Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Berdasarkan data terakhir, Indonesia memiliki kekayaan tumbuhan 5 (lima) besar di dunia.
Tumbuhan merupakan bahan baku yang banyak digunakan sebagai obat herbal. Hal tersebut
tentunya menjadi potensi besar yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menunjang sektor
kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Berdasarkan

riwayat

penggunaan

tumbuhan,

obat

herbal

dapat

dikelompokkan menjadi obat herbal tradisional dan obat herbal nontradisional. Obat herbal tradisional
Indonesia dapat berupa Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) serta Fitofarmaka, mengandung
tumbuhan yang telah digunakan secara turun-temurun yang merupakan warisan budaya bangsa
Indonesia. Obat herbal nontradisional mengandung tumbuhan yang tidak memiliki riwayat
penggunaan turun-temurun, namun berpotensi memiliki manfaat bagi kesehatan masyarakat.
(PerKBPOM,2014). Industri farmasi merupakan salah satu tempat Apoteker melakukan pekerjaan
kefarmasian terutama menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian dan pengembangan obat. Untuk menghasilkan produk obat yang
bermutu, aman dan berkhasiat diperlukan suatu tahap kegiatan yang sesuai CPOB yang meliputi
perencanaan, pengendalian dan pemantauan bahan awal, proses pembuatan serta pengawasan
terhadap mutu, peralatan yang digunakan, bangunan, hygiene, sanitasi serta personalia yang terlibat
di setiap proses produksi. Di Indonesia sendiri terdapat industri farmasi salah satunya industri
fitofarmaka. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan ujiklinik, bahan baku dan produk jadinya telah
distandarisasi. Mendirikan industri farmasi dibidang fitofarmaka merupakan salah satu upaya
penyediaan obat untuk menjaga program kesehatan nasional dan sebagai salah satu upaya
meningkatkan kualitas sediaan

obat bahan alam. Terlebih lagi mengantisipasi pasar bebas di era globalisasi maka penerapan
CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk fitofarmaka untuk bersaing dengan produk sediaan
farmasi yang menggunakan bahan–bahan sintetik. Dalam fitofarmaka, pengawasan secara
menyeluruh disertai pemantauan sangat penting untuk menjamin agar konsumen memperoleh produk
yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Mutu tergantung dari bahan awal, proses
produksi, uji klinis, pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia yang menangani. Hal ini
berkaitan dengan seluruh aspek produksi dan periksaan mutu. Oleh karena itulah alasan sehingga
kami membuat proposal ini, guna untuk dapat membahas tentang bagaimana proses untuk
mendirikan Industri Farmasi Fitofarmaka.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Industri Fitofarmaka ? 2. Bagaimana cara
mendirikan Industri Farmasi Fitofarmaka ? 3. Bagaimana cara perizinan mendirikan Industri Farmasi
Fitofarmaka ?
1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Fitofarmaka. 2. Untuk mengetahui cara
mendirikan Industri Farmasi di bidang Fitofarmaka. 3. Untuk mengetahui cara perizinan dalam
mendirikan Industri Farmasi di bidang Fitofarmaka.

dikelompokkan menjadi obat herbal tradisional dan obat herbal nontradisional. Obat herbal tradisional
Indonesia dapat berupa Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) serta Fitofarmaka, mengandung
tumbuhan yang telah digunakan secara turun-temurun yang merupakan warisan budaya bangsa
Indonesia. Obat herbal nontradisional mengandung tumbuhan yang tidak memiliki riwayat
penggunaan turun-temurun, namun berpotensi memiliki manfaat bagi kesehatan masyarakat.
(PerKBPOM,2014). Industri farmasi merupakan salah satu tempat Apoteker melakukan pekerjaan
kefarmasian terutama menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian dan pengembangan obat. Untuk menghasilkan produk obat yang
bermutu, aman dan berkhasiat diperlukan suatu tahap kegiatan yang sesuai CPOB yang meliputi
perencanaan, pengendalian dan pemantauan bahan awal, proses pembuatan serta pengawasan
terhadap mutu, peralatan yang digunakan, bangunan, hygiene, sanitasi serta personalia yang terlibat
di setiap proses produksi. Di Indonesia sendiri terdapat industri farmasi salah satunya industri
fitofarmaka. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan ujiklinik, bahan baku dan produk jadinya telah
distandarisasi. Mendirikan industri farmasi dibidang fitofarmaka merupakan salah satu upaya
penyediaan obat untuk menjaga program kesehatan nasional dan sebagai salah satu upaya
meningkatkan kualitas sediaan

