A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan, sehat jiwa tidak
hanya terbatas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh
semua orang. Kesehatan jiwa adalah hal yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh,
berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi
sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan (Yosep,
2009).
Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang di dasarkan
pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan
dengan proses psiko-sosial dan maladaftif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-
sosial, dengan menggunakan diri dan terapi keperawatan jiwa melalui pendekatan
proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan
memulihkan masalah kesehatan jiwa individu, keluarga, dan masyarakat (Purwanto,
2015).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan,
prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga.
Artinya, dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota
rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Di Lampung menurut Riskesdas
2018 menunjukkan prevalensi skizofrenia sebanyak 6,0 per 1000 rumah tangga,
artinya dari 1000 rumah tangga ada 6 rumah tangga yang memiliki anggota rumah
tangga yang mengidap skizofrenia atau psikosis.
Skizofrenia adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Menurut Nanci
Andreasen (2008) dalam Broken Brain, The Biological Revolution in Psychiatry,
bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia merupakan suatu hal yang
melibatkan banyak sekali faktor. Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur fisik
otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan mental berat yang melibatkan proses
pikir, emosi, dan tingkah laku yang ditandai dengan gangguan pikiran.Terdapat lima
tipe skizofrenia dianataranya tipe paranoid, tipe katatonik, tipe hebefrenik
(disorganized), tipe tak terinci (undifferentiated), tipe residual. Sebanyak 50%
penderita skizofrenia tidak memperoleh terapi pengobatan yang sesuai (WHO, 2011).
Skizofrenia hebefrenik adalah sindrom heterogen yang ditandai dengan pola
fikir yang tidak teratur. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauan dan adanya depersenalisasi dan sering terdapat, waham, halusinasi
serta menarik diri. Menarik diri adalah suatu keadaan pasien yang mengalami
ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain atau dengan
lingkungan di sekitarnya secara wajar dan hidup dalam khayalan sendiri.
Menurut Maramis (2009), seseorang yang terdiagnosa skizofrenia hebefrenik
atau yang biasa disebut tak terorganisir memiliki gejala tingkah laku kacau,
pembicaraan kacau, afek datar, serta adanya disorganisasi tingkah laku. Hal ini tentu
saja akan menghancurkan kondisi penderita baik fisik juga psikologis.
Upaya optimalisasi penatalaksanaan klien dengan skizofrenia dalam
menangani gangguan menarik diri (isolasi sosial) dirumah sakit antara lain melakukan
penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok dan melatih
keluarga untuk merawat pasien dengan isolasi sosial. Standar Asuhan Keperawatan
mencakup penerapan strategi pelaksanaan isolasi sosial. Strategi pelaksanaan pada
pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal isolasi sosial, mengajarkan pasien
untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain atau keluarga (Keliat
dkk, 2010). Kasus skizofrenia hebefrenik merupakan salah satu jenis skizofrenia yang
cukup langka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siti dan Dyah (2016)
menyebutkan bahwa prevalensi psikosis tertinggi di Aceh dan Yogyakarta masing-
masing 2,7% sedangkan terendah di Kalimantan barat sebesar 0,7%. Ditinjau dari
diagnosa atau jenis skizofrenia, jenis skizofrenia paranoid sebanyak 40,8% kemudian
diikuti dengan skizofrenia residual sebanyak 39,4%, skizofrenia hebefrenik sebanyak
12%, skizofrenia katatonik sebanyak 3,5%, skizofrenia tak terenci sebanyak 2,1%,
skizofrenia lainnya 1,4% dan yang paling sedikit adalah skizofrenia simpleks
sebanyak 0,7%. Di ruang melati RSJD Lampung terdapat pasien dengan kasus
skizofrenia hebefrenik, pasien sudah pernah dirawat di Rumah sakit jiwa salah satu di
Jawa dinyatakan membaik dan pulang dirawat oleh keluarganya namun kondisi pasien
kembali menurun setelah berhenti minum obat. Oleh karenanya mahasiswa tertarik
untuk mendiskusikan tentang kasus tersebut dengan masalah keperawatan isolasi
sosial dan diagnosa medis skizofrenia hebefrenik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dirumuskan masalah yaitu
“Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah Utama
Isolasi Sosial Dengan Diagnosa Medis Skizofrenia Hebefrenik Di Ruang Melati RSJ
Daerah Provinsi Lampung.”
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaksanakan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah Utama
Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan Pengkajian Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan
Masalah Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi
Lampung.
b. Menetapkan Diagnosis Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
c. Menyusun Intervensi Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
d. Melaksanakan Tindakan Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
e. Melaksanakan Evaluasi Keperawatan Jiwa Pada Ny.N Dengan Masalah
Utama Isolasi Sosial Di Ruang Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis study kasus ini adalah untuk pengembangan ilmu keperawatan
jiwa terkait asuhan keperawatan pada klien yang mengalami skizofrenia
hebefrenik dengan masalah isolasi sosial.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi dan referensi sebagai bahan pertimbangan untuk
meningkatkan asuhan keperawatan jiwa dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan pada klien yang mengalami skizofrenia
hebefrenik dengan masalah isolasi sosial.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Skizofrenia
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik,
fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
2. Penyebab
a. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-
1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua
yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu
telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).
b. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,
tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat,
ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun
serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun.
Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
d. Susunan Saraf Pusat
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon atau
kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh
perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
e. Teori Adolf Meyer :
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang tidak
dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP
tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior atau penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer
Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi, sehingga
timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut menjauhkan
diri dari kenyataan (otisme).
f. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab
psikogenik ataupun somatik (2) superego dikesampingkan sehingga tidak
bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme
dan (3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
g. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu jiwa
yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir,
perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi 2 kelompok
yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan
kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala katatonik
atau gangguan psikomotorik yang lain).
h. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-
macaam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi,
tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan
penyakit lain yang belum diketahui.
i. Ringkasan
Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan
bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang
menjadikan manifest atau faktor pencetus (presipitating factors) seperti penyakit
badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak menyebabkan Skizofrenia,
walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu penyakit Skizofrenia yang sudah ada
tidak dapat disangkal.( Maramis, 1998;218 ).
3. Pembagian Skizofrenia
Kraepelin membagi Skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama
antara lain :
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa kedangkalan
emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir sukar ditemukan,
waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja
atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauaan dan adaanya depersenalisasi atau double personality.
Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-
kanakan sering terdapat, waham dan halusinaasi banyak sekali.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau
stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang menyolok ialah waham primer, disertai dengan waham-waham
sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya
gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan.
e. Episode Skizofrenia akut
Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan
mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan
seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan
mempunyai suatu arti yang khusus baginya.
f. Skizofrenia Residual
Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya
gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
Skizofrenia.
g. Skizofrenia Skizo Afektif
Disamping gejala Skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaaan juga gejala-
gejal depresi (skizo depresif) atau gejala mania (psiko-manik). Jenis ini
cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek, tetapi mungkin juga timbul
serangan lagi.
B. Konsep Dasar Skizofrenia Hebefrenik
1. Pengertian
Skizofrenia hebefrenik disebut disorganized type atau “kacau balau” yang ditandai
dengan inkoherensi, afek inappropriate, perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, yang
terpecah-pecah, dan perilaku aneh seperti menyeringai sendiri, menunjukkan
gerakan-gerakan aneh, mengucap berulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik
diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
2. Etiologi
Etiologi Skizofrenia Hebefrenik pada umumnya sama seperti etiologi skizofrenia
lainnya. Dibawah ini beberapa etiologi yang sering ditemukan:
a.Faktor Predisposisi
1) Faktor Genetis
2) Faktor Neurologis
3) Psikologis
b.Faktor Prespitasi
1) Berlebihannya proses inflamasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di saraf terganggu.
3) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap dan
perilaku.
3. Tanda dan Gejala
Pada Skizofrenia Hebefrenik kita dapat melihat tanda dan gejala yang khas, antara
lain;
a. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya.
b. Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau ketolol-tololan.
c. Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa puas
diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
d. Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi sebagai suatu
kesatuan.
e. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi sebagai
satu kesatuan.
f. Gangguan proses berfikir
g. Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan
aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan cenderung untuk
menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
Beberapa tanda dan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien-pasien
Skizofrenia Hebefrenik adalah,
Waham
Halusinasi
Siar pikiran
4. Batasan
Skizofrenia Hebefrenik merupakan salah satu tipe skizofrenia yang mempunyai ciri ;
a. Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman
bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya
stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi
akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
percaya diri dan dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting
dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.
3) Faktor biologis
9. Pohon masalah
Isolasi Sosial
a. Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stresor kadang-
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.
3. Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi
Stuart (2009) mendefinisikan stressor predisposisi sebagai faktor risiko yang
menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari
individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikologis dan sosial
kultural.
1) Biologis, terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari
neurotransmitternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya
gangguan adalah pada perlaku maladaptif klien (Townsend. 2005).
2) Psikologis
a) Konsep diri, mulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang diterima
secara positif atau negatif oleh seseorang.
b) Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengenal siapa
dirinya dengan segala keunikannya, dan mampu menghargai dirinya
sendiri.
c) Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang, pengalaman
dan interaksi dengan lingkungan.
d) Kepribadian, pada klien defisit perawatan diri biasnaya ditemukan klien
memiliki kepribadian yang tertutup.
e) Moralitas, klien defisit perawatan diri menganggap dirinya tidak beguna,
negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalmai penuruan
motivasi untuk melakukan aktifitas perawatan diri.
3) Sosial Budaya
a) Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya
sarana dan prasarana, tidak adekuatnya nutrisi, rendahnya pemenuhan
kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya.
b) Tahap perkembangan, pelajaran kebersihan dari orang tua yang meliputi
kebiasaan keluarga.
c) Pengetahuan tentang pentingnya kebersihan diri dan implikasinya bagi
kesehatan mempengaruhi kebersihan diri.
d) Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi
mempengaruhi perawatan diri.
e) Motivasi, setiap orang memliki keinginan dan pilihan tentang waktu untuk
mandi, bercukur dan melakukan perawatan rambut sesuia dengan
kebutuhan.
f) Kondisi fisik, orang yang mengalami atau menderita penyakit tertentu atau
yang akan menjalani operasi seringkali kekurangan energi fisik atau
ketangkasan untk melakukan perawatan kebersihan diri.
b. Faktor Presipitasi
Stuart (2009) mendefinisikan stressor presipitasi sebagai suatu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suati kesempatan,
tantangan, ancaman/tuntutan. Komponennya :
1) Sifat stressor, terjadinya defisit perawatan diri berdasarkan sifat terdiri dari
biologis (infeksi, peny. kronis), psikologis (intelegensi, verbal, moral,
kepribadian), dan sosial budaya (tuntutan masy. yang tidak sesuai dengan
kemampuan seseorang).
2) Asal stressor, terdiri dari internal dan eksternal. Stressor internal atau yang
berasal dari diri sendiri seperti persepsi individu yang tidak baik tentang
dirinya, orang lain dan lingkungan, merasa tidak mampu, ketidakberdaya.
3) Waktu, dilihat sebagai dimensi kapan stressor mulai terjadi dan beberapa lama
terpapat stressor sehingga menyebabkan munculnya gejala.
4) Lama dan jumlah stressor yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa
lama, berapa kali kejadiannya, serta jumlah stressor.
4. Penilaian Terhadap Stressor
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman
dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkunga yang
penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan
kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang lain yang
menimbulkan rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi
yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu
menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa man itu tidak tercapai. Hal ini
menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan diri dengan
kenyataan. Keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami
suatu ketidakmampuan dalam menangani stressor internal atau lingkungan dengan
adekuat karena ketidakadekuatan umber-sumber (fisik, psikologis, perilaku atau
kognitif).
5. Sumber Koping
Herdman (2012), kemampuan individu yang harus dimilki oleh klien defisit
perawatan diri adlah kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri dalam hal
pemenuhan kebutuhan mandi, berhias, makan dan minum, serta toileting. Sedangkan
pada klien yang sangat mempengaruhi dalam kemampuan perawatan diri dan
keterbatasan fisik serta ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
6. Mekanisme Koping
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi perumbuhan, belajar dan
menbapai tujuan.
b. Mekanisme koping mal adaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integras memecahkan pertumbuhan,
menurunkan otonoms dan cenderung menguasai lingkungan.
