Anda di halaman 1dari 6

Nama : Amalia Kinar Kinanthi

NIM : 1407619055

Kelas : Pendidikan IPS A 2019

Mata kuliah : Demokrasi dan HAM

KASUS RASISME TERHADAP MAHASISWA PAPUA DI SURABAYA

DAN KASUS DISKRIMINASI TERHADAP SUKU UIGHUR DI CHINA

Kasus ini bermula pada tanggal 16 Agustus 2019, dimana Organisasi

Masyarakat (ORMAS) melakukan aksi di asrama Papua yang berlokasi di Jalan

Kalasan, Surabaya. Latar belakang mereka melakukan aksi tersebut karena dugaan

para mahasiswa Papua ini dianggap melakukan pembuangan dan perusakan

terhadap bendera Merah Putih yang dibuang ke selokan. Aksi yang dilakukan oleh

Ormas ini juga mendapatkan penjagaan dari pihak kepolisian agar tidak

menimbulkan kekacauan nantinya. Pihak dari polisi menyarankan salah satu

perwakilan Ormas untuk membuat laporan terkait hal ini dan berharap pihak dari

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dapat mengklarifikasi hal ini, namun tidak ada

tanggapan dari AMP tersebut. Ormas juga meminta bantuan kepada camat, lurah,

RT, RW untuk meminta mahasiswa Papua melakukan negosiasi dengan pihak

kepolisian.

Sebenarnya pihak polisi sudah berusaha melakukan negosiasi dengan

mahasiswa Papua namun tidak mendapatkan hasil. Karena tidak memperoleh

jawaban, aparat kepolisian mengambil tindakan mengeluarkan gas air mata dan
membawa sebanyak 43 mahasiswa Papua ke kantor Polsek Wonokromo untuk

dimintai keterangan. Selain itu, dalam proses negosiasi berlangsung terdapat

beberapa oknum polisi ataupun ormas yang melontarkan kata – kata berbau rasisme

yang menyamakan mahasiswa Papua dengan binatang. Setelah mendengar ucapan

yang dilontarkan oleh para oknum polisi dan ormas tersebut, hal ini tentu saja

menyinggung dan membuat sakit hati para mahasiswa Papua. Selain itu, video atas

kasus ini juga telah tersebar luas di sosial media yang membuat masyarakat Papua

di nusantara pun juga merasa geram. Oleh karena itu, muncul banyak kericuhan di

Manokwari, Sorong, Jayapura, dan beberapa daerah lain di Papua dan Papua Barat.

Hal ini diperparah dengan penyebaran berita hoax yang ada di masyarakat,

Kemkominfo menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 230.000 URL hoax di Papua

yang diviralkan melalui media sosial, terutama melalui Twitter. Konten tersebut

bersifat masif, menghasut, bahkan mengadu domba. Karena sudah semakin beredar

berita hoax ini, maka aparat keamanan pun berusaha mencari pelaku dari

penyebaran informasi hoax dan pelaku yang mengucapkan kata – kata rasis kepada

mahasiswa Papua. Selain mencari pelaku berita hoax dan ujaran rasisme,

pemerintah juga memutuskan untuk memperlambat akses internet di Papua dan

Papua Barat. Alasan pemerintah melakukan hal ini untuk meredam berita hoax yang

ada di Papua agar tidak terjadi kericuhan lagi.

Menilik dari kasus diatas, menurut saya hal ini termasuk ke dalam

pelanggaran Hak Asasi Manusia. Karena kasus mengenai diskriminasi atau rasis ini

telah dibahas dalam peraturan Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang

Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan juga telah diatur dalam Undang –

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab 1 Pasal 1 ayat 3.
Dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 ayat 3 ini

menjelaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau

pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan

manusia ayas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,

status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat

pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau

penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik

individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya,

dan aspek kehidupan lainnya.

Melalui pengertian di atas kita dapat mengetahui bahwa tindakan yang

dilakukan oleh oknum aparat kepolisian beserta ormas sudah termasuk ke dalam

pelanggaran hukum HAM karena mereka menyamakan para mahasiswa Papua

tersebut dengan binatang. Mereka bukanlah hewan, mereka sama seperti kita.

Manusia yang ingin hak – hak nya dihargai dan dihormati. Terkait penodaan pada

bendera merah putih, setelah diselidiki lebih lanjut itu bukan merupakaan kesalahan

dari para mahasiswa yang bertempat tinggal di asrama tersebut. Lalu mengapa

oknum aparat kepolisian dan ormas bisa mengeluarkan kata – kata yang mampu

menyinggung tersebut? Hal ini bisa terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan

mereka mengenai pentingnya menghargai suku, agama, ras, serta bangsa atau

budaya yang lain. Oleh karena itu pendidikan mengenai menghargai suku, agama,

ras, sera bangsa dan budaya yang lain ini perlu ditanamkan sejak kecil agar kelak

Ketika dewasa nanti tidak akan ada masalah seperti ini kembali. Karena jika kita

tidak menanamkan pembelajaran tersebut sejak dini, hal ini dapat memicu
perpercahan dan juga dapat membuat Papua ingin melakukan tindak separatisme

dari Indonesia.

Masalah diskriminasi tak hanya dialami oleh Indonesia saja, namun juga

dialami oleh seluruh dunia. Salah satunya masalah diskriminasi yang terjadi pada

masyarakat Uighur di China. Uighur adalah suku minoritas di wilayah Xinjiang,

terletak di ujung Barat dan Barat Laut China. Suku ini memiliki provinsi sendiri

dengan status otonomi bernama Xinjiang-Uighur. Mayoritas suku Uighur adalah

Muslim. Suku Uighur mendapatkan diskriminasi dari Pemerintah China yakni

pelanggaran kebebasan beragama, dimana Pemerintah China melarang etnis

Muslim Uighur di Xinjiang untuk melakukan kegiatan serta kewajiban beribadah,

seperti shalat dan juga berpuasa pada saat bulan Ramadhan. Masjid – masjid pun

dijaga ketat oleh pasukan keamanan pemerintah PKC, warga muslim Uighur juga

dilarang untuk memasuki Masjid dan berdoa, bahkan para pejabat membagikan

makanan serta minuman ke rumah - rumah warga muslim Uighur pada saat bulan

suci Ramadhan dan memaksa warga muslim Uighur untuk tidak berpuasa.

Pemerintah China berdalih bahwa hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan dan

kestabilan negara mereka.

Selain masjid – masjid yang dijaga ketat, keberadaan sekolah Islam dan

imam dikontrol secara ketat oleh pemerintah China, para imam juga diharuskan

untuk “berdiri di sisi pemerintah” untuk dapat melancarkan propaganda bagi

Muslim Uighur. Sejak tahun 1995 hingga 1999, pemerintah China telah

meruntuhkan 70 tempat beribadah serta mencabut surat izin 44 imam yang tidak

mendukung pemerintahan. Pemerintah juga melarang masyarakat untuk berkumpul

dan berpendapat, diskriminasi, serta hukuman mati terhadap tahanan politik.


Diskriminasi dalam aspek ekonomi juga dilakukan oleh Pemerintah China terhadap

etnis muslim Uighur. Sebagian besar Muslim Uighur mengalami kesulitan untuk

mendapatkan pekerjaan di tempatnya sendiri, sering sekali mereka mendapatkan

tindakan yang kasar. Dan kebanyakan muslim Uighur tidak mendapatkan lapangan

pekerjaan yang strategis.

Melalui kasus yang telah terjadi pada masyarakat Uighur tersebut, hal ini

bisa disebut juga sebagai kejahatan Genosida. Genosida sendiri merupakan

kejahatan terberat dalam HAM karena merupakan upaya untuk melakukan

pembantaian terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud

memusnahkan (membuat punah) bangsa atau suku tersebut. Hal ini dapat kita lihat

dari beberapa peraturan pemerintah China terhadap masyarakat Uighur yang

melarang mereka untuk melakukan ibadah, melakukan diskriminasi dalam berbagai

aspek sehingga mau tidak mau tentu saja juga membuat masyarakat Uighur

menderita. Opini saya terkait masalah ini adalah diperlukan adanya keterlibatan

Mahkamah Internasional dalam menangani kasus ini. Terkait pelanggaran HAM

genosida, hal ini telah dimuat dalam Statuta Roma. Dimana peraturan ini juga

membahas mengenai sanksi terhadap pelaku kejahatan genosida bisa berupa

penjara seumur hidup ataupun denda dan penyitaan dana serta properti atau asset –

asset yang dimiliki oleh pelaku. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah China

terhadap masyarakat suku Uighur sudah termasuk ke dalam pelanggaran HAM

yang terberat. Mahkamah Internasional harus bertindak dengan segera agar

diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap masyarakat Uighur

dapat segera terselesaikan.


DAFTAR PUSTAKA

Dewanti, Siti Chaerani. 2019. Pembatasan Internet Dalam Mengatasi Konflik di

Papua dalam Artikel Info Singkat Vol.XI, No.17/I/Puslit/September/2019.

Diunduh dari:

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-17-I-

P3DI-September-2019-1946.pdf pada 5 Desember 2020 pukul 17.26 WIB.

Katharina, Riris. 2019. Insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dalam

Artikel Info Singkat Vol. XI, No.16/II/Puslit/Agustus/2019. Diunduh dari:

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-16-II-

P3DI-Agustus-2019-176.pdf pada 5 Desember 2020 pukul 17.20 WIB.

Kusmiarti, Ulfa dan Anam Miftakhul Huda. 2020. Framing Pemberitaan

Kompas.com Dalam Kasus Diskriminasi dan Rasisme Mahasiswa Papua di

Surabaya Periode 16 Agustus - 21 Agustus 2019 dalam Jurnal Commercium

Volume 3 Nomor 3 Tahun 2020. Diunduh dari:

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/Commercium/article/view/36706 pada

5 Desember 2020 pukul 15.26 WIB.

Saragih, Muhammad Fajrin. 2015. Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM Terhadap

Muslim Uighur di China Ditinjau Dari Hukum Humaniter, Fakultas Hukum,

Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari:

https://media.neliti.com/media/publications/164525-ID-none.pdf pada 7

Desember pukul 09.18 WIB.

Anda mungkin juga menyukai