Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA NY.N


DENGAN MASALAH KEPERAWATAN UTAMA
ISOLASI SOSIAL DENGAN DIAGNOSA MEDIS
SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
POLTEKKES TANJUNGKARANG
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan, sehat jiwa tidak
hanya terbatas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh
semua orang. Kesehatan jiwa adalah hal yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh,
berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi
sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan (Yosep,
2009).
Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang di dasarkan
pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan
dengan proses psiko-sosial dan maladaftif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-
sosial, dengan menggunakan diri dan terapi keperawatan jiwa melalui pendekatan
proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan
memulihkan masalah kesehatan jiwa individu, keluarga, dan masyarakat (Purwanto,
2015).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan,
prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga.
Artinya, dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota
rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Di Lampung menurut Riskesdas
2018 menunjukkan prevalensi skizofrenia sebanyak 6,0 per 1000 rumah tangga,
artinya dari 1000 rumah tangga ada 6 rumah tangga yang memiliki anggota rumah
tangga yang mengidap skizofrenia atau psikosis.
Skizofrenia adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Menurut Nanci
Andreasen (2008) dalam Broken Brain, The Biological Revolution in Psychiatry,
bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia merupakan suatu hal yang
melibatkan banyak sekali faktor. Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur fisik
otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan mental berat yang melibatkan proses
pikir, emosi, dan tingkah laku yang ditandai dengan gangguan pikiran.Terdapat lima
tipe skizofrenia dianataranya tipe paranoid, tipe katatonik, tipe hebefrenik
(disorganized), tipe tak terinci (undifferentiated), tipe residual. Sebanyak 50%
penderita skizofrenia tidak memperoleh terapi pengobatan yang sesuai (WHO, 2011).
Skizofrenia hebefrenik adalah sindrom heterogen yang ditandai dengan pola
fikir yang tidak teratur. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauan dan adanya depersenalisasi dan sering terdapat, waham, halusinasi
serta menarik diri. Menarik diri adalah suatu keadaan pasien yang mengalami
ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain atau dengan
lingkungan di sekitarnya secara wajar dan hidup dalam khayalan sendiri.
Menurut Maramis (2009), seseorang yang terdiagnosa skizofrenia hebefrenik
atau yang biasa disebut tak terorganisir memiliki gejala tingkah laku kacau,
pembicaraan kacau, afek datar, serta adanya disorganisasi tingkah laku. Hal ini tentu
saja akan menghancurkan kondisi penderita baik fisik juga psikologis.
Upaya optimalisasi penatalaksanaan klien dengan skizofrenia dalam
menangani gangguan menarik diri (isolasi sosial) dirumah sakit antara lain melakukan
penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok dan melatih
keluarga untuk merawat pasien dengan isolasi sosial. Standar Asuhan Keperawatan
mencakup penerapan strategi pelaksanaan isolasi sosial. Strategi pelaksanaan pada
pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal isolasi sosial, mengajarkan pasien
untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain atau keluarga (Keliat
dkk, 2010). Kasus skizofrenia hebefrenik merupakan salah satu jenis skizofrenia yang
cukup langka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siti dan Dyah (2016)
menyebutkan bahwa prevalensi psikosis tertinggi di Aceh dan Yogyakarta masing-
masing 2,7% sedangkan terendah di Kalimantan barat sebesar 0,7%. Ditinjau dari
diagnosa atau jenis skizofrenia, jenis skizofrenia paranoid sebanyak 40,8% kemudian
diikuti dengan skizofrenia residual sebanyak 39,4%, skizofrenia hebefrenik sebanyak
12%, skizofrenia katatonik sebanyak 3,5%, skizofrenia tak terenci sebanyak 2,1%,
skizofrenia lainnya 1,4% dan yang paling sedikit adalah skizofrenia simpleks
sebanyak 0,7%. Di ruang melati RSJD Lampung terdapat pasien dengan kasus
skizofrenia hebefrenik, pasien sudah pernah dirawat di Rumah sakit jiwa salah satu di
Jawa dinyatakan membaik dan pulang dirawat oleh keluarganya namun kondisi pasien
kembali menurun setelah berhenti minum obat. Oleh karenanya mahasiswa tertarik
untuk mendiskusikan tentang kasus tersebut dengan masalah keperawatan isolasi
sosial dan diagnosa medis skizofrenia hebefrenik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dirumuskan masalah yaitu
“Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah Utama
Isolasi Sosial Dengan Diagnosa Medis Skizofrenia Hebefrenik Di Ruang Melati RSJ
Daerah Provinsi Lampung.”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaksanakan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah Utama
Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.

2. Tujuan Khusus
a. Melakukan Pengkajian Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan
Masalah Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi
Lampung.
b. Menetapkan Diagnosis Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
c. Menyusun Intervensi Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
d. Melaksanakan Tindakan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
e. Melaksanakan Evaluasi Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis study kasus ini adalah untuk pengembangan ilmu keperawatan
jiwa terkait asuhan keperawatan pada klien yang mengalami skizofrenia
hebefrenik dengan masalah isolasi sosial.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi dan referensi sebagai bahan pertimbangan untuk
meningkatkan asuhan keperawatan jiwa dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan pada klien yang mengalami skizofrenia
hebefrenik dengan masalah isolasi sosial.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Skizofrenia
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik,
fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
2. Penyebab
a. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-
1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua
yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu
telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).
b. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,
tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat,
ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun
serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun.
Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
d. Susunan Saraf Pusat
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon atau
kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh
perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
e. Teori Adolf Meyer :
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang tidak
dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP
tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior atau penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer
Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi, sehingga
timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut menjauhkan
diri dari kenyataan (otisme).
f. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab
psikogenik ataupun somatik (2) superego dikesampingkan sehingga tidak
bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme
dan (3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
g. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu jiwa
yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir,
perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi 2 kelompok
yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan
kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala katatonik
atau gangguan psikomotorik yang lain).
h. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-
macaam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi,
tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan
penyakit lain yang belum diketahui.
i. Ringkasan
Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan
bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang
menjadikan manifest atau faktor pencetus (presipitating factors) seperti penyakit
badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak menyebabkan Skizofrenia,
walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu penyakit Skizofrenia yang sudah ada
tidak dapat disangkal.( Maramis, 1998;218 ).

3. Pembagian Skizofrenia
Kraepelin membagi Skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama
antara lain :

a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa kedangkalan
emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir sukar ditemukan,
waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja
atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauaan dan adaanya depersenalisasi atau double personality.
Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-
kanakan sering terdapat, waham dan halusinaasi banyak sekali.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau
stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang menyolok ialah waham primer, disertai dengan waham-waham
sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya
gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan.
e. Episode Skizofrenia akut
Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan
mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan
seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan
mempunyai suatu arti yang khusus baginya.
f. Skizofrenia Residual
Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya
gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
Skizofrenia.
g. Skizofrenia Skizo Afektif
Disamping gejala Skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaaan juga gejala-
gejal depresi (skizo depresif) atau gejala mania (psiko-manik). Jenis ini
cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek, tetapi mungkin juga timbul
serangan lagi.
B. Konsep Dasar Skizofrenia Hebefrenik
1. Pengertian
Skizofrenia hebefrenik disebut disorganized type atau “kacau balau” yang ditandai
dengan inkoherensi, afek inappropriate, perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, yang
terpecah-pecah, dan perilaku aneh seperti menyeringai sendiri, menunjukkan
gerakan-gerakan aneh, mengucap berulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik
diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
2. Etiologi
Etiologi Skizofrenia Hebefrenik pada umumnya sama seperti etiologi skizofrenia
lainnya. Dibawah ini beberapa etiologi yang sering ditemukan:
a.Faktor Predisposisi
1) Faktor Genetis
2) Faktor Neurologis
3) Psikologis
b.Faktor Prespitasi
1) Berlebihannya proses inflamasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di saraf terganggu.
3) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap dan
perilaku.
3. Tanda dan Gejala
Pada Skizofrenia Hebefrenik kita dapat melihat tanda dan gejala yang khas, antara
lain;
a. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya.
b. Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau ketolol-tololan.
c. Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa puas
diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
d. Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi sebagai suatu
kesatuan.
e. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi sebagai
satu kesatuan.
f. Gangguan proses berfikir
g. Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan
aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan cenderung untuk
menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
Beberapa tanda dan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien-pasien
Skizofrenia Hebefrenik adalah,
 Waham
 Halusinasi
 Siar pikiran
4. Batasan
Skizofrenia Hebefrenik merupakan salah satu tipe skizofrenia yang mempunyai ciri ;

a. Inkoherensi yang jelas dan bentuk pikiran yang kacau (disorganized).


b. Tidak terdapat wamam yang sistemik
c. Efek yang datar dan tak serasi / ketolol – tololan.
C. Konsep Dasar Isolasi Sosial
1. Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah keadaan di mana seseorang individu mengalami penurunan


atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya
(Damaiyanti, 2008). Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam dalam hubungan sosial
(Depkes RI, 2000). Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Farida,
2012).
2. Penyebab

a. Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

1) Faktor perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman
bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya
stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi
akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
percaya diri dan dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting
dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.

2) Faktor sosial budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota
tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

3) Faktor biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya


gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi adalah
otak . Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarganya ada yang menderita skizofrenia.

Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat


kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan
berat volume otak serta perubahan struktur limbik.
b. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal meliputi:
1) Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat di rumah sakit atau dipenjara.
2) Stresor psikologi
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. (Damaiyanti, 2012: 79)
3. Rentang respon
Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006) menyatakan bahwa manusia
adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan, mereka harus
membina hubungan interpersonal yang positif. Individu juga harus membina saling
tergantung yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian
dalam suatu hubungan

Respon adaptif Respon maladaptif

Menyendiri Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsive
Bekerja sama Ketergantungan
Narsisme
independen

Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang


masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang
umum berlaku dan lazim dilakukan oleh semua orang.. respon ini meliputi:
a. Solitude (menyendiri)
Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri
untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
b. Otonomi
Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam berhubungan sosial.
c. Mutualisme (bekerja sama)
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu
untuk saling memberi dan menerima.
d. Interdependen (saling ketergantungan)
Adalah suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain
dalam rangka membina hubungan interpersonal.

Respon maladaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah


yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya lingkungannya yang umum
berlaku dan tidak lazim dilakukan oleh semua orang. Respon ini meliputi:
a. Kesepian adalah kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari
lingkungannya, merasa takut dan cemas.
b. Menarik diri adalah individu mengalami kesulitan dalam membina
hubungan dengan orang lain.

c. Ketergantungan (dependen) akan terjadi apabila individu gagal


mengembangkan rasa percaya diri akan kemampuannya. Pada gangguan
hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan sebagai objek,
hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.
d. Manipulasi adalah individu memperlakuakan orang lain sebagai objek,
hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri.
e. Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak
mampu belajar dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan.
f. Narcisisme adalah individu mempunyai harga diri yang rapuh, selalu
berusaha untuk mendapatkan penghargaan dan pujian yang terus menerus,
sikapnya egosentris, pencemburu, dan marah jika orang lain tidak
mendukungnya.
4. Proses terjadinya masalah
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial. Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan mencetuskan seseorang
sehingga mempunyai masalah respon sosial maladaptif. (Damaiyanti, 2012)
2) Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan berhubungan. Hal ini
diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain,
atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti lansia,
orang cacat, dan penderita penyakit kronis.
4) Faktor komunikasi dalam keluarga
Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang dalam
gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang
negative dan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah. Seseorang
anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk
berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
b. Stressor presipitasi
1) Stressor sosial budaya
Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang
yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.
2) Stressor psikologis
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
5. Tanda dan gejala
a. Gejala subjektif
1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Klien merasa bosan
4) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
5) Klien merasa tidak berguna
b. Gejala objektif
1) Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan
2) Klien malas berinteraksi dengan orang lain
3) Klien lebih banyak diam
4) Klien kurang spontan
5) Bicara dengan suara rendah dan lambat
6) Mengisolaso diri Ekspresi wajah tidak berseri
7) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
8) Menolak dilakukan pemeriksaan kesehatan
9) Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
10) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
6. Akibat
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi
sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami pasien dengan
latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan, dan
kecemasan.(Prabowo, 2014: 112)
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam mengembangkan
berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi regresi atau mundur,
mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan
dan kebersihan diri. Pasien semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan
dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut halusinasi (Stuart dan Sudden dalam Dalami, dkk 2009).
7. Mekanisme koping
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering
digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012: 84)
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.
Mekanisme koping yang muncul yaitu:
1) Perilaku curiga : regresi, represi
2) Perilaku dependen: regresi
3) Perilaku manipulatif: regresi, represi
4) Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi (Prabowo, 2014:113)
8. Penatalaksanaan
Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan
adalah:
a. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan
menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri
dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-
30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak
menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman
dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima
pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya
secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
c. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang.

9. Pohon masalah

Risiko Gangguan Persepsi


Sensori Halusinasi

Isolasi Sosial

Gangguan Konsep Diri


Harga Diri Rendah

D. Konsep Dasar Halusinasi


1. Pengertian
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal pikiran dan rangsang eksternal (dunia luar) klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada obyek atau rangsangan yang nyata, misalnya :
klien menyatakan mendengar suaru. Padahal tidak ada orang yang bicara.
Menurut Muhammad Sulthon (2018) gangguan proses (arus pikir) inkoheren mengarah pada
masalah dimana klien skizofrenia hebefrenik tidak mampu memproses dan mengatur
pikirannya yang berdampak pada pola komunikasi yang buruk atau inkoheren sehingga
makna pembicaraan sulit untuk dipahami dan dimengerti. Hal tersebut dapat menimbulkan
masalah sosial yang memperburuk/memperparah kondisi klien jika gangguan pola
komunikasi tersebut tidak diketahui dan dipahami oleh orang di sekitar klien.
2. Proses terjadinya halusinasi
a. Fase pertama
Klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, kesepiam yang memuncak
dan tidak dapat di selesaikan, klien mulai melamun dan memikirkan hal – hal
yang menyenangkan cara ini hanya menolong sementara.
b. Fase kedua
Kecemasan meningkatkan, menurun dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai
dirasakan ada bisikan yang tidak jelas, klien tidak ingin orang lain tahu ia tetap
dapat mengontrol.
c. Fase ketiga.
Bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengotrol klien,
Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
d. Fase empat
Halusinasi berubah menjadi mengancam memerintah dan memarahi klien, klien
menjadi takut, tidak berdaya hilang kontrol dan tidak berdaya, hilang dan tidak
dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan

3. Tanda – tanda halusinasi


Menurut diri, tersenyum sendiri duduk terpaku, bicara sendiri memandang satu arah,
menyerang tiba – tiba, arah gelisah.
4. Jenis halusinasi
a. Halusinasi dengar
Dengar suatu membicarakan, mengejek, menertawakan, mengancam tetapi tidak
ada sumbernya disekitarnya.
b. Halusinasi terlihat
Melihat pemandangan, orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada tetapi klien
yakin ada.
c. Halusinasi penciuman
Menyatakan mencium bau bunga kemenyan yang tidak dirasa orang lain dan ada
sumber.
d. Halusinasi kecap
Merasa mengecap sesuatu rasa di mulut tetapi tidak ada.
e. Halusinasi raba
Merasa ada binatang merayap pada kulit tetapi tidak ada.

E. Konsep Dasar Defisit Perawatan diri


1. Pengertian DPD
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000)
Menurut Abdul Jalil (2015) dikatakan bahwa pasien skizofrenia yang mengalami isolasi sosial
juga akan mempersulit klien melakukan perawatan diri.
2. Rentang Respons

a. Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stresor kadang-
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.
3. Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi
Stuart (2009) mendefinisikan stressor predisposisi sebagai faktor risiko yang
menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari
individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikologis dan sosial
kultural.
1) Biologis, terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari
neurotransmitternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya
gangguan adalah pada perlaku maladaptif klien (Townsend. 2005).
2) Psikologis
a) Konsep diri, mulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang diterima
secara positif atau negatif oleh seseorang.
b) Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengenal siapa
dirinya dengan segala keunikannya, dan mampu menghargai dirinya
sendiri.
c) Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang, pengalaman
dan interaksi dengan lingkungan.
d) Kepribadian, pada klien defisit perawatan diri biasnaya ditemukan klien
memiliki kepribadian yang tertutup.
e) Moralitas, klien defisit perawatan diri menganggap dirinya tidak beguna,
negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalmai penuruan
motivasi untuk melakukan aktifitas perawatan diri.
3) Sosial Budaya
a) Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya
sarana dan prasarana, tidak adekuatnya nutrisi, rendahnya pemenuhan
kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya.
b) Tahap perkembangan, pelajaran kebersihan dari orang tua yang meliputi
kebiasaan keluarga.
c) Pengetahuan tentang pentingnya kebersihan diri dan implikasinya bagi
kesehatan mempengaruhi kebersihan diri.
d) Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi
mempengaruhi perawatan diri.
e) Motivasi, setiap orang memliki keinginan dan pilihan tentang waktu untuk
mandi, bercukur dan melakukan perawatan rambut sesuia dengan
kebutuhan.
f) Kondisi fisik, orang yang mengalami atau menderita penyakit tertentu atau
yang akan menjalani operasi seringkali kekurangan energi fisik atau
ketangkasan untk melakukan perawatan kebersihan diri.
b. Faktor Presipitasi
Stuart (2009) mendefinisikan stressor presipitasi sebagai suatu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suati kesempatan,
tantangan, ancaman/tuntutan. Komponennya :
1) Sifat stressor, terjadinya defisit perawatan diri berdasarkan sifat terdiri dari
biologis (infeksi, peny. kronis), psikologis (intelegensi, verbal, moral,
kepribadian), dan sosial budaya (tuntutan masy. yang tidak sesuai dengan
kemampuan seseorang).
2) Asal stressor, terdiri dari internal dan eksternal. Stressor internal atau yang
berasal dari diri sendiri seperti persepsi individu yang tidak baik tentang
dirinya, orang lain dan lingkungan, merasa tidak mampu, ketidakberdaya.
3) Waktu, dilihat sebagai dimensi kapan stressor mulai terjadi dan beberapa lama
terpapat stressor sehingga menyebabkan munculnya gejala.
4) Lama dan jumlah stressor yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa
lama, berapa kali kejadiannya, serta jumlah stressor.
4. Penilaian Terhadap Stressor
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman
dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkunga yang
penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan
kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang lain yang
menimbulkan rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi
yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu
menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa man itu tidak tercapai. Hal ini
menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan diri dengan
kenyataan. Keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami
suatu ketidakmampuan dalam menangani stressor internal atau lingkungan dengan
adekuat karena ketidakadekuatan umber-sumber (fisik, psikologis, perilaku atau
kognitif).
5. Sumber Koping
Herdman (2012), kemampuan individu yang harus dimilki oleh klien defisit
perawatan diri adlah kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri dalam hal
pemenuhan kebutuhan mandi, berhias, makan dan minum, serta toileting. Sedangkan
pada klien yang sangat mempengaruhi dalam kemampuan perawatan diri dan
keterbatasan fisik serta ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
6. Mekanisme Koping
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi perumbuhan, belajar dan
menbapai tujuan.
b. Mekanisme koping mal adaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integras memecahkan pertumbuhan,
menurunkan otonoms dan cenderung menguasai lingkungan.
7. Tanda Gejala
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor
2) Rambut dan kulit kotor
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif
2) Menarik diri, isolasi diri
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi dan kegiatan kurang
2) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
3) Cara makan tidak teratur
4) BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu
mandiri.
8. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1) Obat anti psikosis : Penotizin
2) Obat anti depresi : Amitripilin
3) Obat anti ansietas : Diasepam, Bromozepam, Clobozam
4) Obat anti insomnia : Phneobarbital
b. Terapi
1) Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi masalah klien
dengan memberikan perhatian seperti BHSP, Jangan memancing emosi klien,
Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga, Berikan
kesempatan klien mengemukakan pendapat, Dengarkan , bantu dan anjurkan
pasien untuk mengemukakan masalah yang dialaminya.
2) Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, ketrampilan sosial, atau aktivitas
lain dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan keadaan klien
karena masalah sebagian orang merupkan perasaan dan tingkah laku pada
orang lain.
3) Terapi musik
Dengan musik klien terhibur, rileks dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran pasien.
9. Pohon Masalah

Kerusakan Integritas Kulit

Defisit Perawatan Diri

Intoleransi Aktivitas

F. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan awal dan dasar utama dari proses keperawatan tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah
klien.
Data yang dikupulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Pengelompokan data pada pengakajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilian terhadap stressoe, sumber keping dan
kemampuan kuping yang dimiliki klien (stuart dan Sunden, 1998). Cara pengkajian
lain berfokus pada 5 (lima) dimensi : fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual.
Isi pengkajian meliputi :
a. Identitas klien
b. Keluhan utama/alasan masuk
c. Faktor predisposisi
d. Dimensi fisik / biologis
e. Dimensi psikososial
f. Status mental
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikososial dan lingkungan
j. Aspek medik

Data yang didapat melalui observasi atau pemeriksaan langsung di sebut data
obyektif, sedangkan data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga
melalui wawancara perawatan disebut data subyektif. Saat pengkajian dilakukan
pendekatan dan harus membina hubungan saling percaya pada pasien agar pasien lebih
terbuka dan lebih percaya kepada perawat.
Perawat dapat menggunakan teknik komunikasi terapeutik melalui pendekatan social,
agama, ataupun budaya pada pasien. Menurut Putu gede (2017) pentingnya memadukan
prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa berbasis budaya lokal, sudah sepatutnya perawt
dapat menggunakan prinsip-prinsip tersebut dengan baik sehingga proses penyembuhan
pasien berjlangsung dengan kondusif.
Dari data yang dikumpulkan, perwatan langsung merumuskan masalah
keperawatan pada setiap kelompok data yang trkumpul. Umumnya sejumlah masalah
klien saling saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah
(Fasio, 1983 dan INJF, 1996). Agar penentuan pohon masalah dapat di pahami
dengan jelas, penting untuk diperhatikan yang terdapat pada pohon masalah :
Penyebab (kausa), masalah utama (care problem) dan effect (akibat). Masalah utama
adalah prioritas masalah klien dari beberapa masalah yang dimiliki oleh klien.
Umumnya masalah utama berkaitan erat dengan alasan masuk atau keluhan utama.
Penyebab adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang menyebabkan masalah
utama. Akibat adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang merupakan efek /
akibat dari masalah utama. Pohon masalah ini diharapkan dapat menudahkan perawat
dalam menyusun diagnosa keperawatan
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Townsend dan Mary C (2009) Diagnosa yang dapat muncul adalah
a. Isolasi sosial: menarik diri
b. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
c. Sindrom defisit perawatan diri
d. Harga diri rendah
e. Perubahan perilaku kekerasan
f. Gangguan pola tidur
3. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


KEPERAWATAN
1 Isolasi sosial : menarik Tujuan Umum :
diri Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
a. Bina hubungan saling percaya
- Salam terapeutik
- Perkenalan diri
- Jelaskan tujuan interaksi
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Bina kontrak yang jelas (topik, waktu, tempak)
b. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
tentang penyakit yang diderita
c. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
d. Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan masalah
klien
2. Klien mampu mengidentifikasi isolasi sosial dan mampu
mengatasi isos yang dialami dengan latihan berkenalan

a. Diskusikan dengan klien

- Orang yang tinggal serumah/teman sekamar klien


- Orang yang paling dekat dengan klien di rumah/di
ruang perawatan
- Apa yang membuat klien dekat dengan orang tersebut
- Orang yang tidak dekat dengan klien di rumah atau di
ruang perawatan

b. Diskusikan dengan klien penyebab menarik diri atau tidak


mau bergaul dengan orang lain

c. Tanyakan pada klien tentang manfaat hubungan sosial dan


kerugian menarik diri

d. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan


sosial dan kerugian menarik diri

e. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan


perasaannya
3. Klien dapat mengatasi masalah sosial yang dialami dengan
latihan berkenalan
a. Diskusikan cara berkenalan
b. beri contoh berkenalan
c. melatih cara berkenalan dengan pasien dan perawat atau
tamu anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih
saat berkenalan
d. masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan perkenalan
4. Klien mampu mengatasi isolasi sosial yang dialami dengan
latihan berkenalan dengan 2 sampai 3 orang :
a. Evaluasi kegiatan perkenalan. beri pujian
b. latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
c. memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan
berkenalan dua sampai tiga orang pasien, perawat dan tamu
Berbicara saat melakukan kegiatan harian
5. Klien mampu mengatasi isos yang dialami dengan cara verbal
atau bercakap-cakap.
a. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan dengan beberapa
orang dan bicara saat melakukan 2 kegiatan harian. Beri
pujian
b. latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian 2
kegiatan baru
c. masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berkenalan
4-5 orang, berbicara saat melakukan 4 kegiatan harian
6. Klien mampu mengatasi isos yang dialami dengan latihan
kegiatan terjadwal
a. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan, bicara saat
melakukan 4 kegiatan harian dan beri pujian
b. latih cara bicara sosial: meminta sesuatu, menjawab
pertanyaan
c. masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berkenalan
lebih dari 5 orang, orang baru, berbicara saat melakukan
kegiatan harian dan bersosialisasi
7. Klien mampu mengatasi isos yang dialami
a. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan berkenalan dua
sampai tiga orang, empat sampai lima orang, lebih dari 5
orang dan bicara saat melakukan empat kegiatan harian
serta beri pujian
b. nilai kemampuan yang sudah Mandiri
c. nilai Apakah isolasi sosial sudah teratasi

1. Klien dapat hubungan saling percaya :


2 Perubahan per-sepsi
sensori / halu-sinasi a. Bina hubungan saling percaya
- Salam terapeutik
- Perkenalan diri
- Jelaskan tujuan interaksi
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Buat kontrak yang jelas pada setiap perte-muan
(topik, waktu dan tempat berbicara)
b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
c. Dengarkan ungkapan klien dengan empati
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
a. lakukan kontak sering dan singkat
rasional : untuk mengurangi kontak klien deng-an
halusinasinya
b. Obeservasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya;
bicara dan tertawa tanpa stimu- lus, memandang ke
sekitarnya seolah – olah ad teman bicara.
c. Bantu klien untuk mengenal halusinasinya;
- Bila klien menjawab ada, lanjutkan; apa yang
dikatakan ?
- Katakan bahwa perawat percaya klien mendengarnya.
- Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti klien
- Katakan bahwa perawatan akan membantu klien
d. Diskusikan dengan klien tentang ;
- Situasi yang dapat menimbulkan / tidak menimbulkan
halusinasi
- Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang
sore, malam atau bila sendiri atau bila jengkel / sedih)
e. Diskusikan dengan klien tentang apa yang di-rasakan bila
terjadi halusinasi (marah / takut / sedih / senang) dan
berkesempatan mengung-kapkan perasaan
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien cara / tindakan yang dilakukan
bla terjadi halusinasi (tidur/marah-/menyibukkan diri)
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, bila
bermanfaat beri pujian.
c. Diskusi cara baru untuk memutus / mengontrol timbulnya
halusinasi :
- Ajarkan cara mengontrol halusinansi dengan
menghardik
- Ajarkan cara mengontrol halusinansi dengan minum
obat
- Ajarkan cara mengontrol halusinansi dengan
bercakap-cakap
- Ajarkan cara mengontrol halusinansi dengan
melakukan aktivitas terjadwal
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus /
mengontrol halusinasi secara bertahap
e. Berikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah
dilatih, evaluasi hasilnya dan pujian bila berhasil

Tujuan Umum :
Klien mampuan merawat diri sehingga penampilan diri menjadi
3 Difisit perawatan di-ri
adekuat
berhubungan de-ngan
Tujuan Khusus :
koping indivi-du tidak
1. klien dapat mengindentifikasi kebersihan diri
efektif
a. Dorong klien mengungkakan perasaan tentang keadaan dan
kebersihan dirinya.
b. Dengan ungkapan klien dengan penuh perhatian dan
empati.
c. Beri pujian atas kemapuan klien mengungkapkan perasaan
tentang kebersihan dirinya.
d. Diskusi dengn klien tentang pentingnya kebersihan diri
e. Diskusikan dengan klien tujuan kebersihan diri
2. Klien dapat melakuakn perawatan diri
a. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : mandi
b. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : berhias
c. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : makan dan
minum yang baik
d. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : BAB dan
BAK yang baik

3. Klien mendapat dukungan keluarga dalam meni-ngkatkan


kebersihan dirinya.
a. Kaji tentang tingkat pengetahuan keluarga tentang
kebutuhan perawatan diri klien
b. Diskusikan dengan keluarga
c. Motivikasi keluarga daam berperan aktif memenuhi
kebutuhan perawatan diri klien.
d. Beri pujian ata tindakan positif yang telah dilakukan
keluaga

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatuskesehatan
yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan
yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal
dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

G. Penelitian Terkait
Ada beberapa penelitian terkait terapi yang dapat diterapakan pada pasien skizofrenia
hebefrenik dan Isolasi Sosial, diantaranya adalah :
1. Penelitian oleh Jek Amidos Pardede, Achir Yani Syuhaimie Hamid dan Yossie
Susanti Eka Putri pada tahun 2020. penelitian ini membahas tentang penerapan social
skill training dengan menggunakan pendekatan teori hildegard peplau terhadap
penurunan gejala dan kemampuan pasien isolasi social. Karya Ilmiah Akhir ini
bertujuan memberikan gambaran manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada
klien isolasi sosial melalui pendekatan konsep teori Hildegrad Peplau di Ruang
Arimbi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Metode yang digunakan adalah
analisis terhadap penerapan manajemen kasus pasien isolasi sosial menggunakan
pendekatan konsep teori Hildegard Peplau di Ruang Arimbi Rumah Sakit dr Marzoeki
Mahdi Bogor pada 32 pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah Social
Skill Training efektif dalam menurunkan gejala dan meningkatkan kemampuan pasien
isolasi sosial yang ditunjukkan melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan social
2. Berikutnya adalah penelitian oleh Risna Amalia1 dan Tatik Meiyuntariningsih tahun
2020. Penelitian ini membahas tentang penerapan Expressive Writing Therapy dan
Kemampuan Pengungkapan Emosi Pasien Skizofrenia Hebefrenik. Skizofrenia
hebefrenik menekan fungsi normal seperti apatis dan aktivitas sosial yang buruk.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas intervensi expressive writing
therapy untuk meningkatkan kemampuan pengungkapan emosi kepada klien
skizofrenia hebefrenik. Subjek berjenis kelamin laki-laki yang berusia 45 tahun dan
mengalami skizofrenia hebrefenik selama satu tahun. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa expressive writing therapy efektif digunakan sebagai media
mengungkapkan perasaan atau emosi subjek, serta pelepasan emosi negatif yang
dimiliki. Rencana tindak lanjut setelah intervensi tetap diberikan, subjek diarahkan
agar mampu menyalurkan emosinya dan mengungkapkan perasaannya. Selain itu
keluarga diharapkan untuk terus memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh
subjek dengan terus memotivasinya.
3. Sekanjutnya penelitian oleh Rani Kawati Damanika, Jek Amidos Pardede, Licy
Warman Manalu tahun 2020. Penelitian ini membahas tentang Terapi Kognitif
Terhadap Kemampuan Interaksi Pasien Skizofrenia Dengan Isolasi Sosial.
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami perilaku
menarik diri, serta penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain, terutama untuk mengungkapkan dan mengonfirmasi perasaan
negatif dan positif yang dialaminya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pasien
dalam kemampuan berinteraksi, maka dibutuhkan terapi, salah satunya terapi
kognitif.Terapi kognitif diperuntukkan kepada seseorang yang mengalami kesalahan
dalam berpikir yang terjadi pada pasien isolasi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh terapi kognitif terhadap kemampuan berinteraksi pasien
skizofrenia dengan masalah isolasi sosial di RSJ Prof. Dr.Muhammad Ildrem Medan
Tahun 2019. Desain penelitian ini adalah Quasi Experimental one group pre-post test
design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia dengan masalah
isolasi sosial. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
purposive sampling yang dilakukan dengan mengambil sampel sesuai dengan kriteria
peneliti dengan menggunakan screening isolasi sosial, sehingga didapatkan sejumlah
22 pasien. Berdasarkan hasil uji mc-neymar diperoleh hasil p value = 0.001 (p<0.05),
sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi kognitif terhadap kemampuan
berinteraksi pasien skizofrenia dengan masalah isolasisosial di RSJ Prof.Dr.
Muhammad Ildrem Medan tahun 2019. Diharapkan kepada pasien skizofrenia dengan
masalah isolasi sosial, mampu mengubah pikiran negatif menjadi positif,
meningkatkan aktivitas serta mampu berinteraksi dengan baik setelah melaksanakan
terapi kognitif dengan baik dan teratur.
4. Yang terakhir penelitian oleh Anisa Fitriani tahun 2018. Penelitian ini membahas
tentang penerapan Psikoterapi Suportif Pada Penderita Skizofrenia Hebefrenik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas psikoterapi suportif pada
penderita skizofrenia hebefrenik. Skizofrenia hebefrenik memiliki onset awal. Gejala-
gejala dapat muncul dari usia remaja atau dewasa awal yang merupakan usia produktif
untuk memulai mempersiapkan berbagai peran bagi masa depan. Prognosis seringkali
lebih buruk dibandingkan dengan tipe lain jika tidak mendapatkan penanganan secara
tepat.. Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimen kasus tunggal dengan
seorang subjek laki-laki yang didiagnosis mengalami skizofrenia hebefrenik dan telah
mengalami kekambuhan sebanyak tiga kali. Data diperoleh dengan metode observasi,
wawancara mendalam, tes psikologi, dan pengukuran kondisi subjek antara sebelum
dan sesudah menjalani psikoterapi suportif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
psikoterapi suportif dapat membantu penderita skizofrenia hebefrenik mempersiapkan
diri untuk kembali menjalankan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat
perubahan dalam aspek pikiran, perasaan, dan perilaku yang lebih adaptif sehingga
dapat menurunkan kemungkinan kekambuhan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa psikoterapi suportif akan lebih efektif jika melibatkan peran keluarga secara
aktif.
BAB III
TINJAUAN KASUS

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN JIWA


Nama : Ny. N
PENGKAJIAN KEPERAWATAN TL/ Umur : 44 tahun
AWAL Penanggung Jawab : Tn.O
PASIEN RAWAT INAP PSIKIATRI (tuliskan hub Kakak
dengan pasien)
Pendidikan
( Dilengkapi dengan 24 jam pertama Pekerjaan : Tidak Sekolah
pasien masuk ruang rawat) Agama : Tidak bekerja
: Islam

Tanggal Masuk: 25 Maret 2021 Jam:09.00 WIB Ruang Rawat : Melati


Tanggal pengkajian: 31 Maret 2021

I. ALASAN KE RUMAH SAKIT


Keluhan Utama :
Pasien masuk ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung tanggal 25 Maret 2021 diantar
oleh keluarganya dan dengan keluhan Gelisah, banyak bicara, mengamuk, tidak bisa
berjalan, teriak-teriak. Keluarga mengatakan pasien bicara melantur selama 15 tahun
(sejak 2006). Dan tidak bisa berjalan 5 tahun. Keluarga mengatakan kondisi pasien
memburuk setelah melahirkan anak pertamanya. Keluarga mengatakan tahun 2014
pasien di rawat di RSJ Malang selama 1 bulan. Kemudian pasien pindah ke lampung
(way kanan) pasien kambuh lagi dan di kurung di ruangan yang sempit dan beberapa
bulan sulit makan. Saat dirumah pasien di kurung oleh keluarganya di ruangan khusus
dengan fasilitas kamar mandi di dalam. Keluarga mengatakan pasien jarang keluar kamar
dan berinteraksi dengan orang lain selama lebih dari satu tahun.

II. RIWAYAT KESEHATAN


1. Pernah dirawat? : pernah,
tahun 2014 selama 1 bulan di RSJ Malang
2. Penyakit yang pernah dialami : Skizofrenia
3. Riwayat Operasi : tidak ada
4. Riwayat alergi : tidak ada
5. Riwayat penggunaan/ketergantungan terhadap zat (waktu, jenis, frekuensi, jumlah dan
lama penggunaan) □ Obat-obatan ѵ Rokok □ NAPZA □ Lainnya,
Sebutkan
Jelaskan: Tidak ada

III. RIWAYAT PENYAKIT MASA LALU


1. Pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu? : ya, keluarga mengatakan pasien
pernah di rawat rumah sakit jiwa di malang selama 1 bulan dengan keluhan yang
sama pada tahun 2014.
2. Pengobatan sebelumnya : Pengobatan sebelumnya menunjukan progress selama
dirawat namun setelah pulang ke Lampung pasien tidak pernah kontrol dan minum
obat lagi sehingga pasien kambuh kembali.
3. Riwayat
Aniaya Fisik : pernah, keluarga mengatakan pasien pernah
memukul adik kandungnya tanpa alasan yang
jelas
Aniaya seksual : tidak pernah
Penolakan : tidak pernah
Kekerasan dalam keluarga : tidak pernah
Tindakan kriminal : tidak pernah
Jelaskan: menurut catatan pasien mengamuk dan teriak-teriak dan memukul
adiknya
Masalah keperawatan : Resiko Perilaku Kekerasan
4. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan: Ada
Jelaskan : Keluarga mengatakan pasien diceraikan oleh suaminya karena menderita
gangguan kejiwaan, pasien juga dipisahkan dengan anaknya saat anaknya berusia 3
tahun hingga sekarang belum pernah bertemu dengan anakanya.
masalah keperawatan : berduka

IV. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Apakah ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa : Tidak

Genogram Laki – laki


Perempuan

Meninggal

Keterangan Genogram Klien


Keluarga mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang
mengalami penyakit yang sama dengan pasien. Selama Tinggal dalam
dirawat di rumah pasien jarang diajak berkomunikasi dan satu rumah
berinterkasi dengan orang lain maupun anggota keluarga.
Selama kurang lebih 7 tahun pasien dirawat dirumah pasien bercerai
berobat alternatif namun tidak menunjukkan peningkatan
yang baik. Akhirnya keluarga hanya merawat dirumah dan
memenuhi kebutuhan pokok pasien, seperti makan, pakaian,
dan kebutuhan toileting. Keluarga mengatakan tidak tahu
harus berobat kemana dan aparat desa pun tidak tahu harus
membawa pasien berobat ke rumah sakit mana.
Masalah keperawatan : Ketidakmampuan koping
keluarga.

V. PERSEPSI KESEHATAN
Pasien mengatakan bahwa ketika diajak ke rumah sakit pasien hanya diajak oleh
keluarga untuk beristirahat dan tidak tahu
Masalah keperawatan : koping individu tidak efektif

VI. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keluhan fisik : Saat ini pasien mengalami kesulitan dalam mobilitas. Pasien sulit
untuk berdiri dan berjalan sehingga pasien hanya mampu berjalan jongkok. Pasien
mengatakan tidak bisa berdiri. Keluarga mengatakan pasien hanya berjalan
jongkok selama dirumah.
TD : 110/70 mmhg Nadi: 86 x/m RR : 20 x/m Suhu : 36,7o C
Masalah Keperawatan: Gangguan mobilitas fisik
2. Penilaian Nyeri
Keluhan nyeri: pasien tidak mengeluh nyeri

 Nyeri Kronis : -, Lokasi :-, Kualitas : -, Frekuensi : -, Durasi: -


 Nyeri Akut : -, Lokasi :-, Kualitas : -, Frekuensi : -, Durasi: -
Nyeri Hilang:
 Minum Obat  Istirahat  Mendengar Musik  Berubah Posisi Tidur
Lainnya,
(Lingkari skala sesuai dengan parameter penilaian)

Sumber: wong bakerpainratingscale

3. Skrining Status Nutrisi (berdasarkan malnutrition screening tool/ MST)


Berat badan: 38 Kg Tinggi badan : 147 cm
Sudah dilaporkan ke Tim Terapi Gizi: Tidak
(Lingkari skor sesuai dengan parameter penilaian. Total skor adalah jumlah skor
yang dilingkari)

No Parameter Skor Ket


Apakah pasien mengalami penurunan berat badan yang tidak
1.
diinginkan dalam 6 bulan terakhir?
a. Tidak penurunan berat badan 0
b. Tidak yakin / tidak tahu / terasa baju lebih
2
longgar
c. Jika ya, berapa penurunan berat badan
tersebut
1-5 kg 1
6-10 kg 2
11-15 kg 3
>15 kg 4 
Tidak yakin penurunannya 2
Apakah asupan makan berkurang karena berkurangnya nafsu
2.
makan?
a. Tidak 0
b. Ya 1 
TOTAL SKOR 0
3.Pasien dengan diagnosa khusus : □ tidak □ Ya
□DM □Ginjal □Hati □Jantung □Paru □Stroke
□Kangker □Penurunan Imunitas □Geriatri □ Lain-lain:
Bila skor ≥ 2 dan atau pasien dengan diagnosis / kondisi khusus dilakukan
pengkajian lanjut oleh Tim Terapi Gizi
IMT =17,5 (dibawah rentang normal)
Masalah Keperawatan : defisit nutrisi
4. Penilaian Fungsional (berdasarkan status fungsional barthel ADL Indeks)
Ѵ Mandiri □Perlu Bantuan,

No FUNGSI PENILAIAN SKOR


1 Mengendalikan Tak terkendali/ tak teratur (perlu 0 
rangsang pencahar)
pembuangan tinja Kadang-kadang tak terkendali 1
(1xseminggu)
Terkendali teratur 2

2 Mengendalikan Tak terkendali atau pakai kateter 0


rangsang berkemih Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1
1x /24 jam)
Mandiri 2 
3 Membersihkan diri Butuh pertolongan orang lain 0 
(seka muka, sisir Mandiri 1
rambut, sikat gigi)
4 Penggunaan Tergantung pertolongan orang lain 0
jamban, masuk dan Perlu pertolongan pada beberapa 1 
keluar (melepaskan, kegiatan tetapi dapat mengerjakan
memakai celana, sendiri beberapa kegiatan yang lain
membersihkan, Mandiri 2
menyiram)
5 Makan Tidak mampu 0
Perlu ditolong memotong makanan 1 
Mandiri 2
6 Berubah sikap dari Tidak mampu 0
berbaring keduduk Perlu banyak bantuan untuk bias 1
duduk (2 orang)
Bantuan minimal 1 orang 2 
Mandiri 3
7 Berpindah/berjalan Tidak mampu 0
Bisa (pindah) dengan kursi roda 1
Berjalan dengan bantuan 1 orang 2 
Mandiri 3
8 Memakai baju Tergantung orang lain 0
Sebagian dibantu (mis:mengancing) 1 
Mandiri 2
9 Naik turun tangga Tidak mampu 0 
Butuh pertolongan 1
Mandiri 2
10 Mandi Tergantung orang lain 0
Mandiri 2 
TOTAL SKOR 20 11
Katagori : □20 Mandiri □ 5-8 : ketergantungan berat  12-19 : ketergantungan
ringan
□ 0-4 = ketergantungan total □ 9-11 = ketergantungan sedang

VII. RESIKO JATUH/CEDERA (Berdasarkan EdmonsonScale)


Tidak □Ya, jika Ya pasang stiker warna kuning dilengan yang
dominan
(lingkari score sesuai dengan parameter penilaian. Total score=score yang dilingkari
)
Parameter Skor Ket
< 50 Tahun 8 
Usia 50 - 79 Tahun 10
≥ 80 Tahun 26
  Sadar penuh dan orientasi waktu baik -4
Status Agitasi/ cemas 13
Mental Sering bingung 13 
  Bingung dan disorientasi 14
Mandiri untuk BAB dan BAK 8 
Memakai kateter/ ostomy 12
Eliminasi BAB dan BAK dengan bantuan 10
Gangguan eliminasi (inkonensia, banyak BAK di
12
malamhari, sering BAB dan BAK
Inkonensia tetapi bias ambulasi mandiri 12
Tidak ada pengobatan yang diberikan 10
Obat obatan jantung 10
Obat psikiatri termasuk benzodiazepine dan antidepresan 8 
Medikasi
Atau
Meningkatnya dosis obat yang dikonsumsi/ ditambahkan
12
dalam 24 jam terakhir
Bipolar/ gangguan scizoaffective 10 
Penyalahgunaan zat terlarang dan alcohol 8
Diagnosis
Gangguan depresi mayor 10
Dimensia/ delirium 12
Ambulasi mandiri dan langkah stabil atau pasien imobil 7
Penggunaan alat bantu yang tepat (tongkat, wolker,
8
tripod, dll)
Ambulasi/
Keseimbang Vertigo/ hipotensi ortostatik/ kelemahan 10
an Langkah tidak stabil, butuh bantuan dan menyadari 
8
kemampuannya
Langkah tidak stabil, butuh bantuan dan tidak menyadari
15
ketidakmampuannya
Hanya sedikit mendapatkan asupan makan/ minum 
12
Nutrisi dalam 24 jam terakhir
Nafsu makan baik 0
Tidak ada gangguan tidur 8 
Gangguan
Tidur Ada gangguan tidur yang dilaporkan keluarga pasien
12
/staf
Riwayat Tidak ada riwayat jatuh 8 
Jatuh Ada riwayat jatuh dalam 3 bulan terakhir 14
TOTAL SKOR 83
KATEGORI RESIKO £RT
RR
Kategori: < 90 = Resiko rendah (RR) >90 = Resiko tinggi (RT)

VIII. PSIKOSOSIAL
1. Konsep Diri
a. Citra tubuh
Belum dapat dikaji pasien non kooperatif
Masalah keperawatan : tidak ditemukan masalah
b. Identitas diri
Belum dapat dikaji pasien non kooperatif
Masalah keperawatan : tidak ditemukan masalah
c. Peran:
Pasien adalah seorang ibu dari seorang anak perempuan yang berusia 17
tahun, namun pasien terpisah dengan anaknya sejak anaknya berusia 3 tahun.
Saat ini anaknya tinggal bersama mantan suaminya dan keluarga mengatakan
pasien tidak pernah bertemu dengan anaknya. Ketika ditanya tentang anaknya
pasien hanya diam dan tampak bingung.

Masalah keperawatan : Penampilan peran tidak efektif


d. Ideal diri
Belum dapat dikaji pasien non kooperatif
e. Harga diri
Belum dapat dikaji pasien non kooperatif

2. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan
Keluarga mengatakan orang dengan gangguan jiwa masih dikucilkan tempat
tinggalnya sehingga pasien dikurung

b. Kegiatan ibadah
Keluarga mengatakan pasien tidak pernah beribadah

3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti : ibunya
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat/sekolah : pasien
mengatakan tidak pernah ikut dalam kegiatan dimasyarakat atau kelompok
dirumah
c. Hambatan dalam hubungan dengan orang lain : pasien mengatakan tidak
terlalu suka berbicara dengan orang.
Masalah Keperawatan : Gangguan interaksi sosial

1. STATUS MENTAL
1. Penampilan
£ Bersih  Tidak rapi £ Cara berpakaian tidak seperti biasanya
£ Rapi Kotor £ Penggunaan pakaian tidak sesuai
Jelaskan : pasien tampak berantakan dan kotor karena makan tidak menggunakan
sendok dengan benar, pasien sangat sulit untuk mandi
Masalah keperawatan : Defisit Perawatan Diri

2. Pembicaraan
£Sesuai  Cepat £ Keras  Apatis £ Inkoheren
£ Mendominasi
£ Mengancam £ Lambat £ Gagap  Membisu  Tidak mampu memulai
pembicaraan
Jelaskan : pasien tidak menjawab pertanyaan maupun berbicara pada teman
seruangan dan perawat. Pasien berbicara ketus saat disuruh makan.
Masalah keperawatan : Isolasi Sosial

3. Aktifitas motorik/perilaku
£ Normal £ Agitasi £ Konfulsif  Lesu/tidak bersemangat £ Grimasem
Tegang £Gelisah £ Tremor  Melamun/banyak diam £Sulit diarahkan
£ TIK
Jelaskan : pasien hanya duduk diam dan menunduk disudut ruangan. Pasien
tampak lesu dan pasien tegang ketika akan dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Masalah keperawatan : Gangguan interaksi sosial

4. Alam perasaan
£ Sesuai £ Putus asa  Sedih £ Merasa tidak mampu
£ Marah £ Ketakutan £ Labil £ Gembira berlebihan
£ Tertekan £ Khawatir £ Malu £ Tidak berharga/berguna
Jelaskan : pasien mengatakan sedih karena tidak segera pulang. Pasien ingin
pulang dan bertemu dengan keluarganya
Masalah keperawatan : koping individu tidak efektif

5. Interaksi selama wawancara


£ Kooperatif £ Bermusuhan £ Curiga  Tidak kooperatif
 Kontak mata kurang £ Mudah tersinggung Defensif
Jelaskan : ketika diajak berinteraksi pasien tidak mau berbicara dan tidak mau
menjawab pertanyaan , kontak mata kurang. Keluarga mengatakan selama
dirumah pasien pernah mengamuk, teriak-teriak dan memukul adik kandungnya.
Masalah keperawatan : Resiko perilaku kekerasan
6. Afek
c Sesuai £ Datar  Tumpul £ Labil £ Tidak sesuai
jelaskan : pasien tidak menunjukan ekspresi apapun ketika diajak interaksi
masalah keperawatan : Gangguan interaksi sosial

7. Persepsi
 Halusinasi  Pendengaran £ Penghidu Penglihatan
£ Pengecapan £ Perabaan
Jelaskan :menurut catatan pasien, keluarga mengatakan pasien bicara sendiri dan
melamun. Saat ini pasien hanya diam saja, namun tampak sedikit bicara
Masalah keperawatan : gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
dan pendengaran

8. Proses pikir
£ Sesuai £ Sirkumsial Flight of ideas £Tangensial
 Bloking  Kehilangan asosiasi £ Pengulangan pembicaraan
Jelaskan : pasien selalu berkata “tidak boleh” dan “tidak mau”, pasien sering
blocking ketika diajak interkasi dan pembicaraan tidak berhubungan satu sama
lain
Masalah keperawatan : Gangguan komunikasi verbal
9. Isi Pikir
£ Sesuai £ Obsesi £ Fobia £ Hipokondria
£ Pikiran magis £ Ide yang terkait £ Depersonalisasi
£ Waham : £ Kebesaran £ Curiga £ Agama £ Nihilistik
Jelaskan : pasien belum dapat dikaji non kooperatif

10. Tingkat kesadaran


£ Compos Mentis Apatis £ Stupor  Bingung £ Sedasi
Disorientasi : £ T idak £ Ya: £ Waktu £ Tempat £ Orang
Jelaskan : saat ini pasien sadar penuh namun bersikap apatis terhadap orang lain
dan jarang mau berbicara ketika diajak interaksi oleh perawat
Masalah keperawatan : Gangguan interaksi sosial

11. Memori
£ Gangguan daya ingat jangka pendek Gangguan daya ingat jangka panjang
£ Gangguan daya ingat saat ini £ Konfabulasi
Jelaskan : pasien tidak menjawab saat ditanya alasan masuk RS, alamat pasien dan
apa yang telah di lakukan hari itu
Masalah keperawatan : gangguan memori

12. Tingkat konsentrasi dan berhitung


£ Kosentrasi baik  Tidak mampu berkosentrasi
£ Mudah beralih £ Tidak mampu berhitung sederhana
Jelaskan :pasien tampak bingung, tampak tatapan kosong dan tidak mampu
mengikuti interaksi dengan baik.
Masalah keperawatan : konfusi akut

13. Kemampuan penilaian


 Gangguan ringan £ Gangguan bermakna
Jelaskan : pasien dapat mengambil keputusan yang sederhana dengan bantuan
orang lain. Pasien mengatakan bahwa dirinya dibawa ke rumah sakit untuk
beristirahat.
Masalah keperawatan : konfusi akut

14. Daya Tilik Diri


Mengingkari penyakit yang diderita £ Menyalahkan hal-hal di luar dirinya
Jelaskan : pasien mengatakan dirinya tidak sakit ketika diajak untuk menjalani
fisioterapi
`Masalah keperawatan : Defisit Pengetahuan

VIII. SUMBER KOPING


 Pasien belum mampu mengungkapkan penilaian diri terhadap kondisi
kesehatannya saat ini
 Pasien belum mampu menggunakan teknik untuk mengurangi halusinasi
 Pasien sudah mampu berkenalan dengan orang lain dan mampu berinteraksi serta
mampu menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat maupun orang
lain
 Saat ini pasien berobat dan terdaftar sebagai peserta BPJS
 Keluarga mengatakan saat ini belum ada komunitas maupun organisasi tertentu
untuk menangani kasus gangguan jiwa di daerah tempat tinggal pasien.
Masalah keperawatan : Koping individu tidak efektif, koping komunitas tidak
efektif

IX. PERSIAPAN PULANG / DISCHARGE PLANNING


No Komponen yang dibutuhkan Ya Tidak
1. Tempat tinggal 
2. Care giver 
3. Layanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas/ 
CMHN)
4. Group support 

Masalah keperawatan : Koping komunitas tidak efektif

X. ASPEK MEDIS
Diagnosa Medis :Skizofrenia hebefrenik

Therapi Medis :
Trihexilphenedil 2x2 mg
Respiredon 2x1,5 mg
Neurodex 2x1 tab ( Vitamin B1 100mg, vitamin B6 200mg, vitamin B12 250
mcg)
Asam folat 1x5 mg (pagi)
Fituno 1x1 tab (malam)
Fluoxetin 1x 10 mg (pagi)

XI. PEMERIKSAAN PENUNJANG (Tulis hasil pemeriksaan penunjang yang


abnormal)
Tanggal pemeriksaan : 25 maret 2021
Hemoglobin :10,8 g/dl

A. DATA FOKUS
DS :
 Pasien banyak diam
 Tidak menjawab pertanyaan
 Tidak mau berbicara kepada teman yang lain maupun perawat
 Pasien selalu berkata “tidak boleh” ketika sisuruh makan atau mandi
 Keluarga mengatakan pasien diceraikan oleh suaminya karena menderita gangguan
kejiwaan, pasien juga dipisahkan dengan anaknya saat anaknya berusia 3 tahun
hingga sekarang belum pernah bertemu dengan anakanya.
 Keluarga mengatakan tidak tahu harus berobat kemana dan aparat desa pun tidak tahu
harus membawa pasien berobat ke rumah sakit mana.
 Pasien mengatakan bahwa ketika diajak ke rumah sakit pasien hanya diajak oleh
keluarga untuk beristirahat dan tidak tahu
 Keluarga mengatakan pasien hanya berjalan jongkok selama dirumah.
 pasien selalu berkata “tidak boleh” dan “tidak mau”, pasien sering blocking ketika
diajak interkasi dan pembicaraan tidak berhubungan satu sama lain
 Pasien mengatakan bahwa dirinya dibawa ke rumah sakit untuk beristirahat.
 pasien mengatakan dirinya tidak sakit ketika diajak untuk menjalani fisioterapi
 Keluarga mengatakan saat ini belum ada komunitas maupun organisasi tertentu untuk
menangani kasus gangguan jiwa di daerah tempat tinggal pasien.
DO :
 Pasien hanya diam saja ketika diajak interaksi
 Pasien hanya menunduk
 Kontak mata minimal
 menurut catatan pasien mengamuk dan teriak-teriak dan memukul adiknya
 Non kooperatif
 Pasien tampak memandang ke salah satu sisi ruangan dengan tatapan kosong
 Pasien tampak sedikit berbicara sendiri namun tidak mau menceritakan pada perawat
apa yang dilihat dan didengar
 pasien tampak berantakan dan kotor karena makan tidak menggunakan sendok dengan
benar, pasien sangat sulit untuk mandi
 Rambut pasien tampak berantakan
 Saat di minta untuk mandi pasien selalu menolak
 Pasien sulit untuk berdiri dan berjalan sehingga pasien hanya mampu berjalan
jongkok
 IMT =17,5 (dibawah rentang normal)
 Pasien adalah seorang ibu dari seorang anak perempuan yang berusia 17 tahun,
namun pasien terpisah dengan anaknya sejak anaknya berusia 3 tahun. Saat ini
anaknya tinggal bersama mantan suaminya dan keluarga mengatakan pasien tidak
pernah bertemu dengan anaknya.
 pasien mengatakan tidak pernah ikut dalam kegiatan dimasyarakat atau kelompok
dirumah
 pasien mengatakan tidak terlalu suka berbicara dengan orang.
 pasien tidak menjawab pertanyaan maupun berbicara pada teman seruangan dan
perawat. Pasien berbicara ketus saat disuruh makan.
 pasien hanya duduk diam dan menunduk disudut ruangan. Pasien tampak lesu dan
pasien tegang ketika akan dilakukan pemeriksaan kesehatan.
 pasien mengatakan sedih karena tidak segera pulang. Pasien ingin pulang dan bertemu
dengan keluarganya
 ketika diajak berinteraksi pasien tidak mau berbicara dan tidak mau menjawab
pertanyaan , kontak mata kurang. Keluarga mengatakan selama dirumah pasien
pernah mengamuk, teriak-teriak dan memukul adik kandungnya.
 pasien tidak menunjukan ekspresi apapun ketika diajak interaksi
 menurut catatan pasien, keluarga mengatakan pasien bicara sendiri dan melamun. Saat
ini pasien hanya diam saja, namun tampak sedikit bicara
 saat ini pasien sadar penuh namun bersikap apatis terhadap orang lain dan jarang mau
berbicara ketika diajak interaksi oleh perawat
 pasien tidak menjawab saat ditanya alasan masuk RS, alamat pasien dan apa yang
telah di lakukan hari itu
 pasien tampak bingung, tampak tatapan kosong dan tidak mampu mengikuti interaksi
dengan baik.
 pasien dapat mengambil keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain.
 Pasien belum mampu mengungkapkan penilaian diri terhadap kondisi kesehatannya
saat ini
 Pasien belum mampu menggunakan teknik untuk mengurangi halusinasi
 Pasien sudah mampu berkenalan dengan orang lain dan mampu berinteraksi serta
mampu menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat maupun orang lain
 Saat ini pasien berobat dan terdaftar sebagai peserta BPJS

B. ANALISA DATA
No Data Masalah
1 DS Isolasi social
- Pasien banyak diam
- Tidak menjawab pertanyaan
- Tidak mau berbicara dengan orang lain.
DO
- Pasien hanya diam saja ketika diajak
berinteraksi
- Non kooperatif
- Apatis
- Pasien hanya menunduk
- Kontak mata minimal
2 DS Halusinasi
- Pasien selalu berkata “tidak boleh” saat
diminta untuk makan dan mandi.
DO
- Pasien tampak selalu memandang ke
salah satu sisi ruangan dengan tatapan
- Pasien tampak sedikit berbicara sendiri
namun tidak mau menceritakan pada
perawat apa yang dilihat dan didengar
3 DS Defisit Perawatan Diri
- Pasien selalu menolak jika diminta untuk
mandi dengan benar
DO
- Pasien tampak berantakan dan kotor
akibat cara makannya berantakan
- Rambut pasien tampak berantakan
- Penampilan tampak rusub
- Menolak untuk mandi
4 DS Resiko Perilaku Kekerasan
- Keluarga mengatakan selama dirumah
pasien pernah mengamuk, teriak-teriak
dan memukul adik kandungnya.
DO
- menurut catatan pasien mengamuk dan
teriak-teriak dan memukul adiknya
- pasien berbicara ketus saat disuruh
makan.
5 DS Berduka
- Keluarga mengatakan pasien diceraikan
oleh suaminya karena menderita
gangguan kejiwaan, pasien juga
dipisahkan dengan anaknya saat anaknya
berusia 3 tahun hingga sekarang belum
pernah bertemu dengan anakanya.
DO : -

6 DS Ketidakmampuan koping
- Keluarga mengatakan tidak tahu harus keluarga
berobat kemana dan aparat desa pun tidak
tahu harus membawa pasien berobat ke
rumah sakit mana.
DO : -
7 DS Koping individu tidak
- Pasien mengatakan bahwa ketika diajak efektif
ke rumah sakit pasien hanya diajak oleh
keluarga untuk beristirahat dan tidak tahu
- pasien mengatakan sedih karena tidak
segera pulang. Pasien ingin pulang dan
bertemu dengan keluarganya
DO
- Pasien belum mampu mengungkapkan
penilaian diri terhadap kondisi
kesehatannya saat ini
- Pasien belum mampu menggunakan
teknik untuk mengurangi halusinasi
- Pasien sudah mampu berkenalan dengan
orang lain dan mampu berinteraksi serta
mampu menjawab beberapa pertanyaan
sederhana dari perawat maupun orang
lain
8 DS Gangguan mobilitas fisik
- Pasien mengatakan tidak bisa berdiri.
- Keluarga mengatakan pasien hanya
berjalan jongkok selama dirumah.
DO
- Pasien sulit untuk berdiri dan berjalan
sehingga pasien hanya mampu berjalan
jongkok
9 DS :- Defisit nutrisi
DO
- IMT =17,5 (dibawah rentang normal)
10 DS : - Penampilan peran tidak
DO efektif
- Pasien adalah seorang ibu dari seorang
anak perempuan yang berusia 17 tahun,
namun pasien terpisah dengan anaknya
sejak anaknya berusia 3 tahun. Saat ini
anaknya tinggal bersama mantan
suaminya dan keluarga mengatakan
pasien tidak pernah bertemu dengan
anaknya
11 DS Gangguan interaksi sosial
- pasien mengatakan tidak pernah ikut
dalam kegiatan dimasyarakat atau
kelompok dirumah
- pasien mengatakan tidak terlalu suka
berbicara dengan orang.
DO
- pasien hanya duduk diam dan menunduk
disudut ruangan. Pasien tampak lesu dan
pasien tegang ketika akan dilakukan
pemeriksaan kesehatan.
- pasien tidak menunjukan ekspresi apapun
ketika diajak interaksi
- bersikap apatis terhadap orang lain dan
jarang mau berbicara ketika diajak
interaksi oleh perawat
-
12 DS Gangguan komunikasi
- pasien selalu berkata “tidak boleh” dan verbal
“tidak mau”
DO
- pasien sering blocking ketika diajak
interkasi dan pembicaraan tidak
berhubungan satu sama lain
13 DS: - Gangguan memori
DO
- pasien tidak menjawab saat ditanya
alasan masuk RS, alamat pasien dan apa
yang telah di lakukan hari itu
14 DS Konfusi akut
- Pasien mengatakan bahwa dirinya dibawa
ke rumah sakit untuk beristirahat.

DO
- pasien tampak bingung, tampak tatapan
kosong dan tidak mampu mengikuti
interaksi dengan baik.
15 DS Defisit Pengetahuan
- pasien mengatakan dirinya tidak sakit
ketika diajak untuk menjalani fisioterapi
DO: -
16 DS Koping komunitas tidak
- Keluarga mengatakan saat ini belum ada efektif
komunitas maupun organisasi tertentu
untuk menangani kasus gangguan jiwa di
daerah tempat tinggal pasien.
DO : -
POHON MASALAH

Penampilan Peran Berduka Defisit Pengetahuan


Tidak Efektif

Koping Individu tidak Efektif Gangguan Memori


Konfusi akut

Ketidakmampuan Koping Keluarga

Koping Komunitas Tidak Efektif

Menarik Diri Dari Sosial

Gangguan Komunikasi Verbal

Gangguan Interaksi Sosial

Menolak Untuk Bicara dan Mandi Isolasi Sosial Halusinasi RPK


Makan Berantakan

Menolak untuk makan


DPD Gangguan
Mobilitas Fisik

Defisit Nutrisi
Dokumentasi Keperawatan

Tgl Profesional Hasil Asesmen Pasien dan Pemberian Instruksi PPA Verifikasi DPJP
Jam Pemberi Pelayanan termasuk pasca (Tulis Nama, beri
Asuhan (ditulis dengan format SOAP/ADIME, bedah Cinstruksi Paraf, Tgl, Jam)
disertai Sasaran. Tulis Nama, beri Paraf ditulis denngan rinci (DPJP harus
pada akhir catatan) dan jelas) membaca/
mereview semua
Rencana Asuhan)
31/2 Perawat S: - kaji orang
/21 - Banyak diam, menolak mandi terdekat,
12.0 - Tidak mau bicara dengan perawat penyebab isolasi
0 dan teman yang lain social, dan
- Tidak mau bicara saat di jk interaksi manfat
dan menolak pemeriksaan sosialisasi
- Selalu berkata “tidak boleh” - kaji kemampuan
O: berisnteraksi
- Banyak diam dan duduk di sudut secara verbal
ruangan dan non verbal
- Tatapan kosong - latih cara
- Kontak mata minimal berkenalan dan
- Makan dan minum obat di bantu sosialisasi
- Non koperatif, apatis
- Pasien tampak bicara sedikit sendiri,
namun tidak mau menceritakan apa - kaji jenis, isi,
yang dilihat dan dengar frekuensi,
- Pasien tampak berantakan dan kotor situasi,
- Rambut pasien tampak berantakan perasaaan dan
- Pasien menolak untuk mandi respon verbal
A: halusinasi
- Isoalssi social nubcul
- Halusinasi - latihan cara
- Deficit Perawatan Diri menghardik
P:
- Sp 1 Isolasi Sosial
- Sp 1 Halusinasi - kaji kemampuan
- Sp 1 DPD merawat diri,
ciri-ciri tidak
mau merawat
diri, dampak
tidak merawat
Adhaini diri
- latih cara mandi
yang benar

1/4/ Perawat S: - Kaji orang


21 - pasien mengatakan hari ini sudah terdekat,
mandi namun tidak pakai sabun penyebab
- pasien mengatakan belum makan isolasi social,
- pasien mengatakan belum mau dan keuntungan
mengobrol dengan teman-teman memiliki teman
O: - Latih cara
- TD : 120/70 mmHg, N 100x/m, S : berkenalan dan
36,20C, RR ; 20x/m, Spo2 : 100% bersosialisasi
- Psien tampak menyendiri
- Kontak mata minimal - Kaji jenis, isi,
- Namun sudah meningkat dari hari frekuensi, dan
kemarin respon saat
- Pasien hanya menyendiri di kamar halusinasi
dan menunduk muncul
- Kurang kooperatif - Latih cara
- Tampak sesekali bicara sndiri menghardik
- Pasien selau berkata ‘tidak boleh’
dan ‘tidak mau’ - Evaluasi
- Rambut pasien lebih rapih kemampuan
- Pakaian berantakan merawat diri:
- Hari ini pasien fisoterapy mandi
A: - Latih cara
- Isolasi social merawat diri :
- Halusinasi berdandan
- DPD
P:
- Sp 1 Isolasi social
- Sp 1 halusinasi
- Sp 2 DPD

Adhaini

2/4/ Perawat S: - Kaji


21 - Pasien mengatakan hari ini sudah kemampuan
mandi namun tidak keramas bersosialisasi
- Pasien belum mau berbicara dengan - Latih cara
teman-teman yang lain berkenalan
- Pasien selalu berkata “tidak mau “ - Ajak
dan “tidak boleh” berkenalan
O: dengan 2 orang
- Tampak menyendiri
- Menunduk - Kaji isi, jenis,
- Kontak mata minimal tapi sudah frekuensi dan
meningkat dari hari sebelumnya respon saat
- Kurang kooperatif halusinasi
- Tampak sesekali bicara sendiri muncul
- Rambut pasien tampak rapih - Latih cara
- Pakaian bersih menghardik
- TD : 110/70 mmHg, N 82x/m, S :
36,50C, RR ; 20x/m, Spo2 : 100% - Evaluasi
A: kemampuan
- Isolasi social merawat diri :
- Halusinasi mandi dan
- Deficit perawatan diri berdandan
P: - Latih cara
- Sp 2 isolasi social merawat diri :
- Sp 1 halusinasi makan dan
- Sp 3 DPD minum yang
benar

Adhaini

3/4/ Perawat S: - Kaji


21 - Pasien mengatakan sudah mandi kemampuan
- Pasien mengatakan hanya mau bersosialisasi
berteman dengan 1 orang (As) - Latih cara
- Pasien selalu berkata “tidak mau “ berkenalan
dan “tidak boleh” - Ajak
O: berkenalan
- Tampak menyendiri dengan 3 orang
- Menunduk
- Kontak mata ada - Kaji isi, jenis,
- Kurang kooperatif frekuensi dan
- Tampak sesekali bicara sendiri respon saat
- Rambut pasien tampak rapih halusinasi
- Pakaian bersih muncul
- Pasien sudah mampu makan secara - Latih cara
mandiri menghardik
- Mau berbicara pada 1 orang teman
dan perawat - Evaluasi
- TD : 120/70 mmHg, N 84x/m, S : kemampuan
36,30C, RR ; 20x/m, Spo2 : 100% merawat diri :
A: mandi,
- Isolasi social berdandan dan
- Halusinasi makan dan
- Deficit perawatan diri minum
P: - Latih cara
- Sp 2 isolasi social merawat diri :
- Sp 1 halusinasi BAB dan BAk
- Sp 4 DPD yang benar

Adhain

BAB IV
PEMBAHASAN

1. Tahap pengkajian
Pada tahap pengkajian data didapatkan dari rekam medic pasien dan dari
kondisi pasien. Penyusun sedikit mendapat kesulitan dalam mendapatkan data dari
keluarga karena keluarga jarang berkunjung dan pasien kurang kooperatif dengan
perawat maupun petugas kesehatan lain. Adapun upaya yang dilakukan dalam
melakukan pengkajian tersebut adalah:
 Melakukan pendekatan dan membina hubungan slaing percaya pada pasien agar
pasien lebih terbuka dan lebih percaya kepada perawat.
 Perawat menggunakan teknik komunikasi terapeutik dan pendekatan komunikasi
berbasis budaya pada pasien. Pasien selalu menggunakan bahasa jawa untuk
berkomunikasi, setelah beberapa kali mencoba berinteraksi dengan pasien
menggunakan bahasa jawa pasien mau menjawab beberapa pertanyaan sederhana
dari perawat. Penelitian yang dilakukan oleh putu gede (2017) menyatakan bahwa
pentingnya memadukan prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa berbasis
budaya lokal, sudah sepatutnya perawt dapat menggunakan prinsip-prinsip
tersebut dengan baik sehingga proses penyembuhan pasien berjlangsung dengan
kondusif.

2. Tahap diagnosa keperawatan


Pada kasus ini perawat menegakkan tiga diagosa gangguan jiwa yang utama
yaitu
Isolasi social.
Selama pengkajian pasien kurang kooperatif tetapi setelah melakukan
pertemuan beberapa kali klien mulai kooperatif meskipun hanya mau menjawab
beberapa pertanyaan sederhana, serta ditemukan adanya tanda dan gejala isolasi
sosial sesuai dengan tanda gejala dalam teori yang telah dibahas di bab II dimana
salah satunya klien malas berinteraksi dengan orang lain, klien lebih banyak diam
tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, kontak mata kurang, klien kurang
spontan, berbicara dengan suara rendah dan lambat, mengisolasi diri, klien tidak
bersemangat, klien juga menolak tindakan pemeriksaan kesehatan seperti
pemeriksaan tanda-tanda vital.
Namun setelah beberapa kali pertemuan pasien mau dilakukan pemeriksaan
kesehatan. Menurut Hawari (2012) Salah satu dampak yang terjadi pada penderita
skiofrenia adalah menjalin hubungan sosial yang sulit. Hal ini dikarenakan
skizofrenia merusak fungsi sosial penderitanya. Serta hasil penelitian yang
dilakukan oleh Abdul Jalil (2015) didapatkan hasil faktor yang paling dominan
mempengaruhi penurunan kemampuan perawatan diri adalah isolasi sosial (ρ value
0,001).

Halusinasi
Menurut Muhammad Sulthon (2018) gangguan proses (arus pikir) inkoheren
mengarah pada masalah dimana klien skizofrenia hebefrenik tidak mampu
memproses dan mengatur pikirannya yang berdampak pada pola komunikasi yang
buruk atau inkoheren sehingga makna pembicaraan sulit untuk dipahami dan
dimengerti. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah sosial yang
memperburuk/memperparah kondisi klien jika gangguan pola komunikasi tersebut
tidak diketahui dan dipahami oleh orang di sekitar klien. Menurut Nurya (2019)
menyatakan dalam hasil penelitiannya didapatkan sebagian besar (60,4%) klien
mengalami halusinasi pendengaran, 7% mengalami halusinasi penglihatan dan
halusinasi pendengaran disertai penglihatan. Halusinasi dominan pada klien
skizofrenia hebefrenik adalah halusinasi pendengaran (60,4%). Abdul jalil (2015)
juga menyatakan adanya hubungan antara halusinasi dengan penurunan
kemampuan perawatan diri dengan signifikansi 0,006. Dan hasil analisis tabel
silang menunjukkan 79,8% klien yang mengungkapkan pengalaman halusinasi juga
menunjukkan penurunan kemampuan perawatan diri. Halusinasi terjadi karena
adanya peningkatan kecemasan, menarik diri, dan stres berat yang mengancam ego
yang lemah. Dampak dari halusinasi, klien mnjadi menunjukkan respon yang tidak
tepat, disorientasi, kurang konsentrasi dan distorsi sensori, gangguan dalam
mengorganisis informasi (Townsend, M.C, 2011)
Kondisi pasien saat ini adalah pasien tampak sesekali bicara sendiri, dan
ketika ditanya oleh perawat dengan siapa ia berbicara pasien belum mau
mengatakan isi halusinasinya. Pasien sering bertaka “tidak boleh” ketika akan
dilakukan tindakan pengobatan pada pasien seperti pemeriksaan tanda-tanda vital,
fisioterapi, perawatan diri, dan lain-lain.

Defisit Perawatan Diri


Dalam hasil penelitian Abdul Jalil (2015) dikatakan bahwa pasien skizofrenia yang
mengalami isolasi sosial juga akan mempersulit klien melakukan perawatan diri.
Hasil penelitian ini menunjukkan variabel isolasi sosial memberikan pengaruh
2,755 kali lipat dapat mempengaruhi terjadinya defisit perawatan diri. Diketahui
93,8% klien yang menunjukkan perilaku isolasi sosial juga mengalami penurunan
kemampuan perawatan diri. Kondisi isolasi sosial mengakibatkan klien fokus pada
dirinya dan kurang minat dalam kegiatan realita seperi perawatan diri, kecemasan
akan meningkat seiring dengan kognitif klien yang semakin tegang yang dapat
mempengaruhi emosionalnya. Hal ini dapat menurunkan rentang perhatian klien
terhadap realita termasuk dalam melakukan perawatan diri.
Pada saat pertama kali bertemu dengan pasien, pasien tampak tidak rapi, baju kotor,
rambut panjang dan berantakan, cara makan yang tidak baik dan BAB BAK kurang
tepat.
3. Tahap Perencanaan Tindakan Keperawatan
Tahap perencanaan yang telah direncanakan untuk pasien meliputi tiga
diagnosa utama yaitu:
a. Isolasi sosial
Identifikasi penyebab isolasi sosial
Identifikasi tanda dan gejala isolasi sosial
Idenntifikasi keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak bersosialisasi
Ajarkan klien berkenalan dengan satu orang
Melatih klien berinteraksi dengan perawat dan teman/orang lain
Klien menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan perawat lain dan orang
lain
Memberikan reinforcement positif terhadap kemampuan klien
b. Halusinasi
Identifikasi isi, jenis, frekuensi halusinasi
Identifikasi respon klien saat halusinasi muncul
Ajarkan cara mengontrol halusinasi : menghardik
Ajarkan pasien mengontrol halusinasi : minum obat
Ajarkan pasien mengontrol halusinasi : bercakap-cakap
Ajarkan pasien mengonrtrol halusinasi: aktivitas terjadwal

c. Defisit Perawatan Diri


Identifikasi masalah perawatan kebersihan diri
Jelaskan pentingnya menjaga perawatan diri
Identifikasi kemampuan merawat diri
Ajarkan cara perawatan diri: mandi
Ajarkan cara perawatan diri : berdandan
Ajarkan cara perawatan diri : makan dan minum yang baik
Ajarkan cara perawatan diri : BAB dan BAK yang baik

4. Tahap Implementasi
Pada tahap implementasi perawat mengalami kesulitan untuk menerapkan
semua tindakan yang direncanakan karena pasien masih belum kooperatif, namun
setelah beberapa kali pertemuan pasien mulai kooperatif pada perawat. Pasien
mulai mau menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat, berkenalan
dengan 2-3 orang perawat dan berbincang sedikit dengan perawat meskipun
pembicaraannya melantur dan kurang terarah. Perawat memberikan reinforcement
positif pada pasien atas kemampuan yang telah dicapai. Menurut Maftuhah dan
Noviekayati (2020) penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam berinteraksi
dan membangun komunikasi efektif dengan orang-orang disekitarnya karena
merasa ditolak oleh lingkungan sehingga menarik diri dari lingkungan sosial.
Kemampuan interaksi sosial penderita skizofrenia meningkat setelah diberikan
terapi dengan teknik reinforcement positif kecenderungan stabilitas menunjukkan
arah dari variable menuju stabil. teknik reinforcement positif di berikan dengan
metode behavior terapi dengan tujuan merubah perilaku subyek yang semula
menarik diri dari lingkungan sosial menjadi lebih terbuka dalam menjalin interaksi
sosial.
Pada implementasi keperawatan halusinasi, perawat belum dapat
mengidentifikasi jenis, isi, frekuensi halusinasi, dan respon pasien saat halusinasi
muncul. Pasien belum mau mengatakan isi halusinasinya ketika ditanya oleh
perawat. Pasien hanya berkata “tidak boleh” dalam bahasa jawa.
Selanjutnya pada implementasi defisit perawatan diri, saat ini pasien sudah
mau mandi meskipun belum memakai shampoo, pasien berdandan seperti menyisir
rambut dan memakai bedak dibantu oleh perawat. Saat ini pasien sesekali dapat
makan secara mandiri, namun masih harus dibantu oleh perawat. Untuk kegiatan
toileting pasien beberapa kali mampu melakukan secara mandiri namun terkadang
harus dibantu oleh perawat atau teman seruangannya. Penampialan pasien saat ini
sudah lebih baik dari sebelumnya pakaian bersih, rambut rapi, dan mulai mampu
makan dan melakukan kegiatan toileting secara mandiri.

5. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan isolasi sosial, pada hari ke 17 perawatan
pasien mulai mau untuk berinteraksi dengan 2-3 orang perawat dan pasien mau
untuk menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat. Namun pasien belum
mampu memahami penyebab isolasi sosial, tanda dan gejala isolasi sosial,
keuntungan bersosialisasi serta kerugian tidak bersosialisasi.
Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan halusinasi, pada hari ke 17 perawatan
pasien tampak sesekali bicara sendiri, bicara melantur, dan belum mau mengatakan
isi halusinasinya. Pasien belum mampu menerapkan cara mengontrol halusinasi
dengan menghardik, bercakap-cakap dan aktivitas terjadwal. Saat ini pasien dibantu
oleh perawat dalam meminum obat.

6. Terapi Yang Dapat Dilakukan pada Pasien Skizofrenia Hebefrenik dan


Isolasi Sosial
Ada beberapa terapi dan metode yang dapat diterapakan pada pasien
skizofrenia hebefrenik dan Isolasi Sosial berdasarkan hasil riset dan penelitisn.
Antara lain:
Penerapan Social Skill Training Dengan Menggunakan Pendekatan Teori
Hildegard Peplau Terhadap Penurunan Gejala Dan Kemampuan Pasien
Isolasi Sosial
Penerapan Terapi Social Skill Training merupakan terapi yang digunakan
untuk mengatasi masalah isolasi sosial pasien skizofrenia. Kemampuan personal
yang harus dimiliki klien meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa klien harus
mempunyai kemampuan dalam mengatasi masalahnya meliputi kemampuan
mengenal atau mengidentifikasi masalah, menentukan masalah yang akan diatasi,
dan kemampuan menyelesaikan masalahnya.
Asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial dengan pemberian Social Skill
Training (SST) menggunakan proses keperawatan yang meliputi pengkajian,
penegakan diagnosa keperawatan, menetapkan rencana tindakan keperawatan,
melakukan tindakan keperawatan dan melakukan evaluasi terhadap hasil dari
tindakan yang sudah dilakukan. Social Skill Training (SST) bertujuan untuk
meningkatkan ketrampilan interpersonal klien maupun menjalin persahabatan pada
orang lain dengan cara melatih ketrampilan yang selalu digunakan dalam
berhubungan dengan orang lain dan lingkungan.
Aplikasi teori interpersonal Peplau digunakan dalam melakukan asuhan
keperawatan dengan tujuan dapat membantu meningkatkan keterampilan kognitif,
perilaku dan berkomunikasi pada klien isolasi sosial (Peplau, dalam Jek Amidos,
dkk. 2020). Model teori Peplau menggunakan 4 fase dari hubungan perawat dan
klien yaitu orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi (Aligood, dalam Jek
Amidos, dkk. 2020). Fase orientasi lebih difokuskan untuk membantu klien
menyadari ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat
untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian asuhan keperawatan pada
klien.
Perawat harus menempatkan klien dengan penuh perasaan dan secara sopan
serta menerima keberadaan klien apa adanya sebagai manusia yang utuh Fase ini
diharapkan klien menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan atau bantuan
dari perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat menolong
dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah klien (Peplau, dalam
Jek Amidos, dkk. 2020)

Expressive Writing Therapy dan Kemampuan Pengungkapan Emosi Pasien


Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik menekan fungsi normal seperti apatis dan aktivitas sosial
yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas intervensi expressive
writing therapy untuk meningkatkan kemampuan pengungkapan emosi kepada
klien skizofrenia hebefrenik. expressive writing therapy cukup efektif sebagai
media untuk meningkatkan kemampuan pengungkapan emosi dan perasaan yang
terpendam. Hal ini bisa diketahui dari hasil sebelum dan sesudah pemberian
expressive writing therapy. Sebelum diberikan terapi, subjek merasa tidak mampu
mengungkapkan atau bercerita tentang apa yang dirasakan kepada orang lain.
Secara teoritis, expressive writing therapy adalah suatu cara atau upaya pemindahan
pikiran dan perasaan yang mendalam mengenai peristiwa yang menimbulkan emosi
pada seseorang ke dalam bentuk lambang bahasa melalui tulisan tangan.
Dukungan keluarga merupakan faktor utama bagi subjek karena diharapkan
mampu membantu proses pemulihannya. Salah satunya dengan cara memberikan
perhatian yang cukup kepada subjek dan memberikan ia kesempatan untuk
mengutarakan atau menyampaikan isi pikirannya. Ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan apabila melakukan expressive writing therapy yaitu tempat, waktu
pelaksanaan intervensi yang kurang panjang, karakteristik dan kesediaan subjek
dalam melakukan proses intervensi (Risna dan Tatik, 2020).

Terapi Kognitif Terhadap Kemampuan Interaksi Pasien Skizofrenia Dengan


Isolasi Sosial

Banyak pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial. Hal ini
disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk melaksanakan peran sesuai
dengan tugasnya karena mengalami gangguan jiwa, juga lingkungan yang kurang
bisa menerima (Rani, ddk. 2020). Perilaku ketidakmampuan dalam berinteraksi
merupakan percobaan menghindari hubungan dengan orang lain. Dimana individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak bisa berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain sebagaimana
mestinya dalam kehidupan sehari-hari, membuat seseorang cenderung berpikir
negatif tentang dirinya dan lingkungannya. Sehingga orang menjadi menarik diri,
malas beraktifitas, tidak mampu mengatasi masalah, rasa malu dan bersalah yang
berlebihan, yang berakibat pada isolasi sosial (Anityo, 2013).
Adanya terapi kognitif mempengaruhi kemampuan dalam melakukan interaksi
dengan orang lain. Sehingga responden tidak apatis, wajah berseri, peduli akan
dirinya saat berinteraksi, ekspresi tidak terlihat murung, tidak menghindar dari
orang lain, ada kontak mata, dan tidak menunduk, tidak berdiam diri pada tempat
terpisah, mampu berhubungan dengan orang lain, sudah adanya respon saat
berinteraksi, serta komunikasi ada. Proses terapi kognitif bertujuan untuk
mengubah keyakinan yang tidak rasional dan mengubah fungsi berpikir pasien
kearah yang positif dan akhirnya menimbulkan perasaan yang menyenangkan
(Rani, ddk. 2020).
Menurut Berhimpong (2016), mengatakan bahwa terapi kognitif memberikan dasar
pikiran pada pasien untuk mengerti masalahnya, memiliki kata-kata untuk
menyatakan dirinya serta mampu mengatasi keadaan yang sulit. Terapi kognitif
juga salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada patologi jiwa dimana
berfokus pada tindakannya berdasarkan modifikasi distorsi kognitif dan perilaku
maladaptif. Dalam proses pelaksanaan terapi kognitif melibatkan perhatian dan
kesungguhan pasien dalam mengikuti terapi ini. Kemampuan berinteraksi pasien
skizofrenia dengan masalah isolasi sosial sebelum dilakukan terapi kognitif
mayoritas tidak mampu berinteraksi. Kemampuan berinteraksi pasien skizofrenia
dengan masalah isolasi sosial setelah dilakukan terapi kognitif mayoritas mampu
berinteraksi. Kemudian ada pengaruh signifikan terapi kognitif terhadap
kemampuan berinteraksi pasien skizofrenia dengan masalah isolasi sosial (Rani,
ddk. 2020).

Psikoterapi Suportif Pada Penderita Skizofrenia Hebefrenik

Penelitian yang dilakukan Anisa (2018) menunjukkan bahwa psikoterapi


suportif dapat membantu penderita skizofrenia hebefrenik mempersiapkan diri
untuk kembali menjalankan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat
perubahan dalam aspek pikiran, perasaan, dan perilaku yang lebih adaptif sehingga
dapat menurunkan kemungkinan kekambuhan. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa psikoterapi suportif akan lebih efektif jika melibatkan peran
keluarga secara aktif.
Menurut (Ibrahim, dalam Anisa. 2018), tipe skizofrenia hebefrenik seringkali
ditandai dengan adanya regresi yang dapat dilihat secara langsung, munculnya
perilaku-perilaku primitif dan perilaku yang tidak teratur. Penderita skizofrenia
hebefrenik seringkali terlihat aktif, tertawa tanpa alasan, menyeringai, akan tetapi
perilakunya tidak konstruktif dan tampak tidak memiliki tujuan. Isi pikir dan arus
pikirnya sangat terdisorganisasi, terlihat sangat menonjol dan kemampuan kontak
dengan kenyataan cenderung buruk.
Terapi suportif adalah bentuk psikoterapi yang dapat diterapkan secara
individu maupun kelompok. Tujuan dari terapi ini adalah untuk melakukan evaluasi
diri, melihat kembali cara menjalani hidup, eksplorasi berbagai pilihan yang ada,
dan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri terkait halhal yang diinginkan di masa
depan (Palmer, 2011). Terapi suportif berupaya untuk membantu agar subjek dapat
menjalankan fungsinya secara lebih efektif dengan cara memberikan dukungan
secara personal. Terapis tidak meminta subjek berubah, akan tetapi terapis berperan
sebagai pendamping. Terapis mendorong subjek untuk melakukan refleksi situasi
terhadap kehidupan mereka di lingkungan.
Beberapa kegiatan dapat digunakan untuk memperkuat subjek saat
menghadapi tekanan, seperti kegiatan mengekspresikan pikiran dan perasaan.
Terapis juga akan membantu subjek agar mendapatkan pemahaman yang lebih baik
mengenai situasi dan berbagai alternatif yang ada serta membantu meningkatkan
ketahanan dan harga diri. Subjek akan didorong untuk mencapai
harapanharapannya. Subjek juga dibantu untuk dapat membuat keputusan dan
beradaptasi dengan lingkungan atau situasi-situasi yang mungkin mengecewakan
dan tidak sesuai dengan harapan. Sebelum melaksanakan proses terapi, terapis akan
melakukan asesmen mendalam terhadap latar belakang dan perilaku subjek. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan saling percaya antara terapis dan subjek sangatlah
penting. Terapi suportif ini dapat diberikan dalam jangka panjang maupun jangka
pendek. Banyaknya sesi terapi yang dibutuhkan tergantung pada keadaan dan
tingkat permasalahan (Mutiara, 2017).

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Skizofrenia Hebefrenik adalah sindrom heterogen yang ditandai dengan


pola fikir yang tidak teratur. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses
berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersenalisasi dan sering terdapat, waham,
halusinasi serta menarik diri. Menarik diri adalah suatu keadaan pasien yang
mengalami ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain
atau dengan lingkungan di sekitarnya secara wajar dan hidup dalam khayalan sendiri.

Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi


akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam dalam hubungan sosial
(Depkes RI, 2000).

Pada tahap pengkajian data didapatkan dari rekam medic pasien dan dari
kondisi pasien. Penyusun sedikit mendapat kesulitan dalam mendapatkan data dari
keluarga karena keluarga jarang berkunjung dan pasien kurang kooperatif dengan
perawat maupun petugas kesehatan lain. Adapun upaya yang dilakukan dalam
melakukan pengkajian tersebut adalah: Melakukan pendekatan dan membina
hubungan slaing percaya pada pasien agar pasien lebih terbuka dan lebih percaya
kepada perawat.

Perawat menggunakan teknik komunikasi terapeutik dan pendekatan


komunikasi berbasis budaya pada pasien. Pasien selalu menggunakan bahasa jawa
untuk berkomunikasi, setelah beberapa kali mencoba berinteraksi dengan pasien
menggunakan bahasa jawa pasien mau menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari
perawat.
Pada kasus ini perawat menegakkan tiga diagosa gangguan jiwa yang utama yaitu:
a. Isolasi sosial
Selama pengkajian pasien kurang kooperatif tetapi setelah melakukan
pertemuan beberapa kali klien mulai kooperatif meskipun hanya mau
menjawab beberapa pertanyaan sederhana, serta ditemukan adanya tanda
dan gejala isolasi sosial sesuai dengan tanda gejala dalam teori yang telah
dibahas di bab II dimana salah satunya klien malas berinteraksi dengan
orang lain, klien lebih banyak diam tidak mau berkomunikasi dengan
orang lain, kontak mata kurang, klien kurang spontan, berbicara dengan
suara rendah dan lambat, mengisolasi diri, klien tidak bersemangat, klien
juga menolak tindakan pemeriksaan kesehatan seperti pemeriksaan tanda-
tanda vital. Namun setelah beberapa kali pertemuan pasien mau dilakukan
pemeriksaan kesehatan.
b. Halusinasi
Kondisi pasien saat ini adalah pasien tampak sesekali bicara sendiri, dan
ketika ditanya oleh perawat dengan siapa ia berbicara pasien belum mau
mengatakan isi halusinasinya. Pasien sering bertaka “tidak boleh” ketika
akan dilakukan tindakan pengobatan pada pasien seperti pemeriksaan
tanda-tanda vital, fisioterapi, perawatan diri, dan lain-lain.
c. Defisit Perawatan Diri
Pada saat pertama kali bertemu dengan pasien, pasien tampak tidak rapi,
baju kotor, rambut panjang dan berantakan, cara makan yang tidak baik
dan BAB BAK kurang tepat.

Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan isolasi sosial, pada hari ke 17 perawatan
pasien mulai mau untuk berinteraksi dengan 2-3 orang perawat dan pasien mau untuk
menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat. Namun pasien belum mampu
memahami penyebab isolasi sosial, tanda dan gejala isolasi sosial, keuntungan
bersosialisasi serta kerugian tidak bersosialisasi.
Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan halusinasi, pada hari ke 17 perawatan
pasien tampak sesekali bicara sendiri, bicara melantur, dan belum mau mengatakan isi
halusinasinya. Pasien belum mampu menerapkan cara mengontrol halusinasi dengan
menghardik, bercakap-cakap dan aktivitas terjadwal. Saat ini pasien dibantu oleh perawat
dalam meminum obat.

B. SARAN
Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran bagi:
1. Rumah sakit
Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada klien jiwa dengan
seoptimal mungkin dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
2. Institusi Pendidikan
Memberikan kemudahan dalam pemakaian sarana dan prasarana yang
merupakan fasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan melalui praktek klinik dan pembuatan laporan
3. Penulis
Diharapkan penulis dapat menggunakan dan memanfaatkan waktu seefektif
mungkin, sehingga dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
gangguan jiwa dapat tercapai secara optimal

DAFTAR PUSTAKA

Anityo, A. (2013). Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Kemampuan Berinteraksi Pasien


Skizofrenia Dengan Solasi Sosial Di Rumah Sakit Jiwa Grhasia
Baihaqi, A. Z., Murdiana, S & Ridfah, A. (2017). Metode expressive writing untuk
menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Psikoislamedia
Jurnal Psikologi, 2(2), 146-154.
Baradero, M., Dayrit, M. W., Maratning, A. (2016). Kesehatan Mental Psikiatri. Jakarta:
EGC.
Berhimpong, E., Rompas, S., & Karundeng, M. (2016). Pengaruh Latihan Keterampilan
Sosialisasi Terhadap Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial Di Rsj Prof. Dr.
VL Ratumbuysang Manado. Jurnal Keperawatan, 4(1).
Hidayat, A., Aziz Alimul (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta: Salemba Medika
Ibrahim, H. Ayub Sani (2011). Skizofrenia: Splinting Personality. Tangerang: Jelajah Nusa.
Peplau, H.E. (1991). Interpersonal Relations in Nursing : A conceptual Frame of Reference
for Psychodynamic Nursing. Springer Publishing Company. New York
Stuart, Gail .W (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Alih bahasa: Ramona P. Kapoh, Egi
Komara Yudha. Jakarta: EGC
Stuart, G. W & Laraia, M. T.( 2005). Principles & Practice of Psychiatric Nursing (8th ed).
Philadelphia: Elsevier Mosby
Stuart, G. W. (2013). Principles & Practice of Psychiatric Nursing (10th ed) Philadelphia:
Elsevier Mosby
TIM POKJA SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
Dan Indikator Diagnositik. Jakarta : PPNI
Townsend, M. C. (2014). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of care
in evidence-based practice. (6th ed). Philadelphia: F.A Davis Company
Townsend, Mary C (2009). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri:
Rencana Asuhan & Medikasi Psikotropik. Edisi 5. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai