Anda di halaman 1dari 4

keKomperehensifan Manusia

Manusia Mahluk Sempurna => tataran kosmik

Manusia Sempurna => tataran individual

Hal 267

Manusia sebagai Mikrokosmos, mengandung dalam dirinya sendiri seluruh sifat yang
terdapat di alam semesta. Sang Mutlak, dalam hal ini, memanifestasikan dirinya dalam diri
manusia dengan cara yang paling sempurna. Dan Manusia adalah mahluk sempurna karena
ia adalah manifestasi-diri paling sempurna dari Sang Mutlak.

Hadis Nabi Saw : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya”.

“bentuk-Nya” tak lain bermakna Kehadiran Ketuhanan, yakni bahwa Adam adalah contoh
yang memadukan seluruh elemen pembentuk Kehadiran Ketuhanan seperti Esensi (Zat),
semua Sifat dan Perbuatan. Bentuk => Batin; Kesempurnaan Bentuk => Kesempurnaan Batin

Sedangkan alam hanyalah bentuk-bentuk yang dimanifestasikan secara lahiriah dari segenap
Nama dan Sifat-Nya.

Seluruh Nama yang denganya Allah telah menamakan diri-Nya seperti Mahahidup, Maha
Mengetahui, Maha Berkehendak, Maha Berkuasa ada di alam. Begitu juga seluruh Sifat yang
dengannya Allah mensifati Diri-Nya seperti Hidup, Ilmu, Kehendak, Kuasa juga ada di alam.

Ibn Arabi menjadikan kisa Nabi Musa sebagai ilustrasi tentang ihwal Manusia sebagai
Mahluk Sempurna sbb :

Ketika bayi, Musa dimasukkan (disembunyikan) dalam peti (tanbuut) dan dihanyutkan ke
sungai besar.

Menurut Ibn Arabi, “peti” melambangkan aspek manusiawi yakni tubuh (nasuut), sementara
“sungai besar” melambangkan pengetahuan yang dia peroleh dari tubuh ini. Sedangkan bayi
dalam peti adalah Jiwa.

Pengetahuan yang dia peroleh adalah melalui daya pemikiran dan penggambaran. Daya ini
ada pada jiwa manusia hanya bisa berfungsi ketika tubuh fisik mewujud.

Maka itu, begitu jiwa telah teraktualisasikan dalam tubuh dan diperintah Allah untuk
memanfaatkan dan mengatur tubuh dengan bebas, maka Allah akan membuat seluruh daya
tadi dalam jiwa manusia sebagai perangkat jiwa untuk bisa meraih tujuan => mengikuti
Kehendak Allah.

Demikianlah, Musa dihanyutkan ke sungai besar agar melalui daya-daya ini dia beroleh
segala jenis pengetahuan.

Jadi Allah memberinya pemahaman akan fakta bahwa sekalipun ruh yang mengatur tubuh
adalah “Raja” yakni pemimpin tertinggi tubuh manusia, tetapi dia tidak dapat mengaturnya
sesukanya kecuali melalui tubuh.
Inilah alasan Allah menyediakan tubuh dengan segenap daya yang terwujud dalam “aspek
manusiawi” yang Dia sebut secara simbolis dengan “peti”.

Adapun jika ditilik secara lahiriah, ketika Musa ditempatkan dalam peti, kemudian
dihanyutkan dalam sungai besar, ini sama saja dengan membawa Musa pada kematian.
Tetapi secara batiniah, justru hal ini dilakukan kepadanya untuk keselamatan dirinya dari
pembunuhan. Karena, sebagai hasilnya, Musa beroleh kehidupan. Begitulah dengan jiwa-jiwa
yang dihidupkan dengan pengetahuan setelah diselamatkan dari maut kebodohan.

Begitu juga dengan pengaturan alam. Allah mengatur alam hanya melalui alam (melalui
penetapan hubungan-hubungan pasti antara benda-benda alam – hubungan sebab akibat).

Manusia sebagai mahluk sempurna menghimpun segala sesuatu yang ada di alam semesta
yakni, menghimpun realitas-realitas non material segenap benda individual. mulai dari
empat unsur alam, mineral, tetumbuhan dan binatang.

