Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341489476

PENANGANAN PENYAKIT MALARIA SECARA TRADISIONAL OLEH


MASYARAKAT ASLI DI KABUPATEN BELU DAN MALAKA (PROVINSI NUSA
TENGGARA TIMUR)

Preprint · May 2020

CITATIONS READS

0 69

2 authors, including:

Maximus Markus Taek


Universitas Katolik Widya Mandira
20 PUBLICATIONS   36 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Ethnomedicine and ethnomedicinal plants of various ethnics in Timor island Indonesia View project

5-Books of colleagues View project

All content following this page was uploaded by Maximus Markus Taek on 19 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1

Makalah

PENANGANAN PENYAKIT MALARIA SECARA TRADISIONAL


OLEH MASYARAKAT ASLI DI KABUPATEN BELU
DAN MALAKA (PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR)

Maximus Markus Taek

PENDAHULUAN

Pengobatan tradisional adalah kumpulan pengetahuan, keterampilan dan praktik


berdasarkan pada teori, keyakinan dan pengalaman adat budaya yang berbeda, yang
digunakan dalam pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit dan peningkatan
performa fisik dan mental, yang telah digunakan secara turun temurun dari satu generasi
ke generasi selanjutnya (WHO, 2000). Di Indonesia, pengobatan tradisional didefinisikan
sebagai pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang
mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/
pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat
(Kepmenkes RI no. 1076/2003). Pengobatan tradisional sampai saat ini masih memegang
peranan penting dalam pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health care) pada
masyarakat di daerah-daerah pelosok dan terpencil (Balick, 2006; Verpoorte, 2009).
Setiap masyarakat atau suku bangsa yang mendiami suatu wilayah tertentu
memiliki kearifan lokal masing-masing untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Dalam
hal menghadapi penyakit-penyakit yang terjadi di lingkungannya, masyarakat tradisional
mengembangkan kearifan lokal pengobatan tradisionalnya berdasarkan pengalaman
mereka berhadapan dengan penyakit tersebut (Heinrich and Bremner, 2006; Bivins,
2009). Pengobatan dan obat tradisional merupakan sumber penting untuk mendapatkan
obat baru, dan sekaligus merupakan sumber untuk mendapatkan cara/pendekatan/strategi
baru dalam pengobatan atau perawatan kesehatan (Heinrich, 2003; Heinrich and
Bremner, 2006; Balick, 2006; Ramawat, 2009).
Cara-cara penanganan terhadap penyakit malaria yang dikembangkan dalam suatu
budaya pengobatan tradisional didasarkan pada pemahaman atau pengetahuan lokal
kelompok masyarakat tersebut mengenai penyakit malaria. Menurut Idowu et al (2008),
2

pemahaman tentang penyakit malaria pada masyarakat berbagai suku bangsa berbeda-
beda; hal ini antara lain berhubungan dengan keyakinan budaya masing-masing. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat tradisional dari hampir semua
kebudayaan sejak dahulu sudah mengembangkan cara-cara untuk mencegah serangan
penyakit malaria, mengobati dan merawat penderita penyakit ini (Willcox et al, 2004).
Penyakit malaria merupakan penyakit klasik yang sangat dikenal di Pulau Timor,
yang sampai sekarang pun tidak habis diberantas. Catatan sejarah menunjukkan bahwa
sejak dahulu penyakit ini merupakan penyakit infeksi utama yang sering menyerang
masyarakat di pulau Timor (Embuiru, 1998; Wellem, 2006; Seran, 2007). Masyarakat
asli yang mendiami wilayah Kabupaten Belu dan Malaka mengenal penyakit malaria
sebagai penyakit isin manas (badan panas; demam) dengan tanda-tanda utama: manas
(demam tinggi), kiki (menggigil), ulun moras (sakit kepala), oin nalai (pusing), nanan
moruk (lidah pahit) dan kok bubu (limpa bengkak) (Maximus, 2015, komunikasi pribadi).
Karena itu dapat diduga bahwa masyarakat asli di wilayah ini tentu memiliki kearifan
lokal pengobatan tradisional untuk menangani penyakit tersebut.

