Anda di halaman 1dari 35

Asuhan Keperawatan Populasi Rentan : Penyakit Mental

Makalah ini disusun untuk memenuhi


tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas II

Dosen Pengampu: Diah Ratnawati, M. Kep., Sp. Kep. Kom

Disusun Oleh:

Rahmawati Eka Yulistyani 1810711020


Ahmad Nursalam 1810711053
Della Yunita 1810711066
Fitrianih Azzahra 1810711069
Ezzah Najlalya 1810711075
Maila Faiqoh Tsauroh 1810711085
Putri Irayani 1810711086
Siska Agustina Lestari 1810711088
Elfrida Juniartha 1810711093
Widhi Nurfadillah 1810711094
Fauziana Dzulhia Putri 1810711102

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
2021
1. Pengertian Populasi Rentan
Populasi rentan didefinisikan sebagai kelompok sosial yang memiliki risiko atau
kelemahan yang relatif tinggi sehingga merugikan kesehatan (Flakerud dan Winslow, 1998;
Stanhope dan Lancaster, 2004).
Populasi rentan adalah populasi yang lebih besar kemungkinannya untuk mengalami
masalah kesehatan akibat paparan berbagai risiko daripada populasi yang lainnya (Stanhope
dan Lancaser, 2010).
Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok social yang memiliki peningkatan
risiko yang relative atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan.
Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah orang lanjut
usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.

2. Pengertian Gangguan Mental


Gangguan mental atau penyakit mental adalah gangguan serius yang dapat
mempengaruhi pemikiran, mood, dan perilaku seseorang. Terdapat banyak jenis dari
gangguan mental dan gejala yang bervariasi seperti anoreksia, depresi, gangguan kecemasan,
gangguan adiksi, skizofrenia, dan lainnya.
Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari
individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres
kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan
serta di komunitasnya.
Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola perilaku yang ditunjukkan pada individu
yang menyebabkan distress, menurunkan kualitas kehidupan dan disfungsi. Hal tersebut
mencerminkan disfungsi psikologis, bukan sebagai akibat dari penyimpangan sosial maupun
konflik dengan masyarakat (Stuart, 2013). Sedangkan menurut Keliat, (2011) gangguan jiwa
merupakan pola perilaku, sindrom yang secara klinis bermakna berhubungan dengan
penderitaan, distress dan menimbulkan hendaya pada lebih atau satu fungsi kehidupan
manusia.
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi
yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa).
Definisi gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III
adalah: “Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola
perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di
adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan
bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan
gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”.
(Maslim, tth:7). Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep
gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:
a. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau
pola psikologik
b. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
c. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup
(mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll).

(Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau
kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi
kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul
gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem
kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang 5 sejalan juga dikemukakan Chaplin
(1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang
bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan
kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber
gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi
psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah
ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun
phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.

3. Resiko Tinggi Populasi Rentan


Balita, ibu hamil, dan lansia (lanjut usia) adalah 3 kelompok rentan yang banyak terdapat
di masyarakat. Balita merupakan salah satu kelompok rentan yang harus paling diperhatikan.
WHO menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi kesehatan jiwa dan gangguan jiwa
tidak hanya karena atribut individu melainkan juga karena faktor sosial, ekonomi, dan
lingkungan.

4. Kelompok Masyarakat Berisiko Gangguan jiwa


A. Berdasarkan Usia
1) Anak
Ditemukan bahwa masalah hubungan antara anak dengan orang tua terutama ibu
merupakan salah satu penyebab timbulnya gangguan jiwa. Anak bergantung pada
orang dewasa dalam menjalani kehidupannya, oleh karena itu anak sering berada pada
posisi dimana mereka tidak dapat memilih perlakuan yang didapatnya.
Meningkatnya tindakan kekerasan terhadap anak ini menunjukkan rendahnya upaya
pelindungan anak, baik secara fisik dan psikis. Setiap penganiayaan terhadap anak
selalu berakhir dengan perubahan psikis yang dapat mengganggu proses tumbuh
kembangnya. Setiap anak harus diperlakukan sesuai dengan kebutuhannya yang
berdasarkan tahapan perkembangan jiwanya untuk memastikan tumbuh kembang
yang sempurna. Hal ini berarti bahwa anak berhak atas pola asuh yang baik,
pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya, dan lingkungan yang kondusif bagi
tumbuh kembangnya.

2) Remaja
Permasalahan remaja sering terjadi pada proses pencarian jati diri. Identitas diri
merupakan isu paling penting dalam dunia remaja. Proses pembentukan identitas diri
remaja ini berlangsung dalam konteks keluarga dan teman sebaya
(Faturochman,2012:113). Hal ini terkait dengan bagaimana ia menampilkan diri,
dengan siapa ia harus bergaul, dan bagaimana ia ingin diterima oleh lingkungannya.
Dengan membentuk identitas diri yang positif, remaja diharapkan menjadi pribadi
yang positif pula, tidak terjerumus pada perilaku menyimpang, seperti tawuran, seks
bebas, penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif, dan tindak kriminal lain.

3) Lansia

Kelompok masyarakat lansia sering mengalami kecemasan karena penurunan fungsi


fisik dan mentalnya. Oleh karena itu lansia rentan terhadap permasalahan kejiwaan.
Jumlah lansia sendiri cukup besar di Indonesia. Batasan usia lansia di Indonesia
adalah 60 tahun ke atas. Secara biologis, lansia akan mengalami penurunan dalam
kekuatan otot, fungsi sensor, dan fungsi tubuh. Selain itu, lansia juga mempunyai
kemungkinan besar terserang berbagai penyakit karena menurunnya daya tahan fisik,
antara lain arthrisis, osteoporosis, reumatik, sinus kronis, diabetes, masalah tulang
punggung, penyakit paru-paru dan penyakit jantung (Rejeski & Focht, 2002;
Santrock, 2002).

Perubahan kondisi fisik ini akan berdampak pada perubahan fungsi kognitif lansia
karena adanya penurunan volume otak dan perubahan sel syaraf (Salat, dkk.,2000).
Mereka akhirnya mengalami hambatan dalam beraktivitas fisik secara optimal
sehingga lebih pesimis dalam memandang hidup, memiliki persepsi negatif terhadap
kesehatan, dan memiliki kualitas hidup yang kurang baik. Kondisi di atas
menunjukkan tendensi depresi pada lansia. Depresi sendiri merupakan penyebab
utama tindakan bunuh diri.

Pada lansia gejala-gejala depresi sering sulit untuk diamati karena terselubung oleh
kondisi medis lain sehingga sulit untuk didiagnosa. Akibatnya, lansia yang menderita
depresi tidak akan diterapi dengan cepat dan tepat sehingga depresi akan bertambah
parah dan dapat menimbulkan ketidakmampuan (disability), memperburuk kondisi
medis, dan meningkatkan risiko bunuh diri (AAGP, 2007 cit Richy, 2007).

B. Berdasarkan Kondisi Psikososial

1) Masyarakat Miskin
Memburuknya kondisi ekonomi atau kemiskinan merupakan contoh kejadian yang
memiliki konsekuensi ke meningkatnya masalah kesehatan jiwa yang terlihat dari
meningkatnya kecanduan alkohol atau angka bunuh diri. Farley (1987) dalam WHO
(2012) mengemukakan akibat kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan merujuk
pada beberapa hasil penelitian, terbukti bahwa orangorang yang berpenghasilan
rendah atau orang miskin merasa kurang bahagia (less happiness) dan bahkan
mengalami gangguan mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia, dan gangguan
kepribadian (Dohrenwend, 1971; Warheit, Holzer, & Schwab, 1973, dalam Farley,
1987).

2) Pengangguran

Terlepas dari masalah pendapatan, pekerjaan memiliki banyak keuntungan non-


finansial, misalnya waktu yang terstruktur, status social dan identitas, kontak sosial,
tujuan kolektif, juga aktivitas (Jahoda, 1979, dalam Marcus, 2012). Tidak bekerja
menyebabkan kehilangan uang dan keuntungan nonfinansial lain, dan kehilangan ini
juga memengaruhi anggota rumah tangga. Pasangan dari pengangguran harus
menghadapi penurunan pemasukan rumah tangga, pasangan yang depresi, kehadiran
pasangan di rumah yang membuat tidak nyaman, juga menurunkan status sosial. Bagi
pasangan, konsekuensi kehilangan pekerjaan ini dapat menyebabkan gejala depresi
dan isu kesehatan jiwa lainnya (Marcus, 2012:1).

Penelitian menunjukkan bahwa pengangguran dan mereka yang tidak aktif secara
ekonomi terkait dengan peningkatan risiko masalah kesehatan jiwa. Pengangguran,
terutama dalam jangka panjang, diasosiasikan dengan faktor-faktor seperti eksklusi
sosial, kemiskinan, kondisi perumahan yang buruk, pendidikan yang rendah dan
perilaku nekad (misalnya: penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan). Pengangguran
dapat menjadi penyebab sekaligus konsekuensi dari permasalahan kesehatan jiwa.
National Alliance on Mental Illness menguatkan data di atas dengan menyatakan
bahwa tingkat pengangguran orang dewasa dengan penyakit kejiwaan adalah 3
sampai 5 kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki penyakit jiwa.

3) Anggota Keluarga Kurang Harmonis


Cherlin, Chase-Lansdale, & McRae (1997:30) menemukan bahwa dampak perceraian
memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Lebih jauh lagi, perceraian orang tua
sewaktu kecil atau remaja terus memengaruhi seseorang hingga ia mencapai usia dua
puluhan dan tiga puluhan. Penelitian mencatat bahwa perceraian orang tua
berhubungan dengan berbagai masalah remaja yang berlanjut pada usia dewasa,
termasuk menginternalisasi dan mengeksternalisasi masalah, kesulitan interpersonal,
memburuknya kesehatan fisik dan penggunaan zat-zat (Amato, 2001; ChaseLansdale,
Cherlin, & Kiernan, 1995, dalam Sigal, dkk,2012:150). Beberapa penelitian
menemukan bahwa perceraian di masa kecil berkaitan dengan hasil edukasi dan
okupasi negatif sepanjang rentang kehidupan individu, seperti penurunan
kemungkinan lulus SMU, penguasaan pemasukan, pencapaian didikan orangtua,
etnisitas dan variabel demografis lainnya (Sandefur, McLanahan, & Wojtkiewitz,
1992; Sun & Li, 2008; Zill, Morrison, & Coiro, 1993, dalam Sigal, dkk 2012:150).
Mereka yang mengalami perceraian orang tua sewaktu kecil memperoleh pendidikan
yang lebih rendah dan pekerjaan yang kurang bergengsi daripada mereka yang orang
tuanya utuh (Biblarz & Gottainer, 2000 Caspi, Wright, Moffitt, & Silva, 1998;
Hetherington, 1999, dalam Sigal, dkk, 2012:150). Lebih jauh lagi, Biblarz and
Raftery (1999 dalam Sigal, dkk 2012:150) menemukan bahwa perceraian orang tua
menyebabkan penurunan status ekonomis secara bertahap.

Namun, perceraian tidak hanya memengaruhi anak, tetapi juga orang tua. Perceraian
juga memengaruhi status mental pasangan yang bercerai.

C. Berdasarkan Kondisi Ancaman


1) Masyarakat yang Berada di Daerah Konflik

Masyarakat yang berada di daerah konflik berhak mendapatkan pelindungan fisik dan
pelayanan kesehatan jiwa untuk menjaga kualitas mentalnya. Masyarakat di daerah
konflik rentan terhadap kecemasan akan keselamatan dirinya. Hal ini paling jelas
terlihat pada kondisi kejiwaan masyarakat Maluku yang sejak beberapa decade
belakangan mengalami konflik antar agama. Sejarah kekerasan yang menjadi bagian
dari ingatan mereka menjadi ingatan yang tidak dapat dilupakan, bahkan berpotensi
menjadi stres pasca trauma (Post-traumatic stress disorder).
2) Daerah Bencana

Mengalami bencana akan menghadapkan sesorang pada situasi sulit. Bencana


merupakan suatu kejadian yang mengganggu kehidupan normal dan melampaui
kapasitas seseorang atau masyarakat untuk mengatasinya. Bencana bisa berdampak
pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis seseorang; kehilangan harta
benda, kehilangan orang terdekat, maupun kehilangan penghasilan.
Ketidakseimbangan kondisi psikologis dapat dirasakan dalam bentuk terganggunya
fungsi psikologis seseorang seperti fungsi pikiran, perasaan, dan tingkah laku.
Beberapa gejala yang umumnya muncul adalah terkejut, menyesal, menyalahkan diri,
berduka, cemas, kehilangan orientasi, sering teringatingat pada peristiwa yang
dialami meskipun tidak ingin mengingatnya, dan mimpi buruk. Selain itu, ditemukan
juga gejala berupa menutup diri, menarik diri dari hubungan sosial, menghindari
peristiwa yang dialami dan merasa tak berdaya. Oleh karena itu penyintas bencana
berhak mendapatkan upaya rehabilitasi kesehatan jiwa sesuai dengan kadar gangguan
kejiwaan yang dialaminya.

3) Masyarakat yang Berada di Lingkungan Fisik Tidak Kondusif

Lingkungan fisik yang tidak kondusif di antaranya:

a. Lingkungan Kerja yang Berisiko

Setiap orang berhak untuk dilindungi dalam pekerjaannya dari perlakuan yang
buruk, yaitu yang bersifat fisik juga psikis. Perlakuan fisik di antaranya sistem
kerja yang tidak memperhatikan kesehatan, peralatan kerja yang tidak ergonomis,
dan peraturan yang tidak manusiawi. Perlakuan psikis terkait dengan hubungan
antar manusia, misalnya kepemimpinan, hubungan dengan rekan kerja lain. Salah
satu contoh lingkungan kerja yang menekan adalah kondisi pekerjaan Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang mengalami perlakuan buruk dari majikannya.
Meskipun Kementerian Kesehatan belum memiliki data yang jelas mengenai
jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami gangguan jiwa, beberapa
pemberitaan media cukup dapat menggambarkan kondisi mereka. Pada bulan Juli
2012, dilaporkan sebanyak 38 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengalami
gangguan kejiwaan di Kalimantan, setelah dideportasi dari negara bagian Sabah
dan Sarawak, Federasi Malaysia.11

b. Lingkungan dan Sistem Sekolah yang Tidak Memperhatian Tumbuh Kembang


Peserta Didik.

