Semusim. Disertasi Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. 85 hlm.
Suwardjo, N. Sinukaban, dan A. Barus. 1984. Makalah erosi dan kerusakan tanah di
daerah transmigrasi. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usaha Tani
Menunjang Transmigrasi, Cisarua, Bogor, 27−29 Februari 1984. hlm. 15−35.
Syam, A., Al Sri Bagyo, dan M.O. Adnyana. 1993. Perbandingan teras bangku, teras
gulud dan tanpa teras: suatu analisis ekonomi. Prosiding Seminar Perakitan dan
Pengembangan Teknologi Sistem Usaha Tani Tanaman Pangan. Buku-I. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 47−65.
Tim Survei Tanah DAS Brantas. 1988. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Detail DAS
Brantas Hulu, Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek, Propinsi Jawa
Timur. No.31/PPT/1988. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah.
Bappeda Tingkat I Jawa Timur–Pusat Penelitian Tanah, Bogor. 185 hlm.
133
13.1.1 Pendahuluan
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan dibatasi
oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan, dimana presipitasi
yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang akhirnya
bermuara ke danau atau laut. Batas‐batas alami DAS dapat dijadikan sebagai batas
ekosistem alam, yang dimungkinkan bertumpang‐tindih dengan ekosistem buatan,
seperti wilayah administratif dan wilayah ekonomi. Namun seringkali batas DAS
melintasi batas kabupaten, propinsi, bahkan lintas negara. Suatu DAS dapat terdiri
dari beberapa sub DAS, daerah Sub DAS kemudian dibagi‐bagi lagi menjadi sub‐
sub DAS.
Di dalam mempelajari DAS, biasanya DAS dibagi menjadi hulu, tengah, dan
hilir. DAS bagian hulu sebagai daerah konservasi, berkerapatan drainase tinggi,
memiliki kemiringan topografi besar, dan bukan daerah banjir. Adapun DAS
bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah,
kemiringan lahan kecil, dan sebagian diantaranya merupakan daerah banjir.
Daerah aliran sungai tengah merupakan transisi diantara DAS hulu dan DAS hilir.
Masing‐masing bagian tersebut saling berkaitan. Bagian hulu DAS merupakan
kawasan perlindungan, khususnya perlindungan tata air, yang keberadaannya
penting bagi bagian DAS lainnya. Contoh keterkaitan antara bagian hulu dengan
hilir diantaranya adalah : (a). bagian hulu mengatur aliran air yang dimanfaatkan
oleh penduduk di bagian hilir, (b). erosi yang terjadi di bagian hulu menyebabkan
sedimentasi dan banjir di hilir, dan (c). bagian hilir umumnya menyediakan pasar
bagi hasil pertanian dari bagian hulu.
136
Pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang ada
di dalam DAS secara rasional dengan tujuan untuk mencapa keuntungan yang
maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan resiko kerusakan seminimal
mungkin. Dalam konteks yang lebih luas pengelolaan DAS dapat dipandang
sebagai suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan sosial ekonomi, dan
satuan pengaturan tata ruang wilayah. Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk
produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk di dalamnya pengendalian
erosi dan banjr.
Produktifitas sumberdaya lahan secara langsung dapat dilihat dari hasil panen
untuk setiap komoditas yang diusahakan. Hasil yang diperoleh harus dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu mendesain masa depannya; dalam hal
ini pendapatan yang diperoleh selain mencukupi kebutuhan primernya akan
pangan, sandang, dan papan, juga kebutuhan lainnya, seperti pendidikan dan
kesehatan sebagai bekal dalam mendesain masa depannya yang lebih baik, juga
untuk melaksanakan aktifitas sosialnya. Untuk mencapai tingkat produktifitas
yang diharapkan digunakan teknologi (agroteknologi) yang juga menjamin
kelestarian sumberdaya alam yang diupayakannya. Pendapatan yang diperoleh
hendaknya mencapai 3 ‐ 4 kali standar batas miskin. Garis kemiskinan
berdasarkan pendekatan Sayogyo adalah 320 kg beras/kapita/tahun; adapun
menurut Bank Dunia garis kemiskinan untuk daerah pedesaan US$ 50 dan untuk
daerah perkotaan sebesar US $ 75.
