Anda di halaman 1dari 12

DEMAM DENGUE, COVID-19 (SARS-CoV-2), DAN

ANTIBODY-DEPENDENT ENHANCEMENT (ADE):


sebuah perspektif
Henning Ulrich, Micheli M. Pillat, Attila TárnokArq.
Gastroenterol. vol.44 no.4 São Paulo Oct./Dec. 2020

ABSTRACT

LATAR BELAKANG: Pandemi SARS-CoV-2 dan wabah demam berdarah berulang


di negara tropis telah menjadi ancaman kesehatan global. Meskipun kedua infeksi yang
disebabkan virus tersebut hanya menunjukkan gejala ringan, namun juga dapat
menyebabkan gejala yang berat. Kami meninjau kemungkinan adanya Antibody-
Dependent Enhancement (ADE), yang dikenal terjadi pada infeksi dengue, ketika ada
infeksi kedua dengan strain virus yang berbeda. Akibatnya, antibodi yang sebelumnya
sudah ada tidak menetralkan infeksi, namun malah meningkatkan proses infeksi,
kemungkinan dengan menkanisme merangsang serapan virus yang dimediasi reseptor
Fcγ. Tidak ada data klinis yang menunjukkan mekanisme tersebut pada SARS-CoV-2,
tetapi infeksi virus korona sebelumnya atau infeksi SARS-CoV-2 yang sembuh dengan
strain SARS-CoV-2 yang berbeda dapat menunjukan ADE, seperti yang ditunjukkan
secara eksperimental pada antibodi terhadap MERS-CoV atau spike protein S SARS-
CoV.

Kata Kunci: coronavirus; 2019-nCoV; SARS-CoV-2; COVID-19; antibody-dependent


enhancement

PENDAHULUAN

Pandemi virus SARS-CoV-2 sebenarnya memiliki lebih dari 6,3 juta kasus
terkonfirmasi dan jumlah tak terlihat yang tidak pasti dengan angka yang mungkin jauh
lebih tinggi pada orang tanpa gejalaa atau dikarenakan kurangnya pemeriksaan akibat
terbatasnya sumber daya dan reagen. Pada perkiraan yang diamati sejauh ini,
kemungkinan secara global terdapat lebih dari 12 juta orang terinfeksi, dan jumlahnya
masih terus meningkat. Mustahil mengatakan persentase populasi manusia yang
akhirnya akan tertular virus pada titik ini, tetapi hal tersebut akan menjadi proporsi yang
substansial. Semua individu tersebut kemudian akan mengembangkan kekebalan
terhadap satu atau lebih jenis virus. Tingkat kematian pandemi SARS-CoV-2 sejauh ini
berada di bawah tingkat kematian wabah virus corona SARS-CoV atau MERS-CoV,
dan sebagian besar yang terinfeksi telah pulih dari penyakit tersebut. Namun, SARS-
CoV-2 lebih mudah ditularkan, menginfeksi jumlah orang yang jauh lebih banyak
daripada dua virus Corona (CoV) lainnya.

Dalam beberapa dekade terakhir, wabah demam berdarah memiliki jumlah


penularan yang sebanding yaitu beberapa puluh juta. Kebanyakan dari mereka pulih dan
menunjukkan kekebalan adaptif terhadap virus. Di sini, kami akan membahas secara
singkat efek ketika individu dengan antibodi anti-dengue (Ab) terinfeksi kembali oleh
virus dengue dan menghubungkan temuan dengan pandemi SARS-CoV-2 saat ini.
Tujuan kami adalah untuk membahas fitur-fitur dalam Antibody-Dependent
Enhancement (ADE) yang sudah dikenal pada demam berdarah dan mendiskusikannya
dalam kaitannya dengan perspektif infeksi SARS-CoV-2.

DENGUE DAN ACE

Virus dengue (DENV) adalah anggota famili Flaviviridae dan memiliki empat
serotipe (DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4). Virus dengue mampu
menyebabkan demam dengue klasik (DF), demam berdarah dengue (DBD), dan
sindrom syok dengue (DSS) dan merupakan penyebab utama kematian anak di beberapa
negara. Biasanya DF hanya menunjukkan gejala yang ringan, termasuk demam, sakit
kepala, ruam, sakit perut, dan mual. Pada dasarnya, setelah inokulasi oleh nyamuk, sel
dendritik sekitar dan makrofag terinfeksi, diikuti oleh masuknya virus ke aliran darah
dan infeksi sel darah lainnya. Proses tersebut menimbulkan leukopenia dan
trombositopenia pada pemeriksaan laboratorium pasien. Setelah beberapa hari, respons
imun humoral dan seluler secara efisien melawan virus dan menghilangkan infeksi.
Respon humoral menghasilkan antibodi protektif yang spesifik sesuai serotipe. Antibodi
ini bereaksi silang, tetapi tidak menetralkan subtipe virus lain, gagal memberikan
kekebalan perlindungan terhadap virus.

Infeksi kedua dengan serotipe DENV berbeda, bisa menimbulkan manifestasi lebih
parah dan mematikan dari yang pertama. Biasanya DBD dan DSS terjadi dalam keadaan
ini, menimbulkan manifestasi yang lebih parah, seperti demam, trombositopenia,
manifestasi hemoragik, dan hipovolemia. Penelitian telah menunjukkan bahwa adanya
antibodi yang bereaksi silang melawan serotipe DENV yang berbeda menjadi
predisposisi perburukan penyakit dan berkontribusi pada perkembangan DBD dan DSS.
Antibodi yang sudah ada sebelumnya yang tidak dapat menetralkan virus dapat
diperoleh dari infeksi sebelumnya, imunitas pasif ibu, atau vaksinasi.

Antibodi IgG melawan serotipe DENV spesifik dapat melintasi plasenta dan masuk
ke dalam aliran darah menuju janin, mengakibatkan respon imun yang merugikan
terhadap serotipe yang berbeda setelah bayi lahir. Faktanya, anak dengan imunitas pasif
dari ibu yang diimunisasi cenderung mengalami DBD selama infeksi DENV pertama
mereka. Mirip dengan infeksi alami dan kekebalan yang didapat secara pasif, vaksin
melawan satu serotipe spesifik dan menghasilkan antibodi non-neutralizing yang
bereaksi silang terhadap serotipe lain, hal ini menjadi predisposisi memburuknya
penyakit pada infeksi heterotipe sekunder. Untuk mengatasi efek berbahaya ini, vaksin
tetravalen dari virus yang dilemahkan diproduksi dari struktur chimeric. Vaksin ini
menghasilkan neutralizing antibodies (NAbs) yang dapat melawan empat serotipe dan
telah diberikan pada daerah endemik di 20 negara. Namun vaksin tersebut menimbulkan
efek samping pada kelompok tertentu dan mencetuskan penyakit. Untuk alasan ini,
vaksinasi saat ini direkomendasikan untuk subjek seropositif yang berusia antara 9 dan
45 tahun.

Pada fenomena yang sudah ada sebelumnya antibodi non-neutralizing


menyebabkan peningkatan infeksi, disebut ADE. Diluar studi dengan pasien yang
menunjukkan fenomena ini pada infeksi DENV, menyoroti keadaan yang telah
dijelaskan sebelumya pada bayi baru lahir bayi dan anak-anak, studi in vitro dan dengan
model hewan juga menunjukan ADE pada infeksi DENV sekunder. Kurva pertumbuhan
DENV in vitro dengan leukosit dari hewan yang tidak diimunisasi dan diimunisasi
menunjukkan bahwa antibodi yang sudah ada sebelumnya berperan dalam ADE.
Demikian pula monyet rhesus yang telah menerima serum darah tali pusat DENV,
menunjukkan viremia yang lebih tinggi dibandingkan hewan yang telah menerima
serum non-imun. Data tersebut juga menunjukan ADE pada infeksi DENV sekunder.

Dalam DENV-ADE, non-NAbs mengikat DENV, dan kompleks ini dikenali dan
diinternalisasi oleh reseptor Fcγ (FcγR)–bearing cell, mengakibatkan peningkatan virus
load dan mungkin memperburuk penyakit. Faktanya, sel BHK yang mengekspresikan
FcγRIIA yang dikultur dengan serum dari pasien setelah infeksi sekunder menunjukkan
titer virus 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan sel tanpa reseptor ini. Terlebih
lagi pada ADE-DENV yang dimediasi oleh FcγRs, didapatkan adanya penurunan
antiviral interferon tipe-I (IFN) dan gen yang distimulasi IFN, seperti interferon
regulatory factor-1 (IRF-1), NOS2, RIG-1, dan MDA-5, sedangkan IL-6 dan IL-10
meningkat. Perubahan tingkat sitokin dan molekul yang merespon antiviral berperan
dalam meningkatkan penyakit DENV yang dipicu oleh ADE.

METODE

Dari Juli 1989 hingga Maret 2004, 200 pasien human immunodeficiency virus tipe 1
seropositif yang mengalami setidaknya 3 minggu periode diare berturut-turut yang
menjalani kolonoskopi diidentifikasi secara retrospektif di Rumah Sakit "Sirio Libanes"
dan "Casa da AIDS", São Paulo, SP, Brazil. Terkumpul 243 kolonoskopi.

Pasien disiapkan dengan larutan manitol 10% oral. Prosedur dilakukan dengan
sedasi dengan meperidine intravena dan diazepam.

Intubasi ileum terminal selalu dicoba dan berhasil dicapai pada 84,31% kasus.

Biopsi diambil dari ileum dan semua segmen kolon, terlepas dari penampilan
endoskopi mukosa.

Mengenai temuan endoskopi, ulkus didefinisikan sebagai kerusakan yang jelas ke


dalam mukosa kolon dalam dimensi terbesar dan dinilai pada bagian dasar dengan
forceps biopsi terbuka. Kolitis didefinisikan secara endoskopi sebagai hilangnya pola
pembuluh darah normal yang ditambahkan oleh perdarahan subepitel dan kerapuhan
mukosa.

Spesimen jaringan difiksasi dalam formalin 4% dan ditempelkan parafin. Potongan


selanjutnya diwarnai dengan hematoxylin-eosin (H–E), pewarna asam cepat dan
Gomori-Grocott. Dalam kasus yang meragukan sebagai infestasi protozoa, pewarnaan
Giemsa juga dilakukan. Mereka juga diproses untuk pewarnaan imunohistokimia
melalui antibodi monoklonal CMV.

HASIL

Selama periode 10 tahun, 243 kolonoskopi dilakukan pada 200 pasien HIV + dengan
diare yang 51 didiagnosis dengan CMVC. Empat puluh empat dari pasien ini adalah
laki-laki dan tujuh adalah perempuan. Usia berkisar 25-67 tahun dan usia rata-rata
adalah 37,54 ± 9 tahun.

Caecum dicapai pada 98,03% dan intubasi ileum memungkinkan untuk dilakukan
pada 88,23% dari 51 pasien ini.

Faktor risiko untuk infeksi HIV-1 termasuk homoseksualitas (n = 25, 49%),


heteroseksualitas (n = 5, 9.8%), kecanduan narkoba (n = 2, 3.9%) dan tidak ditentukan
(n = 19, 37.3%).

Semua pasien adalah CDC (Klasifikasi Center for Disease Control and Prevention)
stadium C. Jumlah limfosit CD4 rata-rata adalah 127,92 / mm3 (kisaran 1 hingga
646/mm3). Lima puluh enam persen memiliki jumlah limfosit CD4 <50/mm3, 60%
jumlah CD4 <100/mm3 dan 80% jumlah CD4 <200/mm3.