PENYAKIT MALARIA DI KABUPATEN BELU DAN MALAKA

Berdasarkan catatan sejarah, wilayah Timor sejak dahulu sering diserang berbagai
peyakit berbahaya seperti malaria dan kolera; dan penyakit malaria adalah penyakit
infeksi utama yang sering menyerang masyarakat Timor, khususnya masyarakat di
wilayah Belu dan Malaka (Embuiru, 1998; Wellem, 2006; Seran, 2007). Catatan para
misionaris Belanda menunjukkan bahwa masyarakat Timor pada tahun 1800-an banyak
terserang penyakit malaria yang menimbulkan banyak kematian (Embuiru, 1998).
Wellem (2006) menuliskan bahwa pada tahun 1819, para misionaris asing dari Eropa
tidak dapat bertahan di Timor dan terpaksa kembali ke Batavia karena di Timor udaranya
terlalu panas dan sangat hebatnya serangan penyakit malaria.
Sampai saat ini wilayah Timor masih merupakan daerah endemik malaria dengan
klasifikasi tingkat endemisitas tinggi (hiperendemik). Menurut data Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan salah satu provinsi dengan tingkat endemisitas malaria tertinggi di Indonesia
selain Papua dan Papua Barat, dengan angka kesakitan malaria per 1000 penduduk
3

berisiko dalam satu tahun (Annual Parasite Insidence, API) sebesar 16,37‰; jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan rata-rata API nasional 1,38‰.
Penyakit malaria di wilayah Kabupaten Belu dan Malaka masih merupakan
masalah kesehatan yang serius. Kabupaten Belu dan Malaka tergolong daerah endemik
tinggi malaria, dengan API pada tahun 2014 masing-masing 12,87‰ dan 11,58‰ (GF-
Malaria NTT, 2015). Dinkes Belu (2014) bahkan mencatat bahwa pada tahun 2013, pola
penyakit terbesar dari data kunjungan rawat jalan di rumah-rumah sakit di Belu adalah
malaria (1.446 kasus; 19,65%), ISPA (1.311 kasus; 17,81%) dan TB Paru (746 kasus;
10,14%); dan dari data kunjungan rawat inap adalah malaria (1.557 kasus; 24,98%), diare
dan gastroentritis (808 kasus; 12,96%), dan TB Paru (349 kasus; 5,60%).
Berdasarkan laporan pemerintah, penyakit malaria di wilayah Belu dan Malaka
umumnya disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan P. vivax yang menginfeksi secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama (GF-Malaria NTT, 2015; Kemenkes RI, 2014;
Dinkes Belu, 2014). Dan vektor utama penyebar penyakit malaria di wilayah ini adalah
nyamuk Anopheles betina dari spesies A. aconitus, A. sundaicus, A. maculatus, A.
barbirostris, A. subpictus, A. vagus, A. annularis, A. indefinitus, A. flavirostris, A.
tesellatus dan A. umbrosus (GF-Malaria NTT, 2015; Dinkes NTT, 2014; Dinkes Belu,
2014).
Sebagai daerah endemik tinggi malaria, Kabupaten Belu dan Malaka –
sebagaimana kabupaten-kabupaten lain di NTT – mendapatkan perhatian yang besar dari
pemerintah dan lembaga-lembaga internasional dalam hal pelaksanaan berbagai program
pencegahan dan pemberantasan malaria. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dalam kerjasama dengan Global Fund telah menjalankan berbagai program pengendalian
malaria seperti pembagian kelambu berinsektisida (insecticide-impregnated net),
penyemprotan nyamuk secara temporer (saat Kejadian Luar Biasa/KLB; bukan sebagai
kegiatan rutin), penemuan dan pengobatan dini (Early Diagnosis and Prompt
Treatment/EDPT) melalui MBS (Mass Blood Survey), RDT (Rapid Diagnostic Test) dan
pengobatan dengan ACT (Artemisinin Combination Therapy; menggunakan obat
kombinasi Dihidroartemisinin-Piperakuin/DHP), dan program-program pemberdayaan
masyarakat (GF-Malaria NTT, 2015).
4