obat bahan alam. Terlebih lagi mengantisipasi pasar bebas di era globalisasi maka penerapan
CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk fitofarmaka untuk bersaing dengan produk sediaan
farmasi yang menggunakan bahan–bahan sintetik. Dalam fitofarmaka, pengawasan secara
menyeluruh disertai pemantauan sangat penting untuk menjamin agar konsumen memperoleh produk
yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Mutu tergantung dari bahan awal, proses
produksi, uji klinis, pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia yang menangani. Hal ini
berkaitan dengan seluruh aspek produksi dan periksaan mutu. Oleh karena itulah alasan sehingga
kami membuat proposal ini, guna untuk dapat membahas tentang bagaimana proses untuk
mendirikan Industri Farmasi Fitofarmaka.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Industri Fitofarmaka ? 2. Bagaimana cara
mendirikan Industri Farmasi Fitofarmaka ? 3. Bagaimana cara perizinan mendirikan Industri Farmasi
Fitofarmaka ?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Fitofarmaka. 2. Untuk mengetahui cara
mendirikan Industri Farmasi di bidang Fitofarmaka. 3. Untuk mengetahui cara perizinan dalam
mendirikan Industri Farmasi di bidang Fitofarmaka.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Farmasi 2.1.1

Pengertian Industri Farmasi Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/MENKES/PER/XII/2010, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat meliputi seluruh tahan
kegiatan dalam

menghasilkan obat mulai dari

pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan
pemastian mutu sampai diperoleh obat yang didistribusikan. Proses pembuatan obat dan/atau bahan
obatnya dapat dilakukan oleh industri farmasi.

2.1.2

Persyaratan Usaha Industri Farmasi Setiap industri farmasi wajib memiliki izin industri farmasi dari
Direktur

Jendral. Wewenang Pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) dan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB). Persyaratan
lain untuk memperoleh izin industri farmasi terdiri atas: a. Berbadan usaha berupa perseroan
terbatas. b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat. c. Memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak. d. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) apoteker Warga Negara Indonesia masing-
masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu. e. Komisaris
dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang kefarmasian. Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan
persetujuan prinsip yang diajukan secara tertulis kepada Direkur Jendral dengan tembusan kepada
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pengajuan permohonan prinsip untuk pendirian usaha industri farmasi diajukan kepada Direktur
Jendral. Permohonan persetujuan prinsip

dilakukan oleh industri Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri, harus
memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan
penanaman modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan prinsip diberikan
setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
Setiap industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans. Bila industri farmasi menemukan obat dan
atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan,
khasiat/keamanan dan mutu, industri farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap
berproduksi sesuai persyaratan CPOB. Izin industri farmasi diberikan kepada Menteri Kesehatan dan
wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Setelah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip, industri farmasi dapat mengajukan
permohonan izin industri farmasi. Permohonan izin industri farmasi diajukan kepada Kepala Badan
dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Setempat. Surat permohonan izin industri farmasi harus
ditandatangani oleh Direktur Utama dan Apoteker Penanggung jawab pemastian mutu dengan
kelengkapan sebagai berikut: a. Fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi; b. Surat Persetujuan
Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman
Modal Dalam Negeri; c. Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan; d. Jumlah tenaga kerja
dan kualifikasinya; e. Fotokopi sertifikat upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan/Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; f. Rekomendasi kelengkapan administratif izin
industri farmasi dari kepala dinas kesehatan provinsi; g. Rekomendasi pemenuhan persyaratan
CPOB dari Kepala Badan; h. Daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir;

i. Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu; j. Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-rnasing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu dari pimpinan perusahaan; k. Fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker
(STRA) dari masingmasing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu; dan l. Surat pernyataan
komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran
perundang-undangan di bidang kefarmasian. Persyaratan registrasi obat dalam negeri menurut
persyaratan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 sebagai
berikut: a. Registrasi obat produk dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki
izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri. b. Industri farmasi yang dimaksud tersebut harus
memenuhi persyaratan CPOB. c. Pemenuhan persyaratan CPOB yang dimaksud dibuktikan dengan
sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh Kepala Badan. Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya
selama Industri Farmasi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan
perundangundangan. Industri farmasi yang menghasilkan obat atau bahan obat dapat
mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi,
apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Industri farmasi wajib menyampaikan laporan
industri kepada Direktorat Jenderal BPOM mengenai kegiatan usahanya setiap 6 bulan, meliputi
jumlah dan nilai produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan dan setiap 1 tahun untuk
laporan lengkapnya.