Sumberdaya tanah, air, vegetasi, dan fauna dalam kawasan DAS harus
terjamin kelestariannya, misalnya laju erosi yang lebih kecil dari laju erosi yang
diperkenankan, distribusi hasil air merata sepanjang tahun, kualitas air terjaga,
sedimentasi dan kadar lumpur dalam aliran air kecil, keanekaragaman hayati
tinggi, prosentase penutupan lahan oleh vegetasi tinggi, polusi lingkungan rendah,
dan sebagainya.
SYSTEMGambar 2. Megasistem Daerah Aliran Sungai(Source : Saha and Barrow (1981) in Mc Donald and D.
Kay (1988)Water Resource : Issues and Strategies. Longman. New YorkWATERSHED
Bentuk DAS Bentuk DAS dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu : (a).
berbentuk bulu burung; (b). radial; (c). paralel; dan (d). kompleks. Karakteristik
masing‐masing bentuk ditampilkan dalam Tabel 2.
143
144
Pola Aliran Sungai Pola aliran sungai apabila dilihat dari atas tampak
menyerupai beberapa bentuk, seperti menyerupai percabangan pohon (dendritik),
segi empat (rectangular), jari‐jari lingkaran (radial), dan trellis. Pola aliran ini
dapat merupakan petunjuk awal tentang jenis dan struktur batuan yang ada.
a. Pola dendritik : umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan
penyebaran yang luas, misalnya kawasan yang tertutup endapan sedimen yang
terluas dan terletak pada bidang horizontal, seperti di dataran rendah bagian timur
Sumatera dan Kalimantan.
a. Luas DAS dapat diukur di atas peta menggunakan alat planimeter. Batas
DAS merupakan punggung bukit atau pegunungan yang memungkinkan prespitasi
yang jatuh menjadi aliran air mengalir melaluisaluran sungai di dalamnya yang
terpisah dari kawasan DAS lainnya. Semakin kecil luas DAS yang diamati
memerlukan peta topografi dengan skala yang semakin besar.
146
b. Panjang sungai dihitung sebagai jarak datar dari muara sungai (oulet) ke
arah hulu sepanjang sungai induk. Adapun lebar sungai merupakan pembagian
antara luas DAS dengan panjang sungai.
c. Orde atau tingkat percabangan sungai adalah posisi percabangan alur sungai
di dalam urutannya terhadap induk sungai dalam satu AS (Soewarno, 1991). Alur
sungai paling hulu yang tidak memiliki cabang disebut orde pertama, pertemuan
147
dua orde pertama disebut orde kedua, pertemuan orde pertama dengan orde kedua
disebut orde kedua, dan pertemuan dua orde kedua disebut orde ketiga, begitu
seterusnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa pertemuan dua orde yang sama
menghasilkan nomor orde satu tingkat lebih tinggi, sedangkan pertemuan dua
orde sungai yang berbeda memberikan nomor orde yang sama nilainya dengan
nomor orde tertinggi diantarakedua orde yang sungai yang bertemu.
D = L/A
e. Kemiringan sungai utama adalah rasio perbedaan tinggi antara titik tertinggi
(di bagian hulu) dengan titik terendah (di bagian hilir) dari sungai utama dibagi
dengan panjang sungai utama.