Berbagai program pencegahan dan pemberantasan malaria tersebut di atas telah


menampakkan hasil yang baik; dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2014), API malaria di
di Belu dan Malaka berkurang dari rata-rata 23,38‰ menjadi 12,23‰ (GF-Malaria NTT,
2015). Walaupun demikian, angka API malaria untuk kedua wilayah dan Malaka tersebut
masih sangat tinggi dan jauh di atas target Renstra Kemenkes RI 2013 yakni API <
1,25‰ (Kemenkes RI, 2014).

PENANGANAN PENYAKIT MALARIA SECARA TRADISIONAL OLEH


MASYARAKAT ASLI DI KABUPATEN BELU DAN MALAKA

Penanggulangan penyakit malaria merupakan upaya terintegrasi antara


pencegahan dan pengobatan malaria, yang semuanya ditujukan untuk memutus mata
rantai penularan malaria. Secara biomedik, penanggulangan penyakit malaria didasarkan
pada pengetahuan mengenai hubungan antara Plasmodium (agen penyebab), nyamuk
Anopheles (vektor), manusia (host) dan lingkungan. Pencegahan penyakit malaria
dilakukan dengan obat atau tanpa obat, antara lain dengan cara pembersihan lingkungan
untuk menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk, penggunaan kelambu,
penggunaan larvisida, penyemprotan nyamuk, penggunaan repellent nyamuk, dan
penggunaan obat-obat antimalaria kemoprofilaksis. Pengobatan dilakukan menggunakan
obat-obatan yang bersifat suppresif untuk membunuh Plasmodium (Depkes RI, 2008).
Penanganan penyakit malaria dalam pengobatan tradisional secara umum
memiliki model yang mirip dengan cara konvensional, walaupun berangkat dari
pemahaman yang berbeda mengenai penyakit malaria tersebut. Masyarakat tradisional di
berbagai belahan dunia dan dari berbagai latar belakang kebudayaan sejak dahulu sudah
mengembangkan kearifan lokal masing-masing dalam hal menangani penyakit ini
(Willcox et al, 2004).
Berdasarkan studi pendahuluan, didapati bahwa masyarakat asli yang mendiami
wilayah Kabupaten Belu dan Malaka juga memiliki kearifan lokal untuk menangani
penyakit malaria yang sering menyerang mereka. Mereka memiliki cara-cara tradisional
untuk menghindarkan diri dan keluarga dari serangan penyakit malaria serta mengobati
dan merawat orang yang sakit karena terserang penyakit tersebut (Maximus, 2015,
komunikasi pribadi).
5

PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA SECARA TRADISIONAL

Masyarakat asli yang mendiami wilayah Kabupaten Belu dan Malaka memiliki
cara-cara sederhana untuk mencegah penyakit malaria. Cara-cara tersebut umumnya
berhubungan dengan pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat yang ada di sekitar
lingkungan tempat tinggal mereka. Tumbuh-tumbuhan tersebut terutama digunakan
untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, dan untuk meningkatkan daya tahan
tubuh sehingga tidak mudah sakit (Maximus, 2015, komunikasi pribadi).

Tumbuhan obat untuk mencegah gigitan nyamuk (repellent)

