Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS TBC (TUBERKULOSIS) DAN HIV

(HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS)/AIDS (ACQUIRED


IMMUNO DEFICIENCY SYNDROM)
Dosen pembimbing : H. Wasludin, SKM,M.Kes

DISUSUN OLEH :

NAMA : SITI KHOPIPAH


NIM : P27901119048
TINGKAT : 1A KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2019/2020
A. Pengertian TBC
Penyakit TBC sudah dikenal sejak dahulu kala. Penyakit ini disebabkan
oleh kuman/bakteri mycobacterium tuberculosis. Kuman ini pada umumnya
menyerang paru - paru, dan sebagian lagi dapat menyerang di luar paru -
paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan,
selaput otak, dan sebagainya.
Penyakit TBC merupakan masalah yang besar bagi negara berkembang
termasuk Indonesia, karena diperkirakan 95% penderita TBC berada di
negara berkembang, dan 75% dari penderita TBC tersebut adalah kelompok
usia produktif (15 - 50).

B. Etiologi TBC
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1 - 4 mm dengan tebal 0,3 - 0,6 mm. Sebagian besar
komponen mycobacterium tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga
kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan
faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah
yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycobacterium tuberculosis senang
tinggal di daerah apeks paru - paru yang kandungan oksigennya tinggi.
Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit TBC.

C. Gejala TBC
Gejala TBC pada orang dewasa
► Batuk terus - menerus dengan dahak selama 3 minggu atau lebih.
► Kadang - kadang dahak yang keluar bercampur dengan darah.
► Sesak nafas dan rasa nyeri di dada.
► Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun.
► Berkeringat malam hari walau tanpa aktivitas.
► Demam meriang (demam ringan) lebih dari sebulan.
Gejala TBC pada anak - anak
► Berat badan turun selama 3 bulan berturut - turut tanpa sebab yang
jelas.
► Berat badan anak tidak bertambah (anak kecil/kurus terus).
► Tidak ada nafsu makan.
► Demam lama dan berulang.
► Muncul benjolan di daerah leher, ketiak, dan lipat paha.

D. Pemeriksaan Diagnosis TBC


Deteksi dan diagnosis TB dicapai dengan tes objektif dan temuan
pengkajian subjektif. Perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus terus
mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap TB bagi kelompok
yang berisiko tinggi. Infeksi TB primer sering tidak dikenali karena biasanya
infeksi ini asimptomatis. Lesi pengapuran dan tes kulit positif sering kali
merupakan satu - satunya indikasi infeksi TB primer telah terjadi.
Pemeriksaan diagnostik berikutnya biasanya dilakukan untuk menegakkan
infeksi TB.
 Kultur sputum : positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap
aktif penyakit.
 Ziehl - Neelsen (pewarnaan tahan asam) : positif untuk basil tahan
asam.
 Tes kulit Mantoux (PPD, OT) : reaksi yang signifikan pada individu
yang sehat biasanya menunjukan TB dorma/infeksi yang disebabkan
oleh mikobakterium yang berbeda (keterampilan 3 - 4).
 Ronsen dada : menunjukan infiltrasi kecil lesi dini pada bidang atas
paru, deposit kalsium dari lesi primer yang telah menyembuh, atau
cairan dari suatu efusi. Perubahan yang menandakan TB lebih lanjut
mencakup kavitasi, area fibrosa.
 Biopsi jarum jaringan paru : positif untuk granuloma TB. Adanya sel -
sel raksasa menunjukkan nekrosis.
 AGD : mungkin abnormal bergantung pada letak, keparahan, dan
kerusakan paru residual.
 Pemeriksaan fungsi pulmonal : penurunan kapasitas viral, peningkatan
ruang rugi, peningkatan rasio udara residual terhadap kapasitas paru
total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder akibat
infiltrasi/fibrosis parenkim.

E. Penanggulangan TBC Sesuai Program Pemerintah


Jumlah kasus TB di Indonesia (WHO tahun 2017), diperkirakan ada
1.020.000 kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan
100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 78.000
kasus TB dengan HIV positif (10 per 100.000 penduduk), mortalitas 26.000).
Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru.
Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan
sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 10.000 kasus
yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus
TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.
Tujuan dan Target
Untuk tercapainya target program Penanggulangan TB Nasional, Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus menetapkan
target Penanggulangan TB tingkat daerah berdasarkan target nasional dan
memperhatikan Strategi Nasional.
Strategi Nasional Penanggulangan TB sebagaimana dimaksud terdiri atas:
• Penguatan kepemimpinan program TB;
• Peningkatan akses layanan TB yang bermutu;
• Pengendalian faktor risiko TB;
• Peningkatan kemitraan TB;
• Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB; dan
• Penguatan manajemen program TB.
F. Komplikasi TBC
TB apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita TB dibedakan menjadi
dua yaitu :
1. Komplikasi dini : pleuritis, efusipleura, empiema, laryngritis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium
lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada
paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang
pecah
e. Penyebaran infeksi ke orang lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal,
dan sebagai nya

G. Aspek Sosial Budaya TBC


1. Lingkungan yang lembap, gelap dan tidak memiliki ventilasi
memberikan andil besar bagi seseorang terjangkit TBC.
2. Kurangnya informasi berkaitan cara pencegahan dan pengobatan
TBC.
3. Rasa sakit waktu disuntik dan skala penyuntikan yang terlalu sering
membuat si penderita mengundurkan diri untuk diobati.
4. Si penderita merasa terlalu cepat sembuh, padahal pengobatan belum
tuntas.
5. Alasan jarak puskesmas atau rumah sakit yang jauh.
6. Biaya pengobatan yang kurang terjangkau untuk sebagian.

H. Pengertian HIV/AIDS
a. Pengertian HIV
HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu
sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
Virus HIV akan masuk ke dalam sel darah putih dan
merusaknya, sehingga sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya sistem kekebalan
tubuh menjadi lemah dan penderita mudah terkena berbagai penyakit.
b. Pengertian AIDS
AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrom,
yaitu kumpulan gejala penyakit (sindrom) yang didapat akibat turunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan HIV.
Ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan
tubuh, maka semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh dengan mudah
(infeksi opportunistik). Oleh karena itu sistem kekebalan tubuhnya
menjadi sangat lemah, maka penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan
menjadi sangat berbahaya.

I. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut
HIV dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang
disebutLympadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell
Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell Lympanotropic
Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA)
menjadi asam eoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu
(Nurrarif & Hardhi, 2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari
lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.
Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu
like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak
ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis

J. Gejala HIV/AIDS
 Penurunan berat badan dengan cepat lebih dari 10% tanpa ada alasan
yang jelas dalam 1 bulan.
 Demam dan flu yang tidak kunjung sembuh. Seseorang tersebut akan
mengalami demam yang berkelanjutan dan hilang timbul, biasanya

demam mencapai lebih dari 39◦c dan tak sembuh setelah diberikan obat
antipiretik (penurun panas).
 Diare yang tak kunjung sembuh selama 1 bulan.
 Cepat merasa leleh. Karena jenis virus menyerang sistem kekebalan
tubuh maka penderita HIV/AIDS ini akan cepat merasakan lelah
walaupun dalam aktifitas yang tak terlalu banyak.
 Bintik - bintik berwarna keungu - unguan yang tidak biasa.
 Pembesaran kelenjar secara menyeluruh di leher dan lipatan dada.

K. Pemeriksaan Diagnosis HIV/AIDS


Untuk membantu menegakkan diagnosa infeksi HIV/AIDS harus
berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan pembagian gejala klinis baik
mayor maupun minor. Dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS apabila
pemeriksaan tes HIV enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dari
metode yang berbeda menunjukkan hasil reaktif dan telah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan western bolt serta didapatkan dua gejala mayor dan satu
gejala minor (Nasronudin, 2007)
Diagnosa HIV pada umumnya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut
dan merupakan masalah yang paling sering di bidang klinik. Untuk
mengubah hal ini perlu ditingkatkan kepedulian terhadap infeksi HIV,
perluasan fasilitas diagnosis serta diterapkanya PITC (Provider Treatment and
Conceling) (Djauzi, 2010).

L. Penanggulangan HIV/AIDS Sesuai Program Pemerintah


1. Membentuk KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) untuk
mencegah HIV / AIDS
Pemerintah membentuk KPAN melalui keputusan Presiden no
36/1994. Pada tahun 2006 KPAN lahir lebih baru dengan dikeluarkannya
peraturan presiden no 75/2006. KPAN mendapat dana dari RAPBN dan
dana-dana yang sifatnya tidak mengikat seperti Global Fund. Selain itu
pihaknya juga bekerja sama dengan instansi Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, dunia usaha, organisasi non pemerintah, organisasi
profesi, perguruan tinggi dan badan internasional selama ini KPAN terus
mensosialisasikan bahayanya penyakit HIV AIDS diseluruh indonesia
dan berkoordinasi dengan pihak pihak terkat untuk mempermudah
layanan pemeriksaan HIV AIDS.
2. Sosialisasi Bahaya HIV AIDS hingga ke plosok daerah
Masyarakat plosok yang masih kurang memahai bahayanya HIV
AIDS membuat penyuluhan sangat diperlukan. Untuk mudah dipahami,
sosialisasi tersebut dilakukan dengan dua bahasa yakni bahasa indonesia
dan lanny. Sosialisasi tidak hanya dibuka untuk masyarakat pada
berbagai kalangan, tapi juga rumah tahanan.
3. Layanan Pemeriksaan HIV/AIDS
Program ini dilaksanakan oleh Kementrian Kesehatan dengan
dukungan penuh dari Pemerintah Derah Masyarakat dapat mendapatkan
pelayanan ini pada pusat kesehatan masyarakat ((puskesmas) dan Rumah
Sakit Umum Derah (RSUD), Selain itu juga terdapat tes Voluntary secara
mobile dalam setiap sosialisasi.
4. Ibu Hamil lebih Priotas dalam pemeriksaan
Pemerintah tidak pandang bulu dari jenis usia ataupun jenis
kelamin. Akan tetapi banyak nya ibu rumah tangga yang terjangkit HIV
AIDS membuat meraja cukup diprioritaskan, apalaggi yang sedang hamil
pelayanan nya harus disegerakan.

5. Subsidi Penuh atas Obat Anti Retroviral Virus (ARV)


Kementrian Kesehatan memberi subsidi penuhdan mempermudah obat
tersebut di akses oleh penderita HIV pada berbagai daerah. Obat tersebut
diberikan kepada ODHA yang masuk kategori yang tidak mampu secara
gratis.

M. Komplikasi HIV/AIDS
Menurut Gunawan (2006), komplikasi dari penyakit HIV/AIDS menyerang
paling banyak pada bagian tubuh seperti :
1. Oral lesi
Lesi ini disebabkan karena jamur kandida, herpes simpleks, sarcoma
kaposi, HPV oral, gingivitis, periodanitis HIV, leukoplakia oral,
penurunan berat badan, keletihan, dan cacat.
2. Neurogik
Pada neurologik, virus ini dapat menyebabkan kompleks dimensi AIDS
karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemapuan motorik, kelemahan, disfagia, dan
isolasi sosial. Enselopaty akut seperti sakit kepala, malaise demam,
paralise, total/parsial, infrak serebral karena sifilis meningovaskuler,
hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.

3. Gastrointestinal
Pada gastrointestinal dapat menyebabkan beberapa hal seperti: diare
karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,
sarcoma kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual, muntah,
nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena abses
dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi
dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Infeksi karena pneumocitis, carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, dan gagal nafas
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokukus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pada bagian sensorik virus menyebabkan pandangan pada sarcoma
kaposis pada konjuntiva berefek kebutaan. Pendengaran pada otitis
eksternal dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

N. Aspek Sosial Budaya HIV AIDS


1. Rendahnya pengetahuan informasi dan kesadaran masyarakat
tentang penyakit HIV AIDS
Walaupun sudah dilakukan sosialisasi, tetapi dari mereka
yang datang untuk melakukan konseling tampaknya mereka
cenderung relatif tertutup dan belum siap untuk pemeriksaan tes.
Bahkan bagi sebaian msyarakat yang sudah mendapatkan
sosialisasi tentang HIV AIDS masih ada sikap kurang peduli dan
belum siap untuk melakukan pemeriksaan HIV AIDS
2. Adanya stigma sosial dan diskriminasi
Timbul akibat adanya presepsi masyarakat yang keliru
tentang HIV AIDS dan masyarakat belum mendapatkan
pemahaman tentang HIV AIDS secara komperhensif sebaian
masyarakat masih mempunyai persepsi bahwa penyakit HIV
AIDS adalah penyakit menular dan memalukan (aib), dan mereka
yang terinfeksi harus dijauhi serta diasingkan. Adanya stigma
seperti itu membuat sebagian mereka yang pernah mempunyai
pengalaman dan pernah melakukan perilaku beresiko terhadap
penularan HIV AIDS merasa ketakutan dan malu jika di vonis
HIV AIDS.
3. Kurangnya kesadaran (kesiapan) untuk pemeriksaan HIV dan
kepatuhan pasien untuk minum obat
Mereka yang sudah melaukan konseling, namun kesediaan
dan kesiapan untuk melakukan pemeriksaan HIV masih relatif
kurang begitu juga dengan mereka yang sudah pernah melakukan
pemeriksaan, tetapi tidak melanjutkan pemeriksaan lagi.
4. Berkurangnya peran dan fungsi dari keluarga dan berkurangnya
kontrol sosial
Seiring dengan perkembangan zaman dan kesibukan
orangtua untuk mencari nafkah untuk keluarga menyebabkan
peran dan fungsi dari keluarga dalam memberikan pemahaman
sosialisasi terhadap nilai-nilai adat budaya dan agama serta upaya
pengawasan kepada anak-anak menjadi relatif berkurang.
METODE PENELITIAN

HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian karya ilmiah ini dilakukan melalui jurnal. Dalam
pelaksanaannya metode penelitian itu dilakukan dengan menyesuaikan
jurnal yang ada dengan judul karya ilmiah ini tentang TBC dan HIV
AIDS. penulis teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian
ini yaitu dengan cara mengumpulkan data atau sumber dari masyarakat
setempat mengikuti jurnal. Analisa data yang dilakukan yaitu dengan
menganalisis hasil data sumber yang penulis cari sehingga penulis dapat
menyimpulkan tentang faktor apa saja yang berhubungan dengan
pemahaman masyarakat terhadap TBC dan HIV AIDS

B. Karakteristik Informan
Hasil wawancara mendalam dengan informan tokoh masyarakat
diketahui bahwa umur dari tokoh masyarakat yang terbanyak berada pada
kelompok umur 60 - 65 tahun, dengan latar belakang pendidikan adalah
Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) dan Perguruan Tinggi, dan pekerjaan
adalah Pensiunan/Pegawai Negeri. Sedangkan umur penderita yang
terbanyak berada pada kelompok usia yang masih produktif 30 - 60 tahun,
dengan latar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), dan
mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta, ibu rumah tangga dan petani.
Selanjutnya umur dari pengobat tradisional (Batra) atau dukun kampung
lebih banyak berada pada kelompok umur yang relatiftua (50 - 60 tahun).
Sedangkan dari segi pendidikan, cukup banyak yang mempunyai latar
belakang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan
Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Peserta FGD dari kelompok tokoh
masyarakat lebih banyak terdapat pada kelompok umur 30 - 65 tahun,
dengan latar belakang pendidikan terbanyak adalah adalah SL T A dan
Perguruan Tinggi. Dari segi pekerjaan, adalah bervariasi, pensiunan, guru,
wiraswasta, dan ibu rumah tangga. Sedangkan untuk peserta FGD dari
kelompok kader kesehatan, banyak yang berada pada kelompok umur 30 -
45 tahun, dengan latar belakang pendidikan adalah SLTP dan SLTA, dan
pada umumnya adalah ibu rumah tangga.

C. Faktor-faktor Sosial Budaya Penyebab Rendahnya Cakupan Pen emu


an Penderita TB Paru
Beberapa aspek sosial budaya yang melatarbelakangi pertimbangan
masyarakat dalam upaya pencarian pengobatan dan dianggap berkaitan
dengan rendahnya cakupan penemuan TB Paru adalah masalah ekonomi,
pendidikan/pengetahuan dan persepsi, kebiasaan/adat istiadat dan
kepercayaan serta stigma sosial, dan aksesl jangkauan pelayanan
kesehatan.
1. Ekonomi
Kondisi ekonomi masyarakat cenderung mempengaruhi
masyarakat dalam pemilihan pengobatan. Sulitnya akses menuju
puskesmas dan sulitnya transportasi menyebabkan masyarakat kesulitan
untuk mengeluarkan biaya transportasi karena kemampuan ekonomi yang
relatif terbatas. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar
penderita TB Paru di lokasi penelitian menurut informan tokoh masyarakat
dan kader kesehatan berasal dari golongan ekonomi relatif rendah,
sehingga dari segi biaya transportasi mereka mengalami sedikit kendala
untuk mencari pengo batan ke puskesmas, dan apalagi pengobatan TB
Paru harus dilakukan berulang-ulang sampai lebih kurang 6 (enam) bulan.
Sementara itu, bagi sebagian kecil penderita yang relatif cukup
baik dari segi kemampuan ekonomi cenderung memilih pengobatan ke
dokter praktek swasta. Hal ini seperti yang diungkapkan informan sebagai
berikut: "Kalau saandainyo lai ado piti labiah baik barubek ka dokter
praktek swasta karano di dokter swasta bisa capek ditangani, ndak lama
antri, palayanannyo sarato ubeknya labiah rancak/paten, sadangkan kalau
di puskesmas palayannyo lamo" (Seandainya memiliki kemampuan
keuangan yang relatif baik, maka lebih baik melakukan pengobatan
kepada dokter praktek swasta, karena lebih cepat ditangai, tidak berlama-
lama ngantri, pelayanan serta obatnya juga relatif lebih baik, sedangkan di
Puskesmas pelayanannya lebih lama).
2. Pendidikan/pengetahuan
Persepsi dan Stigma Masyarakat Pendidikan sebagian masyarakat
di lokasi penelitian masih tergolong relatif rendah. Dengan kondisi
pendidikan yang relatif rendah, maka pengetahuan masyarakat terhadap
penyakit TB Paru juga terbatas. Hal ini tampak dari persepsi masyarakat
terhadap penyakit TB Paru, dimana sebagian masyarakat masih
beranggapan bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan,
memalukan dan dianggap tabu oleh masyarakat. Kondisi adanya stigma di
masyarakat seperti inilah yang menyebabkan sebagian masyarakat malu
untuk memeriksakan kesehatan atau penyakitnya ke pelayanan kesehatan,
dan cenderung memilih pengo batan tradisional. Hal ini seperti yang
diungkapkan informan sebagai berikut: "Panyakik TBC ko panyakik
katurunan, dianggap hino dan aib oleh masyarakat, sahinggo kalau ado
anggota kaluarga yang kanai panyakik itu akan maraso malu, dan labiah
baiak barubek ka dukun kampuang sajo, supayo urang lain indak tahu, dan
takuik dikatokan TBC sarato pangobatannyo labiah capek" (Penyakit TB
merupakan penyakit keturunan, dianggap hina dan dianggap aib oleh
masyarakat, sehingga bila ada anggota keluarga yang terkena penyakit TB,
lebih baik berobat ke dukun kampung saja, supaya orang lain tidak tahu,
dan takut dikatakan TB, serta pengobatannya lebih cepat). Selanjutnya
sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa penyakit TB Paru atau
batuk darah adalah karena perbuatan manusia atau setan. Hal ini didukung
oleh pemyataan sebagian informan sebagai berikut: "Kalau ado tando-
tando batuak darah, angok sasak, mako panduduak disiko langsuang
mampunyai anggapan bahwasanyo itu adolah panyakik nan diakibatkan
oleh kiriman urang lain atau digaduah dek setan" (Bila ada tanda-tanda
seperti batuk berdarah, nafas sesak, maka penduduk di sini lang sung
beranggapan bahwa penyakit tersebut adalah penyakit yang diakibatkan
oleh perbuatan manusia atau gangguan setan). Penyuluhan tentang TB
Paru yang secara khusus dan lang sung kepada masyarakat menurut
sebagian besar informan belum pemah dilakukan. Walaupun demikian,
penyampaian informasi tentang kesehatan (berkaitan dengan penyakit TB
Paru) sudah pemah dilakukan di posyandu, dimana kegiatannya
ditumpangkan pada promosi kesehatan (promkes) dan kesehatan
lingkungan (kesling) , tetapi kegiatan tersebut tidak secara rutin dilakukan.
Begitu juga dengan penyampaian informasi oleh tenaga kesehatan kepada
pasien yang berobat ke puskesmas juga sudah diberikan.
3. Kebiasaan dan Kepercayaan Masyarakat
Sebagian besar masyarakat biasanya cenderung untuk membeli
obat warung ketika merasakan adanya gejala batuk, sedangkan sebagian
lagi lang sung berobat dan mempercayakan kesembuhannya pada tenaga
kesehatan. Alasan mereka membeli obat warung karena masih tergolong
penyakit ringan, dan memilih ke puskesmas karena gejala batuknya sudah
termasuk penyakit berbahaya, menular, dan hanya bisa disembuhkan
melalui pengobatan medis dengan melakukan pengobatan/minum obat
selama jangka waktu 6 bulan. Sedangkan sebagian kecil lainnya
mempercayakan kesembuhannya melalui bantuan tenaga pengobat
tradisional, karena mereka beranggapan bahwa penyakit batuk/TBC
tersebut hanya bisa dan cepat disembuhkan melalui pengobatan tradisional
karena penyakit tersebut berkaitan dengan kekuatan ghaib. Kondisi seperti
ini antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya karena kebiasaan
keluarga yang turun temurun, dan keyakinan mereka kepada pengobat
tradisional karena pelayanan yang diberikan oleh tenaga pengobat
tradisional lebih bersifat kekeluargaan. Hal ini seperti yang diungkapkan
informan: "Panyakik TBe ko ado kaitannya jo perbuatan makhluk gaib,
untuak itu labiah rancak barubek ka dukun kampuang, karano labiah
capek cegaknya, salain itu dari nenek-nenek dulunyo alah tabiaso
barubek ka dukun tu dan picayo dukun tu dapek maubeknyo,
palayanannyopun labiah basipek kakaluargaan" (Penyakit TB berkaitan
dengan perbuatan makhluk gaib, oleh sebab itu pengobatannya lebih baik
dilakukan oleh dukun kampung karena lebih cepat sembuhnya, selain itu
bero bat ke dukun kampung sudah merupakan kebiasaan turun-temurun
dan diyakini dukun tersebut bisa menyembuh kannya, serta pelayanannya
lebih bersifat kekeluargaan),
4. Akses/jangkauan Pelayanan Kesehatan
Pencapaian cakupan penemuan TB Paru menurut informan
memang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kondisi keterbatasan
jangkauan pelayanan dan kebijakan-kebijakan itu sendiri juga berpengaruh
terhadap pencapaian cakupan penemuan penderita. Kondisi sulitnya
masyarakat untuk mencapai akses pelayanan kesehatan (puskesmas)
karena jarak yang relative jauh dan beratnya biaya transposrtasi) adalah
menjadi pertimbangan masyarakat dalam upaya pencarian pengobatan.
Sebagaimana yang diungkapkan informan: "Kok pai baubek ka
puskesmas, jaraknyo agak jauh dari rumah dan harus mangaluakan pitih
untuk pambayia ojek, dan itu taraso sangek mabarekkan" (Untuk
mendapatkan pelayanan pengobatan di puskesmas, jaraknya relatif jauh
dari tempat tinggal sehingga memerlukan biaya yang cukup besar untuk
biaya transportasi) ,
5. Persepsi terhadap Pelayanan Kesehatan
Persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan seperti
puskesmas menurut informan sudah positif. Perilaku petugas, cara
pelayanan, obat-obatan yang tersedia dirasakan informan sudah relatif
bagus. Namun, ada sedikit hambatan untuk mencapai pelayanan kesehatan,
dan jam pelayanan yang terbatas, seperti pada hari/libur puskesmas tutup.
Di samping itu, sebagian masyarakat beranggapan bahwa pengo batan
yang dilakukan di puskesmas dan rumah sakit dilaksanakan secara
berulang-ulang, penyembuhan relatif lebih lama serta obat mengandung
zat kimia dengan efek samping jantung berdebar.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan penemuan penderita TB
Paru di Puskesmas Padang Kandis sangat rendah yaitu 6,7 %. Padahal Penemuan
penderita untuk program penanggulangan TB di Indonesia ditargetkan minimal
adalah 70%.0) Kondisi rendahnya angka cakupan tersebut dilatabelakangi oleh
beberapa faktor sosial budaya yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
upaya pencarian pengo batan dan dianggap berkartan dengan rendahnya cakupan
penemuan TB Paru adalah masalah ekonomi, pendidikan/pengetahuan dan
persepsi, kebiasaan/adat istiadat dan kepercayaan serta stigma so sial, dan aksesl
jangkauan pelayanan kesehatan. Keberadaan suatu penyakit di suatu wilayah
menurut Foster merupakan suatu fenomena yang tergabung secara holistik dengan
berbagai aspek yang mempengaruhinya. Artinya suatu pemahaman terhadap suatu
gejala, yaitu aspek kesehatan pada suatu masyarakat tidak dapat dilihat sebagai
suatu gejala yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan gejala lainnya, seperti
ekonomi, so sial, religi bahkan kekerabatan. Dengan demikian, sistem kesehatan
tidak lain adalah sistem budaya, sehingga akan menjadi sukar melakukan
pemahaman suatu sistem medis/kesehatan, tanpa memahami konteks budaya yang
melingkarinya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat
yang mengalami penyakit TB Paru adalah berasal dari golongan ekonomi yang
kurang mampu. Dengan kondisi keterbatasan ekonomi, walaupun biaya
pengobatan di puskesmas gratis, namun biaya transportasi apalagi pengobatan
penyakit TB Paru dilakukan selama lebih kurang 6 (enam) bulan menjadi
hambatan dan pertimbangan masyarakat dalam mencari upaya pengobatan. Dalam
hal ini tampaknya sebagian masyarakat cenderung memilih pengobatan dengan
biaya yang relatif murah seperti ke dukun. Sehubungan dengan pola pengambilan
keputusan untuk memilih temp at pelayanan kesehatan ini sedikit banyak juga
dipengaruhi oleh referensi yang ada dalam pengetahuan budayanya. Atau dengan
kata lain kebudayaan adalah sebuah blueprint atau pedoman baku dan menyeluruh
bagi kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar pendidikan masyarakat di


lokasi penelitian masih tergolong relatif rendah. Dengan kondisi pendidikan yang
relatif rendah, maka pengetahuan dan kesadaran sebagian masyarakat dalam
penanggulangan penyakit TB Paru juga relatif kurang. Hal ini tampak dari adanya
persepsi sebagian masyarakat bahwa penyakit TB Paru berkaitan dengan kekuatan
ghaib, karena keturunan, penyakit yang memalukan, bukan penyakit berbahaya
dan hanya penyakit batuk biasa. Di samping itu, adanya stigma masyarakat bahwa
penyakit TB Paru adalah penyakit yang memalukan, dan kepercayaaan
masyarakat bahwa penyakit TB Paru tidak dapat disembuhkan oleh kedokteran,
juga dianggap menjadi penyebab masyarakat malu untuk bero bat ke puskesmas
serta takut divonis TB Paru. Kondisi ini juga ditambah dengan keinginan
masyarakat yang cenderung ingin cepat sembuh, dan tidak mau berlama-lama
melakukan pengobatan di puskesmas. Berkaitan dengan pendidikan dan
pengetahuan masyarakat tersebut, maka akan dapat digambarkan perilaku
seseorang dalam bidang kesehatan. Semakin rendah tingkat pendidikannya maka
asumsinya adalah pengetahuan di bidang kesehatan kurang, baik yang
menyangkut pengaturan asupan makan, penanganan keluarga yang menderita
sakit dan usaha-usaha prevent if lainnya. (12) Dari hasil penelitian juga diketahui
bahwa keputusan untuk memilih pencarian pengobatan juga dipengaruhi oleh
kebiasaan dan istiadat setempat, dimana segala sesuatunya lebih baik diselesaikan
dengan musyawarah keluarga. Peran serta masyarakat dalam upaya
penanggulangan penyakit TB Paru masih kurang, dimana sebagian masyarakat
hanya mau berobat jika kondisi kesehatannya benar-benar terganggu dan sudah
tidak dapat melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Padahal peran serta masyarakat
dalam upaya penanggulangan penyakit TB Paru sangat dibutuhkan. Dalam hal ini
Koentjaraningrat (13) melihat bahwa respon masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan tertentu mengenai organisme manusia
tentang sakit dan sehat, tentang obat-obatan baik yang tradisional maupun
modern. Faktor-faktor tersebut memp eng aruhi sikap mental mereka terhadap
dokter dan para karyawan pelayanan kesehatan, puskesmas dan rumah sakit.
Selanjutnya sikap mental ini menjadi motivasi psikologis di samping motivasi lain
seperti so sial ekonomi, atau keyakinan religi/magis, mendorong keputusan orang
untuk mempergunakan atau tidak mempergunakan sistem pelayanan kesehatan
modern. Sikap mental dimaksud adalah suatu deposisi atau keadaan mental di
dalam jiwa dan diri seseorang individu untuk beraksi terhadap lingkungannya,
baik lingkungan alamiahnya maupun lingkung an fisiknya. Sebagian masyarakat
di lokasi pene lit ian mengatakan bahwa kualitas pelayanan di puskesmas sudah
cukup baik. Namun dari segi jadwal pengobatan, dianggap masyarakat masih
terbatas. Kondisi jadwal pengobatan di puskesmas yang relatif terbatas, ditambah
dengan pengo batan yang harus dilaksanakan berulang-ulang, penyembuhan
relatif lebih lama serta 0 bat mengandung zat kimia dengan efek samping jantung
berdebar, dianggap menjadi salah satu aspek yang melatarbelakangi pilihan
masyarakat untuk memilih pengobatan tradisional. Pilihan pengo batan tradisional
juga dianggap berkaitan dengan kurangnya penyampaian informasi atau
penyuluhan lang sung yang dilakukan tenaga kesehatan kepada masyarakat.
Sehubungan dengan hal ini Fahrudda menyatakan bahwa permasalahan rendahnya
cakupan penemuan penderita TB Paru, selain disebabkan oleh kurangnya jejaring
pengobatan atau kerjasama di sektor kesehatan sendiri khususnya pemberi
pelayanan kesehatan atau unit pelayanan kesehatan (UPK), juga disebabkan masih
kurangnya sosialisasi program pada masyarakat. Faktor aksebilitas atau
keterjangkauan pelayanan juga turut mempengaruhi masyarakat dalam mencari
upaya pengobatan, karena hal ini berkaitan dengan relatif mahalnya biaya
transportasi dengan menggunakan ojek untuk mencapai lokasi pelayanan
kesehatan. Disamping itu, sebagian besar penderita berasal dari kelompok yang
kemampuan ekonominya relatif rendah.

HIVAIDS

METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif deskriptif dengan teknik
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan telaah
dokumen mengenai laporan HIV/AIDS. Subjek dalam penelitian ini
adalah: 1 orang Kasie Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Dinas
Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, 1 orang Pengelola Penyakit
Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, 1 orang
Pemegang program HIV/AIDS di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, 3 orang Pemegang program HIV/AIDS di Puskesmas Ulakan,
Puskesmas Gasan Gadang, dan Puskesmas Padang Sago, 2 orang konselor
Voluntary Counselling and Testing (VCT), 1 orang Kasie Promosi
Kesehatan (Promkes) di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman
sebagai informan utama berjumlah 9 orang dan 6 orang lainnya yaitu
masyarakat. Variabel yang diteliti adalah peran petugas kesehatan, stigma
masyarakat, kesadaran ODHA, dan faktor lingkungan. Adapun tempat
penelitian ini adalah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman. Pengolahan data kualitatif meliputi tahapan transkrip rekaman
wawancara, pemilahan data, serta pengkodean data dan informan. Jenis
analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah analisis
isi (content analysis)

HASIL
A. Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini terdiri dari Kasie Pemberantasan Penyakit
Menular (P2M) Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, Pengelola
Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman,
Pemegang program HIV/AIDS di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, Kasie promkes di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, Pemegang program HIV/AIDS di Puskesmas Ulakan,
Puskesmas Gasan Gadang, dan Puskesmas Padang Sago, konselor VCT,
dan masyarakat. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel
2.
Tabel 1. Gambaran informan pelaksana kebijakan
Karakteristik f (n=9) % Umur 20 – 29 30 – 39 ≥ 40 0 6 3 0 66,7 33,3
Pendidikan Menengah (SMA, DIII) Tinggi (S1-S2) 2 7 22,2 77,8 Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan 1 8 11,1 88,9 Karakteristik pelaksana
kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan umur
umumnya (66,7%) pada rentang 30-39 tahun. Tingkat pendidikan
pelaksana kebijakan pada umumnya (77,8%) tergolong tinggi (S1 dan S2)
dan berjenis kelamin perempuan (88,9%).

Tabel 2. Gambaran informan sasaran kebijakan


Karakteristik f (n=6) % Umur 20 – 29 30 – 39 ≥ 40 3 2 1 50,0 33,3 16,7
Pendidikan Menengah (SMA, DIII) Tinggi (S1-S2) 4 2 66,7 33,3 Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan 0 6 0 100 Sasaran kebijakan adalah
masyarakat yang bekerja maupun berkunjung ke tempat umum.
Berdasarkan umur umumnya (50,0%) pada rentang 20-29 tahun. Tingkat
pendidikan sasaran pelaksana kebijakan pada umumnya (66,7%) tergolong
menengah (SMA dan DIII), dan berjenis kelamin perempuan (100%)
B. Faktor yang Mempengaruhi Penanggulangan HIV/AIDS
Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Padang Pariaman belum
berjalan dengan baik. Sebagaimana yang didapatkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi faktor yang mempengaruhi penanggulangan HIV/AIDS


di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman tahun 2018.
Faktor Penanggulangan HIV/AIDS Capaian Keterangan Peran Petugas
Kesehatan 46,0% Kinerja petugas yang belum optimal. Stigma Masyarakat
63,7% Masih tingginya sikap negatif masyarakat. Kesadaran ODHA
47,9% Takut dan cemas untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan.
Faktor Lingkungan 77,0% Tingginya penyakit masyarakat (PEKAT)
Peran Petugas Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kinerja petugas HIV/AIDS di
puskesmas belum optimal (46,0%) karena memliki beban kerja
ganda/rangkap. Pemegang program HIV/AIDS di puskesmas tidak hanya
mengelola program HIV/AIDS saja. Dari beberapa puskesmas yang
dikunjungi rata-rata petugas HIV/AIDS memegang 3 program yaitu Labor,
Tuberculosis (TB), dan termasuk program HIV/AIDS. Pada saat jam
pelayanan petugas juga bertugas memberikan pelayanan bagi pasien yang
datang di puskesmas. Waktu yang tidak cukup (manajemen waktu atau
pembagian waktu kerja yang kurang baik) juga menjadi kendala bagi petugas
kesehaan sehingga target penjaringan maupun target penemuan penderita baru
HIV positif tidak tercapai

Faktor Lingkungan
Berdasarkan hasil wawancara dengan kasie P2M dan pemegang program
HIV/AIDS lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingginya angka
HIV/AIDS di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman.
Adapun penyebabnya yaitu tingginya penyakit masyarakat (PEKAT) (77,0%)
seperti maraknya seks bebas dikalangan LGBT maupun penjaja seks tanpa
menggunakan kondom, minum-minuman keras, dan penyalahgunaan narkoba
dengan pemakaian jarum suntik secara bergantian. Berdasarkan hasil laporan
HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman dikalangan Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) lebih tepatnya Lelaki Suka Lelaki
(LSL) meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2016 faktor risiko penyebab
HIV/AIDS yaitu LSL sebanyak 8 kasus dan pada tahun 2017 meningkat yaitu
10 kasus.12 Kabupaten Padang Pariaan memiliki beberapa puskesmas menjadi
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai tempat rujukan
untuk beberapa wilayah sebagai tempat layanan dukungan, pengobatan dan
perawatan ODHA. Berdasarkan wawancara dengan petugas, pasien/ODHA
masih enggan memeriksakan diri karena akses lokasi layanan pengobatan
yang jauh dari tempat tinggal pasien/ODHA dan juga akses transportasi umum
yang tidak ada yang menyebabkan pasien/ODHA tidak melakukan
pengobatan.

Stigma Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan kasie P2M, pemegang
program HIV/AIDS di dinkes dan puskesmas, meski sudah melakukan
sosialisasi mengenai penyakit HIV dan AIDS, masyarakat masih belum
sepenuhnya memahami dan bersikap terbuka pada para penderita. Dengan
kata lain, masyarakat sebenarnya juga tidak mendapatkan pemahaman dan
informasi yang tepat terkait penyakit satu ini. Alhasil, orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) masih sering menerima perlakuan yang tidak semestinya,
sehingga membuat banyak dari mereka menolak untuk membuka status
terhadap pasangan atau sengaja mengubah perilaku untuk menghindari reaksi
negatif. Reaksi ini tentunya dapat menghambat usaha untuk mengintervensi
penyebaran HIV dan AIDS. Berdasarkan wawancara dan observasi, masih
tingginya sikap negatif keluarga dan masyarakat terhadap ODHA (63,7%).
Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang
benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok
orang yang berisiko tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk
penggunaan kondom. Stigma terhadap ODHA menyebabkan orang yang
memiliki gejala atau diduga menderita HIV enggan melakukan tes untuk
mengetahui status HIV.

Kesadaran ODHA
Berdasarkan wawancara dengan petugas puskesmas, yang menjadi kendala
dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS adalah kurangnya kesadaran dan
kemauan pasien untuk melakukan pengobatan seperti mengonsumsi obat Anti
Retroviral Virus (ARV). Hal ini dikarenakan ketakutan dan kecemasan ODHA
dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan (47,9%). ODHA melakukan
pengobatan hanya saat pertama kali kunjungan namun untuk pengobatan
selanjutnya pasien tidak datang lagi ke puskesmas untuk melanjutkan
pengobatan. Kurangnya kesadaran ODHA tersebut disebabkan juga karena
tingkat pengetahuan pasien yang rendah. Selain itu, ODHA tidak mengikuti
konseling yang telah disediakan oleh konselor. Salah satu penyebabnya adalah
akses lokasi yang kurang strategis.

PEMBAHASAN
Peran Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan merupakan komponen penting dalam pendekatan berbagai
pelayanan kesehatan kepada orang dengan HIV/AIDS. Petugas kesehatan
memiliki wewenang antara lain memberikan pelayanan kesehatan,
melaksanakan deteksi dini, melakukan rujukan dan memberikan penyuluhan
Infeksi Menular Seksual (IMS). Pentingnya mendeteksi dini HIV/AIDS dapat
memudahkan, mempercepat diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan
kasus HIV selanjutnya. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus memiliki
kemampuan dalam menganalisis suatu persoalan dan merumuskan formulasi
tindakan perencanaan yang efektif.13 Terlebih lagi dalam pelayanan terhadap
orang terifeksi HIV sehingga bisa melakukan langkah penanganan yang tepat
dan tidak jatuh ke stadium lanjut. Kinerja petugas HIV/AIDS di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman kurang maksimal. Hal ini
dikarenakan pemegang program HIV/AIDS di puskesmas tidak hanya
mengelola program HIV/AIDS saja tetapi juga bertanggungjawab di bagian
Tuberculosis (TB) dan labor. Tugas rangkap yang dibebankan kepada petugas
tentunya akan berpengaruh terhadap cakupan pelayanan, sehingga target
penjaringan maupun target penemuan penderita baru HIV positif tidak
tercapai. Masalah lainnya yaitu tidak tersedianya tenaga kesehatan secara
merata sesuai dengan kebutuhan. Petugas kesehatan tidak hanya berperan
dalam hal promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi saja, tetapi juga
memiliki kontribusi secara holistik dan komprehensif.14 Untuk mendukung
itu semua, petugas kesehatan harus dapat bekerja sama dengan berbagai sektor
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis peduli HIV,
pemerintah, maupun lembaga donor agar program yang telah diprioritaskan
dapat dijalankan secara efektif, efisien, dan berkesinambungan.

Stigma Masyarakat
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang
yang terinfeksi HIV dengan nilai negatif yang diberikan oleh masyarakat.
Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain.
Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang
yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.15 Tingginya stigma masyarakat
terhadap ODHA di Kabupaten Padang Pariaman dikarenakan masih tingginya
respon atau sikap negatif keluarga dan masyarakat masyarakat terhadap
ODHA. Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi sikap
seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma terhadap ODHA muncul
berkaitan dengan kurangnya pengetahuan seseorang terhadap HIV/AIDS dan
juga tidak tahunya seseorang tentang mekanisme penularan HIV dan sikap
negatif yang dipengaruhi oleh adanya epidemi HIV/AIDS.15 Penelitian ini
sejalan dengan Shaluhiyah et al (2015) yang menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi stigma masyarakat terhadap ODHA di Kabupaten Grobongan
adalah tinggi sikap negatif keluarga dan masyarakat terhadap ODHA. Hal ini
didukung dengan masyarakat beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang
berperilaku tidak baik seperti pekerja seksual, pengguna narkoba, dan
homoseksual. Hal ini membuat masyarakat menjadi menolak dan membenci
kelompok tersebut.16 Kesalahpahaman atau kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali berdampak pada ketakutan
masyarakat terhadap ODHA, sehingga memunculkan penolakan terhadap
ODHA. Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling
maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting
untuk mengurangi stigma.17 Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
merupakan tantangan yang bila tidak teratasi, potensial untuk menjadi
penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Diskriminasi yang
dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan
keluarga maupun di masyarakat umum harus menjadi prioritas upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Dukungan dan perberdayaan kelompok-
kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja yang efektif dan
mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam mengurangi stigma dan
diskriminasi. Pemberian informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS
kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh petugas
kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan menyebarkan
informasi yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan
stigma terhadap ODHA.

Kesadaran ODHA
Kesadaran ODHA merupakan hal yang sangat berperan untuk meningkatkan
kepatuhan. Berdasarkan wawancara dengan petugas kurangnya kesadaran dan
kemauan ODHA untuk melakukan pengobatan. Kurangnya pengetahuan
ODHA mengenai pemeriksaan kesehatan berkala. ODHA menganggap
pemeriksaan diagnostik berkala tidak berpengaruh terhadap kondisi kesehatan
ODHA yang memiliki kekebalan tubuh rendah. Sikap positif dan negatif
ODHA terhadap dukungan dalam pemeriksaan kesehatan berkala dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan yang dimiliki ODHA tersebut. Penelitian ini
sejalan dengan Rachmawati (2013) yang menyatakan bahwa tingkat kesadaran
dalam menjaga kesehatan yang dimiliki oleh semua ODHA berbeda karena
hal ini dipengaruhi oleh sikap masing-masing ODHA dalam menilai
kesehatan, bagaimana ODHA tersebut berperilaku hidup bersih dan sehat.18
Tingginya biaya untuk test dan obat-obatan, biaya administrasi, transportasi
dikeluhkan sebagian besar ODHA karena sangat memberatkan. Hal ini
menyebabkan ODHA enggan untuk melakukan pengobatan. Untuk itu, dengan
adanya dukungan fisik dan psikologis dapat meringankan beban yang dimliki
oleh ODHA dan juga membuat kesadaran dan semangat ODHA untuk
sembuh. Persepsi ODHA terhadap keparahan penyakit dan keyakinan akan
manfaat Anti Retroviral Virus (ARV) mempengaruhi kepatuhan dalam minum
ARV.19 Faktor pendukung kepatuhan minum ARV yang berasal dari dalam
diri sendiri yaitu motivasi untuk hidup, keinginan sembuh atau sehat,
menganggap obat sebagai vitamin dan keyakinan terhadap agama.20 ODHA
dengan tingkat pengetahuan tinggi biasanya lebih patuh karena mereka sudah
tahu keparahan penyakit yang mereka alami dan kepatuhan terapi ARV telah
memberikan perbaikan bagi kualitas hidup mereka baik secara fisik,
psikologis maupun sosial. Secara fisik ODHA merasa lebih sehat dan tidak
lemas. Secara psikologis merasa sehat seperti belum terkena HIV dan lebih
percaya diri untuk bisa hidup lebih lama. Secara sosial mereka bisa
beraktivitas dengan normal seperti sediakala.21 Ketidakpahaman terhadap
penyakit HIV/AIDS cenderung menimbulkan stigma bagi para ODHA yang
kemudian mengakibatkan ODHA menyembunyikan statusnya, bahkan kepada
keluarga dekat sekali pun, terlebih lagi pada masyarakat.