Sistem pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan peserta


didik untuk menghindarkan peserta didik dari gangguan kejiwaan. Permasalahan
pendidikan yang menyebabkan perilaku menyimpang semakin banyak ditemui.
Meningkatnya angka bunuh diri siswa sekolah karena tidak bisa membayar uang
sekolah atau tidak lulus Ujian Nasional merupakan gejala gangguan jiwa yang
tidak bisa diabaikan.

4) Gangguan perubahan iklim

Berbagai penelitian telah membutktikan bahwa perubahan iklim memberikan


kontribusi terhadap perubahan perilaku dan psikis. Bencana alam, seperti banjir,
siklon dan kekeringan, diprediksikan sebagai konsekuensi perubahan iklim (IFRC,
2009). Hal ini terjadi karena kejadian meteorologis beberapa tahun belakangan.
Penelitian mengungkap dampak psikis perubahan iklim pada kondisi mental, seperti
post traumatic stress disorder, depresi berat dan gangguan somatoform.

D. Berdasarkan Kondisi Fisik

a. Perempuan

Menurut Puskris UI, dalam beberapa konteks masyarakat, perempuan juga cenderung
mengalami perlakuan yang tidak adil, mengalami kekerasan dalam rumah tangga
dimana hal ini juga berpotensi berlanjut menjadi gangguan kecemasan atau depresi.
Riskesdas 2007 menemukan bahwa perempuan lebih banyak menderita gangguan
jiwa daripada laki-laki yakni dua kali lebih banyak12. Ditegaskan pula dalam laporan
tersebut bahwa kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah
kelompok dengan jenis kelamin perempuan.

Diskriminasi terhadap perempuan terlihat pada tingginya Angka Kematian Ibu (AKI),
yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, meningkatnya penyebaran HIV/AIDS,
kasus reproduksi, dan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, permasalahan
kemiskinan, persamaan upah, trafficking, dan berbagai bentuk diskriminasi terhadap
perempuan merupakan bentuk perlakuan yang membebani perempuan. Akar
permasalahan tersebut salah satunya bersumber dari keberadaan peraturan perundang-
undangan yang diskriminatif dan bias gender.

b. Orang yang Mengalami Gangguan Kesehatan Kronis

Pada prakteknya, ODGJ seringkali diidentifikasi ketika memeriksakan diri atas


penyakit fisik yang dideritanya. Pasien dengan penyakit kronis rentan mengalami
depresi, bahkan hingga muncul keinginan bunuh diri. Oleh karena itu perlu diberikan
upaya kesehatan jiwa berupa konseling dalam pendampingan proses pengobatannya.
Diagnosis penyakit kronis dapat menghasilkan ketakutan ekstrem atau depresi, saat
pasien menyadari bahwa aktivitasnya akan terganggu selamanya oleh penyakit. Selain
itu, banyak pasien butuh belajar berbagai aktivitas perawatan sendiri untuk membantu
mengelola gangguan itu. Perubahan psikis tidak hanya memengaruhi diri pasien,
tetapi juga keluarga atau orang dekat yang harus menyesuaikan diri dengan
perubahannya.

c. Cacat

WHO menggunakan istilah “disabilitas” untuk mendefinisikan kondisi yang meliputi


gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah
sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan
adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau
tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh
individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah
fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang
dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.

Penyandang cacat yang mendapatkannya dari lahir maupun setelah dewasa, rentan
terhadap gangguan kejiwaan karena perasaan kurang lengkapnya dirinya. Cacat fisik
sering dikaitkan dengan kehilangan kepercayaan diri jika penderitanya tidak mampu
mengalahkan perasaan inferioritas.
Orang cacat berisiko mengalami stres sebesar 52% jika dibandingkan dengan orang
yang tidak cacat (34%). Lebih jauh lagi, wanita cacat berisiko mengalami stres dalam
12 bulan sebesar 44% dibandingkan dengan pria yang hanya memiliki tingkat risiko
34%

5. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).


Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis merujuk
pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:

a. Gangguan mental organik dan simtomatik; Gangguan mental organik adalah gangguan
mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di
diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang
diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik
di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
b. Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif. Gangguan yang disebabkan karena
penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep
dokter). (Maslim, tth:36).
c. Gangguan skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan skizofrenia adalah gangguan
yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di
mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu
tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
d. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana perasaan (mood/afektif)
adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan
atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang
meningkat). (Maslim, tth:60).
e. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres. Gangguan neurotik, somatoform
dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh
faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
f. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja,
dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
g. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna
dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup
yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang
lain (Maslim, tth:102).
h. Retardasi mental Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh
(Maslim, tth:119).
i. Gangguan perkembangan psikologis. Gangguan yang disebabkan kelambatan
perkembangan fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis dari
susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan
kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara
progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering
menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
j. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak. Gangguan yang
dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Berkurangnya
perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum
tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang
berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136).

Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-16),


mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki 7 rentang yang lebar,
dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang


tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering
digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-anak.
b. Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku
abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
c. Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental,
namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan
patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
d. Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan gangguan
yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun
sering digunakan sebagai istilah yang umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
e. Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan yang
berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan
ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif. f)
Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu
secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalahmasalahnya atau melihat
konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental
yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas tidaknya
seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau tidak.

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental Disorder)


Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama kali
adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini,
penulis merujuk pada pendapat 8 Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan
yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam tiga faktor,
yaitu:

a. Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
b. Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan
hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka
sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang
keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis
ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
c. Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan
modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi
masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang
mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita
macam-macam gangguan psikis.

7. Peran Perawat Jiwa Komunitas


A. Pemberi asuhan keperawatan
 Pengkajian masalah kesehatan jiwa pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat
 Deteksi dini masalah kesehatan jiwa pada individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat
 Menetapkan masalah keperawatan kesehatan jiwa di masyarakat
 Menyusun rencana tindakan keperawatan kesehatan jiwa di masyarakat
 Melaksanakan tindakan keperawatan
 Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan.