Dalam studi awal (Maximus, 2015, komunikasi pribadi) ditemukan ada kebiasaan
masyarakat asli di kampung-kampung di Belu dan Malaka untuk melakukan suas uma
(pengasapan rumah, semacam fogging). Suas uma adalah pengasapan rumah
menggunakan asap dari pembakaran daun/kayu/akar dan bahan tambahan lainnya,
dengan tujuan untuk “mengusir pengaruh jahat” yang dapat mendatangkan sakit dan
celaka kepada orang yang hidup di dalam rumah tersebut). Suas uma biasanya dilakukan
terutama sebagai ritual mistik untuk mengusir kekuatan jahat (roh jahat, setan, jin).
Walaupun demikian, ada juga masyarakat yang menggunakan cara suas uma ini untuk
kepentingan mengusir hama atau pembawa penyakit (misalnya nyamuk). Bahan yang
digunakan untuk suas uma umumnya adalah kayu atau daun yang mengeluarkan aroma
yang kuat yakni kayu cendana (Santalum album), daun jeruk (Citrus sp.), kulit kering
bawang merah (Allium cepa) dan bawang putih (Allium sativum), selasih/kemangi hutan
(Ocimum sp), ai dois metan (Hyptis pectinata) dan ai dois mutin (Ageratum conyzoides).
Sebagai pembakarnya digunakan sabut kelapa, kotoran sapi kering, atau kulu funan
(buah-gagal dari tumbuhan semacam sukun, Artocarpus sp.). Kadang-kadang untuk
memperkuat aroma asap, ditambahkan pula potongan tanduk sapi dan bulu ayam. Untuk
suas uma dengan tujuan mistis, biasanya menggunakan juga potongan tulang sapi.
Cara lain untuk menolak nyamuk adalah dengan menggunakan daun sirih (Piper
bettle). Penduduk yang bekerja di luar rumah (kebun, sawah, hutan) biasanya membaluri
tubuhnya dengan kunyahan daun sirih untuk menghindarkan dirinya dari gigitan nyamuk.

Tumbuhan obat dan food plant sebagai imunostimulan


6

Imunostimulan merupakan suatu agen farmakologis yang memberikan efek


meningkatkan respon imun. Suatu imunostimulan bertanggung jawab untuk memperkuat
daya tahan tubuh terhadap infeksi patogen (Alonso-Castro et al, 2016; Sethi and Singh,
2015; Mukherjee et al, 2014). Dalam pengobatan tradisional, istilah imunostimulan
berkorelasi dengan terminologi masyarakat tradisional yakni "membersihkan darah,"
"memperkuat tubuh," dan "meningkatkan pertahanan tubuh" (Alonso-Castro et al, 2016).
Bahkan sebagian besar tumbuhan obat dan formula obat tradisional ditujukan terutama
untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah penyakit (Sethi and Singh, 2015).
Dalam beberapa kasus, tumbuhan yang secara tradisional digunakan untuk tujuan
"membersihkan darah," "memperkuat tubuh," dan "meningkatkan pertahanan tubuh"
telah terbukti memiliki aktivitas sebagai imunostimulan (Alonso-Castro et al, 2016).
Banyak tumbuhan obat seperti pule (Alstonia scholaris), brotowali (Tinospora
sp.) dan sambiloto (Andrographis paniculata) yang terkandung dalam jamu Jawa, yang
diklaim berkhasiat meningkatkan kesegaran tubuh, diyakini memberikan efek
imunostimulan yang meningkatkan daya tahan seseorang terhadap serangan penyakit,
termasuk malaria (Elfahmi et al, 2015).
Dalam studi awal didapati kesan bahwa masyarakat asli di Belu dan Malaka
kurang mementingkan upaya pencegahan penyakit dengan ramuan-ramuan obat
tradisional dari pada untuk pengobatan (Maximus, 2015, komunikasi pribadi). Dalam
beberapa wawancara awal, hampir tidak didapatkan informasi mengenai tumbuhan obat
atau ramuan tumbuhan obat yang digunakan dengan tujuan untuk mencegah penyakit,
atau meningkatkan daya tahan tubuh, sebagaimana jamu yang lazim digunakan oleh
masyarakat di Jawa. Walaupun demikian, beberapa narasumber memberikan keterangan
bahwa penggunaan bahan tumbuhan untuk tujuan pencegahan penyakit dan peningkatan
daya tahan tubuh dikenal juga dalam kehidupan masyarakat asli di Belu dan Malaka, tapi
tumbuh-tumbuhan itu lebih merupakan tumbuhan bahan makanan (food plant) dari pada
tumbuhan obat. Tumbuh-tumbuhan itu umumnya dikonsumsi sebagai sayuran.
Ada masyarakat yang memiliki kebiasaan menambahkan pucuk daun samer
(mindi, Melia dubia) atau hali (beringin, Ficus sp.) sebagai sayuran dalam masakan
tradisional berbahan jagung, yang diyakini berkhasiat meningkatkan kesegaran tubuh dan
ketahanan terhadap serangan penyakit-penyakit musiman, termasuk malaria. Memakan
7

