Disusun Oleh:
(Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau
kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi
kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul
gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem
kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang 5 sejalan juga dikemukakan Chaplin
(1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang
bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan
kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber
gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi
psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah
ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun
phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
2) Remaja
Permasalahan remaja sering terjadi pada proses pencarian jati diri. Identitas diri
merupakan isu paling penting dalam dunia remaja. Proses pembentukan identitas diri
remaja ini berlangsung dalam konteks keluarga dan teman sebaya
(Faturochman,2012:113). Hal ini terkait dengan bagaimana ia menampilkan diri,
dengan siapa ia harus bergaul, dan bagaimana ia ingin diterima oleh lingkungannya.
Dengan membentuk identitas diri yang positif, remaja diharapkan menjadi pribadi
yang positif pula, tidak terjerumus pada perilaku menyimpang, seperti tawuran, seks
bebas, penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif, dan tindak kriminal lain.
3) Lansia
Perubahan kondisi fisik ini akan berdampak pada perubahan fungsi kognitif lansia
karena adanya penurunan volume otak dan perubahan sel syaraf (Salat, dkk.,2000).
Mereka akhirnya mengalami hambatan dalam beraktivitas fisik secara optimal
sehingga lebih pesimis dalam memandang hidup, memiliki persepsi negatif terhadap
kesehatan, dan memiliki kualitas hidup yang kurang baik. Kondisi di atas
menunjukkan tendensi depresi pada lansia. Depresi sendiri merupakan penyebab
utama tindakan bunuh diri.
Pada lansia gejala-gejala depresi sering sulit untuk diamati karena terselubung oleh
kondisi medis lain sehingga sulit untuk didiagnosa. Akibatnya, lansia yang menderita
depresi tidak akan diterapi dengan cepat dan tepat sehingga depresi akan bertambah
parah dan dapat menimbulkan ketidakmampuan (disability), memperburuk kondisi
medis, dan meningkatkan risiko bunuh diri (AAGP, 2007 cit Richy, 2007).
1) Masyarakat Miskin
Memburuknya kondisi ekonomi atau kemiskinan merupakan contoh kejadian yang
memiliki konsekuensi ke meningkatnya masalah kesehatan jiwa yang terlihat dari
meningkatnya kecanduan alkohol atau angka bunuh diri. Farley (1987) dalam WHO
(2012) mengemukakan akibat kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan merujuk
pada beberapa hasil penelitian, terbukti bahwa orangorang yang berpenghasilan
rendah atau orang miskin merasa kurang bahagia (less happiness) dan bahkan
mengalami gangguan mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia, dan gangguan
kepribadian (Dohrenwend, 1971; Warheit, Holzer, & Schwab, 1973, dalam Farley,
1987).
2) Pengangguran
Penelitian menunjukkan bahwa pengangguran dan mereka yang tidak aktif secara
ekonomi terkait dengan peningkatan risiko masalah kesehatan jiwa. Pengangguran,
terutama dalam jangka panjang, diasosiasikan dengan faktor-faktor seperti eksklusi
sosial, kemiskinan, kondisi perumahan yang buruk, pendidikan yang rendah dan
perilaku nekad (misalnya: penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan). Pengangguran
dapat menjadi penyebab sekaligus konsekuensi dari permasalahan kesehatan jiwa.
National Alliance on Mental Illness menguatkan data di atas dengan menyatakan
bahwa tingkat pengangguran orang dewasa dengan penyakit kejiwaan adalah 3
sampai 5 kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki penyakit jiwa.
Namun, perceraian tidak hanya memengaruhi anak, tetapi juga orang tua. Perceraian
juga memengaruhi status mental pasangan yang bercerai.
Masyarakat yang berada di daerah konflik berhak mendapatkan pelindungan fisik dan
pelayanan kesehatan jiwa untuk menjaga kualitas mentalnya. Masyarakat di daerah
konflik rentan terhadap kecemasan akan keselamatan dirinya. Hal ini paling jelas
terlihat pada kondisi kejiwaan masyarakat Maluku yang sejak beberapa decade
belakangan mengalami konflik antar agama. Sejarah kekerasan yang menjadi bagian
dari ingatan mereka menjadi ingatan yang tidak dapat dilupakan, bahkan berpotensi
menjadi stres pasca trauma (Post-traumatic stress disorder).
2) Daerah Bencana
Setiap orang berhak untuk dilindungi dalam pekerjaannya dari perlakuan yang
buruk, yaitu yang bersifat fisik juga psikis. Perlakuan fisik di antaranya sistem
kerja yang tidak memperhatikan kesehatan, peralatan kerja yang tidak ergonomis,
dan peraturan yang tidak manusiawi. Perlakuan psikis terkait dengan hubungan
antar manusia, misalnya kepemimpinan, hubungan dengan rekan kerja lain. Salah
satu contoh lingkungan kerja yang menekan adalah kondisi pekerjaan Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang mengalami perlakuan buruk dari majikannya.