7. Tanda Gejala
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor
2) Rambut dan kulit kotor
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif
2) Menarik diri, isolasi diri
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi dan kegiatan kurang
2) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
3) Cara makan tidak teratur
4) BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu
mandiri.
8. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1) Obat anti psikosis : Penotizin
2) Obat anti depresi : Amitripilin
3) Obat anti ansietas : Diasepam, Bromozepam, Clobozam
4) Obat anti insomnia : Phneobarbital
b. Terapi
1) Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi masalah klien
dengan memberikan perhatian seperti BHSP, Jangan memancing emosi klien,
Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga, Berikan
kesempatan klien mengemukakan pendapat, Dengarkan , bantu dan anjurkan
pasien untuk mengemukakan masalah yang dialaminya.
2) Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, ketrampilan sosial, atau aktivitas
lain dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan keadaan klien
karena masalah sebagian orang merupkan perasaan dan tingkah laku pada
orang lain.
3) Terapi musik
Dengan musik klien terhibur, rileks dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran pasien.
9. Pohon Masalah
Intoleransi Aktivitas
Data yang didapat melalui observasi atau pemeriksaan langsung di sebut data
obyektif, sedangkan data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga
melalui wawancara perawatan disebut data subyektif. Saat pengkajian dilakukan
pendekatan dan harus membina hubungan saling percaya pada pasien agar pasien lebih
terbuka dan lebih percaya kepada perawat.
Perawat dapat menggunakan teknik komunikasi terapeutik melalui pendekatan social,
agama, ataupun budaya pada pasien. Menurut Putu gede (2017) pentingnya memadukan
prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa berbasis budaya lokal, sudah sepatutnya perawt
dapat menggunakan prinsip-prinsip tersebut dengan baik sehingga proses penyembuhan
pasien berjlangsung dengan kondusif.
Dari data yang dikumpulkan, perwatan langsung merumuskan masalah
keperawatan pada setiap kelompok data yang trkumpul. Umumnya sejumlah masalah
klien saling saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah
(Fasio, 1983 dan INJF, 1996). Agar penentuan pohon masalah dapat di pahami
dengan jelas, penting untuk diperhatikan yang terdapat pada pohon masalah :
Penyebab (kausa), masalah utama (care problem) dan effect (akibat). Masalah utama
adalah prioritas masalah klien dari beberapa masalah yang dimiliki oleh klien.
Umumnya masalah utama berkaitan erat dengan alasan masuk atau keluhan utama.
Penyebab adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang menyebabkan masalah
utama. Akibat adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang merupakan efek /
akibat dari masalah utama. Pohon masalah ini diharapkan dapat menudahkan perawat
dalam menyusun diagnosa keperawatan
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Townsend dan Mary C (2009) Diagnosa yang dapat muncul adalah
a. Isolasi sosial: menarik diri
b. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
c. Sindrom defisit perawatan diri
d. Harga diri rendah
e. Perubahan perilaku kekerasan
f. Gangguan pola tidur
3. Intervensi Keperawatan
Tujuan Umum :
Klien mampuan merawat diri sehingga penampilan diri menjadi
3 Difisit perawatan di-ri
adekuat
berhubungan de-ngan
Tujuan Khusus :
koping indivi-du tidak
1. klien dapat mengindentifikasi kebersihan diri
efektif
a. Dorong klien mengungkakan perasaan tentang keadaan dan
kebersihan dirinya.
b. Dengan ungkapan klien dengan penuh perhatian dan
empati.
c. Beri pujian atas kemapuan klien mengungkapkan perasaan
tentang kebersihan dirinya.
d. Diskusi dengn klien tentang pentingnya kebersihan diri
e. Diskusikan dengan klien tujuan kebersihan diri
2. Klien dapat melakuakn perawatan diri
a. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : mandi
b. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : berhias
c. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : makan dan
minum yang baik
d. Diskusikan dengan klien cara perawatan diri : BAB dan
BAK yang baik
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatuskesehatan
yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan
yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal
dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
G. Penelitian Terkait
Ada beberapa penelitian terkait terapi yang dapat diterapakan pada pasien skizofrenia
hebefrenik dan Isolasi Sosial, diantaranya adalah :
1. Penelitian oleh Jek Amidos Pardede, Achir Yani Syuhaimie Hamid dan Yossie
Susanti Eka Putri pada tahun 2020. penelitian ini membahas tentang penerapan social
skill training dengan menggunakan pendekatan teori hildegard peplau terhadap
penurunan gejala dan kemampuan pasien isolasi social. Karya Ilmiah Akhir ini
bertujuan memberikan gambaran manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada
klien isolasi sosial melalui pendekatan konsep teori Hildegrad Peplau di Ruang
Arimbi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Metode yang digunakan adalah
analisis terhadap penerapan manajemen kasus pasien isolasi sosial menggunakan
pendekatan konsep teori Hildegard Peplau di Ruang Arimbi Rumah Sakit dr Marzoeki
Mahdi Bogor pada 32 pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah Social
Skill Training efektif dalam menurunkan gejala dan meningkatkan kemampuan pasien
isolasi sosial yang ditunjukkan melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan social
2. Berikutnya adalah penelitian oleh Risna Amalia1 dan Tatik Meiyuntariningsih tahun
2020. Penelitian ini membahas tentang penerapan Expressive Writing Therapy dan
Kemampuan Pengungkapan Emosi Pasien Skizofrenia Hebefrenik. Skizofrenia
hebefrenik menekan fungsi normal seperti apatis dan aktivitas sosial yang buruk.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas intervensi expressive writing
therapy untuk meningkatkan kemampuan pengungkapan emosi kepada klien
skizofrenia hebefrenik. Subjek berjenis kelamin laki-laki yang berusia 45 tahun dan
mengalami skizofrenia hebrefenik selama satu tahun. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa expressive writing therapy efektif digunakan sebagai media
mengungkapkan perasaan atau emosi subjek, serta pelepasan emosi negatif yang
dimiliki. Rencana tindak lanjut setelah intervensi tetap diberikan, subjek diarahkan
agar mampu menyalurkan emosinya dan mengungkapkan perasaannya. Selain itu
keluarga diharapkan untuk terus memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh
subjek dengan terus memotivasinya.