sayur-sayuran yang berasa pahit terutama pepaya (Carica papaya: daun, bunga dan buah)
dan pare (Momordica charantia: buah) secara rutin dipercaya sangat berguna untuk
melindungi tubuh terhadap serangan penyakit malaria. Banyak orang tua yang
membiasakan anaknya sejak kecil untuk memakan sayuran pahit terutama pepaya.
Minuman beralkohol yang dibuat secara tradisional dari nira lontar (disebut sopi),
biasanya dalam proses pengolahannya ditambahkan dengan kayu ular (Strychnos
ligustrina) atau kulit batang pule (Alstonia scholaris) untuk memberikan rasa pahit yang
dipercaya dapat meningkatkan kesegaran tubuh dan mencegah penyakit.

Tumbuhan obat sebagai kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria, sehingga


bila seseorang sampai terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Kemoprofilaksis ini
ditujukan terutama kepada orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu
yang tidak terlalu lama (Depkes RI, 2008).
Dalam studi awal diperoleh cerita pengalaman dari beberapa narasumber berusia
tua, bahwa pada masa kecilnya mereka sering dipaksa oleh orang tuanya untuk meminum
rebusan daun pepaya (Carica papaya) tua yang sangat pahit rasanya. Ada juga yang
memberikan keterangan bahwa mereka meminum rendaman atau rebusan kayu ular
(Strychnos ligustrina) sebagai antisipasi terhadap serangan penyakit malaria. Biasanya
hal ini dilakukan pada saat memasuki pergantian musim di mana penyakit malaria sering
mewabah (Maximus, 2015, komunikasi pribadi).

Kebiasaan hidup lainnya yang bernilai pencegahan

Ada sebagian masyarakat di kampung-kampung di Belu dan Malaka yang


mempunyai kebiasaan menyalakan api unggun di luar rumah pada malam hari.
Masyarakat yang tinggal di rumah-rumah panggung (Gambar 1), kadang-kadang
membuat perapian di bawah kolong rumahnya untuk mengusir nyamuk dan serangga
malam yang mengganggu tidur. Ada pula yang membiarkan perapian dapurnya tetap
hidup sehingga panas dan asap yang dihasilkannya dapat membantu mengusir nyamuk
(catatan: di rumah-rumah panggung, dapur terletak di dalam rumah di dekat tempat
anggota keluarga tidur).
8

Kebiasaan-kebiasaan ini, walaupun mungkin tidak disadari, memiliki nilai sebagai


tindakan-tindakan pencegahan (preventif) terhadap penularan penyakit malaria.

Gambar 1. Rumah panggung di Kabupaten Malaka

TUMBUHAN OBAT TRADISIONAL ANTIMALARIA

Obat tradisional dalam masyarakat asli di Belu dan Malaka dikenal dengan istilah
bahasa Tetun ai tahan (ai=kayu/pohon, tahan=daun) atau ai fuan (fuan=buah), kwa atau
ai moruk (kayu pahit). Komponen utama ai tahan/kwa/ai moruk tersebut adalah tumbuh-
tumbuhan yang berkhasiat obat; kadang-kadang juga dilengkapi dengan bahan lain
seperti kapur sirih.
Informasi awal mengenai tumbuh-tumbuhan obat yang digunakan dalam
pengobatan penyakit malaria oleh masyarakat asli di Belu dan Malaka, antara lain: dila
(pepaya, Carica papaya), ai baku moruk (kayu ular, Strychnos ligustrina), fuka (biduri,
Calotropis gigantea), baria moruk (pare, Momordica charantia), kroti mutin (pule,
Alstonia scholaris), kabanase (Wendlandia burkilli), fafok (sembung, Blumea
balsamifera), ai dois mutin (babandotan, Ageratum conyzoides) dan feu (Garuga
floribunda). (Catatan: keterangan mengenai tumbuh-tumbuhan ini belum digali secara
lebih mendalam, sehingga belum dapat dipastikan apakah pengetahuan ini memang
berasal dari praktik pengobatan tradisional masyarakat generasi sebelumnya).
Dalam penggunaannya sebagai obat, bagian-bagian tumbuhan tersebut – secara
sendiri-sendiri atau campuran beberapa tumbuhan – biasanya direbus untuk diminum
oleh penderita sakit. Contoh: akar ai dois mutin (babandotan, Ageratum conyzoides) dan
daun fafok (sembung, Blumea balsamifera) direbus secara bersama-sama dan airnya
diminum.
9

Dalam studi awal yang telah dilakukan, masih sangat kurang informasi yang dapat
dikumpulkan mengenai formula (komposisi bahan) obat tradisional yang digunakan
dalam pengobatan. Keterangan yang diperoleh mengenai dosis penggunaannya pun masih
sangat sedikit; kebanyakan menggunakan ukuran “secukupnya”. Demikian pula dengan
informasi mendetail mengenai pengolahannya masih sangat sedikit diperoleh.

PERAWATAN ORANG SAKIT MALARIA SECARA TRADISIONAL

Dalam penanganan penderita penyakit malaria, selain pemberian obat antimalaria,


juga dilakukan pengobatan supportif dan tindakan perawatan umum untuk
menghilangkan simptom serta komplikasi yang timbul (Depkes RI, 2008).
Masyarakat asli yang mendiami wilayah Kabupaten Belu dan Malaka mengenal
penyakit malaria sebagai penyakit isin manas (badan panas; demam) dengan tanda-tanda
utama: manas (demam tinggi), kiki (menggigil), ulun moras (sakit kepala), oin nalai
(pusing), nanan moruk (lidah pahit) dan kok bubu (limpa bengkak atau splenomegali)
(Maximus, 2015, komunikasi pribadi). Mereka memiliki cara-cara penanganan penderita
penyakit malaria secara tradisional, walaupun hampir sama dengan di tempat lain,
kebanyakan tindakan perawatan umum untuk penderita penyakit malaria tersebut adalah
merupakan cara-cara perawatan sederhana untuk mengatasi demam (in-home
management of fever) (Andrianarivelojosia, 2010).
Para pengobat umumnya melarang penderita penyakit malaria untuk mandi
sebelum suhu tubuhnya kembali normal. Pada saat suhu tubuh masih tinggi, penderita
hanya boleh dikompres dengan air dingin di dahinya, untuk mencegah penderita
kehilangan kesadaran dan pingsan. Masyarakat meyakini bahwa jika penderita yang
mengalami demam/panas tinggi dimandikan, dapat terjadi keadaan yang disebut “darah
putih naik”, yang mengakibatkan penderita mengalami sakit kepala yang sangat hebat,
pingsan, bahkan meninggal, atau menjadi gila.
Penderita disuruh memakai pakaian yang berwarna gelap atau hitam dan tidur
dengan ditutup selimut yang tebal. Hal ini dimaksudkan untuk memaksa agar penderita
segera berkeringat. Masyarakat yakin bahwa jika penderita yang mengalami demam
tinggi mulai berkeringat, itu menandakan bahwa penderita tersebut mulai berangsur
sembuh.
10

Penderita penyakit malaria dilarang makan makanan yang manis. Makanan manis
atau bergula diyakini akan memperparah penyakitnya. Untuk penderita yang juga
mengalami pembengkakan limpa, pinggangnya ditempelkan dengan daun biduri
(Calotropis gigantea) yang dipanaskan di atas api berkali-kali; hal ini dilakukan setiap
pagi dan sore.
Selain ramuan tumbuhan obat yang disiapkan untuk diminum, ada juga yang
disiapkan untuk penggunaan luar misalnya untuk dioleskan pada tubuh dan untuk mandi.
Penderita yang suhu tubuhnya sudah normal kembali dapat dimandikan dengan
menggunakan ramuan bahan tumbuhan obat. Salah satu contoh ramuan air mandi adalah:
campuran daun fafok (sembung, Blumea balsamifera), daun dik fuik (dadap ayam,
Erythrina variegata), batang hudi fafuik (pisang badak, Musa sp.) dan kulit feu (Garuga
floribunda) direbus bersama-sama, dan airnya digunakan untuk memandikan penderita
sakit.
Dalam pengobatan dan perawatan orang sakit di lingkungan masyarakat asli di
Belu dan Malaka, sering ditemukan para pengobat tradisional juga melakukan ritual
tertentu, mengucapkan doa atau mantra-mantra, di samping menggunakan ramuan
tumbuhan obat. Walaupun demikian, dalam studi awal yang dilakukan, belum didapatkan
keterangan yang jelas apakah dalam pengobatan dan perawatan penderita penyakit
malaria juga digunakan ritual-ritual tertentu yang bernuansa mistik-religius tersebut.

TUMBUHAN OBAT UNTUK PEMULIHAN KONDISI SETELAH SAKIT

Infeksi Plasmodium rusaknya sel-sel darah merah. Hal ini menyebabkan penderita
penyakit malaria sering mengalami anemia; yang mengakibatkan tubuh mudah lemas,
tidak bersemangat dan pucat, serta nafsu makan berkurang (Depkes RI, 2008). Karena
itu, selain pengobatan dan perawatan selama sakit, diperlukan pula penanganan lanjutan
untuk mengembalikan kondisi kesehatan penderita malaria.
Masyarakat asli di Belu dan Malaka mengenal beberapa ramuan tradisional untuk
memulihkan kondisi kesehatan penderita malaria pasca sakit. Dalam terminologi
tradisional, ramuan-ramuan itu dimaksudkan untuk “meningkatkan nafsu makan”,
“meningkatkan kesegaran tubuh”, “membersihkan darah kotor” dan “menambah darah”.
Tumbuh-tumbuhan yang digunakan dalam ramuan-ramuan obat untuk pemulihan
11

kesehatan pasca sakit antara lain: kabanase (Wendlandia burkilli), nunak (Cordia
subpubescens), ai niitaen (Sterculia urceolata), ai we (Eugenia sp.), ai buan liman (Ficus
hirta), dan badut malaka mean (Jatropha gossypifolia). Tumbuh-tumbuhan ini ada yang
digunakan sebagai ramuan untuk diminum, dan ada yang digunakan sebagai ramuan
untuk air mandi.

KESIMPULAN

Pulau Timor, khususnya wilayah Kabupaten Belu dan Malaka, merupakan daerah
endemik tinggi penyakit malaria. Penduduk asli di kedua kabupaten ini memiliki sejarah
yang panjang terpapar penyakit malaria. Karena itu mereka mengembangkan cara-cara
untuk menangani penyakit ini berdasarkan pemahaman atau pengetahuan lokal mereka
mengenai penyakit malaria tersebut.
Masyarakat asli di Belu dan Malaka menggunakan berbagai tumbuhan yang
berkhasiat obat untuk berbagai tujuan yang berhubungan dengan penanganan penyakit
malaria: sebagai repellent nyamuk; bahan makanan (food plant) yang bernilai
imunostimulan; obat profilaksis dan suppresif; untuk perawatan dan pemulihan kesehatan
penderita penyakit malaria.

REKOMENDASI

Diperlukan penelitian yang mendalam untuk menggali lebih banyak informasi


mengenai pengobatan tradisional masyarakat asli di Belu dan Malaka untuk
menanggulangi penyakit malaria. Penelitian diarahkan terutama untuk menggali kearifan
lokal pengobatan tradisional yang asli; yang dipraktikkan secara turun temurun oleh
masyarakat asli di wilayah itu. Informasi sedapat mungkin digali dari orang-orang tua
yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan tradisional, terutama yang masih
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari; dan mencakup aspek-aspek pengetahuan
lokal dan filosofi mengenai penyakit malaria, cara-cara dan alasan pemilihan cara
penanganan malaria; pemanfaatan sumber daya alam untuk penanganan malaria, praktik
pengobatan, dan sebagainya.
Penelitian untuk menggali kearifan lokal masyarakat asli dalam menangani
penyakit ini diharapkan dapat memunculkan cara-cara baru yang lebih cocok dengan
kondisi alam serta sosial-budaya masyarakat di wilayah ini; dengan demikian dapat
12

digunakan untuk melengkapi cara penanganan malaria konvensional yang saat ini
dijalankan di berbagai fasilitas kesehatan, sehingga upaya penanggulangan penyakit
malaria di wilayah ini menjadi lebih efektif

DAFTAR PUSTAKA

Alonso-Castro Angel Josabad, María del Carmen Juárez-Vázquez, and Nimsi Campos-
Xolalpa, 2016. Medicinal Plants from Mexico, Central America, and the Caribbean
Used as Immunostimulants. Evidence-Based Complementary and Alternative
Medicine Volume 2016, 15 pages.
Andrianarivelojosia Milijaona, 2010. History of Malaria Treatment in Madagascar.
Artemisinin Conference, 12th – 14th October 2010 in Antananarivo, Madagascar.
Balick, M., 2006. Ethnomedicine: ancient wisdom and modern science. Explore, vol. 2,
no. 3: 239.
Bivins R, 2009. Alternative Medicine? A History. Oxford University Press.
Depkes RI, 2008. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Jakarta.
Dinkes Belu, 2014. Profil Kesehatan Kabupaten Belu tahun 2013.
Dinkes NTT, 2014. Profil Kesehatan Provinsi NTT tahun 2013.
Elfahmi, HJ Woerdenbag, O Kayser, 2014. Jamu: Indonesian traditional herbal medicine
towards rational phytopharmacological use. Journal of Herbal Medicine 4: 51–73.
GF-Malaria NTT, 2015. Laporan Situasi Malaria di NTT tahun 2014.
Embuiru H, 1998. Sejarah Gereja Katolik di Timor jilid 2. Penerbit Nusa Indah, Ende.
Heinrich M, 2003. Ethnobotany and Natural Products: the search for new molecules, new
treatment of old diseases or a better understanding of indigenous cultures? Current
Topics in Medicinal Chemistry 3:29-42.
Heinrich M and P Bremner, 2006. Ethnobotany and ethnopharmacy – their role for
anticancer drug development. Current Drug Targets, 7: 239-245.
Idowu OA, CF Mafiana, Dapo Sotiloye, 2008. Traditional birth home attendance and its
implications for malaria control during pregnancy in Nigeria. Transactions of the
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, Volume 102, Issue 7, July 2008,
Pages 679-684.
Kemenkes RI, 2014. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013.
Mukherjee Pulok K, Neelesh K Nema, Santanu Bhadra, D Mukherjee, Fernão C Braga &
Motlalepula G Matsabisa, 2014. Immunomodulatory leads from medicinal plants.
Indian Journal of Traditional Knowledge Vol. 13 (2), pp. 235-256.
Ramawat KG (ed.), 2009. Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern Medicine. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg.
13

Seran HJ, 2007. Ema Tetun; kelangsungan dan perubahan dalam kebudayaan dan
kehidupan sosial suatu masyarakat tradisional di pedalaman pulau Timor,
Indonesia bagian timur. Penerbit Gita Kasih, Kupang.
Sethi J and Singh J (2015) Role of Medicinal Plants as Immunostimulants in Health and
Disease. Ann Med Chem Res 1(2): 1009.
Verpoorte R, 2009. Medicinal Plants: A Renewable Resource for Novel Leads and
Drugs. In: K.G. Ramawat (ed.), Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern
Medicine. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Wellem FD, 2006. Kamus Sejarah Gereja. Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta,
hlm.139.
Willcox M, G Bodeker, P Rasoanaivo (eds.), 2004. Traditional medicinal plants and
malaria. CRC Press, Boca Raton London New York Washington, D.C.
WHO, 2000. Development of National Policy on Traditional Medicine. Manila.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai