Anda di halaman 1dari 12

ILMU TAFSIR

TENTANG
NASIKH DAN MANSUKH
DOSEN PEMBIMBING
EKA ERAMAHI,LC.MA

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 11


1 WHAHIDA YUZIAR 3220144
2 CHINTYA MARSYA FITRI 3220167

KELAS: IEIE
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
ISTITUD AGAMA ISLAM BUKITTINGGI
2020/2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................ 1

1.1. Latar Belakang......................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah........................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................. 1
BAB 2. PEMBAHASAN......................................................................... 2

2.1. Pengertian Nasikh dan Mansukh.............................................. 2


2.2. Macam-macam Nasikh.............................................................. 4
2.3. Pendapat Ulama Tentang Eksistensi Nasikh............................. 5

BAB 3. PENUTUP................................................................................... 7

3.1. Kesimpulan..................................................................................... 7
3.2. Saran-Saran..................................................................................... 7
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dan puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telahmemberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
tepat waktu. Tanpa ridha dan petunjuk dari-Nya mustahil makalah ini dapat dirampungkan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah
Metodologi Studi Islam sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
”Kelompok Dan Posisi Islam”.

Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai
pegangan dalam mempelajari materi tentang kelompok Dan Posisi Islam. Kami juga berharap
dengan hadirnya makalah ini, akan mempermudah semua pihak dalam proses perkuliahan
pada mata kuliah Metodologi Studi Islam.

Sesuai kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”, kami mengharapkan saran
dankritik, khususnya dari rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi. Kesempurnaan hanyalah
milik Allah SWT. Akhir kata, semoga segala daya dan upaya yang kami lakukan dapat
bermanfaat, Amin.
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Al-Quran merupakan Kalamullah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril dan di turunkan secara berangsur-angsur. Al-Quran di gunakan
sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam Al-Quran terkandung banyak hikmah dan pelajaran.
Al-Quran di dalamnya memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia
untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain-lain. Dalam
penjelasannya, Al-Quran ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang haris
besarnya saja. Ada yang khusu, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-
ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish
Shihab, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat
tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.

1.2. RUMUSAN MASALAH


a) Pengertian nasikh dan mansukh
b) Macam-macam nasikh
c) Pendapat ulama tentang eksistensis nasikh

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Sebagai tugas mata kuliah tafsir
2. Mengetahui dan memahami apa saja nasukh dan maksukh
3. Dapat memahami nasukh dan masukh
4. Memahami nasukh dan masukh dalam agama islam
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh dan Masukh

Quraish Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata nasakh di dalam al-Quran dalam
berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu : Q.S. al-Baqarah: 106, al-A`raf: 154, al-Hajj: 52,
dan al-Jatsiyah: 29.4

Pengertian naskh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu :

penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al-naql),


pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal).5 Berkaitan
dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang membatalkan,
menghapus, memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful) adalah
sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam


mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada
banyaknya pengertian nasakh secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas.

Cakupan makna yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di antaranya: 1) Pembatalan hukum


yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian; 2)
Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih khusus yang
datang setelahnya; 3) Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar; 4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis


mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya
suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka
juga menyangkut yang bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.

Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang kemudian, berfungsi
untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.
Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup nasakh dengan beberapa syarat, baik
yang menasakh maupun yang dinasakh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan
nasakh sebagai berikut :

‫َر ْف ُع ُح ْك ِم شَرْ ِع ٍّي بِ َدلِ ْي ٍل شَرْ ِع ٍّي ُمتَا َ ِخ ٍر‬

“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara` yang datang
kemudian”.
Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasakh (yang menghapus). Sedangkan
hukum yang pertama disebut mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan
hukumnya disebut nasakh. Berdasarkan pengertian itu, para ulama mutaakhirin lebih
mempersempit makna nasakh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah
ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang
datang kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi. Sementara itu, menurut
az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan, yang dimaksud dengan terminologi
“menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus
dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri. Dalam arti bahwa
semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum
bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat
hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan
kondisinya dengan mereka.

2.2 Macam-Macam nasikh


 Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran
Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya.
Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat
iddah ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.
 Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
 Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak
diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan
hadist ahad masih diragukan.
 Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini
diperbolehkan menurut imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.
 Sunnah dinasikhkan dengan Al-Qura
Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu
ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan
demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.
 Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
o Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
o ahad dinasihkan dengan ahad pula.
o ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
o mutawatir dinasikhkan dengan ahad.
 BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:
o Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan.
Aisyah berkata:
‫ت فَتُ ُوفِّ َي َرسُو ُل‬ ٍ ‫س َم ْعلُو َما‬ ٍ ‫يُ َحرِّ ْمنَ ثُ َّم نُ ِس ْخنَ بِخَ ْم‬ ‫ت‬ ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ َ ‫َكانَ فِي َما أُ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرأُ ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬
َ ‫اللَّ ِه‬.
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah:
“Sepuluh kali penyusuan yang diketahui,
mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali
penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-
Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
 Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:
َ َ‫ ِّمن ُك ْم ِع ْشرُون‬ ‫ض ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َعلَى ْالقِتَا ِل إِن يَ ُكن‬
‫ ِّم ْن ُك ْم ِمائَةٌ يَ ْغلِبُوا‬ ‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُوا ِمائَتَ ْي ِن َوإِن يَّ ُكن‬ ِ ‫يَآأَيُّهَا النَّبِ ُّي َح ِّر‬
َ‫بِأَنَّهُ ْم قَوْ ٌم الَ يَ ْفقَهُون‬ ‫أَ ْلفًا ِّمنَ الَّ ِذينَ َكفَرُوا‬
Kemudian hukum ini di hapus dengan firman allah selanjutnya
‫ف يَ ْغلِبُوا أَ ْلفَي ِْن‬
ٌ ‫ ِّم ْن ُك ْم أَ ْل‬ ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِمائَتَي ِْن َوإِن يَ ُك ْن‬ َ ‫ْالئَانَ خَ فَّفَ هللاُ عَن ُك ْم َو َعلِ َم أَ َّن فِي ُك ْم‬
َ ٌ‫يَ ُكن ِّمن ُكم ِّمائَة‬ ‫ض ْعفًا فَإِن‬
َ‫الصَّابِ ِرين‬ ‫بِإ ِ ْذ ِن هللاِ َوهللاُ َم َع‬
Menasikhan tilawah di sampingnya tetapnya hukum
Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ إِ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya.
Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha gagah lagi maha bijaksana.
2.3 Pendapat ulama tentang insektensis nasikh
Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dan Dalil-Dalilnya Secara umum, ada tiga
pendapat mengenai Nasakh ini, yaitu : 
a) Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i telah
terjadi. Pendapat ini merupakan ijma` kaum Muslimin, sebab kemunculan Abu
Muslim Al-Ashfahani beserta yang sepaham dengan beliau. Mereka
mengemukakan dalil-dalil kebolehan Nasakh tersebut, baik secara `Aqli maupun
secara Sam`i/ Syar`i yaitu: Dalil Aqli Menurut akal, Nasakh itu tidak dilarang atau
akal tidak menganggap mustahil terjadinya Nasakh itu.
b) Sebab, Nasakh itu didasarkan atas kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui
kemaslahatan hamba-Nya pada sewaktu-waktu. Sehingga Allah menyuruh suatu
perbuatan pada waktu tersebut. Tetapi Allah mengetahui pula mudharat yang
mengancam seseorang pada waktu yang lain. Sehingga melarang sesuatu
perbuatan pada waktu yang lain tadi. Hal ini diperkuat dengan praktek-praktek,
sebagai berikut: 1)
c) Dokter mula-mula menyuruh minum obat bagi pasien, tetapi setelah sembuh
disuruh berhenti minum obatnya tadi. 2)
d) Guru mengajar, mula-mula memberikan penjelasan yang mudah, kemudian
diubah dengan diganti pelajaran yang lebih tinggi. 3
e) DPR/DPRD juga sering membuat keputusan/peraturan tertentu, yang setelah
berjalan beberapa waktu, lalu diubah dengan diganti keputusan/peraturan yang
lain. 4)
f) Kalau saja masalah itu tidak boleh menurut akal dan syara`, tentunya tidak boleh
juga syara` membuat peraturan yang terbatas waktunya, karena peraturan yang
terbatas waktunya itu, secara tidak langsung sudah membutuhkan Nasakh.
Padahal kenyataannya, banyak peraturan-peraturan yang demikian itu. Ini berarti
secara rasional
g) Nasakh
h) boleh terjadi.Dalil Sam`i/ Syar`i Al-Zarqany memetakan dalil Sam`i / Syar`i ini
menjadi dua kategori : Kategori pertama, sebagai argumen terhadap orang Yahudi
dan Nasrani, dimana mereka mengingkari adanya Nasakh terhadap syari`at
mereka. Argumen tersebut antara lain: 1)
i)  Pada saat Nabi Nuh keluar dari perahunya, Allah swt berfirman kepada beliau:
"sesungguhnnya Aku jadikan setiap hayawan melata yang hidup itu sebagai
makanan untukmu dan anak cucumu dan aku lepaskannya seperti rumput-rumput.
Kecuali darah, jangan kamu makan". Hal ini menunjukkan bahwa dalam
syari`ahnya Nabi Nuh diperbolehkan mengkonsumsi segala hayawan yang ada,
akan tetapi pada masa berikutnya yaitu pada masa syari`ahnya Nabi Musa, banyak
sekali hayawan-hayawan yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh umatnya. 2)
j)  Pada masa Nabi Adam, Allah swt memerintahkan Nabi Adam untuk
mengawinkan anak putrinya dengan anak putranya lalu kemudian anak-anak dari
hasil perkawinan putra-putrinya tersebut dipasang-pasangkan satu sama lainnya.
Akan tetapi, pada masa setelahnya Allah menghapus syari`at Nabi Adam tersebut.
3)
k) Mengumpulkan dua bersaudara dalam satu ikatan perkawinan itu diperbolehkan
pada syari`atnya Nabi Ya`qub. Lalu kemudian hal tersebut diharamkan pada
syari`ahnya Nabi Musa a.s. Kategori kedua, sebagai argumen untuk menanggapi
bantahan orang Islam sendiri yang menolak akan adanya Nasakh, seperti Abu
Muslim Al-Ashfahany. Argumen tersebut antara lain: surat al-Baqarah Ayat
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dari bab II, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:

1. Pengertian nasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang membatalkan, menghapus,


memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful) adalah sesuatu yang
dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.

2. Macam-macam Nasikh ada empat antara lain: Al-Quran dinasikhkan dengan Al-
Quran, Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah, Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran, dan
Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah.

3. Perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam


mendefinisikan nasakh secara terminologis.Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada
banyaknya pengertian nasakh secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas.
Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis
mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya
suatu hukum baru yang ditetapkan.Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka
juga menyangkut yang bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.
Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang kemudian,
berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.

3.2 SARAN

Konsep naskah merupkan objek kajian yang sangat penting dan krusial juga kajian

yang bersifat sensitif. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan kehati-hatian agar

jangan terjadi kesemena-menaan dalam menetapkan apakah nas telah dinasikh atau tidak,

jangan hanya persoalanya karena ditemukan adanya pertentangan dengan nass lannya.

Melihat minimnya penelitian kajian-kajian orientalis, hendaknya institut memperkaya


literatur-literatur orientalis guna mendorong kajian-kajian yang intensif sebagai upanya

menciptakan iklim keterbukaan untuk berdialog dengan kajian mereka, juga melatih

kalangan akademisi bersikap lebih kritis.

DAFTAR PUSTAKA

http://shofiyullahpptu.blogspot.com/2017/10/macam-macam-nasikh-
mansukh.html

http://mahad-aly.sukorejo.com/2014/05/17/pendapat-ulama-tentang-nasikh-
mansukh-dan-dalil-dalilnya.html

https://hidayatuna.com/pengertian-dan-perbedaan-pandangan-tentang-nasikh-
mansukh/

Anda mungkin juga menyukai