Anda di halaman 1dari 154

1

DESKRIPSI MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Perbankan dan Jaminan


Kode Mata Kuliah : WNI 2207
Semester : III
Waktu Pertemuan : 14 kali Pertemuan
Tempat Pertemuan : Ruang Kuliah Program Studi Magister
Kenotariatan
Tim Pengajar : 1. Dr. Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum
2. Dr. Made Udiana, SH., MH.

1. Manfaat Mata Kuliah


Setelah menempuh mata kuliah Hukum Perbankan dan Pembiayaan
ini, diharapkan mahasiswa memperoleh pengetahuan secara teoritik
dan mampu menganalisa masalah-masalah hukum berkaitan dengan
Hukum Perbankan dan Jaminan serta mampu mengaplikasikan teori,
prinsip/azas, dan ketentuan-ketentuan normatif Hukum Perbankan
dalam kasus-kasus nyata di masyarakat.

2. Deskripsi Mata Kuliah.


Mata kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan ini merupakan mata
kuliah yang menjelaskan materi Hukum Perbankan dan Jaminan yang
meliputi prinsip-prinsip dalam kegiatan perbankan, Hubungan hukum
antara bank dan nasabah, perlindungan nasabah bank, perjanjian dan
jaminan kredit bank, kredit macet, pencabutan izin usaha dan
likuidasi bank.

3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar


Standar Kompetensi mata kuliah ini adalah mahasiswa diharapkan
dapat memahami materi Hukum Perbankan dan Jaminan dan mampu
2

menganalisis serta memecahkan persoalan-persoalan hukum yang


menyangkut perbankan dan jaminan.

4. Metode dan Strategi Mata Kuliah.


Strategi perkuliahan ini dilakukan dengan menjelaskan materi kuliah
dikelas, diskusi serta pemecahan masalah (problem solving).
Metode pembelajaran menggunakan Problem Based Learning (PBL),
dimana pusat pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang
diterapkan adalah belajar (learning), bukan mengajar (teaching).
Perkuliahan tentang sub-sub pokok bahasan dipaparkan dengan alat
bantu media berupa ; papan tulis, power point slide, dan buku
panduan yang berupa Buku Ajar.

5. Pelaksanaan Perkuliahan
Perkuliahan dilaksanakan dalam jangka waktu 14 kali pertemuan
dengan alokasi waktu yang disesuaikan dengan jadwal yang diperoleh
dari Program study Magister Kenotariatan.

6. Materi Pokok
Materi pokok mata kuliah ini terdiri atas;
I. PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Fungsi Bank Sebagai Lembaga Intermediasi
Perbankan.
B. Eksistensi Perbankan dalam Sistem Keuangan
C. Pengaturan dan Pengawasan Perbankan.
D. Prinsip-Prinsip Dalam Kegiatan Perbankan.
II. HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK DAN NASABAH
A. Pengertian dan Jenis Nasabah Perbankan.
B. Dasar Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah
C. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah Penyimpan
Dana.
3

D. Hubungan Hukum Antara Bank Dengan Nasabah Peminjam


Dana
III. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK
A. Urgensi Perlindungan Hukum Nasabah Bank
B. Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia (API)
C. Upaya Perlindungan Hukum Nasabah Bank.
IV. PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI DASAR HUBUNGAN
ANTARA BANK DAN NASABAH
A. Bentuk dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit Bank
B. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian Standar
C. Perumusan Substansi Perjanjian Kredit Bank
V. JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK
A. Istilah dan Pengertian Jaminan
B. Persyaratan dan Kegunaan Jaminan
C. Pembedaan dan Jenis-Jenis Jaminan
D. Bentuk dan Sifat Perjanjian Jaminan
VI. PENYELAMATAN DAN PENYELESAIAN KREDIT MACET
A. Kriteria dan Faktor Penyebab Kredit Macet
B. Penyelamatan Kredit Macet.
C. Penyelesaian Kredit Macet
VII. PENCABUTAN IZIN USAHA DAN LIKUIDASI BANK
A. Pengertian dan Dasar Hukum Likuidasi Bank
B. Alasan Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank
C. Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan Dana Dalam
Likuidasi Bank
D. Tanggungjawab Perdata Pemegang Saham dan Pengurus Bank
Terlikuidasi.
4

7. Bahan Bacaan

Adrian Sutedi, 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan


(LPS), Sinar Grafika, Jakarta.

Charles D. Marpaung, 1987, Pemahaman Mendasar Usaha Leasing,


Interpress, Jakarta.

Daeng Naja HR, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Dahlan Slamat, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Djoni Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar


Grafika, Jakarta.

Edy Putra The Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan


Yuridis, Liberty Yogyakarta.

H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan Di Indonesia, Andi,


Yogyakarta.

H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit


Perbankan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hendra Nurtjahyo, 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi


berbagai Negara, Pusat Study HTN Universitas Indonesia,
Jakarta.

Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana


Prenada Media Group, Jakarta.

J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan dan Hak Jaminan Kebendaan, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

Johanes Ibrahim, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam


Hukum Positif, CV. Utomo, Bandung.

Kartono, 1977, Hak-Hak Jaminan Kredit, Pradnyafaramiia, Jakarta.

Kasmir, 2001, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja


Grafmdo Persada, Jakarta.

M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di


Indonesia, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta.
5

Mahesa Jati Kusuma, 2012, Hukum Perlindungan Nasabah Bank,


Nusa Media, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni.

Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Munir Fuady, 1999, Perbankan Modern Buku Kesatu, PT. Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Neny Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan
Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Perry Warjiyo, 2004, Bank Indonesia Bank Sentral Republik


Indonesia Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan Pusat
Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta.

Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar


Grafika, Jakarta.

Rahmadi Usman, 2011, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan


Mediasi Perbankan, Mandar Maju, Bandung.

Richard Burton Simatupang, 1996, Aspek-Aspek Dalam Bisnis,


Rineka Cipta, Jakarta.

Ronny Gautama Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan Nasabah


Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju,


Bandung.

Sigit Triandaru, Totok Budi Santoso, 2007, Bank dan Lembaga


Keuangan Lainnya, Penerbit Salemba Empat Jakarta.

Siti Ismijati Jenie, 1996, Beberapa Perjanjian Yang Berkaitan


Dengan Kegiatan Pembiayaan, Bahan Penataran Dosen
Hukum Perdata, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Sri Soedewi Masjchuoen Sofyan, 2001, Hukum Jaminan di Indonesia,


Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty
Ofset, Yogyakarta.

Subagyo et.al, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Sekolah


Tinggi Ilmu ekonomi, YKPN, Yogyakarta,
6

Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Produk Perbankan


di Indonesia, Ghalia Indonesia.

Wijanarko, 1993, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, PT


Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

8. Tugas
Mahasiswa mengerjakan tugas mandiri dengan topik yang bersumber
dari sumstansi materi perkuliahan. Kepada mahasiswa diwajibkan
untuk membuat karya tulis berupa paper dengan topik yang
ditentukan oleh pengajar. Karya tulis paper tersebut dipresentasikan
dalam bentuk power point presentation maupun media lainnya sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada.

9. Kriteria dan Standar Penilaian.


Penilaian dilakukan berdasarkan sistem penilaian Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) sebagai berikut :
Evaluasi proses : 60 %
Evaluasi final/akhir : 40 %

Evaluasi Proses terdiri dari :


 Kemampuan menulis (tugas paper) : 10 %
 Kemampuan presentasi : 20 %
 Keaktifan di kelas : 20 %
 Kehadiran : 10 %

Evaluasi Finas/Akhir ;
 Ujian Tengah Semester (UTS) : 20 %
 Ujian Akhir Semester (UAS) : 20 %
7

Standar penilaian digunakan sistem penilaian KBK. Hasil evaluasi


dikategorikan sebagai berikut :
Angka Mutu Angka Mutu Huruf Mutu
(Skala 0 – 10) (Skala 0 – 4) (Skala Kualitatif)
85 – 100 4 A
70 – 84 3 B
55 – 69 2 C
40 – 54 1 D
0 – 39 0 E

10. Tata Tertib Peserta


1) Sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Program
Magister Kenotariatan Universitas Udayana, peserta yang
diperbolehkan mengikuti perkuliahan adalah mahasiswa yang
sudah terdaftar dan memenuhi persyaratan administratif lainnya.
2) Peserta diharapkan hadir 5 menit sebelum perkuliahan dimulai.
Keterlambatan masuk di kelas hanya ditoleransi maksimal 10
menit dari jadwal perkuliahan. Lewat dari batas waktu tersebut,
peserta tidak diperkenankan masuk kelas untuk mengikuti kuliah .
3) Mahasiswa wajib hadir mengikuti perkuliahan minimal 75 % dari
tatap muka.
4) Pada saat perkuliahan peserta wajib menggunakan pakaian yang
sopan (pakaian berkerah dan memakai sepatu).
5) Pada saat perkuliahan sedang berlangsung semua alat komunikasi
dan Handphone harus dalam keadaan mati/silent
6) Peserta diwajibkan mengikuti dan atau memenuhi persyaratan
lainnya yang ditentukan Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana.
8

11. Jadwal Perkuliahan


Pertemuan
No. Pokok Bahasan Dosen
Ke-
1 - Pengertian dan Fungsi
Bank Sebagai Lembaga
Intermediasi Perbankan.
- Eksistensi Perbankan dalam
Sistem Keuangan I Team Teaching
- Pengaturan dan
Pengawasan Perbankan.
- Prinsip-Prinsip Dalam
Kegiatan Perbankan.
2 Diskusi Pokok Bahasan I II Team Teaching
3 - Pengertian dan Jenis
Nasabah Perbankan.
- Dasar Hubungan Hukum
Antara Bank dan Nasabah
- Hubungan Hukum Antara
III Team Teaching
Bank dengan Nasabah
Penyimpan Dana.
- Hubungan Hukum Antara
Bank Dengan Nasabah
Peminjam Dana
4 Diskusi Pokok Bahasan II IV Team Teaching
5 - Urgensi Perlindungan
Hukum Nasabah Bank
- Perlindungan Hukum
Nasabah Dalam Arsitektur V Team Teaching
Perbankan Indonesia (API)
- Upaya Perlindungan
Hukum Nasabah Bank.
9

Pertemuan
No. Pokok Bahasan Dosen
Ke-
6 Diskusi Pokok Bahasan III VI Team Teaching
7 - Bentuk dan Dasar Hukum
Perjanjian Kredit Bank
- Perjanjian Kredit Bank
VII Team Teaching
Sebagai Perjanjian Standar
- Perumusan Substansi
Perjanjian Kredit Bank
8 Diskusi Pokok Bahasan IV VIII Team Teaching
9 - Istilah dan Pengertian
Jaminan
- Persyaratan dan Kegunaan
Jaminan
IX Team Teaching
- Pembedaan dan Jenis-Jenis
Jaminan
- Bentuk dan Sifat
Perjanjian Jaminan
10 Diskusi Pokok Bahasan V X Team Teaching
11 - Kriteria dan Faktor
Penyebab Kredit Macet
- Penyelamatan Kredit XI Team Teaching
Macet.
- Penyelesaian Kredit Macet
12 Diskusi Pokok Bahasan VI XII Team Teaching
13 - Pengertian dan Dasar
Hukum Likuidasi Bank
- Alasan Pencabutan Izin
XIII Team Teaching
Usaha dan Likuidasi Bank
- Perlindungan Hukum
Nasabah Penyimpan Dana
10

Pertemuan
No. Pokok Bahasan Dosen
Ke-
Dalam Likuidasi Bank
- Tanggungjawab Perdata
Pemegang Saham dan
Pengurus Bank Terlikui-
dasi.
14 Diskusi Pokok Bahasan VII XIV Team Teaching

12. Lain-lain
 Apabila ada hal-hal diluar ketentuan ini perlu disepakati, dapat
dibicarakan secara teknis pada saat setiap pertemuan
 Apabila ada perubahan isi modul, aka nada pemberitahuan terlebih
dahulu.
20

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)


Pertemuan 1
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 1
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa dapat memahami / mengerti serta mampu
menganalisis tentang fungsi dan eksistensi bank,
pengaturan, pengawasan, serta prinsip-prinsip perbankan.
8. Materi Pokok 1. Pengertian dan Fungsi Bank Sebagai Lembaga
Intermediasi Perbankan.
2. Eksistensi Perbankan dalam Sistem Keuangan
3. Pengaturan dan Pengawasan Perbankan.
4. Prinsip-Prinsip Dalam Kegiatan Perbankan.
9. Pengalaman Belajar Mempelajari dan menelaah materi tentang fungsi dan
eksistensi bank, pengaturan, pengawasan, serta prinsip-
prinsip perbankan.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Menyampaikan silabus, Melihat, SAP, silabus,
SAP, Kontrak perkuliahan. mendengarkan kontrak perkuliah-
Penilaian Dosen : penjelasan, serta an, text book,
Memberikan ulasan umum mencatat peraturan per-
tentang pentingnya mata undang-undangan,
kuliah Hukum Perbankan power point
dan Jaminan
Penyajian Menjelaskan tentang dan Melihat, SAP, silabus,
sekitar fungsi dan eksistensi mendengarkan kontrak perkuliah-
21

bank, pengaturan, peng- penjelasan, an, text book,


awasan, serta prinsip- mencatat, bertanya peraturan per-
prinsip perbankan. dan berdiskusi. undang-undangan,
power point
Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, meng- SAP, silabus,
pembahasan, memberikan ajukan pertanyaan kontrak perkuliah-
evaluasi dan memberikan dan pendapat men- an, text book,
materi tugas latihan jawab pertanyaan peraturan per-
terstruktur/mandiri. evaluasi. undang-undangan,
power point
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian, evaluasi terhadap proses pembelajaran,
dan unjuk sikap.
Referensi 1. Perry Warjiyo (Editor), 2004, Bank Indonesia Bank Sentral
Republik Indonesia Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta, hal. 136, 140,141, 165.

2. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra


Aditya Bakti, Bandung, hal. 109, 110, 111.

3. Hendra Nurtjahyo, 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi


Berbagai Negara, Pusat Study HTN UI, Jakarta, hal. 14, 15.

4. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Produk


Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, hal. 219, 230, 239.

5. Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju,


Bandung, h. 20, 21.

6. Johanes Ibrahim, 2004, Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam


Hukum Positif, CV. Utomo, Bandung, hal. 25, 123, 132.

7. Kasmir, 2001, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja


Grafindo Persada, Jakarta, hal. 23, 27, 32, 44.

8. Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, PT.


Citra Aditya Bakti, hal. 209,210.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
22

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)


Pertemuan 2
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 2
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa dapat memahami dan mampu
mendiskusikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
dalam diskusi serta dapat merangkum hasil diskusi
berkenaan dengan materi fungsi dan eksistensi bank,
pengaturan, pengawasan dan prinsip-prinsip perbankan.
8. Materi Pokok Discussion Task
9. Pengalaman Belajar Mempelajari sambil mendiskusikan dan merangkum
materii diskusi.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan Melihat, mende- Text book, power
sekilas tentang pokok ngarkan penjelasan point, tugas ter-
bahasan terdahulu serta mencatat struktur
(pertemuan I) sebagai
pengantar diskkusi.
Penyajian Pembahasan discussion Berdiskusi dan Text book, power
task oleh mahasiswa menemukan jawab- point, tugas ter-
sesuai dengan penugasan an dari pertanyaan- struktur
dosen, berkaitan dengan pertanyaan dalam
fungsi, eksistensi, peng- discussion task.
aturan, pengawasan dan
23

prinsip-prinsip
perbankan.
Penutup Menerangkan isi pokok Menyimak, meng- Text book, power
bahasan, memberikan ajukan pertanyaan point, tugas ter-
evaluasi dan memberikan dan pendapat, struktur
materi tugas latihan menjawab perta-
terstruktur/mandiri untuk nyaan evaluasi.
kegiatan berikut.
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian/evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Perry Warjiyo (Editor), 2004, Bank Indonesia Bank Sentral
Republik Indonesia Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta, hal. 136,
140,141, 165.
2. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 109, 110, 111.
3. Hendra Nurtjahyo, 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam
Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Study HTN UI, Jakarta, hal.
14, 15.
4. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Produk
Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, hal. 219, 230, 239.
5. Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju,
Bandung, h. 20, 21.
6. Johanes Ibrahim, 2004, Bank sebagai Lembaga Intermediasi
dalam Hukum Positif, CV. Utomo, Bandung, hal. 25, 123, 132.
7. Kasmir, 2001, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 23, 27, 32, 44.
8. Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual,
PT. Citra Aditya Bakti, hal. 209,210.
Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
24

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)


Pertemuan 3
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 3
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mampu mengerti dan memahami tentang
pengertian dan jenis nasabah, hubungan hukum antara
bank dan nasabah, serta mampu menganalisis
permasalahan hukum berkenan dengan hal tersebut.
8. Materi Pokok 1. Pengertian dan Jenis Nasabah Perbankan.
2. Dasar Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah
3. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah
Penyimpan Dana.
4. Hubungan Hukum Antara Bank Dengan Nasabah
Peminjam Dana
9. Pengalaman Belajar Mempelajari dan menelaah tentang pengertian dan jenis
nasabah, hubungan hukum antara bank dan nasabah,
serta hak-hak nasabah bank.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan Melihat, mende- Textbook, power
umum isi kuliah, materi ngarkan penjelasan point, peraturan
pokok dan kaitannya serta mencatat perundang-
dengan isi kuliah yang undangan.
lain.
25

Penyajian Menjelaskan tentang Melihat, mende- Textbook, power


pengertian dan jenis ngarkan penjelas- point, peraturan
nasabah serta hubungan an, mencatat dan perundang-
hukum antara bank berdiskusi. undangan.
dengan nasabah.
Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Textbook, power
bahasan, memberikan jukan pertanyaan point, peraturan
evaluasi dan memberikan dan pendapat, perundang-
materi tugas latihan ter- menjawab perta- undangan.
struktur, mandiri/ kelom- nyaan evaluasi.
pok
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian atau evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Rachmadi Usman, 2011, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan
Mediasi Perbankan, Mandar Maju, Bandung.
2. Mahesa Jati Kusuma, 2012, Hukum Perlindungan Nasabah Bank,
Nusa Media, Bandung.
3. Ronny Sautman Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan
Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, Alumni,
Bandung.
4. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
5. Hendra Nurtjahyo, 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam
Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi HTN UI, Jakarta.
6. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Produk
Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia.
7. Perry Warjiyo (Editor), 2004, Bank Indonesia Bank Sentral
Republik Indonesia Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta.
Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
26

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)


Pertemuan 4
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 4
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mampu menganalisa, menemukan jawaban
sekaligus memecahkan masalah atas discussion task
yang diajukan.
8. Materi Pokok Discussion Task
9. Pengalaman Belajar Mempelajari, mendiskusikan, mengidentifikasi masalah
dan merangkum dari materi discussion task.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan se- Melihat, mende- Textbook, power
kilas tentang pokok ba- ngarkan penjelas- point, peraturan
hasan terdahulu (materi an, serta mencatat perundang-
pertemuan 3) undangan, tugas
terstruktur
Penyajian Memfasilitasi penyajian Mendengar, mene- Textbook, power
discussion task oleh laah, mencatat, point, peraturan
mahasiswa. mendiskusikan, perundang-
bertanya dan men- undangan, tugas
jawab. terstruktur
Penutup Memberi komentar/ Merangkum hasil Textbook, power
ulasan tentang proses diskusi dan point, peraturan
diskusi baik berkaitan menjawab perundang-
27

dengan substansi maupun pertanyaan undangan, tugas


partisipasi mahasiswa evaluasi, terstruktur
dalam berdiskusi dan
memberi penugasan untuk
kegiatan berikut :
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian/evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Rachmadi Usman, 2011, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan
Mediasi Perbankan, Mandar Maju, Bandung.
2. Mahesa Jati Kusuma, 2012, Hukum Perlindungan Nasabah Bank,
Nusa Media, Bandung.
3. Ronny Sautman Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan
Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, Alumni,
Bandung.
4. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
5. Hendra Nurtjahyo, 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam
Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi HTN UI, Jakarta.
6. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Produk
Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia.
7. Perry Warjiyo (Editor), 2004, Bank Indonesia Bank Sentral
Republik Indonesia Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta.
Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
28

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 5
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 5
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mengerti dan memahami serta mampu
menganalisis tentang urgensi dan upaya perlindungan
hukum nasabah bank.
8. Materi Pokok 1. Urgensi Perlindungan Hukum Nasabah Bank
2. Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia (API)
3. Upaya Perlindungan Hukum Nasabah Bank.
9. Pengalaman Belajar Mempelajari, mengkaji dan menelaah mengenai urgensi
dan bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap
nasabah bank.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan isi kuliah, Melihat, mende- Textbook, per-
materi pokok dan ngarkan penjelasan aturan perundang-
kaitannya dengan isi serta mencatat undangan, power
kuliah yang lain. point.
Penyajian Menjelaskan tentang Melihat, mende- Textbook, per-
urgensi dan upaya ngarkan penjelasan, aturan perundang-
perlindungan hukum mencatat, bertanya undangan, power
terhadap nasabah bank. dan berdiskusi. point.
29

Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Textbook, per-


bahasan, memberikan jukan pertanyaan aturan perundang-
veluasi dan memberikan dan pendapat, undangan, power
materi tugas latihan menjawab perta- point.
terstruktur/mandiri. nyaan evaluasi.
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Rachmadi Usman, 2011, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan
Mediasi Perbankan, Mandar Maju, Bandung.
2. Mahesa Jati Kusuma, 2012, Hukum Perlindungan Nasabah Bank,
Nusa Media, Bandung.
3. Ronny Sautman Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan
Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, Alumni,
Bandung.
4. Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
5. Marulak Pardede, 1998, Likuidasi Bank dan Perlindungan
Nasabah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
6. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Transaksi
Produk Perbankan, Ghalia Indonesia, Bogor.
Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
30

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)


Pertemuan 6
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 6
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mampu menganalisa, menemukan jawaban
sekaligus memecahkan masalah discussion task yang
diajukan dengan melihat kasus nyata dalam praktek
perbankan.
8. Materi Pokok Discussion Task
9. Pengalaman Belajar Memepelajari, mendiskusikan, mengidentifikasi
masalah dan merangkum materi Discussion task.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan Melihat, mende- Textbook, power
sekilas tentang pokok ngarkan penjelas- point, tugas terp-
bahasan terdahulu an, serta mencatat. struktur
(pertemuan 5)
Penyajian Sebagai fasilitator dan Berdiskusi dan me- Textbook, power
memotivasi proses nemukan jawaban point, tugas terp-
discussion task, sesuai dari pertanyaan- struktur
dengan penugasan oleh pertanyaan dalam
dosen sesuai materi discussion task.
pertemuan 5
Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Textbook, power
bahasan, memberikan jukan pertanyaan point, tugas terp-
31

evaluasi dan memberikan dan pendapat, men- struktur


materi tugas latihan jawab pertanyaan
terstruktur/mandiri untuk evaluasi
kegiatan berikut.
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi 1. Rachmadi Usman, 2011, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan
Mediasi Perbankan, Mandar Maju, Bandung.
2. Mahesa Jati Kusuma, 2012, Hukum Perlindungan Nasabah Bank,
Nusa Media, Bandung.
3. Ronny Sautman Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan
Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, Alumni,
Bandung.
4. Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
5. Marulak Pardede, 1998, Likuidasi Bank dan Perlindungan
Nasabah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
6. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Transaksi
Produk Perbankan, Ghalia Indonesia, Bogor.
Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
32

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)


Pertemuan 7
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 7
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa dapat memahami dan mampu menganalisis
tentang bentuk, dasar hukum, serta mampu
merumuskan perjanjian kredit bank.
8. Materi Pokok 1. Bentuk dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit Bank
2. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian Standar
3. Perumusan Substansi Perjanjian Kredit Bank
9. Pengalaman Belajar Mempelajari dan menelaah secara umum tentang
bentuk dan dasar hukum, rumusan substansi, dan
perlindungan hukum subyek hukum dalam perjanjian
kredit bank.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan isi Melihat, mende- Textbook, power
kuliah materi pokok dan ngarkan penjelas- point, peraturan
kaitannya dengan an, serta mencatat perundang-undang-
isikuliah yang lain. an terkait
Penyajian Menjelaskan tentang Melihat, mende- Textbook, power
bentuk, dasar hukum, dan ngarkan penjelasan, point, peraturan
rumusan substansi, per- mencatat, bertanya perundang-undang-
janjian kredit bank. dan berdiskusi an terkait
33

Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Textbook, power


bahasan, memberikan jukanpertanyaan point, peraturan
evaluasi dan memberikan dan pendapat, perundang-undang-
tugas latihan terstruktur/ menjawab perta- an terkait
mandiri. nyaan evaluasi
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi terhadap proses
pembelajaran dan unjuk sikap.
Referensi 1. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,
Sinar Grafindo, Jakarta.