Meskipun Kementerian Kesehatan belum memiliki data yang jelas mengenai
jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami gangguan jiwa, beberapa
pemberitaan media cukup dapat menggambarkan kondisi mereka. Pada bulan Juli
2012, dilaporkan sebanyak 38 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengalami
gangguan kejiwaan di Kalimantan, setelah dideportasi dari negara bagian Sabah
dan Sarawak, Federasi Malaysia.11
a. Perempuan
Menurut Puskris UI, dalam beberapa konteks masyarakat, perempuan juga cenderung
mengalami perlakuan yang tidak adil, mengalami kekerasan dalam rumah tangga
dimana hal ini juga berpotensi berlanjut menjadi gangguan kecemasan atau depresi.
Riskesdas 2007 menemukan bahwa perempuan lebih banyak menderita gangguan
jiwa daripada laki-laki yakni dua kali lebih banyak12. Ditegaskan pula dalam laporan
tersebut bahwa kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah
kelompok dengan jenis kelamin perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan terlihat pada tingginya Angka Kematian Ibu (AKI),
yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, meningkatnya penyebaran HIV/AIDS,
kasus reproduksi, dan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, permasalahan
kemiskinan, persamaan upah, trafficking, dan berbagai bentuk diskriminasi terhadap
perempuan merupakan bentuk perlakuan yang membebani perempuan. Akar
permasalahan tersebut salah satunya bersumber dari keberadaan peraturan perundang-
undangan yang diskriminatif dan bias gender.
c. Cacat
Penyandang cacat yang mendapatkannya dari lahir maupun setelah dewasa, rentan
terhadap gangguan kejiwaan karena perasaan kurang lengkapnya dirinya. Cacat fisik
sering dikaitkan dengan kehilangan kepercayaan diri jika penderitanya tidak mampu
mengalahkan perasaan inferioritas.
Orang cacat berisiko mengalami stres sebesar 52% jika dibandingkan dengan orang
yang tidak cacat (34%). Lebih jauh lagi, wanita cacat berisiko mengalami stres dalam
12 bulan sebesar 44% dibandingkan dengan pria yang hanya memiliki tingkat risiko
34%
a. Gangguan mental organik dan simtomatik; Gangguan mental organik adalah gangguan
mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di
diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang
diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik
di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
b. Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif. Gangguan yang disebabkan karena
penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep
dokter). (Maslim, tth:36).
c. Gangguan skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan skizofrenia adalah gangguan
yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di
mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu
tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
d. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana perasaan (mood/afektif)
adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan
atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang
meningkat). (Maslim, tth:60).
e. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres. Gangguan neurotik, somatoform
dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh
faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
f. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja,
dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
g. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna
dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup
yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang
lain (Maslim, tth:102).
h. Retardasi mental Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh
(Maslim, tth:119).
i. Gangguan perkembangan psikologis. Gangguan yang disebabkan kelambatan
perkembangan fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis dari
susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan
kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara
progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering
menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
j. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak. Gangguan yang
dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Berkurangnya
perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum
tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang
berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136).
a. Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
b. Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan
hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka
sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang
keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis
ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
c. Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan
modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi
masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang
mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita
macam-macam gangguan psikis.
B. Pendidik
Perawat memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok,
komunitas.
Pendidikan kesehatan dilakukan melalui pemberian penyuluhan tentang kesehatan
jiwa dan cara merawat orang dengan gangguan jiwa
C. Manajer kasus
Perawat dapat mengelola kegiatan pelayanan kesehatan dan masyarakat sesuai dengan
beban tugas dan tanggung jawab yang di bebankan kepadanya
D. Administrator (pengelola)
Perawat merencanakan, melaksanakan, dan mengatur berbagai alternatif tindakan dan
terapi yang harus diterima oleh ODGJ
E. Konselor
Perawat memberikan konseling untuk membantu ODGJ dan keluarga dalam memilih
keputusan yang akan diambil dalam penanganan masalah kesehatan jiwa
F. Advokat
Perawat memberikan pembelaan kepada individu, keluarga, kelompok, komunitas
G. Kolabolator
Perawat bersama tim kesehatan lain dapat berkolaborasi mengenai pelayanan yang di
perlukan klien, pemberian dukungan, paduan keahlian dan keterampilan dari berbagai
profesional pemberi pelayanan kesehatan
H. Role Model
Perawat berkewajiban untuk menampilkan model perilaku yang adaptif, karena sebagai
role model haruslah menjadi panutan bagi pasiennya
I. Konsultan
Memberikan konsultasi dan pendidikan untuk klien, perawat, profesional kesehatan
lainnya, organisasi perawatan kesehatan jiwa dan pembuat kebijakan
J. Penelitian
Mengidentifikasi dan menggunakan penelitian dalam pengambilan keputusan dan
membantu pasien membuat pilihan yang terbaik.
