Disusun Oleh
Nurhikmah Rizkiani
(202002040071)
B. Klasifikasi
Klasifikasi asfiksia menurut Sukarni & Sudarti (2013) adalah :
1. Virgorous baby (Asfiksia ringan)
Apgar skor 7-9, dalam hal ini bayi dianggap sehat, tidak memerlukan
tindakan istimewa.
2. Mild- moderate asphyksia (asfiksia sedang)
APGAR score 4-6
3. Severe asphyksia (asfiksia berat) APGAR score 0-3
APGAR Score (Sumber : Sukarni dan Sudarti, 2013)
SKOR
TANDA
0 1 2
(APPEARANCE) Biru atau pucat Tubuh Seluruh tubuh
Warna kulit kemerahan, kemerahan
ekstremitas biru
(PULSE) Tidak ada < 100/ menit > 100/ menit
Denyut Jantung
(GRIMACE) Tidak ada Gerakan sedikit Gerakan
Refleks kuat/melawan
(ACTIVITY) Lumpuh Ektremitas fleksi Gerakan aktif
Aktivitas otot
(RESPIRATION) Tidak ada Lambat, tak Menangis kuat
Pernafasan teratur
C. Etiologi
Penyebab secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas
atau pengangkutan O₂ dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau
segera setelah lahir. Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi (Jurmiani
2016):
1. Faktor ibu
Hipoksia ibu akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian analgetika
atau anesthesi dalam gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak karena
pendarahan, hipertensi karena eklamsia, penyakit jantung dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Yang meliputi solutio plasenta, pendarahan pada plasenta previa, plasenta
tipis, plasenta kecil, plasenta tak menempel pada tempatnya.
3. Faktor janin dan neonatus
Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit ke leher, kompresi tali
pusat antara janin dan jalan lahir, gamelli, IUGR, kelainan kongenital daan
lain-lain.
4. Faktor persalinan
Meliputi partus lama, partus tindakan dan lain-lain
D. Patofisiologi
Segera setelah lahir bayi akan menarik napas yang pertama kali (menangis),
pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk resoirasi. Alveoli akan
mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada didalam alveoli akan
meninggalkan alveli secara bertahap. Bersamaan dengan ini arteriol paru akan
mengembang dan aliran darah ke dalam paru meningkat secara memadai.
Bila janin kekurangan O₂ dan kadar CO₂ bertambah , maka timbullah
rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin)
menjadi lambat. Jika kekurangan O₂ terus berlangsung maka nervus vagus
tidak dapat di pengaruhi lagi. Timbullah kini rangsangan dari nervu
simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan akhirnya ireguler dan
menghilang. Janin akan mengadakan pernapasan intrauterine dan bila kita
periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,
bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis.Bila janin lahir, alveoli tidak
berkembang.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernapasan yang dalam, denyut
jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan
terlihat lemas. Pernapasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki
periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan
darah dan kadar O₂ dalam darah (PaO₂) terus menurun. Bayi sekarang tidak
dapat bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya
pernapasan secara spontan (Sudarti dan Fauziah 2014).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asfiksia (Surasmi, 2013) adalah :
1. Membersihkan jalan napas dengan pengisapan lendir dan kasa steril
2. Potong tali pusat dengan teknik aseptik dan dengan antiseptic
3. Apabila bayi tidak menangis lakukan sebagai berikut :
a. Rangsangan taktil dengan cara menepuk-nepuk kaki, mengelus-elus
dada, perut dan punggung
b. Bila dengan rangsangan taktil belum menangis lakukan resusitasi
mouth to mouth
c. Pertahankan suhu tubuh agar tidak perburuk keadaan asfiksia dengan
cara : membungkus bayi dengan kain hangat, badan bayi harus dalam
keadaan kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin gunakan
minyak atau baby oil untuk membersihkan tubuh bayi, kepala bayi
ditutup dengan baik atau kenakan topi,
4. Apabila nilai APGAR pada menit ke lima sudah baik (7-10) lakukan
perawatan selanjutnya : bersihkan badan bayi, perawatan tali pusat,
pemberian ASI sedini mungkin dan adekuat, melaksanakan antromentri
dan pengkajian kesehatan, memasang pakaian bayi dan mengenakan tanda
pengenal bayi.
Penatalaksanaan resusitasi
Segera setelah bayi baru lahir perlu diidentifikasi atau dikenal secara cepat
supaya bisa dibedakan antara bayi yang perlu diresusitasi atau tidak.
Tindakan ini merupakan langkah awal resusitas bayi baru lahir. Tujuannya
supaya intervensi yang diberikan bisa dilaksanakan secara tepat dan cepat
(tidak terlambat).
1. Membuka jalan nafas
Tujuan : Untuk memastikan terbuka tidaknya jalan nafas.
Metode : Meletakkan bayi pada posisi yang benar: letakkan bayi secara
terlentang atau miring dengan leher agak eksetensi/ tengadah. Perhatikan
leher bayi agar tidak mengalami ekstensi yang berlebihan atau kurang.
Ekstensi karena keduanya akan menyebabkan udara yang masuk ke paru-
paru terhalangi. Letakkan selimut atau handuk yang digulug dibawah
bahu sehingga terangkat 2-3 cm diatas matras. Apabila cairan/lendir
terdapat banyak dalam mulut, sebaiknya kepala bayi dimiringkan supaya
lendir berkumpul di mulut (tidak berkumpul di farings bagian belakang)
sehingga mudah disingkirkan.
2. Membersihkan jalan nafas
Apabila air ketuban tidak bercampur mekonium hisap cairan dari mulut
dan hidung, mulut dilakukan terlebih dahulu kemudian hidung. Apabila
air ketuban tercampur mekonium, hanya hisap cairan dari trakea,
sebaiknya menggunakan alat pipa endotrakel (pipa ET). Urutan kedua
metode membuka jalan nafas ini bisa dibalik, penghisapan terlebih
dahulu baru meletakkan bayi dalam posisi yang benar, pembersihan jalan
nafas pada semua bayi yang sudah mengeluarkan mekoneum, segera
setelah lahir (sebelum baru dilahirkan) dilakukan dengan menggunakan
keteter penghisap no 10 F atau lebih. Cara pembersihannya dengan
menghisap mulut, farings dan hidung.
3. Mencegah kehilangan suhu tubuh
Tujuan : Mencegah komplikasi metabolisme akibat kehilangan panas.
Metode : meletakkan bayi terlentang dibawah pemancar panas (Infant
warmer) dengan temperatur untuk bayi aterm 34°C, untuk bayi preterm
35°C. Tubuh dan kepala bayi dikeringkan dengan menggunakan handuk
dan selimut hangat, keuntungannya bayi bersih dari air ketuban,
mencegah kehilangan suhu tubuh melalui evaporosi serta dapat pula
sebagai pemberian rangsangan taktik yang dapat menimbulkan atau
mempertahankan pernafasan. Untuk bayi sangat kecil (berat badan
kurang dari 1500 gram) atau apabila suhu ruangan sangat dingin
dianjurkan menutup bayi dengan sehelai plastik tipis yang tembus
pandang.
4. Pemberian tindakan VTP (Ventilasi Tekanan Positif)
Tujuan : untuk membantu bayi baru lahir memulai pernafasan.
Metode : Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar. Agar VTP
efektif kecepatan memompa (Kecepatan Ventilasi dan tekanan ventilasi
harus sesuai, kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kail/menit. Tekanan
ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut : Nafas pertama setelah lahir
membutuhkan 30-40 cm H2O, setelah nafas pertama membutuhkan 15-
20 cm H2O, bayi dengan kondisi / penyakit paru-paru yang berakibat
turunnya compliance membutuhkan 20-40 cm H2O, tekanan ventilasi
hanya dapat diukur apabila digunakan balon yang mempunyai pengukur
tekanan.
5. Observasi gerak dada bayi Adanya gerakan dada bayi naik turun
merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru
mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal. Apabila dada
bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang, menunjukkan
paru-paru terlalu mengembang, yang berarti tekanan diberikan terlalu
tinggi. Hal ini dapat menyebabkan pneumotorax.
6. Observasi gerak perut bayi Gerak perut tidak dapat dipakai sebagai
pedoman ventilasi yang efektif. Gerak perut mungkin disebabkan
masuknya udara kedalam lambung.
7. Penilaian suara nafas bilatera
Suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara
nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat
ventilasi yang benar.
8. Observasi pengembangan dada bayi
Apabila dada terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi
meremas balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan
oleh salah satu sebab berikut : perlekatan sungkup kurang sempurna, arus
udara terhambat dan tidak cukup tekanan
H. Komplikasi
Dampak yang akan terjadi jika bayi baru lahir dengan asfiksia tidak di
tangani dengan cepat maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut antara lain:
perdarahan otak, anuragia, dan onoksia, hyperbilirubinemia, kejang sampai
koma. Komplikasi tersebut akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan
bahkan kematian pada bayi (Surasmi, 2013).
I. Pengkajian fokus
Pengkajian Merupakan informasi yang dicatat mencakup Identitas orang tua,
identitas bayi baru lahir, riwayat persalinan, pemeriksaan fisik (Wildan dan
Hidayat, 2008).
Pengkajian bayi risiko tinggi : Asfiksia menurut Wong, 2008 meliputi :
1. Biodata : nama bayi, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak
keberapa dan identitas orangtua. Yang lebih ditekankan pada umur bayi
karena berkaitan dengan diagnosa asfiksia neonatorum.
2. Keluhan utama : pada bayi dengan asfiksia yang sering tampak adalah
sesak napas.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan : bagaimana proses persalinan apakah
spontan, prematur, aterm, letak bayi dan posisi bayi
4. Kebutuhan dasar : pola nutrisi pada neonatus dengan asfiksia membatasi
intake oral karena organ tubuh terutama lambung belum sempurna, selain
itu bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumoni.
Pola eliminasi : umumnya bayi mengalami gangguan BAB karena organ
tubuh terutama pencernaan belum sempurna.
Kerbersihan diri : perawat dan keluarga bayi harus menjaga kebersihan
terutama saat BAB dan BAK. Pola tidur : biasanya terganggu karena bayi
sesak napas.
5. Pemeriksaan fisik :
a. Pengkajian umum : ukur panjang dan lingkar kepala secara periodik,
adanya tanda distres :warna buruk, mulut terbuka, kepala
teranggukangguk, meringis, alis berkerut.
b. Pengkajian pernapasan : bentuk dada (barrel, cembung), kesimetrisan,
adanya insisi, selang dada, penggunaan otot aksesoris : pernapasan
cuping hidung, atau substernal, interkostal, atau retraksi subklavikular,
frekuensi dan keteraturan pernapasan, auskultasi dan gambarkan bunyi
napas : stridor, krekels, mengi, bunyi menurun basah, mengorok,
keseimbangan bunyi napas
J. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
2. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
3. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
4. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi
pemajanan pada agen-agen infeksius.
5. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam
darah.
K. Fokus intervensi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan jalan nafas lancar
Kriteria Hasil :
a. Tidak menunjukkan demam.
b. Tidak menunjukkan cemas.
c. Rata-rata repirasi dalam batas normal
d. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
e. Tidak ada suara nafas tambahan.
Intervensi :
a. Tentukan kebutuhan oral/suction tracheal.
Rasional : pengumpulan data untuk perawatan optimal
b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction .
Rasional : membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien
4. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi
pemajanan pada agen-agen infeksius.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah.
Kriteria hasil :
a. Bebas dari cidera/komplikasi.
b. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.
c. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama
Intervensi :
a. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah merawat bayi.
Rasional : Untuk mencegah infeksi nosokomial
b. Pakai sarung tangan steril.
Rasional : Untuk mencegah infeksi nosokomial
Sudarti dan Fauziah. A. 2013. Asuhan Kebidanan Neonatus Risiko Tinggi dan
Jumiarni, I., Mulyati, S., & Nurlina, S. (2016). Asuhan Keperawatan Perinatal.
Jakarta: EGC.
Sukarni, I dan Sudarti. 2014. Patologi Kehamilan dan Masa Nifas. Yogyakarta:
Nuha Medika.