Faktor Lingkungan
Lingkungan yang menjadi penghambat kepatuhan dan dapat memicu berhenti
menjalankan terapi ARV adalah tidak adanya dukungan dari keluarga, teman,
munculnya stigma negatif pada ODHA, juga diskriminasi yang dirasakan
ODHA. Oleh karenanya, lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
manusia meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Hasil brainstorming
dengan Kasie P2M, pemegang HIV/AIDS di Dinkes Kabupaten Padang
Pariaman dan puskesmas didapat bahwa penyebab permasalahan dari segi
lingkungan yaitu: Munculnya kelompok LGBT dan Tingginya PEKAT
(Penyakit Masyarakat) seperti pergaulan bebas dan narkoba. Namun untuk
melakukan pengobatan ada beberapa puskesmas menjadi Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai tempat rujukan untuk
beberapa wilayah sebagai tempat layanan dukungan, pengobatan dan
perawatan ODHA. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mardhiyati (2011) yang menyatakan bahwa ketersediaan layanan dukungan,
pengobatan dan perawatan untuk ODHA, adanya rumah sakit
rujukan/puskesmas terlatih yang memberikan layanan pengobatan infeksi
oportunistik dan ARV, kemudahan akses dokter, kemudahan akses ARV,
menggunakan layanan pemeriksaan, kemudahan untuk mendapatkan
pemeriksaan, pelayanan pengobatan IMS, kemudahan rawat inap di rumah
sakit merupakan dukungan ODHA melakukan pemeriksaan diagnostik
berkala.23 Menurut Green dan Kreuter, perilaku ditentukan oleh 3 faktor yang
salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling factor).24 Hal ini sejalan
dengan teori WHO yang mengatakan bahwa mengapa orang berperilaku
antara lain didasari oleh alasan adanya sumber daya (resource) yang tersedia.3
Kedua teori tersebut menjelaskan bahwa seseorang akan berperilaku apabila
tersedia sarana, termasuk ada dan tidaknya sumber informasi yang ada di
sekitar lingkungan ODHA.

Upaya yang Telah Dilakukan


Penanggulangan HIV/AIDS merupakan upaya terpadu dari peningkatan
perilaku hidup sehat (promotif), pencegahan penyakit HIV/AIDS (preventif),
serta pengobatan dan perawatan (kuratif) dan dukungan hidup (support)
terhadap pengidap HIV/AIDS. Upaya preventif dan promotif merupakan
upaya prioritas yang diselenggarakan secara berimbang dengan upaya kuratif
dan dukungan terhadap pengidap HIV/AIDS. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa pembinaan dan pelatihan terhadap petugas HIV/AIDS
belum dilakukan secara maksimal. Hal ini terlihat dari masih ada petugas yang
belum mengikuti pelatihan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB)
di Dinkes Kabupaten Padang Pariaman yaitu: dokter (1 orang/puskesmas),
konselor (1 orang/puskesmas), petugas laboratorium (1 orang/puskesmas),
petugas pencatatan dan pelaporan/medical record (1 orang/puskesmas),
sedangkan untuk kader (5 orang/puskesmas) belum dilatih.
Koordinasi/kerjasama lintas sektor terhadap penanggulangan HIV/AIDS
masih belum optimal. Kerjasama yang dilakukan saat ini hanya dengan antar
bidang P2M dan bidang Promkes, tokoh masyarakat (TOMA), dan tokoh
agama (TOGA). Namun kerjasama belum dilakukan antar lintas sektor lainnya
seperti Dinas Pendidikan dan Badan Narkotika. Penanggulangan HIV/AIDS
dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat, sektor swasta
dan para pengidap HIV/AIDS dengan dukungan organisasi internasional.
Masyarakat termasuk LSM merupakan pelaku utama dalam pelaksanaan
penanggulangan sedangkan pemerintah berkewajiban memberdayakan
masyarakat serta memberikan bantuan arahan, bimbingan dan menciptakan
suasana yang menunjang.26 Pemerintah berkewajiban untuk memimpin dan
memberi arah penanggulangan HIV/AIDS (leadership) dengan menetapkan
komitmen kebijakan (political commitment), memberikan prioritas kepada
penanggulangan HIV/AIDS, dan memobilisasi sumber daya penanggulangan.
Pemerintah berkewajiban menciptakan suasana kondusif guna mencegah
timbulnya stigmatisasi, penyangkalan (denial), dan praktek diskriminasi
karena HIV/AIDS.26 Kabupaten Padang Pariaman diharapkan mampu
melakukan intervensi pembentukan kelompok dukungan sebaya sebagai upaya
pencegahan dan penanggulangan kasus HIV/AIDS. Serta adanya penyuluhan
mengenai HIV/AIDS dan Gerakan Nikah Sehat, dan memberikan informasi
kesehatan khusus HIV/AIDS dalam bentuk leaflet dan poster. Kegiatan ini
dapat dilaksanakan dengan menggunakan anggaran APBN. Setelah itu
dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah intervensi terlaksana dengan
baik dan berjalan sesuai rencana atau ada hambatan dalam pelaksanaannya.

SIMPULAN
Upaya penanggulangan HIV/AIDS berupa kesadaran ODHA sendiri dalam
motivasi untuk hidup, keinginan sembuh/sehat, menganggap obat sebagai
vitamin dan keyakinan terhadap agama. Selain itu, dukungan dan
perberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra
kerja yang efektif dan mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam
mengurangi stigma dan diskriminasi. Adanya penyuluhan mengenai
HIV/AIDS dan Gerakan Nikah Sehat, dan memberikan informasi kesehatan
khusus HIV/AIDS dalam bentuk leaflet dan poster. Adanya kerjasama antara
petugas kesehatan dengan pemerintah, masyarakat, sektor swasta (lembaga
swadaya masyarakat (LSM), aktivis peduli HIV, pemerintah, maupun lembaga
donor) dan para pengidap HIV/AIDS dengan dukungan organisasi
internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhiyanti, Yulrina dkk 2015. Bahan Ajar AIDS pada Asuhan Kebidanan
Yogyakarta Deepublish
Kementrian Kesehatan RI, 2017. Kebijakan Program Penanggulangan
Tuberkulosis, Jakarta
Laban, Yoannes Y. 2008. TBC Penyakit dan Cara Pencegahannya Yogyakarta.
Kanisius
Nur, MiftaChun. 2019. Get To Know More About HIV AIDS. Jakarta: EGC
http://s-ariefborneo.blogspot.com/2011/06/aspek-sosial-budaya-yang-
memperluas.html?m=1
http://indec-diagnostics.co.id/?q=id/tech/komplikasi-akibat-penyakit-
tbc
Pdf Jurnal HIV aids
Pdf Jurnal TBC

Anda mungkin juga menyukai