Jika industri farmasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan yang tercantum
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010, dapat
dikenakan sanksi administratif berupa: a. Peringatan secara tertulis; b. Larangan mengedarkan untuk
sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran
bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan, atau mutu; c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu; d. Penghentian sementara
kegiatan; e. Pembekuan izin industri farmasi; atau f. Pencabutan izin industri farmasi.

2.1.3

Perizinan Usaha Industri di Daerah Mendirikan sebuah industri di suatu daerah wajib memiliki izin dari

pemerintah daerah setempat. Pemberian Izin Usaha Industri melalui Persetujuan Prinsip. 1.
Persetujuan Prinsip diberikan kepada perusahaan industri untuk melakukan persiapan

dan

usaha
pembangunan,

pengadaan,

pemasangan

instalasi/peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan. 2. Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan
dengan melampirkan dokumen sebagai berikut : a. Copy Izin Gangguan. b. Copy Akte Pendirian
Perusahaan dan atau perubahannya, khusus bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas,
akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. c. Dokumen yang dipersyaratkan
berdasarkan ketentuan Peraturan. 3. Perundang-Undangan

bagi

industri

tertentu.

Persetujuan

Prinsip

sebagaimana dimaksud pada huruf a bukan merupakan Izin untuk melakukan produksi komersial.

4. Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri yang bersangkutan wajib


menyampaikan informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi sesuai dengan
Persetujuan Prinsip setiap 1 (satu) Tahun sekali paling lambat 31 Januari Tahun berikutnya. 5.
Pemegang

Persetujuan

Prinsip

yang

tidak

dapat

menyelesaikan

pembangunan pabrik dan sarana produksi dalam waktu 3 (tiga) Tahun dapat mengajukan permintaan
Perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu) kali selambat-lambatnya 1 (satu) Tahun. 6.
Perusahaan Industri yang telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksinya serta
telah memenuhi semua ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, wajib mengajukan permintaan
Izin Usaha Industri dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut : a. Copy Akte Pendirian Perusahaan
dan atau perubahannya, khusus bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas, Akte tersebut
telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. b. Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB) c. Copy Surat
Persetujuan Prinsip. d. Informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi (proyek). e.
Copy Izin Gangguan. f. Copy Izin Lokasi. g. Copy dokumen penyajian informasi tentang usaha-usaha
pelestarian lingkungan yang meliputi : 1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ; 2) Upaya
pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. h. Dokumen tambahan yang
dipersyaratkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan bagi industri tertentu. 7.
Pejabat sesuai dengan kewenangannya harus mengadakan pemeriksaan lokasi pabrik guna
memastikan bahwa pembangunannya telah selesai. 8. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada huruf g pejabat yang berwenang : a. Memberikan Izin Usaha Industri.

b. Menundanya dengan keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan pabrik


dan sarana produksi belum selesai dan atau belum memenuhi persyaratan. Permohonan perizinan
industri farmasi kepada Perusahaan Industri yang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.
Memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) memiliki Izin Lokasi. b. Memiliki Izin Gangguan. c. Memiliki
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). d. Telah selesai membangun pabrik dan sarana
produksi. Pencabutan izin pendirian industri farmasi juga dapat terjadi jika: a. Perusahaan Industri
yang melakukan perluasan tanpa memiliki Izin Perluasan. b. Perusahaan Industri yang melakukan
pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis dari Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu. c. Perusahaan Industri yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran akibat kegiatan
usaha industri terhadap lingkungan hidup melampaui batas baku mutu lingkungan. d. Perusahaan
Industri yang melakukan kegiatan usaha industri tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
dalam Izin yang diperolehnya. e. Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan informasi industri
atau dengan sengaja menyampaikan informasi industri yang tidak benar.

2.1.4

Pembinaan dan Pengawasan Permohonan terhadap perkembangan industri farmasi dilakukan oleh

Direktur Jendral dan pedoman mengenai pembinaan ditetapkan oleh Kepala BPOM. Pengawasan
terhadap industri farmasi dilakukan oleh Kepala BPOM. Dalam melakukan pengawasan, tenaga
pengawas dapat melakukan pemeriksaan seperti berikut: a. Memasuki setiap tempat yang diduga
digunakan dalam kegiatan pembuatan, penyimpanan, perdagangan obat dan bahan obat untuk
memeriksa, meneliti,

dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembuatan, penyimpanan,
perdagangan obat dan bahan obat. b. Membuka dan meneliti kemasan obat dan bahan obat. c.
Memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan
pembuatan, penyimpanan, perdagangan obat dan bahan obat termasuk menggandakan atau
mengutip keterangan tersebut. d. Mengambil gambar (foto) seluruh atau sebagian fasilitas dan
peralatan yang digunakan dalam pembuatan, penyimpanan, perdagangan obat dan bahan obat. 2.1.5

Pencabutan Izin Industri Farmasi Izin usaha industri farmasi dicabut dalam hal:

a. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapatkan izin usaha industri farmasi melakukan
pemindahtanganan hak milik izin sesuai dengan ketentuan dalam surat keputusan. b. Perusahaan
industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi tidak menyampaikan informasi
industri farmasi secara berturut-turut 3 (tiga) kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang
tidak benar. c. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi
melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Menteri.
d. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi dengan sengaja
memproduksi obat jadi dan atau bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang
berlaku. e. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam izin usaha industri farmasi yang ditetapkan dalam
surat keputusan.

2.2

Fitofarmaka

2.2.1

Pengertian Fitofarmaka Fitofarmaka adalah obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan

dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti
ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia dengan kriteria memenuhi syarat ilmiah, protokol uji
yang telah disetujui, pelaksana yang

kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat. Dengan uji klinik akan
lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan
kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas
dengan pembuktian secara ilmiah. Adapun prioritas pemilihan untuk fitofarmaka, yaitu: a. Bahan
bakunya relatif mudah diperoleh. b. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia. c. Perkiraan
manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar. d. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang
menguntungkan penderita. e. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan. Ramuan (komposisi)
hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/sediaan galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan
dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima)
simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah diketahui
khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman. Standar Bahan baku harus memenuhi persyaratan
yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika
Indonesia. Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan
ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain. Penggunaan ketentuan atau
persyaratan lain diluar Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia dan Material Indonesia
harus mendapat persetuiuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka. Untuk menjamin keseragaman
khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin
keseragaman komponen aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus
dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif. Secara bertahap industri harus
meningkatkan persyaratan tentang rentang kadar alkaloid total, kadar minyak atsiri dan lain
sebagainya. Penggunaan zat kimia berkhasiat (tunggal murni) dalam fitofarmaka dilarang.
Fitofarmaka harus didukung oleh hasil pengujian, dengan protocol pengujian yang jelas dan dapat
dipertanggung jawabkan. Pengujian meliputi toksisitas, uji efek, farmakologik, uji klinik, uji kualitas
dan pengujian lain yang

10

dipersyararkan. Setiap fitofarmaka harus dapat dijamin kebenaran komposisi, keseragaman


komponen aktif dan keamanannya baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Pada analisis
terhadap ramuan, sebagai baku pembanding digunakan zat utama atau zat identitas lainnya. Secara
bertahap industri harus mempertajam perhatian terhadap galur fitokimia simplisia yang digunakan.

2.3 Lokasi dan Bangunan Lokasi pabrik/industri obat tradisional bebas dari pencemaran dan tidak
mencemari lingkungan. Menurut BPOM tahun 2005, bangunan industri obat tradisional hendaklah
menjamin aktifitas industri dapat berlangsung dengan aman. 1. Bangunan industri obat tradisional
hendaklah berada di lokasi yang terhindar dari pencemaran, dan tidak mencemari lingkungan.
Bangunan industri obat tradisional hendaklah memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. 2.
Bangunan untuk pembuatan obat tradisional hendaklah memiliki rancangan, ukuran dan konstruksi
yang memadai agar: a. Tahan terhadap pengaruh cuaca, serta dapat mencegah masuknya rembesan
dan masuk bersarangnya serangga, binatang pengerat, burung atau binatang lainnya; b.
Memudahkan dalam pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan. 3. Bangunan industri obat
tradisional hendaklah memiliki ruangan-ruangan pembuatan yang rancang bangun dan luasnya
sesuai dengan bentuk, sifat dan jumlah produk yang dibuat, jenis dan jumlah peralatan yang
digunakan, jumlah karyawan yang bekerja serta fungsi ruangan, seperti: a. Ruangan atau tempat
administrasi; b. Ruangan atau tempat penyimpanan simplisia yang baru diterima dari pemasok; c.
Tempat sortasi; d. Tempat pencucian; e. Ruangan, tempat atau alat pengeringan; f. Ruangan atau
tempat penyimpanan simplisia termasuk bahan baku lainnya yang telah diluluskan;

11

g. Tempat penimbangan; h. Ruangan pengolahan; i. Ruangan atau tempat penyimpanan produk


antara dan produk ruahan; j. Ruangan atau tempat penyimpanan bahan pengemas; k. Ruangan atau
tempat pengemasan; l. Ruangan atau tempat penyimpanan produk jadi termasuk karantina produk
jadi; m. Laboratorium atau tempat pengujian mutu; n. Jamban / toilet; o. Ruangan atau tempat lain
yang dianggap perlu.

2.4 Struktur Organisasi Industri fitofarmaka dipimpin oleh seorang direktur, dikepalai oleh seorang
Manager operasional yang membawahi beberapa departemen, yaitu: Produksi, Quality Control (QC),
Quality Assurance (QA), Research and Development (R&D), Production Planning and Inventory
Control (PPIC), Personalia, Gudang, Teknik, Registrasi, Document Control dan Extraction Centre.

2.5 Biaya Investasi dan Operasional Struktur biaya yang diperlukan untuk industri fitofarmaka terdiri
dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah biaya awal yang diperlukan
sebelum kegiatan operasional dilakukan. Sedangkan biaya operasional diperlukan pada saat proses
produksi mulai dilakukan. Biaya investasi diperlukan untuk memulai industri fitofarmaka yang meliputi
biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan serta perizinan yang diperlukan. Biaya investasi ini
bersifat tetap (fixed) dan harus dikeluarkan di tahun ke-0 sebelum melakukan usaha. Biaya
operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam memproduksi fitofarmaka. Besarnya biaya
operasional ini tergantung pada jumlah yang akan diproduksi. Semakin banyak jumlah bahan baku
yang diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi. Oleh karena itu, biaya operasional
umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang terdiri dari biaya bahan baku dan

12

biaya tenaga kerja langsung. Tetapi selain biaya tidak tetap, biaya operasional juga meliputi biaya
overhead yang merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan setiap bulannya dan sifatnya tidak
langsung.

2.6 Penetapan BEP Menurut Marwan Asri (1991: 316), Break Even Point adalah suatu titik yang
menunjukkan volume penjualan tertentu tanpa menimbulkan laba maupun rugi bagi penjual.
Penetapan BEP dalam suatu perusahaan tentu sangat diperlukan agar produsen dapat mengetahui
berapa penjualan yang harus tercapai dalam kurun waktu tertentu sehingga perusahaan tersebut
berada pada keadaan dimana perusahaan tersebut tidak mengalami untung atau rugi dalam
pemasaran. Apabila kita menginginkan keuntungan maka kita harus memproduksi lebih dari BEP
yang telah ditentukan. Menurut Basu Swastha dan Ibnu Sukatjo (2001: 271), ada beberapa konsep
yang perlu diketahui untuk dapat melakukan perhitungan dengan BEP yaitu : 1. Biaya tetap Biaya
tetap adalah biaya-biaya yang tidak berubah-ubah (konstan) untuk setiap tingkatan/jumlah hasil yang
dproduksi, misalnya gedung, pabrik, sewa tanah, gaji karyawan tetap. 2. Biaya variabel atau biaya
tidak tetap Biaya variabel adalah biaya yang berubah – ubah disebabkan karena adanya jumlah hasil
produksi misalnya bahan mentah, bahan baku, gaji karyawan tidak tetap dan kemasan.

3. Biaya total Biaya total adalah seluruh biaya yang akan dikeluarkan oleh perusahaan atau biaya
total adalah jumlah dari biaya variabel dan biaya tetap. Rumus perhitungan untuk menentukan titik
break even adalah sebagai berikut :

13

Keterangan : BT : Biaya Tetap. H : Harga jual per unit. BV: Biaya Variabel

Jenis Break Point Event (BEP) 1. BEP Unit : titik pulang poko (BEP) yang dinyatakan dalam jumlah
penjualan produk dinilai tertentu. 2. BEP Rupiah : BEP atau titik pulang pokok yang dinyatakan dalam
jumlah penjualan atau harga penjualan (P). Rumus menghitung BEP 𝐵𝐸𝑃 𝑢𝑛𝑖𝑡 =

𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 (ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 − 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡)

𝐵𝐸𝑃 𝑟𝑢𝑝𝑖𝑎ℎ =

𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 1− ) ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡

Keterangan: a) BEP Unit / rupiah = BEP dalam unit (Q) dan BEP dalam rupiah (P) b) biaya tetap =
biaya yang jumlahnya tetap walaupun usaha anda tidak sedang berproduksi. c) biaya variable = biaya
yang jumlahnya meningkat sejalan peningkatan jumlah produksi seperti bahan baku, bahan baku
pembantu, listrik, bahan bakar dan lain-lain. d) harga per unit = harga jual barang atau jasa per unit
yang dihasilkan.

14

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Visi dan Misi Visi dari PT. Fitofarmaka yaitu menjadi perusahaan penghasil produk herbal yang
memberikan solusi terhadap masalah kesehatan. Selanjutnya upaya PT. Fitofarmaka untuk
mewujudkan visi tersebut tertuang dalam misinya yaitu menyediakan produk yang aman, berkualitas,
berkhasiat, lengkap, merata dan harga terjangkau melalui manusia, inovasi dan teknologi.

Lantai pertama terdiri dari beberapa area, yaitu : 1. Kantor (ruang direktur, ruang manager, ruang
staff, ruang administrasi, ruang R3.2 Lokasi dan Bangunan PT. Fitofarmaka bagian produksi
sediaan berlokasi di Jalan Raya Banjaran Kabupaten Bandung. Bangunannya memiliki luas total
5.030 m2 yang berdiri di atas lahan seluas 7.300 m2 dan terdiri atas tiga lantai mencakup kantor,
prasarana produksi dan prasarana pendukung. &D, ruang tamu dan ruang meeting). 2. Prasarana
produksi :

kelas E (produksi : tablet; pengemasan primer; ruang In Process Control/ IPC; Work In Process/WIP).

kelas F (pengawasan sekunder, gudang bahan baku dan bahan kemasan I).

3. Prasarana pendukung : -

Pengolahan limbah
- Dapur

- Ruang laundry

Pengolahan air RO

- Kantin

- Ruang ganti

Lapangan parkir

- Toilet

- Mushola

Lantai kedua terdiri dari : 1. Kantor (ruang R&D. ruang QC dan ruang meeting). 2. Prasarana
produksi :

kelas E : produksi untuk granul tablet, pengemasan primer dan WIP.

kelas F : gudang bahan kemas II.

3.3 Struktur Organisasi PT. Fitofarmaka dipimpin oleh seorang direktur yang sekaligus sebagai
pendirinya. Kegiatan produksi yang berlokasi di jalan Raya Banjaran Kabupaten Bandung, dikepalai
oleh seorang Manager operasional yang membawahi beberapa departemen, yaitu: Produksi, Quality
Control (QC), Quality Assurance (QA), Research and Development (R&D), Production Planning and
Inventory Control (PPIC), Personalia, Gudang, Teknik, Registrasi, Document Control dan Extraction
Centre. Bagan struktur organisasi indutri dapat dilihat pada gambar 1. 3.3.1 Tugas Tiap Bidang 1.
Produksi Bagian yang memproduksi sediaan; tablet. kegiatan produksi meliputi alur proses
pembuatan dimulai dari pengadaan bahan awal (IPC) termasuk penyiapan bahan baku (gudang),
pengolahan sampai dengan pengemasan untuk menghasilkan produk jadi. 2. Quality Control (QC)
Pengawasan mutu (QC) merupakan bagian yang paling penting dalam pelaksanaan CPOTB (Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) di industri farmasi, karena bagian inilah yang berwenang
untuk meluluskan atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk jadi.
sehingga produk yang dihasilkan selalu dapat memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan melalui
serangkaian pengujian dan penanganan. Syarat mutu tersebut adalah spesifikasi, identitas dan
karakteristik sesuai standard yang telah ditetapkan. Bagian pengamasan mutu (QC) di industri
fitofarmaka terdiri dari 1 orang KaBag, 2 orang staff, 1 analis, 1 analis IPC kelas E, 2 analis kelas F, 1
analis kimia-fisika dan 2 analis mikrobiologi. 3. Research and Development (R&D) Bagian yang
sangat diperlukan bagi sebuah perusahaan untuk selalu melakukan penelitian yang dapat
menghasilkan produk-produk baru. 4. Production Planning and Inventory Control (PPIC) Bagian PPIC
merupakan bagian yang melakukan perencanaan pengadaan barang-barang dan perhitungan
kebutuhan produksi sehingga

16
yang bekerja dibagian ini adalah orang yang sudah mengetahui dan pernah menjalani kegiatan
dibagian produksi. 5. Personalia Bagian personalia di industri fitofarmaka terdiri dari 1 kasie. kegiatan
personalia meliputi: -

Pengadaan serta pengendalian sumber daya manusia (SDM) mencakup sistem rekruitmen tenaga
kerja, perjanjian kontrak kerja, cuti, pendataan pegawai dll.

Perencanaan program pelatihan pegawai beserta pengelolaan sertifikat pelatihan.

Koordinasi antar unit kerja.

Sistem penggajian.

Pelaksanaan evaluasi/penilaian kinerja serta penetapan insentif dan sanksi (surat peringatan). Bagian
personalia selalu berhubungan dengan bagian lain dalam

pelaksanaan kegiatannya, yaitu bekerjasama dengan supervisor dan tim CPOTB dalam pelaksanaan
pelatihan CPOTB, bekerjasama dengan PPIC terkait penempatan karyawan, serta bekerjasama
dengan supervisor produksi dan bagian mekanik dalam penempatan operator. 6. Gudang Bagian
gudang memiliki peran penting dalam kegiatan penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran bahan
baku kemasan maupun produksi jadi. pelaksanaan kegiatan tersebut berdasarkan dengan bagian
lain, yaitu: -

Bagian PICC dalam proses perencanaan pembelian/pengadaan material.

Bagian pruchasing dalam proses pembelian/pengadaan material.

Bagian QC dalam proses pemeriksaan bahan baku, bahan kemasan dan produk.

Bagian produksi dalam proses pelayanan material dan penerimaan produk jadi.

17

Gambar 1. Struktur Organisasi PT. Fitofarmaka Banjaran Bandung kelas I

Kasie Produksi I Staff Gudang Rempah

Kabag Produksi Kasie Kasie Packing kelas II


Kabag QC

Staff QC

Kabag QA

Staff QA Kasie R&D Produk

Operasional manager

Staff R&D Kemasan

Kasie

Koordinator AMI

Kasie Gudang Kasie Teknik Staff PPIC Prod & Inf.Control

PPIC

Direktur Staff PPIC Material Control Staff Registrasi Staff Doc. Control Kabag BEC

Ka.Div. Finance & Purchasing

Finance & Purchasing Manager

Kasie Produksi & Teknik

Kabag Purchasing Kabag Fin & Acc Manager Luar Pulau Manager Export

GM Marketing

Marketing Manager Manager Cabang

Kasie Gudang Produk Jadi

Manager Produksi

18

3.4 Biaya Investasi dan Operasional Struktur biaya yang diperlukan untuk PT. Fitofarmaka terdiri dari
biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah biaya awal yang diperlukan sebelum
kegiatan operasional dilakukan. Sedangkan biaya operasional diperlukan pada saat proses produksi
mulai dilakukan. 3.4.1 Biaya Investasi Biaya investasi diperlukan untuk memulai PT. Fitofarmaka yang
meliputi biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan serta perizinan yang diperlukan. Biaya investasi
ini bersifat tetap dan harus dikeluarkan di tahun ke-0 sebelum melakukan usaha. Jumlah biaya
investasi yang diperlukan pada tahun ke-0 adalah sebesar Rp. 5.217.000.000,-. Secara lebih rinci
jenis investasi dan kebutuhan biaya masingmasing investasi dapat dilihat pada Tabel 5.2. berikut. No.

Uraian

Jumlah Biaya (Rp)


1.

Perizinan

7.000.000

2.

Tanah/Lahan

450.000.000

3.

Bangunan

800.000.000

4.

Alat transportasi

580.000.000

5.

Mesin dan Peralatan

380.000.000

Total

2.217.000.000

3.4.2 Biaya Operasional Biaya operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam memproduksi
PT. Fitofarmaka. Besarnya biaya operasional ini tergantung pada jumlah yang akan diproduksi.
Semakin banyak jumlah bahan baku yang diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi.
Oleh karena itu, biaya operasional umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang terdiri
dari biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Tetapi selain biaya tidak tetap, biaya
operasional juga meliputi biaya overhead yang merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan setiap
bulannya dan sifatnya tidak langsung. Biaya overhead termasuk didalamnya biaya untuk tenaga kerja
karena tenaga kerja yang ada merupakan tenaga kerja tetap. Kebutuhan biaya operasional per
bulan :

19

No.

Uraian

Jumlah Biaya (Rp)


1.

Biaya bahan baku

115.000.000

2.

Biaya bahan pembantu

17.000.000

3.

Biaya bahan pengemas

35.000.000

4.

Biaya overhead

75.000.000

5.

Instalasi listrik dan komunikasi

15.000.000

Total

225.500.000,-

Total anggaran biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 2.442.500.000,Biaya tetap per bulan Rp.
55.000.000,Harga jual per unit : Rp. 40.000,Harga produksi per unit : Rp. 20.000,-

3.5 Penetapan BEP Unit mencari BEP dalam unit adalah sebagai berikut : 𝐵𝐸𝑃 𝑢𝑛𝑖𝑡 =

Rp. 55.000.000 = 2.750 𝑢𝑛𝑖𝑡 Rp. 40.000 − 𝑅𝑝. 20.000

𝐵𝐸𝑃 𝑟𝑢𝑝𝑖𝑎ℎ =

𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 1−( ) ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 Rp. 55.000.000 𝑅𝑝. 20.000 1 − (𝑅𝑝. 40.000)

= 𝑅𝑝 110.000.000, − Jadi BEP tercapai ketika penjualan mencapai 4000 unit atau penjualan
mencapai nilai Rp. 120.000.000,-. Untuk membuktikan kedua hasil tersebut dengan : BEP = Unit BEP
x harga jual unit = 2.750 x Rp. 40.000 = Rp. 110.000.000,-

20
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Industri
merupakan suatu kegiatan manufaktur. 2. Industri farmasi dapat memproduksi obat jika industri
tersebut memiliki surat izin dari Menteri Kesehatan. Perpanjangan surat izin tersebut dilakukan
selama 5 tahun sekali. 3. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk industri fitofarmaka adalah Rp
2.217.000.000 dan Biaya operasional yang dibutuhkan adalah Rp 225.500.000. 4. Jadi BEP tercapai
ketika penjualan mencapai 2.750 unit atau penjualan mencapai nilai Rp. 110.000.000,-. 4.2 Saran
Industri fitofarmaka yang ada di indonesia sebaiknya memproduksi obat herbal dengan standar yang
telah ditentukan oleh BPOM lebih banyak lagi karena indonesia memiliki tanaman obat herbal yang
melimpah, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menciptakan obat herbal terstandar yang baru
dan bermutu. Industri fitofarmaka perlu mendapatkan pembinaan dan dukungan dalam hal
permodalan, teknis produksi, pemasaran dan manajemen usaha secara umum, baik dalam bentuk
kebijakan maupun pembinaan lain yang lebih bersifat teknis, dari pihak perbankan, pemerintah
daerah, departemen terkait, maupun tokoh masyarakat.

21

Anda mungkin juga menyukai