3. Sekanjutnya penelitian oleh Rani Kawati Damanika, Jek Amidos Pardede, Licy
Warman Manalu tahun 2020. Penelitian ini membahas tentang Terapi Kognitif
Terhadap Kemampuan Interaksi Pasien Skizofrenia Dengan Isolasi Sosial.
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami perilaku
menarik diri, serta penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain, terutama untuk mengungkapkan dan mengonfirmasi perasaan
negatif dan positif yang dialaminya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pasien
dalam kemampuan berinteraksi, maka dibutuhkan terapi, salah satunya terapi
kognitif.Terapi kognitif diperuntukkan kepada seseorang yang mengalami kesalahan
dalam berpikir yang terjadi pada pasien isolasi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh terapi kognitif terhadap kemampuan berinteraksi pasien
skizofrenia dengan masalah isolasi sosial di RSJ Prof. Dr.Muhammad Ildrem Medan
Tahun 2019. Desain penelitian ini adalah Quasi Experimental one group pre-post test
design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia dengan masalah
isolasi sosial. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
purposive sampling yang dilakukan dengan mengambil sampel sesuai dengan kriteria
peneliti dengan menggunakan screening isolasi sosial, sehingga didapatkan sejumlah
22 pasien. Berdasarkan hasil uji mc-neymar diperoleh hasil p value = 0.001 (p<0.05),
sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi kognitif terhadap kemampuan
berinteraksi pasien skizofrenia dengan masalah isolasisosial di RSJ Prof.Dr.
Muhammad Ildrem Medan tahun 2019. Diharapkan kepada pasien skizofrenia dengan
masalah isolasi sosial, mampu mengubah pikiran negatif menjadi positif,
meningkatkan aktivitas serta mampu berinteraksi dengan baik setelah melaksanakan
terapi kognitif dengan baik dan teratur.
4. Yang terakhir penelitian oleh Anisa Fitriani tahun 2018. Penelitian ini membahas
tentang penerapan Psikoterapi Suportif Pada Penderita Skizofrenia Hebefrenik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas psikoterapi suportif pada
penderita skizofrenia hebefrenik. Skizofrenia hebefrenik memiliki onset awal. Gejala-
gejala dapat muncul dari usia remaja atau dewasa awal yang merupakan usia produktif
untuk memulai mempersiapkan berbagai peran bagi masa depan. Prognosis seringkali
lebih buruk dibandingkan dengan tipe lain jika tidak mendapatkan penanganan secara
tepat.. Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimen kasus tunggal dengan
seorang subjek laki-laki yang didiagnosis mengalami skizofrenia hebefrenik dan telah
mengalami kekambuhan sebanyak tiga kali. Data diperoleh dengan metode observasi,
wawancara mendalam, tes psikologi, dan pengukuran kondisi subjek antara sebelum
dan sesudah menjalani psikoterapi suportif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
psikoterapi suportif dapat membantu penderita skizofrenia hebefrenik mempersiapkan
diri untuk kembali menjalankan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat
perubahan dalam aspek pikiran, perasaan, dan perilaku yang lebih adaptif sehingga
dapat menurunkan kemungkinan kekambuhan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa psikoterapi suportif akan lebih efektif jika melibatkan peran keluarga secara
aktif.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Meninggal
V. PERSEPSI KESEHATAN
Pasien mengatakan bahwa ketika diajak ke rumah sakit pasien hanya diajak oleh
keluarga untuk beristirahat dan tidak tahu
Masalah keperawatan : koping individu tidak efektif
VIII. PSIKOSOSIAL
1. Konsep Diri
a. Citra tubuh
Belum dapat dikaji pasien non kooperatif
Masalah keperawatan : tidak ditemukan masalah
b. Identitas diri
Belum dapat dikaji pasien non kooperatif
Masalah keperawatan : tidak ditemukan masalah
c. Peran:
Pasien adalah seorang ibu dari seorang anak perempuan yang berusia 17
tahun, namun pasien terpisah dengan anaknya sejak anaknya berusia 3 tahun.
Saat ini anaknya tinggal bersama mantan suaminya dan keluarga mengatakan
pasien tidak pernah bertemu dengan anaknya. Ketika ditanya tentang anaknya
pasien hanya diam dan tampak bingung.
2. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan
Keluarga mengatakan orang dengan gangguan jiwa masih dikucilkan tempat
tinggalnya sehingga pasien dikurung
b. Kegiatan ibadah
Keluarga mengatakan pasien tidak pernah beribadah
3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti : ibunya
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat/sekolah : pasien
mengatakan tidak pernah ikut dalam kegiatan dimasyarakat atau kelompok
dirumah
c. Hambatan dalam hubungan dengan orang lain : pasien mengatakan tidak
terlalu suka berbicara dengan orang.
Masalah Keperawatan : Gangguan interaksi sosial
1. STATUS MENTAL
1. Penampilan
£ Bersih Tidak rapi £ Cara berpakaian tidak seperti biasanya
£ Rapi Kotor £ Penggunaan pakaian tidak sesuai
Jelaskan : pasien tampak berantakan dan kotor karena makan tidak menggunakan
sendok dengan benar, pasien sangat sulit untuk mandi
Masalah keperawatan : Defisit Perawatan Diri
2. Pembicaraan
£Sesuai Cepat £ Keras Apatis £ Inkoheren
£ Mendominasi
£ Mengancam £ Lambat £ Gagap Membisu Tidak mampu memulai
pembicaraan
Jelaskan : pasien tidak menjawab pertanyaan maupun berbicara pada teman
seruangan dan perawat. Pasien berbicara ketus saat disuruh makan.
Masalah keperawatan : Isolasi Sosial
3. Aktifitas motorik/perilaku
£ Normal £ Agitasi £ Konfulsif Lesu/tidak bersemangat £ Grimasem
Tegang £Gelisah £ Tremor Melamun/banyak diam £Sulit diarahkan
£ TIK
Jelaskan : pasien hanya duduk diam dan menunduk disudut ruangan. Pasien
tampak lesu dan pasien tegang ketika akan dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Masalah keperawatan : Gangguan interaksi sosial
4. Alam perasaan
£ Sesuai £ Putus asa Sedih £ Merasa tidak mampu
£ Marah £ Ketakutan £ Labil £ Gembira berlebihan
£ Tertekan £ Khawatir £ Malu £ Tidak berharga/berguna
Jelaskan : pasien mengatakan sedih karena tidak segera pulang. Pasien ingin
pulang dan bertemu dengan keluarganya
Masalah keperawatan : koping individu tidak efektif
7. Persepsi
Halusinasi Pendengaran £ Penghidu Penglihatan
£ Pengecapan £ Perabaan
Jelaskan :menurut catatan pasien, keluarga mengatakan pasien bicara sendiri dan
melamun. Saat ini pasien hanya diam saja, namun tampak sedikit bicara
Masalah keperawatan : gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
dan pendengaran
8. Proses pikir
£ Sesuai £ Sirkumsial Flight of ideas £Tangensial
Bloking Kehilangan asosiasi £ Pengulangan pembicaraan
Jelaskan : pasien selalu berkata “tidak boleh” dan “tidak mau”, pasien sering
blocking ketika diajak interkasi dan pembicaraan tidak berhubungan satu sama
lain
Masalah keperawatan : Gangguan komunikasi verbal
9. Isi Pikir
£ Sesuai £ Obsesi £ Fobia £ Hipokondria
£ Pikiran magis £ Ide yang terkait £ Depersonalisasi
£ Waham : £ Kebesaran £ Curiga £ Agama £ Nihilistik
Jelaskan : pasien belum dapat dikaji non kooperatif
11. Memori
£ Gangguan daya ingat jangka pendek Gangguan daya ingat jangka panjang
£ Gangguan daya ingat saat ini £ Konfabulasi
Jelaskan : pasien tidak menjawab saat ditanya alasan masuk RS, alamat pasien dan
apa yang telah di lakukan hari itu
Masalah keperawatan : gangguan memori
X. ASPEK MEDIS
Diagnosa Medis :Skizofrenia hebefrenik
Therapi Medis :
Trihexilphenedil 2x2 mg
Respiredon 2x1,5 mg
Neurodex 2x1 tab ( Vitamin B1 100mg, vitamin B6 200mg, vitamin B12 250
mcg)
Asam folat 1x5 mg (pagi)
Fituno 1x1 tab (malam)
Fluoxetin 1x 10 mg (pagi)
A. DATA FOKUS
DS :
Pasien banyak diam
Tidak menjawab pertanyaan
Tidak mau berbicara kepada teman yang lain maupun perawat
Pasien selalu berkata “tidak boleh” ketika sisuruh makan atau mandi
Keluarga mengatakan pasien diceraikan oleh suaminya karena menderita gangguan
kejiwaan, pasien juga dipisahkan dengan anaknya saat anaknya berusia 3 tahun
hingga sekarang belum pernah bertemu dengan anakanya.
Keluarga mengatakan tidak tahu harus berobat kemana dan aparat desa pun tidak tahu
harus membawa pasien berobat ke rumah sakit mana.
Pasien mengatakan bahwa ketika diajak ke rumah sakit pasien hanya diajak oleh
keluarga untuk beristirahat dan tidak tahu
Keluarga mengatakan pasien hanya berjalan jongkok selama dirumah.
pasien selalu berkata “tidak boleh” dan “tidak mau”, pasien sering blocking ketika
diajak interkasi dan pembicaraan tidak berhubungan satu sama lain
Pasien mengatakan bahwa dirinya dibawa ke rumah sakit untuk beristirahat.
pasien mengatakan dirinya tidak sakit ketika diajak untuk menjalani fisioterapi
Keluarga mengatakan saat ini belum ada komunitas maupun organisasi tertentu untuk
menangani kasus gangguan jiwa di daerah tempat tinggal pasien.
DO :
Pasien hanya diam saja ketika diajak interaksi
Pasien hanya menunduk
Kontak mata minimal
menurut catatan pasien mengamuk dan teriak-teriak dan memukul adiknya
Non kooperatif
Pasien tampak memandang ke salah satu sisi ruangan dengan tatapan kosong
Pasien tampak sedikit berbicara sendiri namun tidak mau menceritakan pada perawat
apa yang dilihat dan didengar
pasien tampak berantakan dan kotor karena makan tidak menggunakan sendok dengan
benar, pasien sangat sulit untuk mandi
Rambut pasien tampak berantakan
Saat di minta untuk mandi pasien selalu menolak
Pasien sulit untuk berdiri dan berjalan sehingga pasien hanya mampu berjalan
jongkok
IMT =17,5 (dibawah rentang normal)
Pasien adalah seorang ibu dari seorang anak perempuan yang berusia 17 tahun,
namun pasien terpisah dengan anaknya sejak anaknya berusia 3 tahun. Saat ini
anaknya tinggal bersama mantan suaminya dan keluarga mengatakan pasien tidak
pernah bertemu dengan anaknya.
pasien mengatakan tidak pernah ikut dalam kegiatan dimasyarakat atau kelompok
dirumah
pasien mengatakan tidak terlalu suka berbicara dengan orang.
pasien tidak menjawab pertanyaan maupun berbicara pada teman seruangan dan
perawat. Pasien berbicara ketus saat disuruh makan.
pasien hanya duduk diam dan menunduk disudut ruangan. Pasien tampak lesu dan
pasien tegang ketika akan dilakukan pemeriksaan kesehatan.
pasien mengatakan sedih karena tidak segera pulang. Pasien ingin pulang dan bertemu
dengan keluarganya
ketika diajak berinteraksi pasien tidak mau berbicara dan tidak mau menjawab
pertanyaan , kontak mata kurang. Keluarga mengatakan selama dirumah pasien
pernah mengamuk, teriak-teriak dan memukul adik kandungnya.
pasien tidak menunjukan ekspresi apapun ketika diajak interaksi
menurut catatan pasien, keluarga mengatakan pasien bicara sendiri dan melamun. Saat
ini pasien hanya diam saja, namun tampak sedikit bicara
saat ini pasien sadar penuh namun bersikap apatis terhadap orang lain dan jarang mau
berbicara ketika diajak interaksi oleh perawat
pasien tidak menjawab saat ditanya alasan masuk RS, alamat pasien dan apa yang
telah di lakukan hari itu
pasien tampak bingung, tampak tatapan kosong dan tidak mampu mengikuti interaksi
dengan baik.
pasien dapat mengambil keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain.
