Anda di halaman 1dari 3

Hal yang Dapat Dipelajari dari Kewirausahaan Wanita

Tinjauan literatur yang ditulis oleh Jennings dan Brush (2013)


mengungkapkan bahwa kewirausahaan wanita, sebagai sebuah cabang dari
kewirausahaan, meskipun asal-usul pengangkatan topik ini dalam banyak
penelitian dilakukan baru-baru ini. Namun, penelitian-penelitian tersebut
sayangnya mengungkapkan bahwa kewirausahaan wanita adalah sebuah
fenomena yang memiliki bias akibat gender. Pernyataan tersebut dapat
disimpulkan karena studi tentang kewirausahaan wanita memiliki akar intelektual
dari dua area yang sering kali saling bertumpah tindih satu sama lain, yaitu: (1)
literatur gender dan pekerjaan, serta (2) teori dan riset tentang feminisme.
Terlepas dari overlap kedua akar keilmuan dari riset-riset tersebut, ada beberapa
pertanyaan dasar yang selanjutnya akan mengarahkan kepada beberapa penemuan
terkait dengan fenomena kewirausahaan wanita. Dari keseluruhan pertanyaan dan
penemuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pria akan lebih ‘berhasil’ dalam
menjalankan kewirausahaan. Keberhasilan tersebut memiliki keterkaitan pada
beberapa hal, seperti kegiatan kewirausahaan secara umum sebagai kondisi ‘self-
empoyment’, akuisisi sumberdaya keuangan, penerapan strategi perusahaan dan
praktik manajerial, serta performa perusahaan. Wirausahawan pria dinilai
memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih besar pada aspek-aspek tersebut
jika dibandingkan dengan wirausahawan wanita. Selain itu, kewirausahaan pada
wanita juga ditemukan terkait atau tertanam pada aspek keluarga yang
ditimbulkan oleh beberapa motif, seperti: (1) perspektif berkewirausahaan yang
dipengaruhi oleh hubungan atau kewajiban wirausaha wanita pada keluarganya,
(2) keinginan untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga dengan cara
berwirausaha, serta (3) keinginan untuk menaikkan status sosial atau ekonomi
keluarga dengan berwirausaha. Kewirausahaan pada wanita, selain dianggap
sebagai fenomena gender dan memiliki keterkaitan dengan aspek keluarga, juga
dapat dihasilkan dari kebutuhan serta kesempatan. Kebutuhan serta kesempatan
ini juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor ‘pendorong’ (misalnya karena
imigrasi dan pengangguran) serta ‘penarik’ (misalnya karena perubahan jalan
hidup untuk menghindari sesuatu yang negatif).
Satu hal dominan yang positif dari kewirausahaan wanita, terlepas dari
fenomena gender yang menyebabkan perbandingan antara kewirausahaan wanita
dengan pria yang menejelaskan bahwa pria lebih berkewirausahaan jika
dibandingakan dengan wanita, adalah bahwa wirausahawan wanita lebih mungkin
untuk mengejar misi-misi sosial dan ekonomi jika dibandingkan dengan pria
(Hechavarria et al. 2012, Meyskens et al. 2011 dalam Jennings dan Brush 2013).
Wirausahawan wanita cenderung memiliki nilai yang rendah dalam keinginan
untuk melakukan ekspansi bisnis dan sukses finansial jika dibandingkan dengan
wirausahawan pria. Konsisten dengan pernyataan Sullivan dan Meek (2012)
dalam Jennings dan Brush (2013), mereka juga akan menyeimbangkan tujuan
ekonomi dengan misi-misi sosial, seperti menawarkan produk dan/atau jasa yang
lebih berkualitas hasil wirausaha mereka, membantu sesama, dan mengambil
peran dalam kelompok masyarakat. Oleh karena itu, mereka akan lebih mungkin
untuk membangun perusahaan hybrid yang menyeimbangkan tujuan ekonomi dan
non-ekonomi (Meyskens et al. 2011).
Menurut Fischer et al. (1993) dalam Meyskens et al. (2011), wanita
cenderung memiliki aspek sosial yang berbeda sehingga mereka memiliki
pendekatan yang berbeda terhadap kewirausahaan. Sebagai hasilnya, mereka akan
lebih mungkin untuk mengambil pilihan secara sengaja dalam mengembangkan
bisnis mereka dengan menekankan tujuan sosial di atas tujuan ekonomi (Carter
dan Allen 1997 dalam Meyskens et al. (2011). Wanita juga memiliki kesadaran
sosial yang tinggi dan berfokus pada hubungan sosial (Harding 2004 dalam
Meyskens et al. 2011). Berdasarkan temuan-temuan tersebut serta temuan mereka
sendiri, Meyskens et al. (2011) menyimpulkan wirausahawan wanita secara
positif terkait dengan perusahaan hybrid, walaupun komposisi gender pada
perusahaan start-up relatif sama dan komposisi tersebut akan berubah seiring
dengan waktu.
Sejalan dengan temuan Meyskens et al. (2011), Hechavarria et al. (2012)
juga menemukan hubungan yang signifikan antara kewirausahaan wanita dengan
aspek kewirausahaan sosial dan lingkungan. Penelitian mereka terhadap para
wirausahawan baru dan manajer pemilik perusahaan muda di 52 negara
menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung menekankan tujuan-tujuan dalam
pembuatan nilai sosial ketika mengejar aktivitas kewirausahaan, sementara pria
lebih cenderung memiliki tujuan dalam penciptaan nilai ekonomis. Mereka juga
menemukan bahwa perbandingan antara wirausahawan wanita terhadap pria pada
aktivitas kewirausahaan sosial dan lingkungan lebih besar daripada perbandingan
antara wirausahawan wanita terhadap pria pada aktivitas kewirausahaan terkait
ekonomi. Berkaitan dengan fenomena gender, pentingnya kewirausahaan wanita
bertambah karena karakter ideal dari wirausahawan ‘terbaik’ akan terus berubah
seiring dengan penyatuan kualitas dari femininitas dan maskulinitas. Namun,
stereotip ini tidak juga berubah dan membaik. Daripada melawan ideologi
feminin, para wanita akan berusaha untuk membentuk citra diri dengan
kemunculan mereka sebagai wirausahawan sosial atau lingkungan daripada
wirausahawan tradisional yang cenderung maskulin dan berorientasi hanya pada
profit. Perempuan juga dianggap memainkan peran penting dalam memperluas
logika penciptaan nilai ke ranah kewirausahaan sosial dan lingkungan.
Hal yang penting dipelajari dari temuan Meyskens et al. (2011),
Hechavarria et al. (2012), serta Jennings dan Brush (2013) adalah bahwa
kewirausahaan wanita membawa dampak besar pada aspek sosial masyarakat.
Kemungkinan wirausahawan wanita dalam mendirikan bisnis berbasis sosial atau
bahkan hybrid (menggabungkan aspek ekonomi dan non-ekonomi) lebih besar
jika dibandingkan dengan pria. Hal ini dapat membawa prospek yang baik bagi
pembangunan sosial, di mana para wanita lebih baik membawa dirinya pada
kondisi self-employment atau kewirausahaan daripada harus dipekerjakan oleh
orang lain sehingga dapat mendirikan wirausaha berorientasi sosial yang dapat
meningkatkan pembangunan sosial. Permasalahan mengenai kesetaraan gender
juga relatif akan semakin berkurang, karena dengan kewirausahaan yang
mendukung lingkungan sosial maka para wanita akan semakin meningkatkan
peran atau status sosial pada lingkungan tersebut sehingga wanita tidak akan
dipandang sebelah mata oleh pria atau lingkungan. Oleh karena itu, peningkatan
dan pembangunan kewirausahaan wanita, selain berdampak pada pertumbuhan
ekonomi, juga dapat membawa pengaruh baik bagi pembangunan lingkungan
sosial serta kesetaraan gender.
BUAT DI KESIMPULAN:

Terlepas dari fenomena gender yang menyatakan bahwa pria memiliki


kewirausahaan yang relatif lebih baik dibandingkan wanita, kewirausahaan wanita
terbukti lebih mampu menerapkan orientasi perusahaan ke arah sosial. Oleh
karena itu, pembangunan kewirausahaan wanita akan meningkatkan ekonomi,
membangun lingkungan sosial menjadi lebih baik, serta mengatasi permasalahan
kesetaraan gender.

DAFPUS (INI FORMAT IPB YG BENER YAA):

Jennings J, Brush C. 2013. Research on women entrepreneurs: challenges to (and


from) the broader entrepreneurship literature?. The Academy of
Management Annals. 7:663–715. doi:10.1080/19416520.2013.782190.
Meykens M, Allen I, Brush C. 2011. Human capital and hybrid ventures. Social
and Sustainable Entrepreneurship Advances in Entrepreneurship, Firm
Emergence, and Growth. 13:51–72. doi:10.1108/S1074-
7540(2011)0000013007.
Hechavarria D, Ingram A, Justo R, Siri T. 2012. Are women more likely to pursue
social and environmental entrepreneurship?. Global Women's
Entrepreneurship Research: Diverse Settings, Questions and Approaches.
135-151. doi: 10.4337/9781849804622.00016.

Anda mungkin juga menyukai