Berpartisipasi dalam proyek penelitian di semua tingkatan untuk menghasilkan
penelitian kualitatif dan atau kuantitatif yang berkaitan dengan praktik keperawatan,
administrasi dan pendidikan.
Mengembangkan program penelitian kesehatan jiwa masyarakat
8. Program Kebijakan Pemerintah Mengenai Kesehatan Mental
Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, Indonesia memiliki
prevalensi rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1.000,
artinya setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 7 kasus penderita skizofrenia. Angka ini
menunjukkan peningkatan dari tahun 2013 yang berkisar di angka 1,7 per 1.000. Selain itu,
prevalensi gangguan emosional pada penduduk berumur lebih dari 15 tahun pada tahun 2018
mencapai 9,8%, angka ini juga mengalami peningkatan dari tahun 2013 yang sebelumnya
sebesar 6%. Peningkatan masalah kesehatan jiwa ini menunjukkan perlunya perhatian khusus
terhadap kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Upaya bersama antar pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Sebagai langkah awal untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa, pemerintah telah
melakukan revisi terhadap UU No. 18 Tahun 2014 yang dijadikan sebagai landasan utama
mengenai aturan kesehatan jiwa di Indonesia. Pada pasal satu dijelaskan bahwa kesehatan
jiwa adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi
untuk komunitasnya. UU No. 18 Tahun 2014 ditujukan untuk menjamin setiap orang agar
dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara
terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif.
Upaya promotif dan preventif termasuk dalam upaya pencegahan. Sedangkan upaya
pengobatan, berupa upaya kuratif dan rehabilitatif. Sesuai dengan UU No. 18 Tahun
2014, upaya promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau rangkaian kegiatan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa yang bersifat promosi kesehatan jiwa. Upaya
promotif bertujuan agar kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan jiwa dapat
meningkat. Sedangkan upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah
terjadinya masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Menurut Riskesdas tahun 2018, dari total
penduduk berumur lebih dari 15 tahun yang mengalami depresi, hanya 9% yang melakukan
pengobatan. Stigma atau anggapan negatif menjadi salah satu alasan masyarakat Indonesia
enggan berkonsultasi ke psikolog/psikiater.
B. Diagnosa
1. ISOLASI SOSIAL (Nanda 2018; kode diagnosis 00053, hal. 455)
Definisi : kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul karena orang lain
dan sebagai suatu keadaan negatif atau mengancam.
Batasa karakteristik
1. Tidak ada sistem pendukungan
2. Kesendirian yang disebabkan oleh orang lain
3. Ketidaksesuaian budaya
4. Ingin sendirian
5. Kondis difabel
6. Perasaan beda dari orang lain
7. Afek datar
8. Riwayat ditolak
9. Bermusuhan
10. Penyakit
11. Menunjukkan permusuhan
12. Ketidakmampuan memenuhi harapanorang lain
13. Merasa tidak aka ditempat umum
14. Tindaka tidak berarti
15. Anggota subkultur tertentu
16. Tidak ada kontak mata
17. Preokupasi denga pikiran sendiri
18. Tidak mempunyai tujuan
19. Tindaka berulang
20. Afek sedih
21. Nilai tidak sesuai dengan norma budaya
22. Menarik diri
Populasi berisiko
1. Riwayat penganiayaan pada masa kanak-kanak
2. Riwayat kasar pada binatang
3. Riwayat merencanakan pembakaran
4. Riwayat pelanggaran kendaraan bermotor
5. Riwayat penyalahgunaan at
6. Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
Kondisi terkait
1. Gangguan fungsi kognitif
2. Gangguan neurologis
3. Intoksikasi patologis
4. Komplikasi perinatal
5. Komplikasi prenatal
6. Gangguan psikosis
Populasi berisiko
1. Perkembagan terlambat
Kondisi terkait
1. Gangguan fungsi kognitif
2. Penurunan keterampilan motorik halus
3. Penurunan keterampilan motorik kasar
4. Gangguan persepsi
C. Perencanaan
I. Pelaksanaan peran perawat
Case finder
Perawat melakukan pengkajian melalui wawancara dan pemeriksaan fisik,
anamnesa untuk menemukan kasus dan riwayat kesehatan masyarakat dan
seberapa sering tim pelayanan kesehatan turun ke lapangan untuk menemukan
masalah kesehatan.
Health educator
Mengajarkan masyarakat tentang pola makan yang baik, mengajarkan perawatan
sederhana dan memberi informasi kesehatan atau penyuluhan tentang masalah
kesehatan meliputi penyebab, cara menanggulangi dan tindakan pencegahan
Counselor
Perawat sebagai wadah untuk bertanya bagi masyarakat dan membei petunjuk
dimana masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya.
Direct care
Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien,
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi : melakukan
pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi yang benar,
menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil analisis data,
merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang
muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan
keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Provider
Dalam perannya sebagai care provider, perawat bertugas untuk :
o Memberi kenyamanan dan rasa aman bagi klien
o Melindungi hak dan kewajiban klien agar tetap terlaksana dengan seimbang
o Memfasilitasi klien dengan anggota tim kesehatan lainnya
o Berusaha mengembalikan kesehatan klien
Community assessor and developer
Peran dimana perawat harus dapat mengkaji kebutuhan komunitas dan
mengembangkan program di komunitas. Program yang disusun dapat meliputi
program terkait pencegahan primer, sekunder, dan tersier
Monitor and evaluator of case
peran perawat dalam melaksanakan monitoring (pemantauan) serta memberikan
evaluasi hasil terhadap perubahan yang terjadi pada individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang menyangkut masalah kesehatan.
Case manager
Perawat mengoordinasi aktivitas anggota tim kesehatan lain. Misalnya ahli gizi
dan ahli terapi fisik, ketika mengatur kelompok yang memberikan keperawatan
pada klien
Advocate
Perawat mampu memberikan perlindungan terhadap pasien, keluarga pasien, dan
orang-orang disekitar pasien. Hal ini didukung oleh penelitian Umasugi (2018)
bahwa perawat sebagai pelindung, perawat mampu mempertahankan lingkungan
yang aman dan nyaman dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan yang tidak diinginkan dari hasil pengobatan. Contohnya, mencegah
terjadinya alergi terhadap efek pengobatan dengan memastikan bahwa pasien
tidak memiliki riwayat alergi
Health program planner
Perawat berperan dalam menentukan program yang akan diterapkan untuk
mengatasi berbagai permasalahan kesehatan.
Participant of developing health policies
Dilakukan perawat ketika perawat harus menetapkan kebijakan terkait kesehatan
dilevel pimpinan. Perawat dapat berpartisipasi dalam menyumbangkan pikiran
dan idenya dalam membuat kebijakan terkait penanganan kesehatan.
Clien empowerment
Upaya untuk menciptakan / meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara
individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait
upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya.
II. Menetapkan tingkat – tingkat pencegahan
a. Prevensi primer
Ditujukan bagi orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka
yang belum menderita tetapi berpotensi untuk menderita . Perawat komunitas
harus mengenalkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya dan
upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
b. Prevensi sekunder
Bertujuan untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan memberikan intervensi keperawatan sejak awal
penyakit.
c. Prevensi tersier
Apabila sudah muncul penyulit menahun , maka perawat komunitas harus
berusaha mencegah terjadinya kecacatan/komplikasi lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
D. Evaluasi
Evaluasi merupakan respon komunitas terhadap program kesehatan yang dilaksanakan
meliputi masukan (input), pelaksanaan (process), hasil (output). Sedangkan fokus
evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas adalah :
a) Relevansi antara kenyataan yang ada dengan pelaksanaan.
b) Perkembangan atau kemajuan proses : apakah sesuai dengan perencanaan,
bagaimana dengan peran staf atau pelaksanaan tindakan, fasilitas dan jumlah
peserta.
c) Efisiensi biaya : pencarian sumber dana dan pengunaannya.
d) Efektifitas kerja : tujuan tercapai dan apakah klien atau masyarakat puas.
e) Dampak : apakah status kesehatan meningkat setelah dilakukan intervensi
f) Evaluasi berfokus pada pencapaian tujuan
g) Evaluasi dilakukan untuk membuat intervensi menjadi lebih efektif
h) Evaluasi dilakukan jika suatu kegiatan selesai dilakukan jika suatu kegiatan selesai
dilaksanakan
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Agnes Dewi. 2014. “Pengaruh Intervensi “Masa Indah” dalam Pelayanan dan Asuhan
Keperawatan Komunitas terhadap Penurunan Tingkat Depresi pada Aggregate Lansia di
Kelurahan Curug, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok”. Skripsi. Fakultas Ilmu
Keperawatan. Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Komunitas. Universitas
Indonesia. Depok.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community health nursing : Promoting health of agregates,
families and individuals, 6 th ed. St.Louis : Mosby, inc.
Widyastuti, Widyastuti, and Fithrina Yudha Utami. "Analisa Peran Perawat Tim Perawatan
Kesehatan Masyarakat Terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga Binaan Dalam Merawat
Penderita Hipertensi." Citra Delima: Jurnal Ilmiah STIKES Citra Delima Bangka
Belitung 3.1 (2019): 43-51.