B. Pendidik
 Perawat memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok,
komunitas.
 Pendidikan kesehatan dilakukan melalui pemberian penyuluhan tentang kesehatan
jiwa dan cara merawat orang dengan gangguan jiwa

C. Manajer kasus
Perawat dapat mengelola kegiatan pelayanan kesehatan dan masyarakat sesuai dengan
beban tugas dan tanggung jawab yang di bebankan kepadanya

D. Administrator (pengelola)
Perawat merencanakan, melaksanakan, dan mengatur berbagai alternatif tindakan dan
terapi yang harus diterima oleh ODGJ

E. Konselor
Perawat memberikan konseling untuk membantu ODGJ dan keluarga dalam memilih
keputusan yang akan diambil dalam penanganan masalah kesehatan jiwa

F. Advokat
Perawat memberikan pembelaan kepada individu, keluarga, kelompok, komunitas

G. Kolabolator
Perawat bersama tim kesehatan lain dapat berkolaborasi mengenai pelayanan yang di
perlukan klien, pemberian dukungan, paduan keahlian dan keterampilan dari berbagai
profesional pemberi pelayanan kesehatan

H. Role Model
Perawat berkewajiban untuk menampilkan model perilaku yang adaptif, karena sebagai
role model haruslah menjadi panutan bagi pasiennya

I. Konsultan
Memberikan konsultasi dan pendidikan untuk klien, perawat, profesional kesehatan
lainnya, organisasi perawatan kesehatan jiwa dan pembuat kebijakan

J. Penelitian
 Mengidentifikasi dan menggunakan penelitian dalam pengambilan keputusan dan
membantu pasien membuat pilihan yang terbaik.
 Berpartisipasi dalam proyek penelitian di semua tingkatan untuk menghasilkan
penelitian kualitatif dan atau kuantitatif yang berkaitan dengan praktik keperawatan,
administrasi dan pendidikan.
 Mengembangkan program penelitian kesehatan jiwa masyarakat
8. Program Kebijakan Pemerintah Mengenai Kesehatan Mental
Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, Indonesia memiliki
prevalensi rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1.000,
artinya setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 7 kasus penderita skizofrenia. Angka ini
menunjukkan peningkatan dari tahun 2013 yang berkisar di angka 1,7 per 1.000. Selain itu,
prevalensi gangguan emosional pada penduduk berumur lebih dari 15 tahun pada tahun 2018
mencapai 9,8%, angka ini juga mengalami peningkatan dari tahun 2013 yang sebelumnya
sebesar 6%. Peningkatan masalah kesehatan jiwa ini menunjukkan perlunya perhatian khusus
terhadap kesehatan jiwa masyarakat Indonesia.  Upaya bersama antar pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Sebagai langkah awal untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa, pemerintah telah
melakukan revisi terhadap UU No. 18 Tahun 2014 yang dijadikan sebagai landasan utama
mengenai aturan kesehatan jiwa di Indonesia. Pada pasal satu dijelaskan bahwa kesehatan
jiwa adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi
untuk komunitasnya. UU No. 18 Tahun 2014 ditujukan untuk menjamin  setiap orang agar 
dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara
terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif.  
Upaya promotif dan preventif termasuk dalam upaya pencegahan. Sedangkan upaya
pengobatan, berupa upaya kuratif dan rehabilitatif. Sesuai dengan UU No. 18 Tahun
2014, upaya promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau rangkaian kegiatan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa yang bersifat promosi kesehatan jiwa. Upaya
promotif bertujuan agar kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan jiwa dapat
meningkat.  Sedangkan upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah
terjadinya masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Menurut Riskesdas tahun 2018, dari total
penduduk berumur lebih dari 15 tahun yang mengalami depresi, hanya 9% yang melakukan
pengobatan. Stigma atau anggapan negatif menjadi salah satu alasan masyarakat Indonesia
enggan berkonsultasi ke psikolog/psikiater.

Program Promotif dan Preventif


“Pelayanan ini didirikan atas latar belakang banyaknya mahasiswa yang datang dengan
keluhan fisik seperti sakit perut berulang, sakit kepala, migrain, dan sebagainya. Namun,
setelah dianalisis oleh dokter hal tersebut berkaitan dengan dengan kondisi psikis dan stres
yang dialami,” Ibu Selvina, Psikolog Klinik Makara UI
Sejak tahun 2016 lalu, pemerintah mulai menjadikan tindakan preventif sebagai fokus
utamanya. Pemerintah bersama dengan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) mulai
memberikan edukasi mengenai cara menjadi ibu hamil yang tangguh, baik secara fisik
maupun emosional sang ibu selama mengandung. Tidak hanya itu, disediakan pula
konseling pra-nikah, edukasi parenting, hingga penyuluhan program yang berfokus kepada
sekolah. Program yang berfokus pada sekolah dilakukan melalui guru konseling atau BK,
umumnya konselin tersebut mengenai tindakan perundungan (bullying), seksual, dsb yang
dilaporkan dengan rapor kesehatan.
Layaknya penduduk pada kelompok usia lainnya, mahasiswa juga rentan mengalami
gangguan kesehatan mental seperti stres yang disebabkan oleh masalah akademis, sosial,
maupun faktor lainnya. Menurut Peraturan Menristekdikti No. 46 Tahun 2017, perguruan
tinggi dapat mendirikan layanan konseling bagi mahasiswa yang memiliki masalah
kesehatan mental. Salah satu perguruan tinggi yang telah memiliki layanan konseling adalah
Universitas Indonesia, yaitu Layanan Konseling Klinik Makara.
“Pelayanan ini didirikan atas latar belakang banyaknya mahasiswa yang datang dengan
keluhan fisik seperti sakit perut berulang, sakit kepala, migrain, dan sebagainya. Namun,
setelah dianalisis oleh dokter hal tersebut berkaitan dengan dengan kondisi psikis dan stres
yang dialami,” ujar Ibu Selvina, Psikolog Klinik Makara UI. Hal ini mendorong peran
Layanan Konseling Klinik Makara untuk melakukan upaya promotif terhadap masalah
kesehatan mental bagi mahasiswa.
Upaya promotif yang telah dilakukan oleh Klinik Makara berupa sosialisasi keberadaan
pelayanan konseling dan program Peer Conselor and Health Educated (PCHE). Peer
Conselor merupakan  mahasiswa yang diseleksi berdasarkan kriteria untuk menjadi konselor
sebaya dan pendidik kesehatan yang bertujuan melakukan tindakan preventif dan promotif.
Kelompok ini bertugas untuk melakukan pendektesian dini masalah psikologis yang dialami
oleh orang-orang sekitar, terutama mahasiswa. Tidak hanya itu, mahasiswa yang telah
menjadi peer counselor juga bertugas untuk  mempromosikan keberadaan pelayanan
konseling.
Selain pada tingkat universitas layanan konseling idealnya juga terdapat pada tingkat
fakultas. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) merupakan salah
satu contoh fakultas yang telah memiliki Badan Konseling Mahasiswa (BKM). Di FEB UI,
BKM termasuk ke dalam unit di bawah koordinasi Wakil Dekan Satu (Pendidikan,
Penelitian, dan Kemahasiswaan). Menurut Cintavhati Poerwoto, selaku kepala Bimbingan
dan Konseling, BKM seharusnya berada di dalam struktur agar memiliki power untuk
melakukan sesuatu.
“Cuti di tengah perkuliahan sebenarnya tidak diperbolehkan, tetapi dengan bantuan
BKM, prodi, dan kemahasiswaan, cuti tersebut bisa didapatkan apabila masalah yang
dihadapi dianggap sudah cukup serius,” ujar Ibu Cintavhati Poerwoto. Masalah serius yang
dimaksud tidak hanya berupa masalah kesehatan fisik, namun dapat berkaitan pula dengan
kondisi kesehatan mental yang dapat mengganggu proses perkuliahan.
BKM FEB UI dalam upaya promotif dan preventif juga memiliki program peer
conselor  dan pembimbing akademik (PA). Namun, kepala BKM FEB UI merasa PA tidak
berjalan dengan efektif, karena banyak dosen yang menjadi PA yang disibukan dengan hal
lain. Idealnya PA mengetahui karakteristik dan kesulitan yang dihadapi anak didiknya.
Untuk saat ini, BKM FEB UI tengah melakukan pengembangan PA dengan memberikan
pelatihan setiap tahunnya.
Dalam institusi perguruan tinggi, bukan hanya mahasiswa saja yang bisa mengalami
masalah mental, tetapi tenaga pendidik dan karyawan juga bisa mengalami hal tersebut.
“Dosen bisa merasakan stres karena adanya deadline, terlebih lagi adanya tuntutan untuk
melakukan ketiga tri dharma. Selain mengajar, dosen juga harus melakukan penelitian dan
publikasi ,” ujar Direktur Sumber Daya Manusia UI (DSDM UI), Riani Rachmawati, S.E,
M.A, Ph. D. Stres juga bisa terjadi ketika dosen sedang mengikuti hibah penelitian, karena
adanya deadline membuat laporan, dan sebagainya. Sehingga, dosen memiliki beban kerja
yang cukup penuh, tentu saja hal ini dapat memicu stres.
Jika dilihat dari sisi karyawan, tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dan koordinasi antar
unit yang tidak jelas, serta target yang terlalu banyak dapat menimbulkan stres. Berdasarkan
data dari Medical Check Up  (MCU) yang telah dilakukan oleh para karyawan, dapat
diketahui bahwa tingkat stres Pusat Administrasi Universitas (PAU) berada dalam kategori
sedang cenderung tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh berbagai alasan, salah satu alasannya
yakni sistem administrasi sebagian besar masih bersifat manual tidak berbanding lurus
dengan banyaknya tugas yang harus diurus.
Meskipun stres dan masalah kesehatan dapat terjadi kapanpun dan menjangkau siapapun,
upaya promotif masih belum gencar dilakukan. Saat ini seminar kesehatan yang diadakan
masih berfokus pada masalah kesehatan jantung dan kanker.Menurut DSDM UI, kampanye
terhadap kesehatan jiwa harus dilakukan dengan cara yang tepat, seperti
memberikan angle dan kampanye yang sesuai. Masih banyak orang yang jarang menyadari
atau mengakui bahwa ia memiliki gangguan kesehatan mental, sehingga tindakan promotif
memiliki peran yang sangat penting. Saat ini, DSDM UI berencana untuk mengadakan
seminar kesehatan mental, namun mereka masih mencari cara agar orang memahami urgensi
acara tersebut.
Dalam peraturan rektor belum ada aturan yang secara jelas mengatur mengenai kesehatan
jiwa. Dalam Bab X pasal 44 mengenai Hak dan Kewajiban Pegawai, disebutkan bahwa
pegawai berhak memperoleh jaminan kesehatan. Akan tetapi tidak disebutkan secara jelas
mengenai kesehatan jiwa.  Pada Bab XVI pasal 62  mengenai Perlindungan juga disebutkan
bahwa UI wajib memberikan jaminan dalam bentuk bantuan psikologis. Dalam segi
peraturan memang sudah ada payungnya, namun DSDM UI merasa bahwa peraturan
tersebut perlu dikaji lebih lanjut agar lebih jelas.
Menurut DSDM UI, program kesehatan mental di institusi perguruan tinggi masih perlu
dikembangkan lagi.  Pentingnya kerja sama dengan unit terkait seperti Kesehatan,
Keselamatan, Keamanan (K3L), klinik satelit, dan Rumah Sakit UI harus dilaksanakan
sebagai langkah awal untuk meningkatkan mutu kepedulian perguruan tinggi terhadap
kesehatan mental. Tidak hanya itu, perlu dilakukan pula edukasi mengenai kesehatan mental
agar sivitas akademika menyadari pentingnya kesehatan mental. Apabila telah disadari,
langkah selanjutnya yakni meningkatkan kualitas infrastruktur dengan menyediakan jumlah
konselor yang memadai serta memfasilitasi kegiatan konseling dengan ruangan yang cukup 
dan nyaman agar kegiatan konseling menjadi efektif.
Upaya Kuratif dan Rehabilitatif
Menurut UU No. 18 tahun 2014, upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayan
kesehatan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang mencakup proses diagnosis
dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di
lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. Sedangkan upaya rehabilitatif merupakan
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk
mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi
operasional, serta mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
masyarakat.
Dalam melakukan upaya kuratif dan rehabilitatif, Kementerian Kesehatan menyasar pada
kemudahan akses agar masyarakat tidak hanya bisa ditangani di rumah sakit, tetapi juga di
puskesmas. Dr. Fidiansjah menyatakan untuk saat ini, sudah ada beberapa daerah yang
memiliki psikolog klinis di puskesmas. Untuk mengatasi ketimpangan jumlah psikolog
klinis yang terdapat di tiap daerah, Kemenkes berupaya melakukan pendelegasian
wewenang kepada dokter dan tenaga perawat untuk melakukan pertolongan pertama kepada
ODGJ. Dokter dan tenaga perawat diberikan sebuah workshop agar ilmu dari tenaga profesi
rumah sakit jiwa dapat tersalurkan, mampu untuk menangani masalah kejiwaan, dan
mempercepat proses intervensi sebelum terlambat.
Hotline Bunuh Diri
Pada awalnya, Kemenkes memiliki hotline khusus kesehatan jiwa di nomor 500-454.
Namun, hotline tersebut kurang dimanfaatkan oleh pengguna, masyarakat kerap
menanyakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan aspek kesehatan jiwa. Akibatnya, beban
pembiayaan dan pemanfaatan menjadi tidak seimbang. Akhirnya, hotline tersebut
digabungkan menjadi hotline kesehatan umum. Akan tetapi meningkatnya isu kesehatan
mental membuat Kemenkes mencanangkan aplikasi yang berisi konten terkait kesehatan
jiwa beserta proses dektesia masalah kesehatan mental.
Asuransi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga telah mengakomodasi persoalan
kesehatan mental, seperti depresi. Namun, perihal percobaan bunuh diri untuk saat ini masih
dalam tahap diperjuangkan agar dapat tercakup oleh BPJS. Dalam asuransi global, terdapat
dua penyakit yang tidak akan pernah dibiayai, yaitu penyakit yang dibuat-buat oleh manusia
itu sendiri, seperti bunuh diri dan narkotika. Mengacu pada disertasi dari mahasiswa
doktoral UI mengenai bunuh diri, seharusnya tidak boleh ada diskriminasi terhadap dua
penyakit yang tidak bisa diklaim tersebut.  Dr. Fidiansjah menyatakan bahwa “Konotasi
‘penyakit yang dibuat-buat’ itu tidak ada, negara harus hadir saat warganya sakit, apapun
itu,”.
Kesehatan dan Otonomi Daerah
Sejak desentralisasi dan otonomi daerah diberlakukan, program kesehatan menjadi salah
satu aspek yang dibebankan pada pemerintah daerah. Kemenkes mengevaluasi kendala
program kesehatan jiwa di Indonesia memiliki ciri khas pada masing-masing daerah.
Kendala tersebut dapat berupa sumber anggaran, sumber daya manusia, dan kebijakannya.
Otonomi daerah terkadang menjadi hal yang tidak mudah dipaksakan, karena tiap daerah
memiliki kondisi yang berbeda-beda. Menurut Dr. Fidiansjah, kesehatan jiwa tidak dapat
dikelola hanya dengan otonomi daerah, karena kesiapan daerah dalam menjawab persoalan
kesehatan jiwa tidak sama. Sampai saat ini hanya ada empat Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang
dikelola pusat, yaitu RSJ Grogol, Bogor, Magelang, dan Lawa. Rumah sakit lain di daerah
masih dianggap “kembang kempis”. Banyaknya persoalan kesehatan fisik yang belum
terselesaikan menyebabkan pemerintah daerah belum cukup perhatian pada masalah RSJ.
Tanggung Jawab Program Kesehatan Mental
Berkaca pada rumitnya permasalahan kesehatan mental, sudah sepantasnya masalah ini
tidak hanya dibebankan pada satu institusi: Kemenkes. Tiap institusi termasuk institusi di
bidang pendidikan harus turut andil dalam menyediakan program kesehatan jiwa, setidaknya
pada tahap promotif dan kuratif. Sementara itu, meskipun masalah kesehatan telah
diamanatkan sebagai urusan daerah, sudah semestinya pemerintah pusat turut mendorong
pemerataan program kesehatan yang memadai. Tidak hanya terfokus pada kesehatan fisik,
melainkan turut mencakup kesehatan mental.

9. Asas Upaya Kesehatan Jiwa


Berdasarkan Undang_Undang Nomo 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Upaya
Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang
optimal bagi setiap individu, keluar, dan masyarakat dengan pendekatan promotive,
preventif, kuratif, dan rehabilitative yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Berikut asas
upaya kesehatan jiwa :
a. Keadlian
Bahwa penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa harus dapat memberikan pelayanan
yang adil danmerata pada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang
terjangkau.
b. Perikemanusiaan
Bahwa penyelenggaran Upaya Kesehatan Jiwa kepada ODMK dan ODGJ dilaksanakan
secara manusiawi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Misalnya tidak boleh
dilakukan pengekangan dan lain sebagainya.
c. Manfaat
Bahwa penyelenggaran Upaya Kesehatan Jiwa harus memberikan manfaat dan
meningkatkan kualitas hidup bagi ODMK, ODGJ, sumber daya manusia di bidang
Kesehatan Jiwa, dan masyarakat.
d. Transparansi
Bahwa Upaya Kesehatan Jiwa, baik yang berupa tindakan, pemberian informasi,
maupun pengelolaan pasien harus dijelaskan secara transparan kepada pihak keluarga,
ODMK, ODGJ, dan masyarakat.
e. Akuntabilitas
Bahwa semua kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa berupa informasi dan tindakan dalam
pengelolaan pasien harus dapat diakses, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat.
f. Komprehensif
Bahwa pelayanan Kesehatan Jiwa diberikan secara menyeluruh melalui upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitative.
g. Perlindungan
Bahwa penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa harus dapat memberikan perlindungan
kepada ODMK, ODGJ, sumber daya manusia di bidang Kesehatan Jiwa, dan masyarakat
di sekitarnya.
h. Nondiskriminasi
Bahwa penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa harus diberikan dengan tidak
membedakan ODMK dan ODGJ berdasarkan jenis kelamin, suku, agama, ras, status
sosial, dan pilihan politik.

10. Tujuan Upaya Kesehatan Jiwa


a. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan
kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan,dan gangguan lain yang dapat
mengganggu Kesehatan Jiwa
b. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan; Potensi
kecerdasan manusia meliputi kecerdasan linguistic, kecerdasan logika-matematik,
kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musical, kecerdasan kinestetik, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual-
eksistensial, dan lain-lain.
c. Memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa bagi ODMK dan
ODGJ berdasarkan hak asasi manusia
d. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan melalui upaya promotive, prefentif, dan rehabilitative bagi ODMK
dan ODGJ
e. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa
f. Meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
g. Memberikan kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat memperoleh haknya
sebagai Warga Negara Indonesia.

11. Kegiatan Upaya Kesehatan Jiwa


A. Upaya Kesehatan Jiwa Promotif
Upaya Promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau rangkaian kegiatan penyelenggaraan
pelayanan Kesehatan Jiwa yang bersifat promosi Kesehatan Jiwa
Upaya promotif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:
1) mempertahankan dan meningkatkan derajat Kesehatan Jiwa masyarakat secara
optimal;
2) menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian
dari masyarakat;
3) meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap Kesehatan Jiwa; dan
4) meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap Kesehatan Jiwa

Upaya Promotif dilaksanakan dilingkungan :

1) Upaya promotif di lingkungan keluarga


Dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi dalam keluarga yang
mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat.
2) Upaya promotif di lingkungan lembaga pendidikan
 menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan jiwa; dan
 keterampilan hidup terkait Kesehatan Jiwa bagi peserta didik sesuai dengan tahap
perkembangannya.
3) Upaya promotif di lingkungan tempat kerja
Dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan
Jiwa, serta menciptakan tempat kerja yang kondusif untuk perkembangan jiwa yang
sehat agar tercapai kinerja yang optimal.
4) Upaya promotif di lingkungan masyarakat
Dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan
Jiwa, serta menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif untuk pertumbuhan
dan perkembangan jiwa yang sehat.
5) Upaya promotif di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan
Dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan
Jiwa dengan sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau masyarakat di sekitar
fasilitas pelayanan kesehatan.
6) Upaya promotif di media massa
 penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai Kesehatan Jiwa, pencegahan,
dan penanganan gangguan jiwa di masyarakat dan fasilitas pelayanan di bidang
Kesehatan Jiwa;
 pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan ODGJ dengan tidak
membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan/atau materi yang mengarah
pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODGJ; dan
 pemberitaan, penyiaran, program, artikel, dan/atau materi yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan Kesehatan Jiwa.
7) Upaya promotif di lingkungan lembaga keagamaan dan tempat ibadah
Dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan
Jiwa yang diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan.

B. Upaya Kesehatan Jiwa Preventif


Upaya Preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan
dan gangguan jiwa
Upaya Preventif kesehatan jiwa ditujukan untuk :
 Mencegah terjadinya masalah kejiwaan
 Mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa
 Mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau
perorangan; dan/atau
 Mencegah timbulnya dampak masalah psikososial.
Upaya Preventif dilaksanakan dilingkungan :
1) Upaya preventif di lingkungan keluarga
 pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan
jiwa;
 komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga;
 kegiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat.
2) Upaya preventif di lingkungan lembaga
 menciptakan lingkungan lembaga yang kondusif bagi perkembangan Kesehatan
Jiwa;
 memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan gangguan
jiwa; dan
 menyediakan dukungan psikososial dan Kesehatan Jiwa di lingkungan lembaga
3) Upaya preventif di lingkungan masyarakat
 menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif;
 memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan gangguan
jiwa; dan
 menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan
C. Upaya Kesehatan Jiwa Kuratif
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap ODGJ yang
mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat
berfungsi kembali secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat.
Upaya kuratif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:
• Penyembuhan atau pemulihan;
• Pengurangan penderitaan;
• Pengendalian disabilitas; dan
• Pengendalian gejala penyakit.
Proses penegakan diagnosis terhadap orang yang diduga ODGJ dilakukan untuk
menentukan:
• Kondisi kejiwaan; dan
• Tindak lanjut penatalaksanaan.
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan kriteria diagnostik oleh :
• Dokter umum
• Psikolog; atau
• Dokter spesialis kedokteran jiwa.
Penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada ODGJ dilakukan di fasilitas pelayanan di bidang
Kesehatan Jiwa. Penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada ODGJ dilaksanakan melalui
sistem rujukan. Penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada ODGJ dapat dilakukan dengan
cara rawat jalan atau rawat inap.

D. Upaya Kesehatan Jiwa Rehabilitatif


Upaya rehabilitatif Kesehatan Jiwa merupakan kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk:
 Mencegah atau mengendalikan disabilitas;
 Memulihkan fungsi sosial;
 Memulihkan fungsi okupasional; dan
 Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat.
Upaya rehabilitatif ODGJ meliputi:
• Rehabilitasi psikiatrik dan psikososial
• Rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi psikiatrik dan psikososial dan rehabilitasi sosial ODGJ dapat merupakan
upaya yang tidak terpisahkan satu sama lain dan berkesinambungan.
Upaya rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, atau koersif, baik
dalam keluarga, masyarakat, maupun panti sosial.

12. Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian CAP Populasi Penyakit Mental
1. Core
Jumlah populasi penyakit mental, riwayat perkembangan penyakit mental,
kebiasaan, perilaku yang ditampilkan, nilai keyakinan dan agama.
2. Lingkungan Fisik
Kebersihan pemukiman, kondisi tempat tinggal, batas wilayah , makanan, pasokan
air bersih, penyimpanan makanan , personal hygiene, aktifitas ODGJ didalam dan
diluar rumah.
3. Pelayanan kesehatan dan social
Bagaimana jenis pelayanan, akses layanan kesehatan, jumlah populasi penyakit
mental yang memiliki jaminan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan terdekat,
posyandu, pemanfaatan jaminan kesehatan, antusias masyarakat akan pelayanan
kesehatan.
4. Ekonomi
Bagaimana status pekerjaan, jenis pekerjaan, jumlah pendapatan yang diterima, jenis
makanan yang dibeli, pemahaman pendapatan, pengeluaran per bulan.
5. Transportasi dan keamanan
Apa alat transportasi yang digunakan, jarak antara pemukiman dan layanan
kesehatan, sarana transportasi yang tersedia, keadaan keamanan pemukiman.
6. Politik dan pemerintahan
Bagaimana peran serta politik dalam bidang kesehatan , organisasi di wilayah
setempat peduli terhadap kesehatan.
7. Komunikasi
Bagaimana komunikasi yang tersedia, sarana komunikasi yang disediakan, media
informasi yang disebar, bagaimana komunikasi terhadap penderita penyakit mental.
8. Pendidikan
Sarana pendidikan yang tersedia, pendidikan yang dimiliki masyarakat, pendidikan
terkait kesehatan.
9. Rekreasi
Seberapa sering rekreasi populasi mental, kemana rekreasi dituju, banyaknya
rekreasi yang dilakukan.

B. Diagnosa
1. ISOLASI SOSIAL (Nanda 2018; kode diagnosis 00053, hal. 455)
Definisi : kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul karena orang lain
dan sebagai suatu keadaan negatif atau mengancam.
Batasa karakteristik
1. Tidak ada sistem pendukungan
2. Kesendirian yang disebabkan oleh orang lain
3. Ketidaksesuaian budaya
4. Ingin sendirian
5. Kondis difabel
6. Perasaan beda dari orang lain
7. Afek datar
8. Riwayat ditolak
9. Bermusuhan
10. Penyakit
11. Menunjukkan permusuhan
12. Ketidakmampuan memenuhi harapanorang lain
13. Merasa tidak aka ditempat umum
14. Tindaka tidak berarti
15. Anggota subkultur tertentu
16. Tidak ada kontak mata
17. Preokupasi denga pikiran sendiri
18. Tidak mempunyai tujuan
19. Tindaka berulang
20. Afek sedih
21. Nilai tidak sesuai dengan norma budaya
22. Menarik diri

Faktor yang berhubungan


1. Minat tidak sesuai dengan perkembangan
2. Kesulitan membina hubungan
3. Ketidakmampuan menjalin hubungan yag memuaskan
4. Sumber personal yang tidak adekuat
5. Perilau sosia tidak sesuai norma
6. Nilai-nilai tidak sesuai dengan norma budaya

2. RISIKO PERILAKU KEKERASAN TERHADAP ORANG LAIN (Nanda 2018; kode


diagnosis 00138, Hal. 416)
Definisi : rentan melakukan perilaku yang individu menunjukkan bahwa ia dapat
membahayakan orang lain secara fisik, emosional, dan/atau seksual.
Faktor risiko
1. Akses pada senjata
2. Impulsif
3. Bahasa tubuh negatif
4. Pola kekerasan tidak langsung
5. Pola kekerasan diarahkan pada orang lain
6. Pola ancama kekerasan
7. Pola perilaku kekerasan antisosial
8. Perilaku bunuh diri

Populasi berisiko
1. Riwayat penganiayaan pada masa kanak-kanak
2. Riwayat kasar pada binatang
3. Riwayat merencanakan pembakaran
4. Riwayat pelanggaran kendaraan bermotor
5. Riwayat penyalahgunaan at
6. Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga

Kondisi terkait
1. Gangguan fungsi kognitif
2. Gangguan neurologis
3. Intoksikasi patologis
4. Komplikasi perinatal
5. Komplikasi prenatal
6. Gangguan psikosis

