Anda di halaman 1dari 11

MYASTHENIA GRAVIS

I. PENDAHULUAN
Myasthenia Gravis secara klinis telah dikenal sejak tahun 1672 ketika sarjana
Thomas Willis untuk pertama kalinya mengemukakan gejala-gejala dari penyakit ini
(BROOKE 1977).Pada perkembangan penyelidikan dari penyakit ini telah diajukan
berbagai macam teori tentang penyebabnya dan juga berbagai cara pengobatan untuk
mengatasinya.

II. DEFINISI
Myasthenia Gravis adalah suatu penyakit dengan penyebab belum
diketahui,terjadi karena beredarnya antibody terhadap Acetyleholine
Receptor(ACHR),bermanifestasi sebagai kelemahan otot terutama pada oto bola mata
dan otot-otot saraf otak lainnya,beratnya gejala mempunyai tendens berfluktuasi,tidak
ditemukan lesi jaringan saraf dan terdapat perbaikan dari kelemahannya dengan
pemberian obat cholinergic.(ROWLAND,1982)

III. ETIOLOGI
Walaupun penyebab yang sebenarnya tidak diketahui ,tetapi tampaknnya
kelemahan pada Myasthenia Gravis dihubungkan dengan beredarnya antibody
terhadap ACHR.

IV. PATOFISIOLOGI
Terdapat 3 faktor penyelidikan dari MG:
Periode pertama : antara akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.Para saraja telah
mendapatkan gambaran klinis yang khas dari penyakit ini,mereka mencari adanya lesi
pada pemeriksaan postmortem dan ternyata baik secara gross maupun histologist
tidak didapatkan adanya kelainan pada otak,medulla spinalis,saraf tepi,maupun pada
ototnya.Maka penyakit ini dianggap disebabkan gangguan fungsi fisiologis
(ROWLAND,1981).Pada periode tersebut sering didapatkan adanya tumor atau
proliferasi yang abnormal pada folikel kelenjar lymph thymus pada penderita MG
(MOZAI,1982)
Periode kedua : antara tahun 1930 sampai dengan 1970.
I. Pendekatan Fisiologis
Pada pertengahan tahun tigapuluhan terdapat 2 hasil penyelidikan yang
membuktikan bahwa MG adalah penyakit yang disebabkan gangguan transmisi
neuromuskuler.
Pertama : Mary Walker berhasil memperbaiki keadaan klinis dari penderita MG
denga pemberian physostigmine (1934) dan kemudian dengan neostigmine (1935)
Kedua : Dale dkk (1936) mengajukan teori transmisi sinaptk secara neurohumoral
atau kimiawi pada neuromuscular junetion dan dikatakan bahwa Acetylcholine
adalah transmitter yang spesific ditempat ini (ROWLAND 1981)
Obat-obat yang digunakan bekerja dengan menghambat enzyme
Acetylcholinesterase yang biasanya bekerja pada ketabolisme
acetylcholine.Pengobatan ini berdasarkan pengamatan bahwa gejala MG mirip
dengan gejala keracunan curare (MOZAI 1982).Diantara tahun 1945-1960,Harvey
dkk melakukan dengan frekwensi 2-5 x/detik dan diukur ampitudo dari avoked
potensial otot.Pada organ normal amplitude ini tetap tingginya sedangkan pada
pederita MG amplitude menurun.Hal ini didapatkan juga para pemberian curare
dan membaik setelah diberi neostigmine (ROWLAND 1981).
Maka terdapat 3 kemungkinan sebagai penyebab MG:
a. aktifitas yang berlebihan dan cholineterase
b. ujung saraf tidak cukup melepaskan acetylcholine
c. reseptor postjuction terhambat oleh factor endrogen yang mirip curase
Elmqvist dkk (1964) menyelidiki otot intecostalisdengan mikro elektroda dan
mendapatkan bahwa end-plate potensial pada MG sangat menurun. Pemberian K +
PADA pada pemebrian MG akan menimbulkan produksi Acetylcoline dalam
jumlah yang normal dan hal ini membukrikan bahwa produksi Acetilcoline tidak
terganggu. Demikian pula kadar Acetylcholine dalam batas normal.
Pemberian antagonis Acetylcholine (carbachol dan decamethonium) menunjukan
respons dari postjuction berupa depolarisasi end plate yang normal pula. Karena
hal tersebut mereka menggap bahwa MG terjadi karena pelepasan quantum
Acetylcholine yang subnormal yang mungkin.

II. Pendekatan immunologis


Pada penderita MG deitemukan tumor jinak thymus (thymoma) pada 15%
penderita dewasa. Blalock (1939) pertama kali melporka adanya perbaikan gejala
klinis setelah thymoma diangkat. Setelah perang dunia ke 2 tindakan thymectomi
dianggap sebagai pengobatan standard dan pada 66% penderita menunjukan
perbaikan setelah operasi (ROWLAND 1981)

Periode ketiga, mulai tahun 1970 sampai sekarang.


Diawai dengan penemuan Chang Lee (1967) yang dapat mengiolasi
ulabungarotoxin yang dapat bereaksi dengan motor end plate dan menyebabkan
kelumpuhan. Kemudian toxin tersebut depergunakan untuk mengisolasi ACHR
daribagian berlistrik belum listrik (Electrophorus Electricus) dan ika pari
(Torpedo California). Patrick dan Lindsrome (1973) mempergunakan AChR,
sehingga kita dapat mempelajari letak dari AchR ini. Demikian pula dengan
pembentukan AchR, sehingga kita dpat mempelajari letak dari AchR ini.
Demikian pula dengan pengguanaan AchR yang telah diisolasi kita dapat
mengukur titar antibodi dari serum penderita MG. Titer antibody tidak selalu
berhubungan langsung dengan berat ringannya gejala, walaupun sering pederita
dengan gejala MG yang berat mempunyai titer yang tinggi (GILBOY dan
MEYER 1979).
Terdapat unsure familiar yang mungkin disebabkan transfer secara pasif dari
antibody si ibu dan anaknya, pada bayi yang lahir dengan ibu yang MG disebut
neonatal Myasthenia. Mengapa hanya 12 bayi yang lahir dari ibu dengan MG
menderita Neonatal Myasthenia sampai sekarang belum diketahui. (KEESEY
1977)
SEYROLD (1981) berpendapat bahwa pada bayi yang menderita MG mungkin
desebabkan tranfer pasif dari penyakit ibu, panyakit autoimun yang terjadi atau
mungkin pula penyakit non autoimun herediter. Pendapat bahwa MG adalah suatu
proses autoimmune antara antibody dengan AchR didukung dengan data-data:
o Pengurangan AchR akan berkaitan dengan IgG antibody serum dan anti
AchR antibody
o Myasthesnia immunoglobulin dapat menimbulkan gambaran myasthenia
bial disuntika hewan percobaan
o Penurunan antibody serum secara plasmapheresis akan menimbulkan
perbaikan keadaan klinis untuk sementara waktu.
o Penggunaan cortikosteroid kadang-kadang memabntu perbaikan.
o Terdapat gangguan immunologi bersamaan dengan MG, antara lain:
rheumatoid artheritis, hyperthiroidea, polymyosis, SLE, anemia perniciosa,
Gjogren’s syndrome, phmphigus. (DAVIS, 1983).

N = Ujung saraf / akson o = AchR

A = end plate o = anti AchR antibody

B = terdapat immune kompleks pada AchR, pengurangan dan


pembentukan

AchR masih seimbang. Tidak terdapat perubahan ultrastruktur padA

tonjolan postsinaptik. Terdapat pada okuler myathenia atau Myatheni

umum keadaan dini.

C =terdapat kerusakan AchR dan diikuti berkurangnya penonjolan

postsinaptik, terdapat pada Myasthenia Umum bentuk sedang.


D = terjadi penyederhanaan postsinaptik, celah sinap melebar, ChR
sangat

berkurang, terdapat pada Myathenia Umum.

E =terbentuknya end-plate baru dengan bentuk post sinaptik yang

sederhana tetapi lebih celah sinaps normal. AchR hampir normal,

pembentukan AchR melampaui jumlah kerusakan. Terdapat pada

Myasthenia Okuler atau Myasthenia Umum bentuk ringan.