Pasien belum mampu mengungkapkan penilaian diri terhadap kondisi kesehatannya
saat ini
Pasien belum mampu menggunakan teknik untuk mengurangi halusinasi
Pasien sudah mampu berkenalan dengan orang lain dan mampu berinteraksi serta
mampu menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat maupun orang lain
Saat ini pasien berobat dan terdaftar sebagai peserta BPJS
B. ANALISA DATA
No Data Masalah
1 DS Isolasi social
- Pasien banyak diam
- Tidak menjawab pertanyaan
- Tidak mau berbicara dengan orang lain.
DO
- Pasien hanya diam saja ketika diajak
berinteraksi
- Non kooperatif
- Apatis
- Pasien hanya menunduk
- Kontak mata minimal
2 DS Halusinasi
- Pasien selalu berkata “tidak boleh” saat
diminta untuk makan dan mandi.
DO
- Pasien tampak selalu memandang ke
salah satu sisi ruangan dengan tatapan
- Pasien tampak sedikit berbicara sendiri
namun tidak mau menceritakan pada
perawat apa yang dilihat dan didengar
3 DS Defisit Perawatan Diri
- Pasien selalu menolak jika diminta untuk
mandi dengan benar
DO
- Pasien tampak berantakan dan kotor
akibat cara makannya berantakan
- Rambut pasien tampak berantakan
- Penampilan tampak rusub
- Menolak untuk mandi
4 DS Resiko Perilaku Kekerasan
- Keluarga mengatakan selama dirumah
pasien pernah mengamuk, teriak-teriak
dan memukul adik kandungnya.
DO
- menurut catatan pasien mengamuk dan
teriak-teriak dan memukul adiknya
- pasien berbicara ketus saat disuruh
makan.
5 DS Berduka
- Keluarga mengatakan pasien diceraikan
oleh suaminya karena menderita
gangguan kejiwaan, pasien juga
dipisahkan dengan anaknya saat anaknya
berusia 3 tahun hingga sekarang belum
pernah bertemu dengan anakanya.
DO : -
6 DS Ketidakmampuan koping
- Keluarga mengatakan tidak tahu harus keluarga
berobat kemana dan aparat desa pun tidak
tahu harus membawa pasien berobat ke
rumah sakit mana.
DO : -
7 DS Koping individu tidak
- Pasien mengatakan bahwa ketika diajak efektif
ke rumah sakit pasien hanya diajak oleh
keluarga untuk beristirahat dan tidak tahu
- pasien mengatakan sedih karena tidak
segera pulang. Pasien ingin pulang dan
bertemu dengan keluarganya
DO
- Pasien belum mampu mengungkapkan
penilaian diri terhadap kondisi
kesehatannya saat ini
- Pasien belum mampu menggunakan
teknik untuk mengurangi halusinasi
- Pasien sudah mampu berkenalan dengan
orang lain dan mampu berinteraksi serta
mampu menjawab beberapa pertanyaan
sederhana dari perawat maupun orang
lain
8 DS Gangguan mobilitas fisik
- Pasien mengatakan tidak bisa berdiri.
- Keluarga mengatakan pasien hanya
berjalan jongkok selama dirumah.
DO
- Pasien sulit untuk berdiri dan berjalan
sehingga pasien hanya mampu berjalan
jongkok
9 DS :- Defisit nutrisi
DO
- IMT =17,5 (dibawah rentang normal)
10 DS : - Penampilan peran tidak
DO efektif
- Pasien adalah seorang ibu dari seorang
anak perempuan yang berusia 17 tahun,
namun pasien terpisah dengan anaknya
sejak anaknya berusia 3 tahun. Saat ini
anaknya tinggal bersama mantan
suaminya dan keluarga mengatakan
pasien tidak pernah bertemu dengan
anaknya
11 DS Gangguan interaksi sosial
- pasien mengatakan tidak pernah ikut
dalam kegiatan dimasyarakat atau
kelompok dirumah
- pasien mengatakan tidak terlalu suka
berbicara dengan orang.
DO
- pasien hanya duduk diam dan menunduk
disudut ruangan. Pasien tampak lesu dan
pasien tegang ketika akan dilakukan
pemeriksaan kesehatan.
- pasien tidak menunjukan ekspresi apapun
ketika diajak interaksi
- bersikap apatis terhadap orang lain dan
jarang mau berbicara ketika diajak
interaksi oleh perawat
-
12 DS Gangguan komunikasi
- pasien selalu berkata “tidak boleh” dan verbal
“tidak mau”
DO
- pasien sering blocking ketika diajak
interkasi dan pembicaraan tidak
berhubungan satu sama lain
13 DS: - Gangguan memori
DO
- pasien tidak menjawab saat ditanya
alasan masuk RS, alamat pasien dan apa
yang telah di lakukan hari itu
14 DS Konfusi akut
- Pasien mengatakan bahwa dirinya dibawa
ke rumah sakit untuk beristirahat.
DO
- pasien tampak bingung, tampak tatapan
kosong dan tidak mampu mengikuti
interaksi dengan baik.
15 DS Defisit Pengetahuan
- pasien mengatakan dirinya tidak sakit
ketika diajak untuk menjalani fisioterapi
DO: -
16 DS Koping komunitas tidak
- Keluarga mengatakan saat ini belum ada efektif
komunitas maupun organisasi tertentu
untuk menangani kasus gangguan jiwa di
daerah tempat tinggal pasien.
DO : -
POHON MASALAH
Defisit Nutrisi
Dokumentasi Keperawatan
Tgl Profesional Hasil Asesmen Pasien dan Pemberian Instruksi PPA Verifikasi DPJP
Jam Pemberi Pelayanan termasuk pasca (Tulis Nama, beri
Asuhan (ditulis dengan format SOAP/ADIME, bedah Cinstruksi Paraf, Tgl, Jam)
disertai Sasaran. Tulis Nama, beri Paraf ditulis denngan rinci (DPJP harus
pada akhir catatan) dan jelas) membaca/
mereview semua
Rencana Asuhan)
31/2 Perawat S: - kaji orang
/21 - Banyak diam, menolak mandi terdekat,
12.0 - Tidak mau bicara dengan perawat penyebab isolasi
0 dan teman yang lain social, dan
- Tidak mau bicara saat di jk interaksi manfat
dan menolak pemeriksaan sosialisasi
- Selalu berkata “tidak boleh” - kaji kemampuan
O: berisnteraksi
- Banyak diam dan duduk di sudut secara verbal
ruangan dan non verbal
- Tatapan kosong - latih cara
- Kontak mata minimal berkenalan dan
- Makan dan minum obat di bantu sosialisasi
- Non koperatif, apatis
- Pasien tampak bicara sedikit sendiri,
namun tidak mau menceritakan apa - kaji jenis, isi,
yang dilihat dan dengar frekuensi,
- Pasien tampak berantakan dan kotor situasi,
- Rambut pasien tampak berantakan perasaaan dan
- Pasien menolak untuk mandi respon verbal
A: halusinasi
- Isoalssi social nubcul
- Halusinasi - latihan cara
- Deficit Perawatan Diri menghardik
P:
- Sp 1 Isolasi Sosial
- Sp 1 Halusinasi - kaji kemampuan
- Sp 1 DPD merawat diri,
ciri-ciri tidak
mau merawat
diri, dampak
tidak merawat
Adhaini diri
- latih cara mandi
yang benar
Adhaini
Adhaini
Adhain
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Tahap pengkajian
Pada tahap pengkajian data didapatkan dari rekam medic pasien dan dari
kondisi pasien. Penyusun sedikit mendapat kesulitan dalam mendapatkan data dari
keluarga karena keluarga jarang berkunjung dan pasien kurang kooperatif dengan
perawat maupun petugas kesehatan lain. Adapun upaya yang dilakukan dalam
melakukan pengkajian tersebut adalah:
Melakukan pendekatan dan membina hubungan slaing percaya pada pasien agar
pasien lebih terbuka dan lebih percaya kepada perawat.
Perawat menggunakan teknik komunikasi terapeutik dan pendekatan komunikasi
berbasis budaya pada pasien. Pasien selalu menggunakan bahasa jawa untuk
berkomunikasi, setelah beberapa kali mencoba berinteraksi dengan pasien
menggunakan bahasa jawa pasien mau menjawab beberapa pertanyaan sederhana
dari perawat. Penelitian yang dilakukan oleh putu gede (2017) menyatakan bahwa
pentingnya memadukan prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa berbasis
budaya lokal, sudah sepatutnya perawt dapat menggunakan prinsip-prinsip
tersebut dengan baik sehingga proses penyembuhan pasien berjlangsung dengan
kondusif.
Halusinasi
Menurut Muhammad Sulthon (2018) gangguan proses (arus pikir) inkoheren
mengarah pada masalah dimana klien skizofrenia hebefrenik tidak mampu
memproses dan mengatur pikirannya yang berdampak pada pola komunikasi yang
buruk atau inkoheren sehingga makna pembicaraan sulit untuk dipahami dan
dimengerti. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah sosial yang
memperburuk/memperparah kondisi klien jika gangguan pola komunikasi tersebut
tidak diketahui dan dipahami oleh orang di sekitar klien. Menurut Nurya (2019)
menyatakan dalam hasil penelitiannya didapatkan sebagian besar (60,4%) klien
mengalami halusinasi pendengaran, 7% mengalami halusinasi penglihatan dan
halusinasi pendengaran disertai penglihatan. Halusinasi dominan pada klien
skizofrenia hebefrenik adalah halusinasi pendengaran (60,4%). Abdul jalil (2015)
juga menyatakan adanya hubungan antara halusinasi dengan penurunan
kemampuan perawatan diri dengan signifikansi 0,006. Dan hasil analisis tabel
silang menunjukkan 79,8% klien yang mengungkapkan pengalaman halusinasi juga
menunjukkan penurunan kemampuan perawatan diri. Halusinasi terjadi karena
adanya peningkatan kecemasan, menarik diri, dan stres berat yang mengancam ego
yang lemah. Dampak dari halusinasi, klien mnjadi menunjukkan respon yang tidak
tepat, disorientasi, kurang konsentrasi dan distorsi sensori, gangguan dalam
mengorganisis informasi (Townsend, M.C, 2011)
Kondisi pasien saat ini adalah pasien tampak sesekali bicara sendiri, dan
ketika ditanya oleh perawat dengan siapa ia berbicara pasien belum mau
mengatakan isi halusinasinya. Pasien sering bertaka “tidak boleh” ketika akan
dilakukan tindakan pengobatan pada pasien seperti pemeriksaan tanda-tanda vital,
fisioterapi, perawatan diri, dan lain-lain.
4. Tahap Implementasi
Pada tahap implementasi perawat mengalami kesulitan untuk menerapkan
semua tindakan yang direncanakan karena pasien masih belum kooperatif, namun
setelah beberapa kali pertemuan pasien mulai kooperatif pada perawat. Pasien
mulai mau menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat, berkenalan
dengan 2-3 orang perawat dan berbincang sedikit dengan perawat meskipun
pembicaraannya melantur dan kurang terarah. Perawat memberikan reinforcement
positif pada pasien atas kemampuan yang telah dicapai. Menurut Maftuhah dan
Noviekayati (2020) penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam berinteraksi
dan membangun komunikasi efektif dengan orang-orang disekitarnya karena
merasa ditolak oleh lingkungan sehingga menarik diri dari lingkungan sosial.
Kemampuan interaksi sosial penderita skizofrenia meningkat setelah diberikan
terapi dengan teknik reinforcement positif kecenderungan stabilitas menunjukkan
arah dari variable menuju stabil. teknik reinforcement positif di berikan dengan
metode behavior terapi dengan tujuan merubah perilaku subyek yang semula
menarik diri dari lingkungan sosial menjadi lebih terbuka dalam menjalin interaksi
sosial.
