Anda di halaman 1dari 9

1

Persepsi Konsumen terhadap


Protein Alternatif Pengganti Daging
Aisya Nadya Putri1
1
Magister Sains Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Abstrak
Seiring dengan pertambahan waktu, kesadaran konsumen terhadap isu
lingkungan dan kesehatan dari makanan yang mereka konsumsi sehari-hari
semakin meningkat. Protein yang dapat berasal dari tumbuhan, belalang, daging
berbasis ragi, ganggang, protein yang dibuat di laboratorium, kacang-kacangan,
protein berbasis kedelai, dan sebagainya dapat menjadi protein alternatif pengganti
daging. Konsumen memiliki persepsi yang berbeda terhadap protein alternatif
pengganti daging, sehingga penelitian dengan mengkaji persepsi konsumen
terhadap produk tersebut sangat dibutuhkan. Literature review atau tinjauan
literatur ini berfokus kepada delapan artikel dari jurnal internasional yang meneliti
tentang topik terkait. Temuan kunci dari kedelapan artikel ini adalah bahwa
konsumen, terutama konsumen di negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan
benua Eropa, memiliki persepsi rasa jijik terhadap protein alternatif pengganti
daging karena mereka belum familiar dalam mengonsumsi produk tersebut. Salah
satu penyebab dari rasa jijik itu adalah neofobia makanan atau fobia terhadap
makanan yang dianggap asing atau menyimpang dari kebiasaan dan budaya sehari-
hari yang dimiliki seseorang. Hampir keseluruhan subjek yang menjadi sampel
penelitian pada kedelapan artikel tersebut setuju bahwa mereka akan memiliki
persepsi yang lebih baik terhadap protein alternatif pengganti daging jika mereka
diberi informasi mengenai produk tersebut, misalnya informasi mengenai
kandungan protein alternatif dan manfaatnya bagi kesehatan.

Kata kunci: persepsi konsumen, protein alternatif pengganti daging

Pendahuluan
Daging, seperti sapi, babi, dan unggas, merupakan pangan yang menjadi
sumber gizi terutama protein bagi manusia. OECD-FAO (2020) memproyeksikan
bahwa pertumbuhan konsumsi daging tahunan per kapita tahun 2020 hingga 2029
akan meningkat sebesar 0.24% di negara maju dan 0.8% di negara berkembang,
yang disebabkan oleh peningkatan populasi dan pertumbuhan. Pada beberapa tahun
terakhir, muncul reaksi konsumen yang negatif atas konsumsi daging, misalnya
indikasi risiko kanker usus yang meningkat serta penyakit lain yang disebabkan
oleh kandungan lemak jenuh yang sering kali terkandung dalam daging merah
(Giovannucci et al. 2000; Kusch dan Fiebelkorn 2019). Menurut McMicheal et al.
(2007), permasalahan lain yang muncul dari produksi daging konvensional juga
sering diasosiasikan dengan beberapa permasalahan global, utamanya emisi gas
rumah kaca seperti gas metan dan dinitrogen oksida. Dibutuhkan sebuah solusi
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, misalnya dengan mencari
alternatif pengganti daging.
Beberapa protein alternatif pengganti daging diantaranya protein dari
tumbuhan, belalang, daging berbasis ragi, ganggang, protein yang dibuat di
laboratorium, kacang-kacangan, protein berbasis kedelai, dan sebagainya (Politico
2017). Menurut Leitzmann (2014) dalam Michel et al. (2020), popularitas jenis-jenis
protein alternatif ini mulai naik pada masa sekarang ini akibat kekhawatiran
2

konsumen terhadap penyiksaan hewan, serta meningkatnya trend gaya hidup


vegetarian dan vegan. Namun, tingkat konsumsi produk protein alternatif pengganti
daging masih memiliki tingkat konsumsi yang rendah (Megido et al. 2016).
Salah satu penyebab rendahnya tingkat penerimaan protein alternatif
pengganti daging adalah persepsi konsumen yang berbeda-beda terhadap produk-
produk tersebut. Persepsi merupakan proses di mana sensasi fisik, seperti
pengelihatan, bunyi, dan bau, dipilih, diatur, dan diinterpretasikan (Schiffman dan
Wisenbilt 2015). Persepsi dalam ilmu perilaku konsumen juga dapat digambarkan
sebagai cara konsumen dalam melihat lingkungan yang berada di sekelilingnya.
Persepsi lebih mengarah kepada pemahaman subjektif yang dimiliki konsumen
dan bukan tentang kondisi objektif dari lingkungan yang ada di sekitar mereka.
Ketika konsumen dihadapkan pada pillihan dalam mengonsumsi protein alternatif
pengganti daging sebagai suatu produk konsumsi yang relatif baru, mereka akan
memiliki persepsi yang berbeda dalam mengenali, mengartikan, mengatur, dan
memilih pilihan untuk mengonsumsi produk tersebut berdasarkan kebutuhan,
nilai, dan harapan masing-masing. Penelitian mengenai persepsi konsumen
terhadap protein alternatif pengganti daging dapat menjadi studi penjajakan dalam
langkah awal guna meningkatkan konsumsi konsumen terhadap produk-produk
tersebut. Oleh karena itu, artikel ini memberikan gambaran umum dari penelitian
yang telah dilakukan mengenai persepsi tentang protein alternatif pengganti
daging dari perspektif konsumen.

Metodologi
Penelitian-penelitian yang telah ada mengenai persepsi konsumen terhadap
protein alternatif pengganti daging akan dibahas pada tinjauan literatur ini.
Pencarian jurnal penelitian internasional sebagai sumber literatur dilakukan pada
November hingga Desember 2020 di internet dari beberapa website seperti
Science Direct, Google Scholar, dan Multidisciplinary Digital Publishing Institute
(MDPI). Kata kunci yang digunakan dalam pencarian literatur terkait adalah
“consumer perception of meat alternatives”. Tabel 1 menunjukkan rincian umum
delapan artikel jurnal internasional dalam topik terkait yang telah ditemukan dan
digunakan pada tinjauan literatur ini.

No
Judul Jurnal Internasional Penulis Sumber
.
Gianna A. Food Quality and
Our Own Country is Best: Factors
Lazzarini, Preference,
Influencing Consumers’
1. Vivianne H. M. volume 60, tahun
Sustainability Perceptions of Plant-
Visschers, dan 2017, halaman
based Foods
Michael Siegrist 165-177
Jessica Food
Consumer Perception of Plant-
Aschemann- Hydrocolloids,
based Proteins: The Value of
2. Witzel dan volume 96, tahun
Source Transparency for
Anne Odile 2019, halaman
Alternative Protein Ingredients
Peschel 20-28
3. Insects as Food: Perception and Christina Ernaehrungs
Acceptance Hartmann dan Umschau
Michael Siegrist International,
3

volume 3, tahun
2017, halaman
44-50
Jordan Taylor,
Isam A.
Consumers’ Perceptions and Mohamed Foods, tahun
4. Sensory Properties of Beef Patty Ahmed, Fahad 2020, volume 9,
Analogues Y. Al-Juhaimi, edisi 63
dan Alaa El-Din
A. Bekhit
Fabienne
Consumers’ Associations,
Michel, Food Quality and
Perceptions, and Acceptance of
5. Christina Preference, tahun
Meat and Plant-based Meat
Hartmann, dan 2021, volume 87
Alternatives
Michael Siegrist
Christopher
A Survey of Consumer Bryant, Keri Frontiers in
Perceptions of Plant-based and Szejda, Nishant Sustainable Food
6.
Clean Meat in The USA, India, Parekh, Varun Systems, tahun
and China Deshpande, dan 2019, volume 3
Brian Tse
Consumer Perceptions of Catarina
Conventional and Alternative Possidónio,
Appetite, tahun
7. Protein Sources: A Mixed- Marília Prada,
2021, volume 156
methods Approach with Meal and João Graça, dan
Product Farming Jared Piazza
Indonesian Millenial Consumers’
Dwi Larasatie
Perception of Tempe – and How It Food Quality and
Nur Fibri dan
8. Is Affected by Product Preference, tahun
Michael Bom
Information and Consumer 2020, volume 80
Frøst
Psychographic Traits

Hasil dan Pembahasan


Merujuk pada delapan artikel tersebut, metode pengambilan data yang
paling banyak digunakan adalah eksperimen. Metode eksperimen secara online
digunakan dalam menentukan persepsi konsumen terhadap persepsi mereka atas
keberlanjutan plant-based food yang berbeda dari sisi negara produsen, pelabelan,
dan ketersediaan pada musimnya atau seasonality (Lazzarini et al. 2017). Fibri
dan Frøst (2019) melakukan eksperimen dari pengaruh informasi terhadap respon
hedonis, persepsi sensoris, sifat kolatif, dan emosi yang ditimbulkan dari tempe
sebagai salah satu sumber protein plant-based dan yeast-based, kemudian
menganalisisnya dengan analisis kuantitatif. Eksperimen secara kuantitatif dan
kualitatif juga dapat digunakan untuk meneliti persepsi atas bahan makanan
terhadap persepsi produk yang tersusun dari bahan makanan tersebut, bagaimana
perbedaan dalam suatu bahan dari bahan protein memengaruhi sikap dan persepsi
kualitas subjektif dari plant-based food (Aschemann-Witzel dan Peschel 2019),
menentukan penerimaan tempe dari persepsi konsumen terhadap patty yang
memiliki perbedaan kadar tempe di dalamnya, serta menentukan persepsi
4

konsumen dari pengetahuan mereka tentang tempe sebagai plant-based food yang
baik bagi kesehatan (Taylor et al. 2020). Metode survey secara online juga dapat
dilakukan untuk menentukan persepsi konsumen terhadap protein alternatif
pengganti daging, seperti menentukan persepsi konsumen terhadap meat: plant-
based food, legumes, tofu, seitan, clean-meat atau lab-grown meat, dan serangga
(Bryant et al. 2019; Possidonio et al. 2020), serta mengidentifikasi persepsi yang
menghalanginya (Michel et al. 2020). Sementara itu, terdapat satu studi dengan
topik spesifik yaitu studi yang dilakukan oleh Hartmann dan Siegrist (2016)
menggunakan metode tinjauan pustaka sistematis.
Responden sebagai sampel yang digunakan pada masing-masing
penelitian memiliki karakteristik demografi yang berbeda-beda. Kebanyakan dari
studi yang telah dilakukan meneliti responden di beberapa negara di Eropa, seperti
Swiss (Lazzarini et al. 2017), Denmark (Aschemann-Witzel dan Peschel 2019),
Portugis (Possidonio et al. 2020), dan Jerman (Michel et al. 2020) karena protein
alternatif pengganti daging masih bersifat niche product (de Boer et al. 2014;
Hoek et al. 2011; Siegrist & Hartmann 2019 dalam Michel et al. 2020). Menurut
Hartmann dan Siegrist (2016), banyak studi dilakukan dengan sampel responden
dari negara-negara di Eropa karena mereka cenderung memiliki rasa jijik terhadap
konsumsi produk protein non-daging seperti serangga (Hartmann dan Siegrist
2016). Beberapa penelitian tentang persepsi konsumen terhadap protein alternatif
pengganti daging juga dilakukan di Amerika Serikat, China, dan India (Bryant et
al. 2019), New Zealand (Taylor et al. 2020), Indonesia (Fibri dan Frøst 2019).
Kebanyakan konsumen masih menganggap bahwa sumber protein utama
yang dapat diperoleh untuk diet mereka sehari-hari hanya berasal dari daging,
baik daging merah maupun daging putih. Mereka menganggap bahwa daging
memiliki unsur hedonis yang lebih baik jika dibandingkan protein alternatif
lainnya. Hal ini sesuai dengan temuan Michel et al. (2020), bahwa subyek
penelitian dari studi yang ia lakukan tentang asosiasi, persepsi, dan penerimaan
konsumen terhadap daging dan protein alternatif pengganti daging menunjukkan
bahwa daging diasosiasikan dengan kebutuhan hedonis mereka dan juga dengan
asosiasi positif terhadap beberapa kategori seperti kemegahan (festivity), rasa,
tingkat harga (expensive), maskulinitas, rasa kenyang, dan sebagainya. Para
subyek penelitian menganggap bahwa daging lebih cocok untuk dimakan ketika
ada acara makan bersama dengan kolega atau saat acara makan yang bersifat
sebagai perayaan, sementara protein alternatif pengganti daging akan lebih cocok
dimakan seorang diri atau bersama keluarga. Sementara itu, menurut hasil
penelitian Possidonio et al. (2020) tentang persepsi konsumen di Portugal
terhadap sumber protein konvensional dan alternatif, hasil uji multiple
correspondence analysis dari kata-kata yang diasosiasikan konsumen dengan
daging konvensional dan alternatif menunjukkan bahwa konsumen
mengasosiasikan daging (utamanya daging merah) dengan sesuatu yang positif
terkait dengan kenikmatan, rasa, dan tingkat kesejahteraan. Mereka memiliki
asosiasi negatif, misalnya rasa jijik terhadap tahu, dalam kategori yang serupa.
Namun, mereka menyadari bahwa produksi daging konvensional tidak selamanya
etis dengan mereferensikan bahwa hewan menjadi korban dalam produksinya.
Keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa konsumen memandang
protein alternatif pengganti daging sebagai sesuatu yang benar-benar baru dan
asing dalam perspektif diet atau pengaturan makanan mereka sehari-hari. Bryant
5

et al. (2019) menjelaskan bahwa meat attachment, atau orang-orang yang sangat
‘terikat’ dengan konsumsi daging, lebih relatif tidak mungkin membeli atau
mengonsumsi plant-based meat karena persepsi rasa jijik mereka terhadap plant-
based meat. Studi melalui survey online terhadap 3.030 konsumen di Amerika
Serikat, India, dan Cina yang diuji dengan one-way Anova ini menghasilkan
temuan kunci bahwa rasa jijik tersebut secara mengejutkan ditemukan pada para
konsumen di Amerika Serikat. Para konsumen di negara-negara barat memang
sering menunjukkan rasa jijik sebagai bentuk mekanisme penolakan terhadap
protein alternatif pengganti daging. Sama seperti temuan Bryant et al. (2019),
Michel et al. (2020) juga menemukan bahwa konsumen seringkali
mengasosiasikan daging dengan sesuatu yang positif, sementara protein alternatif
pengganti daging dipandang secara lebih negatif karena persepsi rasa jijik mereka.
Survey online dengan plot split-ANOVA yang mereka lakukan terhadap 1.039
responden di Jerman mencatat bahwa konsumen mengasosiasikan tahu sebagai
protein alternatif pengganti dengan kata ‘disgust’ atau menjijikan. Suatu cara
untuk mengatasi rasa jijik terhadap protein alternatif adalah mengolahnya menjadi
suatu produk makanan yang dapat menciptakan rasa dan pengalaman yang positif,
seperti misalnya mengolah belalang menjadi tepung yang kemudian diolah
menjadi keripik yang relatif bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa adanya persepsi
buruk. Hal ini dikonfirmasi oleh tinjauan pustaka yang dilakukan oleh Hartmann
dan Siegrist (2017).
Persepsi yang menimbulkan rasa jijik erat kaitannya dengan neofobia
makanan. Neofobia akan memengaruhi persepsi konsumen terhadap suatu jenis
makanan. Menurut Hartmann dan Siegrist (2017), neofobia makanan merupakan
kecenderungan konsumen untuk menolak makanan yang bersifat asing atau
menyimpang dari norma budaya. Masing-masing individu yang memiliki
neofobia memiliki intensitas yang berbeda-beda. Cara untuk menanggulangi
neofobia adalah dengan melakukan kontak secara berulang terhadap makanan
baru tersebut sehingga keakraban akan tercipta seiring dengan berjalannya waktu.
Salah satu penelitian melalui survey tentang persepsi konsumen terhadap plant-
based dan clean meat di Amerika Serikat, India, dan China yang dilakukan oleh
Bryant et al. (2019) menyertakan analisis neofobia konsumen tiga negara tersebut
terhadap daging plant-based dan clean. Setelah melakukan pertanyaan untuk
mengklasifikasi intensitas konsumsi daging dalam seminggu, para responden
diberikan kuesioner mengenai neofobia yang diberikan secara acak sebelum
memberitahu mereka bahwa penelitian ini meneliti tentang persepsi terhadap
plant-based dan clean meat untuk menghindari persiapan responden yang dapat
menyebabkan bias. Analisis one-way ANOVA dilakukan untuk menentukan
tingkat neofobia konsumen. Hasil menunjukkan bahwa responden dari India
memiliki tingkat neofobia terhadap plant-based dan clean meat yang lebih besar
jika dibandingkan dengan responden dari China dan Amerika Serikat.
Salah satu pembentuk dan penentu persepsi konsumen yang paling krusial
terhadap protein alternatif pengganti daging adalah informasi yang mereka miliki
atau dapat tentang produk tersebut. Menurut teori persepsi oleh Schiffman dan
Wisenbilt (2015), persepsi dari stimulus sebagai kelompok atau bagian dari
informasi, daripada sebagai bagian diskrit/berbeda dari informasi, memfasilitasi
memori dan ingatan seseorang. Konsumen akan mengetahui keberlanjutan produk
yang mereka konsumsi dari informasi yang mereka punya atau dapat (Lazzarini et
6

al. 2017). Pentingnya informasi dalam membentuk persepsi konsumen terhadap


protein alternatif pengganti daging ditunjukkan oleh temuan studi yang dilakukan
oleh Taylor et al. (2020). Mereka menguji persepsi dan properti sensoris analog
patty daging yang direkayasa dengan dicampur dengan tempe dengan kadar yang
berbeda-beda dari 118 konsumen di Selandia Baru dengan melakukan eksperimen
tentang studi sensoris konsumen yang dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis dan
one-way Anova. Sebagian besar dari objek penelitian, yaitu konsumen di Selandia
Baru, yang menyarankan bahwa pasar tempe akan terbuka jika para konsumen
diberikan informasi mengenai manfaat kesehatan yang terkandung dalam tempe.
Penelitian yang dilakukan oleh Fibri dan Frøst (2019) yang juga meneliti tentang
persepsi konsumen terhadap tempe dan hubungannya terhadap akses informasi
produk serupa dengan penelitian Taylor et. al. Sembilan jenis tempe (lima tempe
tradisional dan empat tempe yang dimodernisasi yang berbeda bahan mentah,
inokulum, teknologi pemrosesan, origin, peralatan, packaging, skala produksinya)
diuji oleh 165 konsumen millenial konsumen dalam pengujian buta dan
terinformasi yang selanjutnya akan dianalisis dengan uji Anova. Respon hedonis
dan bagian-bagian lain persepsi dari para konsumen milenial tersebut berubah
ketika informasi produk diberikan sehingga mereka menjadi lebih menyukai
tempe jenis tradisional setelah informasi diberikan. Secara mengejutkan, sejumlah
properti sensori sebagai unsur dari persepsi responden, seperti tingkat kekerasan,
rasa apek, rasa umami, dan rasa gurih, terhadap masing-masing jenis tempe juga
berubah. Sama halnya dengan pemberian informasi pada persepsi konsumen
terhadap tempe sebagai protein alternatif pengganti daging. Tinjauan pustaka yang
dilakukan oleh Hartmann dan Siegrist (2017) mengonfirmasi bahwa agar dapat
meningkatkan willingness to eat dari serangga, informasi harus diberikan kepada
konsumen mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan manfaat serangga
dan entomofagi. Dalam hal protein alternatif pengganti daging apa yang
kebanyakan konsumen memiliki pengetahuan tentangnya, penelitian Possidonio et
al. (2020) menunjukkan bahwa konsumen sangat memiliki pengetahuan tentang
kacang-kacangan dan sangat sedikit pengetahuan serta penuh rasa jijik terhadap
belalang atau serangga dan lab-grown meat. Karena mereka memiliki informasi
atau pengetahuan lebih banyak terhadap kacang-kacangan, maka mereka akan
memiliki persepsi yang baik terhadap kacang-kacangan sebagai protein alternatif
pengganti daging.
Trend yang sangat terlihat dari kedelapan artikel jurnal tersebut adalah
bahwa studi kebanyakan dilakukan di Eropa. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa konsumen di Eropa dan negara-negara barat cenderung
memiliki rasa jijik untuk mengonsumsi produk alternatif pengganti daging karena
persepsi buruk mereka terhadap produk tersebut (Hartmann dan Siegrist 2017).
Dalam beberapa lingkungan budaya, seperti Asia Timur, Afrika, dan Amerika
Selatan, para penduduk memanen apa saja dari alam dan mengonsumsinya tanpa
rasa jijik. Lingkungan budaya tempat seseorang tumbuh memiliki pengaruh kuat
terhadap makanan apa yang kita terima dan tidak. Salah satu contohnya adalah
belalang sebagai protein alternatif pengganti daging. Para penduduk China telah
familiar dalam memakan ulat sutra dan dianggap sebagai makanan yang memiliki
sumber protein tinggi. Sementara itu, persepsi terhadap serangga dalam budaya
barat diasosiasikan dengan kontaminasi makanan, risiko kesehatan, dan bahkan
dianggap sebagai diet atau pengaturan makan yang bersifat primitif. Penjabaran
7

ini dapat dikonfirmasi secara kuantitatif dengan penelitin yang dilakukan oleh
Bryant et al. (2019). Survey online mereka lakukan juga menganalisis familiarity
atau keakraban para respondennya dengan plant-based dan clean meat sebagai
protein alternatif pengganti daging. Hasilnya adalah responden di China dan India
sebagai negara-negara di Asia memiliki tingkat familiarity lebih tinggi daripada
Amerika Serikat sebagai negara barat. Semakin tinggi tingkat familiarity
konsumen terhadap protein alternatif pengganti daging, maka persepsi mereka
terhadap produk tersebut relatif akan semakin baik.
Informasi produk, seperti yang telah dijelaskan, memiliki dampak positif
baik bagi persepsi maupun tingkat penerimaan suatu produk. Kaum millenial
adalah kaum yang memiliki akses berlimpah terhadap informasi akibat adanya
manfaat dari internet. Korelasinya dengan konsumsi protein alternatif pengganti
daging adalah, bahwa kaum milenial akan semakin familiar dan memiliki persepsi
yang baik terhadap produk tersebut karena mereka dapat mengutilisasikan
informasi yang dapat mengedukasi mereka mengenai konsumsi dan kebutuhan zat
gizi mereka sehari-hari. Premis ini tentu sangat baik untuk melaksanakan aspek
keberlanjutan dengan mengurangi atau mengganti konsumsi daging dengan
berfokus kepada generasi millenial sebagai target consumer utama. Namun,
penelitian mengenai bagaimana persepsi generasi millenial terhadap protein
alternatif pengganti belum banyak dilakukan. Sejauh ini, penulis hanya
menemukan satu artikel penelitian yang terkait dengan topik tersebut, yaitu studi
yang dilakukan oleh Fibri dan Frøst (2019) yang secara kuantitatif dapat
menggambarkan persepsi generasi millenial Indonesia terhadap tempe sebagai
protein alternatif pengganti daging. Oleh karena itu, penelitian dengan topik
serupa diharapkan dapat dilakukan.

Kesimpulan dan Saran


Tinjauan literatur ini menemukan bahwa konsumen memiliki persepsi yang
berbeda-beda terhadap protein alternatif pengganti daging. Tiga metode
pengumpulan data yang digunakan untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap
protein alternatif pengganti daging adalah eksperimen, survey, dan kajian pustaka.
Kebanyakan studi dengan topik terkait dilakukan dengan subyek penelitian di
Eropa atau negara-negara barat lainnya karena para konsumen di negara-negara
tersebut belum familiar dengan protein alternatif pengganti daging sehingga
persepsi mereka terhadapnya akan cenderung tidak baik. Konsumen, utamanya di
negara-negara barat, memiliki persepsi terhadap protein alternatif pengganti
daging bahwa produk tersebut adalah produk yang menjijikan sehingga mereka
cenderung menolak untuk mengonsumsinya dan tetap mengandalkan daging
konvensional untuk memenuhi kebutuhan protein sehari-hari. Rasa jijik tersebut
juga disebabkan oleh neofobia makanan yang sebetulnya dapat diatasi dengan
konsumsi habitual atau berulang-ulang. Sebagian besar subyek dari penelitian-
penelitian yang menjadi referensi tinjauan literatur ini setuju bahwa mereka akan
memiliki persepsi yang lebih baik terhadap protein alternatif pengganti daging
jika mereka memiliki pengetahuan atau informasi yang cukup tentang produk
tersebut.
Keterbukaan pemikiran konsumen mengenai apa yang mereka konsumsi
akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Mereka akan
menaruh concern lebih tinggi terhadap apa yang mereka makan untuk prevensi
8

dari masalah-masalah kesehatan jangka panjang. Saran yang dapat diberikan


adalah agar studi dengan topik terkait dapat terus dilakukan guna mengetahui
persepsi apa yang dimiliki konsumen terhadap protein alternatif pengganti daging.
Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan akibat konsumsi daging yang
cenderung dinilai bersifat tidak etis dan dapat membawa permasalahan kesehatan
dan lingkungan. Penelitian dengan topik akan lebih efektif lagi jika dilakukan
pada generasi millenials yang cenderung memiliki pengetahuan akibat adanya
akses informasi yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bryant C, Szejda K, Parekh N, Deshpande V, Tse B. 2019. A survey of consumer


perceptions of plant-based and clean meat in the USA, India, and China.
Frontiers in Sustainable Food Systems. 3. doi:10.3389/fsufs.2019.00011.
Fibri DLN, Frøst MB. Indonesian millennial consumers’ perception of tempe–and how
it is affected by product information and consumer psychographic traits. Food
Quality and Preference. 80. doi:10.1016/j.foodqual.2019.103798.
Giovannucci E, Rimm EB, Stampfer MJ, Colditz GA, Ascherio A, Willett WC. 1994.
Intake of fat, meat and fiber in relation to risk of colon cancer in men. Cancer
Research. 54:2390-2397.
Hartmann C, Siegrist M. Insects as food: perception and acceptance. Ernaehrungs
Umschau International. 3:44-50. doi:10.4455/eu.2017.010.
Kusch S, Fiebelkorn F. 2019. Environmental impact judgments of meat, vegetarian, and
insect burgers: unifying the negative footprint illusion and quantity insensitivity.
Food Quality and Preference. 78. doi:10.1016/j.foodqual.2019.103731.
Lazzarini GA, Vischers VHM, Siegrist M. 2017. Our own country is best: Factors
influencing consumers’ sustainability perceptions of plant-based foods. Food
Quality and Preference. 60:165-177. doi:10.1016/j.foodqual.2017.04.008.
McMichael AJ, Powles JW, Butler CD, Uauy R. 2007. Food, livestock production,
energy, climate change, and health. thelancet.com. 370:1253-1263.
doi:10.1016/s0140-6736(07)61256-2.
Megido RC, Gierts Chloé, Blecker C, Brostaux Y, Éric Haubruge, Alabi T, Francis F.
2016. Consumer acceptance of insect-based alternative meat products in Western
countries. Food Quality and Preference. 52:237-243.
Michel F, Hartmann C, Siegrist M. 2020.Consumers’ associations, perceptions and
acceptance of meat and plant-based meat alternatives. Food Quality and
Preference. 87. doi:10.1016/j.foodqual.2020.104063.
[Organisation for Economic Co-operation and Development-Food Agriculture
Organisation] OECD-FAO. 2020. OECD-FAO Agricultural Outlook 2020-2029.
Roma: FAO. hlm 162-173.
Politico. 2017. Seven Alternative Proteins: Coming to A Plate Near You. [diakses 8
Desember 2020]. https://www.politico.com/agenda/story/2017/09/13/alternative-
proteins-nutrients- for-planet-000512/
Possidonio C, Prada M, Graça J, Piazza Jared. 2020. Consumer perceptions of
conventional and alternative protein sources: a mixed-methods approach with
meal and product framing. Appetite. 156. doi:10.1016/j.appet.2020.104860.
9

Schiffman LG, Wisenbilt J. 2015. Consumer Behaviour. 11th ed. Essex: Pearson.
Taylor J, Ahmed IAM, Al-Juhaimi FY, Bekhit AEDA. 2020. Consumers’ perceptions
and sensory properties of beef patty analogues. Foods. 9(63).
doi:10.3390/foods9010063.
Witzel-Aschemann J, Peschel AO. 2019. Consumer perception of plant-based proteins:
the value of source transparency for alternative protein ingredients. Food
Hydrocolloids. 96:20-28. doi:10.1016/j.foodhyd.2019.05.006.

Anda mungkin juga menyukai