F = penonjolan menjadi lebih dalam, terdapat pada Myathenia Okuler


atau

Myasthenia Umum yang ringan.

Keadaan F dapat berkembang dari keadaan C atau sebaliknya dan dapat karena
perbaikan dari E.

Hubungan antara kelenjar thymus dan MG sampai saat ini masih belum jelas,
diduga antibody terdapat AchR berjalan dengan limfosit T dan limfosit yang didapat
pada thymus penderita MG tidak berbeda dengan limfosit thymus orang normal
(GILBOY 1979). Thymectomy tidak selalu mengakibatkan penurunan titer antibodi
terhadap AchR, Tindak (1980) mendapat nilai berkisar antara meninggi 28 sampai
menurun dengan rata-rata menurun 183. Penurnan titer juga diaporkan oleh beberapa
sarjana lain tetapi tidak selalu sejalan dengan perbaikan gejala klinis (SKYROLD
1978, SCADDING 1977), MORGUTTI 1979 dan SCADDING 1979)

V. GEJALA KLINIS
Walaupun relatif jarang, MG dapat dijumpai insidens berkisar 1 : 10.000 (GILROY &
MEYER 1979) dan 1 : 20.000 (BROOKE 1977), pada usia dewasa muda lebih
banyak wanita dibandingkan pria (2 : 1 sampai 3 : 2), dengan bertambahnya usia
frekwensi menjadi sama banyak. Wanita pada usia 20-30 tahun, pria usia 60-70 tahun
(GILBOY & MEYER 1979). Insidens ini sebenarnya mungkin lebih banyak
berhubungan MG memiliki gejala klinis yang bervariasi cukup luas dan banyak
penderita tidak terdiagnosa. Penyakit ini terjadi pada semua bangsa dan banyaknya
diseluruh dunia (GEYBOLD 1983).

Onsetnya dapat tiba-tiba atau perlahan-lahan berupa kelemahan atau keletihan pada
otot skelet. Ptosis dan diplopia, yang disebabkan gangguan otot bola mata, merupakan
keluhan pertama yang sering didapat. Selain otot mata bisa juga terkena otot - otot
bulbair bisa terjadi keluhan keseleg, disartri dan disfagi, lengan, tungkai dan otot
batang tubuh juga bisa terkena dan biasanya tidak simetris. Kekuatan otot dapat
normal pada penderita yang ringan pada keadaan istirahat dan baru timbul kelemahan
setelah melakukan aktivitas / pekerjaan berat atau gejala khas adalah saat bangun /
pagi hari gejalanya hilang / kekuatan otot normal, semakin siang /sore hari /setelah
aktivititas, gejala tampak semakin memberat. Atrofi otot kadang-kadang terjadi pada
gejala penyakit sering di pengaruhi keadaan lingkungan, emosi dan faktor fisik.
Cahaya yang menyilaukan kadang-kadang menimbulkan ptosis, panas bisa menambah
kelemahan otot. Demikian pula penyakit virus, operasi, mentruasi, kehamilan dan
immunisasi dapat menpressibilitasi gejala (SEYBOLD 1983).

Congenital Myasthenia adalah bayi yang dilahirkan bukan oleh ibu yang menderita
MG dan timbul gejala dalam periode tahun pertama, sedangkan Juvenile Myasthenia
bila onset pada usia anak-anak sampai 18 tahun.

Gejala klasik dan kelemahan dari otot sering diselingi dengan remisi dan relaps
(ELLAS 1979) pada ± 33 kasus hanya ada gejala okuler saja sedangkan pada 33 lagi
memiliki gejala okuler disertai kelemahan pada anggota badan lainnya. Kelemahan
pada anggota badan saja tanpa kelainan okuler ada pada 15% kasus, sedangkan 20%
kasus ada gangguan mengunyah dan menelan.

Kelemahan pada bagian proksimal dan distal, tonusnya normal dan refleks tendo
biasanya positif. Pada kasus yang berat dimana otot-otot pernafasan terkena, penderita
mengeluh sukar bernafas.

VI. KLASIFIKASI
Terdapat berbagai macam hal yang telah diajukan antara lain oleh OMSERME
dan GENKINS (1971) yang membagi dalam:
Grade I : hanya mengenai mata saja (Ocular Myasthenia)
Grade IIa : Myasthenia gravis umum yang ringan
IIb : Myasthenia gravis umum yang sedang
IIc : Myasthenia gravis umum disertai kelainan bulbair
Sedangkan GILBOY & MEYER (1979) membaginya berdasarkan prognosa dan
pengobatan, dibagi dalam 4 group
Group I : Okular Myasthenia
Pada group ini terkena adalah satu atau lebih otot bola mata sehingga
menimbulkan ptosis atau strabismus. Pstosis biasanya unilateral dan
sering dikompensasi dengan cara menengadahkan kepala dan
mengerutkan dahi. Bentuk ini ringan tetapi sering sukar diobati dan bila
terjadi progressifitas biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama.
Group II : Mild Generalized Myasthenia
Pada kelompok ini onset biasanya dengan gejala okuler yang kemudian
meluas ke otot wajah, anggota gerak dan bulbair, sementara otot-otot
pernafasan tidak terkena. Bila terjadi progresifitas ke Grup III biasanya
terjadi dalam 2 tahun pertama.
Group III : Severe Generalized Myasthenia
Pada group ini onset biasanya cepat dan mengenai otot-otot okuler,
anggota gerak dan pernafasan. Respons terhadap pengobatan dengan
anti colinesterase biasanya berhasil hanya 50% kasus. Tidak berhasilnya
pengobatan akan membahayakan karena bisa timbul krisis myasthenia
atau cholinergic.
Group IV : Krisis
Kadang-kadang kelemahan umum yang disertai dengan kelumpuhan
otot pernafasan adalah keadaan darurat. Krisis myasthenia teriadi bila
penderita kelompok III tidak sesuai dengan pengobatan
anticholinesterase. Krisis kolinergik akibat akibat pengobatan yang
berlebihan sehingga menyebabkan kelumpuhan.
Teriadinya myasthenia sering terjadi bersama-sama dengan teriadinya
infeksi di bagian tubuh yang lain dan tersering adalah peradangan
saluran pernafasan bagian atas.
SAMUELS (1982) membagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan
pengobatannya:
Group I : Okular Myasthenia
Group IIa : Myasthenia umum ringan dengan gejala okuler
IIb : Myasthenia umum sedang dengan gejala bulbair ringan dan gejala
okuler
Group III :Myasthenia akut berat dengan komplikasi bulber dan gangguan
pernafasan. Diperlukan tracheostomi
Group IV : Myasthenia berat yang biasanya berkembang dari kelompok lain dalam
waktu 2 tahun
DAVIS (1983) membagi dalam kelompok yang hampir sama dengan group:
Group I : Ocular myasthenia, gejala pada otot mata dan dalam 2 tahun
tidak berkembang keotot yang lain
IIa & IIb : Myasthenia umum ringan dan sedang.
III : Myasthenia akut dan berat dengan gangguan otot pernafasan
IV : Myasthenia berat dan kronis.

VII. DIAGNOSA
Menegakkan diagnosa pada kasus-kasus yang sedang atau berat biasanya cukup
dengan anamnesa dan pemeriksaan klinis, pada kasus-kasus yang ringan atau laten
dan tidak khas diperlukan prosedur pemeriksaan baik secara klinis maupun dengan uji
mempergunakan obat-obatan. Hal ini penting untuk kasus-kasus dengan gejala tidak
menetap dan terjadi untuk sementara saja. Pemeriksaaan fisik terutama ditujukan pada
kekuatan otot tersebut.
GILROY & MEYER (1979) menganjurkan sebuah seri pemeriksaan klinis yang
dapat digunakan untuk menilai keadaan penderita secara kwantitas baik padapada saat
pertama kali atau pada follow up pengobatan. Pemeriksaan fisik tersebut antara lain:
a) Pengukuran besarnya celah kelopak mata
b) Gerakan bola mata kesemua arah
c) Kemampuan lamanya mempertahankan gaze
d) Kemampuan mempertahankan gigitan pada spatel lidah
e) Lamanya waktu sampai terjadi disfoni / disarthri pada saat membaca atau
berhitung
f) Lamanya waktu sampai terjadi keletihan pada saat menumpukkan salah satu
kaki diatas kaki yang lain.
g) Lamanya waktu sampai terjadi keletihan pada saat berdiri pada ujung jari kaki.
h) Lamanya waktu untuk terjadi keletihan pada saat duduk dari posisi berbaring.
Selain pemeriksaan klinis ada beberapa macam tes yang dapat membantu
menegakkan diagnosis antara lain:
1. Edrophonium (Tensilon) test. (SAMUELS 1978, SEYBOLD 1983) dilakukan
penyuntikan intravera secara cepat dengan Edrophonium yang memiliki efek
seperti anticholinesterase dan perubahan yang terjadi pada derajat ptosis,
kemampuan gerak bola mata, dll. Obat ini dipilih karena bekerja secara cepat dan
singkat. Pada penderita Myasthenia gravis akan didapat adanya perbaikan dalam
waktu 50 sampai 60 menit setelah pemberian obat dan membaik selama 2 sampai
20 menit.
False positif bisa terjadi bila penderita melalukan gerakan yang lebih kuat pada
saat di test.
False negative terjadi bila otot yang diperiksa sangat lemah atau tidak bereaksi
terhadap obat.
Dosis yang dipakai adalah 10 mg untuk orang dewasa (0,2mg / kg BB pada anak-
anak) dan untuk amanya diberikan secara khusus 2 mg IV dan penderita
diobservasi kemungkinan timbulnya muskarinik efek, bila tidak ada efek yang
berbahaya obat dapat diberikan perinfus selama 30 detik.
Dalam dosis kecil juga bisa digunakan untuk mendiagnosa krisis kolinergik. Dosis
1 mg setiap kali sampai 5 mg.
2. Neostigmine (Prostigmine)test. (SAMUELS 1978)
Bila efek anticholinesterase dari Edrophonium terlalu singkat maka dapat
digunakan neostigmine dengan dosis 0,04 mg / kg disuntikan IM dan mencapai
aktivitas maksimal dalam waktu 1-2 jam efek hilang setlah 3-4 jam. Untuk
menghilangkan efek muscarinik dapat diberikan pencegahan dengan atropin.
3. Pemeriksaan Elektromyografi (EGM)
Salah satu cara pemeriksaan EMG adalah menurut Harvey Masland, yaitu
elektroda perekam pada elektroda kuat ditempelkan pada bagian lateral otot
deltoid kanan, elektroda indiferen diikat pada lengan kanan bawah, elektroda
perangsang di tempatkan di fossa supraclavicularis kanan. N. Axillaris kanan
dirangsang dengan kekuatan yang sama dengan listrik faradis yang tectangular
dengan kekuatan miliampere dengan kecepatan 5 per detik akan menimbulkan
kontraksi otot deltoid kanan yang terlihat pada layar osciloskop sebagai potensia
aksi yang tunggal. Normal besarnya atau amplitudo berpotensi aksi akan tetap
sama sedangkan pada penderita Myasthenia amplitudonya akan menurun. (Lihat
gambar (Utama 1984)

4. Pemeriksaan adanya natibodi terhadap AChR didalam serum. Antibodi ini


spesifiknya sangat membantu diagnosa diukur dengan imunopresipitas assay,
dimana 90% penderita myasthenia umum dan 70% penderita okuler myasthenia
menunjukkan kenaikan titer. Titerantibodi sering sesuai dengan beratnya gejala
pada pasien yang telah mengalami remisi kadang-kadang masih ada antibodi
(DAVIS 1983)

VIII. TATALAKSANAAN
Pada operasi pengobatan Myasthenia Gravis ditujukan pada:
1. Meninggikan daya guna dari Acetylcholine yang dilepaskan, misalnya dengan
pemberian anti-cholinesterase
2. Mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh antibodi pada AChR, misalnya
thymectomi, kortikosteroid, agathicerine dan plasmapheresis.
Anticholinesierase
Dengan obat-obatan jenis ini diharapkan konsentrasi actylcholine pada end-
plate akan meninggi dan kemampuan beraksinya juga bertambah karena
katabolismenya dihambat. Obat ini akan meninggikan amplitudo dan menambah
panjang potensial end-plate baik dari penderita orang normal maupun pada penderita
Myesthenia, sehingga meninggikan efek cholinergiknya. (POLLARD 1982)
Edrophonium Licl (Tensilon)
 Digunakan untuk melakukan tes diagnostik
 Efek berlangsung 2-20 menit
 Digunakan untuk menentukan dosis optimum pada pasien yang telah
mendapatka pengobatan dengan anticholinesterase lainnya. Diberikan 4 mg IV
dan ditunggu bila hasil kurang memuaskan bisa ditambah 6 mg lain.
 Untuk pengobatan diperlukan anticholinesterase yang memiliki masa keja lebih
panjang, antara lain: neostigmire, pyridostigmine
 Necstigmine memiliki masa kerja 2-4 jamlah pyridostigmine 5-6 jam
Dosis Neostigmine peroral adalah 15 mg untuk dewasa dan 10 mg untuk anak anak, 1
- 2 mg untuk neonatus dan bayi dan diberikan setiap 2 - 3 jam sekali. Sedangkan bila
diberikan secara IM atau IV dosisnya 0,5 mg dewasa, 0,1 mg anak-anak, 0,05mg pada
bayi dan diberikan setiap 2-3 jam sekali. (SAMUELS 1982). Pyridostigmine peroral
diberikan 60 mg dewasa, 30 mg anak-anak, 4 - 10 mg bayi setiap 3 - 4 jam sekali,
sedangkan yang timespan dapat diberikan 9-10 jam sekali. (SAMUELS 1982)
Edrophonium test diberikan 1-2 jam setelah dosis maintenence dan bila menunjukan
perbaikan maka dosis dapat ditambah, sebaliknya bila terjadi keadaan yang
memburuk berarti obat yang diberikan gejala muscarinik dapat dicegah dengan
pemberian atropin 0,6 mg tds atau propanthieline 15 mg tds.
Beberapa macam obat memiliki antagonis dengan antichelinesterase antara lain:
aminoglikosida antibiotik (garamycin, kanamisin, streptomisin, neomisin, tubokurin,
suxamethnonium, anuecinycheline, procainamide, quinidine dan qiunini).
Efek samping dari obat-obat anticholinesterase antara lain bertambahnya air liur,
kejang dan sakit perut, berkeringat banyak, sering kencing, miosis, bronchoupase,
tasciculasi otot skelet, dan kelemahan chilinergik.
Thymetomi
Pada umumnya pengobatan Myasthenia Gravis adalah dengan
anticholinesterase, tetapi bila dengan dosis yang cukup besar belum menunjukkan
hasil yang memadai, baru dipikirkan teknik untuk menurnkan antibody.
Tindakan pertama untuk menurunkan antibodi adalah thymectomi, dan beberapa
sarjana menganjurkan untuk melakukan thymectomi pada penderita dengan usia
dibawah 60 tahun, sedangkan beberapa pusat informasi menganjurkan tindakan ini
pada penderita dibawah 50 tahun yang dengan pengobatan anticholinesterase dosis
sedang belum menunjukkan perbaikan yang berarti. (POLANDIA 1982).
Maka pada penderita muda akan lebih sering dilakukan thymectomi, tetapi kadang-
kadang kita harus menunggu beberapa bulan sampai timbul perbaikan setelah
dilakukan thymectomi. Hal ini juga dilakukan bila ditemukan thymoma dan hasil jauh
lebih baik.
Kortikosteroid
Prednisone dapat diberikan setiap atau secara selang sehari dan biasanya
diberikan dosis harian sampai terjadi perbaikan dan dilakukan maintenance untuk
beberapa minggu kemudian sel secara sehari. Tapi pada hampir 50% kasus dengan