Pada implementasi keperawatan halusinasi, perawat belum dapat
mengidentifikasi jenis, isi, frekuensi halusinasi, dan respon pasien saat halusinasi
muncul. Pasien belum mau mengatakan isi halusinasinya ketika ditanya oleh
perawat. Pasien hanya berkata “tidak boleh” dalam bahasa jawa.
Selanjutnya pada implementasi defisit perawatan diri, saat ini pasien sudah
mau mandi meskipun belum memakai shampoo, pasien berdandan seperti menyisir
rambut dan memakai bedak dibantu oleh perawat. Saat ini pasien sesekali dapat
makan secara mandiri, namun masih harus dibantu oleh perawat. Untuk kegiatan
toileting pasien beberapa kali mampu melakukan secara mandiri namun terkadang
harus dibantu oleh perawat atau teman seruangannya. Penampialan pasien saat ini
sudah lebih baik dari sebelumnya pakaian bersih, rambut rapi, dan mulai mampu
makan dan melakukan kegiatan toileting secara mandiri.
5. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan isolasi sosial, pada hari ke 17 perawatan
pasien mulai mau untuk berinteraksi dengan 2-3 orang perawat dan pasien mau
untuk menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat. Namun pasien belum
mampu memahami penyebab isolasi sosial, tanda dan gejala isolasi sosial,
keuntungan bersosialisasi serta kerugian tidak bersosialisasi.
Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan halusinasi, pada hari ke 17 perawatan
pasien tampak sesekali bicara sendiri, bicara melantur, dan belum mau mengatakan
isi halusinasinya. Pasien belum mampu menerapkan cara mengontrol halusinasi
dengan menghardik, bercakap-cakap dan aktivitas terjadwal. Saat ini pasien dibantu
oleh perawat dalam meminum obat.
Banyak pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial. Hal ini
disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk melaksanakan peran sesuai
dengan tugasnya karena mengalami gangguan jiwa, juga lingkungan yang kurang
bisa menerima (Rani, ddk. 2020). Perilaku ketidakmampuan dalam berinteraksi
merupakan percobaan menghindari hubungan dengan orang lain. Dimana individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak bisa berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain sebagaimana
mestinya dalam kehidupan sehari-hari, membuat seseorang cenderung berpikir
negatif tentang dirinya dan lingkungannya. Sehingga orang menjadi menarik diri,
malas beraktifitas, tidak mampu mengatasi masalah, rasa malu dan bersalah yang
berlebihan, yang berakibat pada isolasi sosial (Anityo, 2013).
Adanya terapi kognitif mempengaruhi kemampuan dalam melakukan interaksi
dengan orang lain. Sehingga responden tidak apatis, wajah berseri, peduli akan
dirinya saat berinteraksi, ekspresi tidak terlihat murung, tidak menghindar dari
orang lain, ada kontak mata, dan tidak menunduk, tidak berdiam diri pada tempat
terpisah, mampu berhubungan dengan orang lain, sudah adanya respon saat
berinteraksi, serta komunikasi ada. Proses terapi kognitif bertujuan untuk
mengubah keyakinan yang tidak rasional dan mengubah fungsi berpikir pasien
kearah yang positif dan akhirnya menimbulkan perasaan yang menyenangkan
(Rani, ddk. 2020).
Menurut Berhimpong (2016), mengatakan bahwa terapi kognitif memberikan dasar
pikiran pada pasien untuk mengerti masalahnya, memiliki kata-kata untuk
menyatakan dirinya serta mampu mengatasi keadaan yang sulit. Terapi kognitif
juga salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada patologi jiwa dimana
berfokus pada tindakannya berdasarkan modifikasi distorsi kognitif dan perilaku
maladaptif. Dalam proses pelaksanaan terapi kognitif melibatkan perhatian dan
kesungguhan pasien dalam mengikuti terapi ini. Kemampuan berinteraksi pasien
skizofrenia dengan masalah isolasi sosial sebelum dilakukan terapi kognitif
mayoritas tidak mampu berinteraksi. Kemampuan berinteraksi pasien skizofrenia
dengan masalah isolasi sosial setelah dilakukan terapi kognitif mayoritas mampu
berinteraksi. Kemudian ada pengaruh signifikan terapi kognitif terhadap
kemampuan berinteraksi pasien skizofrenia dengan masalah isolasi sosial (Rani,
ddk. 2020).
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada tahap pengkajian data didapatkan dari rekam medic pasien dan dari
kondisi pasien. Penyusun sedikit mendapat kesulitan dalam mendapatkan data dari
keluarga karena keluarga jarang berkunjung dan pasien kurang kooperatif dengan
perawat maupun petugas kesehatan lain. Adapun upaya yang dilakukan dalam
melakukan pengkajian tersebut adalah: Melakukan pendekatan dan membina
hubungan slaing percaya pada pasien agar pasien lebih terbuka dan lebih percaya
kepada perawat.
Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan isolasi sosial, pada hari ke 17 perawatan
pasien mulai mau untuk berinteraksi dengan 2-3 orang perawat dan pasien mau untuk
menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari perawat. Namun pasien belum mampu
memahami penyebab isolasi sosial, tanda dan gejala isolasi sosial, keuntungan
bersosialisasi serta kerugian tidak bersosialisasi.
Tahap evaluasi pada diagnosa keperawatan halusinasi, pada hari ke 17 perawatan
pasien tampak sesekali bicara sendiri, bicara melantur, dan belum mau mengatakan isi
halusinasinya. Pasien belum mampu menerapkan cara mengontrol halusinasi dengan
menghardik, bercakap-cakap dan aktivitas terjadwal. Saat ini pasien dibantu oleh perawat
dalam meminum obat.
B. SARAN
Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran bagi:
1. Rumah sakit
Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada klien jiwa dengan
seoptimal mungkin dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
2. Institusi Pendidikan
Memberikan kemudahan dalam pemakaian sarana dan prasarana yang
merupakan fasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan melalui praktek klinik dan pembuatan laporan
3. Penulis
Diharapkan penulis dapat menggunakan dan memanfaatkan waktu seefektif
mungkin, sehingga dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
gangguan jiwa dapat tercapai secara optimal
DAFTAR PUSTAKA