2. Sutarno, 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank,


Alfabeta, Bandung.

3. Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu


Tinjauan Dibidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta

4. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Transaksi


Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia, Indonesia, Bogor.

5. H. Buddi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Audi


Yogyakarta.

6. Daeng Naja HR, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

7. Edy Putra Tje Aman, Kredit Perbankan suatu Tinjauan Yuridis,


Liberty Yogyakarta.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
34

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 8
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 8
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mampu menganalisa, menemukan jawaban
sekaligus memecahkan masalah atas Discussion Task
yang diajukan dan dihubungkan dengan praktek
perbankan.
8. Materi Pokok Discussion Task
9. Pengalaman Belajar Mempelajari, mendiskusikan, mengidentifikasi masalah
dan merangkum materi Discussion task.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberi ulasan sekilas Melihat, mende- Textbook, power
tentang pokok bahasan ngar penjelasan, point, peraturan
terdahulu (pertemuan 7) serta mencatat perundang-undang-
an
Penyajian Memfasilitasi pembahas- Berdiskusi dan me- Textbook, power
an Discussion Task sesuai nemukan jawaban point, peraturan
penugasan Dosen sesuai dari pertanyaan- perundang-undang-
materi pertemuan 7 pertanyaan dalam an
Discussion Task.
Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Textbook, power
bahasan, memberikan jukan pertanyaan point, peraturan
35

evaluasi dan memberikan dan pendapat, perundang-undang-


materi tugas latihan menjawab perta- an
terstruktur / mandiri nyaan evaluasi.
untuk kegiatan berikut
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi terhadap proses
pemelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,
Sinar Grafindo, Jakarta.

2. Sutarno, 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank,


Alfabeta, Bandung.

3. Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu


Tinjauan Dibidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta

4. Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Transaksi


Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia, Indonesia, Bogor.

5. H. Buddi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Audi


Yogyakarta.

6. Daeng Naja HR, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

7. Edy Putra Tje Aman, Kredit Perbankan suatu Tinjauan Yuridis,


Liberty Yogyakarta.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
36

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 9
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 9
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa dapat memahami dan mampu menganalisis
tentang istilah dan pengertian, persyaratan dan
kegunaan, jenis-jenis, serta bentuk dan sifat perjanjian
jaminan.
8. Materi Pokok 1. Istilah dan Pengertian Jaminan
2. Persyaratan dan Kegunaan Jaminan
3. Pembedaan dan Jenis-Jenis Jaminan
4. Bentuk dan Sifat Perjanjian Jaminan
9. Pengalaman Belajar Mempelajari dan menelaah tentang aspek-aspek
jaminan kredit yang meliputi ; pengertian, persyaratan
dan kegunaan, jenis-jenis serta bentuk dan sifat
perjanjian jaminan.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan isi Melihat, mende- Textbook, power
kuliah, materi pokok dan ngarkan penjelas- point, peraturan
kaitannya dengan isi an, serta mencatat perundang-undang-
kuliah yang lain. an.
Penyajian Menjelaskan materi Melihat, mende- Textbook, power
kuliah tentang pengertian, ngarkan penjelas- point, peraturan
37

persyaratan dan keguna- an, mencatat, ber- perundang-undang-


an, jenis-jenis, bentuk dan tanya dan an.
sifat perjanjian jaminan. berdiskusi.
Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Textbook, power
bahasan, memberikan jukan pertanyaan point, peraturan
evaluasi dan memberikan dan pendapat, perundang-undang-
materi tugas latihan untuk menjawab perta- an.
kuliah berikutnya. nyaan evaluasi.
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. H. Buddi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Audi
Yogyakarta.

2. Daeng Naja HR, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

3. Edy Putra Tje Aman, Kredit Perbankan suatu Tinjauan Yuridis,


Liberty Yogyakarta.

4. Sutarno, 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank,


Alfabeta, Bandung.

5. Johanes Ibrahim, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi


Dalam Hukum Positif, CV. Utama, Bandung.

6. Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar


Grafika, Jakarta

7. M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit


Perbankan Indonesia, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
38

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 10
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 10
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mampu menganalisa, menemukan jawaban,
sekaligus memecahkan masalah atas problem Task
yang diajukan dan menghubungkannya dengan teori
serta perkembangan kenyataan dalam praktek.
8. Materi Pokok Problem Task
9. Pengalaman Belajar Mempelajari, mendiskusikan, mengidentifikasi masalah
dan merangkum dari materi problem task.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan Melihat, mende- Textbook, power
sekilas tentang pokok ngarkan penjelasan, point, tugas ter-
bahasan terdahulu serta mencatat struktur
(pertemuan 9)
Penyajian Pembahasan problem task Berdiskusi dan Textbook, power
oleh mahasiswa terkait menemukan jawab- point, tugas ter-
dengan materi pertemuan an dari pertanyaan- struktur
9 pertanyaan dalam
problem task
Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Textbook, power
bahasan, memberikan jukan pertanyaan point, tugas ter-
39

evaluasi dan memberikan dan pendapat, men- struktur


materi tugas latihan jawab pertanyaan
terstruktur/mandiri untuk evaluasi
kegiatan berikut
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian/evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. H. Buddi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Audi
Yogyakarta.

2. Daeng Naja HR, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

3. Edy Putra Tje Aman, Kredit Perbankan suatu Tinjauan Yuridis,


Liberty Yogyakarta.

4. Sutarno, 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank,


Alfabeta, Bandung.

5. Johanes Ibrahim, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi


Dalam Hukum Positif, CV. Utama, Bandung.

6. Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar


Grafika, Jakarta

7. M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit


Perbankan Indonesia, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
40

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 11
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 11
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa dapat memahami dan mampu menganalisis
tentang kriteria dan faktor penyebab kredit macet dan
upaya penyelamatan serta penyelesaiannya.
8. Materi Pokok 1. Kriteria dan Faktor Penyebab Kredit Macet
2. Penyelamatan Kredit Macet.
3. Penyelesaian Kredit Macet
9. Pengalaman Belajar Mempelajari dan menelaah tentang kriteria dan faktor
penyebab kredit bermasalah dan upaya
penyelesaiannya.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan Melihat, mende- Texbook, power
umum isi kuliah, materi ngarkan penjelasan, point, peraturan
pokok dan kaitannya de- serta mencatat perundang-undang-
ngan isi kuliah yang lain an
Penyajian Menjelaskan tentang Melihat, mende- Texbook, power
kriteria dan faktor penye- ngarkan penjelasan, point, peraturan
bab, serta upaya penye- mencatat, bertanya perundang-undang-
lamatan dan penyelesaian dan berdiskusi. an
kredit macet.
41

Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, menga- Texbook, power


bahasan, memberikan jukan pertanyaan point, peraturan
evaluasi dan memberikan dan pendapat, men- perundang-undang-
materi tugas latihan jawab pertanyaan an
terstruktur/mandiri evaluasi.
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian/evaluasi terhadap proses
kpembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Kartono, 1977, Hak-Hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita,
Jakarta.

2. H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan di


Indonesia, kPT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

3. Johanes Ibrahim, 2004, Cross Defaul dan Croos Collateral


Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika
Aditama.

4. J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan dan Hak Jaminan Kebendaan,


PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

5. Sri Sudewi Mansjchoen Sofwan, 2001, Hukum Jaminan di


Indsonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan
Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta.

6. Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV.


Alfabeta, Bandung.

7. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
42

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 12
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 12
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mampu menganalisa, menemukan jawaban
sekaligus memecahkan masalah atas problem task yang
diajukan dan menghubungkannya dengan teori serta
perkembangannya dalam praktek.
8. Materi Pokok Problem Task
9. Pengalaman Belajar Mempelajari, mendiskusikan, mengidentifikasi masalah
dan merangkum dari materi problem task yang diajukan
dalam diskusi.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan Melihat, mende- Texbook, power
sekilas tentang pokok ngarkan penjelasan, point, tugas ter-
bahasan terdahulu serta mencatat struktur
(pertemuan 11)
Penyajian Menjadi fasilitator dan Berdiskusi dan me- Texbook, power
motivator dalam proses nemukan jawaban point, tugas ter-
pembahasan problem task dari pertanyaan- struktur
oleh mahasiswa. pertanyaan dalam
problem task.
43

Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, meng- Texbook, power


pembahasan, memberikan ajukan pertanyaan point, tugas ter-
evaluasi dan memberikan dan pendapat, men- struktur
materi tugas latihan ter- jawab pertanyaan
struktur / mandiri evaluasi
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi, terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Kartono, 1977, Hak-Hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita,
Jakarta.

2. H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan di


Indonesia, kPT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

3. Johanes Ibrahim, 2004, Cross Defaul dan Croos Collateral


Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika
Aditama.

4. J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan dan Hak Jaminan Kebendaan,


PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

5. Sri Sudewi Mansjchoen Sofwan, 2001, Hukum Jaminan di


Indsonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan
Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta.

6. Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV.


Alfabeta, Bandung.

7. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
44

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 13
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 13
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa dapat memahami dan mampu menganalisa
tentang pengertian dan dasar hukum, alasan,
perlindungan nasabah penyimpan dana, serta tanggung
jawab pemegang saham, pengurus dalam likuidasi bank.
8. Materi Pokok 1. Pengertian dan Dasar Hukum Likuidasi Bank
2. Alasan Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank
3. Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan Dana
Dalam Likuidasi Bank
4. Tanggungjawab Perdata Pemegang Saham dan
Pengurus Bank Terlikui-dasi.
9. Pengalaman Belajar Mempelajari dan menelaah tentang dasar hukum,
alasan, perlindungan nasabah, serta tanggung jawab
pemegang saham dan pengurus dalam likuidasi bank.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan Melihat, mende- Texbook, power
umum isi kuliah, materi ngarkan penjelasan, point, peraturan
pokok dan kaitannya serta mencatat perundang-undang-
dengan isi kuliah yang an
lain
45

Penyajian Menjelaskan tentang Melihat, mende- Texbook, power


dasar hukum, alasan, per- ngarkan penjelasan, point, peraturan
lindungan nasabah, dan mencatat, bertanya perundang-undang-
tanggungjawab pemegang dan berdiskusi an
saham serta pengurus
dalam likuidasi bank.
Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, meng- Texbook, power
bahasan, memberikan ajukan pertanyaan point, peraturan
evaluasi dan memberikan dan pendapat, men- perundang-undang-
materi tugas latihan jawab pertanyaan an
terstruktur / mandiri evaluasi.
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Adrian Sutedi, 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), Sinar Grafika, Jakarta.

2. Marulak Pardede, 1998, Likuidasi Bank dan Perlindungan


Nasabah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

3. Djoni Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,


Sinar Grafika, Jakarta.

4. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

5. Munir Fuady, 1999, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

6. Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju,


Bandung.

7. Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis,Alumni


Bandung.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
46

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Pertemuan 14
1. Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan
2. Kode Mata Kuliah WNI 2207
3. S K S 2
4. Waktu Pertemuan 100 menit
5. Pertemuan Ke- 14
6. Semester III
7. Indikator Pencapaian Mahasiswa mampu menganalisa, menemukan jawaban
sekaligus memecahkan masalah atas problem task yang
diajukan dan menghubungkannya dengan teori serta
perkembangannya dalam praktek.
8. Materi Pokok Problem Task
9. Pengalaman Belajar Mempelajari, mendiskusikan, mengidentifikasi masalah
dan merangkum dari materi Problem Task yang
diajukan dalam diskusi.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan Media dan Alat
Tahapan Kegiatan Dosen
Mahasiswa Pembelajaran
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Memberikan ulasan se- Melihat, mende- Texbook, power
kilas tentang pokok ngarkan penjelasan, point, tugas ter-
bahasan terdahulu serta mencatat struktur
(pertemuan 13)
Penyajian Menjadi fasilitator dan Berdiskusi dan me- Texbook, power
motivator dalam proses nemukan jawaban point, tugas ter-
pembahasan problem task dari pertanyaan- struktur
oleh mahasiswa pertanyaan dalam
problem task.
47

Penutup Merangkum isi pokok Menyimak, meng- Texbook, power


bahasan, memberikan ajukan pertanyaan point, tugas ter-
evaluasi dan memberikan dan pendapat, men- struktur
materi tugas latihan jawab pertanyaan
terstruktur / mandiri evaluasi.
persiapan UAS.
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian / evaluasi terhadap proses
pembelajaran, dan unjuk sikap.
Referensi 1. Adrian Sutedi, 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), Sinar Grafika, Jakarta.

2. Marulak Pardede, 1998, Likuidasi Bank dan Perlindungan


Nasabah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

3. Djoni Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,


Sinar Grafika, Jakarta.

4. Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

5. Munir Fuady, 1999, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

6. Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju,


Bandung.

7. Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis,Alumni


Bandung.

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum

Tanda Tangan :
48

KONTRAK PERKULIAHAN

Nama Mata Kuliah : Hukum Perbankan dan Jaminan


Kode Mata Kuliah : WNI 2207
Bobot SKS : 2 SKS
Semester : III
Hari Pertemuan : Sesuai dengan Jadwal
Tempat Pertemuan : Ruang Kuliah Program Studi Magister
Kenotariatan
Koordinator MK : 1. Dr. Made Udiana, SH., MH.

1. Manfaat Mata Kuliah


Setelah menempuh mata kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan ini,
diharapkan mahasiswa memperoleh pengetahuan secara teoritik dan
mampu menganalisa masalah-masalah hukum berkaitan dengan
Hukum Perbankan dan Jaminan serta mampu mengaplikasikan teori,
prinsip/azas, dan ketentuan-ketentuan normatif Hukum Perbankan
dalam kasus-kasus nyata di masyarakat.

2. Deskripsi Mata Kuliah.


Mata kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan ini merupakan mata
kuliah yang menjelaskan materi Hukum Perbankan dan Jaminan yang
meliputi prinsip-prinsip dalam kegiatan perbankan, Hubungan hukum
antara bank dan nasabah, perlindungan nasabah bank, perjanjian dan
jaminan kredit bank, kredit macet, pencabutan izin usaha dan
likuidasi bank.

3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar


Standar Kompetensi mata kuliah ini adalah mahasiswa diharapkan
dapat memahami materi Hukum Perbankan dan Jaminan dan mampu
49

menganalisis serta memecahkan persoalan-persoalan hukum yang


menyangkut perbankan dan jaminan.

4. Metode dan Strategi Mata Kuliah.


Strategi perkuliahan ini dilakukan dengan menjelaskan materi kuliah
dikelas, diskusi serta pemecahan masalah (problem solving).
Metode pembelajaran menggunakan Problem Based Learning (PBL),
dimana pusat pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang
diterapkan adalah belajar (learning), bukan mengajar (teaching).
Perkuliahan tentang sub-sub pokok bahasan dipaparkan dengan alat
bantu media berupa ; papan tulis, power point slide, dan buku
panduan yang berupa Buku Ajar.

5. Pelaksanaan Perkuliahan
Perkuliahan dilaksanakan dalam jangka waktu 14 kali pertemuan
dengan alokasi waktu yang disesuaikan dengan jadwal yang diperoleh
dari Program study Magister Kenotariatan.

6. Materi Pokok
Materi pokok mata kuliah ini terdiri atas;
PERTEMUAN I, PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Fungsi Bank Sebagai Lembaga Intermediasi
Perbankan.
B. Eksistensi Perbankan dalam Sistem Keuangan
C. Pengaturan dan Pengawasan Perbankan.
D. Prinsip-Prinsip Dalam Kegiatan Perbankan.
PERTEMUAN II, HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK
DAN NASABAH
A. Pengertian dan Jenis Nasabah Perbankan.
B. Dasar Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah
C. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah Penyimpan
Dana.
50

D. Hubungan Hukum Antara Bank Dengan Nasabah Peminjam


Dana
PERTEMUAN III, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
NASABAH BANK
A. Urgensi Perlindungan Hukum Nasabah Bank
B. Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia (API)
C. Upaya Perlindungan Hukum Nasabah Bank.
PERTEMUAN IV, PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI DASAR
HUBUNGAN ANTARA BANK DAN NASABAH
A. Bentuk dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit Bank
B. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian Standar
C. Perumusan Substansi Perjanjian Kredit Bank
PERTEMUAN V, JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT
BANK
A. Istilah dan Pengertian Jaminan
B. Persyaratan dan Kegunaan Jaminan
C. Pembedaan dan Jenis-Jenis Jaminan
D. Bentuk dan Sifat Perjanjian Jaminan
PERTEMUAN VI, PENYELAMATAN DAN PENYELESAIAN
KREDIT MACET
A. Kriteria dan Faktor Penyebab Kredit Macet
B. Penyelamatan Kredit Macet.
C. Penyelesaian Kredit Macet
PERTEMUAN VII, PENCABUTAN IZIN USAHA DAN
LIKUIDASI BANK
A. Pengertian dan Dasar Hukum Likuidasi Bank
B. Alasan Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank
C. Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan Dana Dalam
Likuidasi Bank
51

D. Tanggungjawab Perdata Pemegang Saham dan Pengurus Bank


Terlikuidasi.

7. Bahan Bacaan
Adrian Sutedi, 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), Sinar Grafika, Jakarta.

Charles D. Marpaung, 1987, Pemahaman Mendasar Usaha Leasing,


Interpress, Jakarta.

Daeng Naja HR, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Dahlan Slamat, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Djoni Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar


Grafika, Jakarta.

Edy Putra The Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan


Yuridis, Liberty Yogyakarta.

H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan Di Indonesia, Andi,


Yogyakarta.

H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit


Perbankan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hendra Nurtjahyo, 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi


berbagai Negara, Pusat Study HTN Universitas Indonesia,
Jakarta.

Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana


Prenada Media Group, Jakarta.

J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan dan Hak Jaminan Kebendaan, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

Johanes Ibrahim, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam


Hukum Positif, CV. Utomo, Bandung.

Kartono, 1977, Hak-Hak Jaminan Kredit, Pradnyafaramiia, Jakarta.

Kasmir, 2001, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja


Grafmdo Persada, Jakarta.
52

M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di


Indonesia, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta.

Mahesa Jati Kusuma, 2012, Hukum Perlindungan Nasabah Bank,


Nusa Media, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni.

Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Munir Fuady, 1999, Perbankan Modern Buku Kesatu, PT. Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Neny Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan
Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Perry Warjiyo, 2004, Bank Indonesia Bank Sentral Republik


Indonesia Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan Pusat
Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta.

Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar


Grafika, Jakarta.

Rahmadi Usman, 2011, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan


Mediasi Perbankan, Mandar Maju, Bandung.

Richard Burton Simatupang, 1996, Aspek-Aspek Dalam Bisnis,


Rineka Cipta, Jakarta.

Ronny Gautama Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan Nasabah


Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju,


Bandung.

Sigit Triandaru, Totok Budi Santoso, 2007, Bank dan Lembaga


Keuangan Lainnya, Penerbit Salemba Empat Jakarta.

Siti Ismijati Jenie, 1996, Beberapa Perjanjian Yang Berkaitan


Dengan Kegiatan Pembiayaan, Bahan Penataran Dosen
Hukum Perdata, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Sri Soedewi Masjchuoen Sofyan, 2001, Hukum Jaminan di Indonesia,


Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty
Ofset, Yogyakarta.
53

Subagyo et.al, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Sekolah


Tinggi Ilmu ekonomi, YKPN, Yogyakarta,

Try Widiyono, 2006, Aspek Hukum Operasional Produk Perbankan


di Indonesia, Ghalia Indonesia.

Wijanarko, 1993, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, PT


Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

8. Tugas-Tugas
Mahasiswa mengerjakan tugas mandiri dengan topik yang bersumber
dari sumstansi materi perkuliahan. Kepada mahasiswa diwajibkan
untuk membuat karya tulis berupa paper dengan topik yang
ditentukan oleh pengajar. Karya tulis paper tersebut dipresentasikan
dalam bentuk power point presentation maupun media lainnya sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada.