pemberian corticosteroid akan memburuk keadaannya, maka untuk menghindari hal
ini harus diberikan dosis awal yang kecil misalnya 10 mg dan dinaikan secara
perlahan-lahan (10 mg / minggu) sampai teriadi diperbaiki dan kemudian diturunkan
5 mg / bulan sampai obat dosis efektif minimum. Pada beberapa penderita cukup
dengan hanya 7,5 12,5 m atau 15-25 mg setiap 2 hari sekali. Bila diperlukan
perbaikan keadaan secara cepat maka penderita dapat mengalami untuk dapat
diberikan corticosteroid dengan dosis yang lebih tinggi secara cepat. (POLAND 1982)
Pada ocular myasthenia biasanya diberikan anticholinesterase dengan dosis
sedang tidak membantu dan diperlukan. Ada bebarapa kasus cukup baik dengan dosis
kecil prednisone. Prednisone 40 mg setiap hari bisa diberikan sampai diperbaiki
selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan. Sedangkan dengan anticholinesterase
dosis tinggi tidak berefek. Pada kasus yang berat perlu diberikan dosis yang lebih
tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bila pemberian kortikosteroid merupakan kontra-indikasi maka dapat dicoba
diberikan azathioprine.
Azathioprine
Kegunaan obat ini sebagai immunosupresi telah dibuktikan, Revert (1978)
mendapatkan bahwa baik azothioprine atau prednison secara alami dapat menurunkan
kadar antibodi terhadap AChR. Respons dari pengobatan kadang-kadang baru terlihat
setelah 2 sampai 12 bulan pengobatan dimulai. Dosis initial adalah 2,5 mg / kg hari
dan bila sudah diperbaiki secara berkala maka dosisnya dapat diturunkan secara
bertahap yaitu 25 mg setiap 5 bulan sampai dosis perawatan 50 75 mg / jam. Fungsi
hati dan jumlah erythrocit harus diperiksa secara teratur pada penderita yang
mendapat obat ini, setiap minggu pada bulan pertama kemudian setiap 4 minggu
(POLARD 1982)
Plasmapheresis (POLARD 1982)
Pengobatan dengan cara ini akan menghasilkan perbaikan dalam jangka waktu
yang sangat singkat, hal ini teriadi karena menurunkan kadar antibodi AChR tepat.
Cara ini perlu diperhatikan pada krisis myasthenia dan diperbaiki dapat terlihat dalam
waktu 48 jam atau lebih singkat. Plasmapheresis sering digabungkan dengan
pengobatan immunosupresif lainnya agar tidak terjadi rebound dari produksi antibodi.
Tindakan ini juga bisa diberikan pada kasus berat yang akan dilakukan thymectomi
dan kadang-kadang dengan plasmapheresis setiap 3-4 minggu dapat memperbaiki
keadaan penderita yang gagal dengan obat-obatan. Tetapi perlu diingat tindakan ini
cukup berbahaya dan mahal sehingga harus dipikirkan lagi sebelum melakukannya.
Pengobatan pada keadaan krisis (SAMUELs 1982, POLARD 1982)
 Berikan bantuan pernafasan
 Lakukan edrohonium test untuk menentukan jenis krisis
 Bila dengan test ini keadaannya memburuk krisis kolinergik pengobatan
dengan penurunan dosis anticholinesterase.
 Bila dengan test menunjukkan perbaikan krisis myasthenia pengobatan:
o Menaikan anticholinesterase
o Pertimbangan plasma heresies
o Berikan immunosugresi lainnya
IX. PROGNOSA
NEVER dkk (1982) dari 119 kasus dengan onsetocular myasthenia, 44% tetap
dengan gejala okuler saja. 43% meluas menjadi bentuk bulbair dan umum, sedangkan
11% perbaikan. Pada follow up, pada akhir tahun pertama 55% penderita (29%)
menjadi myasthenia umum, setelah tahun kedua menjadi 43 orang (30%) dan setelah
tahun ke lima menjadi 28 penderita myasthenia umum (40%). Remisi spontan bisa
terjadi pada beberapa penderita dan bila dalam 2 tahun perjalanan penyakit tidak
menunjukkan progresifitas biasanya prognosa cukup baik.

Anda mungkin juga menyukai