Di dalam siklus hidrologi, air mengalami perubahan bentuk mulai dari cair,
uap, kemudian menjadi cair (hujan) dan padat (salju). Berjalannya siklus hidrologi
memerlukan energi panas matahari yang cukup untuk mengevaporasikan uap air
dari lautan atau badanbadan air (seperti : sungai, danau, vegetasi, dan tanah
lembab) ke atmosfir. Di atmosfir uap air mengalami kondensasi berupa butiran
150
hujan atau kristal es berbentuk awan. Sampai ukuran tertentu butiran air tersebut
turun ke bumi menjadi presipitasi baik dalam bentuk cair (hujan) atau padat
(salju). Namun di daerah tropika basah bentuk presipitasi pada umumnya berupa
hujan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya istilah hujan menggantikan istilah
presipitasi.
Sebagian hujan yang jatuh sebelum mengenai tanah terlebih dulu mengenai
vegetasi, bangunan, atau penutup permukaan tanah lainnya. Hujan yang
diintersepsi oleh vegetasi kemudian dievaporasikan kembali ke atmosfir. Setiap
vegetasi memiliki kemampuan menyimpan air (intersepsi) yang berbeda.
Misalnya vegetasi hutan memiliki kapasitas intersepsi yang lebih besar
dibandingkan dengan rumput. Bagian hujan lainnya yang jatuh ke bumi ada juga
yang langsung masuk ke lautan atau badan‐badan air dan kembali diuapkan ke
atmosfir.
151
Air hujan yang lolos dari intersepsi selanjutnya mencapai permukaan tanah
melalui batang tumbuhan (stemflow) atau jatuh langsung (throughfall) dari bagian
atas (daun). Di permukaan tanah air mengisi simpanan depresi (depression
storage) dan setelah pori tanah terisi, aliran air kemudian mengikuti gaya gravitasi
air terus masuk ke dalam tanah (infilitrasi). Dalam tahap ini kemampuan tanah
menyerap air tergantung dari permeabilitas tanah dan vegetasi yang ada di
atasnya. Di bawah permukaan tanah air terakumulasi dan membentuk aliran
bawah permukaan, selanjutnya pada titik tertentu akan keluar sebagai aliran
bawah permukaan (subsurface runoff) dan masuk ke dalam sungai. Apabila air
terus menembus semakin dalam lapisan tanah, aliran air dapat mencapai air tanah
(groundwater recharge) yang merupakan lapisan bawah tanah yang kurang
permeabel. Setelah mencapai simpanan air tanah, air bergerak mengikuti
permukaan air tanah yang merupakan wilayah tekanan, dan selanjutnya aliran air
tanah keluar dan masuk ke dalam sungai. Laju aliran air tanah yang keluar
tergantung kepada struktur geologi wilayah, permeabilitas tanah, dan lapisan
bawah permukaan.
152
Apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka air hujan yang
jatuh akan menjadi aliran permukaan (surface runoff) dan kemudian menuju
sungai atau badan air terdekat. Aliran permukaan ini juga merupakan salah satu
energi yang dapat menggerus partikel tanah di permukaan dan menyebabkan
erosi. Aliran permukaan semakin besar dengan semakin tingginya intensitas
hujan, lereng yang semakin curam, semakin berkurangnya kekasaran permukaan
tanah, dan semakin kecilnya kapasitas infiltrasi (Gambar 7).
153
154
Komposisi aliran air di dalam sungai terdiri dari aliran permukaan (surface
runoff), aliran bawah permukaan (sub surface runoff), dan aliran air tanah
(groundwater). Di dalam aliran air yang mengalir senantiasa membawa bahan dan
mineral yang dapat larut dan tidak larut. Bahan yang dibawa aliran air kemudian
diendapkan secara selektif.
P = (R ‐ G ‐ E ‐ T) + ∆S
Persamaan neraca air dapat digunakan untuk menentukan besarnya nilai proses
hidrologi yang tidak diketahui. Misalnya besarnya evapotranspirasi (ET) yang
terjadi di suatu DAS yang besar tidak diketahui, karena peralatan untuk
pengukurannya tidak ada. Namun data hujan (P), aliran permukaan (R) , air tanah
(G) dan simpanan air (S) untuk DAS tersebut terukur. Dengan demikian besarnya
nilai ET dapat ditentukan dengan mengurangi P dengan R, G, dan S (atau ET = P ‐
R ‐ G ‐ S).