Alasan utama untuk kolonoskopi diantaranya hanya diare pada 42 pasien (82,3%),
diare dengan nyeri perut pada 6 pasien (11,8%) dan diare dengan perdarahan
gastrointestinal pada 3 pasien (5,9%) kasus.
Perubahan endoskopi yang diamati pada pasien ini adalah heterogen. Lesi yang
paling sering adalah ulkus yang tervisualisasikan pada 37 (72,54%) pasien. Pada 19
(37,25%) pasien, ulkus ini dikaitkan dengan proses inflamasi (Gambar 1) dan pada 18
(35,29%) tidak terkait (Gambar 2 dan 3). Proses inflamasi mukosa, mirip dengan yang
diamati pada kolitis ulserativa non spesifik ringan, adalah satu-satunya perubahan yang
terdeteksi pada 11 (21,56%) pasien (Gambar 4). Tiga pasien (5,88%) disajikan tanpa
temuan endoskopi (Tabel 1).

Gambar 1. Ulkus terkait proses inflamasi

 
Gambar 2. Ulkus

Gambar3. Ulkus
Gambar 4. Proses inflamasi seperti pada kolitis ulseratif ringan

Tabel 1. Temuan endoskopik pada CMVC

Tipe kelainan mukosa n %

Ulkus dan inflamasi 19 37,25

Ulkus 18 35,29

Inflamasi 11 21,56

Norrmal 3 5,88

Total 51 100

Tidak ada pola pasti untuk ulkus ini, karena beberapa lesi dangkal dan terisolasi
sementara yang lain cukup dalam dan ditutupi dengan fibrin yang menunjukkan batas
hiperemis. Ulkus dengan tepi tinggi (aspek gunung berapi) juga dapat diamati (Gambar
5). Dalam beberapa kasus ada perforasi intramural dengan pembentukan jembatan
mukosa karena ulkus yang lebih dalam (Gambar 6). 

 
Gambar 5. Ulkus dengan tepi tinggi (aspek gunung berapi)

Gambar 4. Jembatan mukosa akibat ulkus dalam

Dua pasien telah mengangkat lesi eritematosa ungu menyerupai sarkoma Kaposi
tetapi menunjukkan karakteristik badan inklusi pada histopatologi.

Kelainan mukosa pancolonik terlihat pada 28 pasien (54,9%). Pada 15 pasien


(29,4%) terminal ileum terlibat tanpa pola dominan. Rektum diserang pada 30 pasien
(58,8%) dan keterlibatan segmental usus besar ditemukan pada 17 pasien (33,3%).
Rektum dan kolon sigmoid terhindar pada 9 pasien (17,6%) (Tabel 2).

Tabel 2. Lokalisasi abnormalitas mukosa

Lokalisasi U+I U I Total %


Rektum/kolon/ileum 6 1 3 10 19.6%

Rektum/kolon 6 2 2 10 19.6%

Rektum/kolon (segmen proksimal) 3 1 0 4 7.8%

Kolon/ileum 1 0 0 1 1.9%

Rektum/ileum 1 0 0 1 1.9%

Rektum/kolon (dua segmen) 1 0 0 1 1.9%

Kolon proksimal/ileum 0 3 0 3 5.9%

Kolon (segmen proksimal) 1 3 2 6 11.7%

Kolon (segmen distal) 0 1 0 1 1.9%

Kolon (segmen distal)/rectum 0 0 2 2 3.9%

Kolon 0 7 0 7 13.7%

Rektum 0 0 2 2 3.9%

Mukosa normal 0 0 0 3 3.9%

Total 19 18 11 51 100%
Dalam semua kasus, CMVC didiagnosis dengan mengidentifikasi inklusi inti dan
sitoplasmatik dan dikonfirmasi oleh reaksi imunohistokimia menggunakan antibodi
monoklonal anti-CMV (Dakopatts, Denmark).

DISKUSI

Tingginya prevalensi infeksi CMV pada saluran pencernaan pada pasien HIV + dan
keparahan gejalanya, membuat diagnosis menjadi aturan penting. CMV telah menjadi
salah satu patogen pada 45% pasien yang mengalami diare parah (33). Dalam sebuah
penelitian dari MENTEC et al.(28) menunjukkan prevalensi 13% pada infeksi CMV pada
pasien HIV+ mereka dengan gejala pencernaan. Dalam penelitian kami, kami telah
menemukan prevalensi 25,5% infeksi CMV pada pasien HIV+ dengan diare.

Manifestasi klinis infeksi CMV tidak spesifik (31, 22). Frekuensi diare telah dilaporkan
(12,30)
mencapai 85% pada penyakit inklusi sitomegalik mukosa dan 100% pada CMVC .
(9,13)
Nyeri perut timbul pada 46% hingga 87,3% pasien . CMVC adalah penyebab paling
umum dari diare yang berhubungan dengan nyeri perut difus dan karena itu hubungan
tersebut seharusnya dapat meningkatkan indeks kecurigaan untuk CMVC pada pasien
HIV+ (35).

Kelainan mukosa usus besar terdapat pada 48 pasien (94,1%) dan tidak ada pada 3
pasien (5,88%). Dalam laporan besar dari 252 pasien AIDS dengan CMVC, 97,6%
memiliki kelainan mukosa dan 2,4% memiliki aspek mukosa normal(5).

Temuan endoskopi bervariasi dari hiperemia hingga eritema hemoragik termasuk


ulserasi superfisial dan dalam pada kolon(30). Penyakit sitomegaloviral kadang-kadang
bisa menyerupai kolitis pseudomembran atau bahkan hidup bersamaan dengan penyakit
ini pada pasien AIDS serta reseptor transplantasi. Aktivasi CMV dapat terjadi karena
proses inflamasi kolitis pseudomembran, sama seperti itu dapat memperburuk penyakit
radang usus(18, 21).

Lesi mukosa violaceous yang khas pada sarkoma Kaposi, tetapi dengan gambaran
histologis khas CMVC jarang ditemukan(27, 30) dan ditemukan pada dua pasien kami.
Distribusi lesi pada usus dalam laporan ini menarik. Rektosigmoid tampak normal
secara makroskopik pada sembilan pasien kami (17,6%). Ttemuan ini mendukung
temuan yang dilaporkan oleh DIETERICH dan RAHMIN(14) yang menyarankan bahwa
jangkauan sigmoidoskop fleksibel dapat salah diagnosis CMVC ketika terbatas pada
kolon proksimal. BINI et al.(17) juga menemukan penyakit terisolasi di usus proksimal
pada 29,3% dari 246 pasien. Banyak laporan kasus telah menunjukkan sejumlah besar
pasien dengan penyakit kolon proksimal(2, 3, 14, 39). Ini mendukung kebijakan kami untuk
melakukan kolonoskopi daripada sigmoidoskopi fleksibel dalam evaluasi pasien HIV +
dengan diare kronis yang tidak dapat dijelaskan atau perdarahan gastrointestinal. Di sisi
lain beberapa peneliti telah menemukan bahwa sigmoidoskopi fleksibel adalah tes yang
memadai untuk membuat diagnosis CMVC(8, 11, 24, 38)
. Dengan demikian, nilai
kolonoskopi versus sigmoidoskopi fleksibel dalam diagnosis infeksi saluran bawah
belum sepenuhnya ditentukan dan memerlukan evaluasi lebih lanjut.

BINI et al. (17) menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam
distribusi penampilan endoskopi CMVC. Di usus kiri difus perubahan mukosa dengan
atau tanpa ulkus adalah temuan endoskopi yang paling umum. Di sisi lain, usus besar
kanan umumnya menunjukkan ulkus terisolasi tanpa kolitis.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa sel-sel dapat terinfeksi oleh CMV bahkan
ketika daerah mukosa terlihat normal(14, 30). Ini menunjukkan bahwa pada evaluasi untuk
dugaan CMVC, beberapa biopsi harus dilakukan di seluruh usus besar, meskipun
penampilannya normal.

KESIMPULAN

Kolonoskopi adalah alat penting untuk menyelidiki pasien HIV+ dengan gejala
gastrointestinal. CMVC harus dipertimbangkan dalam diagnosis pasien ini dan biopsi
selalu harus dicoba bahkan ketika tidak ada kelainan mukosa.

Anda mungkin juga menyukai