9. Kriteria dan Standar Penilaian.


Penilaian dilakukan berdasarkan sistem penilaian Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) sebagai berikut :
Evaluasi proses : 60 %
Evaluasi final/akhir : 40 %

Evaluasi Proses terdiri dari :


 Kemampuan menulis (tugas paper) : 10 %
 Kemampuan presentasi : 20 %
 Keaktifan di kelas : 20 %
 Kehadiran : 10 %
54

Evaluasi Finas/Akhir ;
 Ujian Tengah Semester (UTS) : 20 %
 Ujian Akhir Semester (UAS) : 20 %

Standar penilaian digunakan sistem penilaian KBK. Hasil evaluasi


dikategorikan sebagai berikut :
Angka Mutu Angka Mutu Huruf Mutu
(Skala 0 – 10) (Skala 0 – 4) (Skala Kualitatif)
85 – 100 4 A
70 – 84 3 B
55 – 69 2 C
40 – 54 1 D
0 – 39 0 E

10. Tata Tertib Peserta


1) Sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Program
Magister Kenotariatan Universitas Udayana, peserta yang
diperbolehkan mengikuti perkuliahan adalah mahasiswa yang
sudah terdaftar dan memenuhi persyaratan administratif lainnya.
2) Peserta diharapkan hadir 5 menit sebelum perkuliahan dimulai.
Keterlambatan masuk di kelas hanya ditoleransi maksimal 10
menit dari jadwal perkuliahan. Lewat dari batas waktu tersebut,
peserta tidak diperkenankan masuk kelas untuk mengikuti kuliah.
3) Mahasiswa wajib hadir mengikuti perkuliahan minimal 75 % dari
tatap muka.
4) Pada saat perkuliahan peserta wajib menggunakan pakaian yang
sopan (pakaian berkerah dan memakai sepatu).
5) Pada saat perkuliahan sedang berlangsung semua alat komunikasi
dan Handphone harus dalam keadaan mati/silent
6) Peserta diwajibkan mengikuti dan atau memenuhi persyaratan
lainnya yang ditentukan Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana.
55

11. Jadwal Perkuliahan


Pertemuan
No. Pokok Bahasan Dosen Pengajar
Ke-
1 - Pengertian dan Fungsi
Bank Sebagai Lembaga
Intermediasi Perbankan.
- Eksistensi Perbankan dalam
Sistem Keuangan I Team Teaching
- Pengaturan dan
Pengawasan Perbankan.
- Prinsip-Prinsip Dalam
Kegiatan Perbankan.
2 Diskusi Pokok Bahasan I II Team Teaching
3 - Pengertian dan Jenis
Nasabah Perbankan.
- Dasar Hubungan Hukum
Antara Bank dan Nasabah
- Hubungan Hukum Antara
III Team Teaching
Bank dengan Nasabah
Penyimpan Dana.
- Hubungan Hukum Antara
Bank Dengan Nasabah
Peminjam Dana
4 Diskusi Pokok Bahasan II IV Team Teaching
5 - Urgensi Perlindungan
Hukum Nasabah Bank
- Perlindungan Hukum
Nasabah Dalam Arsitektur V Team Teaching
Perbankan Indonesia (API)
- Upaya Perlindungan
Hukum Nasabah Bank.
56

Pertemuan
No. Pokok Bahasan Dosen Pengajar
Ke-
6 Diskusi Pokok Bahasan III VI Team Teaching
7 - Bentuk dan Dasar Hukum
Perjanjian Kredit Bank
- Perjanjian Kredit Bank
VII Team Teaching
Sebagai Perjanjian Standar
- Perumusan Substansi
Perjanjian Kredit Bank
8 Diskusi Pokok Bahasan IV VIII Team Teaching
9 - Istilah dan Pengertian
Jaminan
- Persyaratan dan Kegunaan
Jaminan
IX Team Teaching
- Pembedaan dan Jenis-Jenis
Jaminan
- Bentuk dan Sifat
Perjanjian Jaminan
10 Diskusi Pokok Bahasan V X Team Teaching
11 - Kriteria dan Faktor
Penyebab Kredit Macet
- Penyelamatan Kredit XI Team Teaching
Macet.
- Penyelesaian Kredit Macet
12 Diskusi Pokok Bahasan VI XII Team Teaching
13 - Pengertian dan Dasar
Hukum Likuidasi Bank
- Alasan Pencabutan Izin
XIII Team Teaching
Usaha dan Likuidasi Bank
- Perlindungan Hukum
Nasabah Penyimpan Dana
57

Pertemuan
No. Pokok Bahasan Dosen Pengajar
Ke-
Dalam Likuidasi Bank
- Tanggungjawab Perdata
Pemegang Saham dan
Pengurus Bank Terlikui-
dasi.
14 Diskusi Pokok Bahasan VII XIV Team Teaching

12. Lain-lain
 Apabila ada hal-hal diluar ketentuan ini perlu disepakati, dapat
dibicarakan secara teknis pada saat setiap pertemuan
 Apabila ada perubahan isi modul, aka nada pemberitahuan terlebih
dahulu.

Pihak I Pihak II
Dosen Pengampu a.n. Mahasiswa

(Dr. Made Udiana, SH., MH.) (Korma MK. Hukum Perbankan)

Mengetahui,
Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Ketua,

(Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., MH.)


58

BAHAN BUKU AJAR


I. PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Fungsi Bank Sebagai Lembaga Intermediasi
Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai
lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan.
Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminja m
uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Di
samping itu bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar
uang, memindahkan uang, atau menerima segala macam bentuk
pembayaran dan setoran (Kasmir, 2000: 23).
Secara sederhana bank adalah suatu wadah untuk
menyimpan dan meminjam uang, karenanya disebut pula dengan
pasar uang. Di tempat yang dinamakan dengan "bank" inilah
uang disimpan dan dipinjamkan. Hal ini sejalan dengan kegiatan
pokok usaha bank, yaitu melakukan usaha simpan pinjam uang.
Terminologi "bank" berasal dari bahasa Italia banca
yang berarti bence, yaitu suatu bangku tempat duduk, atau
uang. Hal ini disebabkan pada zaman pertengahan, pihak bankir
Italia yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan
usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman
pasar (A. Abdurrahman, 1993: 80 dan Wikipedia Bahasa
Indonesia, 2008: 1).
Dalam perkembangannya, istilah bank dimaksudkan
sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-
jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti pinjaman,
memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan
pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat
penyimpanan untuk benda-benda berharga, membiayai usaha-
usaha perusahaan (A. Abdurrahman, 1993: 80).
59

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "bank"


diberikan pengertian sebagai berikut:
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang (1988: 78).
Sebenarnya pengertian "bank" dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia tersebut berasal dari pengertian bank yang dirumuskan
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-
Pokok Perbankan. Ketenruan dalam Pasal 1 huruf a Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1967 merumuskan pengertian bank,
yaitu:
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang.
Pengertian "lembaga keuangan" dirumuskan dalam
kefentuan Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1967, yaitu:
Lembaga keuangan adalah semua badan yang melalui
kegiatan-kegiatan di bidang keuangan menarik uang dari
dan menyalurkan ke dalam masyarakat.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dirumuskan
kembali pengertian "bank" itu sebagai berikut:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
Sementara itu ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
60

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 merumuskan kembali


pengertian "bank" itu sebagai berikut:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
Dari pengertian di atas, jelas bahwa bank berfungsi
sebagai financial intermediary dengan usaha utama menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa
lainnya yang lazim dilakukan bank dalam lalu lintas pembayaran.
Kedua fungsi itu tidak bisa dipisahkan. (Djoni S. Gazali dan
Rachmadi Usman, 2010 ; 136)
Sebagai bagian dari lembaga keuangan, bank memiliki
fungsi intermediasi yang menjembatani kepentingan pihak yang
kelebihan dana (penyimpan dana atau kreditur) dan pihak yang
membutuhkan dana (peminjam dana atau debitur). Berdasarkan
fungsinya ini, bank disebut sebagai lembaga intermediasi atau
lembaga perantara.
Sebagai lembaga perantara pihak-pihak yang kelebihan
dana, baik perorangan, badan usaha, yayasan, maupun lembaga
pemerintah dapat menyimpan kelebihan dananya di bank dalam
bentuk rekening giro, tabungan, ataupun deposito berjangka
sesuai dengan kebutuhan atau preferensinya. Sementara itu,
pihak-pihak yang kekurangan dan membutuhkan dana akan
mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit tersebut
dapat berupa kredit investasi, kredit modal kerja, maupun kre dit
konsumsi. (Perry Warjiyo, 2004 ; 138).
61

B. Eksistensi Perbankan Dalam sistem Keuangan


Sistem keuangan pada dasarnya adalah tatanan dalam
perekonomian suatu negara yang memiliki peran terutama dalam
menyediakan fasilitas jasa-jasa di bidang keuangan oleh lembaga-
lembaga keuangan dan lembaga-lembaga penunjang lainnya.
Sistem keuangan Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan
dalam dua jenis, yaitu sistem perbankan dan sistem lembaga
keuangan bukan bank. Lembaga keuangan yang masuk dalam
sistem perbankan, yaitu lembaga keuangan yang berdasarkan
peraturan perundangan dapat menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dan dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Karena lembaga keuangan ini dapat menerima simpanan dari
masyarakat, maka juga disebut depository financial institutions,
yang terdiri atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Sedangkan lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga
keuangan selain dari bank yang dalam kegiatan usahanya tidak
diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari
masyarakat dalam bentuk simpanan. Lembaga keuangan bukan
bank disebut non depository financial institutions.(Dahlan
Siamat, 2000 ; 21)
Sistem keuangan dapat didefinisikan secara berbeda
tergantung kepada apa yang hendak ditekankan. Bila kita ingiri
melihatnya dari sudut moneter, sistem keuangan didefinisikan
sebaqai suatu sistem yang terdiri atas sistem moneter dan di luar
sistem moneter. Sistem moneter terdiri atas otoritas moneter,
yang mempunyai kemampuan untuk menciptakan uang primer,
dan Bank-bank pencipta uang giral, sedangkan lembaga-lembaga
62

keuangan lainnya termasuk dalam kelompok di luar sistem


moneter.
Penjelasan yang lain memberikan penekanan pada
pembedaan lembaga keuangan menjadi dua, yaitu: pertama,
lembaga keuangan bank (bank financial intermediary) dan kedua,
lembaga keuangan bukan bank (non bank financial intermediary).
Lembaga-lembaga keuangan bank merupakan bagian dari sistem
moneter, sedangkan lembaga-lembaga keuangan lainnya berada di
luar sistem moneter.
Pendapat lainnya memberikan cakupan pada sistem
keuangan yang lebih luas dan jelas, karena mendefinisikan sistem
keuangan sebagai suatu sistem yang terdiri atas:
- Lembaga-lembaga keuangan yang merupakan lembaga-
lembaga intermediasi yang menghubungkan unit yang surplus
dan unit yang defisit dalam suatu ekonomi;
- Instrument-instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh
lembaga-lembaga tersebut; dan pasartempat instrumen-
instrumen tersebut diperdagangkan. (Achwan, Harry Tjahjono
dan Totok Subjakto, 1993 ; 1-3)
Pada dasarnya sistem keuangan Indonesia, terdiri atas:
a. System moneter;
b. System perbankan;
c. System lembaga keuangan bukan bank dan ;
d. System lembaga pembiayaan. (Sunaryo, 2008 ; 10-11)
Perbankan memiliki kedudukan yang strategis, yakni
sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran, pelaksanaan
kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem keuangan,
sehingga diperlukan perbankan yang sehat transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. (Rachmadi Usman, 2011 ; 11)
63

C. Pengaturan dan Pengawasan Perbankan.


Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah terjadi
krisis perbankan, perhatian pemerintah di berbagai negara
termasuk Indonesia terhadap kebijakan pengaturan dan
pengawasan bank semakin besar. Perhatian tersebut antara ain
karena semakin disadari arti penting dan peran strategis sektor
perbankan dalam suatu perekonomian. Kegagalan suatu bank
khususnya yang bersifat sistemik akan dapat mengakibatkan
terjadinya krisis yang dapat mengganggu kegiatan suatu
perekonomian. Kajian yang dilakukan Lindgren (1996)
menunjukkan bahwa banyak negara yang perekonomiannya rusak
sebagai akibat tidak sehatnya sektor perbankan. Sektor keuangan,
terutama di negara-negara berkembang, masih didominasi oleh
lembaga perbankan. Di Indonesia, misalnya, menurut Yunus
Husein (2003), industri perbankan menguasai sekitar 93% dari
total aset industri keuangan. Dalam kondisi yang demikian,
apabila lembaga perbankan tidak sehat dan tidak dapat berfungsi
secara optimal, maka dapat dipastikan akan berakibat pada
terganggunya kegiatan perekonomian. Menurut Andrew Crockett
(1997) stabilitas dan kesehatan sektor perbankan sebagai bagian
dari stabilitas sektor keuangan terkait erat dengan kesehatan suatu
perekonomian. (Perry Warjiyo, 2004 ; 143).
Pada hakekatnya, pengaturan dan pengawasan bank
dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan setiap orang yang
mempunyai kepentingan dengan bank. Bahwa bank-bank yang
secara finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola dengan baik
dan profesional, serta tidak terkandung segi-segi yang merupakan
ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan
dananya di bank. Dengan perkataan lain, bahwa tujuan umum dari
pengaturan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem
64

perbankan yang sehat, yang nietnenuhi tiga aspek, yaitu


perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik, berkembang secara wajar, dalam arti di satu pihak
memerhatikan faktor resiko seperti kemampuan, baik dari sistem,
finansial, maupun sumber daya manusia.
Terwujudnya suatu sistem perbankan yang sehat perlu
dilakukan secara berkesinambungan. Lembaga yang bertanggung
jawab dalam mewujudkan sistem perbankan yang sehat itu adalah
Bank Sentral, Kewenangan Bank Sentral dalam melakukan
pengaturan dan pengawasan bank adalah sebagai alat atau sarana
untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, yang menjamin
dan memastikan dilaksanakannya segala peraturan perundang-
undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank oleh
bank yang bersangkutan.
Dengan demikian, bila ternyata dalam tugas mengatur dan
mengawasi bank tersebut Bank Sentral menemukan
penyimpangan yang dilakukan oleh sebuah bank, akan dapat
segera dilakukan tindakan secara yuridis dan institusional. Di
Indonesia, tugas pengawasan itu dilakukan oleh BI (Bank
Indonesia).
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral mempunyai 3 (tiga)
bidang tugas, yaitu:
(1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
(2) Mengatur dan menjaga sistem pembayaran, dan;
(3) Mengatur dan mengawasi bank.
Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan
mengawasi bank, menurut ketentuan Pasal 24 Undang-
UnciangNo.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahwa Bank
Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin
atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,
65

melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap


bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam hal
ini, pengaturan dan. pengawasan bank mengacu pada Undang-
Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998. (Mahesa Jati
Kusuma, 2012 ; 60 – 61).
Pengawasan terhadap bank oleh Bank Indonesia sebagai
Bank Sentral dapat bersifat pengawasan langsung atau
pengawasan tidak langsung. Menurut penjelasan ketentuan Pasal
27 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
bahwa yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah
bentuk pemeriksaan yang disertai dengan tindakan-tindakan
perbaikan. Sedang yang dimaksud dengan pengawasan tidak
langsung meliputi; bentuk pengawasan dini melalui penelitian,
analisis, dan evaluasi laporan bank.
Bentuk pengaturan dan pengawasan bank yang dapat
dilakukan oleh otori-tas pengawasan, meliputi 4 kewenangan,
yaitu: kewenangan memberi izin (power of license), kewenangan
untuk mengatur (power of regulate), kewenangan untuk
mengendalikan atau mengawasi (power of control), dan
kewenangan untuk mengenakan sanksi (power of impose
sanction).
Adapun keempat kewenangan yang diberikan kepada
otoritas pengawasan bank tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Kewenangan memberi izin (power of license);
Melalui kewenangan ini memungkinkan ditetapkannya
ketentuan dan persyaratan pendirian sebuah bank oleh otoritas
pengawas. Kewenangan pemberian izin ini merupakan seleksi
paling awal untuk menetapkan tata cara perizinan dan
66

pendirian suatu bank. Pada umumnya, persyaratan pendirian


bank menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu; (1) akhlak dan moral
calon pemilik dan pengurus bank, (2) kemampuan
menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank,
dan (3) kesungguhan dan kemampuan para calon pemilik dan
pengurus bank dalam melakukan kegiatan usahanya.
Kewenangan dalam memberikan izin tersebut juga
memungkinkan otoritas pengawas bank mencegah terjadinya
pendirian bank yang tidak didukung sejumlah modal sesuai
ketetapan, atau kurang dipersiapkannya berbagai kelengkapan
yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik atau
pengurus tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat.
2. Kewenangan untuk mengatur (power of regulate);
Kewenangan untuk mengatur ini memungkinkan otoritas
pengawas bank menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek
kegiatan usaha perbankan dalam rangka menciptakan adanya
perbankan yang sehat, dan mampu memenuhi jasa perbankan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketentuan yang dapat
ditetapkan antara lain mencakup peraturan likuiditas dan
solvabilitas bank, jenis usaha yang dapat dilakukan, dan
resiko, atau exposure yang dapat diambil oleh bank.
3. Kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi (power of
control) Kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi
ini adalah kewenangan paling mendasar yang diperlukan oleh
otoritas pengawas bank. Pengawasan bank dilaksanakan
melalui pengawas tidak langsung (off site supervision), yaitu
pengawasan yang dilakukan melalui alat pantau seperti
laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil
pemeriksaan, dan informasi lainnya. Dengan data yang
diperoleh melaui alat pantau tersebut, otoritas pengawas
67

melakukan penilaian terhadap keadaan usaha da kesehatan


bank. Selain melalui pengawasan tidak langsung tersebut
diatas, otoritas pengawas juga dapat melakukan pengawasan
langsung (on site exsamination) yang dapat berupa
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus. Pengawasan
langsung ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
ketaatan terhadap peraturan yang berlaku serta untuk
mengetahui apakah terdapat praktek-praktek yang tidak sehat,
dan membahayakan kelangsungan usaha bank.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power of impose


sanction)
Kewenangan yang keempat ini adalah kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi apabila sebuah bank kurang atau tidak
memenuhi hal-hal yang diatur atau dipersyaratkan dalam
kewenang-wenangan tersebut di atas. Pengenaan sanksi ini
dimaksudkan agar bank melakukan perbaikan atas kelemahan
dan penyimpangaii yang dilakukannya. Dengan perkataan lain,
dalam pengenaan sanksi oleh otoritas pengawas bank tersebut
mengandung unsur pembinaan agar suatu bank sungguh-
sungguh taat dalam menerapkan peraturan perundang-
undangan dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat.
Berkaitan dengan tugas mengatur dan mengawasi bank,
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral berwenang:
a) Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-
ketentuan perbankan yang mcmuat prinsip kehati-hatian;
b) Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan
kegiatan usaha tertentu dari bank, termasuk memberikan dan
mencabut izin usaha bank, memberikan izin pembukaan,
penutupan dan pcmindahan kantor bank, memberikan
68

persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank,


memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan
usaha tertentu;
c) Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak
langsung melalui penyampaian laporan, keterangan oleh bank
serta hasil pemeriksaan terhadap bank, secara berkala maupun
setiap waktu jika diperlukan;
d) Menugaskan kepada pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia dalam melaksanakan pemeriksaan. Pihak lain yang
melaksanakan pemeriksaan wajib merahasiakan keterangan
dan data yang diperoleh;
e) Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian
atau seluruh kegiatan transaksi tertentu yang diduga atau
dinilai Bank Indonesia merupakan suatu tindakan pidana di
bidang perbankan;
f) Melakukan tindakan tertentu sebagai akibat dari penilaian
Bank Indonesia terhadap suatu bank atas kegiatan yang dapat
membahayakan usaha bank tersebut dan/atau sistem perbankan
secara keseluruhan;
g) Tugas mengawasi bank akan dilaksanakan oleh lembaga
pengawas sektor jasa keuangan yang independent, dan
dibentuk dengan undang-undang;
h) Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank.
Sistem Informasi dapat dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia
dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia;
i) Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
69

Bank Indonesia, di tentukan bahwa Bank Indonesia sebagai


otoritas pembina dan pengawas perbankan di Indonesia
mempunyai kewenangan untuk melakuakan pembinaan dan
pengawasan bank. Pelaksanaan pengawasan oleh Bank Indonesia
tersebut meliputi empat aspek kewenangan sebagaimana telah
diuraikan di atas. (Chatawarrsjid Ais, 2006; 163 – 168).
Sejalan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 dan
Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tersebut di atas, maka Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 memberikan wewenang dan
kewajiban bagi Bank Indonesia untuk membina serta untuk
melakukan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-
upaya, baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-
ketentuan, petunjuk dan nasehat, bimbingan dan pengarahan,
maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul
dengan tindakan-tindakan perbaikan, sehingga pada akhirnya
Bank Indonesia dapat menetapkan arah pembinaan dan
pengembangan bank, baik secara individual maupun secara
keseluruhan.
Selanjutnya, mengenai masalah pembinaan dan pengawasan
bank ditentukan dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut:
Pasal 29 ayat (1):
"Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank
Indonesia."
Pasal 29 ayat (2):
"Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas menejemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabiiitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian."
70

Pasal 29 ayat (3):


"Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang memercayakan dananya xepada bank."
Pasal 29 ayat (4):
"Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubung an
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank."
Pasal 29 ayat (5):
"Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana di
maksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) di tetapkan oleh
Bank Indonesia."
Sesuai penjelasan dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) di atas, dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang
dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut
aspek kelembagaan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha,
pelaporan, serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan
operasional bank.
Berdasarkan ketentuan yang dimaksud dengan pengawasan
dalam Ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung, terutama
dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan
evaliasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk
pemeriksaan yang di susul dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Sejalan dengan itu Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung
jawab, dan kewajiban untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik
yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif.
71

D. Prinsip-Prinsip Dalam Kegiatan Perbankan


Dalam pengelolaan perbankan, terutama dalam konteks
hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana secara
teoritis dilandasi 4 (empat) prinsip dasar, yaitu ;
1. Prinsip kepercayaan (fiduciary principle, fiduciary relation)
2. Prinsip kerahasiaan (confidential principle,confidential
relation)
3. Prinsip kehati-hatian (prudential principle, confidential
relation)
4. Prinsip fnengenal nasabah (know your customer principle)
(Nindyo Pramono, 2006 ; 243 – 261).
Keempat prinsip dasar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Bank di dalam menghimpun dan mengelola dana
masyarakat itu didasarkan atas prinsip kepercayaan.
Nasabah mempercayakan dananya untuk disimpan di bank
dalam suatu portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur,
yang sewaktu-waktu diminta kembali oleh nasabah, bank
mampu menyediakannya. Sifat hubungan hukum demikian
bukan sekadar hubungan debitur dan kreditur semata. Oleh
sebab itu sifat hubungan hukum antara bank dan nasabah lebih
tepat jika dikatakan sebagai hubungan kepercayaan (fiduciary
relation). Prinsip kepercayaan merupakan prinsip yang harus
dipegang teguh dalam pengelolaan industri perbankan. Oleh
karena itu, jika hubungan antara bank dan nasabah penyimpan
dana (misalnya deposan) dikatakan sekadar hubungan
pimpinan-meminjam uang seperti yang diatur di dalam Pasal
1755 KUHPerdata, di dalam praktik perbankan dipandang
terlalu sempit dan tidak mencerminkan kondisi yang
sebenarnya. Mengapa demikian? Karena dalam praktik, bank
72

dapat menggunakan dana simpanan nasabah yang terhimpun di


dalam satu portofolio tersebut sedemikian rupa atas dasar
kepercayaan (fiduciary principle) untuk tujuan dan dengan
cara yang dapat menjamin kepastian bahwa jika sewaktu-
waktu diminta nasabah, bank mampu mengembalikan dana
tersebut.
Secara normatif "fiduciary relation" dapat dipahami
melalui penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Undang-
Undang Perbankan) yang menyatakan bahwa:
"Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang
disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap
bank perlu terus menjaga kesehatannya dan
memelihara kepercayaan masyarakat padanya."

2. Prinsip Kerahasiaan (Confidential Principle)


Prinsip rahasia bank menjadi sangat penting dijaga
dalam industri perbankan karena prinsip tersebut merupakan
jiwa dari industri perbankan. Stabilitas sistem keuangan akan
dapat goyah jika bank tidak menganut prinsip kerahasiaan ini.
Jika identitas atau keberadaan nasabah dan simpanannya atau
rekeningnya, misalnya rekening giro seorang nasabah bank
tanpa alasan hukum yang kuat begitu mudah diterobos oleh
pihak yang tidak berkepentingan dengan rekening giro
tersebut atau dibocorkan kepada pihak yang tidak
berkepentingan, dampaknya sudah dapat dipastikan bahwa
pemilik rekening akan merasa privasinya terganggu. Dapat
dipastikan jika nasabah tersebut merasa tidak aman lagi
berkaitan dengan harta milik yang disimpan di suatu bank
tertentu. Ia akan memindahkannya ke sarana investasi atau
73

sarana penyimpanan yang lain yang dirasa lebih menjanjikan


keamanan dan kerahasiaannya.
Dampak selanjutnya dari keadaan tersebut akan dapat
mengancam perekonomian dan sistem perbankan nasional.
Kepercayaan masyarakat akan goyah, rush akan terjadi dan
multiplier efeknya akan dapat menular ke industri bank yang
lain, bahkan pada sistem perekonomian negara. Dengan
demikian, tujuan utama bank bekerja dengan menggunakan
prinsip rahasia bank adalah agar nasabah memperoleh tingkat
perlindungan dan penjaminan hukum yang memadai atas
kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk
mengelola dana yang disimpannya tersebut. Nasabah akan
merasakan memperoleh jaminan perlindungan hukum bahwa
dana yang dipercayakan kepada bank tersebut tidak akan
disalahgunakan untuk hal-hal yang sangat mengganggu privasi
dari si nasabah, antara lain dalam hal kerahasiaan nasabah dan
simpanannya (Bandingkan: Usman, 2001).
Bank adalah lembaga keuangan yang keberadaannya
sangat bergantung dari adanya simpanan nasabah atas dasar
kepercayaan. Bankir sangat berkepentingan untuk menjaga
kepercayaan nasabah ini demi kelangsungan usaha perbankan
yang dikelolanya, antara lain dengan memberikan jaminan
perlindungan bahwa bank tidak akan mengungkapkan keadaan
nasabah dan simpanannya kepada siapa pun, kecuali atas
amanat undang-undang (Bandingkan: Syahdeini, 1999;
Soepraptomo, 2005).
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 terrtang Perbankan, ruang lingkup rahasia bank meliputi
"nasabah penyimpan dana dan simpanannya". Di dalam Pasal
74

40 Undang-Undang Perbankan, sebagai perubahan dari Pasal


40 Undang-Undang Nombr 7 Tahun 1992, disebutkan bahwa:
"Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A."
Pasal 40 Undang-Undang Perbankan ini mengandung
unsur subjektif berkaitan dengan hal yang harus dirahasiakan
oleh bank, yaitu diri nasabah penyimpan dan unsur objektif,
yaitu simpanan nasabah. Dua hal inilah yang wajib
dirahasiakan. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang
menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan
berdasarkan perjanjian antara bank dan nasabah yang
bersangkutan. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,
tabungan dan atau bentuk-bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu (Try Widiyono, 2006 ; 104).

3. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)


Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak
disebutkan secara tegas mengenai pengertian dari prinsip
kehati-hatian. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
hanya menyebutkan bahwa:
"Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan
prinsip kehati-hatian.
Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan prinsip kahati-hatian adalah pengendaiian
risiko melaiui penerapan peraturan perundang-undangan dan
75

ketentuan yang berlaku secara konsisten. Dalam bahasa


Inggris:
"Prudence is carefullness, precaution attentiveness and
good judgement, as applied to action or conduct, that
degree of care required by the exigencies or
circumstances under which it is to be exercised"
(Black's Law Dictionary, 2001).
Secara normatif prinsip ini sudah menjadi kaidah hukum di
dalam Undang-Undang Perbankan, seperti dapat diketahui
atau dipahami melaiui ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
Pasal 2 Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa:
"Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan
prinsip kehati- hatian”.
Penerapan kaidah ini dapat dikemukakan dalam contoh
berikut. Misalnya, ada seorang calon nasabah pemohon kredit
kepada suatu bank tertentu: Apabila setelah dianalisis dan
dengan men-dasarkan diri pada itikad baik proposal
permphonan diketahui usaha pemohon dapat menimbulkan
dampak negatif, bank wajib memegang teguh prinsip kehati-
hatian ini. Misalnya saja mensyaratkan perlunya
melampirkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal),
jika ternyata usaha pemohon berpotensi menimbulkan
pencemaran lingkungan, untuk menghindari ancaman Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup atau menambah agunan yang memadai,
memeriksa serius ke lokasi jaminan yang diberikan, dan
sebagainya. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam
memutuskan pemberian fasilitas kredit, bank wajib
menganalisis dan dengan menjunjung tinggi asas itikad baik
76

(yang sekarang ini di Belanda sebagai negara asal asas itikad


baik ini sudah menggunakan terminologi kepatutan dan
kepantasan) atas kemampuan dan kesanggupan nasabah dalam
mengembalikan kreditnya. Risiko kredit itu bermasalah,
bagaimanapun tetap akan ada. Namun demikian, jika risiko itu
sejak awal justru dibukakan peluangnya dengan mengabaikan
analisis dan itikad baik tersebut, hal demikian berarti
pemberian fasilitas kredit tidak diberikan dengan mendasarkan
diri pada prinsip kehati-hatian.
Secara normatif ketentuan yang berkaitan dengan
prinsip kehati-hatian juga dapat dipahami melalui Pasal 8
Undang-Undang Perbankan, sebagaimana selintas sudah kami
kemukakan di atas. Pasal 8 Undang-Undang Perbankan
mengatur bahwa bank umum wajib memiliki keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam penjelasan
umum disebutkan keyakinan bank atas kemampuan dan
kesanggupan debitur diperoleh dengan cara melakukan
penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal,
dan prospek usaha. Penjelasan ini mewajibkan bank untuk
melakukan analisis yang mendalam dan dengan mendasarkan
pada itikad baik terhadap setiap permphonan kredit atau yang
dipersamakan dengan itu. Khusus mengenai agunan
disebutkan apabila berdasarkan analisis tersebut bank telah
sampai pada keyakinan bahwa agunan debitur tersebut telah
mencukupi, kredit bolen diberikan. Dari penjelasan ini
keputusan diberikan atau tidaknya permohonan kredit di muka
sudah kami katakan akan sangat bergantung pada keyakinan
pejabat bank yang bersangkutan. Begitu keyakinan ini
mengandung unsur ketidakjujuran, kecurangan, dan
77

sebagainya, misalnya tanpa dilakukan analisis yang mendalam


tentang agunan tadi, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa
pejabat bank tersebut telah menyalahgunakan prinsip kehati-
hatian dalam memberikan kredit.

4. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer


Principles)
Untuk mengurangi risiko usaha, bank diwajibkan untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-
hatian itu adalah penerapan prinsip mengenal nasabah (know
your customer). Ketidakcukupan penerapan prinsip mengenal
nasabah dapat memperbesar risiko yang dihadapi bank dan
dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan bagi
bank baik dari sisi aktiva maupun pasiva bank. Sesuai dengan
rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision
dalam Core Principles for Effective Banking Supervision,
bahwa penerapan prinsip mengenal nasabah merupakan faktor
yang penting dalam melindungi kesehatan bank. Di samping
itu, sebagaimana dikemukakan oleh The Financial Action Task
Force on Money Laundering, prinsip mengenal nasabah
merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan
digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik yang
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku
usaha.
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang
diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah,
memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan
transaksi yang mencurigakan. Tujuan penerapan prinsip
mengenal nasabah di sini dimaksudkan untuk mengenal profil
78

transaksi, mengenal profil dan karakteristik nasabah serta


mengenal profil usaha nasabah bank yang bersangkutan.
Dengan penerapan prinsip mengenal nasabah
diharapkan secara dini bank dapat mengindentifikasikan
transaksi yang diduga mencurigakan, untuk meminimalisir
berbagai risiko seperti risiko operasional (operational risk),
risiko hukum (legal risk), risiko terkonsentrasinya transaksi
(concentration risk), dan risiko reputasi (reputational risk).
Prinsip mengenal nasabah tidak sekedar berarti
mengenal nasabah secara harfiah. Bagaimana mungkin
karyawan bank tidak mengenal nasabah atau calon
nasabahnya. Prinsip mengenal nasabah menginginkan lebih
dari sekedar mengenal nasabah secara harfiah. Prinsip
mengenal nasabah menginginkan informasi lebih menyeluruh
di samping jati diri atau identitas nasabah, juga hal-hal yang
berkaitan dengan profil dan karakter transaksi nasabah, yang
dilakukan melalui jasa perbankan. Penerapan prinsip mengenal
nasabah ini sebagai salah satu upaya untuk mencegah agar
sistem perbankan tidak digunakan sebagai sarana kejahatan
pencucian uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung oleh peiaku kejahatan. Karena itu, bank
diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah
dalam rangka mengenali profil nasabah maupun karakteristik
setiap transaksi nasabah, yang pada gilirannya bank dapat
mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan
(suspicious transactions).
Dengan menerapkan prinsip mengenal nasabah berarti
bank juga dapat meminimalkan kemungkinan risiko yang
mungkin timbul yaitu:
79

1. Operational risk, artinya risiko bank tidak dapat


melakukan operasionalnya secara normal, yang antara lain
disebabkan adanya ketidakcukupan dan/atau tidak
berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, gangguan
dan kegagalan sistem informasi manajemen dan
komunikasi, ketidakpastian ketentuan, kelemahan struktur
pengendalian, adanya problem eksternal, atau adanya hal-
hal yang bersifat force majeur, seperti bencana alam,
kebakaran, dan lain-lain;
2. Legal risk, artinya risiko yang disebabkan oleh adanya
kelemahan aspek yuridis, seperti antara lain adanya
tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan
yang mendukung atau kelemahan perilaku seperti tidak
terpenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan
tidak sempurna;
3. Concentration risk, artinya risiko yang terjadi karena bank
menerima dana-dana dari pihak ketiga dalam jumlah besar
yang terkonsentrasi pada beberapa nasabah;
4. Reputational risk, artinya risiko yang antara lain
disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan
kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
Perkembangan di bidang pengetahuan dan teknologi
telah mendorong pula perkembangan ragam kejahatan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kejahatan dalam suatu wilayah negara maupun lintas batas
wilayah negara juga semakin berkembang, diantaranya
illegal logging, perdagangan obat-obatan terlarang,
penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja,
terorisme, penyuapan, korupsi dan kejahatan-kejahatan kerah
80

putih lainnya. Tindak kejahatan ini umumnya melibatkan dan


menghasilkan uang dalam jumlah yang besar.
Terdapat berbagai modus yang dilakukan oleh para
pelaku kejahatan tersebut untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut, salah satunya
adalah dengan memasukkan hasil tindak pidana tersebut ke
dalam sistem keuangan (financial sistem}, terutama ke dalam
sistem perbankan. Dengan demikian asal-usul harta kekayaan
tersebut tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Modus
inilah yang disebut dengan pencucian uaqg (money
laundering).
Sebagai salah satu entry bagi masuknya uang hasil
tindak kejahatan, bank harus mengurangi risiko digunakannya
sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan
mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan
memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi
keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang
dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Penerapan
prinsip mengenal nasabah ini didasari pertimbangan bahwa
prinsip mengenal nasabah tidak saja penting dalam rangka
pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka
penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari
berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan
counter-party?
Sehubungan dengan penerapan prinsip mengenal
nasabah dalam industri perbankan ini, Bank Indonesia telah
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/
2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know
Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah berturut-
turut dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/ PBI/2001
81

dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Khusus


bagi Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia mengeluarkan
ketentuan tersendiri dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/23/ PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Customer Principles) Bagi Bank Perkreditan
Rakyat.
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat diwajibkan
untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dengan cara
antara lain mengidentifikasi nasabah, pemantauan terhadap
rekening dan transaksi nasabah, mengidentifikasi transaksi
keuangan mencurigakan, dan lainnya, yang tersimpul dalam
dokumentasi profil nasabah, yang minimal berisikan data
identitas, pekerjaan/bidang usaha, jumlah penghasilan,
rekening yang dimiliki, aktivitas transaksi normal dan tujuan
pembukaan rekening nasabah. Dengan mengenal nasabahnya,
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat diharapkan dapat
mehgetahui dan mengenali nasabah, memantau kegiatan
transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang
mencurigakan. (Rachmadi Usman, 2011 ; 86 – 89).
82

II. HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK DAN NASABAH.


A. Pengertian dan Jenis Nasabah Perbankan.
Sebagaimana diketahui, industri perbankan menjalankan
fungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat,
sehingga konsekuensinya menimbulkan 2 (dua) hubungan hukum,
yaitu: pertama, hubungan hukum antara bank (debitor) dan
nasabah penyimpan dana (kreditor), berupa perjanjian
penyimpanan (perjanjian simpanan) dana; dan kedua, hubungan
hukum antara bank (kreditor) dengan nasabah peminjam dana
(debitor), berupa perjanjian kredit bank (pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah). Di samping melakukan kegiatan usaha
menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkan
dana tersebut kepada masyarakat, industri perbankan melakukan
kegiatan pelayanan jasa bank lainnya yang merupakan bagian dari
kegiatan usaha yang lazim dilakukannya.
Pihak-pihak yang menggunakan jasa bank di sini tidak
hanya nasabah penyimpan dana dan nasabah peminjam dana,
melainkan pula nasabah pengguna jasa bank lainnya yang tidak
terkait dengan fungsi pokoknya sebagai wadah penghimpun dan
penyalur dana masyarakat. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
1 angka 16 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
secara yuridis "nasabah" diartikan sebagai "pihak yang
menggunakan jasa bank". Dalam pengertian nasabah di sini,
termasuk pula pihak yang tidak memiliki rekening namun
memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan
(walk-in customer).
Secara sederhana, setiap orang yang menyimpan uangnya
di bank disebut dengan nasabah penyimpan. Sementara itu,
secara yuridis disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 17
83

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah


dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa yang
dimaksud dengan "Nasabah Penyimpan" adalah nasabah yang
menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Penghimpunan dana merupakan jasa utarna yang
ditawarkan dunia perbankan. Dana yang dihimpun dari
masyarakat ini merupakan suatu tulang punggung (basic) dari
dana yang dikelola oleh bank untuk memperoleh keuntungan.
Baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
dapat melakukan kegiatan usaha penghimpunan dana dari
masyarakat, baik berdasarkan prinsip konvensional maupun
prinsip syariah. Penghimpunan dana dari masyarakat tersebut
dihimpun dalam bentuk simpanan yang dapat berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu. Namun perlu diingat,
bahwa tidak semua bentuk simpanan dana masyarakat menjadi
lahan kegiatan usaha BPR. Karena Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 telah rnembatasi instrumen penghimpunan
dana dari masyarakat yang dilakukan oleh BPR hanya berupa
simpanan dalam bentuk deposito (deposito berjangka), tabungan
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Ini
berarti, instrumen penghimpunan dana dari masyarakat berupa
simpanan dalam bentuk giro/rekening koran dilarang menjadi
lahan kegiatan usaha BPR.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 dirumuskan pengertian "simpanan"
tersebut, yaitu:
84

"Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh


masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito,
Sertifikat Deposito, Tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu".
Dari ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat diketahui, bahwa jenis dana
yang dihimpun dari masyarakat oleh bank melalui perjanjian
penyimpanan dana bisa berbentuk (simpanan) giro, (simpanan)
deposito (dahulu deposito berjangka), (simpanan) sertifikat
deposito, (simpanan) tabungan dan bentuk lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu. Dengan demikian jelas, bahwa yang
diperjanjikan dalam perjanjian penyimpanan (simpanan) tersebut
adalah simpanan giro, deposito (berjangka), sertifikat deposito
dan tabungan. Simpanan dana dari masyarakat ini merupakan
salah satu sumber dana perbankan, di samping modal sendiri dan
pinjaman dari pasar uang antar bank.
Selain sebagai wadah penghimpun dana masyarakat, bank
juga berfungsi sebagai wadah penyalur dana masyarakat dengan
cara memberikan kredit, sehingga melahirkan hubungan hukum
antara bank (kreditor) dengan nasabah peminjam dana (debitor).
Sesuai dengjan ketentuanjialam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, secara yuridis telah diartikan
yang dimaksud dengan "Nasabah Debitor" adalah "nasabah yang
memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan". Demikian
pula sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-
85

Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa yang dimaksud
dengan "kredit" adalah "penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga". Dari
sini diketahui, bahwa pemberian kredit bank itu merupakan suatu
perjanjian antara bank dengan pihak peminjam (nasabah debitor).
Perjanjian tersebut lahir berdasarkan kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan peminjam dana. Dalam praktik
perbankan, perjanjian yang demikian lazim dinamakan dengan
"perjanjian kredit (bank)".(Rachmadi Usman, 2011 ; 77 – 79).

B. Dasar Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah.


Sejak abad pertengahan 19 masalah lembaga atau bentuk
hubung-an hukum antara bank dan nasabah menjadi perdebatan
antara para ahli hukum. Perdebatan ini terjadi karena hubungan
antara bank dan nasabah merupakan suatu hubungan yang sangat
kompleks. Alan L. Tyree dalam bukunya Banking Law in
Australia, mengatakan bahwa hubungan antara bank dan nasabah
dapat terlihat dalam beberapa macam segi atau kategori karena
tidak mustahii hubungan ini dibakukan dalam satu macam segi
saja. Hubungan macam segi ini muncul apabila ada perselisihan
yang mana harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku dan
dapat memuaskan para pihak. Hubungan ini tidak dapat
dibakukan dalam suatu undang-undang tapi oleh beberapa
putusan dari hakim. (Alan L. Tyree, 1990 : 16).
Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992,
menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun
86

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan


menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat. Lebih lanjut dikemukakan oleh UU tersebut
bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Berdasarkan dua fungsi utama dari suatu bank, yaitu
fungsi pengerahan dana dan fungsi penyaluran dana, maka
terdapat dua hubungan hukum antara bank dan nasabah yaitu:
a) Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana
"Artinya bank menempatkan dirinya sebagai peminjam
dana milik masyarakat (para penanam dana). Bentuk hubungan
hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, dapat
terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-
produk perbankan, seperti deposito, tabungan, giro dan
sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dapat tertuang dalam
bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat
umum yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah penyimpan
dana. Syarat-syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk
perbankan yang ada, karena syarat dari suatu produk
perbankan tidak akan sama dengan syarat dari produk
perbankan yang lain. Dalam produk perbankan seperti
tabungan dan deposito, maka ketentuan-ketentuan dan syarat-
syarat umum yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat umum hubungan rekening deposito dan rekening
tabungan.
b) Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.
Artinya bank sebagai lembaga penyedia dana bagi para
debiturnya. Bentuknya dapat berupa kredit, seperti kredit
modal kerja, kredit investasi, atau kredit usaha kecil.
87

Basis hubungan hukum antara bank dan para nasabahnya


adalah hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual ini
terjadi pada saat nasabah menjalin hubungan hukum dengan
pihak bank, setelah nasabah melakukan hubungan hukum seperti
nasabah membuka rekening tabungan, deposito, dan produk
perbankan lainnya.
Selain hubungan kontraktual, hubungan antara bank dan
nasabah didasarkan atas kepercayaan, mengingat setiap transaksi
perbankan yang melibatkan nasabah, baik nasabah debitur maupun
nasabah kreditur dilandasi oleh kepercayaan. Nasabah mau
menyimpan dananya pada bank karena nasabah percaya pada bank
tersebut. Begitu sebaliknya juga bank mau memberikan kredit
pada nasabah karena bank percaya terhadap nasabah yang
bersangkutan.
Dengan demikian pada dasarnya usaha bank
dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan
masyarakat nasabah bank. Bank terutama bekerja dengan
dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar
kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga
kesehatannya dengan tetap mernelihara dan sekaligus
mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan
masyarakat untuk menyimpan sebagian atau seluruh uangnya di
bank, semata-mata dilandasi oleh prinsip kepercayaan bahwa
uangnya akan aman dan tetap akan dapat diperolehnya kembali
pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan
dan disertai pembenan imbalan. Apabila kepercayaan nasabah
penyimpan dana terhadap suatu bank telah berkurang, maka tidak
tertutup kemungkinan akan terjadi rush terhadap dana yang
disimpannya.
88

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan, bahwa hubungan


antara bank dan nasabah penyimpan dana adalah hukum pinjam
rneminjam uang antara debitor (bank) dan kreditor (nasabah
penyimpan dana) yang dilandasi oleh asas kepercayaan. Dengan
kata lain, bahwa menurut Undang-Undang Perbankan yang diubah,
hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana bukan sekedar
hubungan kontraktual biasa antara debitor dan kreditor yang
diliputi oleh asas-asas umum dan hukum perjanjian, tetapi juga
hubungan kepercayaan yang diliputi asas kepercayaan. Secara
eksplisit undang-undang mengakui bahwa hubungan antara bank
dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kepercayaan, yang
membawa konsekuensi bank tidak boleh hanya memperhatikan
kepentingan sendiri semata-mata, tetapi juga harus memperhatikan
kepentingan nasabah penyimpan dana. (Rachmadi Usman, 2011 ;
83).
Lebih lanjut dikatakan oieh Sutan Remy Sjahdeini, bahwa
demikian pula hubungan antara bank dan nasabah debitor,
mempunyai sifat sebagai hubungan kepercayaan yang
membebankan kewajiban-kewajiban kepercayaan (fiduciary
obligations) kepada bank terhadap nasabahnya, maka masyarakat
bisnis dan perbankan Indonesia telah melihat pula bahwa
hubungan antara bank dan nasabah debitor adalah hubungan
kepercayaan. Dari pengertian kredit, hubungan antara bank dan
nasabah debitor bukan sekedar hubungan kontraktual belaka,
tetapi juga merupakan hubungan-kepercayaan. Di dalam bisnis
yang diberikan atau yang diterima sebagai penukar uang, barang
atau jasa adalah kepercayaan. Oleh karena bank hanya bersedia
memberikan kredit kepada nasabah debitor atas kepercayaan
bahwa nasabah debitor mampu dan man membayar kembali
kreditnya tersebut, maka juga hubungan perjanjian kredit,
89

bukanlah sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditor dan


debitor, tetapi juga hubungan kepercayaan.

C. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah Penyimpan


Dana.
Basis hubungan hukum antara bank dengan para nasabah
adalah hubungan kontraktual. Begitu seorang nasabah menjalin
kontraktual dengan bank, maka perikatan yang timbul adalah
perikatan atas dasar kontrak (perjanjian). Jika merujuk pada Kitab
Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang
Hukum Dagang, maka tidak ditemukan pengaturan tentang
hubungan kontraktual antara bank dan nasabah penyimpan dana
dengan figur perjanjian penyimpanan (simpanan) dana tadi. (Tan
Kamelo, 2006 ; 21)
Karena dari kedua kitab undang-undang tersebut, tidak
ditemukan bentuk hubungan hukum kontraktual antara bank dan
nasabah penyimpan dana. Akan tetapi sebagai suatu bentuk
kontrak (perjanjian), maka sudah tentunya perjanjian penyimpanan
(simpanan) ini tunduk kepada ketentuan yang terdapat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Dalam ketentuan Pasal
1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditegaskan, bahwa
"semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus
maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk
pada peraturan-peraturan hukum yang termuat di dalam bab ini
dan bab yang lalu". Perjanjian penyimpanan (simpanan) dana
merupakan perjanjian, karenannya harus tunduk kepada ketentuan -
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak
90

dijelaskan lebih lanjut mengenai konstruksi hukum perjanjian


penyimpanan (simpanan) dana bank itu. Dari ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 itu, diketahui bahwa ketika nasabah hendak
menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan atau
investasi (bagi perbankan syariah), maka dibuatkan perjanjian
penyimpanan dana antara bank dengan nasabah yang
bersangkutan, berupa perjanjian penyimpanan dana giro,
perjanjian penyimpanan dana deposito, perjanjian penyimpanan
dana sertifikat deposito atau perjanjian penyimpanan dana
tabungan. Pada intinya perjanjian penyimpanan (simpanan) dana
bank akan terjadi bila seseorang menempatkan sejumlah dananya
di bank dalam bentuk simpanan, dengan ketentuan bahwa nasabah
akan menerima kembali dana yang disimpannya beserta dengan
imbalannya yang diberikan oleh bank. Dana yang ditempatkan
seseorang pada bank tersebut dapat dimanfaatkan oleh bank u ntuk
menjalankari kegiatan usahanya. (Djoni S. Gozali dan Rachmadi
Usman, 2008 ; 161).
Bila ditelusuri lebih lanjut bentuk-bentuk perjanjian
bersama dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka
dijumpai beberapa perjanjian yang mendekati dengan fitur
perjanjian penyimpanan (simpanan) dana bank ini, yaitu ada yang
menyebutnya sebagai perjanjian penitipan. Disebutkan perjanjian
penitipan (bewaargeving) sebagaimana dalam ketentuan Pasal
1694 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa "penitipan
adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari
orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
mengembalikannya dalam wujud asalnya".
91

Dari segi sifatnya, perjanjian penitipan adalah bersifat rii l.


Sifat ini terdapat juga pada perjanjian penyimpanan (simpanan).
Narrtun terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu pada
perjanjian penitipan, barang yang dititipkan akan disimpan dan
dikembalikan seperti wujud semula serta tidak dibebani bunga.
Tidak demikian dalam perjanjian penyimpanan (simpanan), pi hak
bank menetapkan persyaratan umum tertentu dalam rekening
deposito atau rekening tabungan antara lain pihak penerima
simpanan (bank) dapat mempergunakan uang si penyimpan dan
dalam waktu tertentu bank akan memberikan bunga.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 membedakan antara "simpanan" dan "penitipan".
Seperti disebutkan sebelumnya, simpanan diartikan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai "dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu". Sedangkan penitipan diartikan
adalah "penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak
antara Bank Umum dan penitip, dengan ketentuan Bank
Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan
atas harta tersebut". Kegiatan penitipan harta ini merupakan salah
satu kegiatan usaha perbankan Bank Umum sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 huruf i Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Penjelasan atas
pasal tersebut antara lain menyatakan, bahwa "dalam melakukan
92

kegiatan penitipan, bank menerima titipan harta penitip dengan


mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan bank" .
Sehubungan dengan kegiatan penitipan harta ini, ketentuan
dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 menetapkan, bahwa "dalam hal bank mengalami
kepailitan, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak
dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan
kepada penitip yang bersangkutan".
Dari ketentuan di atas, jelas sekali Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 membedakan antara
lembaga "simpanan" dan "penitipan". Dalam lembaga "simpanan",
dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank menjadi
bagian harta kekayaan milik bank dan karenanya bank mempunyai
wewenang penuh terhadap dana yang dipercayakan oleh
masyarakat tersebut. Sementara itu dalam lembaga "penitipan",
harta yang dititipkan nasabah tidak menjadi milik bank dan
karenannya ketika bank mengalami kepailitan, harta yang
dititipkan nasabah pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam
harta kepailitan dan bank bertanggung jawab untuk menyimpan
harta milik penitip serta mengembalikannya kepada penitip dalam
wujudnya asal. Di sini jelas sekali, ketentuan hukum perbankan
nasional membedakan antara lembaga "simpanan" dan
"penitipan”, artinya dua lembaga hukum yang tidak sama
konstruksi hukumnya.
Perjanjian penitipan yang dimaksud daiam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 juga masih belum jelas
sebagai fitur lembaga "penitipan barang" sebagaimana diatur
93

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Namun, selama ini


bank-bank di Indonesia dalam memberikan jasa "penitipan"
kepada nasabah dilakukan menurut aturan main dari lembaga
"penitipan barang" sebagaimana dimaksud dalam Kitab, Undang-
Undang Hukum Perdata. (Sutan Remy Sjahdeni, 1993 ; 133 –
134).

D. Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah Peminjam


Dana.
Pemberian kredit merupakan salah satu usaha bank, yang
melahirkan suatu perjanjian antara bank dengan pihak peminjam
(nasabah debitor). Lazirnnya perjanjian antara bank dengan
nasabah peminjam, dinamakan dengan perjanjian kredit (bank)
atau perjanjian (kesepakatan) pinjam-meminjam uang.
Apa itu pengertian perjanjian kredit bank tidak
dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998. Dari pengertian kredit sebagaimana termuat dalam
ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 diketahui, bahwa bentuk hubungan hukum antara
bank dan nasabah peminjam dana adalah kesepakatan pinjam-
meminjam, yang merupakan bagian dari pengertian kredit itu
sendiri. Dipertanyakan, apakah perjanjian kredit bank itu identik
dengan perjanjian pinjam-meminjam (pinjam mengganti)
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
atau merupakan perjanjian tidak bernama yang mempunyai
karakteristik tersendiri.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ternyata
tidak terdapat suatu bentuk hubungan hukum khusus atau lembaga
94

perjanjian khusus yang namanya "Perjanjian Kredit Bank",


Karenanya penetapan mengenai bentuk hubungan hukum antara
bank dan nasabah debitor, yang disebut "Perjanjian Kredit Bank"
itu, harus digali dari sumber-sumber di luar Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.
Sebagaimana dikemukakan di atas, demikian pula Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak merumuskan
pengertian dan konstruksi hubungan hukum dalam pemberian
kredit bank tersebut. Hanya saja dapat diketahui, bahwa kelahiran
pemberian kredit bank itu berdasarkan kepada persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam (uang) antara bank sebagai
kreditor dan pihak lain nasabah peminjam dana sebagai debitor
dalam jangka waktu tertentu, yang telah disetujui atau disepakati
bersama dan pihak peminjam mempunyai kewajiban untuk
melunasi hutangnya tersebut dengan memberikan sejumlah bunga,
imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.
Beberapa pakar hukum kita berpendapat, bahwa perjanjian
kredit bank itu pada hakikatnya merupakan perjanjian pinjam-
meminjam sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1754
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. R. Subekti, menyatakan:
"Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan,
dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah
suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur
dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal
1769"
Kemudian Marhaenis Abdul Hay mengemukakan pendapat
yang sama, bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan
perjanjian pinjam meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab
XIII Buku III KUH Perdata. Pendapat ini dikemukakan beliau
95

lagi dalam bukunya "Hukum Perdata", bahwa pengertian


perjanjian kredit mendekati pada pengertian perjanjian pinjam-
mengganti, sehingga dalam masalah sengketa perjanjian kredit
kita dapat mempergunakan dasar hukum perjanjian pinjam-
mengganti menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Ketentuan umum dalam pinjam-mengganti rnenurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dapat dipergunakan untuk
perjanjian kredit seperti yang dimaksud oleh Undang-undang
Perbankan. Perjanjian kredit merupakan hal yang khusus dari
perjanjian pinjam-mengganti.
Pendapat yang senada dikemukakan pula oleh Mariam
Darus Badrul zaman, yang rnenyatakan, bahwa dari rumusan yang
terdapat di dalam UUP mengenai pengertian kredit, dapat
disimpulkan dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam
meminjam di dalam KUH Perdata Pasal 1754. Perjanjian pinjam-
meminjam ini juga mengandung makna luas yaitu objeknya
adalah benda yang menghabis jika "verbruiklening termasuk di
dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini,
pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan
kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada
pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini
merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya
perjanjian kredit ditentukan oleh "penyerahan" uang oleh bank
kepada nasabah". Namun sebelum beliau berpendapat, bahwa
karena berdasarkan kenyataan perjanjian kredit itu memiliki
identitas sendiri yang berbeda dengan perjanjian pinjam uang atau
pinjam-meminjam.
Akan tetapi pendapat di atas disangkal pakar hukum
lainnya. Djuhaendah Hasan berpendapat, bahwa perjanjian kredit
lebih merupakan perjanjian tidak bernama, karena mengenai
96

perjanjian kredit belum ada pengaturan secara khusus baik dalam


undang-undang maupun Undang-Undang Perbankan. Pengaturan
yang ada tidak mengatur tentang bagaimana bentuk dan isi serta
klausula-klausula yang dapat atau mungkin terdapat dalam
perjanjian kredit yang dibuat antara bank dengan para debitor.
Beliau bahkan berpendapat bahwa perjanjian kredit tidak .tepat
dikatakan dikuasai oleh ketentuan Kitab Undang-undang karena
antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit
terdapat beberapa hal yang berbeda.
Perbedaan dimaksud antara lain:
1. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya
berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam
pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang
yang akan diterima tersebut, sedangkan dalam perjanjian
pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitor
dapat menggunakan uang nya secara bebas.
2. Daiam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi
kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan dan tidak
mungkin diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian
pinjam-meminjam pemberi pinjaman dapat oleh individu.
3. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda
dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-
meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab
XIII Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
sedangkan bagi perjanjian akan berlaku ketentuan dalam
Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam
GBHN, ketentuan umum Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Undang-Undang Perbankan, Paket Kebijaksanaan
Pemerintah dalam Bidang Ekonomi, terutama bidang
Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia, dan sebagainya.
97

4. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian


uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan atau
pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-
meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga ini pun baru
ada apabila diperjanjikan.
5. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan
kemampuan debitor akan pengembalian kredit yang
diformulasikan dalam bentuk jaminan, baik materiil maupun
immateriei. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam
jaminan merupakan pengaman bagi kepastian pelunasan
hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jamina n
ini hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sutan Remy
Sjahdeini, yang menyatakan bahwa perjanjian kredit
bukanlah perjanjian riil sepertinya perjanjian peminjaman
uang, yaitu perjanjian pinjam-mengganti atau pinjam-
meminjam (verbruiklening), yang objek perjanjiannya adalah
uang, melainkan perjanjian konsensual. Terdapat beberapa
ciri yang membedakan perjanjian kredit dengan perjanjian
pinjam-meminjam, yaitu:
a. Sifatnya yang konsensual dari suatu perjanjian kredit bank
itulah yang merupakan ciri pertama yang membedakan dari
perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil. Dengan kata
lain bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian loan of
money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil
maupun konsensual, tetapi bukan perjanjian peminjaman uang
menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian
kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh
tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan
perjanjian yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit
98

ditandatangani oleh bank dan nasabah debitor, nasabah


debitor belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan
kredit. Atau sebaliknya setelah ditandatanganinya kredit oleh
kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi
bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang
diperjanjikan. Hak nasabah debitor untuk dapat menarik atau
kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih tergantung
kepada telah terpenuhinya seluruh syarat yang ditentukan di
dalam perjanjian kredit;
b. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitor tidak
dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan
yang tertentu oleh nasabah debitor, seperti yang dilakukan
oleh peminjam uang (debitor) pada perjanjian peminjaman
uang biasa. Pada perjanjidti kredit, kredit harus digunakan
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan
pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak
kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara
sepihak, maka berarti nasabah debitor bukan merupakan
pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan
perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya
perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang.
Dengan kata lain, perjanjian kredit bank tidak mempunyai ciri
yang sama dengan perjanjian pinjam-meminjam atau pinjam
mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit
bank tidak berlaku ketentuan-ketentuan Bab Ketiga Belas
Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia;
c. Perjanjian kredit bank yang membedakannya dari perjanjian
peminjaman uang ialah mengenai syarat cara penggunaannya.
Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu,
yaitu dengan menggunakan cek atau perintah
99

pemindahbukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan


tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada perjanjian
peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan
seluruhnya oleh kreditor dalam kekuasaan debitor dengan
tidak diisyaratkan bagaimana caranya debitor akan
menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank,
kredit tidak pernah diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan
mutlak nasabah debitor. Kredit selalu diberikan dalam bentuk
rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu
dibawah pengawasan bank.
Sebelumnya pada bagian lainnya dari tulisannya tersebut,
Sutan Remy Sjahdeini merumuskan pengertian perjanjian kredit
itu sebagai berikut:
"Perjanjian kredit ialah perjanjian antara bank sebagai
kreditur dengan nasabah sebagai debitur mangenai
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, yang mewajibkan nasabah debitur untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian has/7
keuntungan".
Berdasarkan uraian di atas, jelas terdapat perbedaan yang
prinsipil antara perjanjian kredit dengan perjanjian pinjam-
meminjam (uang), baik ditilik dari segi pengertian, subjek
pemberi kredit, pengaturan, tujuan dan jaminannya. Karena itu,
maka perjanjian kredit bank tidak identik dengan perjanjian
pinjam-meminjam (uang) sebagaimana dirnaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Perjanjian kredit bank
merupakan perjanjian pendahuluan (vooro-vereenkomst) dari
penyerahan uang yang bersifat konsensual riil dan merupakan
perjanjian tidak bernama (onbeniem de overeentskomst). Namun
100

yang jelas, bahwa perjanjian kredit bank itu lahirnya karena


adanya "persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam" antara
bank dengan pihak lain yang merupakan dasar hubungan hukum
antara bank dan nasabah peminjarn dananya, dengan beberapa
karakter tertentu.
Dilihat dari jenis perjanjian, perjanjian kredit bank
merupakan perjanjian timbal balik, artinya jika pihak dan nasabah
debitor tidak memenuhi isi perjanjian, maka salah satu pihak
dapat menuntut pihak lainnya sesuai dengan jenis prestasinya.
Penyerahan uang dalam perjanjian kredit bank merupakan
perjanjian sepihak, artinya jika pihak tidak merealisasikan
pinjaman uang, maka nasabah debitor tidak dapat menuntut bank
dengan alasan ingkar janji, demikian juga sebaliknya kalau
nasabah debitor tidak mau mengambil pinjaman uang setelah
diberitahukan oleh bank, maka bank tidak dapat menuntut
nasabah debitor.
Dengan demikian bentuk hubungan antara bank dan
nasabah peminjarn dana (debitor) adalah perjanjian kredit bank
yang mempunyai karakteristik tersendiri, berbeda dengan
perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Perbedaannya terletak pada
pengertian, subjek pemberi, tujuan, cara peruntukan dan
jaminannya. Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian
pendahuluan dari penyerahan sejumlah uang yang bersifat
konsensual riil dan merupakan perjanjian tidak bernama. Secara
sederhana dapat diartikan perjanjian kredit bank adalah perjanjian
antara bank sebagai kreditor dengan nasabah peminjam dana
sebagai debitor mengenai penyediaan sejumlah uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan kesepakatan
atau persetujuan pinjam-meminjam, yang mewajibkan nasabah
101

debitor untuk melunasi hutangnya -setelah jangka waktu tertentu


dengan disertai jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.
102

III. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK


A. Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank
Perlindungan hukum terhadap nasabah bank sampai saat
ini masihi menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian
dalam sistem perbankan nasional, dalam rangka memposisikan
masalah bank dalam posisi yang seimbang bila berhadapan
dengan bank.
Kedudukan nasabah selama ini masih dianggap lemah atau
dalam posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-
kasus hukum atau kasus perselisihan antara bnak dengan
nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi
permasalahan teresbut, perbankan bersama-sama dengan
masyarakat memiliki beberapa agenda yang bertujuan untuk
memperkuat perlindungan nasabah (Mahesa jati Kusuma, 2012 ;
73).
Tidak dapat disangkal betapa urgennya perlindungan
hukum terhadap nasabah sebagai pengguna jasa perbankan. Hal
mana disebabkan karena nasabah merupakan merupakan unsur
yang sangat berperan, karena mati hidupnya dunia perbankan
sasngat tergantung pada kepercayaan masyarakat atau nasabah
itu sendiri.
Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat
tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena
itu, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank
tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik.
Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus
sedemikian rupa menjaga percayaan dari masyarakat dengan
memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan
masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang
bersangkutan.
103

Dalam koonteks hubungan hukum antara bank dan


nasabah, maka perlindungan hukum terhadap nasabah adalah
dalam rangka menjamin hak-hak nasabah sebagai konsumen jasa
perbankan. Jaminan perlindungan terhadap hak-hak nasabah
semakin penting untuk diperhatikan mengingat kasus-kasus
kerugian nasabah sering terjadi dalam praktek perbankan,
misalnya saja kasus tidak dapat kembalinya dana milik nasabah
akibat likuidasi bank. Mendapatkan kembali dana yang disimpan
pada bank adalah merupakan hak nasabah yang perlu diberikan
perlindungan hukum.

B. Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Arsitektur Perbankan


Indonesia (API).
Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter
mempunyai peranan yang besar dalam usaha melindungi dan
menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat
tindakan bank yang salah. Sebagai otoritas pengawas industri
perbankan, Bank Indonesia berkepentingan untuk meningkatkan
perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya
dengan bank.
Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak kepada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dalam
pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku
efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen sejak tahun 2001 aspek pengaturan
perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan dan
pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank.
Apabila dilihat dari masa berlaku efektifnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999, yaitu pada tahun 2001, maka sepintas
104

terlihat bahwa Bank Indonesia kurang merespons pemberlakuan


undang-undang tersebut. Namun demikian hal ini bukan berarti
perlindungan dan pemberdayaan nasabah tidak diperhatikan
oleh Bank Indonesia.
Di samping tantangan lainnya, perlindungan terhadap
nasabah merupakan tantangan perbankan nasional yang
berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar
rnasyarakat kita. Oleh karena itu, tantangan untuk menciptakan
standar-standar yang jelas dan mudah dipahami menjadi suatu
hal yang tidak dapat dikesampingkan. Demikian pula, edukasi
pada masyarakat mengenai jasa dan produk yang ditawarkan
oleh perbankan nasional perlu segera diupayakan, sehingga
masyarakat dapat lebih memahami risiko dan keuntungan yang
akan dihadapi dalam menggunakan jasa dan produk perbankan
serta dapat melakukan pengelolaan keuangan secara optimal dan
bijaksana.
Berhubung urgensinya perlindungan terhadap nasabah
tersebut, Bank Indonesia menetapkan upaya pemberdayaan dan
perlindungan konsumen jasa perbankan sebagai salah satu dari
enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yaitu Pilar 6
Perlindungan Nasabah. API merupakan suatu kerangka dasar
sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan
memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk
rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan (2004-2013).
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa
datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai
suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka
membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
105

Guna mempermudah pencapaian visi API sebagaimana


diuraikan di muka, maka ditetapkan beberapa sasaran yang ingin
dicapai, yaitu :
1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong
pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang
efektif dan mengacu pada standar internasional.
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan merniliki
daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam
menghadapi risiko.
4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka
memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung
terciptanya industri perbankan yang sehat.
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa
perbankan.
Keenam sasaran yang ingin dicapai API tersebut
dituangkan kedalam enam Pilar yang saling terkait satu sama
lain guna menunjang pencapaian visi API, yaitu:
1. Struktur Perbankan yang Sehat;
2. Sistem Pengaturan,yang Efektif;
3. Sistem Pengawasan yang Independen dan Efektif;
4. Industri Perbankan yang Kuat;
5. Infrastruktur Pendukung yang Mencukupi;
6. Perlindungan Nasabah.

C. Upaya Perlindungan Hukum Nasabah Bank.


Perlindungan hukum terhadap nasabah bank yang
dimaksud ruang lingkupnya adalah nasabah yang melakukan
106

transaksi dengan bank, baik nasabah penyimpan dana maupun


nasabah peminjam dana. Selain itu, juga termasuk nasabah yang
melakukan transaksi dibidang jasa layanan kartu kredit, transfer
uang, save deposit box, dan juga layanan lainnya.
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah
ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem
perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah
penyimpan dana, dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara,yaitu :
a. Perlindungan secara implisit (Implicit deposit protection),
yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan
pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan
terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang
diperoleh melalui: (1) peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan ol eh
pengawasan dan pembinaan yang elektif, yang dilakukan
oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha
bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan
perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, (4)
memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian
kredit yang tidak merugikan bank dan kcpcntingan nasabah,
dan (7) menyediakan informasi resiko pada nasabah.
b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection),
yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang
menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank
mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan
mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang
gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui
pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat,
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 26
107

Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank


Umum.
Dalam membahas mengenai perlindungan hukum bagi
nasabah penyimpan dana ini, hakikat dari perlindungan hukum
tersebut adalah melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan
dan simpanannya yang disimpan di suatu bank tertentu terhadap
suatu risiko kerugian. Perlindungan hukum ini juga merupakan
upaya untuk mempertahankan dan memelihara kepercayaan
masyarakat khususnya nasabah, maka sudah sepatutnya dunia
perbankan perlu memberikan perlindungan hukum itu.
Perlindungan hukum juga semestinya diupayakan terhadap
nasabah peminjam dana dan nasabah lainnya yang melakukan
transaksi dengan bank dibidang jasa-jasa layanan bank yang
lainnya yang didasarkan pada perjanjian. Umumnya bentuk
perjanjian yang melandasi hubungan nasabah dengan bank
adalah bentuk perjanjian standar (baku) yang dibuat secara
sepihak oleh bank.
Hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan nasabah
dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian dibawah
tangan, maupun perjanjian dengan akte otentik. Dalam kontek
inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk
perlindungan hukum bagi nasabah dengan tidak melemahkan
posisi bank. Hal ini perlu dilakukan antara bank dan nasabah
telah dibakukan dalam bentuk perjanjian baku (standar). (Ronny
Prasetya, 2010 ; 65).
Pelayanan jasa perbankan dalam bidang penerbitan kartu
kredit, bank garansi, transfer uang, penyewaan save deposite
box, penerbitan L/C, dan pelayanan jasa lainnya umumnya
diwujudkan dalam bentuk formulir-formulir baku, yang
108

menunjukkan adanya hubungan perjanjian antara bank dan


nasabah.
Formulir-formulir tersebut seluruhnya dibuat secara
sepihak oleh bank, dan syarat-syarat atau klausul yang ada pada
formulir tersebut seringkali melemahkan posisi nasabah. Focus
perhatian untuk melindungi nasabah sebagai konsumen jasa
perbankan terkait dengan formulir-formulir dimaksud adalah
karena adanya ketidakseimbangan klausul perjanjian antara bank
dan nasabah.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi
nasabah adalah dengan menerbitkan peraturan perundang-
undangan, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Ketentuan Pasal 18 dari Undang-
Undang ini mengatur tentang larangan-larangan pencantuman
klausula baku dan suatu perjanjian standar. Ketentuan Undang-
Undang ini dapat pula diberlakukan bagi hubungan hukum
antara bank dan nasabah.
Fenomena kedudukan pelaku usaha dan konsumen yang
tidak seimbang, dan konsumen berada pada posisi yang lemah
merupakan salah satu faktor lahirnya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 (UUPK). Salah satu latar belakang dari lahirnya
UUPK adalah agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang
antara konsumen dan pelaku usaha berdasarkan kesetaraan
berkontrak (Try Widiyono, 2006 : 69).
Dalam konteks hubungan bank dan nasabah, maka
kehadiran ketentuan pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum
terhadap nasabah bank, melalui kesetaraan berkontrak yang
tertuang dalam perjanjian antara bank dan nasabah. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 mensyaratkan adanya
109

keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku


usaha, sehingga tercipta perekonomian yang sehat, dalam
konteks ini termasuk dalam hubungan antara bank sebagai
pelaku usaha dengan nasabahnya.
110

IV. PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI DASAR HUBUNGAN BANK


DAN NASABAH.
A. Bentuk dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit Bank.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada
ketentuan tentang bagaimana seharusnya bentuk suatu perjanjian,
artinya perjanjian dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian
tertulis dan perjanjian tidak tertulis. Di dalam perjanjian kredit
juga tidak ada ketentuan bahwa perjanjian kredit harus dalam
bentuk tertentu (Djuhaendah Hasan, 1996: 179).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menentukan
pedoman umum bahwa perjanjian harus dibuat dengan kata
sepakat kedua belah pihak. Kata sepakat tersebut dapat berbentuk
isyarat, lisan, dan tertulis. Dalam bentuk tertulis, perjanjian dapat
dilakukan dengan akta di bawah tangan dan akta autentik. Dalam
praktik bank, bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di
bawah tangan dan akta autentik (akta notaris) (Tan Kamello,
2006: 18).
Dalam praktik perbankan, perjanjian kredit pada umumnya
dibuat secara tertulis, karena perjanjian kredit secara tertulis lebih
aman bagi para pihak dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan
bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah
diperjanjikan, dan ini akan merupakan bukti yang kuat dan jelas
apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau
juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank (Djuhaendah
Hasan, 1992 ;12).
Selain itu dasar hukum perjanjian kredit juga dapat
dijumpai dalam:
1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang
Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober
1966 juncto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I
111

Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966 Surat


Edaran Bank Negar Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb.
Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet
Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang
menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit
dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit yang
jelas antara bank dan nasabah atau Bank Sentral dan bank-
bank lainnya. Dan sini jelaslah bahwa dalam memberikan
kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau
akad kreditnya.
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban
Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi
Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah
disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam
perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis (Rachmadi
Usman, 2001: 263-264).
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
tersebut, maka pemberian kredit bank wajib dituangkan dalam
perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta di bawah tangan
maupun dengan akta notariil. Perjanjian kredit di sini berfungsi
sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan dalam pemberian kredit yang
dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank
terjamin dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, sebelum
pemberian kredit bank dilakukan, bank harus sudah memastikan
bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit bank
112

yang bersangkutan telah diselesaikan dan memberikan


perlindungan yang memadai bagi bank.
Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian
kredit yang sudah umum dipergunakan, yaitu ;
1. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta
dibawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat
sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk
disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja
Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian
dalam bentuk standard (standard form) yang isi, syarat-syarat
dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap.
Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank
tersebut termasuk jenis Akta Dibawah Tangan.
Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit,
formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank
kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk
diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan
pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam
formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau
dirundingkan atau di negosiasikan dengan calon Debitur.
Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau
sukarela harus menerima semua persyaratan yang tercantum
dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur
melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal
tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka
Kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi
perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan
oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak
bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur
menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon
113

Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi


lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam
formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui.
Perjanjian kredit yang sudah disiapkan Bank dalam
bentuk standard (standard form), contohnya perjanjian kredit
retail BRI, perjanjian kredit pemilikan rumah Bank Tabungan
Negara (KPR-BTN) dan lain sebagainya.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang
dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan
dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun
dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit
disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk
dirumuskan dalarn akta notariil. Memang Notaris dalam
membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang
diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta
otentik.
Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil
atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam
jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau
panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit
sindikasi. (Sutarno, 2005 : 100-101).

B. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian Standar.


Perjanjian kredit bank merupakan merupakan perjanjian
baku (standard contract), dimana isi atau klausul-klausul
perjanjian kredit bank tersebut telah dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak terikat kepada suatu
bentuk tertentu (vorn vrij). Hal-hal yang berhubungan dengan
ketentuan dan persyaratan perjanjian kredit telah dibakukan
terlebih dahulu oleh pihak perbankan. Calon nasabah debitur
114

tinggal membubuhkan tanda tangannya saja apabila bersedia


menerima isi perjanjian kredit tersebut, dan tidak memberikan
kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan lebih
lanjut isi atau klausul-klausul yang diajukan pihak bank.
Perjanjian kredit bank yang distandarkan ini diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada
tahap ini, kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga
menerima saja ketentuan dan syarat-syarat yang disodorkan pihak
perbankan, karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan
mendapatkan kredit yang dimaksud (bandingkan Rachmadi
Usman, 2001: 265).
Di dalam praktik, perjanjian baku tumbuh sebagai
perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan
hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulang-ulang dan
teratur bisa melibatkan banyak orang atau pihak sehingga
menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu
terlebih dahulu, kemudian dibakukan, sehingga memudahkan
penyediaan setiap saat jika masyarakat membutuhkannya (Ronny
Sautma Bako, 1995: 26).
Perjanjian baku (standar contract) adalah perjanjian yang
ketentuan dan syarat-syarat telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pemakainya dan mengikat
pihak lain. Pihak lain tersebut tidak dapat mengubah atau
melakukan tawar-menawar untuk mengubahnya. Atau dengan
kata lain yang dibakukan di sini adalah klausul-klausulnya yang
merupakan ketentuan dan syarat-syarat perjanjian. Hal-hal yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan
beberapa lainnya yang berkaitan dengan objek yang diperjanjikan
umumnya belum dibakukan (bandingkan Sutan Remy Sjahdeini,
1993: 66).
115

Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh


perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan
sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku
adalah alasan efisiensi dan alasan praktis (Man Suparman
Sastrawidjaja, 2002: 17).
Praktek penggunaan perjanjian standar (baku) dalam
perjanjian kredit bank mengandung kelemahan-kelemahan dan
menempatkan nasabah debitur pada posisi yang tertekan dna
terpaksa menerima syarat-syarat atau klausul-klausul yang ada
dalam perjanjian karena dorongan kebutuhan.
Kelemahan pokok dari perjanjian baku ini karena
kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau
mengubah klausul-klausul dalam perjanjian yang bersangkutan,
sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk menjadi
klausul yang berat sebelah. Faktor-faktor penyebab sering kali
perjanjian baku menjadi sangat berat sebelah tersebut yaitu:
1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi
salah satu pihak untuk melakukan tawar-menawar, sehingga
pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian tidak banyak
kesempatan untuk mengetahui isi perjanjian tersebut, apalagi
ada perjanjian yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat
kecil;
2. Karena penyusunan perjanjian yang sepihak, pihak penyedia
dokumen biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk
memikirkan mengenai klausul-klausul dalam dokumen
tersebut bahkan mungkin saja sudah berkonsultasi dengan para
ahli, atau dokumen tersebut justru dibuat oleh para ahli,
sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak
banyak kesempatan, dan seringkali tidak familiar dengan
klausul-klausul tersebut;
116

3. Pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku menempati


kedudukan yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat
bersikap take it or leave it (Munir Fuady, 2003: 78).

C. Perumusan Substansi Perjanjian Kredit Bank.


Seorang petugas bank yang bekerja di unit pemberian
kredit harus mampu mempersiapkan syarat-syarat yang sekaligus
mengetahui cara komposisi, susunan dan isi perjajian kredit, agar
perjanjian itu kuat dan sah secara hukum sehingga dapat
mengamankan kepentingan bank karena perjanjian kredit
merupakan ikatan atau bukti antara bank dengan debiturnya, maka
harus disusun yang sedemikian rupa agar setiap orang mudah
mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan formulir
perjanjian kredit.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya sesuai dengan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995, bahwa setiap pemberian kredit harus
dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Bentuk dan
formatnya diserahkan kepada masing-masing bank untuk
menetapkan, namun minimal harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut.
1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat
melindungi kepentingan bank.
2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali
kredit, serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit
dimaksud.
Susunan sebuah perjanjian kredit bank pada umumnya meliputi:
117

1. Judul
Dalam industri perbankan masih belum terdapat kesepakatan
tentang judul atau penamaan perjanjian kredit bank ini, ada
yang menamakan dengan perjanjian kredit, surat pengakuan
utang, persetujuan pinjam uang, dan lain-lain. Judul di sini
berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat tersebut,
setidaknya kita akan mengetahui bahwa akta atau surat itu
merupakan perjanjian kredit bank.
2. Komparisi
Sebelum memasuki substantif perjanjian kredit bank, terlebih
dahulu diawali dengan kalimat komparisi yang berisikan
identitas, dasar hukum, dan kedudukan para pihak yang akan
mengadakan perjanjian kredit bank. Di sini menjelaskan
sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan
subjek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian redit
bank akan dianggap sah bila ditandatangani oleh subjek
hukum yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
yang demikian itu.
3. Substantif
Sebuah perjanjian kredit bank berisikan sejumlah klausula
yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit,
minimal harus memuat hal-hal yang berkaitan dengan batas
maksimum kredit, bunga dan denda, jangka waktu kredit, cara
pembayaran kembali kredit, agunan kredit, opeinsbaar clause,
dan pilihan hukum serta penyelesaian sengketa (bandingkan
Rachmadi Usman, 2001: 267-268).
Perjanjian kredit bank yang baik, seyogianya minimal
berisi klausula-klausula sebagai berikut:
1. Klausul-klausul tentang maksimum kredit, jangka waktu
kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik;
118

2. Klausul-klausul tentang bunga, commitment fee, dan denda


kelebihan tarik;
3. Klausul tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas
rekening giro dan rekening pinjarnan nasabah debitur;
4. Klausul tentang representations and warranties, yaitu klausul
yang berisi pernyataan-pernyataan nasabah debitur mengenai
fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan
keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu
kredit diberikan yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank
dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit
tersebut;
5. Klausul tentang conditions precedent, yaitu klausul tentang
syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu
oleh nasabah debitur sebelum bank berkewajiban untuk
menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah debitur
berhak untuk pertamakalinya menggunakan kredit tersebut;
6. Klausul tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang
agunan;
7. Klausul tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit
yang bersano kutan;
8. Klausul tentang affirmative covenants, yaitu klausul yang
berisi janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal
tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku;
9. Klausul tentang negative covenants, yaitu klausul yang berisi
janji-janji nasabah debitur untuk tidak melakukan hal-hal
tertentu selama perjanjian kredit berlaku;
10. Klausul tentang financial covenants, yaitu klausul yang berisi
nasabah debitur untuk menyampaikan laporan keuangannya
119

kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada


minimal taraf tertentu;
11. Klausul tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam
rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan, dan
penyelesaian kredit;
12. Klausul tentang events of default, yaitu klausul yang
menentukan suatu peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang
apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara
sepihak mengakhiri perjanjian kredit, dan untuk seketika dan
sekaligus menagih seluruh outstanding kredit;
13. Klausul tentang arbitrase, yaitu klausul yang mengatur
mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan
di antara para pihak melalui suatu badan arbitrase, baik badan
arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional;
14. Klausula-klausula bunga rampai atau miscellaneous provisions
atau boilerplate provisions, yaitu klausul-klausul yang berisi
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung
secara khusns di dalam klausul-klausul lain; termasuk di
dalam klausul-klausul ini adalah klausul yang disebut Pasal
Tambahan, yaitu klausul yang berisi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan tambahanya belum diatur di dalam pasal-
pasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
khusus yang dimaksudkan sebagai syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang menyimpang syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam
perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku (Sutan
Remy Sjahdeini, 1993: 178-179).
120

V. JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT


A. Istilah dan Pengertian Jaminan.
Istilah "jaminan" merupakan terjemahan dan istilah
zekerhcid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi
atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan
dengan cara menahan benda tertentu yang bemilai ekonomis
sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima
debitur terhadap kreditornya.
Dalam perspektif hukum perbankan, istilah "jaminan" ini
dibedakan dengan istilah "agunan". Di bawah Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, tidak
dikenal istilah "agunan", yang ada istilah "jaminan". Sementara
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, memberikan pengertian yang tidak sama dengan
istilah "jaminan" menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1967.
Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1967 diberi istilah "agunan" atau "tanggungan", sedangkan
"jaminan" menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, diberi arti lain, yaitu "keyakinan atas iktikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan diperjanjikan".
Sehubungan dengan itu, Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan
sebagai berikut:
121

Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian


kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam
arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan
diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan
tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian yang saksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
Nasabah Debitur.
Adapun istilah "agunan", ketentuan dalam Pasal 1 angka 23
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diartikan sebagai
berikut:
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan
nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah.
Dengan demikian berarti, istilah "agunan" sebagai terjemahan
dari istilah collateral merupakan bagian dari istilah "jaminan"
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
Artinya pengertian "jamim," lebih luas daripada pengertian
"agunan", di mana agunan berkaitan dengan "barang", sementara
"jaminan" tidak hanya berkaitan dengan "barang", tetap berkaitan
pula dengan character, capacity, capital dan condition of
economy dari nasabah debitur yang bersangkutan.
Dalam era Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, industri
perbankan Indonesia sangat collateral oriented. Hal ini
disebabkan oleh ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 secara tandas menentukan bahwa Bank
122

Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapa pun


juga. Ketentuan Pasal ini telah menciptakan orientasi bank yang
bukan lebih mengutamakan feasibility dari proyek atau usaha
nasabah tetapi lebih mengutamakan kecukupan agunan.
Seringkali proyek atau usaha-usaha yang feasible ditolak
permohonan kreditnya hanya karena calon nasabah debitor tidak
menyediakan agunan (tambahan) yang cukup. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, ingin mengubah orientasi bank
ini. Bahkan memberikan kelonggaran kepada nasabah dalam
hubungannya dengan kesulitan nasabah untuk dapat menyerahkan
agunan. Sekalipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tidak lagi collateral oriented, namun praktik
perbankan tampaknya masih belum mengubah orientasinya (Sutan
Remy Sjahdeini, 1993: 21-22).

B. Persyaratan Dan Kegunaan Jaminan


Untuk menanggung atau menjamin pembayaran atau
pelunasan utang tertentu, debitur umumnya diwajibkan
menyediakan jaminan berupa agunan (kebendaan tertentu) yang
dapat dinilai dengan uang, berkualitas tinggi, dan mudah
dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah utang yang
diberikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bila pihak
perbankan dan lembaga keuangan lainnya atau bahkan
perseorangan meminta kebendaan jaminan dengan maksud jika
debitur tidak dapat melunasi utangnya atau dinyatakan pailit,
maka kebendaan jaminan tersebut dapat dicairkan atau diuangkan
guna menutupi pelunasan atau pengembalian utang yang tersisa.
Ini berarti, bahwa tidak semua kebendaan atau hak-hak (piutang-
123

piutang) dapat dijadikan sebagai jaminan utang, terkecuali


kebendaan jaminan yang bersangkutan telah memenuhi
persyaratan untuk dijadikan sebagai jaminan utang.
Dalam hal ini yang dijamin selalu pemenuhan suatu
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Realisasi penjaminan
ini juga selalu berupa menguangkan benda-benda jaminan dan
mengambil dari hasil penguangan benda jaminan itu apa yang
menjadi hak pihak yang mengutangkan (kreditor). Oleh karena
itu, barang yang dapat dijadikan jaminan haruslah suatu benda
atau suatu hak yang dapat dinilaikan ke dalam uang. Untuk
menguangkan benda jaminan perlu bahwa benda itu dialihkan
kepada pihak lain. Oleh karena itu, juga barang yang dapat
dijadikan jaminan haruslah benda atau hak yang boleh dialihkan
kepada orang lain (R. Subekti, 1981:24).
Karena lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan
dari mengamankan pemberian kredit, jaminan yang baik (ideal)
itu adalah:
a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh
pihak yang memerlukannya;
b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit
untuk melakukan (meneruskan) usahanya;
c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam
arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk
dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk
melunasi utangnya si penerima (pengambil) kredit (R. Subekti,
1978: 31-32 dan R. Subekti, 1991: 19).
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebendaan
jaminan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan
sekaligus kepastian hukum, baik kepada kreditor maupun kepada
debitur. Bagi kreditor, dengan diikatnya suatu utang dengan
124

kebendaan jaminan, hal itu akan memberikan kepastian hukum


jaminan pelunasan utang debitur seandainya debiturnya
wanprestasi atau dinyatakan pailit. Kebendaan jaminan akan
memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak perbankan
dan lembaga keuangan lainnya atau perseorangan bahwa utang
debitur (piutang kreditor) beserta dengan bunganya akan tetap
kembali dengan cara menguangkan kebendaan jaminan utang
yang bersangkutan.
Sebaliknya bagi debitur, hal ini akan menjamin ketenangan
dan kepastian dalam berusaha. Karena dengan modal yang
dimilikinya debitur yang bersangkutan dapat mengembangkan
bisnis atau usahanya lebih lanjut. Seandainya debitur tidak
mampu melunasi utang dan bunganya, maka pihak kreditor dapat
melakukan eksekusi terhadap objek jaminan untuk diuangkan.
Oleh karena itu, umumnya nilai kebendaan jaminan harus lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai utangnya (bandingkan Salim
HS, 2004: 28-29).
Adapun kegunaan kebendaan jaminan tersebut, untuk:
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditor untuk
mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan
cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian;
b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk
membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk
meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri
sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-
kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat
diperkecil;
c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi
janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai
125

dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau


pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan
yang telah dijaminkan (Bank Indonesia, 1994: 3 dan Thomas
Suyatno, et.al., 1995: 88).

C. Pembedaan dan Jenis-Jenis Jaminan.


Mengenai lembaga jaminan, ketentuan dalam Pasal 1131
KUH Perdata menyatakan:
Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.
Kemudian dalam Pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan:
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi
semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang
masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang
itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132
KUH Perdata, dapat diketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan
berdasarkan sifatnya, yaitu;
1) Hak jaminan yang bersifat umum;
2) Hak jaminan yang bersifat khusus.
Jaminan yang bersifat umum ditujukan kepada seluruh
kreditor dan mengenai segala kebendaan debitur. Setiap kreditor
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan utang
dan hasil pendapatan penjualan segala kebendaan yang dipunyai
debitur. Dalam hak jaminan yang bersifat umum ini semua
kreditornya mempunyai kedudukan yang sama terhadap
126

kreditorlain (kreditor konkuren), tidak ada kreditor yang


diutamakan, diistimewakan dari kreditor lain. Para kreditor
tersebut tidak mendapatkan hak preferensi. Karenanya pelunasan
utang mereka dibagi secara "seimbang" berdasarkan besar
kecilnya jumlah tagihan dari masing-masing kreditor
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan utang debitur. Hak
jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan, atau timbul karena
undang-undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum, tidak
perlu diperjanjikan sebelumnya. Ini berarti, kreditor konkuren
secara bersamaan memperoleh hak jaminan yang bersifat umum
dikarenakan oleh undang-undang. (Rachmadi Usman, 2005 : 73-
74).
Karena jaminan umum menyangkut seluruh harta benda
debitur, ketentuan dalam Pasal 1131 KUH Perdata tersebut dapat
menimbulkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bahwa
kebendaan tersebut sudah cukup memberikan jaminan kepada
kreditor jika kekayaan debitur paling sedikit (minimal) sama
ataupun melebihi jumlah utang-utangnya artinya hasil bersih
penjualan harta kekayaan debitur dapat menutupi atau memenuhi
seluruh utang-utangnya, sehingga semua kreditor akan menerima
pelunasan piutang masing-masing karena pada prinsipnya semua
kekayaan debitur dapat dijadikan pelunasan utang. Kemudian
kemungkinan kedua, bahwa harta benda debitur tidak cukup
memberikan jaminan kepada kreditor dalam hal nilai kekayaan
debitur itu kurang dan jumlah utangnya atau bila pasivanya
melebihi aktivanya. Hal ini dapat terjadi mungkin karena harta
kekayaannya menjadi berkurang nilainya atau apabila harta
kekayaan debitur dijual kepada pihak ketiga sementara utangnya
belum dibayar lunas. Atau dapat juga terjadi ada lebih dari
seorang kreditor melaksanakan eksekusi, sementara nilai
127

kekayaan debitur hanya cukup untuk menutupi satu piutang


kreditor. Jika hanya ada satu kredilor saja, ia dapat melaksanakan
eksekusi atas kekayaan debitur secara bertahap sampai
piutangnya terlunasi semuanya atau sampai harta benda debitur
habis terjual (Frieda Husni Hasbullah, 2002: 8-9).
Dalam praktik perkreditan, jaminan umum ini tidak
memuaskan bagi kreditor, karena kurang menimbulkan rasa aman
dan terjamin bagi kredit yang diberikan (Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, 1980: 45). Dengan jaminan umum tersebut, kreditor
tidak mengetahui secara persis berapa jumlah harta kekayaan
debitur yang ada sekarang dan yang akan ada di kemudian hari,
serta kepada siapa saja debitur itu berutang, sehingga khawatir
hasil penjualan harta kekayaan debitur nantinya tidak cukup
untuk melunasi utang-utangnya (Gatot Supramono, 1995: 59).
Untuk itu, kreditor memerlukan adanya benda-benda tertentu
yang ditunjuk bagi kredit atau pinjaman tersebut. Dengan lain
perkataan memerlukan adanya jaminan yang dikhususkan
baginya, baik yang bersifat kebendaan maupun perseorangan (Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980: 45-46).
Agar seorang kreditor mempunyai kedudukan yang lebih
baik dibandingkan kreditor konkuren, utang kreditor dapat diikat
dengan hak jaminan yang bersifat khusus, sehingga kreditornya
memiliki hak preferensi dalam pelunasan piutangnya. Apabila
kita perhatikan klausul terakhir dari ketentuan dalam Pasal 1132
KUH Perdata, yaitu kata-kata "....., kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan",
maka memberikan kemungkinan sebagai pengecualian adanya
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor. Adapun kreditor yang diutamakan tersebut,
128

yaitu kreditor yang mempunyai hak jaminan yang bersifat khusus,


dinamakan pula kreditor preferent.

D. Bentuk dan Sifat Perjanjian Jaminan.


Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam
bentuk lisan dan tertulis. Perjanjian pembebanan dalam bentuk
lisan, biasanya dilakukan dalam kehidupan masyarakat pedesaan,
masyarakat yang satu membutuhkan pinjaman uang kepada
masyarakat, yang ekonominya lebih tinggi. Biasanya pinjaman itu
cukup dilakukan secara lisan. Seseorang yang ingin mendapatkan
pinjaman cukup menyerahkan surat tanahnya. Setelah surat tanah
diserahkan, maka uang pinjaman diserahkan oleh kreditor kepada
debitur. Sejak terjadinya konsensus kedua belah pihak, sejak saat
itulah terjadinya perjanjian pembebanan jaminan. Adapun
perjanjian pembebanan jaminan dalam bentuk tertulis, biasanya
dilakukan dalam dunia perbankan, lembaga keuangan nonbank
maupun lembaga pegadaian (Salim HS, 2004: 30-31).
Apabila perjanjian pembebanan jaminan dilakukan dalam
bentuk tertulis, maka bisa dilakukan dengan menggunakan akta di
bawah tangan dan akta autentik. Akta di bawah tangan adalah
suatu akta yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak saja
dengan tanpa bantuan seorang pejabat umum atau akta yang
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang tidak berwenang.
Sementara itu, akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh
atau di hadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk it u,
seperti notaris, di mana bentuk aktanya juga telah ditentukan oleh
undang-undang.
Biasanya perjanjian pembebanan jaminan dengan
menggunakan akta di bawah tangan dilakukan pada lembaga
pegadaian. Bentuk, isi, dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh
129

Perum Pegadaian secara sepihak, sedangkan nasabah tinggal


menyetujui isi dari perjanjian tersebut. Hal-hal yang kosong
dalam Surat Bukti Kredit (SBK) meliputi nama, alamat, barang
jaminan, jumlah taksiran, jumlah pinjaman, tanggal kredit dan
tanggal jatuh tempo (Salim MS, 2004:31).
Bagi perjanjian pembebanan jaminan lainnya disyaratkan
atau diharuskan dengan menggunakan akta autentik, bila tidak
menggunakan akta autentik, diancam dengan kebatalan demi
hukum. Dengan sendirinya pemberian pembebanan jaminannya
harus dilakukan di muka dan di hadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu. Pada umumnya Notaris yang menjadi
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi
pejabat umum lainnya, seperti di antaranya Pejabat Pembuat Akta
Tanah; Pejabat Pendaftar dan Balik nama Kapal; pegawai
pencatatan sipil; polisi sebagai penyidik; hakim, panitera, dan
juru sita pada pengadilan.
Adapun pembebanan perjanjian lembaga hak jaminan
lainnya yang diwajibkan atau diharuskan dilakukan dengan akta
autentik, yaitu :
1. Akta Hipotek Kapal untuk pembebanan perjanjian jaminan
hipotek kapal, yang dibuat oleh Pejabat Pendaftar dan
Pencatat Balik nama Kapal;
2. Surat Kuasa Membebankan Hipotek (SKMH), yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris;
3. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
4. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), yang
dibuat oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;
5. Akta Jaminan Fidusia (AJF), -yang dibuat oleh Notaris.
130

Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya


perjanjian pendahuluan atau pokok yang mendahuluinya.
Karenanya perjanjian jaminan merupakan perjanjian asesor
(accessoir), tambahan, atau ikutan. Sebagai perjanjian asesor,
eksistensi perjanjian jaminan ditentukan oleh ada dan hapusnya
perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokoknya. Pada umumnya
biasanya perjanjian pendahuluan ini berupa perjanjian utang
piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit, atau
perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang
piutang. Kehadirannya perjanjian utang piutang tersebut menjadi
dasar timbulnya perjanjian jaminan, atau sebaliknya dengan
berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian
jaminannya. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula
antara debitur dan kreditor bahwa pinjamannya tersebut dibebani
pula dengan suatu jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan
pengikatan jaminan, yang dapat berupa pengikatan jaminan
kebendaan atau jaminan perseorangan.
Perjanjian jaminan sebagai perjanjian asesor juga terlihat
dalam ketentuan perjanjian jaminan di Inggris atau juga di
Amerika dalam ketentuan mortgage, yaitu bahwa mortgage selalu
dikaitkan kepada perjanjian yang berkaitan dengan suatu
pinjaman (loan) (Djuhaendah Hasan, 1996: 236).
Sifat asesor dari hak jaminan tersebut dapat menimbulkan
akibat hukum tertentu, sebagai berikut:
1. Ada dan hapusnya perjanjian jaminan itu tergantung dan
ditentukan oleh perjanjian pendahuluannya;
2. Bila perjanjian pendahuluannya batal, maka dengan sendirinya
perjanjia jaminan sebagai perjanjian tambahan juga menjadi
batal;
131

3. Bila perjanjian pendahuluannya beralih atau dialihkan, maka


dengan sendirinya perjanjian jaminan ikut beralih;
4. Bila perjanjian pendahuluannya beralih karena cessie,
subrogatie, maka perjanjian jaminan ikut beralih tanpa
penyerahan khusus;
5. Bila perjanjian jaminannya berakhir atau hapus, maka
perjanjian pendahuh tidak dengan sendirinya berakhir atau
hapus pula (bandingkan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
1980: 37 dan Frieda Husni Hasbullah, 2002: 6-7).
Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian ja minan
amat tergantung kepada perjanjian pendahuluannya yang menjadi
dasar timbulnya pengikatan jaminan. Artinya perjanjian jaminan
dimaksudkan untuk mengubah keduduka kreditor-kreditornya
menjadi kreditor yang preferent, sehingga kreditor (pemberi
pinjaman) akan merasa aman dan memperoleh kepastian hukum
atas pelunasan pinjaman yang diberikan olehnya kepada debitur,
karena diikuti dengan diperjanjikan pembenan jaminan oleh
debitur kepada kreditornya. Untuk itulah dikatakan bahwa
perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan dan perjanjian
pendahuluannya, yaitu perjanjian yang akan lebih memperkuat
perjanjian pendahuluannya. (Rachmadi Usman, 2009; 86 – 87).
132

VI. PENYELAMATAN DAN PENYELESAIAN KREDIT MACET


A. Kriteria dan Faktor Penyebab Krerdit Macet
Kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan
asset bank. Kredit merupakan risk asset bagi Bank karena
asset bank itu dikuasai oleh pihak luar bank yaitu
para debitur. Setiap bank menginginkan dan berusaha
keras agar kualitas risk asset ini sehat dalam arti
produktif dan collectable. Namun kredit yang diberikan
kepada para debitur selalu ada resiko berupa kredit tidak dapat
kembali tepat pada waktunya yang dinamakan kredit ber masalah
atau Non Performing Loan (NPL). Kredit bermasalah selalu
ada dalam kegiatan perkreditan bank karena bank tidak
mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank
hanya berusaha menekan semimmal mungkin besarnya kredit
bermasalah agar tidak melebihi ketentuan bank Indonesia
sebagai pengawas perbankan. Bank Indonesia melalui Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 31/147/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 memberikan penggolongan mengenai
kualitas kredit apakah kredit yang dibenkan Bank termasuk
kredit performing loan (tidak bermasalah) atau kredit
bermasalah (non performing loan) kualitas dapat digolongkan
sebagai benkut :
a. Lancar.
b. Dalam Perhatian Khusus
c. Kurang Lancar
d. Diragukan, dan
e. Macet
Untuk menentukan kualitas kredit, apakah masuk
kategori lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar,
diragukan, atau macet, bisa dilihat dari segi kemampuan
133

bayarnya. Menilai kemampuan membayar lebih mudah karena


jelas kntena atau ukurannya, yaitu :
a. Kredit digolongkan lancar jika pembayaran tepat waktu,
perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta
sesuai perjanjian kredit.
b. Kredit digolongkan Dalam Perhatian Khusus, jika
terdapat tunggakan pembayaran pokok atau bunga sampai
dengan 90 hari (3 bulan).
c. Kredit digolongkan Kurang Lancar jika terdapat
tunggakan pembyaran pokok dan atau bunga yang telah
melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari (6 bulan).
d. Kredit digolongkan Diragukan jika terdapat tunggakan
pembayaran pokok dan atau bunga yang telah
melampaui 180 hari sampai dengan 270 ban (9 bulan).
e. Kredit digolongkan Macet jika terdapat tunggakan pokok
dan/atau bunga yang telah melampaui 270 ban (9 bulan lebih).
Untuk menghindarkan kredil bermasalah atau non
performing loan, Bank sebenarnya telah melakukan pengamanan
prventif dengan melakukan analisa yang mendalam terhadap
usaha dan penghasilan serta kemampuan debitur. Analisa
dan aspek hukum juga telah dilakukan misalnya legalitas
Debitur, legalitas usaha debitur, kewenangan orang bertindak
mewakili perusahaan, keabsahan hukum dari barang yang menjadi
agunan, penjamin/borgtocht dan pemantauan dan pengawasan
secara terus-menerus. Meskipun pengamanan preventif telah
dilakukan narnun tidak jarang, debitur tidak mampu
menyelesaikan hutangnya tepat pada waktunya sesuai perjanjian
kredit sehingga menjadi kredit bermasalah. Banyak penyebab
kredit bermasalah misalnya karena debitor tidak mampu atau
karena mengalami kemerosotan usaha dan gagalnya usaha yang
134

mengakibatkan berkurangnya pendapatan usaha debitur atau


memang debitur sengaja tidak mau membayar karena karakter
debitur tidak baik.
Kredit bermasalah (kredit macet) yang ada pada suatu
bank disebabkan oleh banyak faktor, yaitu :
1. Prosedur Pemberian Kredit.
a. Kebijakan pemberian kredit yang terlaiu eksepansif.
Peningkatan penghimpunan dana pihak ketiga yang cukup
cepat telah menyebabkan beberapa bank melakukan
ekspansi kredit yang melebihi tingkat yang wajar. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadinya kerugian apabila
dana yang dihimpun tersebut tidak ditanamkan. Pemberian
kredit yang ekspansif sering kali mengabaikan asas
pemberian kredit yang sehat, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
b. Minimnya data informasi calon debitur.
Minimnya informasi mengenai data-data calon debitur baik
dari lingkungan bank itu sendiri maupun informasi-
informasi yang menyangkul kegiatan usaha nasabah yang
bersangkutan akan mengakibatkan analisa pemutusan kredit
didasarkan pada informasi-informasi yang tidak lengkap
hingga mengakibatkan kcputusan yang salah.
c. Penyimpangan dalam prosedur pemberian kredit.
Pada umumnya bank telah memiliki pedoman dan tata cara
pemberian kredit. namun dalam pelaksanaannya seringkali
tidak dilaksanakan secara benar. Penyimpangan terhadap
prosedur atau kebijakan dalam pemberian kredit, pada
umumnya bukan semata-mata disebabkan karena kurangnya
tenaga yang berkuaiitas di bidang perkreditan tetapi sering
kali disebabkan adanya dominasi pemutusan kredit oleh
135

pejabat tertentu pada bank yang bersangkutan. Khusus pada


bank swasta seringkali campur tangan pemilik sangat
dominan dalam hal pemutusan kredit, sehingga tidak
menghiraukan prinsip kehati-hatian dan azas pemberian
kredit yang sehat.
d. Itikad kurang baik dari pemilik/pengurus dan pegawai bank.
Sebagai penyebab lain dari terjadinya kredit bermasalah
adalah adanya itikad yang kurang baik dari
pemilik/pengurus dan pegawai bank. Praktek yang biasanya
terjadi adalah pemberian kredit kepada debitur yang
usahanya sebenarnya tidak layak untuk diberi kredit (tidak
A bankable) tetapi dengan rekayasa sedemikian rupa
akhirnya kredit diberikan kepada debitur tersebut. Kegiatan
usaha yang tidak bankable itu antara lain kegiatan-kegiatan
yang kurang jelas tujuannya selain tidak jeias debiturnya
(debitur fiktif) dimana pengguna dana yang sebenarnya
adalah berbeda dengan yang tercantum pada bukti-bukti
yang ada.

2. Pengelolaan Kredit
a. Kurangnya kemampuan teknis para pengelola kredit.
Kurangnya kemampuan teknis para pengelola kredit dalam
melakukan anahsa terhadap keadaan keuangan dan prospek
usaha debitur telah menghasilkan keputusan-keputusan
yang salah sehingga mengakibatkan kegagalan dalam
mengelola perkreditan.
b. Analisa terhadap kebutuhan kredit debitur.
Ketidakmampuan pengelola kredit dalarn memberikan
kredit dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan, baik ditmjau
136

dan jumlahnya maupun dan saatnya/timingnya, mungkin


pembenan kredit terlalu lambat atau terlalu cepat
c. Lemahnya Sistem informasi kredit.
Dalam kasus ini, bank seringkali cenderung melaporkan
gambaran perkreditan yang lebih baik dan pada keadaan
yang sebenarnya kepada Bank Indonesia, antara lain dengan
tujuan untuk mendapatkan pemlaian kesehatan yang lebih
baik keadaan ini sesungguhnya justru akan menyulitkan
bank yang bersangkutan, karena bank tidak akan memiliki
informasi yang akurat mengenai kredit bermasalah yang
sebenarnya, sehingga bank tidak dapat mengambil langkah-
langkah pencegahan secara dini untuk mengatasinya.
d. Konsentrasi kredit kepada pihak terkait.
Pemberian kredit lebih banyak disalurkan kepada grup
usaha milik pihak-pihak yang terkait dengan bank, seperti
milik para pemegang saham, pengurus bank maupun yang
mempunyai hubungan saudara dengan para pihak tersebut.
Dalam pernberian kredit kepada pihak terkait ini
biasanya diikuti dengan pelanggaran terhadap Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)

3. Admmistrasi dan Pengawasan Kredit.


Sistem administrasi dan pengawasan kredit yang lemah
menyebabkan pemantaua terhadap performance kredit tidak
dapat dilaksanakan sebagannana mestinya. Dengan demikian,
permasalahan yang dapat menimbulkan kredit bermasalah
seperti terjadinya tunggakan angsuran pokok dan bunga serta
permasalahan lainnya yang berkaitan dengan usaha debitur
tidak dapat terdeteksi secara dini, sehingga pada gilirannya
137

akan menyebabkan terjadinya kredit bermasalah dan atau


kredit macet.

4. Pengaruh Ekstern.
Penyebab kredit bermasalah dan atau kredit macet yang
dapat dikatagorikan sebagai faktor ekstern antara lain adalah :
a. Kegagalan usaha debitur :
Kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang terdapat dalam lingkungan usaha debitur, yaitu
dapat berupa kegagalan produksi, distribusi, pemasaran
maupun regulasi terhadap suatu industri. Namun
demikian, sebenarnya faktor tersebut dapat diantisipasi
secara dini apabila analisa terhadap calon debitur
dilakukan secara akurat dan dengan memperhitungkan
kelayakan usaha dimasa yang akan datang termasuk
didalamnya faktor dan kejenuhan usaha juga turut
diperhatikan.
b. Menurunnya kegiatan ekonorni dan tingginya suku bunga.
Terjadinya krisis moneter seperti sekarang mempunyai
dampak yang luas terhadap seluruh sektor kehidupan
masyarakat tidak terkecuali terhadap kegiatan ekonomi
terutama pada sektor-sektor usaha. Disamping tingginya
bunga sebagai akibat dari ketatnya likuiditas di pasar uang
antar bank telah menyebabkan bank terpaksa melakukan
penyesuaian terhadap tingkat suku bunga kredit. Faktor-
faktor tersebut dikemudian hari akan dapat menjadi salah
satu penyebab kesulitan debitur untuk memenuhi
kewajibannya kepada bank
138

c. Musibah yang terjadi pada debitur atau kegiatan usahanya


Beberapa kredit bermasalah disebabkan karena debitur
tertimpa musibah, seperti debitur meninggal dunia,
kebakaran pada tempat usahanya/pabrik, sementara debitur
atau bank tidak melakukan pengamanan melalui penutupan
asuransi.
d. Pemanfaatan iklim persamgan perbankan yang tidak
sehat oleh debitur.
Adanya iklim persaingan perbankan yang ketat
seringkali dimanfaatkan oleh beberapa debitur dengan
cara tertentu sehingga mendorong bank untuk
mengabaikan prinsip-prinsip pemberian kredit yang
sehat dengan menawarkan persyaratan kredit yang
lebih ringan dan dalam jumlah yang besar. Pada
akhirnya, pemberian kredit yang berlebihan tersebut
dapat mendorong debitur yang bersangkutan untuk
menggunakan kelebihan dananya bagi tujuan lain yang
bersifat spekulatif.

B. Penyelamatan Kredit Macet


Tindakan bank dalam usaha menyelematkan dan
menyelesaikan kredit bermasalah akan beraneka ragam tergantung
pada kondisi kredit bermasalah itu. Misalnya apakah debitur
kooperatif dalam usaha menyelesaikan kredit bermasalah itu. Bila
debitur kooperatif dalam mencari solusi penyelesaian kredit
bermasalah dan usaha debitur masih memiliki prospek maka
dilakukan restrukturisasi kredit. Sebaliknya bagi debitur yang
memiliki etikad tidak baik (tidak kooperatif) untuk penyelesaian
kredit akan tergantung kuat tidaknya dari aspek hukum perjanjian
kredit, pengikatan barang jaminan, kondisi fisik jaminan dan nilai
139

jaminan karena jaminan inilah satu-satunya sumber pengembalian


kredit. Bagi debitur yang beretikad tidak baik dan dari aspek
hukum kuat maka tindakan hukum merupakan pilihan yang tidak
dapat dihindarkan. Untuk menyelesaikan kredit bermasalah (non
performing loan) ada dua strategi yang dapat ditempuh yaitu ;
penyelamatan kredit macet dan penyelesaian kredit macet.
Penyelamatan adalah suatu langkah penyelesaian kredit
bermasalah (kredit macet) mclalui perun'dingan kembali antara
kreditur dan debitur dengan memperingan syarat-syarat
pengembalian kredit sehingga dengan memperingan syarat-syarat
pengembalian kredit tersebut diharapkan debitur memiliki
kemampuan kembali untuk menyelesaikan kredit itu. Jadi tahap
penyelamatan kredit ini belum memanfaatkan lembaga hukum,
karena debitur masih kooperatif dan dari prospek usaha masih
feasible. Penyelesaian kredit melalui tahap penyelamatan kredit
ini dinamakan penyelesaian melalui restrukturisasi kredit.
Langkah penyelesaian melalui restrukturisasi kredit ini diperlukan
syarat yang paling utama yaitu adanya kemauan dan itikad baik
dan kooperatif dari debitur serta bersedia mengkuti syarat-syarat
yang ditentukan bank, karena penyelesaian kredit melalui
restrukturisasi lebih banyak negosiasi dan solusi yang
ditawarkan bank untuk menentukan syarat dan ketentuan
restrukturisasi. Langkah yang ditempuh bank dalam upaya
penyelamatan kredit ini adalah berupa :
1. Penjadwalan Kembali (Reschedulling)
a. Memperpanjang jangka waktu kredit.
Dalam hal ini debitur diberi keringanan dalam masalah
jangka waktu kredit misalnya perpanjangan jangka waktu
kredit dari 6 bulan menjadi 1 tahun, sehingga debitur
140

mempunyai waktu yang lebih lama untuk


mengembalikannya.
b. Memperpanjang jangka waktu angsuran kredit.
Memperpanjang jangka waktu angsuran hampir sama
dengan jangka waktu kredit. Dalam hal ini jangka waktu
angsuran kreditnya diperpanjang, pembayarannyapun
misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali dan hal ini
tentu saja jumlah angsuranpun menjadi mengecil seiring
dengan penambahan jumlah angsuran.

2. Penyesuaian Kembali (Reconditioning)


Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada
seperti :
a. Kapitalisasi bunga, yaitu bunga dijadikan utang pokok.
b. Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu
Dalam hal penundaan pembayaran bunga sampai waktu
tertentu, maksudnya hanya bunga yang dapat
ditunda pembayarannya sedangkan pokok pmjamannya
tetap harus dibayar seperti biasa.
c. Penuruan Suku Bunga
Penurunan suku bunga dimaksudkan agar lebih
meringankan beban debitur. Sebagai contoh jika bunga per
tahun sebelumnya dibebankan 20%, kemudian diturunkan
menjadi 18%. Hal ini tergantung dan pertimbangan bank
yang bersangkutan. Penurunan suku bunga akan
mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin mengecil,
sehingga diharapkan dapat membantu meringankan debitur.
d. Pembebasan Bunga
Dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada debitur
dengan pertimbangan debitur sudah akan mampu lagi
141

membayar kredit tersebut. Akan tetapi debitur tetap


mempunyai kewajiban untuk membayar pokok
pinjamannya sampai lunas.

3. Restrukturisasi (Restructuring)
a. Dengan menambah jumlah kredit
b. Dengan menambah equity, dilakukan dengan
menyetor uang tunai atau tambahan dari pemilik
Upaya penyelamatan kredit sebagaimana dimaksud
diatas memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan
kesabaran dari pihak kreditur (bank) didalam menanti
hasilnya. Upaya penyelamatan tersebut secara terus menerus
harus dimonitor hasilnya. Laporan secara periodik tentang
perkembangan upaya penyelamatan harus disusun dan dibahas
bersama antara tim pelaksana dan pimpinan bank.

C. Penyelesaian Kredit Macet


Penyelesaian kredit adalah langkah penyelesaian kredit
bermasalah atau kredit macet melalui lembaga hukum seperti
Pengadilan atau Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara
atau badan lainnya dikarenakan langkah penyelamatan sudah
tidak membawa hasil dan atau tidak dimungkinkan lagi. Tujuan
penyelesaian kredit melalui lembaga hukum ini adalah untuk
menjual atau mengeksekusi benda milik debitur yang dijadikan
jaminan utang.
Ketika upaya penyelamatan tidak membuahkan hasil
seperti yang diharapkan, maka untuk menghindari kerugian
bank yang lebih besar terhadap kredit macet, maka akan
dilakukan upaya penyelesaian kredit melalui;
142

1. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)


Cara mi adalah untuk kredit macet di bank milik negara.
Biasanya kredit yang telah macet (dan telah diupayakan
penagihannya/penyelesaiannya melalui BUPLN untuk
selanjutnya akan dilakukan pelelangan/penjualan benda
jaminan. Namun tidak selamanya pelelangan atau penjualan
itu dilakukan dengan bantuan BUPLN, sebab apabila bank
telah memperoleh "kuasa menjual" maka ia dapat menjual
harta jaminan tersebut di bawah tangan. Untuk memperoleh
pengembalian kredit dan hasil pelelangan bukanlah hal yang
mudah dan cepat. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk
menjual agunan melalui prosedur lelang sangat sulit untuk
memperoleh harga yang diharapkan, belum lagi masih harus
dipotong dengan berbagai pembiayaan lelang yang cukup
besar. Agar tidak lerlalu merugikan pihak bank, maka hukum
perbankan yang baru memberikan kesempatan kepada bank
untuk turut serta dalam pelelangan (sebagai pembeli lelang).
sebab jika bank dapat menguasai agunan itu dan pelelangan
maka nantinya bank dapat menjual agunan itu secara perlahan-
lahan menurut harga yang berlaku di pasaran (pasal 6 ayat k
Undang-undang Nomor 7/92).

2. Gugatan melalui pengadilan


Cara penyelesaian kredit macet seperti mi diiakukan bagi
bank swasta. Dalam hal debitur tidak memenuhi
kewajibannya, setiap kreditur (bank) dapat mengajukan
gugatan perdata ke pengadilan, dan kemudian pengadilan akan
memberikan putusannya. Putusan pengadilan dimaksud
mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan (mempunyai
kekuatan eksekutonal). Apabila debitur tidak mau melunasi
143

utangnya, maka putusan pengadilan itu akan dilaksanakan atas


dasar perintah Ketua Pengadilan. Selanjutnya atas perintah
Ketua Pengadilan dilakukanlah penyitaan harta kekayaan
debitur, untuk kemudian dilelang, dengan perantaraan Kantor
Lelang. Dan hasil pelelangan itu bank sebagai kreditur akan
memperoleh pelunasan piutangnya.

3. Melalui Arbitrase atau Perwasitan


Seperti telah dijelaskan di atas bahwa penyelesaian kredit
macet melalui BUPLN maupun melalui pengadilan dipandang
kurang menguntungkan karena waktu yang diperlukan relatif
lama dan jumlah uang yang bisa ditarik juga sangat kecil.
Oleh sebab itu kalangan pakar hukum perbankan dan mencoba
menawarkan penggunaan lembaga arbitrase untuk
penyelesaian kredit macet. Pada umumnya pada bagian akhir
perjanjian kredit dapat dicantumkan suatu klausula yang
menentukan bahwa apabila timbul sengketa sebagai akibat dan
perjanjian tersebut para pihak akan memilih penyelesaian
melalui arbitrase (perwasitan).
Cara penyelesaian melalui arbitrase ini diperlukan oleh
para pihak, karena cara penyelesaian melalui gugatan perdata
di muka pengadilan sampai tercapainya putusan memperoleh
kekuatan hukum yang tetap relative akan memerlukan waktu
yang lama.
Dalam klausula arbitrase tersebut biasanya ditetapkan
cara-cara penunjukan arbiter (wasit), dan susunan tim arbiter
yang akan memutuskan sengketa yang mungkm terjadi
Terbentuknya tim arbiter itu dimulai dengan masing-masing
pihak menunjuk seorang arbiter, kemudian dua orang arbiter
tersebut memilih lagi seorang arbiter ketiga sebagai ketua tim
144

arbiter. Tim arbiter ini hanya berwenang memutuskan


sengketa jika sebelumnya telah ada kesepakatan antara kedua
pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka melalui
pengadilan, melainkan melalui arbitase, yang dituangkan
dalam suatu perjanjian tersendiri atau dalam klausula
arbitrase.
145

VII. PENCABUTAN IZIN USAHA DAN LIKUIDASI BANK.


A. Pengertian Dan Dasar Hukum Likuidasi Bank
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak
memberikan rumusan pengertian dari istilah "likuidasi"
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan
ayat (3). Namun, jika diteliti secara cermat ketentuan dalam
Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, maka pengertian dari istilah "likuidasi" tidak
terbatas kepada pencabutan izin usaha bank, tetapi lebih luas
lagi, termasuk tindakan pembubaran (out-binding) badan hukum
bank dan penyelesaian atau pemberesan (verifying) seluruh hak
dan kewajiban bank sebagai akibat dibubarkannya badan hukum
bank tersebut. Jadi, likuidasi bank dalam perspektif Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dimulai dari pencabutan
izin usaha bank oleh Bank Indonesia, kemudian dilanjutkan
dengan pembubaran badan hukum dari bank yang dilikuidasi
tadi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dan terakhir dilakukan penyelesaian terhadap seluruh hak dan
kewajiban yang ditimbulkan oleh bank yang dilikuidasi
(Rachmadi Usman, 2001: 167).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 523),
diartikan likuidasi adalah proses membubarkan perusahaan
sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban
kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada
para pemegang saham (pesero).
Kemudian menurut Kamus Hukum Ekonomi (1997: 105)
yang diterbitkan Elips Project, liquidation adalah pembubaran
146

perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta perusahaan,


penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa
harta atau utang antara para pemegang saham.
Sementara itu Kamus Perbankan (1980: 77) memberikan
arti likuidasi adalah pembubaran penyelesaian dengan penjualan
harta perusahaan, penagihan piutang, dan pelunasan utang serta
penyelesaian sisa harta atau utang antara para pemilik.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa likuidasi bank itu
bukan sekadar pencabutan izin usaha dan pembubaran badan
hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala
hak dan kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin usahanya.
Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan lagi
dengan proses pembubaran badan hukum bank yang
bersangkutan, dan seterusnya dilakukan proses pemberesan
berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang dan
utang) bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan
pembubaran badan hukum bank. Jadi, secara sederhana likuidasi
bank dapat diartikan sebagai kelanjutan dari tindakan
pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank,
yakni tindakan penyelesaian hak dan kewajiban bank sebagai
akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum
bank, guna mengakhiri badan hukum dan menyelesaikan segala
hak dan kewajiban bank. Proses likuidasi bank baru akan
dilakukan apabila suatu bank telah dicabut izin usaha dan
dibubarkan badan hukumnya.
Kewenangan mencabut izin usaha-suatu bank merupakan
kewenangan yang didistribusikan kepada Bank Indonesia
sebagai kewenangan diskresioner, karena suatu bank telah gagal
memenuhi prudential standards yang ditetapkan, sementara
likuidasi bank adalah cara atau proses untuk menyelesaikan hak
147

dan kewajiban bank. Adapun likuidasi dipilih sebagai proses


keperdataan untuk mengakhiri (membubarkan) badan hukum
bank dan menyelesaikan hak dan kewajiban bank, termasuk
menjual aset, menagih piutang dan membayar utang, dengan
tujuan agar nasabah penyimpanana pada bank terlindunginya
haknya (Adrian Sutedi, 2007: 139).
Terdapat sejumlah ketentuan perbankan yang menjadi dasar
hukum likuidasi kegiatan usaha suatu bank, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah
ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2008 sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2009;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank,
yang mencabut dan , menyempurnakan Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 1996 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran, dan Likuidasi Bank sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Mom 40 Tahun 1997;
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang
Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/38/PBI/2005;
148

6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/34/PBI/2005 tentang


Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat
dalarn Status Pengawasan Khusus;
7. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
Umum;
8. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/54/
KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan
Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan
Rakyat;
9. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/50/DPBPR tanggal 1
November 2005 perihal Tindak Lanjut Penanganan terhadap
Bank Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan Khusus;
10. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLP/2005
tentang Likuidasi Bank, yang kemudian diganti dan
disempurnakan dengan Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor 2/PLPS/ 2008 tentang Likuidasi Bank;
11. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 4/PLP/2006
tentang Penyelesaian Bank Gagal yang Tidak Berdampak
Sistemik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 002/PLP/2007, sebagai
pengganti dan penyempurnaan dari Peraturan Lembaga
Penjamin Nomor 3/PLP/ 2005 tentang Penyelesaian Bank
Gagal yang Tidak Berdampak Sistemik;
12. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 5/PLP/2006
tentang Penyelesaian Bank Gagal yang Berdampak Sistemik
sebagaimana diubah dengan Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor 3/PLPS/2008.
149

B. Alasan Hukum Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank.


Pencabutan izin usaha suatu bank merupakan tindakan yang
amat menyakitkan guna mengeluarkan suatu bank yang sedang
dalam kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
dan tidak dapat diselamatkan lagi, yang harus dikeluarkan dari
sistem perbankan (exit policy). Seperti yang pernah diungkapkan
pemerintah pada waktu pencabutan izin usaha beberapa bank
pada waktu krisis dahulu, didasarkan kepada latar belakang dari
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia, terdapat
beberapa bank yang keadaan keuangan dan perkembangan
usahanya tidak sehat dan insolvensi, sehingga dapat
membahayakan kelangsungan usahanya dan mengganggu sistem
perbankan serta merugikan kepentingan masyarakat.
Sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Bank
Indonesia secara atribusi, Bank Indonesia dapat mencabut izin
usaha suatu bank yang mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, kesulitan yang dihadapi
bank tidak dapat diatasi lagi, atau membahayakan sistem
perbankan. Pencabutan izin usaha suatu bank oleh Bank
Indonesia merupakan tindakan terakhir bila kesulitan yang
dihadapi bank yang bersangkutan tidak dapat diatasi lagi.
Ketentuan dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan dua alasan hukum
yang memungkinkan suatu bank dicabut izin usahanya oleh
Bank Indonesia, yaitu:
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu
bank membahayakan sistem perbankan; atau
2. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia suatu bank yang
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
150

usahanya dan tindakan untuk mengatasinya belum cukup


untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank.
Berdasarkan salah satu alasan hukum tersebut, Bank
Indonesia mencabut izin usaha suatu bank dan kemudian
memerintahkan direksi bank yang dicabut izin usahanya tersebut
untuk segera membadan hukum dan melikuidasi bank yang
bersangkutan.
Terdapat sejumlah tindakan hukum yang dapat diambil
dalam rangka mengatasi kesulitan suatu bank yang
membahayakan kelansungan usahanya oleh Bank Indonesia
sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
menetapkan sebagai berikut:
Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan
ke langsungan usahanya, Bank Indonesia dapat, melakukan
tindakan agar:
a. Pemegang saham menambah modal;
b. Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan/atau
Direksi bank;
c. Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan
memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban;
f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian
kegiatan bank kepada pihak lain;
g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban
bank kepada bank atau pihak lain.
151

Ketentuan dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor


7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan, bahwa:
Apabila:
a. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) belum cukup
untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan/atau
b. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat
membahayakan sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia
dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi
bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan
membentuk Tim Likuidasi.
Kemudian disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa:
Dalam hal Direksi bank tidnk menyelenggarakan Rapat
Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan
untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran
badan hukum bank, penunjukan Tim Likuidasi, dan permtah
pelaksanaan likindasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa pencabutan izin
usaha suatu bank merupakan imbas dari kegagalan upaya
penyelamatan kesulitan kelangsungan usaha suatu bank, yang
pada gilirannya akan dapat membahayakan sistem perbankan.
Dengan kata lain, pencabutan izin usaha suatu bank ini
merupakan langkah awal terhadap penyelesaian bank yang
mengalami kesulitan kelangsungan usahanya sebelum memasuki
tahap pembubaran badan hukum dan penyelesaian hak dan
152

kewajiban bank itu. Pencabutan izin usaha suatu bank ini


menyebabkan bank yang bersangkutan tidak dapat beroperasi
atau melakukan kegiatan usaha lagi. (Rachmadi Usman, 2010 ;
536 – 537).

C. Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan Dana Dalam


Likuidasi Bank.
Pada prinsipnya hubungan antara bank dan nasabah
penyimpan dananya dilandasi hubungan kepercayaan, yang
lazimnya disebut fiduciary relation. Bank terutama bekerja
dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar
kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga
kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan
kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk
menyimpan sebagian uangnya di bank, semata-mata dilandasi
oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat dipeolehnya
kembali pada waktu yang diinginkan yang disertai dengan
imbalan pula. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan dana
terhadap suatu bank telah berkurang, tidak tertutup
kemungkinan akan terjadi rush terhadap dana yang disimpannya.
Berbagai faktor dapat menyebabkan ketidakpercayaan nasabah
penyimpan dana terhadap suatu bank.
Ketidakpercayaan pada industri perbankan dapat
menjadikan industri tersebut ambruk dalam waktu sekejap. Saat
ini Indonesia sedang merasakan betul arti penting kepercayaan
pada dunia perbankan sebuah pelajaran yang harus dibayar
dengan mahal. Sebenarnya apa yang dialami oleh Indonesia saat
ini pernah pula dialami oleh negara lain, seperti misalnya
Amerika Serikat (Hikmahanto Juwana, 2002: 4).
153

Sesungguhnya hubungan antara bank dan nasabah


penyimpan dana bukan sekadar hubungan kontraktual biasa
antara debitur (bank) dan kreditor (nasabah penyimpan dana)
yang diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian, tetapi
juga hubungan kepercayaan yang diliputi asas kepercayaan.
Pengakuan tersebut membawa konsekuensi bahwa hubungan
antara bank tidak boleh hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri semata-mata, tetapi juga harus memperhatikan
kepentingan nasabah penyimpan dana (Sutan Remy Sjahdeini,
1993: 167).
Berbeda dengan industri lainnya, maka pengaturan industri
perbankan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Hal ini
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-
perbuatan dan praktik-praktik yang tidak terpuji yang dapat
merugikan kepentingan masyarakat luas. Kenyataan
menunjukkan di manapun industri perbankan merupakan industri
yang paling banyak diatur pemerintah dibandingkan dengan
industri-industri lainnya.
Bagi Indonesia pengaturan industri perbankan tersebut telah
diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengaturan industri perbankan tersebut juga harus menjamin
keamanan serta melindungi nasabah penyimpan dana dari setiap
aktivitas perbankan yang dilakukan bank dengan nasabah
penyimpan dananya. Industri perbankan berkewajiban untuk
mengamankan dan melindungi dana masyarakat agar masyarakat
tetap percaya pada industri perbankan.
Dari berbagai kasus yang pernah terjadi terkait dengan
likuidasi bank, banyak nasabah penyimpan dana yang menjadi
korban. Dana nasabah yang disimpan pada bank tidak terjamin
154

pengembaliannya, sehingga hal tersebut menurunkan tingkat


kepercayaan masyarakat pada industri perbankan.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan
sekaligus melindungi hak-hak penyimpan dana, akhirnya
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun
1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang
Program Penjaminan Bank Perkreditan Rakyat, yang pada
intinya memberi perlindungan hukum secara langsung kepada
nasabah penyimpan dana terhadap kegagalan Bank Umum
maupun BPR dalam memenuhi kewajibannya.
Sebelum dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun
1998, perlindungan terhadap nasabah sangat minim dalam badan
hukum perbankan Indonesia. Dalam hal pencabutan izin usaha
bank yang diikuti dengan proses likuidasi menjadikan
kedudukan nasabah untuk mendapatkan uangnya kembali baru
dapat diberikan dalam jumlah yang ditetapkan oleh Tim
Likuidasi, setelah gaji pegawai yang terutang, pajak yang
terutang dan biaya kantor. Kenyataan ini lebih diperparah lagi
dengan lambatnya proses likuidasi bank. Artinya selain
kedudukan yang tidak terlindungi secara memadai, pengambilan
uang nasabah umumnya memakan waktu lama (Hikmahanto,
2002: 11-12).
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1998, kedudukan nasabah semakin membaik. Pemerintah,
melalui BPPN, akan menalangi terlebih dahulu dana masyarakat
yang disimpan di Bank Umum apabila bank tersebut tidak dapat
membayar kewajibannya kepada deposan. Namun perlu
diketahui bahwa jaminan yang diberikan pemerintah terhadap
deposan hanya merupakan "jembatan" sebelum diberlakukannya
155

ketentuan tentang asuransi deposito. Kalau saja sebelum terjadi


krisis kepercayaan terhadap dunia perbankan sudah diberlakukan
asuransi deposito ataupun jaminan pemerintah, mungkin
perbankan Indonesia tidak terpuruk separah sekarang
(Hikmahanto Juwana, 2002: 12).
Dengan ditalanginya dana pembayaran nasabah penyimpan
dana pada bank terlikuidasi, bukan berarti dan tidak serta merta
pemerintah mengambil alih tanggung jawab bank-bank yang
terlikuidasi terhadap kewajiban pembayaran kepada nasabah
penyimpan dananya. Pemberian dana talangan ini tidak gratis,
nantinya harus diperhitungkan atau dikembalikan oleh bank-
bank terlikuidasi tersebut. Dengan kata lain, tindakan
pemerintah menyediakan dana talangan ini dimaksudkan untuk
menyelamatkan nasabah penyimpan dana, di samping
memulihkan kepercayaan masyarakat luas terhadap lembaga
perbankan.
Penjaminan seluruh kewajiban bank (blanket guarantee)
berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 tahun 1998, berhasil
mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri
perbankan pada masa krisis moneter dan perbankan. Namun,
penjaminan yang sangat luas ini juga membebani anggaran
negara dan menimbulkan moral hazard pada pihak pengelola
bank dan nasabah bank. Pengelola bank tidak terdorong untuk
melakukan usaha bank secara prudent, sementara nasabah tidak
memperhatikan atau mementingkan kondisi kesehatan bank
dalam bertransaksi dengan bank. Selain itu, penerapan
penjaminan secara luas ini yang berdasarkan kepada Keputusan
Presiden kurang dapat memberikan kekuatan hukum sehingga
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan.
156

Oleh karena itu diganti dengan sistem penjaminan terbatas, yang


dasar hukumnya diperkuat dalam bentuk undang-undang.
Pada tanggal 22 September 2005 disahkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(UULPS), sebagai dasar hukum pemerintah untuk membentuk
Lembaga Penjamin Simpanan sebagai pengganti program
penjaminan pemerintah.
Dalam UULPS itu ditetapkan penjaminan simpanan
nasabah bank, yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan
masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat
meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau
risiko yang menimbulkan moral hazard. Penjaminan simpanan
nasabah bank tersebul diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), yang dibentuk oleh pemerintah sebagai badan
hukum berdasarkan UULPS. LPS sendiri memiliki dua fungsi
yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan
penyelesaian atau penanganan Bank Gagal.
Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS
bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya
nasabah. Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia
diwajibkan untuk menjadi peserta penjaminan dan membayar
premi penjaminan. Dalam hal bank tidak dapat melanjutkan
usahanya dan harus dicabut izin usahanya, LPS akan membayar
simpanan setiap nasabah bank tersebut terlebih dahulu sampai
jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan
diselesaikan melalui proses likuidasi bank.
Pembentukan LPS ini merupakan amanat dari Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Ketentuan dalam Pasal
37 B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
157

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998


menetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat
yang disimpan pada bank yang persangkutan. Untuk menjamin
simpanan masyarakat dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) yang berbentuk badan hukum dan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Pembentukan LPS tesebut
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasabah dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank.

D. Tanggungjawab Perdata Pemegang Saham dan Pengurus


Dalam Likuidasi Bank.
Kegagalan suatu bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya bisa saja disebabkan oleh salah urus dalam
pengelolaan dan kepengurusan bank oleh pemegang saham dan
pengurus banknya. Salah urus inilah yang sering menjadi
penyebab suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, sehingga gagal dalam menjalankan
usahanya. Karenanya dapatkah pemegang saham dan pengurus
bank dimintai pertanggungjawaban secara perdata bila terbukti
menyebabkan bank menjadi bank gagal.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 mengatur
mengenai kemungkinan pemegang saham dan pengurus bank
terhkuidasi mintai pertanggungjawaban secara perdata.
Ketentuan yang seperti ini dirumuskan kembali sebagaimana
termaktub dalam ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 1999, yaitu:
1) Dalam hal harta kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup
untuk memenuhi seluruh kewajiban bank dalam likuidasi
tersebut maka kekurangannya wajib dipenuhi oleh anggota
direksi dan anggota dewan komisaris serta pemegang saham
158

yang turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang


dihadapi oleh bank atau menjadi penyebab kegagalan bank.
2) Dalam hal direksi bank yang dicabut izin usahanya tidak
bersedia melakukan tugas dan kewajiban berkaitan dengan
pencabutan izin usaha bank, atau direksi dalam keadaan tidak
hadir, maka tanpa mengurangi tanggung jawab direksi yang
bersangkutan untuk kepentingan nasabah penyimpan dana.
Bank Indonesia membentuk Tim Pengelola Sementara untuk
menjalankan fungsi direksi sampai dengan terbentuknya Tim
Likuidasi.
3) Direksi yang tidak bersedia melaksanakan tugas dan
kewajiban berkaitan dengan pencabutan izin usaha,
pembubaran dan likuidasi bank atau yang dengan sengaja
tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
dikategorikan telah melakukan pelanggaran terhadap
Peraturan Pemerintah ini, dan dapat dikenakan ancaman
pidana dan sanksi administratif sebagaimana tercantum
dalam Pasal 23.
Sementara itu Penjelasan atas Pasal 24 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung prinsip
kehati-hatian yang wajib dilaksanakan oleh bank. Dalam
hal anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan
pemegang saham turut serta menjadi penyebab kesulitan
keuangan yang dihadapi bank atau menjadi penyebab
kegagalan bank, yang bersangkutan bertanggung jawab
penuh secara pribadi turut serta memenuhi kewajiban bank
terhadap nasabah dan kreditor lainnya. Gugatan atau
tuntutan kepada anggota direksi, anggota dewan komisaris
dan pemegang saham tersebut dapat diajukan oleh Tim
159

Likuidasi, atau pemegang saham yang memenuhi


persyaratan tertentu berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk mewakili bank. Seluruh
perolehan dari gugatan atau tuntutan Tim Likuidasi atau
pemegang saham terhadap anggota direksi, anggota dewan
komisaris dan/atau pemegang saham yang turut serta
menjadi penyebab kesulitan keuangan atau kegagalan bank
menjadi milik bank dalam likuidasi dan digunakan untuk
memenuhi kewajiban bank dalam likuidasi.
160

BUKU AJAR
HUKUM PERBANKAN DAN JAMINAN
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS UDAYANA

PENYUSUN :
Dr. DR. DEWA GDE RUDY, SH.M.Hum

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
161

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya Buku Ajar Mata
Kuliah Hukum Perbankan dan Jaminan Program Studi Magister
Kenotariatan Universaitas Udayana ini dapat di selesaikan sesuai dengan
jadwal waktu yang telah ditetapkan.
Buku Ajar ini dibuat khusus bagi mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang sedang menempuh
perkuliahan. Buku Ajar ini ditujukan dapat membantu memudahkan
mahasiswa memahami materi-materi perkuliahan serta merupakan
pedoman bagi dosen yang mengasuh mata kuliah Hukum Perbankan dan
Jaminan.
Pada Kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Pihak Pengelola Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana atas kepercayaan dan kesempatan yang diberikan
untuk menyelesaikan Buku Ajar ini.
Penyusun menyadari apabila ada kekurangan dalam Buku Ajar ini,
sehingga sangat menghadapkan adanya masukan dan kritikan bagi
kesempurnaan Buku Ajar ini. Akhir kata dengan segala kerendahan, kami
berharap semoga Buku Ajar ini dapat memberikan manfaat dan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum terutama
berkaitan didang Hukum Kenotariatan.

Denpasar, April 2016


Penyusun,
162

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................. ii
DESKRIPSI MATA KULIAH ................................................... 1
SILABUS .................................................................................. 11
SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) .............................. 20
KONTRAK PERKULIAHAN .................................................... 48
BAHAN AJAR .......................................................................... 58
I. PENDAHULUAN ............................................................... 58
A. Pengertian dan Fungsi Bank Sebagai Lembaga
Intermediasi Perbankan .................................................. 58
B. Eksistensi Perbankan dalam Sistem Keuangan ................ 61
C. Pengaturan dan Pengawasan Perbankan ........................... 63
D. Prinsip-Prinsip Dalam Kegiatan Perbankan ..................... 71
II. HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK DAN NASABAH 82
A. Pengertian dan Jenis Nasabah Perbankan ....................... 82
B. Dasar Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah ........ 85
C. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah
Penyimpan Dana ............................................................. 89
D. Hubungan Hukum Antara Bank Dengan Nasabah
Peminjam Dana ............................................................... 93
III. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH
BANK .................................................................................. 102
A. Urgensi Perlindungan Hukum Nasabah Bank .................. 102
B. Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) ............................................. 103
C. Upaya Perlindungan Hukum Nasabah Bank ................... 105
163

IV. PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI DASAR HUBUNGAN


ANTARA BANK DAN NASABAH ................................... 110
A. Bentuk dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit Bank .......... 110
B. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian Standar ........ 113
C. Perumusan Substansi Perjanjian Kredit Bank ................. 116
V. JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK ........... 120
A. Istilah dan Pengertian Jaminan ....................................... 120
B. Persyaratan dan Kegunaan Jaminan ................................ 122
C. Pembedaan dan Jenis-Jenis Jaminan ............................... 125
D. Bentuk dan Sifat Perjanjian Jaminan .............................. 128
VI. PENYELAMATAN DAN PENYELESAIAN KREDIT
MACET .............................................................................. 132
A. Kriteria dan Faktor Penyebab Kredit Macet .................... 132
B. Penyelamatan Kredit Macet ............................................ 138
C. Penyelesaian Kredit Macet ............................................. 141
VII. PENCABUTAN IZIN USAHA DAN LIKUIDASI BANK ... 145
A. Pengertian dan Dasar Hukum Likuidasi Bank ................. 145
B. Alasan Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank ........ 149
C. Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan Dana Dalam
Likuidasi Bank ............................................................... 152
D. Tanggungjawab Perdata Pemegang Saham dan Pengurus
Bank Terlikuidasi ........................................................... 157

Anda mungkin juga menyukai