Anda di halaman 1dari 9

Konstruktivistik

Konstruktivistik adalah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan


merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman
kita tentang dunia tempat kita hidup. Konstruktivistik melandasi pemikirannya bahwa
pengetahuan bukanlah sesuatuu yang diberikan dari alam karena hasil kontak manusia
dengan alam, tetapi merupakan hasil dari bentukan aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan
bukanlah suatu tiruan dan gambaran dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang
yang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan
untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997:18).

Asumsi-asumsi dasar dari konstruktivistik seperti yang diungkapkan areh Merril (1991)
adalah sebagai berikut:

1) Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman;


2) Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata;
3) Belajar adalah sebuah proses aktif dimana makna dikembangkan
berlandaskan pengalaman;
4) Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi
tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui
pembelajaran kolaboratif;
5) Belajar dapa dilakukan dengan setting nyata, ujian dapat diitegrasikan
dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah.

Driver dan Bell dalam Hamzah (2008) mengemukakan karakteristik pembelajaran


konstruktivistik sebagai berikut:

i. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki


tujuan.
ii. Belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa.
iii. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan
dikonstruksi secara personal.
iv. Pembelajaran bukanlah transmisi pegetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan situasi lingkungan belajar.
v. Kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat
pembelajaran, materi dan sumber.

Prinsip-Prinsip pemandu dalam konstruktivistik:


1) Belajar merupakan pencarian makna
2) Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (wholes) itu
sama pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian-bagian harus
dipahami dalam konteks keseluruhan.
3) Guru harus memahami model-model mental yang dipergunakan siswa
terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia serta asumsi-asumsi yang
disusun yang menunjang model mental tersebut.
4) Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi
makna, tidak sekadar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna
milik orang lain.

1. Teori Belaja Konstruktivistik


a. Teori Konstruktivistik Piaget
Teori piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna
membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan
“schema/skema (jamak = schemata/skemata)”, atau konsep jejaring untuk
memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di
sekelilingnya. Secara ringkas dijelaskan bahwa menurut teori skema, seluruh
pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit, di dalam unit-unit
pengetahuan ini disimpanlah informasi. Sehingga skema dapat dimaknai
sebagai suatu deskripsi umum atau suatu system konseptual untuk memahami
pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu dinyatakan atau tentang
bagaimana pengetahuan itu diterapkan. Lebih lanjut Piaget menyatakan bahwa
struktur kognitif anak meningkat sesuai dengan perkembangan usianyam
bergerak dari sekadar refleks-refleks awal seperti menangis dan menyusu,
menuju aktivitas mental yang kompleks.

Tiga penekanan dalam teori belajar konstruksivisme yang dikemukakan oleh


Tasker (1992:30) dikutip oleh Hamzah (2008):
1. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna
2. Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
secara bermakna
3. Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima

Wheatly (1991:12) mendukung pendapat Tasker dengan menambahkan dua


prinsip utama dalam pembelajaran sesuai konstruktivistik. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh
struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognitif bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian skema melalui pengalama nyata anak.

Aspek yang berkaitan dengan pembelajaran di teori konstruktivistik menurut


Hanbury (1996) yaitu:

1) Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang


dimiliki
2) Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
3) Strategi siswa sendiri lebih bernilai
4) Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusidan saling bertukar
pengalaman dan pengetahuan dengan temannya.

Saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran yang diajukan oleh


Tyler (1996):

1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dalam


bahasanya sendiri
2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya
agar menjadi lebih kreatif dan imajinatif
3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
4) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
siswa
5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif

Dampak teori konstrukivisme Piaget terhadap pembelajaran:

Kurikulum – pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang


sesuai dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan konseptual anak.

Pengajaran – guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman


bagi anak, atau interaksi di sekelilingnya.

b. Teori Konstruktivistik Sosial dari Vygotsky


Pembelajaran kognisi sosial meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu
utama bagi pengembangan individu. Oleh karenanya, perkembangan
pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudanyaannya,
termasuk budaya dari lingkungan keluarga dimana ia berkembang. Beberapa
kunci pemikiran kognisi sosial dari Vygotsky antara lain:
1) Kebudayaan menciptakan dua macam kontribusi terhadap intelektual anak.
Pertama, anak mendapat pengetahuannya melalui kebudayaan dari sebagian besar
hasil pemikirannya. Kedua, kebudayaan di sekelilingnya menyediakan bagi anak
proses-proses atau memberi makna terhadap hasil pemikirannya.
2) Perkembangan kognitif yang dihasilkan dari sebuah proses dialektika dimana
seorang siswa belajar melalui pengalaman pemecahan masalah akan dipakainya
untuk saling berbagi dengan orang lain, biasanya kepada orangtua, guru, teman
sebaya, atau anak yang lebih kecil.
3) Anak-anak dibebankan tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah
4) Bahasa adalah bentuk primer dari interaksi, melalui orang dewasa membagi
kekayaan pengetahuan yang terkandung dalam kebudayaan kepada anak
5) Anak-anak memiliki bahasanya sendiri untuk perangkat primer bagi adaptasi
intelektualnya
6) Internalisasi terhadap kebudayaan yang kaya akan pengetahuan serta
dipergunakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk bagaimana berpikir
7) Perbedaan antara apa yang dapat dilakukan anak sendiri dengan apa yang
dapat dilakukan oleh siswa dengan bantuan guru ataupun orang tua
8) Keliru untuk berfokus kepada siswa yang terisolasi dalam pemecahan
masalah anak yang umumnya dimediasi oleh bantuan orang dewasa
9) Interaksi dengan kebudayaan di sekelilingnya dan agen-agen masyarakat
seperti orangtua dan teman sebaya yang lebih kompeten menyumbang
perkembangan intelektual anak.

Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik

Menurut teori konstruktivistik, belajar adalah proses pemaknaan atau penyusunan


pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Proses tersebut harus dilakukan oleh siswa, karena pembelajaran
konstruktivistik lebih banyak diarahkan
untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Sehingga siswa bisa memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Ia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi masukan
tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru harus mengambil prakarsa untuk
menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun
yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar
siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali
belajar sepenuhnya ada pada siswa. Asri Budiningsih, (2005:58-59).

Dalam proses belajar konstruktivistik, guru atau pendidik berperan sebagai


fasilitator artinya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan
proses pengkonstruksian pengetahuan berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan
pengetahuan yang dimilikinya pada siswa tetapi dituntut untuk memahami jalan
pikiran atau cara pandang setiap siswa dalam belajar.

Peranan utama guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang


meliputi:

1. Menumbuhkankemandirian pada siswa


dengan memberikan kesempatan untuk bertindak dan
mengambil keputusan.
2. Meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan siswa agar dapat melakukan sesuatunya
dengan baik.
3. Memberikan kemudahan dalam belajar dengan menyediakan
fasilitas yang mendukung dan memberi peluang yang optimal bagi
siswa.
Berdasarkan uraian diatas, tugas guru pada pembelajaran konstruktivis harus lebih
menjadi mitra yang aktif bersama, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan,
membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji
konsep yang diajukan oleh siswa. Oleh karena itu, dapatlah dirumuskan secara
keseluruhan pengertian atau maksud pembelajaran secara konstruktivis adalah
pembelajaran yang berpusatkan pada siswa.

Pusat kegiatan pembelajaran konstruktivistik adalah siswa. Dalam proses belajar,


siswa berusaha menggali dan membentuk pengetahuannya sendiri serta bebas
dalam mengungkapkan pendapat dan pemikirannya. Sehingga segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk
membantu proses belajar tersebut. Dengan demikian, siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berpikir sendiri, mandiri, kritis, kreatif dan mampu bertanggung
jawab.

Lingkungan belajar dimana kegiatan belajar dilaksanakan sangat mendukung


munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas. Sedangkan
menurut pandangan konstruktivistik, realitas ada pada pikiran seseorang, sehingga
manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalaman
dan pengetahuannya sendiri.

Pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu


konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi
yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses
pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Evaluasi merupakan
bagian utuh dari belajar dan menekankan pada keterampilan proses dalam
kelompok. Bentuk-bentuk evaluasi ini dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, tugas-
tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang
dipelajari dalam konteks nyata serta mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan
proses berpikir yang lebih tinggi dan mengkonstruksi pengalaman siswa dan
mengarahkannya pada konteks yang lebih luas.

B. Kelebihan Dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik

1. Kelebihan Teori Belajar Konstruktivistik

a) Pemecahan masalah dan penemuan memberikan pengetahuan yang dapat


bertahan lama, mudah diingat.
b) Dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir.

c) Memberikan motivasi siswa untuk belajar secara terus menerus sampai


pertanyaan mereka terjawab.

2. Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik

a) Membutuhkan pemahaman guru yang konvensional yang menekankan


belajar untuk mendapatkan jawaban yang benar, sehingga menghilangkan
kreativitas siswa dalam mengungkapkan pendapatnya.
b) Sulit membangun kesadaran pemahaman siswa untuk belajar.

Belajar memecahkan masalah dan penemuan memerlukan waktu sehingga akan


mengganggu struktur pembelajaran bidang lain.
Contoh Implementasi:

Implementasi Model Pembelajaran Kontruktivistik Pada Mata Pelajaran


Pendidikan Agama Islam di SDN Babatagung

Guru memulai pembelajaran dengan salam, menyapa dan berdoa, selanjutnya guru
mengecek kehadiran siswa. Diawal pembelajaran dibutuhkan waktu 10 menit untuk
mengkondisikan siswa agar siap secara fisik dan mental mengikuti proses
pembelajaran.

Materi yang diberikan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas V
adalah kisah khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab.20 Metode yang digunakan
guru untuk mata pelajaran pendidikan agama islam adalah dengan diskusi kelompok.
Langkah – langkah yang terdapat pada metode ini diantaranya: 1) Guru mengadakan
apresepsi sebagai pendahuluan dengan memberikan motivasi agar peserta didik lebih
bergairah dalam mengikuti kegiatan belajar. Dalam hal ini guru memutar video
tentang kisah Abu Bakar dan Umar bin Khatab. 2) Guru membentuk dua kelompok
beranggotakan satu laki – laki dan tiga perempuan, dan dua laki – laki dan dua
perempuan. 3) Tiap siswa menulis pelajaran apa yang dapat diambil dari kisah
teladan Abu Bakar dan Umar bin Khatab. 4) Selanjutnya siswa mendiskusikan
pendapat mereka tentang kisah teladan Abu Bakar dan Umar bin Khatab didalam
kelompok. 5) Guru membimbing siswa untuk menulis rumusan hasil diskusi secara
berkelompok tentang kisah teladan Abu Bakar dan Umar bin Khatab. 6) Siswa
mempresentasikan hasil diskusinya dengan kelompok lain. 7) Guru dan siswa
merumuskan kesimpulan dari hasil diskusi. Setelah itu guru menutup pembelajaran
dengan berdoa. 8) Guru memberikan evaluasi dengan mengerjakan buku paket
halaman 102 – 104.

Kesimpulan

Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan


oleh siswa itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui dan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari seseorang (guru) kepada orang lain (siswa).
Daftar Pustaka

Suyono, dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya

http://journal.unisla.ac.id/pdf/131022016/5.%20Inda%20Sih%20Prihatini,%20Implementasi%20Model
%20Pembelajaran%20Konstruktivistik.pdf

Anda mungkin juga menyukai