Dalam hal ini, Allah telah menjadikan Manusia sebagai Ruh (spirit) alam semesta, dan
menjadikan segala sesuatu tunduk kepadanya lantaran kesempurnaan bentuk (batin)nya.

Dengan demikian, sebagaimana “tidak ada sesuatu” di seluruh alam semesta melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya (QS Al Isra’ [17]:44), maka tidak ada sesuatu pun di alam
semesta melainkan patuh kepada Manusia lantaran derajat esensial dari bentuk batinnya.

Dalam hal ini Allah berfirrman : “..Allah menundukkan bagimu apa yang ada di langit dan di
bumi”. (QS Al Hajj [22]:65).

Maka itu, segala sesuatu di alam semesta berada di bawah wilayah kekuasaan tertinggi
Manusia. Namun, fakta ini hanya dikatehui mereka yang mengetahuinya => Manusia
Sempurna (Insan Kamil). Adapun mereka yang tidak mengetahuinya tidak bakal
mengetahuinya => Manusia Binatang.

Manusia disebutdengan insan karena dia bagi Allah laksana biji mata (insan) yang
merupakan indera penglihatan untuk memandang. Yakni Allah melihat semua mahluk-Nya
melalui manusia dan memberi Rahmat kepada mereka.

Manusia sebagai Mahluk Sempurna dari mahluk-mahluk lainnya dikarenakan memiliki dua
karakteristik yang tidak dimiliki mahluk-mahluk lainnya, yakni :

Pertama, manusia adalah satu-satunya wujud yang berhak sepenuhnya dan seutuhnya
menjadi “hamba” (abd) Allah yang sempurna.

Semua maujud lain tidak sepenuhnya mencerminkan Allah, karena masing-masing hanya
mengaktualisasikan salah satu Nama Allah; karenanya mereka tidak dapat menjadi “hamba-
hamba” yang sempurna.
Kedua, manusia sebagai mahluk sempurna dikarenakan wujud yang di dalamnya (realitas
batin) adalah Sang Mutlak yang memanifestasikan diri-Nya dalam Bentuk esensial-Nya.
Manusia jenis ini adalah Manusia yang Sempurna dalam “kemanusiaannya” bukan
“kebinatangannya”

Adapun mahluk-mahluk lain bukanlah realitas batin Sang Mutlak lantaran mereka hanya
wadah manifestasi untuk sejumlah Nama sehingga Sang Mutlak tidak memanifestasikan diri-
Nya pada mereka dalam Bentuk esensial-Nya.

Ketahuilah, bahwa Allah memerikan Diri-Nya sebagai Yang Batin dan Yang Lahir. Demikian
pula dia telah membuat alam Yang Gaib dan alam inderawi sehingga kita, manusia, bisa
memersepsikan Yang Batin dengan unsur “gaib” kita dan Yang Lahir dengan unsur
“inderawi” kita.

Jadi, Tuhan telah menciptakan dua alam yang sejalan dengan Sisi Batin dan Lahir-Nya
sendiri, juga memberi hanya kepada Manusia sisi “batin” dan “lahir”. Dalam tinjauan ini,
hanya Manusia yang merupakan Citra sejati Sang Mutlak.

Adam diciptakan dengan Kedua Tangan-Nya

Allah menciptakan Adam dengan menggabungkan kedua Tangan-Nya semata-mata untuk


menyematkan kehormatan besar kepadanya. Dan inilah mengapa Dia berkata kepada
iblis:”Apakah yang menghalangimu bersujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua
tangan-Ku?” (QS Shaad [38]:75).

Penggabungan kedua Tangan-Nya ini tiada lain melambangkan fakta bahwa Adam
menghimpun dirinya dua “bentuk” : bentuk alam dan bentuk Sang Mutlak. Keduanya adalah
“tangan-tangan” Allah. Adapun iblis, yang merupakan bagian dari alam, tidak diberikan
“penggabungan” ini kepadanya.

Allah berkata kepada iblis yang menolak untuk bersujud di hadapan Adam: ”Apakah yang
menghalangimu bersujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku?” Apakah
kau menyombongkan diri pada objek yang setara denganmu, yakni diciptakan dari unsur-
unsur kodrati (natural elemen), ataikah kau merasa termasuk tatanan yang lebih tinggi
(maujud-maujud spiritual )– yang sebenarnya kau tak lebih daripada wujud-wujud elemental.

Maksud Allah dengan “mereka dari tatanan yang lebih tinggi” ialah yang yang karena
susunan mereka bercahaya, melalui esensi mereka sendiri, yang telah melampaui sifat
“elemental” sekalipun mereka tetaplah “kodrati”

Manusia lebih unggul daripada maujud-maujud dalam spesies “elemental” hanya karena
sebagai basyar. Jadi Allah meramu tanah liat secara langsung dengan kedua Tangan-Nya,
nah karena Sentuhan-Nya yang langsung maka dinamakan mubaysrah. Sedangkan kata
basyar berarti objek yang disentuh. Inilah yang menyebabkan manusia lebih tinggi dari
semua yang telah diciptakan dari unsur-unsur tanpa disentuh kedua Tangan-Nya.

Maka itu, Manusia derajatnya lebih tinggi daripada semua malaikat, bumi dan langit,
meskipun menurut teks-teks suci menggambarkan para malaikat lebih tinggi dari spesies
manusia.
Mengapa posisi derajat Manusia lebih tinggi dari Malaikat?

Ketika para malaikat berkata kepada Allah ketika Dia hendak menciptakan Adam : “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya ?” (QS Al Baqarah [2]:30).

Disini jelas bahwa para malaikat tidak mengetahui implikasi penyusunan “khalifah” Allah di
muka bumi dikarenakan mereka tidak mengetahui “penghambaan esensial” yang diminta
oleh Kehadiran Sang Mutlak.

Penghambaan esensial (ibadah dzatiyah) artinya penghambaan sempurna dan utuh terhadap
Tuhan yang terdapat pada maujud yang di dalam dirinya seluruh Nama Tuhan
teraktualisasikan.

Para malaikat juga tidak menyadari ketidakterbatasan Nama-Nama Ilahi yang telah
termanifestasikan dalam diri mereka sendiri. Karena itu mereka memuja Sang Mutlak dan
bertasbih kepada-Nya semata-mata melalui Nama-nama terbatas yang kebetulan ada pada
diri mereka sendiri.

Mereka tidak menyadari fakta bahwa Allah memiliki Nama-nama lain yang tidak
diberitahukan pada mereka. Akibatnya para malaikat tidak memuja-Nya melalui Nama-nama
tersebut, ataupun tidak bertasbih kepada-Nya dengan Nama-Nama Ilahi itu sebagaimana
yang Adam lakukan.

Dalam Al Qur’an (Surah Al Baqarah [2]:31) kita membaca bahwa “Allah mengajarkan Adam
semua Nama”. Ini artinya bahwa Manusia mempresentasikan dan mengaktualisasikan
seluruh Nama Ilahi. Sedangkan para malaikat sebaliknya, yakni hanya memanifestasikan
sebagaian Nama Ilahi. Tetapi, mereka tidak menyadari masalah ini.

Begitu juga dengan ayat “tidak ada sesuatu” di seluruh alam semesta melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka (QS Al Isra’ [17]:44)

Ibn Arabi memaknai kalimat bahwa segala sesuatu memuja (tasbih) atau ‘menguduskan”
(taqdus) Allah yakni bahwa segenap ciptaan yang mewujud do alam semesta ini merupakan
memanifestasikan Kesempurnaan Ilahi dalam beragam bentuk yang terbatas, dengan cara
khasnya sendiri-sendiri.

Semakin tinggi tataran Wujud sesuatu, semakin besar dan kuat pula tingkat “|pemujaan dan
pengudusannya”, lantaran wujud yang lebih tinggi mengaktualisasikan lebih banyak Nama
ketimbang wujud yang lebih rendah.

Dalam hal ini, Manusia menempatik kedudukan paling tinggi di antara semua wujud jagat
raya, karena dia adalah wadah manifestasi seluruh Nama, yakni segenap Kesempurnaan
(kamaalt) Allah Ta’ala.

Hal 275

Anda mungkin juga menyukai