Pengaruh manusia dalam daur hidrologi dapat terjadi sepanjang aliran DAS,
baik di bagian hulu, bagian tengah, dan atau di bagian hilir; dengan sifat pengaruh
ada yang langsung atau tidak langsung. Tindakan manusia yang berpengaruh
terhadap proses siklus hidrologi banyak menyangkut alokasi penggunaan lahan,
pembuatan bangunan air di dalam DAS, pengelolaan vegetasi, pengelolaan tanah,
tindakan konservasti tanah dan air, pemanfaatan air tanah, dan masuknya polutan
ke dalam siklus hidrologi. Berikut ini disajikan beberapa contoh tindakan manusia
dan pengaruhnya terhadap siklus hidrologi.
Penggunaan lahan hutan dengan tingkat intersepsi hujan tinggi dan memiliki
sifat infiltrasi tanah yang baik, akan mengurangi jumlah aliran permukaan.
Namun dengan terjadinya konversi hutan menjadi lahan pertanian intensif, bahkan
menjadi kawasan industri dan pemukiman, menyebabkan terganggunya proses
hidrologi. Terbukanya permukaan tanah menyebabkan kapasitas intersepsi hujan
menurun drastis, hujan yang jatuh langsung memukul permukaan tanah dan
memecahkan matriks tanah menjadi partikel tanah yang kecil‐kecil. Sebagian dari
partikel tanah menutup pori tanah dan memadatkan permukaan tanah, sehingga
menurunkan kapasitas infilitasi. Dengan menurunnya kapasitas infiltrasi maka
jumlah aliran permukaan meningkat dan jumlah aliran air yang menuju ke bawah
permuaan untuk mengisi air tanah berkurang. Aliran permukaan menjadi energi
156
Air tanah banyak dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga dan industri.
Pemanfaatan oleh industri jauh lebih besar daripada untuk rumah tangga.
158
Eksploitasi air tanah tanpa kendali akan menurunkan muka air tanah, dan
menimbulkan rongga di dalamnya. Adanya rongga kosong ini menyebabkan
terjadinya penurunan permukaan tanah (sois subsidense). Gejala tanah yang
mengalami subsidensi tampak dari adanya retak‐retak pada dinding bangunan
akibat berubahnya pondasi bangunan dalam tanah. Pada kondisi tanah subsiden
parah, permukaan tanah anjlok diikuti dengan runtuhnya bangunan.
Lahan (land) dalam pengelolaan DAS berperan penting, dan hampir tidak ada
aktifitas yang dilakukan tanpa dukungan lahan. Lahan secara definisi bermakna
lebih luas dari tanah (soil), yaitu lingkungan fisik yang terdiri dari tanah, iklim,
relief, air, vegetasi, dan benda yang ada di atasnya sepanjang berpengaruh
terhadap penggunaan lahan, sedangkan tanah sendiri merupakan benda alami
berdimensi tiga (panjang, lebar, dan tinggi) yang terletak di bagian atas
permukaan atas kulita bumi dan memiliki sifat yang berbeda dengan lapisan di
bawahnya sebagai hasil kerja interaksi antara iklim, kegiata organisme, bahan
induk, dan relief selama masa tertentu (Arsyad, 1989).
14 KONSEPSI PENGELOLAAN
DERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
TERPADU BERBASIS
BIOREGIONAL *)
Oleh: Tarsoen Waryono
Sumber:http://docs.google.com/staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.
waryono/
1. Latar Belakang
1. Pemberdayaan masyarakat.
(f). Terhadap pendangkalan sungai dan tandon air, action plan yang
diwujudkan dalam bentuk ”restorasi ekologi”; dengan
pengembangan jenis asli yang ada.
