ANGINA
Disusun oleh:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi 1.
Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Hiperlipidemia. Makalah ini dapat
diselesaikan tak luput oleh adanya dorongan serta bantuan baik secara materiil maupun moril
kepada penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu dalam proses pembuatan makalah ini, terutama Dra. Azizahwati M.S., Apt.. sebagai
dosen pembimbing mata kuliah Farmakoterapi 1.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Namun, penulis
menyadari makalah ini jauh dari sempurna karena itu penulis memohon maaf apabila terdapat
kesalahan yang kurang berkenan. Selain itu, penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
2.5.4 Algoritma Terapi Angina ................................................................................... 49
2.5.5 Algoritma terapi CAD........................................................................................ 50
2.6 Penatalaksanaan ........................................................................................................ 50
2.6.1 Penatalaksanaan aterosklerosis .......................................................................... 50
2.6.2 Penatalaksanaan iskemia .................................................................................... 51
2.6.3 Penatalaksanaan aritmia ..................................................................................... 51
2.6.4 Penatalaksanaan angina dan PJK ....................................................................... 52
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 54
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 54
3.2 Saran .......................................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 55
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.3.1 Derajat Stenosis Lumen menurut SCCT dan Kategori CAD-RADS……………19
Tabel 2.3.2 Stratifikasi Risiko dan Prognosis berdasarkan DTS……………………..………24
Tabel 2.4.1 Preparasi, Dosis, dan Rute Administrasi Obat Golongan Nitrat……...…………31
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
• Untuk mengetahui proses terjadinya aterosklerosis?
• Untuk mengetahui tentang iskemia, aritmia, angina dan PJK?
• Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium dari iskemia, aritmia, angina dan PJK?
• Untuk mengetahui terapi farmakologi serta DRP yang terkait dengan terapi iskemia,
aritmia, angina dan PJK?
• Untuk mengetahui algoritma terapi dari iskemia, aritmia, angina dan PJK?
• Untuk mengetahui penatalaksanaan iskemia, aritmia, angina dan PJK?
2
BAB II
ISI
2.1 Aterosklerosis
2.1.1 Definisi
3
miokard meningkat lima kali lipat antara usia 40 dan 60. Tingkat kematian
akibat IHD terus meningkat setiap dekade berturut-turut.
3. Gender laki-laki
Semua faktor lain dianggap sama, wanita pramenopause relatif terlindungi dari
aterosklerosis (dan konsekuensinya) dibandingkan dengan pria dengan usia
yang sama. Namun, setelah menopause, kejadian penyakit terkait
aterosklerosis meningkat dan, di usia tua, bahkan melebihi pada pria.
4. Hiperlipidemia
Faktor risiko utama untuk pengembangan aterosklerosis dan cukup untuk
menyebabkan lesi tanpa adanya faktor risiko lain. Komponen kolesterol utama
yang terkait dengan peningkatan risiko adalah low-density lipoprotein (LDL)
(kolesterol jahat). LDL mendistribusikan kolesterol ke jaringan perifer.
Sebaliknya, high-density lipoprotein (HDL) (kolesterol baik) memobilisasi
kolesterol dari plak vaskular yang berkembang dan yang ada dan
membawanya ke hati untuk ekskresi bilier. Akibatnya, tingkat HDL yang lebih
tinggi berkorelasi dengan penurunan risiko.
5. Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan risiko IHD sekitar 60%. Hipertensi juga
merupakan penyebab utama hipertrofi ventrikel kiri (LVH), yang juga dapat
berkontribusi pada iskemia miokard.
6. Merokok
Merokok dalam jangka waktu lama (bertahun-tahun) satu atau lebih bungkus
rokok sehari meningkatkan angka kematian terkait IHD sampai dua kali lipat,
sementara berhenti merokok mengurangi risiko tersebut.
7. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus dikaitkan dengan peningkatan kadar kolesterol dalam
sirkulasi dan secara nyata meningkatkan risiko aterosklerosis.
4
2.1.2 Patofisiologi
5
teroksidasi dalam dinding arteri merupakan pemicu utama proses inflamasi
yang mengarah pada perkembangan plak aterosklerotik.
2. Biasanya, tahap awal aterosklerosis ditandai dengan akumulasi jumlah low-
density lipoprotein (LDL) yang berlebihan, yang disebut kolesterol jahat
dalam kombinasi dengan pembawa protein di bawah endotelium. Ketika LDL
terakumulasi di dalam dinding pembuluh darah, produk kolesterol ini menjadi
teroksidasi, terutama oleh limbah oksidatif yang diproduksi oleh sel-sel
pembuluh darah. Limbah ini adalah radikal bebas, partikel elektron-deficient
yang sangat tidak stabil yang sangat reaktif dan menyebabkan kerusakan sel
dengan mengambil elektron dari molekul lain.
3. Sebagai respon keberadaan LDL teroksidasi atau iritan lainnya, sel endotel
menghasilkan bahan kimia yang menarik monosit, sejenis sel darah putih, ke
situs tersebut. Sel-sel imun ini memicu respons inflamasi lokal.
4. Begitu mereka meninggalkan darah dan memasuki dinding pembuluh, monosit
menetap secara permanen, membesar, dan menjadi sel fagositik besar yang
disebut makrofag. Makrofag dengan rakus memfagositkan LDL yang
teroksidasi sampai sel-sel ini menjadi begitu penuh dengan tetesan lemak
sehingga tampak berbusa di bawah mikroskop disebut foam cell, makrofag
yang membengkak ini terakumulasi di bawah lapisan pembuluh dan
membentuk garis lemak yang terlihat, awal dari plak aterosklerotik.
5. Dengan demikian, tahap paling awal dari plak adalah akumulasi di bawah
endotelium dari deposit kaya kolesterol. Penyakit ini berkembang seiring
dengan sel otot polos di dalam dinding pembuluh darah berpindah dari lapisan
otot pembuluh darah ke posisi di atas penumpukan lipid, tepat di bawah
endotelium. Migrasi ini dipicu oleh bahan kimia yang dilepaskan di situs
inflamasi. Di lokasi barunya, sel otot polos terus membelah dan membesar.
Bersama-sama inti yang kaya lipid dan otot polos di atasnya membentuk plak
yang mature.
6. Saat terus berkembang, plak semakin membengkak ke dalam lumen pembuluh
darah, mempersempit lubang tempat darah dapat mengalir.
7. Lebih lanjut berkontribusi pada penyempitan pembuluh darah, LDL
teroksidasi menghambat pelepasan oksida nitrat dari sel endotel. Oksida nitrat
adalah messenger kimia lokal yang melemaskan lapisan di bawah sel otot
polos normal di dalam dinding pembuluh darah. Relaksasi sel otot polos ini
6
melebarkan pembuluh darah. Karena pelepasan oksida nitrat yang berkurang,
pembuluh yang rusak akibat pembentukan plak tidak dapat membesar seperti
biasanya.
8. Plak yang menebal juga mengganggu pertukaran nutrisi untuk sel-sel yang
terletak di dalam dinding arteri yang terlibat, yang menyebabkan degenerasi
dinding di sekitar plak. Area yang rusak diserang oleh fibroblas (scar-forming
cells), yang membentuk cap jaringan ikat kaya kolagen di atas plak.
1. Vulnerable plaque
Berisiko tinggi pecah, plak yang mengandung sel busa dalam jumlah besar dan
lipid ekstraseluler yang melimpah, plak yang memiliki fibrous cap tipis yang
mengandung sedikit sel otot polos, dan plak yang mengandung kelompok sel
inflamasi. Dapat menyebabkan komplikasi iskemik yang dramatis dan
berpotensi fatal terkait dengan ruptur plak akut, trombosis, atau embolisasi.
2. Stable plaque
Lapisan fibrous cap lebih tebal dan tidak mudah ruptur. Dapat menghasilkan
gejala yang berkaitan dengan iskemia kronis dengan penyempitan pembuluh
darah.
7
2.2 Iskemia, Aritmia, Angina, Penyakit Jantung Koroner
2.2.1 Iskemia
Ischemic Heart Disease (IHD) merupakan kondisi ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen miokard. IHD merupakan manifestasi aterosklerosis yang
secara bertahap telah berkembang selama beberapa waktu
a. Manifestasi
1. Angina pectoris (nyeri dada): iskemia menginduksi nyeri pada angina
tetapi tidak menyebabkan kematian miosit
2. Infark miokard (serangan jantung): terjadi apabila keparahan atau durasi
iskemia menyebabkan kematian miosit
3. Iskemia kronis dengan gagal jantung kongestif: kondisi dekompensasi
jantung progresif setelah infark miokard akut atau akibat akumulasi
iskemia kecil yang akhirnya menjadi parah dan menyebabkan kegagalan
pompa jantung
4. Kematian jantung mendadak: akibat kerusakan jaringan jantung yang
disebabkan infark miokard, tetapi lebih sering akibat aritmia letal tanpa
nekrosis miosit
b. Patofisiologi
IHD terutama merupakan konsekuensi dari perfusi koroner yang tidak
adekuat relatif terhadap kebutuhan miokard. Ketidakseimbangan ini terjadi
sebagai konsekuensi dari kombinasi oklusi aterosklerotik arteri koroner yang
sudah ada sebelumnya dan trombosis baru yang ditumpangkan dan/atau
vasospasme. Pada aterosklerosis, terjadi penumpukan lemak di dinding dalam
pembuluh darah jantung (pembuluh koroner) sehingga terdapat penimbunan
jaringan ikat, perkapuran, dan trombus yang mempersempit atau menyumbat
pembuluh darah dan menurunkan aliran darah koroner yang akhirnya membuat
jantung kekurangan nutrisi dan oksigen.
Onset iskemia miokard tidak hanya bergantung pada luas dan parahnya
penyakit aterosklerotik tetap tetapi juga pada perubahan dinamis dalam
morfologi plak koroner. Pada kebanyakan pasien, angina tidak stabil, infark,
dan seringkali kematian jantung mendadak terjadi karena perubahan plak
mendadak yang diikuti oleh trombosis, atau disebut juga acute coronary
syndrome (ACS). Gangguan plak dan trombosis non oklusi juga sering terjadi,
8
berulang, dan sering kali merupakan komplikasi klinis dari ateroma.
Penyembuhan gangguan plak subklinis dan trombosis di atasnya merupakan
mekanisme penting di mana lesi aterosklerotik semakin membesar.
2.2.2 Aritmia
Aritmia adalah abnormalitas pada detak dan ritme jantung. Pada jantung sendiri,
terdapat komponen-komponen sistem konduksi:
1. Node pacemaker sinoatrial (SA): terletak di persimpangan apendiks atrium
kanan dan vena cava superior
2. Node atrioventrikular (AV): terletak di atrium kanan sepanjang atrial septum
3. Bundle of His: menghubungkan atrium kanan ke septum ventrikel, dan
selanjutnya membelah menjadi,
4. Cabang berkas kanan dan kiri yang menstimulasi masing-masing ventrikel
Aritmia secara umum dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Takikardia
Ritme jantung cepat ( > 100 bpm). Takikardia dibagi menjadi:
1. Takikardia Supraventrikular
9
Jenis paling umum. Denyut jantung cepat ( > 150 bpm), berasal dari
atrium jantung atau sekitar nodus AV. Gejala yang muncul seperti
jantung berdebar, nyeri dada, sakit perut, nafsu makan berkurang, kepala
terasa ringan atau lemah.
2. Takikardia Atrial (Flutter atau Fibrillation)
Pada atrial flutter, detak jantung berada di kisaran 180-350 bpm,
sedangkan pada atrial fibrillation, detak jantung berkisar antara 350-600
bpm. Berasal dari atrium jantung menuju ventrikel dan umum terjadi
setelah operasi yang melibatkan atrium. Gejala yang muncul adalah
kelelahan, pusing, sakit kepala ringan, dan pingsan.
3. Takikardia Ventrikular
Detak jantung cepat ( > 100 bpm). Berasal dari ventrikel jantung.
Biasanya hasil dari penyakit jantung yang serius dan sering
membutuhkan perawatan segera atau darurat. Gejala umumnya ringan,
seperti pusing dan pingsan.
b. Bradikardia
1. Disfungsi Nodus Sinus
Nodus sinus mengalami disfungsi. Detak jantung lambat ( < 60 bpm) dan
tidak terjadi peningkatan walaupun berolahraga. Pasien mungkin tidak
memiliki gejala atau dapat mengalami kelelahan, intoleransi
berolahraga, pusing, atau pingsan
2. Blok Atrioventrikular
Terjadi jika terdapat konduksi listrik yang tidak normal dari atrium
jantung ke ventrikel. Dapat disebabkan oleh kerusakan AV selama
operasi. Tipe blok atrioventrikular dibagi menjadi tiga:
• First-degree: prolongasi normal delay depolarisasi atrial dan
ventrikular, tidak perlu pengobatan.
• Second-degree: Hilangnya konduksi AV secara tiba-tiba secara
berselang, tanpa pemanjangan interval PR
• Third-degree: kegagalan total konduksi antara atrium dan
ventrikel.
10
Secara garis besar, patofisiologi dapat dijelaskan dalam dua mekanisme, yaitu
melalui gangguan pembentukan impuls dan gangguan penghantaran impuls. Aritmia
dapat timbul akibat adanya gangguan pembentukan impuls pada SA node atau pada
situs lainnya, termasuk jalur penghantaran khusus atau daerah otot jantung. Kelainan
utama inisiasi impuls yang menyebabkan aritmia adalah perubahan automatisitas
(dari SA node atau latent pacemaker dalam jalur konduksi khusus), automatisitas
abnormal pada miosit atrium atau ventrikel, dan adanya aktivitas pemicu (triggered
activity). Perubahan konduksi impuls juga menyebabkan aritmia. Blok konduksi
umumnya memperlambat denyut jantung (bradikardia). Namun, dalam keadaan
tertentu, proses re-entry dapat terjadi dan menghasilkan ritme cepat yang tidak
normal (takikardia).
a. Patofisiologi Bradikardia
1. Penurunan Automatisitas SA Node
Termasuk dalam gangguan pembentukan impuls. Penurunan normal
pada otomatisitas simpul SA dimediasi oleh penurunan stimulasi
simpatis dan oleh peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis.
Sedangkan aktivasi sistem saraf simpatis memiliki peran utama dalam
meningkatkan detak jantung selama masa stres, sistem saraf
parasimpatis adalah pengontrol utama detak jantung saat istirahat.
Stimulasi kolinergik (parasimpatis) melalui saraf vagus bekerja pada
simpul SA untuk mengurangi kemungkinan saluran alat pacu jantung
terbuka. Dengan demikian, akan ada perlambatan denyut cincin intrinsik
dan oleh karena itu denyut jantung berkurang. Jika simpul sinus menjadi
tertekan dan lebih jarang aktif dari biasanya, tempat pembentukan
impuls dapat bergeser ke latent pacemaker dalam jalur konduksi khusus.
Dorongan yang diprakarsai oleh alat pacu jantung laten karena laju
simpul SA lambat disebut escape beat. Gangguan yang persisten dari SA
node akan memungkinkan rangkaian escape beat, disebut escape
rhythm. Escape rhythm bersifat protektif karena mencegah detak jantung
menjadi lambat secara patologis saat cincin simpul SA terganggu.
2. Blok Konduksi
Termasuk dalam gangguan penghantaran impuls. Sebuah impuls yang
menyebar diblokir ketika bertemu dengan bagian jantung yang tidak
dapat digerakkan secara elektrik. Blok konduksi dalam sistem konduksi
11
khusus dari AV node atau sistem His-Purkinje mencegah penyebaran
normal impuls jantung dari node sinus ke tempat yang lebih distal. Blok
atrioventrikular (blok AV) ini menghilangkan penekanan overdrive
normal yang menjaga latent pacemaker dalam sistem His-Purkinje tetap
terkendali. Karenanya, blok konduksi biasanya menyebabkan
munculnya escape beat atau escape rhythm karena lokasi yang lebih
distal berfungsi sebagai pacemaker.
b. Patofisiologi Takikardia
1. Peningkatan Automatisitas SA Node
Stimulasi simpatis, yang bekerja melalui reseptor β1-adrenergik
meningkatkan kemungkinan terbukanya saluran pacemaker dan
menyebabkan SA node mencapai ambang batas dan menyala lebih awal
dari biasanya dan detak jantung meningkat.