3. KETIDAKEFEKTIFAN PEMELIHARAAN KESEHATAN (Nanda 2018; kode


diagnosis 00099, hal. 146)
Definisi : ketidakmampuan mengidentifikasi, mengelola, dan/atau mencari batuan untuk
mempertahankan kesejahteraan.
Batasan karakteristik
1. Tidak menunjukka perilaku adaptif terhadap perubahan lingkungan
2. Tidak menunjukka minat pada perbaikan perilaku sehat
3. Ketidakmampuan bertanggung jawab untuk memenuhi praktik kesehatan dasar
4. Kurang pengetahuan tentang praktik kesehatan dasar
5. Kurang dukungan sosial
6. Pola perilau kurang mencari batuan kesehatan

Faktor yang berhubungan


1. Berduka tidak tuntas
2. Hambatan pengambilan keputusan
3. Keterampilan komunikasi tidak efektif
4. Strategi koping tidak efektif
5. Sumber daya tidak cukup
6. Distres spiritual

Populasi berisiko
1. Perkembagan terlambat

Kondisi terkait
1. Gangguan fungsi kognitif
2. Penurunan keterampilan motorik halus
3. Penurunan keterampilan motorik kasar
4. Gangguan persepsi

C. Perencanaan
I. Pelaksanaan peran perawat
 Case finder
Perawat melakukan pengkajian melalui wawancara dan pemeriksaan fisik,
anamnesa untuk menemukan kasus dan riwayat kesehatan masyarakat dan
seberapa sering tim pelayanan kesehatan turun ke lapangan untuk menemukan
masalah kesehatan.
 Health educator
Mengajarkan masyarakat tentang pola makan yang baik, mengajarkan perawatan
sederhana dan memberi informasi kesehatan atau penyuluhan tentang masalah
kesehatan meliputi penyebab, cara menanggulangi dan tindakan pencegahan
 Counselor
Perawat sebagai wadah untuk bertanya bagi masyarakat dan membei petunjuk
dimana masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya.
 Direct care
Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien,
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi : melakukan
pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi yang benar,
menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil analisis data,
merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang
muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan
keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
 Provider
Dalam perannya sebagai care provider, perawat bertugas untuk :
o Memberi kenyamanan dan rasa aman bagi klien
o Melindungi hak dan kewajiban klien agar tetap terlaksana dengan seimbang
o Memfasilitasi klien dengan anggota tim kesehatan lainnya
o Berusaha mengembalikan kesehatan klien
 Community assessor and developer
Peran dimana perawat harus dapat mengkaji kebutuhan komunitas dan
mengembangkan program di komunitas. Program yang disusun dapat meliputi
program terkait pencegahan primer, sekunder, dan tersier
 Monitor and evaluator of case
peran perawat dalam melaksanakan monitoring (pemantauan) serta memberikan
evaluasi hasil terhadap perubahan yang terjadi pada individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang menyangkut masalah kesehatan.
 Case manager
Perawat mengoordinasi aktivitas anggota tim kesehatan lain. Misalnya ahli gizi
dan ahli terapi fisik, ketika mengatur kelompok yang memberikan keperawatan
pada klien
 Advocate
Perawat mampu memberikan perlindungan terhadap pasien, keluarga pasien, dan
orang-orang disekitar pasien. Hal ini didukung oleh penelitian Umasugi (2018)
bahwa perawat sebagai pelindung, perawat mampu mempertahankan lingkungan
yang aman dan nyaman dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan yang tidak diinginkan dari hasil pengobatan. Contohnya, mencegah
terjadinya alergi terhadap efek pengobatan dengan memastikan bahwa pasien
tidak memiliki riwayat alergi
 Health program planner
Perawat berperan dalam menentukan program yang akan diterapkan untuk
mengatasi berbagai permasalahan kesehatan.
 Participant of developing health policies
Dilakukan perawat ketika perawat harus menetapkan kebijakan terkait kesehatan
dilevel pimpinan. Perawat dapat berpartisipasi dalam menyumbangkan pikiran
dan idenya dalam membuat kebijakan terkait penanganan kesehatan.
 Clien empowerment
Upaya untuk menciptakan / meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara
individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait
upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya.
II. Menetapkan tingkat – tingkat pencegahan
a. Prevensi primer
Ditujukan bagi orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka
yang belum menderita tetapi berpotensi untuk menderita . Perawat komunitas
harus mengenalkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya dan
upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
b. Prevensi sekunder
Bertujuan untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan memberikan intervensi keperawatan sejak awal
penyakit.
c. Prevensi tersier
Apabila sudah muncul penyulit menahun , maka perawat komunitas harus
berusaha mencegah terjadinya kecacatan/komplikasi lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.

Hal – hal yang diperlukan dalam menyusun perencanaan, yaitu :

 Perlu adanya keterlibatan masyarakat dalam merumuskan perencanaan


 Perencanaan disusun Bersama dengan masyarakat
 Perencanaan yang disusun menyesuaikan dengan sumber daya terkait
 Penanggung jawab program adalah dari perawat komunitas dan masyarakat
 Perencanaan dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat

D. Evaluasi
Evaluasi merupakan respon komunitas terhadap program kesehatan yang dilaksanakan
meliputi masukan (input), pelaksanaan (process), hasil (output). Sedangkan fokus
evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas adalah :
a) Relevansi antara kenyataan yang ada dengan pelaksanaan.
b) Perkembangan atau kemajuan proses : apakah sesuai dengan perencanaan,
bagaimana dengan peran staf atau pelaksanaan tindakan, fasilitas dan jumlah
peserta.
c) Efisiensi biaya : pencarian sumber dana dan pengunaannya.
d) Efektifitas kerja : tujuan tercapai dan apakah klien atau masyarakat puas.
e) Dampak : apakah status kesehatan meningkat setelah dilakukan intervensi
f) Evaluasi berfokus pada pencapaian tujuan
g) Evaluasi dilakukan untuk membuat intervensi menjadi lebih efektif
h) Evaluasi dilakukan jika suatu kegiatan selesai dilakukan jika suatu kegiatan selesai
dilaksanakan

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Agnes Dewi. 2014. “Pengaruh Intervensi “Masa Indah” dalam Pelayanan dan Asuhan
Keperawatan Komunitas terhadap Penurunan Tingkat Depresi pada Aggregate Lansia di
Kelurahan Curug, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok”. Skripsi. Fakultas Ilmu
Keperawatan. Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Komunitas. Universitas
Indonesia. Depok.

Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community health nursing : Promoting health of agregates,
families and individuals, 6 th ed. St.Louis : Mosby, inc.

TELAUMBANUA, HARIESTY TALENTA NARWASTU. “Peran Perawat Sebagai Advokat


Pasien Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan di Pelayanan Kesehatan”

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014. Diakses dari


https://ipkindonesia.or.id/media/2017/12/uu-no-18-th-2014-ttg-kesehatan-jiwa.pdf

Widyastuti, Widyastuti, and Fithrina Yudha Utami. "Analisa Peran Perawat Tim Perawatan
Kesehatan Masyarakat Terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga Binaan Dalam Merawat
Penderita Hipertensi." Citra Delima: Jurnal Ilmiah STIKES Citra Delima Bangka
Belitung 3.1 (2019): 43-51.

Anda mungkin juga menyukai