Anda di halaman 1dari 6

Pengembangan Sumber Daya Manusia UAJY Pasca Pandemi

Merespon krisis
Pandemi Covid-19 dan krisis yang menyertainya memunculkan the new normal baik dalam
style maupun working. Bagaimana perusahaan, bisnis atau organisasi merespon krisis itu?
Dalam sebuah artikel pada laman McKinsey & Company 7 Mei 2020 ditulis satu kalimat yang
menarik, bahwa keterampilan dan peran karyawan yang sesuai dengan cara-cara kerja pasca-
pandemi sangat penting untuk membangun ketahanan beroperasinya suatu bisnis.
Keterampilan dan peran yang dimaksud diperoleh dengan mengadakan re-skilling (pelatihan
guna memperoleh kemampuan baru) sehubungan dengan sikon baru yang dihadapi dewasa
ini. Sebagai contoh, dengan adanya the new normal sebuah perusahaan farmasi dengan
10.000 tenaga penjualan akan menerapkan model kerja offline 30% dan 70% online. Dengan
model kerja seperti ini, perusahaan tersebut harus meningkatkan intensitas kegiatan dalam
upaya memperoleh keterampilan baru yang perlu dikembangkan tenaga penjualnya. Contoh
lain diambil dari survei Chief Learning Officer (CFO) Gartner sebagaimana dikutip dari
gartner.com 3 April 2020 yang mengungkapkan, bahwa hampir tiga dari empat CFO berencana
menggeser setidaknya 5 persen dari karyawan yang sebelumnya berada di lokasi perusahaan
ke posisi yang jauh dari perusahaan secara permanen pasca Covid-19 (Sapana Agrawal dkk,
2020), meskipun diakui juga perlu berpikir keras untuk mencari cara mengatasi kurang siapnya
remote working karena beragamnya tingkat keterampilan pekerjanya.

Beranjak dari informasi dan hasil survei tersebut di atas, setidaknya ada dua sisi yang perlu
menjadi perhatian, yaitu dari sisi karyawan dan perusahaan. Dari sisi karyawan, the new normal
dapat diartikan, bahwa karyawan ditantang untuk terus meningkatkan keterampilan saat
perusahaan memberlakukan bekerja jarak jauh (remote working) atau WHF, misalnya
karyawan harus mampu tidak hanya sebatas mengatur pertemuan video conference, tetapi
juga harus bisa mengelola hubungan dengan pelanggan secara efektif saat bekerja secara
jarak jauh. Dari sisi lain, perusahaan juga menghadapi proses belajar ketika para pemimpinnya
harus mencari cara untuk memimpin tim secara virtual saat mereka membangun tim kuat tanpa
melakukan pertemuan tatap muka langsung atau pertemuan informal dengan ngopi dan makan
siang bersama. Sementara itu perusahaan mengakui adanya kesenjangan keterampilan tenaga
kerja dan kebingungan juga bagaimana mengatasi krisis dalam waktu singkat.

Beradaptasi dengan cepat


Pandemi virus corona sesungguhnya membuat pertanyaan terakhir tentang kebingungan
mengatasi keterampilan tersebut di atas mendesak untuk dicarikan solusinya baik saat WFH
maupun setelah WFH berakhir tak terkecuali UAJY. Segenap dosen dan tenaga kependidikan
harus mencari tahu dan berusaha bagaimana dapat beradaptasi dengan kondisi yang berubah
dengan cepat. Untuk adaptasi dosen (sudah mulai dilakukan), ada survei yang dilakukan
KP2MA (April 2020) tentang pelaksanaan pembelajaran daring. Survei tersebut
menginformasikan, bahwa sebagian dosen masih mengutarakan kesulitannya dengan cara
pembelajaran daring, meskipun ada data juga yang menunjukkan sebagian besar dosen
menyatakan sudah mulai nyaman dengan metode pembelajaran blended learning. Data yang
muncul baru berbicara terkait cara pembelajaran, sementara kalau memperhatikan keluhan
mahasiswa (yang mungkin tidak terekspos), banyak di antara mereka yang mengeluh, bahwa
dengan 100% pembelajaran daring pelaksanaan belajar dan pemenuhan tugas yang diberikan
1
dosen dirasakan berat. Kondisi ini memperlihatkan sinyal, bahwa baik mahasiswa maupun
dosen sesungguhnya kurang mengalami kegembiraan dan kemerdekaan dalam menjalani
pembelajaran sebagaimana digambarkan Ki Hajar Dewantara, padahal dalam dunia
pendidikan, kegembiraan merupakan strategi belajar; ia harus diletakkan pada urutan pertama
(Kuntarto, 2020). Hal ini berarti, dosen dituntut untuk kreatif melaksanakan pembelajaran yang
menggugah dan menggairahkan di tengah Covid-19 dan the new normal lanjutannya dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi.

Pada bagian lain, untuk tenaga kependidikan (tendik) dari survei yang dilakukan KSDM (Mei
2020) menyangkut WFH yang dijalankan tendik diperoleh pesan, bahwa sebagian tendik UAJY
tidak cukup siap menjalankan model bekerja secara remote, bahkan ada yang kurang
memahami esensi WFH dan bekerja dalam daring, sehingga kinerjanya pun untuk sebagian
tendik dapat dipertanyakan. Hal ini rupanya sama dengan yang dialami ASN menyangkut
kesiapannya sebagaimana diberitakan dalam Media Indonesia 13 April 2020, namun
kebalikannya dengan hasil riset Lenovo yang dirilis 2 Mei 2020, bahwa karyawan di berbagai
negara telah siap untuk melakukan pola kerja WFH (remote working). Penelitian di China,
Jepang, Jerman, Italia dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa 87% merasa siap beralih ke
model WFH. Selain itu dilaporkan juga, bahwa 77% pekerja mengharapkan perusahaan untuk
lebih melaksanakan kebijakan WFH setelah pandemi berlalu. Jika memang demikian
keadaannya, maka dalam perspektif WFH dan pasca pandemik, pegawai UAJY (termasuk
tendik) penting menyadari, bahwa di dunia luar sana sudah mulai ada perubahan (lihat Gambar
di bawah), ada keinginan para pekerja untuk beradaptasi dan mengadopsi pengaturan kerja
yang fleksibel. Survei ini juga bisa dibaca, bahwa sekarang ini semakin banyak orang merasa
produktif di rumah dan percaya bahwa pekerja akan bergerak lebih efektif dan fleksibel setelah
krisis berlalu. Apalagi karena urusan UAJY juga banyak juga berhubungan dengan Pemerintah
(Dikti), maka tendik pun juga penting untuk disadarkan dengan adanya Peraturan Presiden
(Perpres) No 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang di
dalamnya termasuk mengadaptasi sistem kerja WFH dengan memanfaatkan kanal-kanal
digital. Sesuai dengan fungsinya sebagai tenaga pendukung, maka para tendik pun mutlak juga
untuk mampu berpartisipasi dalam melancarkan pembelajaran daring dan belajar dengan
gembira sebagaimana disampaikan di atas sebagai bagian dari the new normal in working.

Gambar Perubahan Remote Working (sumber: https://open.buffer.com/)

Berdasarkan uraian di atas, kiranya UAJY secara keseluruhan perlu harus belajar bagaimana
mencocokkan para pegawainya dengan peran dan kegiatannya dalam kondisi baru yang
2
mengedepankan daring dan pola kerja WFH, yang banyak diperkirakan akan berlanjut setelah
pandemi dapat tertangani. Dinamika yang terjadi tentunya tidak hanya sekadar pola kerja
daring atau WFH, namun juga menyangkut tentang bagaimana para pimpinan dan pejabat
yang terkait dapat memulihkan dan meningkatkan keterampilan pegawai untuk mendukung
model bisnis dan kerja baru di era pasca-pandemi, karena ikutannya diperkirakan juga akan
mengurangi permintaan kebutuhan ruang perkantoran. Hal ini berarti pola kerja yang dilakukan
perusahaan farmasi seperti dicontohkan di depan, bahwa model kerja 30% offline 70% online
secara permanen, dapat pula terjadi pada organisasi layanan pendidikan sepertinya hal UAJY.
Oleh karena itu untuk menghadapi tantangan the new normal in style and working, Universitas
perlu berkomitmen dan menyusun strategi yang mengembangkan kemampuan pegawainya
baik dosen maupun tendik. Kemampuan yang dimaksud kongkritnya mengenai digitalisasi dan
kognitif kritis pasca pandemik, keterampilan sosial dan emosional mereka, serta kemampuan
beradaptasi dan ketahanan mereka sesuai dengan kebijakan Yayasan di bidang kepegawaian
pasca pandemik Covid-19. Salah satu program atau cara yang diusulkan adalah melakukan re-
skilling. Bentuk komitmen Yayasan dan Universitas yang paling dekat untuk mewujudkan
program ini adalah dukungan penganggaran dan regulasi.

Re-skilling sebagai kebutuhan bukan pilihan


Sebelum berbicara tentang pentingnya re-skilling di UAJY, kiranya perlu diingatkan bahwa
pemikiran re-skilling ini tidak muncul saat pandemi Covid-19 ini, tetapi sudah cukup lama
ditawarkan sebagai konsep untuk menghadapi perkembangan yang cepat dalam dunia industri
dan juga antisipasi atas krisis yang terjadi sebelum pandemi Covid-19. Seperti dikutip dari
McKinsey and Company edisi Mei 2020, sekedar sebagai gambaran misalnya, sebuah
perusahaan yang beroperasi di Afrika Barat selama krisis Ebola yang lalu memutuskan untuk
segera meningkatkan kinerja pasca-krisis dengan memperkenalkan keterampilan dan pelatihan
baru yang mendorong peningkatan kinerja, serta mendayagunakan tenaga kerja untuk terlibat
dalam mengatasi permasalahan. Saat itu perusahaan membedakan antara keterampilan kritis
dan nonkritis dan menyadarkan tenaga kerjanya yang tidak memiliki fleksibilitas untuk
meningkatkan keterampilan pada bidang keterampilan yang berdekatan, misalnya pengemudi
truk belajar bagaimana menjadi operator excavator. Perusahaan juga berencana memindahkan
lokasi usahanya mendekatkan diri pada konsumen dan penyuplai bahan baku.

Ilustrasi tersebut di atas membawa pesan, bahwa pada saat krisis ini ada 3 hal yang
mendorong organisasi untuk mengubah perencanaan sumber daya manusianya, yaitu
diperlukannya keterampilan baru untuk bisnis jarak jauh (dalam hal ini dibaca pelaksanaan
pekerjaan daring atau WFH), kesenjangan keterampilan pekerja dan perubahan dalam supply
chain (rantai pasok). Demikian juga Covid-19 rupanya telah mempercepat dan memaksa
organisasi untuk segera mengimlementasikan ketiga hal tersebut dalam perencanaan sumber
daya manusianya pasca pandemi. Artinya, guna mengantisipasi perkembangan dunia pasca
pandemi, organisasi jangan sampai terlambat untuk menata sumber daya manusianya dalam
mengelola rantai pasok dengan memperhatikan perlunya semakin mendekatkan diri pada
konsumen agar memperoleh pasokan yang baik, meningkatkan kualitas produk dengan
meningkatkan kompetensi dan keterampilan pekerjanya dan mengatasi gap antara output
dengan kebutuhan masyarakat yang timbul pasca pandemi.

Dalam konteks usaha di bidang pendidikan (tinggi), maka program re-skilling dengan beralih
mengerjakan keterampilan bidang lain atau perubahan dalam cara bekerja ini hanya bisa
diterapkan bagi tendik, karena fungsinya adalah memang untuk suppport terselenggaranya
3
pembelajaran. Bagi tendik bisa dipetakan pembedaan pekerjaan yang kritis dan non-kritis,
tetapi tidak banyak untuk dosen. Bagi pegawai fungsional terutama dosen, re-skilling lebih
banyak menyangkut perubahan dalam metode bekerja dan dimaknai sebagai pelatihan guna
memperoleh kemampuan baru sebagai pendidik seperti diutarakan di depan, yaitu di antaranya
kemampuan untuk kelancaran dan kreativitas pembelajaran daring dan mewujudkan
pembelajaran yang menggembirakan, serta kemampuan lain secara umum yang terkait dengan
digital dan kognitif kritis pasca pandemik, keterampilan sosial dan emosional mereka, serta
kemampuan beradaptasi dan ketahanan. Bagi institusi dalam konteks manajemen rantai pasok,
re-skilling dapat dijadikan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan rantai pasok
perguruan tinggi yang menyangkut 3 bidang, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian dari
para calon mahasiswa (pemasok), sivitas akademika, pimpinan dan jajarannya (produsen),
masyarakat sebagai konsumen dan Pemerintah sebagai mitra.

Langkah apa saja yang perlu dilakukan UAJY terkait kemendesakan program re-skilling ini?
Setidaknya ada 3 langkah yang kami tawarkan dan perlu diputuskan bersama antara
Universitas dan Yayasan sebagai pemegang policy kepegawaian.

1. Identifikasi pekerjaan
UAJY perlu memetakan kelompok pekerjaan yang kritis dan non-kritis pasca pandemi atau
keterampilan mana yang secara proporsional mendorong UAJY lebih maju. Sudah barang
tentu pemetaan ini akan dipengaruhi oleh arah UAJY, artinya sebelum pemetaan harus
ditetapkan lebih dulu arah UAJY pasca pandemi, misalnya salah satu strategi yang
diterapkan Universitas adalah tetap dilaksanakannya pembelajaran daring. Lalu bagaimana
membedakan kelompok pekerjaan yang kritis dan non-kritis atau keterampilan mana yang
secara proporsional mendorong UAJY lebih maju pasca pandemi? Contoh berikut mungkin
bisa membantu untuk bisa menemukan jawabannya.

Data pada sistem perawatan kesehatan Inggris menyebutkan, bahwa janjian periksa dokter
sekarang sebagian besar dilakukan melalui telepon atau tautan video, hanya 7% yang
melakukan pemeriksaan atau konsultasi tatap muka. Tahun 2019 pemeriksaan atau
konsultasi dengan tautan video masih kurang dari 1%. Pergeseran ini bisa diartikan lebih
jauh, bahwa selain harus belajar bagaimana melakukan diagnosa jarak jauh yang efektif
dan aman, dokter juga perlu belajar perawatan medis berbasis teknologi. Pada sektor lain,
perusahaan perlu melatih tenaga kerja dalam keterampilan baru terkait dengan penyediaan
dan pengiriman obat yang diresepkan dokter hingga aman dan tepat waktu sampai di
tangan konsumen.

Dari contoh ini dapat dibayangkan, bagaimana penerapannya pada usaha di sektor
pendidikan (tinggi)? Memperhatikan pergeseran yang terjadi pasca pandemi ada sejumlah
pekerjaan administratif yang kiranya bisa dikerjakan berbasis sistem, sehingga tidak perlu
menempatkan seorang atau beberapa orang untuk menangani urusan administrasi yang
dimaksud. Pekerjaan administrasi rutin bisa diganti dengan penyediaan form-form yang
sudah dirangkai dalam suatu sistem yang dapat dikerjakan secara jarak jauh, sehingga
seorang mahasiswa di manapun berada dapat memproses sendiri keperluan surat izin
penelitian misalnya. Selanjutnya, karena proses administrasi sudah bisa dijalankan dengan
sistem, maka pengarsipannya pun harus menyesuaikan dengan pengarsipan digital, tidak
lagi manual. Ikutannya tidak diperlukan lagi tugas pengarsipan secara manual dan harus
ada pengganti untuk petugas yang mengelola arsip digital.

4
Prose identifikasi tentu saja tidak berhenti pada pengelompokan pekerjaan atau
keterampilan, tetapi perlu dilanjutkan dengan jumlah dan kriteria orang yang dibutuhkan
institusi seperti dituntun dengan Tabel 1 di bawah.

Tabel 1. Identifikasi kekritisan pekerjaan


No Pekerjaan Seleksi (⩗) Kebutuhan orang
Kritis Tdk Kritis Jumlah Kriteria
1
2
3
4

2. Peningkatan keterampilan
Setelah menyelesaikan identikasi pekerjaan, maka langkah berikutnya adalah menentukan
macam, jenis dan bentuk peningkatan keterampilan kristis yang diperlukan untuk
mendukung tercapai tujuan Universitas yang baru pasca pandemik (Tabel 2). Sebelumnya
para pegawai penting disadarkan, bahwa secara umum peningakatan atau pembaharuan
keterampilan pegawai yang hendak dilaksanakan sungguh diperlukan untuk eksistensi
Universitas pasca pandemi. Secara khusus juga penting untuk disosialisasikan
keterampilan (softskill) kepada segenap pegawai perlunya memiliki pemikiran kritis, kreatif
dan inovatif untuk menghadapi tantangan cepatnya perubahan lingkungan yang dipicu oleh
Covid-19. Selain itu pegawai juga perlu didorong untuk memilki kemampuan diri mengatur
waktu dan kesehatan mental untuk memperkuat ketahanan. Oleh karena itu Universitas
dan Yayasan penting untuk memfokuskan pada empat jenis keterampilan, yaitu digital,
kognitif, sosial dan emosional, serta kemampuan beradaptasi dan ketahanan. Pemilihan
pengembangan keterampilan keempat bidang ini harus banyak berbasiskan digital dan
dirancang tidak untuk individu. Sementara untuk mengelola suasana semacam “otonomi”
karena remote working juga harus segera ditetapkan oleh Universitas dan Yayasan. Dalam
pengelolaan ini juga termasuk bagaimana pimpinan memastikan profesionalitas,
kemandirian dan ikatan interpersonal tetap terjaga meskipun bekerja saling berjauhan.

Tabel 2. Re-skilling yang diperlukan


No Pekerjaan kritis Re-skilling
Digital Kognitif Sosial-emosional Adaptasi-ketahanan
1
2
3
4

3. Prioritas dan berkelanjutan


Setelah tabel identifikasi terisi langkah berikutnya adalah memilih prioritas yang akan
dilaksanakan dan menentukan juga program yang lebih detil untuk satu kelompok
pekerjaan pada suatu unit, serta penjadwalannya (time line). Hal ini penting dilakukan
untuk mengatasi kesenjangan keterampilan pegawai saat dilaksanakan remote working
(WFH) sekaligus menjaga keberlanjutan program re-skilling. Prioritas, detil program dan
time line dirancang berdasarkan strategi yang telah ditetapkan sebelumnya, misalnya
Universitas akan melakukan pembelajaran daring dan remote working dengan skema 3:2

5
(3 hari WFH, 2 hari bekerja di kantor), serta mengingat perbaikan rantai pasok pasca
pandemi.

Pengaturan prioritas dan keberlanjutan program diperlukan juga guna mengatur


penganggarannya. Dalam hal penganggaran ini memang Yayasan perlu berkomitmen,
bahwa program re-skilling ditujukan untuk tidak sekedar mengatasi krisis, tetapi untuk
jangka panjang agar dapat beradaptasi dengan the normal berikutnya, oleh karena itu
anggaran untuk pengembangan sumber daya manusia pasca pandemi perlu dialokasikan
dengan memadai. Pengembangan keterampilan pegawai akan menjadi kunci strategis,

Penutup
Universitas harus bertindak cepat untuk membangun kemampuan dosen dan tendik yang kritis,
fleksibel dan tangguh guna mempersiapkan diri kemungkinan remote working sebagai bagian
dari the new normal. Oleh karena itu para pengambil kebijakan sumber daya manusia dan
pemimpin di Unversitas perlu mengagendakan re-skilling dalam mengembangkan keahlian
digital pegawai dan keterampilan kognitif, emosional, dan kemampuan beradaptasi mereka
denga anggaran yang mencukupi. UAJY tidak akan tangguh jika pegawainya tidak.

Hari Kebangkitan Nasional


20 Mei 2020

KSDM-UAJY

Bahan bacaan:
1. Gascoigne, Joel. 2020. There are 5 Points on the Scale of Remote Working. https://open.
buffer.com/

2. Kuntarto, Ninik. 2020. Pendidikan yang Menggugah dan Menggairahkan di Tengah Covid-
19, http://edukasi.kompas.com/read
3. McKinsey and Company. 2020. To-emerge-stronger-from-the-covid-19-crisis-companies-
should-start-reskilling-their-workforces-now, 7 Mei 2020 https://www.mckinsey.com/
businessfunctions/
4. Media Indonesia.2020. Kesiapan ASN Hadapi WFH, 13 April 2020, http://media.indonesia.
com
5. Okenews. 2016. Konsep Pembelajaran Ki Hadjar Dewantara Harus Menyenangkan. 2
Mei 2016, https://news.okezone.com/

6. Republika.2020. Survei Sebut Mayoritas Karyawan Siap Kerja Dari Rumah, 2 Mei 2020,
http://republika.co.id

7. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis


Elektronik

Anda mungkin juga menyukai