Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan Kaum Tertindas (Paulo

Freire)
Bab 4
Dalam Bab 4 Paulo Freire

 Freire menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk praksis, beda dengan


binatang yang merupakan yang sekedar berbuat. Manusia memiliki akal budi
yang membatasi mereka dalam melakukan sesuatu. Masih ada sisi
kemanusiaannya. Manusia mempelajari, memahami.
 Bab ke empat menjelaskan mengenai pendidikan antidialogis dan pendidikan
dialogis. Paulo Freire membandingkan keduanya. Pendidikan antidialogis
cenderung ditandai dengan usaha untuk menguasai manusia. Jadi, kaum
penindas yang cenderung menggunakan pendidikan antidialogis ini secara tak
langsung sedang melakukan usaha untuk menguasai manusia. Artinya
manusia akan selalu tertindas dan tak memiliki kebebasan. Sebaliknya,
pendidikan dialogis terkesan lebih damai. Dimana ramai-ramai manusia
bekerja sama untuk menghilangkan penindasan. Pendidikan dialogis ini
mampu untuk membuat manusia terlepas dari label kaum tertindas. Manusia
mampu untuk menjadi manusia merdeka. Mereka mampu untuk
mengembangkan minat serta bakatnya. Dan mereka tak dipola oleh kaum
penindas.

 SERANGANH BUDAYA
Merupakan taktik untuk memecah belah, manipulasi, serta melayani tujuan
penakukkan. Jadi peyerang menyusup ke dalam lingkungan kebudayaan
kelompom lain dan tanpa menghiraukan potensi dari kebudayaan tersebut.
Mereka meemaksakan pandangan dunianya sendiri kepada orang-orang yang
mereka serang dan menghambat kreatifitas dan potensi di dalamnya. Hal ini
menyebbakan terbentuknya manusia-manusia yang hanya merupakan
cetakan dari penyerang. Pihak yang diserang juga tidak bisa mengambil
keputusan-keputusan mereka sendiri. Hal ini menimbulkan suatu
ketergantungan antara dirinya (kaum tertindas ini) dengan masyarakat
metropolitan.

Pendidikan Dialogis

 A. KERJA SAMA

 Dalam tindakan dialogis, para pelaku berkumpul dan bekerja sama untuk
merubah dunia. Kerja sama merupakan salah bentuk emansipasi komunitas.
Hal ini berarti bahwa dalam tugas dialogis tidak ada peran bagi
kepemimpinan revolusi. Artinya terlepas dari perannya yang penting,
mendasar, sebagai pemimpin, pemimpin revolusioner ini tidak memiliki rakyat
dan tidak berhak menyetir rakyat. Jadi, kolaborasi tidak terjadi melalui
kehadiran seorang pemimpin, melainkan melalui persatuan yang tercipta
ketika seorang pemimpin dan massa saling berkomunikasi dan berinteraksi
satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama yaitu membebaskan diri
mereka sendiri dan menemukan dunia alih alih beradaptasi dengannya.Hal itu
terjadi ketika mereka saling menawarkan rasa saling percaya, sehingga
praksis revolusioner ini dapat dicapai. Kepercayaan dibangun dengan dialog
dan komunikasi dimana dialog komunikasi tidak memaksakan, memanipulasi,
menjinakkan, serta tidak hanya sekedar “slogan”. Namun demikian, itu tidak
berarti bahwa teori tindakan dialogis tidak mempunyai tujuan; tidak juga
berarti bahwa manusia dialogis tidak memiliki gagasan yang jelas mengenai
apa yang dikehendakinya, atau tujuan-tujuan yang menjadi kepentingannya.
Situasi seperti itu membutuhkan kerendahan hati dan dialog terus menerus
antara semua pihak agar kerjasama dapat tercapai.

 B. PERSATUAN UNTUK PEMBEBASAN

 Bagi Freire, yang dimaksud unity itu berarti kesadaran kelas. Kesadaran atas
persatuan terkait dengan organisasi di antara yang tertindas. Jiika bagi elite
penguasa, organisasi adalah berarti mengorganisasi diri mereka sendiri. Bagi
para pemimpin revolusi, organisasi berarti mengorganisasikan diiri mereka
bersama rakyat. Jadi organisasi harus didasarkan pada solidaritas dengan
rakyat sebagai lawan dari manipulasi penindas yang mengatur diri mereka
sendiri untuk mendominasi mereka. Namun, hal itu sulit dilakukan karena
penyatuan tidak bisa terjadi tanpa praksis. Jauh lebih mudah untuk memecah
belah orang daripada menyatukan mereka. Sebelum seseorang dapat
menjadi bagian dari organisasi yang bersatu dan tertindas ini, mereka harus
terlebih dahulu mengenali diri mereka sendiri sebagai individu yang tertindas,
yang bisa menjadi hal yang sulit disadari dan dipahami karena mereka sudah
terpayung atau terdoktrin oleh paham yang disebarkan kaum penindas.

 Hal ini berpengaruh pada kesadaran pribadi dimana kaum tertindas


cenderung tidak mantap akan emosinya, serta takut kepada kebebasan,
memudahkan aksi pemecah belah oleh penguasa.

 Bagi seseorang untuk mencapai kesadaran kritis mengenai keudukannya


sebagai manusia tertindas memerlukan pengetahuan kritis mengenai
realitasnya sebagai suatu realitas bahwa dia tertindas, karena itu lah
diperlukan pemahamann akan hakikat masyarakat.

 C. ORGANISASI

 Tindakan dialogis juga membutuhkan pengorganiasian jika ingin menghindari


kontrol ideologis dari atas, Begitu para pemimpin revolusioner mencapai
persatuan di antara orang-orang yang tertindas, mereka dapat mengatur
kelompok yang lebih besar untuk mengubah keadaan mereka. Untuk
melakukan hal ini, para pemimpin harus “bersaksi” kepada rakyat bahwa
“perjuangan pembebasan itu adalah tugas bersama” Untuk memberikan
kesaksian yang benar kepada rakyat, para pemimpin harus memiliki
pemahaman yang mendalam tentang konteks sejarah perjuangan,
pandangan dunia yang dipegang oleh rakyat, dan kontradiksi pokok
masyarakatnya, organisasi yang sejati ketika para pemimpin revolusioner
bekerja sama dengan rakyat untuk mengubah realitas mereka.

 Frieire tetap melihat bahwa otoritas merupakan bagian dari organisasi ini, ia
berpendapat bahwa otoritas harus dibangun di atas kebebasan: jika tidak
maka itu adalah otoritarianisme. Karena tidak ada kebebasan tanpa otoritas,
namun juga tidak ada otoritas tanpa kebebasan. Namun otoritas tidak boleh
begitu saja diwujudkan dengan seseorang yang menuangkan kekuasannya
pada orang lain. Namun harus dipahami hubungan satu sama lain melalui
penyerahan atau pelekatan simpatik.

 D. SINTESA KEBUDAYAAN
 Sintesis budaya beroperasi sebagai kontradiksi atau kebalikan langsung dari
invansi budaya. Jika invansi budaya mencoba memisahkan orang dari budaya
mereka, sintesis budaya mengembalikan mereka ke dalamnya. Ini juga
menyatukan budaya yang berbeda dengan mengenali kesamaan di antara
mereka. Ini mendorong kelompok untuk belajar dari budaya berbeda. Dalam
sintesa kebudayaan para pelaku datang dari dunia lain ke dunia rakyat bukan
sebagai penyerang. Mereka tidak mengajar atau menuangkan atau, melainkan
untuk belajat Bersama rakyat mengenai dunia rakyat. Dalam sintesa
kebudayan tidak ada penonton atau objek. Rakyat menjadi sesame perancang
dari aksi yang mereka lakukan terhadap dunia. Para pemimpin dan rakyat
saling mengidentifikasi, Bersama-sama membuat pedoman bagi tindakan
mereka, bukan hanya mengikuti rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Sintesa kebudayan menghasilkan pengetahuan-pemgetahuan yang baru.
Disini Freire memberi contoh pekerja yang menuntut gaji lebih tinggi. Bagi
pemimpin revolusioner. Tidaklah cukup untuk hanya bergabung dalam
perjuangan, mereka harus membatu para pekerja untuk mengertin mengapa
gaji mereka sangat rendah, dan bergabung untuk mengubah relaitas
penindasan mereka.

Anda mungkin juga menyukai