2. Peningkatan Automatisitas Latent Pacemaker
Cara lain yang digunakan latent pacemaker untuk mengontrol
pembentukan impuls adalah jika ia mengembangkan laju depolarisasi
intrinsik lebih cepat dari pada nodus sinus. Diistilahkan sebagai ectopic
beat, impuls semacam ini relatif prematur terhadap ritme normal,
sedangkan escape beat menghentikan jeda yang disebabkan oleh ritme
sinus yang melambat. Urutan ectopic beat yang serupa disebut ectopic
rhythm.
3. Automatisitas Abnormal
Denyut ektopik muncul dari sel yang biasanya tidak memiliki
otomatisasi. Jika laju depolarisasi sel-sel tersebut melebihi nodus sinus,
mereka secara sementara mengambil alih fungsi pacemaker dan menjadi
sumber ectopic rhythm yang abnormal.
4. Triggered Activity
Dalam kondisi tertentu, potensi tindakan dapat "memicu" depolarisasi
abnormal yang mengakibatkan takikardia. Proses ini dapat terjadi ketika
potensial aksi pertama mengarah ke osilasi tegangan membran yang
dikenal sebagai afterdepolarizations. Tidak seperti aktivitas spontan
yang terlihat saat peningkatan automatisitas terjadi, jenis automatisitas
12
ini dirangsang oleh potensial aksi sebelumnya. Potensial aksi abnormal
dipicu jika depolarisasi mencapai tegangan ambang batas.
5. Re-entry Loops
Sebuah impuls listrik bersirkulasi berulang kali di sekitar jalur re-entry,
secara berulang mendepolarisasi suatu wilayah jaringan jantung.
Mekanisme re-entry dapat dijelaskan sebagai berikut:
13
D. Namun, jika konduksi melalui jalur retrograde cukup lambat (garis
bergerigi), konduksi mencapai titik x setelah jalur α pulih. Dalam
keadaan itu, impuls mampu excite jalur α lagi dan loop reentrant
terbentuk.
2.2.3 Angina
Angina pektoris adalah nyeri dada yang disebabkan oleh iskemia miokard.
Pembesaran plak yang menonjol secara bertahap terus mempersempit lumen
pembuluh darah dan secara progresif mengurangi aliran darah koroner, memicu
serangan iskemia miokard transien yang semakin sering karena kemampuan untuk
menyesuaikan aliran darah dengan kebutuhan O2 jantung menjadi lebih terbatas.
a. Jenis Angina
1. Typical/Stable Angina
Nyeri dada episodik yang dapat diprediksi dan paling umum terjadi.
Nyeri ini digambarkan sebagai sensasi substernal yang meremukkan
atau meremas, yang dapat menjalar ke lengan kiri atau ke rahang kiri.
Nyeri biasanya hilang dengan istirahat (mengurangi aktivitas) atau
dengan obat-obatan seperti nitrogliserin, vasodilator yang meningkatkan
perfusi koroner.
2. Prinzmetal/Variant/Rest Angina
Terjadi saat istirahat dan disebabkan oleh spasme arteri koroner.
Meskipun spasme seperti itu biasanya terjadi pada atau di dekat plak
aterosklerotik, pembuluh darah yang benar-benar normal dapat
terpengaruh. Angina prinzmetal biasanya merespons segera terhadap
vasodilator seperti nitrogliserin dan calcium channel blockers.
3. Unstable/Crescendo Angina
Ditandai dengan nyeri yang semakin sering, yang dipicu oleh aktivitas
yang semakin berkurang atau bahkan terjadi saat istirahat. Angina ini
dikaitkan dengan ruptur plak dan trombosis, embolisasi distal trombus,
dan/atau vasospasme. Sering menjadi pertanda infark miokard yang
disebabkan oleh penyumbatan total pembuluh darah.
14
b. Patofisiologi
Pada keadaan normal, arteri koroner bersifat paten dan endotel berfungsi
normal. Pada angina stabil, plak aterosklerosis dan vasokonstriksi akibat
disfungsi endotel mempersempit ukuran lumen pembuluh darah dan
mengurangi aliran darah. Pada angina tidak stabil, gangguan pada plak
memicu agregasi platelet, pembentukan trombus, dan vasokonstriksi sehingga
mengurangi suplai darah ke arteri koroner. Pada angina varian, tidak terdapat
plak aterosklerosis, tetapi terjadi iskemia akibat vasospasme yang intens
sehingga mengurangi suplai oksigen miokardial.
15
Gambar 2.2.4 Arteri Normal versus Arteri yang Terblok
Gambar 2.2.5 Kondisi Plak Memblok 80% Pembuluh Darah pada Obstruktif
CAD dengan Spasme
16
Spasme menyebabkan arteri menyempit sementara dan menghalangi aliran
darah ke jantung.
Gambar 2.2.6 Kondisi (Kiri) Arteri Tanpa Plak Tetapi Terjadi Vasospasme
dan (Kanan) Arteri dengan Plak yang Memblok < 50% dan Vasospasme pada
Non Obstruktif CAD
17
2.3 Pemeriksaan Laboratorium
2.3.1 Aterosklerosis
Deteksi aterosklerosis menggunakan modalitas non-invasif yang mampu
mencitrakan dinding arteri secara non-invasif, yaitu tomografi komputer (computed
tomography – CT) tanpa kontras (skor kalsium, coronary calcium scoring-CCS) atau
dengan kontras (Coronary Computed Tomography Angiography-CCTA). Penilaian
arteri koroner:
1. Coronary Calcium Scoring (CCS)
Kalsium di arteri koroner dianggap sebagai konsekuensi aterosklerosis,
namun keberadaan kalsium memiliki korelasi yang rendah dengan stenosis
lumen arteri koroner. Sehingga angka kalsium skor nol tidak bisa disimpulkan
tidak ada stenosis koroner
2. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA)
Pemberian kontras dapat memperlihatkan lumen dengan jelas, sehingga
penilaian stenosis lumen dapat dilakukan. Society of Cardiovascular
Computed Tomography (SCCT) mengelompokkan derajat stenosis lumen
menjadi enam. Berikut ini merupakan pembagiannya:
Tabel 2.3.1 Derajat Stenosis Lumen menurut SCCT dan Kategori CAD-RADS
2.3.2 Aritmia
a. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi
oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan
kendali laju yang adekuat pada FA.
18
2. Kepala dan leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus,
pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit
pada arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan
kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.
3. Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung
(misalnya ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi
mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari
terjadinya FA (misalnya PPOK, asma).
4. Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian
serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA.
5. Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada
pasien FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk
mengevaluasi penyakit jantung katup atau kardiomiopati.
6. Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang
dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik.
Nyeri kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat
embolisasi perifer.
7. Ekstrimitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, edema.
Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan
penyakit arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap (anemia, infeksi)
2. Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit/gagal ginjal)
3. Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebeagi
pencetus FA)
4. Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
19
asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan
menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
5. D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
6. Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
7. Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
8. Uji toksikologi atau level etanol
c. Elektrokardiogram (EKG)
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan
biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat
gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan
acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula.. Manifestasi:
• Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi
160-170x/menit.
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah
siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Blok berkas cabang
• Tanda infark akut/lama
d. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini. Manfaat:
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
• Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
• Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
• Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk:
• Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
20
• Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)
g. Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat
ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau
vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).
i. Studi Elektrofisiologi
Studi elektrofisiologi dapat membantu mengidentifikasi mekanisme
takikardia QRS lebar, aritmia predisposisi, atau penentuan situs ablasi kuratif.
21
2.3.3 Angina Pektoris Stabil
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien yang dicurigai angina pektoris stabil penting untuk dicari
adanya tanda-tanda anemia, hipertensi, penyakit jantung valvular,
kardiomiopati hipertrofik obstruktif, atau aritmia. Pemeriksaan indeks massa
tubuh (IMT) dan bukti adanya penyakit vaskular nonkoroner yang seringkali
asimptomatik juga perlu dilakukan. Tanda-tanda komorbid lainnya seperti
penyakit tiroid, penyakit ginjal, atau diabetes juga perlu dicermati.
Bagaimanapun juga, tidak ada tanda pemeriksaan fisik yang khas dari
angina pektoris. Selama dan segera setelah episode iskemia miokard, bunyi
jantung ketiga atau keempat dapat didengar dan insufisiensi mitral dapat
menjadi jelas saat iskemia. Namun demikian, tanda-tanda ini tidak spesifik.
b. Pemeriksaan Dasar
EKG istirahat, pemeriksaan laboratorium darah untuk faktor resiko
aterosklerosis kardiovaskular seperti HbA1c, profil lipid serta ekokardiografi
istirahat. Pada pasien dengan hasil ekokardiografi menampilkan fraksi ejeksi
kurang dari 50% dengan angina tipikal, pasien layak untuk dianjurkan
angiografi invasif dengan kemungkinan revaskularisasi.
Pemeriksaan awal (lini pertama) pasien dengan kecurigaan PJK Stabil
mencakup pemeriksaan laboratorium, EKG, EKG ambulatory (holter) jika ada
kecurigaan gejala berhubungan dengan aritmia paroksismal, ekokardiografi,
dan pada pasien tertentu rontgen thorax (Cardiac X-Ray / CXR). Pemeriksaan
diagnostik dasar tersebut dapat dilakukan pada rawat jalan. Ultrasonografi
arteri karotis untuk mendeteksi penebalan lapisan intima dan media dapat
meningkatkan pre-test probability (PTP) untuk penyakit jantung koroner.
22
• Segmen ST menanjak/ upsloping cepat setelah J point
• Pemendekan interval QT
• Respon iskemia positif:
• Depresi segmen ST ≥ 1 mm dibawah garis isoelektrik pada 60 milidetik
setelah J point (bila segmen ST depresi horizontal atau downsloping)
• Depresi segmen ST ≥ 1.5 mm dibawah garis isoelektrik pada 60
milidetik setelah J point (bila depresi segmen ST upsloping)
• Elevasi segmen ST (dan elevasi J point) ≥ 1 mm pada 80 milidetik
setelah J point.
• Elevasi segmen ST di aVR. Kondisi ini dianggap seperti depresi segmen
ST yang horizontal
• Kriteria sugestif iskemia miokard pada uji latih jantung adalah:
• Depresi segmen antara 0.5-1 mm di bawah garis isoelektrik pada 60
milidetik setelah J point (bila depresi segmen ST horizontal atau
downsloping).
• Depresi segmen ST > 0.7 mm dan <1.5 mm dibawah garis isoelektrik
pada 80 milidetik setelah J point (bila depresi segmen ST upsloping)
• Elevasi segmen ST (dengan elevasi J point) antara 0.5 mm dan 1 mm
• Hipotensi yang timbul akibat uji latih
• Nyeri dada seperti angina yang timbul karena uji latih
• Irama ektopik ventrikular derajat tinggi terutama yang timbul pada
beban uji latih jantung yang rendah.
23
Tabel 2.3.2 Stratifikasi Risiko dan Prognosis berdasarkan DTS
c. Stress Echocardiography
Stress diberikan dengan beban latihan atau obat. Latihan dapat
dilakukan dengan treadmill atau sepeda ergometer. Obat pilihan untuk beban
adalah dobutamin. Selain menilai gerakan dinding otot jantung, dapat juga
menilai perfusi menggunakan kontras dan doppler jaringan dan strain rate
untuk meningkatkan akurasi dalam menilai iskemia.
24
channel blocker atau long-acting nitrates ketika pengobatan awal dengan β-
blocker saja tidak berhasil. Efek terapeutik dari penggunaan beta blocker ini,
yakni mengurangi denyut jantung, kontraktilitas miokard, dan tekanan darah,
sehingga menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Denyut jantung yang
berkurang meningkatkan waktu diastolik, sehingga meningkatkan pengisian
ventrikel dan perfusi arteri koroner. Adapun mekanisme kerjanya sebagai
berikut:
1. Beta-blocker mengikat beta-adrenoceptors yang terletak di jaringan
nodal jantung, sistem konduksi, dan kontraksi myocytes
2. Beta-blocker mencegah ligan normal (norepinefrin atau epinefrin)
berikatan dengan beta-adrenoceptor.
3. Beta-adrenoceptors membentuk kompleks dengan Gs-protein, yang
mengaktifkan adenylyl cyclase untuk membentuk cAMP dari ATP.
4. Peningkatan cAMP mengaktifkan protein kinase (PK-A) → yang
menyebabkan peningkatan pemasukan kalsium ke dalam sel
5. Banyak kalsium untuk mengikat troponin-C, yang meningkatkan
inotropik sehingga PK-A dapat memfosforilasi miosin
25
5 mg IV, kemudian 50-100 mg oral sekali sehari mulai 1 sampai 2
jam setelah dosis IV. Terapi IV awal mungkin dihilangkan
• Kontraindikasi: serangan jantung, sinus bradikardi, disfungsi
simpul sinus, hipersensitif, gagal jantung tak terkompensasi,
edema paru, vasospastic angina (dapat memperparah)
• Efek samping: bradiaritmia (3-18%), ekstremitas dingin (12%),
hipotensi (4-25%), pusing (13%), gagal jantung, infark miokard,
aritmia ventrikel
• Interaksi obat:
- Reserpine → meningkatkan risiko hipotensi dan bradikardia
- NSAID → efek dari atenolol dapat berkurang
- Amiodarone atau digoxin → meningkatkan efek bradikardi
- Verapamil → meningkatkan risiko bradikardia dan
hambatan aliran listrik jantung
• Farmakokinetik:
- Absorpsi: setelah pemberian oral mencapai konsentrasi
plasma puncak pada 2-4 jam, bioavailabilitas 50%
- Distribusi: terikat dengan protein 6-16%
- Metabolisme: di hati
- Ekskresi:urin 85% (IV) dan 50% (oral), feses 50% (oral)
- Eliminasi: t1/2 → 6-7 jam, pada pasien lanjut usia akan lebih
lama dibanding pasien muda
2. Metoprolol
• Dosis: Per Oral 50-100 mg bid atau tid, dapat ditingkatkan hingga
300 mg per hari dalam dosis terbagi atau 5 mg bolus IV lambat
(lebih dari 1-2 menit), diulang setiap 5 menit untuk total dosis awal
15 mg
• Kontraindikasi: sinus bradikardia, syok kardiogenik, gagal
jantung, hipersensitif, sick sinus syndrome tanpa alat pacu jantung
permanen
• Efek samping: bradiaritmia (>2%), hipotensi, insufisiensi arteri,
gagal jantung, eksaserbasi, pusing, diare
26
• Interaksi obat:
- Obat anestesi (cyclopropane) → meningkatkan efek cardiac
depressant
- Diltiazem, verapamil → meningkatkan konduksi
atrioventrikular, gangguan irama jantung (AV block)
- Reserpine → meningkatkan efek samping metoprolol
- Epinephrine → mengurangi efektivitas metoprolol
- Berpotensi meningkatkan efek samping obat diabetes
• Farmakokinetik:
- Absorpsi: Tmax oral extended-release capsule: 10 jam; Oral
extended-release: immediate-release 75% (kapsul) dan 77%
(tablet)
- Distribusi: terikat dengan protein (albumin) 12%
- Metabolisme: di hati oleh CYP2D6
- Ekskresi: urin 10% (IV), urin kurang dari 5% unchanged
(PO), pada kehamilan ekskresi lebih rendah selama
pertengahan dan akhir kehamilan
- Eliminasi: t1/2 → 3-7 jam
Efek samping yang umum terjadi adalah bradikardi, hipotensi, blok
jantung, metabolisme glukosa terganggu, lipid serum berubah (trigliserida
meningkat sementara, penurunan HDL-C, dan tidak ada perubahan LDL-C),
kelelahan, depresi, insomnia, dan malaise. β-Blocker dikontraindikasikan pada
pasien dengan bradikardi, hipotensi, blok atrioventrikular (AV) 2nd atau 3rd
degree, asma, PAD berat, disfungsi LV dengan status cairan tidak stabil, dan
diabetes yang berhubungan dengan episode hipoglikemia yang sering. Jika
terjadi intoleransi terhadap penyekat β-blocker (misalnya, karena penyakit
paru obstruktif kronik), short-acting drug seperti metoprolol atau esmolol
harus diberikan secara IV pada awalnya.
27
beban kerja jantung menurun dan menambah volume darah dan oksigen yang
diterima jantung. Adapun mekanisme kerjanya sebagai berikut: CCB berikatan
dengan kanal kalsium yang akan menghambat masuknya kalsium ke dalam
sel-sel otot jantung dan otot polos pembuluh darah arteri koroner dan sistemik
menyebabkan depolarisasi dan menurunkan frekuensi terbukanya kanal ion
kalsium sehingga terjadi relaksasi pada otot halus dan penurunan kontraktilitas
pada otot kardiak.
28
• Kontraindikasi: hipotensi berat, stenosis aorta, short-acting
dihydropyridines harus dihindari pada pasien CAD
• Efek samping: edema (1.8-10.8%), sakit abdominal, nausea,
bradikardia, ventricular tachycardia, nyeri dada, palpitasi
• Interaksi obat:
- Imunosupresan (siklosporin, tacrolimus) → meningkatkan
kadar obat dalam plasma
- Simvastatin → meningkatkan konsentrasi serum
- CYP3A4 inducers (Rifampisin) → menurunkan kadar obat
dalam plasma
• Farmakokinetik:
- Onset 24-48 jam; durasi 24 jam
- Absorpsi: Tmax, oral: 6-12 jam; bioavailabilitas 64-90%
- Distribusi: berikatan dengan protein 93%
- Metabolisme: ekstensif di hati 90%
- Ekskresi: urin 10% (unchanged) dan 60% (metabolit)
- Eliminasi: t1/2 → 30-50 jam
Efek samping lain dari CCB ini termasuk hipotensi, sakit kepala,
hiperplasia gingiva, dan edema perifer. Meskipun sebagian besar CCB
dikontraindikasikan pada pasien gagal jantung sistolik, amlodipine dan
felodipine dianggap sebagai pilihan yang aman pada pasien ini.
2. Non-dihidropiridin
Golongan ini memiliki efek penghambatan pada sinoatrial (SA),
dan atrioventricular (AV) node menghasilkan perlambatan konduksi
jantung dan kontraktilitas.
Contoh obat: Verapamil
• Dosis:
Stable angina: tablet immediate-release 80-120 mg, 3 kali sehari,
dapat melakukan titrasi pada interval harian atau mingguan
berdasarkan respons 8 jam setelah pemberian dosis (dosis max 480
mg); tablet extended-release 180 mg per hari saat malam hari
sebelum tidur
29
Unstable dan variant angina: tablet immediate-release 80-120 mg,
3 kali sehari, dapat melakukan titrasi pada interval harian atau
mingguan berdasarkan respons 8 jam setelah pemberian dosis
(dosis max 480 mg)
Fibrilasi atrium: tablet immediate-release 240-320 mg, 3-4 kali
sehari; IV 0,075-0,15 mg/kg IV bolus selama 2 menit, jika tidak
ada respon dapat diberi tambahan 10 mg setelah 30 menit
• Kontraindikasi: gagal gantung tanpa kompensasi, syok
kardiogenik, hipotensi, bradikardia, sick-sinus syndrome,
disfungsi ventrikel parah, atrial fibrilasi
• Efek samping: AV blok, bradikardia, hipotensi, pusing, dispnea,
edema perifer, edema, hipotensi, konstipasi
• Interaksi obat:
- CYP3A4 inhibitors (erythromycin, ritonavir), β-blockers, α-
blockers, digoxin, digitoxin → meningkatkan konsentrasi
dalam plasma
- Aspirin → risiko pendarahan meningkat
- Telithromycin → meningkatkan efek bradikardia dan
hipotensi
- Clonidine → meningkatkan efek AV blocking
- Lithium → meningkatkan efek neurotoksik
• Farmakokinetik:
- Onset 1-2 jam (oral) dan 5 menit (IV); durasi 6-8 jam (oral)
dan 10-20 menit (IV)
- Absorpsi: oral extended-release 1-2 jam; oral immediate-
release bioavailabilitas 13-65%
- Distribusi: berikatan dengan protein 86-94%; Vd: 3.8 L/kg
- Metabolisme: 65-80% P450 CYP3A4, CYP1A2, CYP2C8,
CYP2C9 dan CYP2C18; O-demethylation, N-dealkylation
dan first-pass metabolism, metabolisme ekstensif
- Ekskresi: urin (70% metabolit, 3-4% unchanged), feses (9-
16%)
30
- Eliminasi: extended release 4-12 jam; 20 jam (pasien 65-80
tahun)
Efek samping umum dari CCB ini meliputi bradikardia,
hipotensi, blok AV, dan gejala depresi LV. Agen ini harus dihindari pada
pasien dengan disfungsi LV (terutama jika menerima terapi β-blocker
bersamaan) karena efek inotropik negatif. Verapamil dan diltiazem
menghambat pembersihan obat yang menggunakan isoenzim sitokrom
P450 3A4 seperti karbamazepin, siklosporin, lovastatin, simvastatin, dan
benzodiazepin. Verapamil, dan pada tingkat yang lebih rendah diltiazem,
juga menghambat transportasi obat yang dimediasi oleh P-glikoprotein,
yang dapat meningkatkan konsentrasi digoksin dan siklosporin
c. Nitrat
Organic Nitrates dapat digunakan untuk stable, unstable, dan variant
angina. Efek terapeutik meliputi: pada chronic unstable angina: melebarkan
arteri koroner epikardial, mengurangi kebutuhan oksigen miokard,
menurunkan agregasi platelet (nitrogliserin) dan pada variant angina:
merelaksasikan otot polos arteri koroner epikardial dan mengurangi kejang
arteri koroner. Adapun mekanisme kerja sebagai berikut:
1. Organic nitrates mengandung nitrogen oksida yang mengarah pada
pembentukan gas radikal bebas NO yang reaktif
2. Organic nitrates mengendurkan otot polos pembuluh darah melalui
konversi intraselulernya menjadi ion nitrit dan kemudian menjadi oksida
nitrat
3. Mengaktifkan guanylate cyclase dan meningkatkan cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) sel
4. Peningkatan cGMP pada akhirnya menyebabkan defosforilasi rantai
ringan miosin, mengakibatkan relaksasi otot polos pembuluh darah
31
Nitrat meningkatkan konsentrasi guanosin monofosfat siklik di endotel
vaskular, yang menyebabkan berkurangnya kalsium sitoplasma dan
vasodilatasi. Sebagian besar vasodilatasi terjadi di sisi vena, menyebabkan
penurunan preload, ketegangan dinding miokard, dan MVo2. Vasodilatasi
arteri meningkat seiring dengan peningkatan dosis, yang dapat menghasilkan
takikardia refleks yang melawan beberapa manfaat antianginal, efek ini dapat
dikurangi oleh terapi kombinasi dengan β-blocker. Nitrat juga menghasilkan
vasodilatasi pembuluh epikard stenotik dan pembuluh kolateral intrakoroner,
meningkatkan suplai oksigen ke miokardium iskemik. Long-acting nitrates
dapat diberikan untuk menghilangkan gejala ketika β-blocker
dikontraindikasikan atau menyebabkan efek samping yang tidak dapat
diterima.
Contoh obat
• Dosis:
Tabel 2.4.1 Preparasi, Dosis, dan Rute Administrasi Obat Golongan
Nitrat
32
• Interaksi obat:
- Vasodilator dan antihipertensi → meningkatkan efek hipotensi
- Kombinasi sildenafil dan PDE5 inhibitor lainnya → hipotensi
ekstrim
- PDE5 → sakit kepala, flushing, rinitis, relaksasi sfingter esofagus
bagian bawah
- Nitroglycerin dan antikolinergik → menurunkan absorbsi nitrat
sublingual
Nitrat tidak boleh digunakan secara rutin sebagai monoterapi untuk
stable IHD karena kurangnya cakupan angina selama interval bebas nitrat,
kurangnya perlindungan terhadap kejadian iskemik ritme sirkadian
(nokturnal), dan potensi takikardia refleks. Namun, penggunaan β-blocker atau
diltiazem bersamaan dapat mencegah iskemia rebound selama interval bebas
nitrat.
33
• Kontraindikasi: CYP3A4 inducers, CYP3A4 inhibitors, antiaritmia
kelas IA dan III, pasien gangguan hati dan ginjal
• Efek samping: pusing, sakit kepala, penglihatan kabur, mual, sembelit,
perpanjangan interval QT (harus hati-hati digunakan pada pasien yang
menerima agen perpanjangan QT bersamaan)
• Interaksi obat:
- CYP3A4 inhibitors (diltiazem, fluconazole, erythromycin), P-
glikoprotein inhibitors (ketokonazol, itrakonazol, protease
inhibitor, klaritromisin, dan nefazodon), → meningkatkan
konsentrasi dalam plasma
- Simvastatin → meningkatkan risiko rhabdomyolysis
- Dapat meningkatkan konsentrasi plasma atorvastatin, statin lain
(Lovastatin) dan substrat CYP3A4 dengan jendela terapeutik
sempit (Tacrolimus, sirolimus, everolimus)
- Agen yang dapat memperpanjang QT (citalopram, quetiapine) →
meningkatkan risiko aritmia ventrikular
- Antiaritmia kelas IA (quinidine) atau Kelas III (sotalol) →
meningkatkan risiko perpanjangan interval QT
• Farmakokinetik:
- Absorpsi: bioavailabilitas oral extended-release 55%; mencapai
konsentrasi plasma puncak pada 2-5 jam
- Distribusi: berikatan dengan protein 62%
- Metabolisme: hati dan usus; cepat dan ekstensif, terutama melalui
sitokrom P450 (CYP) 3A dan pada tingkat yang lebih rendah oleh
CYP2D6; metabolit utama: CVT-2512, CVT-2514, dan CVT-
2738
- Ekskresi: urin 75% dan <5% unchanged; feses 25% dan <5%
unchanged
- Eliminasi: t1/2 → 7 jam
34
2.4.2 Antikoagulan dan Antiplatelet
a. Antikoagulan
Pemberian antikoagulan bertujuan untuk mencegah pembentukan
trombus atau memecah trombus yang telah terbentuk. Golongan obat ini
menghambat baik dari kerja faktor koagulasi atau mengganggu sintesis faktor
koagulasi. Contoh dari obat antikoagulan yaitu Heparin dan Warfarin
1. Heparin
• Mekanisme : Heparin bekerja pada sejumlah molekul target, tetapi
efek antikoagulannya berasal dari pengikatan antitrombin III,
dengan inaktivasi faktor koagulasi Antitrombin III adalah α
globulin yang menghambat protease serin dari trombin (faktor IIa)
dan faktor Xa. Dengan tidak adanya heparin, antitrombin III
berinteraksi sangat lambat dengan trombin dan faktor Xa. Ketika
molekul heparin berikatan dengan antitrombin III, terjadi
perubahan konformasi terjadi yang mengkatalisis penghambatan
trombin sekitar 1000 kali lipat
35
• Efek samping: Reaksi hipersensitivitas, pendarahan,
trombositopenia
• Interaksi obat:
- Antiplatelet, trombolitik, NSAID → meningkatkan efek
antikoagulan
- Gliseril trinitrat IV→ menurunkan efek antikoagulan
- ACE inhibitor → meningkatkan risiko hiperkalemia
• Farmakokinetik:
- Absorpsi: absorpsi dari sirkulasi sistemik
- Distribusi: pengikatan protein plasma
- Metabolisme: sebagian di hati menjadi uro heparin;
dikeluarkan dari sirkulasi terutama oleh sistem
retikuloendotelial dan mungkin terlokalisasi pada endotel
vena arteri.
- Ekskresi: melalui urin. Waktu paruh: 1-6 jam
2. Warfarin
Pemberian warfarin bertujuan untuk pencegahan dan pengobatan
trombosis vena dan emboli paru, pencegahan stroke, pencegahan stroke
dalam pengaturan fibrilasi atrium dan / atau katup jantung prostetik,
defisiensi protein C dan S, dan sindrom antifosfolipid.
• Mekanisme : Warfarin menghambat sintesis faktor koagulasi yang
bergantung pada vitamin K yaitu faktor II, VII, IX, dan X serta
protein antikoagulan C dan protein kofaktornya. Faktor
pembekuan ini diaktifkan secara biologis dengan penambahan
gugus karboksil ke residu asam glutamat utama di dalam struktur
protein. Warfarin secara kompetitif menghambat subunit C1 dari
kompleks enzim multi-unit vitamin K epoxide reductase
(VKORC1), sehingga mengurangi cadangan fungsional vitamin K
dan selanjutnya mengurangi sintesis faktor pembekuan aktif.
• Indikasi : Profilaksis emboli, serangan iskemik, trombosis vena
• Dosis (PO) : Dosis disesuaikan dengan kebutuhan individu. Dosis
biasa: Awal, 5-10 mg setiap hari selama 1 atau 2 hari.
36
Pemeliharaan: 3-9 mg setiap hari, tergantung pada waktu
protrombin atau tes koagulasi lain yang sesuai
• Kontraindikasi: Kehamilan, stroke hemoragik, pendarahan hebat,
dan kecenderungan pendarahan
• Efek samping: Pendarahan, gangguan GI, gagal ginjal akut, reaksi
hipersensitivitas
• Interaksi obat:
- Antiplatelet, trombolitik, NSAID, antikoagulan →
meningkatkan risiko pendarahan
- Antivirus → dapat mengurangi efek antikoagulan dari
antagonis vitamin K
• Farmakokinetik :
- Absorpsi : di absorpsi cepat dan sempurna dari saluran
pencernaan
- Distribusi: melintasi plasenta. Volume distribusi: 0,14 L / kg.
pengikatan protein plasma: 99%.
- Metabolisme: dimetabolisme di hati, terutama oleh CYP2C9
(CYP2C8, 2C18, 2C19, 1A2, dan 3A4 sebagai jalur minor).
- Ekskresi: melalui urin (92%, terutama sebagai metabolit dan
dalam jumlah kecil sebagai obat yang tidak berubah). Waktu
paruh eliminasi: 20-60 jam (rata-rata: 40 jam).
b. Antiplatelet
Pemberian antiplatelet bertujuan untuk mengurangi pembentukan
gumpalan trombosit. Antiplatelet memiliki tiga mekanisme kerja yang
berbeda, yaitu menghambat siklooksigenase-1 (COX-1) yang mana contoh
obatnya adalah aspirin, antagonis reseptor P2Y12 dengan obat clopidogrel,
serta blokir reseptor GP IIb/IIIa dengan obat abciximab.
1. Aspirin
• Mekanisme : Stimulasi trombosit oleh trombin, kolagen, dan ADP
menghasilkan aktivasi fosfolipase membran trombosit yang
membebaskan asam arakidonat dari membran fosfolipid. Asam
arakidonat diubah menjadi prostaglandin H2 oleh COX-1
37
kemudian dimetabolisme menjadi tromboksan A2 dan dilepaskan
ke plasma. Tromboksan A2 mempromosikan proses agregasi yang
penting untuk pembentukan platelet plug. Aspirin bekerja dengan
menghambat enzim siklooksigenase-1 (COX-1) yang selektif dan
tidak dapat diubah yang mengakibatkan penghambatan langsung
biosintesis prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat.
Selain itu, aspirin juga menghambat agregasi trombosit
• Dosis :
- Stroke iskemik akut, angina pektoris, infark miokard
Dewasa : 150-300mg/hari (pencegahan primer)
- Profilaksis kardiovaskular
Dewasa :
75 - 150 mg/hari (jangka panjang)
150 - 300 mg/hari (jangka pendek)
• Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap aspirin dan NSAID
lain, penderita hemofilia dan thrombositopenia, gout, penyakit hati
dan ginjal
• Efek samping: Angiodema, pendarahan, bronkospasm, gangguan
GI, sindrom reye
• Interaksi obat:
- Ketorolac → meningkatkan pendarahan
38
- Cidofocir → menyebabkan nefrotoksisitas
- Probenecid → menurunkan efek uricosuric
• Farmakokinetik:
- Absorpsi: Diserap dengan cepat dari saluran pencernaan
- Distribusi: Tersebar luas dan cepat ke sebagian besar
jaringan dan cairan tubuh. Melintasi plasenta dan memasuki
ASI. Volume distribusi: 170 mL / kg. Pengikatan protein
plasma: 80-90%.
- Metabolisme: Dimetabolisme di hati menjadi asam salisilat,
glukuronida fenolik salisil, asil glukuronida salisilat, asam
gentisat, dan asam gentisurat. Menjalani metabolisme jalur
pertama.
- Ekskresi: Melalui urin (75% sebagai asam salisilat, 10%
sebagai asam salisilat). Waktu paruh eliminasi: 15-20 menit
2. Clopidogrel
• Mekanisme : Merupakan P2Y12 receptor inhibitors, yang
menghambat agregasi platelet namun mekanismenya berbeda dari
aspirin. Obat ini menghambat pengikatan ADP ke reseptornya
pada trombosit dan, dengan demikian, menghambat aktivasi
reseptor GP IIb / IIIa yang dibutuhkan platelet untuk berikatan
dengan fibrinogen. Efek penghambatan agregasi platelet olehi
clopidogrel adalah 3 -5 hari
39
• Indikasi: MI non-ST elevasi atau angina unstable
• Dosis : Dalam kombinasi dengan aspirin: dosis awal 300 mg,
diikuti dengan 75 mg sekali sehari
• Kontraindikasi: Tukak lambung, pendarahan intrakranial,
gangguan hati yang parah
• Efek samping: Pendarahan, gangguan GI
• Interaksi obat:
- Penghambat CYP2C19 yang kuat seperti omeprazol →
menurunkan efek antiplatelet
- Morphine → absorpsi dapat tertunda
- Antikoagulan, antiplatelet, NSAID → meningkatkan risiko
pendarahan
• Farmakokinetika
- Absorpsi: Diserap dengan cepat tetapi tidak sempurna dari
saluran gastrointestinal (kira-kira 50%)
- Distribusi: Pengikatan protein plasma: 98% (obat induk);
94% (turunan asam karboksilat).
- Metabolisme: Dimetabolisme secara ekstensif di hati
melalui hidrolisis oleh esterase untuk membentuk turunan
asam karboksilat tidak aktif, dan melalui oksidasi oleh
beberapa isoenzim CYP450 (terutama CYP2C19) untuk
membentuk metabolit tiol aktif.
- Ekskresi: Melalui urin (sekitar 50%); kotoran (sekitar 46%).
Waktu paruh eliminasi: Kira-kira 6 jam (obat induk); kira-
kira 0,5 jam (turunan tiol); kira-kira 8 jam (turunan asam
karboksilat).
3. Abciximab
• Mekanisme aksi : Reseptor GP IIb / IIIa memainkan peran dalam
merangsang agregasi trombosit. Antibodi monoklonal chimeric,
abciximab menghambat reseptor GP IIb / IIIa kompleks. Dengan
mengikat ke GP IIb / IIIa, abciximab memblokir pengikatan
fibrinogen dan faktor von Willebrand sehingga agregasi tidak
40
terjadi. Agen ini diberikan secara intravena dengan heparin dan
aspirin, sebagai tambahan untuk PCI untuk pencegahan
komplikasi iskemik jantung. Abciximab juga disetujui untuk
pasien dengan angina tidak stabil saat PCI direncanakan dalam
waktu 24 jam
41
• Farmakokinetika :
- Absorpsi: Waktu untuk konsentrasi plasma puncak: Kira-
kira 30 menit (penghambatan trombosit).
- Distribusi: Volume distribusi: 0,07 L / kg. Pengikatan
protein plasma: Sebagian besar terikat pada reseptor GP IIb
/ IIIa pada permukaan platelet.
- Metabolisme: dimetabolisme melalui pembelahan
proteolitik.
- Ekskresi: Waktu paruh eliminasi plasma: Kira-kira 30 menit
1. Alteplase
• Indikasi : Stroke iskemik akut
• Dosis (IV): 0,9 mg/kg melalui infus selama 60 menit, diberikan dalam
3-4,5 jam setelah timbulnya gejala. Dosis total maks: 90 mg
42
• Kontraindikasi : Pendarahan, stroke parah, neoplasma
• Efek samping : Hematoma, pendarahan gingiva, melena, hematuria,
hemoptisis
• Interaksi obat :
- Turunan kumarin, antikoagulan oral, antiplatelet → meningkatkan
risiko pendarahan
- ACE inhibitor → reaksi anafilaktoid
- Gliseril trinitas IV → gangguan trombolisis
• Farmakokinetika :
- Metabolisme: Dimetabolisme terutama di hati.
- Ekskresi: Eliminasi waktu paruh: 4-5 menit (awal); sekitar 40
menit (terminal).
2.4.4 Antiaritmia
Agen antiaritmia digolongkan menjadi 4 kelas, yaitu tipe I, II, III, dan IV.
1. Kelas IA
Quinidine berikatan untuk membuka dan menonaktifkan saluran natrium dan
mencegah masuknya natrium, sehingga memperlambat upstroke yang cepat
selama fase 0. Hal ini mengurangi kemiringan fase 4 depolarisasi spontan,
menghambat saluran kalium, dan memblokir saluran kalsium. Karena tindakan
ini, ia memperlambat kecepatan konduksi dan meningkatkan refraktilitas.
Quinidine juga memiliki penghambatan α-adrenergik ringan dan aksi
43
antikolinergik. Procainamide dan disopyramide memiliki aksi yang mirip
dengan quinidine. Namun, ada sedikit aktivitas antikolinergik yang terkait
dengan procainamide dan lebih banyak dengan disopyramide. Baik
procainamide maupun disopyramide tidak memiliki aktivitas pemblokiran α.
2. Kelas IB
Selain blokade saluran natrium, lidokain dan mexiletine mempersingkat
repolarisasi fase 3 dan mengurangi durasi potensial aksi
3. Kelas IC
Flecainide menekan upstroke fase 0 pada serat Purkinje dan miokard. Hal ini
menyebabkan perlambatan konduksi yang nyata pada semua jaringan jantung,
dengan efek minor pada durasi potensial aksi dan refraktivitas. Otomatisitas
dikurangi dengan peningkatan potensial ambang, daripada penurunan
kemiringan depolarisasi fase 4. Flecainide juga memblokir saluran kalium
yang mengarah pada peningkatan durasi potensial aksi, bahkan lebih dari
propafenone. Propafenone, seperti flecainide, memperlambat konduksi di
semua jaringan jantung tetapi tidak menghalangi saluran kalium.
4. Kelas II
Agen kelas II merupakan antagonis β-adrenergik, atau β-blocker. Obat-obatan
ini mengurangi depolarisasi fase 4 dan menekan otomatisitas, memperpanjang
konduksi AV, dan menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas. Agen Kelas
II bermanfaat dalam mengobati takiaritmia yang disebabkan oleh peningkatan
aktivitas simpatis. Mereka juga digunakan untuk atrial flutter dan fibrillation
dan untuk AV nodal reentrant tachycardia. Selain itu, β-blocker mencegah
aritmia ventrikel yang mengancam jiwa setelah infark miokard. Salah satu
contoh obatnya adalah propanolol. Sebagai tab konvensional atau larutan oral
dosis yang diberikan adalah 10-40 mg 3-4 kali sehari
5. Kelas III
Agen Kelas III memblokir saluran kalium sehingga mengurangi arus kalium
keluar selama repolarisasi sel jantung. Agen-agen ini memperpanjang durasi
potensial aksi tanpa mengubah fase 0 dari depolarisasi atau potensial membran
istirahat. Sebaliknya, mereka memperpanjang periode refraktori yang efektif,
meningkatkan refraktori. Semua obat kelas III memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia. Contoh obat dari kelas ini adalah amiodarone
44
6. Kelas IV
Diltiazem dan verapamil mencegah repolarisasi sampai obat terlepas
dari saluran, menghasilkan penurunan tingkat depolarisasi spontan fase 4.
Mereka juga memperlambat konduksi pada jaringan yang bergantung pada
arus kalsium, seperti AV dan SA node. Agen-agen ini lebih efektif melawan
atrium daripada melawan aritmia ventrikel. Mereka berguna dalam mengobati
takikardia supraventricular reentrant dan dalam mengurangi laju ventrikel
dalam flutter dan fibrilasi atrium
45
Gambar 2.5.1 Algoritma Terapi Aterosklerosis
46
2.5.2 Algoritma Terapi iskemia
47
Gambar 2.5.3 Algoritma Terapi Bradikardia
b. Takikardia
Tahap awal yang dilakukan tidak berbeda jauh dengan bradikardia.
denyut jantung < 50 x/menit. Takikardia dapat diklasifikasikan dalam berbagai
cara, berdasarkan pemunculan kompleks QRS, denyut jantung dan regularitas.
Takikardia menimbulkan gejala klinis pada kondisi yang ekstrim dan sering
kali pada aritmia dengan denyut jantung ≥ 150x per menit
48
Gambar 2.5.4 Algoritma Terapi Takikardia
49
2.5.5 Algoritma terapi CAD
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penatalaksanaan aterosklerosis
Penatalaksanaan aterosklerosis dibagi menjaid dua, yaitu:
a. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa ada dua cara yang dapat digunakan yaitu dengan
menurunkan kadar kolesterol LDL dan dengan memberikan obat-obatan anti
inflamasi. Ada beberapa obat yang dapat diberikan berkaitan dengan
mekanismenya untuk menghambat terbentuknya kolesterol LDL yaitu:
• Statin
• Fibrat
• Niasin
• Bile acid sequestrant
Sedangkan obat yang bekerja sebagai antiinflamasi yaitu:
• Statin
• ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker
• Aspirin
• Agonist Peroxisome Proliferator Activated Receptor-ɣ
50
• Suplemen antioksidan
b. Terapi intervensi
Terapi intervensi adalah prosedur non-medis atau bedah yang bertujuan untuk
meredakan gejala. Intervensi utama termasuk operasi cangkok bypass arteri
koroner (CABG), kadang-kadang dikombinasikan dengan rekonstruksi
ventrikel bedah (SVR) atau perbaikan katup mitral bedah. Terapi intervensi
lain yang direkomendasikan termasuk implan defibrilator kardioverter, terapi
sinkronisasi ulang jantung untuk pasien yang mengalami blokade cabang
berkas kiri (LBBB), dan transplantasi jantung ortotopik serta alat bantu
ventrikel untuk pasien yang dengan penyakit lanjut dan intervensi koroner
perkutan yang lebih jarang (PCI).
51
antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan untuk
prevensi stroke pasien FA. Obat antikoagulan baru terbukti non-inferior
dibanding warfarin dengan tingkat keamanan yang lebih baik. Atas dasar ini
AKB lebih disarankan daripada warfarin pada mayoritas pasien FA
nonvalvular.
52
• mempertahankan tekanan darah normal
• penanganan diabetes yang tepat
• faktor psikososial
• terapi External Counterpulsation (ECP)
b. Tatalaksana farmakologis
Tujuan pemberian tatalaksana farmakologis pada pasien APS adalah
untuk memperbaiki gejala dan untuk mencegah kejadian kardiovaskular.
Untuk melegakan gejala angina, nitrogliserin kerja cepat dapat memberikan
kelegaan sementara dari gejala angina. Obat Obat anti-iskemia dan modifikasi
pola hidup memberikan peran untuk meminimalisir gejala dalam jangka waktu
panjang (pencegahan jangka panjang). Tujuan farmakoterapi dan modifikasi
pola hidup bertujuan untuk: (i) menurunkan progresi plak; (ii) menstabilkan
plak dengan menurunkan inflamasi dan (iii) mencegah trombosis, ruptur plak,
maupun erosi. Terapi farmakologis yang dapat diberikan yakni nitrat, beta
blocker, penyekat kanal kalsiu, Ivabradine, Nicorandil, trimetazidine,
ranolazine dan lain lain.
53
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aterosklerosis adalah penyakit arteri degeneratif progresif yang menyebabkan oklusi
pembuluh darah, mengurangi aliran darah yang melaluinya. Aterosklerosis ini merupakan
kondisi patologis yang mendasari terjadinya kasus penyakit kardiovaskuler di masyarakat
sering dikaitkan dengan gaya hidup yang kurang mendukung kesehatan
(Nurwidyaningtyas, Kholifah, & Rahma, 2014). Aterosklerosis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia, aritmia, angina, dan penyakit jantung koroner. Terapi farmakologi
yang dapat diberikan, yaitu antianginal (beta blocker, calcium channel blocker, nitrate,
sodium channel blocker), antikoagulan (heparin, warfarin), antiplatelet (aspirin,
clopidogrel), agen trombolitik (alteplase, streptokinase), dan antiaritmia. Tujuan dari
penatalaksanaan terapi adalah untuk memperbaiki gejala dan mencegah kejadian
kardiovaskular dengan menurunkan progresi plak, menstabilkan plak dengan menurunkan
inflamasi, dan mencegah trombosis, ruptur plak maupun erosi. Selain pemberian terapi
farmakologi, dapat dilakukan juga perubahan gaya hidup dengan berhenti merokok, diet
yang mengandung tinggi antioksidan, berolahraga secara rutin, menjaga massa tubuh, dan
menjaga psikis diri.
3.2 Saran
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan informasi umum mengenai angina dan
penyakit penyertanya. Namun, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis menyarankan pembaca agar melakukan studi literatur
lebih lanjut dari sumber-sumber terbaru dan kredibel untuk kelengkapan informasi. Saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi
lebih baik lagi di masa yang akan datang.
54
DAFTAR PUSTAKA
Albakri, A. (2018). Ischemic Heart Failure: A Review of Clinical Status and Meta-Analysis of
Diagnosis and Clinical Management Methods. Clinical and Medical Investigations, 3(4),
1–15. https://doi.org/10.15761/cmi.1000171
Alkitri, A. A., Wicaksono, S. H., Pakpahan, H., & Dwiputra, B. (2019). Panduan Tatalaksana
Angina Pektoris Stabil. Jakarta: Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler Indonesia.
Al-Khatib SM, et al. (2017). 2017 AHA/ACC/HRS Guideline for Management of Patients
With Ventricular Arrhytmias and The Prevention of Sudden Cardiac Death, A Report of
the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical
Practice Guidelines and the Heart Rhythm Society. Circulation,
CIR.0000000000000549. doi:10.1161/cir.0000000000000549 .
Bare & Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart (Alih
bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC.
Dipiro, J.T., et al. (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition.
McGraw Hill.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M. (2008).
Pharmacotherapy : A pathophysiologic Approach. In Journal of Chemical Information
and Modeling (7th ed., Vol. 53, Issue 9). McGraw-Hill Companies.
Dipiro, J.T., et al. (2017). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Tenth Edition.
McGraw Hill.
Fihn, S. D., Gardin, J. M., Abrams, J., Berra, K., Blankenship, J. C., Dallas, A. P., Douglas, P.
S., Foody, J. M., Gerber, T. C., Hinderliter, A. L., King, S. B., Kligfield, P. D., Krumholz,
H. M., Kwong, R. Y. K., Lim, M. J., Linderbaum, J. A., MacK, M. J., Munger, M. A.,
Prager, R. L., … Williams, S. V. (2012). 2012
ACCF/AHA/ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS guideline for the diagnosis and management
of patients with stable ischemic heart diseass. Circulation, 126(25), 354–471.
https://doi.org/10.1161/CIR.0b013e318277d6a0
Goodman, L. S., Brunton, L. L., Chabner, B., & Knollmann, B. C. (2018). Goodman &
Gilman's Pharmacological Basis of Therapeutics (13th Ed.). New York: McGraw-Hill.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. (2012). Basic and Clinical Pharmacology. 12th ed. New
York: McGraw-Hill.
Kementerian Kesehatan. (2006). Pharmaceutical Care Penyakit Cardiovascular.
55
Nurwidyaningtyas, W., Kholifah, S., & Rahma, A. (2014). Kajian Kelompok Risiko Tinggi :
Studi Pendahuluan Pengembangan Model Pengendali Prevalensi Penyakit
Pendahuluan. 17(1), 18–24.
Primawati, A. (n.d.). Kegawatdaruratan Aritmia Aritmia.
https://www.rsi.co.id/download/download/60_e886b932a11a34399672178f1fb84932
Stone, N. J., Robinson, J. G., Lichtenstein, A. H., Bairey Merz, C. N., Blum, C. B., Eckel, R.
H., Goldberg, A. C., Gordon, D., Levy, D., Lloyd-Jones, D. M., McBride, P., Schwartz,
J. S., Shero, S. T., Smith, S. C., Watson, K., & Wilson, P. W. F. (2014). 2013 ACC/AHA
Guideline on the Treatment of Blood Cholesterol to Reduce Atherosclerotic
Cardiovascular Risk in Adults: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation,
129(25 SUPPL. 1), 1–45. https://doi.org/10.1161/01.cir.0000437738.63853.7a
Tim Penyusun. (2014). Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium, Edisi Pertama. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler Indonesia.
Whalen, K. (2015). Pharmacology: Lippincott Illustrated Reviews, 6th Edition. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Yuniadi, Y., Tondas, A. E., Hanafy, D. A., Hermanto, D. Y., Maharani, E., Munawar, M., &
Raharjo, S. B. (2014). Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. 54–55.
56