Penangananmalariasecaratradisionaldi Pulau Timor
Penangananmalariasecaratradisionaldi Pulau Timor
net/publication/341489476
CITATIONS READS
0 69
2 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Ethnomedicine and ethnomedicinal plants of various ethnics in Timor island Indonesia View project
All content following this page was uploaded by Maximus Markus Taek on 19 May 2020.
Makalah
PENDAHULUAN
pemahaman tentang penyakit malaria pada masyarakat berbagai suku bangsa berbeda-
beda; hal ini antara lain berhubungan dengan keyakinan budaya masing-masing. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat tradisional dari hampir semua
kebudayaan sejak dahulu sudah mengembangkan cara-cara untuk mencegah serangan
penyakit malaria, mengobati dan merawat penderita penyakit ini (Willcox et al, 2004).
Penyakit malaria merupakan penyakit klasik yang sangat dikenal di Pulau Timor,
yang sampai sekarang pun tidak habis diberantas. Catatan sejarah menunjukkan bahwa
sejak dahulu penyakit ini merupakan penyakit infeksi utama yang sering menyerang
masyarakat di pulau Timor (Embuiru, 1998; Wellem, 2006; Seran, 2007). Masyarakat
asli yang mendiami wilayah Kabupaten Belu dan Malaka mengenal penyakit malaria
sebagai penyakit isin manas (badan panas; demam) dengan tanda-tanda utama: manas
(demam tinggi), kiki (menggigil), ulun moras (sakit kepala), oin nalai (pusing), nanan
moruk (lidah pahit) dan kok bubu (limpa bengkak) (Maximus, 2015, komunikasi pribadi).
Karena itu dapat diduga bahwa masyarakat asli di wilayah ini tentu memiliki kearifan
lokal pengobatan tradisional untuk menangani penyakit tersebut.
Berdasarkan catatan sejarah, wilayah Timor sejak dahulu sering diserang berbagai
peyakit berbahaya seperti malaria dan kolera; dan penyakit malaria adalah penyakit
infeksi utama yang sering menyerang masyarakat Timor, khususnya masyarakat di
wilayah Belu dan Malaka (Embuiru, 1998; Wellem, 2006; Seran, 2007). Catatan para
misionaris Belanda menunjukkan bahwa masyarakat Timor pada tahun 1800-an banyak
terserang penyakit malaria yang menimbulkan banyak kematian (Embuiru, 1998).
Wellem (2006) menuliskan bahwa pada tahun 1819, para misionaris asing dari Eropa
tidak dapat bertahan di Timor dan terpaksa kembali ke Batavia karena di Timor udaranya
terlalu panas dan sangat hebatnya serangan penyakit malaria.
Sampai saat ini wilayah Timor masih merupakan daerah endemik malaria dengan
klasifikasi tingkat endemisitas tinggi (hiperendemik). Menurut data Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan salah satu provinsi dengan tingkat endemisitas malaria tertinggi di Indonesia
selain Papua dan Papua Barat, dengan angka kesakitan malaria per 1000 penduduk
3
berisiko dalam satu tahun (Annual Parasite Insidence, API) sebesar 16,37‰; jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan rata-rata API nasional 1,38‰.
Penyakit malaria di wilayah Kabupaten Belu dan Malaka masih merupakan
masalah kesehatan yang serius. Kabupaten Belu dan Malaka tergolong daerah endemik
tinggi malaria, dengan API pada tahun 2014 masing-masing 12,87‰ dan 11,58‰ (GF-
Malaria NTT, 2015). Dinkes Belu (2014) bahkan mencatat bahwa pada tahun 2013, pola
penyakit terbesar dari data kunjungan rawat jalan di rumah-rumah sakit di Belu adalah
malaria (1.446 kasus; 19,65%), ISPA (1.311 kasus; 17,81%) dan TB Paru (746 kasus;
10,14%); dan dari data kunjungan rawat inap adalah malaria (1.557 kasus; 24,98%), diare
dan gastroentritis (808 kasus; 12,96%), dan TB Paru (349 kasus; 5,60%).
Berdasarkan laporan pemerintah, penyakit malaria di wilayah Belu dan Malaka
umumnya disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan P. vivax yang menginfeksi secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama (GF-Malaria NTT, 2015; Kemenkes RI, 2014;
Dinkes Belu, 2014). Dan vektor utama penyebar penyakit malaria di wilayah ini adalah
nyamuk Anopheles betina dari spesies A. aconitus, A. sundaicus, A. maculatus, A.
barbirostris, A. subpictus, A. vagus, A. annularis, A. indefinitus, A. flavirostris, A.
tesellatus dan A. umbrosus (GF-Malaria NTT, 2015; Dinkes NTT, 2014; Dinkes Belu,
2014).
Sebagai daerah endemik tinggi malaria, Kabupaten Belu dan Malaka –
sebagaimana kabupaten-kabupaten lain di NTT – mendapatkan perhatian yang besar dari
pemerintah dan lembaga-lembaga internasional dalam hal pelaksanaan berbagai program
pencegahan dan pemberantasan malaria. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dalam kerjasama dengan Global Fund telah menjalankan berbagai program pengendalian
malaria seperti pembagian kelambu berinsektisida (insecticide-impregnated net),
penyemprotan nyamuk secara temporer (saat Kejadian Luar Biasa/KLB; bukan sebagai
kegiatan rutin), penemuan dan pengobatan dini (Early Diagnosis and Prompt
Treatment/EDPT) melalui MBS (Mass Blood Survey), RDT (Rapid Diagnostic Test) dan
pengobatan dengan ACT (Artemisinin Combination Therapy; menggunakan obat
kombinasi Dihidroartemisinin-Piperakuin/DHP), dan program-program pemberdayaan
masyarakat (GF-Malaria NTT, 2015).
4
Masyarakat asli yang mendiami wilayah Kabupaten Belu dan Malaka memiliki
cara-cara sederhana untuk mencegah penyakit malaria. Cara-cara tersebut umumnya
berhubungan dengan pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat yang ada di sekitar
lingkungan tempat tinggal mereka. Tumbuh-tumbuhan tersebut terutama digunakan
untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, dan untuk meningkatkan daya tahan
tubuh sehingga tidak mudah sakit (Maximus, 2015, komunikasi pribadi).
Dalam studi awal (Maximus, 2015, komunikasi pribadi) ditemukan ada kebiasaan
masyarakat asli di kampung-kampung di Belu dan Malaka untuk melakukan suas uma
(pengasapan rumah, semacam fogging). Suas uma adalah pengasapan rumah
menggunakan asap dari pembakaran daun/kayu/akar dan bahan tambahan lainnya,
dengan tujuan untuk “mengusir pengaruh jahat” yang dapat mendatangkan sakit dan
celaka kepada orang yang hidup di dalam rumah tersebut). Suas uma biasanya dilakukan
terutama sebagai ritual mistik untuk mengusir kekuatan jahat (roh jahat, setan, jin).
Walaupun demikian, ada juga masyarakat yang menggunakan cara suas uma ini untuk
kepentingan mengusir hama atau pembawa penyakit (misalnya nyamuk). Bahan yang
digunakan untuk suas uma umumnya adalah kayu atau daun yang mengeluarkan aroma
yang kuat yakni kayu cendana (Santalum album), daun jeruk (Citrus sp.), kulit kering
bawang merah (Allium cepa) dan bawang putih (Allium sativum), selasih/kemangi hutan
(Ocimum sp), ai dois metan (Hyptis pectinata) dan ai dois mutin (Ageratum conyzoides).
Sebagai pembakarnya digunakan sabut kelapa, kotoran sapi kering, atau kulu funan
(buah-gagal dari tumbuhan semacam sukun, Artocarpus sp.). Kadang-kadang untuk
memperkuat aroma asap, ditambahkan pula potongan tanduk sapi dan bulu ayam. Untuk
suas uma dengan tujuan mistis, biasanya menggunakan juga potongan tulang sapi.
Cara lain untuk menolak nyamuk adalah dengan menggunakan daun sirih (Piper
bettle). Penduduk yang bekerja di luar rumah (kebun, sawah, hutan) biasanya membaluri
tubuhnya dengan kunyahan daun sirih untuk menghindarkan dirinya dari gigitan nyamuk.
sayur-sayuran yang berasa pahit terutama pepaya (Carica papaya: daun, bunga dan buah)
dan pare (Momordica charantia: buah) secara rutin dipercaya sangat berguna untuk
melindungi tubuh terhadap serangan penyakit malaria. Banyak orang tua yang
membiasakan anaknya sejak kecil untuk memakan sayuran pahit terutama pepaya.
Minuman beralkohol yang dibuat secara tradisional dari nira lontar (disebut sopi),
biasanya dalam proses pengolahannya ditambahkan dengan kayu ular (Strychnos
ligustrina) atau kulit batang pule (Alstonia scholaris) untuk memberikan rasa pahit yang
dipercaya dapat meningkatkan kesegaran tubuh dan mencegah penyakit.
Obat tradisional dalam masyarakat asli di Belu dan Malaka dikenal dengan istilah
bahasa Tetun ai tahan (ai=kayu/pohon, tahan=daun) atau ai fuan (fuan=buah), kwa atau
ai moruk (kayu pahit). Komponen utama ai tahan/kwa/ai moruk tersebut adalah tumbuh-
tumbuhan yang berkhasiat obat; kadang-kadang juga dilengkapi dengan bahan lain
seperti kapur sirih.
Informasi awal mengenai tumbuh-tumbuhan obat yang digunakan dalam
pengobatan penyakit malaria oleh masyarakat asli di Belu dan Malaka, antara lain: dila
(pepaya, Carica papaya), ai baku moruk (kayu ular, Strychnos ligustrina), fuka (biduri,
Calotropis gigantea), baria moruk (pare, Momordica charantia), kroti mutin (pule,
Alstonia scholaris), kabanase (Wendlandia burkilli), fafok (sembung, Blumea
balsamifera), ai dois mutin (babandotan, Ageratum conyzoides) dan feu (Garuga
floribunda). (Catatan: keterangan mengenai tumbuh-tumbuhan ini belum digali secara
lebih mendalam, sehingga belum dapat dipastikan apakah pengetahuan ini memang
berasal dari praktik pengobatan tradisional masyarakat generasi sebelumnya).
Dalam penggunaannya sebagai obat, bagian-bagian tumbuhan tersebut – secara
sendiri-sendiri atau campuran beberapa tumbuhan – biasanya direbus untuk diminum
oleh penderita sakit. Contoh: akar ai dois mutin (babandotan, Ageratum conyzoides) dan
daun fafok (sembung, Blumea balsamifera) direbus secara bersama-sama dan airnya
diminum.
9
Dalam studi awal yang telah dilakukan, masih sangat kurang informasi yang dapat
dikumpulkan mengenai formula (komposisi bahan) obat tradisional yang digunakan
dalam pengobatan. Keterangan yang diperoleh mengenai dosis penggunaannya pun masih
sangat sedikit; kebanyakan menggunakan ukuran “secukupnya”. Demikian pula dengan
informasi mendetail mengenai pengolahannya masih sangat sedikit diperoleh.
Penderita penyakit malaria dilarang makan makanan yang manis. Makanan manis
atau bergula diyakini akan memperparah penyakitnya. Untuk penderita yang juga
mengalami pembengkakan limpa, pinggangnya ditempelkan dengan daun biduri
(Calotropis gigantea) yang dipanaskan di atas api berkali-kali; hal ini dilakukan setiap
pagi dan sore.
Selain ramuan tumbuhan obat yang disiapkan untuk diminum, ada juga yang
disiapkan untuk penggunaan luar misalnya untuk dioleskan pada tubuh dan untuk mandi.
Penderita yang suhu tubuhnya sudah normal kembali dapat dimandikan dengan
menggunakan ramuan bahan tumbuhan obat. Salah satu contoh ramuan air mandi adalah:
campuran daun fafok (sembung, Blumea balsamifera), daun dik fuik (dadap ayam,
Erythrina variegata), batang hudi fafuik (pisang badak, Musa sp.) dan kulit feu (Garuga
floribunda) direbus bersama-sama, dan airnya digunakan untuk memandikan penderita
sakit.
Dalam pengobatan dan perawatan orang sakit di lingkungan masyarakat asli di
Belu dan Malaka, sering ditemukan para pengobat tradisional juga melakukan ritual
tertentu, mengucapkan doa atau mantra-mantra, di samping menggunakan ramuan
tumbuhan obat. Walaupun demikian, dalam studi awal yang dilakukan, belum didapatkan
keterangan yang jelas apakah dalam pengobatan dan perawatan penderita penyakit
malaria juga digunakan ritual-ritual tertentu yang bernuansa mistik-religius tersebut.
Infeksi Plasmodium rusaknya sel-sel darah merah. Hal ini menyebabkan penderita
penyakit malaria sering mengalami anemia; yang mengakibatkan tubuh mudah lemas,
tidak bersemangat dan pucat, serta nafsu makan berkurang (Depkes RI, 2008). Karena
itu, selain pengobatan dan perawatan selama sakit, diperlukan pula penanganan lanjutan
untuk mengembalikan kondisi kesehatan penderita malaria.
Masyarakat asli di Belu dan Malaka mengenal beberapa ramuan tradisional untuk
memulihkan kondisi kesehatan penderita malaria pasca sakit. Dalam terminologi
tradisional, ramuan-ramuan itu dimaksudkan untuk “meningkatkan nafsu makan”,
“meningkatkan kesegaran tubuh”, “membersihkan darah kotor” dan “menambah darah”.
Tumbuh-tumbuhan yang digunakan dalam ramuan-ramuan obat untuk pemulihan
11
kesehatan pasca sakit antara lain: kabanase (Wendlandia burkilli), nunak (Cordia
subpubescens), ai niitaen (Sterculia urceolata), ai we (Eugenia sp.), ai buan liman (Ficus
hirta), dan badut malaka mean (Jatropha gossypifolia). Tumbuh-tumbuhan ini ada yang
digunakan sebagai ramuan untuk diminum, dan ada yang digunakan sebagai ramuan
untuk air mandi.
KESIMPULAN
Pulau Timor, khususnya wilayah Kabupaten Belu dan Malaka, merupakan daerah
endemik tinggi penyakit malaria. Penduduk asli di kedua kabupaten ini memiliki sejarah
yang panjang terpapar penyakit malaria. Karena itu mereka mengembangkan cara-cara
untuk menangani penyakit ini berdasarkan pemahaman atau pengetahuan lokal mereka
mengenai penyakit malaria tersebut.
Masyarakat asli di Belu dan Malaka menggunakan berbagai tumbuhan yang
berkhasiat obat untuk berbagai tujuan yang berhubungan dengan penanganan penyakit
malaria: sebagai repellent nyamuk; bahan makanan (food plant) yang bernilai
imunostimulan; obat profilaksis dan suppresif; untuk perawatan dan pemulihan kesehatan
penderita penyakit malaria.
REKOMENDASI
digunakan untuk melengkapi cara penanganan malaria konvensional yang saat ini
dijalankan di berbagai fasilitas kesehatan, sehingga upaya penanggulangan penyakit
malaria di wilayah ini menjadi lebih efektif
DAFTAR PUSTAKA
Alonso-Castro Angel Josabad, María del Carmen Juárez-Vázquez, and Nimsi Campos-
Xolalpa, 2016. Medicinal Plants from Mexico, Central America, and the Caribbean
Used as Immunostimulants. Evidence-Based Complementary and Alternative
Medicine Volume 2016, 15 pages.
Andrianarivelojosia Milijaona, 2010. History of Malaria Treatment in Madagascar.
Artemisinin Conference, 12th – 14th October 2010 in Antananarivo, Madagascar.
Balick, M., 2006. Ethnomedicine: ancient wisdom and modern science. Explore, vol. 2,
no. 3: 239.
Bivins R, 2009. Alternative Medicine? A History. Oxford University Press.
Depkes RI, 2008. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Jakarta.
Dinkes Belu, 2014. Profil Kesehatan Kabupaten Belu tahun 2013.
Dinkes NTT, 2014. Profil Kesehatan Provinsi NTT tahun 2013.
Elfahmi, HJ Woerdenbag, O Kayser, 2014. Jamu: Indonesian traditional herbal medicine
towards rational phytopharmacological use. Journal of Herbal Medicine 4: 51–73.
GF-Malaria NTT, 2015. Laporan Situasi Malaria di NTT tahun 2014.
Embuiru H, 1998. Sejarah Gereja Katolik di Timor jilid 2. Penerbit Nusa Indah, Ende.
Heinrich M, 2003. Ethnobotany and Natural Products: the search for new molecules, new
treatment of old diseases or a better understanding of indigenous cultures? Current
Topics in Medicinal Chemistry 3:29-42.
Heinrich M and P Bremner, 2006. Ethnobotany and ethnopharmacy – their role for
anticancer drug development. Current Drug Targets, 7: 239-245.
Idowu OA, CF Mafiana, Dapo Sotiloye, 2008. Traditional birth home attendance and its
implications for malaria control during pregnancy in Nigeria. Transactions of the
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, Volume 102, Issue 7, July 2008,
Pages 679-684.
Kemenkes RI, 2014. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013.
Mukherjee Pulok K, Neelesh K Nema, Santanu Bhadra, D Mukherjee, Fernão C Braga &
Motlalepula G Matsabisa, 2014. Immunomodulatory leads from medicinal plants.
Indian Journal of Traditional Knowledge Vol. 13 (2), pp. 235-256.
Ramawat KG (ed.), 2009. Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern Medicine. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg.
13
Seran HJ, 2007. Ema Tetun; kelangsungan dan perubahan dalam kebudayaan dan
kehidupan sosial suatu masyarakat tradisional di pedalaman pulau Timor,
Indonesia bagian timur. Penerbit Gita Kasih, Kupang.
Sethi J and Singh J (2015) Role of Medicinal Plants as Immunostimulants in Health and
Disease. Ann Med Chem Res 1(2): 1009.
Verpoorte R, 2009. Medicinal Plants: A Renewable Resource for Novel Leads and
Drugs. In: K.G. Ramawat (ed.), Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern
Medicine. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Wellem FD, 2006. Kamus Sejarah Gereja. Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta,
hlm.139.
Willcox M, G Bodeker, P Rasoanaivo (eds.), 2004. Traditional medicinal plants and
malaria. CRC Press, Boca Raton London New York Washington, D.C.
WHO, 2000. Development of National Policy on Traditional Medicine. Manila.