1. Latar belakang
166
2. Pendekatan
Uraian Penutup
Daftar Pustaka
Alegre., J.C, Cassel., D.K, and Makarim., M.K; 1985. Strategies for
Reclamtion of Degraded Lands. Tropical Land Clearing fo
Sustainable Agriculture. Isbram Proceedings No.3. Jakarta; pp 45-
57.
Melman. Dick, C.P. and Strien Arco Van J. 1993. Ditch Banks as a
Conservation Focus in Intensively Exploited Peat Farmland. In
Landscape Ecology od Stressed Environment. (ed) by Claire C Vos
and Paul Opdam. Plubished in 1993, by Chapman and Hall, Lodon
ISBN 0 412 448203
Datang
Sumber: http://bulletin.penataanruang.net/
DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting
di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi perkotaan dan
perdesaan yang ada di sekitarnya, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun
kebutuhan ekonomi. Pentingnya peranan DAS dinyatakan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan DAS Bengawan Solo
sebagai salah satu prioritas utama dalam penataan ruang sehubungan dengan
fungsi hidrologi untuk mendukung pengembangan wilayah. Selain itu, DAS
Bengawan Solo juga merupakan satu sistem ekologi besar yang dalam
perkembangannya saat ini mengalami banyak kerusakan dan mengarah pada
kondisi degradasi lingkungan. Ada dua indikator degradasi, pertama, konversi
lahan hutan di daerah hulu ke penggunaan pertanian, perkebunan, dan
permukiman yang menyebabkan terjadinya peningkatan laju erosi dan
peningkatan laju sedimentasi. Kedua, terjadinya fluktuasi debit sungai yang
mencolok di musim hujan dan kemarau. Berdasarkan pertimbangan ekologis dan
sosial ekonomi, DAS Bengawan Solo merupakan satu kesatuan yang terintegrasi
dan tidak mengenal batas wilayah administrasi. Potensi dan persoalan yang ada ini
tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja tetapi perlu disikapi bersama-sama
secara bijak.
174
Guna Lahan Optimal adalah guna lahan yang memberikan kondisi: debit
puncak banjir berkurang, run off menurun, volume banjir berkurang, kegiatan
ekonomi tetap berkembang, kondisi sosial dan budaya masyarakat tidak terganggu
Penggunaan Lahan optimal DAS Bengawan Solo Optimalisasi penggunaan lahan
di Kawasan DAS Bengawan Solo merupakan hasil simulasi guna lahan dengan
menggunakan pemodelan hidrologi dan geologi lingkungan. Beberapa kondisi di
DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan tersebut adalah sebagai berikut:
Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman
yang terjadi di DAS Bengawan Solo menimbulkan puncak dan volume banjir
yang semakin besar;
Besarnya banjir dari anak-anak sungai tergantung juga dari jenis tanah selain dari
perubahan fungsi lahan dan karakteristik hidrologi seperti kemiringan dan panjang
sungai;
Daerah yang rentan terhadap pertambahan banjir adalah sub-sub DAS yang
mengandung jenis tanah berkemampuan meresapkan air ke dalam tanah cukup
tinggi (daerah resapan);
Sub-sub DAS dengan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah,
dan permukiman terjadi pada sebagian besar kawasan sehingga menimbulkan
pertambahan puncak dan volume banjir lebih dari 100%;
176
Sub-sub DAS dengan dominasi jenis tanah kurang mampu meresapkan air
(kemampuan melewatkan air di permukaan tanah cukup tinggi) biasanya rentan
terhadap perubahan fungsi lahan seperti diketemukan pada bagian hulu sub-DAS
Kali Madiun dan sebagian besar sub DAS Bengawan Solo Hilir;
Perubahan guna lahan mempengaruhi tinggi rendahnya debit puncak dan volume
banjir.
Komposisi guna lahan seperti sekarang menimbulkan puncak dan volume banjir
makin besar dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya di tahun 1964 untuk
sub DAS Bengawan Solo Hilir;
Pengembalian fungsi konservasi hutan pada beberapa
kawasan akan memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap pengurangan
debit puncak dan volume banjir apabila dikombinasikan dengan penerapan Low
Impact Development (LID);
Kondisi di atas juga dipicu oleh kondisi alih fungsi lahan yang tidak
memperhatikan kemampuan lahan yang ada. Berdasarkan pada hasil analisis
geologi lingkungan terkait kemampuan lahan tersebut, terdapat beberapa kondisi
penggunaan lahan di DAS Bengawan Solo sebagai berikut:
Terdapat penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahannya;
Terdapat penggunaan lahan pada kawasan rawan dengan kemampuan lahan
sedang, seperti di sekitar puncak Gunung Lawu, Gunung Merapi dan Gunung
Jeding-Patujbanteng, Cawas, Wonogiri-Eromoko, Giriwoyo, Tirtomoyo,
Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Jetis, Sarangan, Kendal, Ngrampe, Pulung-
Wungu, Caruban, Talangkembar, dan Ngadirejo-Juwok;
Terdapat kawasan yang tidak boleh dikembangkan karena kemampuan lahan yang
rendah, seperti di sekitar daerah Cawas, Wonogiri-Eromoko, Tirtomoyo,
Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Sarangan, Kendal, Ngrampe, dan Pulung-
Wungu; dan
Terdapat beberapa kawasan yang harus dihutankan kembali atau dikembalikan
fungsinya sebagai kawasan konservasi, seperti yang terjadi di Boyolali, Klaten,
Wonogiri, Gresik, Madiun, Magetan, Ponorogo, dan Tuban.
177
Adanya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya
merupakan akibat dari tekanan kebutuhan lahan yang pada akhirnya menyebabkan
adanya degradasi lingkungan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi untuk Kawasan
DAS Bengawan Solo, faktor lahan merupakan salah satu faktor yang cukup
berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Hal ini ditunjukkan
dengan beberapa temuan studi sebagai berikut:
Peningkatan luasan lahan budidaya di Kawasan DAS
Bengawan Solo akan meningkatkan PDRB DAS Bengawan Solo, dan sebaliknya
pengurangan luasan lahan budidaya akan dapat mengurangi PDRB DAS
Bengawan Solo;
Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di DAS Bengawan Solo sebesar 1%
akan meningkatkan PDRB DAS sebesar 0,144% dan sebaliknya;
Peningkatan luasan lahan budidaya akan meningkatkan PDRB sub-DAS
Bengawan Solo Hulu dan sebaliknya pengurangan luasan lahan budidaya akan
178
mengurangi PDRB;
Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di sub DAS Bengawan Solo Hulu
sebesar 1% akan meningkatkan PDRB sebesar 0,168% dan sebaliknya;
Terdapat beberapa sektor yang memiliki kecenderungan dominan unggul,
dominan menurun, dan potensial berkembang yang berbeda-beda di setiap
kabupaten/kota;
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang dominan unggul
di hampir setiap kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo, dimana kontribusi
sektor terhadap PDRB kabupaten/kota besar dan memiliki pertumbuhan yang
positif;
Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan di hampir semua
kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo, namun dengan pertumbuhan yang
cenderung negatif/ menurun; dan
Sektor-sektor tersier (non-ekstraktif ) merupakan sektor potensial berkembang
dengan pertumbuhan yang tinggi namun kontribusinya kecil di hampir setiap
kabupaten/ kota di DAS Bengawan Solo
DAS Bengawan Solo merupakan bagian dari Wilayah Sungai Bengawan Solo,
yang berdasarkan RTRWN ditetapkan masuk ke dalam kategori ‘Wilayah Sungai
LINTAS PROVINSI’. Namun pada perkembangannya, berdasarkan persyaratan
yang ada, DAS Bengawan Solo sudah memenuhi kriteria sebagai kawasan
strategis nasional. Hal ini berimplikasi pada mekanisme penyelenggaraan
penataan ruang untuk DAS Bengawan Solo. Oleh karena itu, kedudukan dan
status rencana tata ruang DAS Bengawan Solo adalah sebagai berikut:
Perlu ada rencana tata ruang DAS Bengawan Solo yang berfungsi untuk
mengikat seluruh pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah
agar kegiatan peningkatan penataan Kawasan DAS Bengawan Solo berdasarkan
optimalisasi penggunaan lahan dapat dilaksanakan;
Perlu ada kejelasan mengenai kedudukan rencana tata ruang DAS Bengawan Solo
terhadap dokumen perencanaan lainnya;
Dibutuhkan dasar hukum yang kuat bagi rencana tata ruang
179
DAS Bengawan Solo agar dapat menjadi acuan penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) di daerah.
Kedudukan Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo terhadap Perencanaan
Dokumen Lain Faktor lahan merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh
terhadap perkembangan konomi masyarakat. Hasil kajian Peningkatan Penataan
Kawasan DAS Bengawan Solo menunjukkan adanya beberapa kebutuhan untuk
penanganan lebih lanjut dari sisi penataan ruang, yang meliputi:
Penanganan yang sifatnya lintas sektor dan seluruh pemangku kepentingan terkait,
Perlunya pengaturan penataan ruang dan pengarahan pemanfaatan ruang yang
mempertimbangkan optimalisasi pengembalian fungsi hidrologi sungai dan
pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat; dan
Perlunya penanganan bersama untuk pengelolaan DAS dalam suatu mekanisme
kelembagaan kolaboratif (collaborative management).
PERAN DAN KEDUDUKAN HASIL GUNA LAHAN OPTIMAL (GLO)
Dengan penerapan GLO, maka debit puncak dan volume banjir dapat
dikurangi, dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya dapat terus
meningkat. Dalam rangkaian studi Peningkatan Penataan Kawasan DAS
Bengawan Solo, GLO merupakan salah satu keluaran yang dihasilkan yang
diharapkan dapat diwujudkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah baik
provinsi, kota, maupun kabupaten. Di samping adanya beberapa manfaat yang
dapat diperoleh, penerapan GLO di tengah banyaknya kebijakan dan strategi
penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang dihasilkan oleh para
pemangku kepentingan yang terkait tetap berpotensi untuk menimbulkan beberapa
persoalan sebagai implikasinya, antara lain:
• Kemungkinan alokasi ruang dalam GLO berbeda dengan alokasi pola ruang
dalam RTRW, sehingga;
• Kemungkinan kebijakan, strategi, dan arahan program untuk perwujudan GLO
berbeda dengan kebijakan dan strategi dalam RTRW.
Dalam hal ini, kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan
dipahami sebagai kebijakan untuk peningkatan DAS Bengawan Solo dengan
melakukan intervensi terhadap penggunaan lahan yang ada beserta aktivitas yang
ada di atasnya, serta sistem yang mempengaruhinya. Kebijakan peningkatan DAS
Bengawan Solo dalam konteks ini didudukan sebagai suatu penguatan dan tindak
lanjut dari kebutuhan untuk mewujudkan penataan lahan yang optimal (GLO)
yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan DAS Bengawan Solo itu sendiri.
Maka kebijakan, strategi, dan arahan peningkatan penataan DAS Bengawan Solo
secara garis besar terbagi dalam 6 (enam) arahan kebijakan besar, yaitu:
181
dan Limbah oleh oleh PDAM Hutan oleh Dinas dinas Lingkungan Kehutanan
Hidup Terdapat beberapa alternatif bentuk kelembagaan yang mungkin
dikembangkan untuk penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo.
FORUM
pengelolaan DAS Bengawan Solo yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel
berikut. BMengacu pada tabel tersebut, terdapat dua kemungkinan untuk
pengembangan lembaga kolaborasi penataan DAS Bengawan Solo, yaitu
mengoptimalkan lembaga yang telah ada dan membentuk lembaga baru, yang
masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan.
Share This: