Anda di halaman 1dari 13

Laporan Tugas Mandiri

Nama : Nabila Najma Tanggal : 15 Desember 2020

NPM : 1806150124 Paraf Asisten :

Kelompok :7

Topik : Pemicu 4 – Rekayasa Genetika pada Tumbuhan

A. Outline
1. Apoptin
2. Green Fluorescent Protein
3. Metode Transformasi
a. Inplanta
b. Transformasi protoplasma
c. Mikroinjeksi
d. Biolitik
4. Vector-mediated gene transfer
5. Metode konfirmasi
a. Blue-white screening

B. Isi
1. Apoptin
Apoptin merupakan sebuah protein yang dapat menginduksi apoptosis kecil, dan
diturunkan dari chicken anemia virus (CAV) yang termasuk ke dalam genus
Gyrovirus dan family Circoviridae yang mengandung satu untai DNA sirkuler
minus (Los et al., 2009).
Gambar 1. Stuktur pimer apoptin (Sumber: Los et al., 2009).

Apoptin terdiri atas 121 asam amino dan tidak menunjukkan homologi urutan yang
signifikan dengan protein seluler yang diketahui. Ujung terminal C dari apoptin
mengandung bipartite nuclear localization sequence (NLS). NLS1 menjangkau
asam amino 82-88, dan NLS2 pada asam amino 111-121. Tambahannya, apoptin
mengandung sebuah putative nuclear export sequence (NES) pada asam amino 97-
105. Apoptin juga memiliki peregangan pendek kaya leusin hidrofobik pada asam
amino 33-46 yang diperlukan untuk asosiasi diri serta pengikatan protein leukemia
promielositik dan interaksi lainnya.

Apoptin biasanya dimediasi oleh caspase, yaitu protease sistein intraseluler.


Caspase berfungsi sebagai inisiator dan eksekutor dalam proses apoptosis. Aktivasi
caspase dilakukan dengan dua rute pensinyalan yang utama: reseptor kematian
ekstrinsik dan jalur mitokondria intrinsik. Dalam jalur ekstrinsik, ligasi reseptor
kematian oleh ligan yang serumpun memicu perekrutan adaptor FADD dan inisiator
caspase-8 ke dalam kompleks pensinyalan yang menyebabkan kematian (Los et al.,
2009).

Sedangkan jalur mitokondria dimulai dengan pelepasan sitokrom c ke dalam


sitosol, yang merupakan sebuah proses yang diatur secara ketat oleh protein pro dan
antipoptosis dari keluarga Bcl-2. Setelah dilepaskan, sitokrom c mengikat protein
adaptor Apaf-1 yang memungkinkan aktivasi inisiator caspase-9 dalam kompleks
berbobot molekul tinggi yang disebut apoptosom. Kedua jalur pensinyalan tersebut
kemudian bertemu pada aktivasi caspase efektor hilir, yang menyebabkan kematian
sel melalui pembelahan beberapa substrat seluler (Los et al., 2009).

2. Green Fluorescent Protein


Green fluorescent protein (GFP) merupakan protein yang diturunkan dari ubur-ubur
Aequorea victoria, protein ini menurunkan energi eksitasinya dari aequorin untuk
menghasilkan cahaya berwarna hijau. GFP murni mengandung 238 asam amino dan
menyerap cahaya biru (maksimal pada 395 nm dengan minor peak pada 470 nm)
dan memancarkan cahaya hijau (peak emission pada 509 nm dengan shoulder pada
540 nm) (Chalfie et al., 1994). Kromofor GFP berasal dari urutan asam amino
primer melalui siklisasi serinedehidrotirin-glisin dalam heksapeptida.

Gambar 2. GFP (Sumber: zeiss-campus.magnet.fsu.edu).

GFP dapat berfungsi sebagai protein tag, karena dapat mentolerir fusi N-terminal
dan C-terminal ke berbagai macam protein yang banyak di antaranya telah terbukti
mempertahankan fungsi aslinya. GFP sangat tahan terhadap denaturasi yang
membutuhkan perawatan dengan 6 M guanidine hydrochloride pada 90°C atau pH
kurang dari 4 atau lebih dari 12. (Yang et al., 1996). Secara biologis, GFP bertindak
untuk mengubah warna bioluminesensi dari biru menjadi hijau pada luminous
coelenterates (ubur-ubur, hydroid, pansy laut, dan pena laut) dan untuk
meningkatkan hasil kuantum emisi cahaya.
3. Metode Transformasi
a. In planta
Transformasi in planta merupakan metode transformasi yang efisien, cepat,
sederhana dan independen yang ditujukan untuk perbaikan tumbuhan. Metode
ini melibatkan transformasi langsung bagian tumbuhan tanpa melibatkan
langkah-langkah kultur jaringan (Kaur & Devi, 2019). Transformasi in planta
dapat bermanfaat untuk tumbuhan yang kekurangan sistem regenerasi dan
sistem kultur jaringan (Shinwari et al., 2016). Metode langsung in planta
umumnya digunakan untuk transformasi gen-gen penting kepada spesies
tumbuhan. Metode umum yang digunakan adalah floral dip dan vacuum
infiltration, digunakan pada tumbuhan baik monokotil mau pun dikotil.

Keuntungan utama dari metode in planta ini adalah dapat memproduksi


tumbuhan transgenik dengan jumlah besar dan akumulasi konsentrasi tinggi
protein larut total dalam waktu yang singkat serta memerlukan reagen yang
minimal (Shinwari, 2016).

Metode vacuum infiltration ini didasarkan pada infeksi tumbuhan berbunga


melalui suspensi sel Agrobacterium, dilanjukan dengan regenerasi tumbuhan,
pemanenen dan seleksi tumbuhan transgenik pada media skrining yang
mengandung gen penanda seperti gen yang resisten terhadap antibiotik dan
herbisida. Metode ini memproduksi tumbuhan transgenik yang stabil dan
memiliki frekuensi transformasi yang lebih sedikit (Shinwari, 2016).

Metode floral dip dilakukan dengan mencelupkan bagian bunga dari kuncup
bunga ke dalam kultur Agrobacterium dengan densitas optik yang kuat untuk
menghasilkan tumbuhan transgeni. Metode ini cepat, andal, dan bebas dari
serangan mikroba. Namun pada metode ini memiliki kerugian, yaitu efisiensi
transformasi rendah dan integrasi acak dari gen asing ke dalam genom inang.

b. Tranformasi protoplasma
Protoplas merupakan sel tumbuhan yang dinding selnya telah diangkat. Maka
dari itu, protoplas memiliki perilaku seperti sel hewan, yang secara natural tidak
memiliki pembatas dinding sel (Brandenberg et al., 2011). Regenerasi
tumbuhan dari protoplas tunggal sangat mungkin dikarenakan totipotensi yang
dimiliki tumbuhan, contohnya adalah potensi sebuah sel tunggal dapat
melengkapi seluruh bagian tumbuhan.

Pengangkatan dinding sel dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan


terhadap material tumbuhan (daun, kultur jaringan, sel yang tersuspensi) dengan
campuran enzim yang dapat merusak dinding sel, seperti pektinase, selulase,
dan/atau hemiselulase di dalam medium yang terinkubasi secara tepat dengan
osmolalitas yang tepat (Bredenberg et al., 2011). Setelah pengangkatan dinding
sel, protoplas harus tetap direndam dalam larutan dengan konsentrasi zat terlarut
yang sesuai untuk menceganya meledak. Dengan demikian, pemantauan
osmolalitas yang benar dari media kultur sampai dinding sel baru terbentuk
sangatlah penting.

Namun, terdapat beberapa pendekatan yang tersedia untuk menyisipkan


transgene DNA ke protoplas melalui membrane plasma (Bredenberg et al.,
2011).

c. Mikroinjeksi
Tranformasi melalui mikroinjeksi didasarkan pada memasukkan DNA ke
sitoplasma atau nukleus dengan menggunakan pipet injeksi mikro kapiler.
Metode ini memerlukan micromanipulator (Khan, 2009). Selama memasukkan
DNA ke nukleus, sel diimobilisasi dengan pipet penahan dan gentle suction.
Mikroinjeksi digunakan untuk transformasi terutama untuk sel hewan yang
besar. Pentingnya untuk transformasi tumbuhan agak terbatas karena
karakteristik dinding sel yang dimiliki tumbuhan, mengandung lapisan lignin
dan selulosa yang tebal (Khan, 2009). Dinding sel tumbuhan merupakan
pembatas bagi alat mikro kaca.

Metode ini memungkinkan penggabungan tidak hanya plasmid DNA tetapi juga
seluruh kromosom ke dalam sel tumbuhan. Meskipun memiliki frekuensi
transformasi yang cukup tinggi (20-50%), injeksi mikro adalah proses yang
memakan waktu dan membutuhkan peralatan khusu dan pelatihan yang cukup
(Khan, 2009).
d. Biolistik (Particle Bombardment)
Particle bombardment pertama kali dideskripsikan sebagai metode untuk
memproduksi tumbuhan transgenik sebagai alternatif terhadap metode
transformasi protoplas dan terutama untuk transofrmasi sereal yang lebih bandel
(Keshavareddy et al., 2018). Dalam riset terhadap tumbuhan, aplikasi dari
biolistik termasuk studi transient gene expression, produksi tumbuhan
transgenik dan inokulasi tumbuhan dengan viral pathogens.

Konstruksi gen untuk biolistik dapat berupa plasmid seluler atau linier atau
kaset ekspresi linier. Kultur sel embriogenik kemungkinan merupakan eksplan
terbaik yang digunakan untuk transformasi biolistik karena dapat disebarkan
sebagai target sel yang seragam dan memiliki kapasitas pemulihan yang juga
tinggi (Kikkert et al., 2005). Particle bombardment telah muncul sebagai
metode yang dapat direproduksi untuk transformasi gandung dan transformasi
stabil pertama pada spesies konifer yang penting secara komersial dicapai
melalui jaringan kalus embriogenik sebagai eksplan.

Bagaimanapun, metode particle bombardment ini memiliki kekurangan, yaitu


efisiensi transformasinya lebih rendah dibandingkan dengan Agrobacteriu
mediated transformation dan lebih memakan biaya juga. Target instraseluler
acak dan DNA tidak dilindungi dari kerusakan (Keshavareddy et al., 2018).
Hasilnya, banyak peneliti yang menghindari metode ini karena ringginya
frekuensi pola integrasi kompleks dan beberapa penyisipan salinan yang dapat
mengakibatkan pembungkaman gen dan variasi ekspresi transgen.

4. Vector-mediated transformation: Agrobacterium mediated-transformation


Agrobacterium tumefaciens merupakan mikroorganisme tanah penyebab penyakit
empedu mahkora pada banyak spesies tumbuhan dikotil (Brown, 2010). Mahkota
empedu terjadi ketika luka di batang memungkinkan bakteri A. tumefaciens
menyerang tumbuhan. Setelah infeksi bakteri menyebabkan perkembangbiakan
kanker pada jaringan batang di daerah mahkota.
Gambar 3. Penyakit empedu mahkota (Sumber: Gene Cloning and DNA Analysis by
Brown).

Kemampuan untuk menyebabkan penyakit empedu mahkota berhubungan dengan


terdapatnya plasmid Ti (penginduksi tumor) di dalam sel bakteri. Plasmid Ti
merupakan plasmid yang berukuran besar (lebih dari 200kb) yang dapat membawa
banyak gen yang terlibat dalam proses infektif. Plasmid Ti memiliki karakteristik
yang luar biasa, setelah infeksi, bagian dari molekul diintegrasikan ke dalam DNA
kromosom tumbuhan. Segemen yang disebut T-DNA, berukuran antara 15 dan 30
kb, tergantung strainnya. Segmen ini
dipertahankan dalam bentuk yang stabil pada
sel tumbuhan dan kemudian diturunkan ke sel
anak sebagai bagian internal dari kromosom.
Tetapi, karakteristik yang lebih luar biasa
adalah bahwa T-DNA mengandung delapan
atau lebih gen yang diekspresikan dalam sel
tumbuhan dan bertanggung jawab atas sifat
kanker dari sel yang diubah. Gen-gen ini juga
langsung menyintesis senyawa yang tidak
biasa, disebut opines yang digunakan bakteri
sebagai nutrisi. Singkatnya, A. tumefaciens
secara genetik merekayasa sel tumbuhan
untuk tujuannya sendiri.

Gambar 4. Ti plasmid (Sumber: Gene


Cloning and DNA Analysis by Brown).
Plasmid Ti dapat digunakan untuk mentranspor gen baru ke dalam sel tumbuhan.
Hal-hal yang diperlukan adalah memasukkan gen bar uke dalam T-DNA dan
kemudian bakteri dapat melakukan kerjanya untuk mengintegrasikannya ke dalam
DNA kromosom tumbuhan. Di dalam prakteknya, hal ini terbukti merupakan
proposisi yang rumit, terutama karena ukuran besar dari plasmid Ti membuat
manipulasi molekul menjadi sangat sulit.
Situs restriksi unik menjadi masalah utama, karena tidak mungkin dilakukan
dengan ukuran plasmid 200 kb. Strategi baru harus dikembangkan untuk
memasukkan DNA bar uke dalam plasmid. Strategi yang umum dilakukan adalah:
a. Binary vector strategy: didasarkan pada pengamatan bahwa T-DNA tidak perlu
melekat secara fisik pada plasmid Ti lainnya. Sistem dua-plasmid, dengan T-
DNA pada molekul yang realtif kecil, dan sisa plasmid dalam bentuk normal,
sama efektifnya dalam mentransformasi sel tumbuhan. Faktanya, beberapa
galur A. tumefaciens, dan agrobakteria terkait, memiliki sistem plasmid biner
alami. Plasmid T-DNA cukup kecil untuk memiliki situs restriksi yang unik dan
dapat dimanipulasi menggunakan teknik standar.

Gambar 5. Binary vector strategy (Sumber: Gene Cloning and DNA Analysis by Brown).

b. Co-integration strategy: menggunakan plasmid yang seluruhnya baru,


didasarkan pada vektor E. coli, tetapi membawa porsi kecil dari T-DNA.
Homologi antara molekul baru dan plasmid Ti berarti bahwa jika keduanya
berada dalam sel A. tumefaciens yang sama, rekombinasi dapat
mengintegrasikan plasmid E. coli ke dalam region T-DNA. Oleh karena itu, gen
yang akan dikloning dimasukkan ke dalam situs restriksi unik pada plasmid E.
coli kecil, dimasukkan ke dalam sel A. tumefaciens yang membawa plasmid Ti,
dan proses rekombinasi alami tersisa untuk mengintegrasikan gen baru ke dalam
T-DNA. Infeksi tumbuhan menyebabkan penyisipan gen baru, bersama dengan
T-DNA lainnya, ke dalam kromosom tumbuhan.

Gambar 6. Co-integration strategy (Sumber: Gene Cloning and DNA Analysis by Brown).

Jika bakteri A. tumefaciens yang mengandung plasmid Ti yang direkayasa masuk


ke dalam tumbuhan dengan cara alami, dengan menginfeksi luka di batang, maka
hanya sel-sel di mahkota empedu yang dihasilkan yang akan memiliki gen kloning.
Sebaliknya, dibutuhkan cara untuk memasukkan gen baru ke dalam setiap sel
tumbuhan. Ada beberapa solusi, yang paling sederhana adalah menginfeksi bukan
tumbuhan dewasa tetapi kultur sel tumbuhan atau protoplas dalam media cair. Sel
tumbuhan dan protoplas yang dinding selnya telah terbentuk kembali dapat
diperlukan dengan cara yang sama seperti mikroorganisme: misalnya, mereka dapat
dilapisi ke media selektif untuk mengisolasi transforman (Brown, 2010).

Tumbuhan dewasa yang beregenerasi dari sel yang ditransformasi akan


mengandung gen kloning di setiap sel dan akan meneruskan gen kloning tersebut
ke keturunannya. Namun, regenerasi tumbuhan yang ditransformasi hanya dapat
terjadi jika vektor Ti telah “dilucuti” sehingga sel yang ditransformasikan tidak
menunjukkan sifat kanker. Pelucutan tersebut dimungkinkan karena gen kanker
yang seluruhnya terletak pada T-DNA, tidak perlukan untuk poses infeksi,
infektivitas dikendalikan terutama oleh wilayah virulensi plasmid Ti.

Gambar 7. Transformasi sel tumbuhan dengan A. tumefaciens (Sumber: Gene Cloning and DNA Analysis by Brown).

Faktanya, satu-satunya bagian T-DNA yang terlibat dalam infeksi adalah dua
urutan pengulangan 25 bp yang ditemukan di perbatasan kiri dan kanan dari wilayah
yang terintegrasi ke dalam DNA tumbuhan. Setiap DNA yang ditempatkan di antara
dua urutan pengulangan ini akan diperlakukan sebagai T-DNA dan ditransfer ke
tumbuhan. Oleh karena ini, dimungkinkan untuk menghilangkan semua gen kanker
dari T-DNA normal, dan menggantinya dengan satu set gen yang sama sekali baru,
tanpa mengganggu proses infeksi. Sejumlah vektor kloning Ti yang dilucuti
sekarang tersedia, contohnya adalah vektor biner pBIN19.
Perbatasan T-DNA kiri dan kanan yang ada dalam vektor ini mengapit salinan gen
lacZ’ yang berisi sejumlah situs kloning, dan gen resistensi kanamycin yang
berfungsi setelah integrasi sekuens vektor ke dalam kromosom tumbuhan.
Manipulasi awal yang menghasilkan penyisipan gen yang akan diklon ke pBIN19
dilakukan pada E. coli, molekul rekombinan pBIN19 yang benar kemudian
dipindahkan ke A. tumefaciens dan kemudian ke tumbuhan.

5. Metode Konfirmasi
a. Blue-white screening
Merupakan metode konfirmasi DNA yang cepat dan sederhana yang didasari
atas aktivitas ꞵ-galactosidase yang merupakan enzim yang berada di bakteri
E.coli yang dapat membelah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Pada
metode ini digunakan medium agar dan X-gal yang merupakan substrat
kromogenik. Umumnya, vektor plasmid mengandung segmen pendek dari lacZ
gene yang dapat memproduksi enzim ꞵ-galactosidase yang fungsional. Segmen
pendek dari lacZ gene ini dapat terpotong oleh enzim restriksi dan dapat
tergantikan oleh DNA rekombinan, yang membuatnya tidak dapat
memproduksi ꞵ-galactosidase yang fungsional (Nicholl, 2008).

Jika ꞵ-galactosiadase diproduksi, X-gal akan terhidrolisis menjadi 5-bromo-4-


chloro-indoxyl yang secara spontan mengalami dimerisasi untuk memproduksi
pigmen berwarna biru yang tidak larut yang disebut 5,5’-dibromo-4,4’-
dichloro-indigo. Maka, jika koloni yang terbentuk muncul dengan warna biru
dalam wadah, itu berarti koloni yang tidak mengandung DNA rekombinan.
Sedangkan jika koloni yang mengandung DNA rekombinan akan muncul dalam
warna putih, karena koloni yang mengandung DNA rekombinan tidak dapat
memproduksi ꞵ-galactosidase yang fungsional.
Gambar 8. Blue-white screening (Sumber: sigmaaldrich.com).

C. Daftar Pustaka

Brandenberg, Olivia et al. 2011. Introduction to Molecular Biology and Genetic


Engineering. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Brown, T. A.. 2010. Gene Cloning and DNA Analysis: An Introduction. 6th ed. UK:
John Wiley & Sons, Ltd.
Chalfie, Marin et al. 1994. Green Fluorescent Protein as a Marker for Gene
Expression. Science Vol. 263: 802-805.
Kaur, Ratna Preeti & Devi, Sugani. 2019. In planta transformation in plants: A review.
Agricultural Reviews, 40(3):159-174.
Keshavareddy, G et al. 2018. Methods of Plant Transformation – A Review.
International Journal of Current Microbiology and Applied Science 7(7):2656-
2668. doi.org/10.20546/ijcmas.2018.707.312.
Khan, K. H.. 2009. Gene Transfer Technolgies in Plant: Roles in Improving Crops.
Recent Research in Science Technology, 1(3):116-123.
Kikkert, Julie R. et al. 2005. Stable Transformation of Plant Cells by Particle
Bombardment/Biolistics. Methods in Molecular Biology 286:61-76.
Los, Marek., et al.. 2009. Apoptin, A Tumor-Selective Killer. Biochimia et BioPhysica
Acta 1793: 1335-1342.
Nicholl, Desmond S. T.. 2008. An Introduction to Genetic Engineering. 3rd edition.
New York: Cambridge University Press.
Shinwari, Zabta Khan et al. 2016. In-planta transformation: recent advances.
Romanian Biotechnological Letters 21(1):11085-11089.
Yang, Fan et al. 1996. The molecular structure of green fluorescent protein. Nature
Biotechnology Vol. 14:1246-1251.

Anda mungkin juga menyukai