DISUSUN OLEH :
B. Etiologi TBC
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1 - 4 mm dengan tebal 0,3 - 0,6 mm. Sebagian besar
komponen mycobacterium tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga
kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan
faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah
yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycobacterium tuberculosis senang
tinggal di daerah apeks paru - paru yang kandungan oksigennya tinggi.
Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit TBC.
C. Gejala TBC
Gejala TBC pada orang dewasa
► Batuk terus - menerus dengan dahak selama 3 minggu atau lebih.
► Kadang - kadang dahak yang keluar bercampur dengan darah.
► Sesak nafas dan rasa nyeri di dada.
► Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun.
► Berkeringat malam hari walau tanpa aktivitas.
► Demam meriang (demam ringan) lebih dari sebulan.
Gejala TBC pada anak - anak
► Berat badan turun selama 3 bulan berturut - turut tanpa sebab yang
jelas.
► Berat badan anak tidak bertambah (anak kecil/kurus terus).
► Tidak ada nafsu makan.
► Demam lama dan berulang.
► Muncul benjolan di daerah leher, ketiak, dan lipat paha.
H. Pengertian HIV/AIDS
a. Pengertian HIV
HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu
sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
Virus HIV akan masuk ke dalam sel darah putih dan
merusaknya, sehingga sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya sistem kekebalan
tubuh menjadi lemah dan penderita mudah terkena berbagai penyakit.
b. Pengertian AIDS
AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrom,
yaitu kumpulan gejala penyakit (sindrom) yang didapat akibat turunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan HIV.
Ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan
tubuh, maka semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh dengan mudah
(infeksi opportunistik). Oleh karena itu sistem kekebalan tubuhnya
menjadi sangat lemah, maka penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan
menjadi sangat berbahaya.
I. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut
HIV dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang
disebutLympadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell
Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell Lympanotropic
Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA)
menjadi asam eoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu
(Nurrarif & Hardhi, 2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari
lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.
Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu
like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak
ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis
J. Gejala HIV/AIDS
Penurunan berat badan dengan cepat lebih dari 10% tanpa ada alasan
yang jelas dalam 1 bulan.
Demam dan flu yang tidak kunjung sembuh. Seseorang tersebut akan
mengalami demam yang berkelanjutan dan hilang timbul, biasanya
demam mencapai lebih dari 39◦c dan tak sembuh setelah diberikan obat
antipiretik (penurun panas).
Diare yang tak kunjung sembuh selama 1 bulan.
Cepat merasa leleh. Karena jenis virus menyerang sistem kekebalan
tubuh maka penderita HIV/AIDS ini akan cepat merasakan lelah
walaupun dalam aktifitas yang tak terlalu banyak.
Bintik - bintik berwarna keungu - unguan yang tidak biasa.
Pembesaran kelenjar secara menyeluruh di leher dan lipatan dada.
M. Komplikasi HIV/AIDS
Menurut Gunawan (2006), komplikasi dari penyakit HIV/AIDS menyerang
paling banyak pada bagian tubuh seperti :
1. Oral lesi
Lesi ini disebabkan karena jamur kandida, herpes simpleks, sarcoma
kaposi, HPV oral, gingivitis, periodanitis HIV, leukoplakia oral,
penurunan berat badan, keletihan, dan cacat.
2. Neurogik
Pada neurologik, virus ini dapat menyebabkan kompleks dimensi AIDS
karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemapuan motorik, kelemahan, disfagia, dan
isolasi sosial. Enselopaty akut seperti sakit kepala, malaise demam,
paralise, total/parsial, infrak serebral karena sifilis meningovaskuler,
hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
3. Gastrointestinal
Pada gastrointestinal dapat menyebabkan beberapa hal seperti: diare
karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,
sarcoma kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual, muntah,
nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena abses
dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi
dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Infeksi karena pneumocitis, carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, dan gagal nafas
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokukus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pada bagian sensorik virus menyebabkan pandangan pada sarcoma
kaposis pada konjuntiva berefek kebutaan. Pendengaran pada otitis
eksternal dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian karya ilmiah ini dilakukan melalui jurnal. Dalam
pelaksanaannya metode penelitian itu dilakukan dengan menyesuaikan
jurnal yang ada dengan judul karya ilmiah ini tentang TBC dan HIV
AIDS. penulis teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian
ini yaitu dengan cara mengumpulkan data atau sumber dari masyarakat
setempat mengikuti jurnal. Analisa data yang dilakukan yaitu dengan
menganalisis hasil data sumber yang penulis cari sehingga penulis dapat
menyimpulkan tentang faktor apa saja yang berhubungan dengan
pemahaman masyarakat terhadap TBC dan HIV AIDS
B. Karakteristik Informan
Hasil wawancara mendalam dengan informan tokoh masyarakat
diketahui bahwa umur dari tokoh masyarakat yang terbanyak berada pada
kelompok umur 60 - 65 tahun, dengan latar belakang pendidikan adalah
Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) dan Perguruan Tinggi, dan pekerjaan
adalah Pensiunan/Pegawai Negeri. Sedangkan umur penderita yang
terbanyak berada pada kelompok usia yang masih produktif 30 - 60 tahun,
dengan latar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), dan
mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta, ibu rumah tangga dan petani.
Selanjutnya umur dari pengobat tradisional (Batra) atau dukun kampung
lebih banyak berada pada kelompok umur yang relatiftua (50 - 60 tahun).
Sedangkan dari segi pendidikan, cukup banyak yang mempunyai latar
belakang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan
Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Peserta FGD dari kelompok tokoh
masyarakat lebih banyak terdapat pada kelompok umur 30 - 65 tahun,
dengan latar belakang pendidikan terbanyak adalah adalah SL T A dan
Perguruan Tinggi. Dari segi pekerjaan, adalah bervariasi, pensiunan, guru,
wiraswasta, dan ibu rumah tangga. Sedangkan untuk peserta FGD dari
kelompok kader kesehatan, banyak yang berada pada kelompok umur 30 -
45 tahun, dengan latar belakang pendidikan adalah SLTP dan SLTA, dan
pada umumnya adalah ibu rumah tangga.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan penemuan penderita TB
Paru di Puskesmas Padang Kandis sangat rendah yaitu 6,7 %. Padahal Penemuan
penderita untuk program penanggulangan TB di Indonesia ditargetkan minimal
adalah 70%.0) Kondisi rendahnya angka cakupan tersebut dilatabelakangi oleh
beberapa faktor sosial budaya yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
upaya pencarian pengo batan dan dianggap berkartan dengan rendahnya cakupan
penemuan TB Paru adalah masalah ekonomi, pendidikan/pengetahuan dan
persepsi, kebiasaan/adat istiadat dan kepercayaan serta stigma so sial, dan aksesl
jangkauan pelayanan kesehatan. Keberadaan suatu penyakit di suatu wilayah
menurut Foster merupakan suatu fenomena yang tergabung secara holistik dengan
berbagai aspek yang mempengaruhinya. Artinya suatu pemahaman terhadap suatu
gejala, yaitu aspek kesehatan pada suatu masyarakat tidak dapat dilihat sebagai
suatu gejala yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan gejala lainnya, seperti
ekonomi, so sial, religi bahkan kekerabatan. Dengan demikian, sistem kesehatan
tidak lain adalah sistem budaya, sehingga akan menjadi sukar melakukan
pemahaman suatu sistem medis/kesehatan, tanpa memahami konteks budaya yang
melingkarinya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat
yang mengalami penyakit TB Paru adalah berasal dari golongan ekonomi yang
kurang mampu. Dengan kondisi keterbatasan ekonomi, walaupun biaya
pengobatan di puskesmas gratis, namun biaya transportasi apalagi pengobatan
penyakit TB Paru dilakukan selama lebih kurang 6 (enam) bulan menjadi
hambatan dan pertimbangan masyarakat dalam mencari upaya pengobatan. Dalam
hal ini tampaknya sebagian masyarakat cenderung memilih pengobatan dengan
biaya yang relatif murah seperti ke dukun. Sehubungan dengan pola pengambilan
keputusan untuk memilih temp at pelayanan kesehatan ini sedikit banyak juga
dipengaruhi oleh referensi yang ada dalam pengetahuan budayanya. Atau dengan
kata lain kebudayaan adalah sebuah blueprint atau pedoman baku dan menyeluruh
bagi kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut.
HIVAIDS
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif deskriptif dengan teknik
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan telaah
dokumen mengenai laporan HIV/AIDS. Subjek dalam penelitian ini
adalah: 1 orang Kasie Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Dinas
Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, 1 orang Pengelola Penyakit
Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, 1 orang
Pemegang program HIV/AIDS di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, 3 orang Pemegang program HIV/AIDS di Puskesmas Ulakan,
Puskesmas Gasan Gadang, dan Puskesmas Padang Sago, 2 orang konselor
Voluntary Counselling and Testing (VCT), 1 orang Kasie Promosi
Kesehatan (Promkes) di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman
sebagai informan utama berjumlah 9 orang dan 6 orang lainnya yaitu
masyarakat. Variabel yang diteliti adalah peran petugas kesehatan, stigma
masyarakat, kesadaran ODHA, dan faktor lingkungan. Adapun tempat
penelitian ini adalah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman. Pengolahan data kualitatif meliputi tahapan transkrip rekaman
wawancara, pemilahan data, serta pengkodean data dan informan. Jenis
analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah analisis
isi (content analysis)
HASIL
A. Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini terdiri dari Kasie Pemberantasan Penyakit
Menular (P2M) Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, Pengelola
Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman,
Pemegang program HIV/AIDS di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, Kasie promkes di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, Pemegang program HIV/AIDS di Puskesmas Ulakan,
Puskesmas Gasan Gadang, dan Puskesmas Padang Sago, konselor VCT,
dan masyarakat. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel
2.
Tabel 1. Gambaran informan pelaksana kebijakan
Karakteristik f (n=9) % Umur 20 – 29 30 – 39 ≥ 40 0 6 3 0 66,7 33,3
Pendidikan Menengah (SMA, DIII) Tinggi (S1-S2) 2 7 22,2 77,8 Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan 1 8 11,1 88,9 Karakteristik pelaksana
kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan umur
umumnya (66,7%) pada rentang 30-39 tahun. Tingkat pendidikan
pelaksana kebijakan pada umumnya (77,8%) tergolong tinggi (S1 dan S2)
dan berjenis kelamin perempuan (88,9%).
Faktor Lingkungan
Berdasarkan hasil wawancara dengan kasie P2M dan pemegang program
HIV/AIDS lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingginya angka
HIV/AIDS di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman.
Adapun penyebabnya yaitu tingginya penyakit masyarakat (PEKAT) (77,0%)
seperti maraknya seks bebas dikalangan LGBT maupun penjaja seks tanpa
menggunakan kondom, minum-minuman keras, dan penyalahgunaan narkoba
dengan pemakaian jarum suntik secara bergantian. Berdasarkan hasil laporan
HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman dikalangan Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) lebih tepatnya Lelaki Suka Lelaki
(LSL) meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2016 faktor risiko penyebab
HIV/AIDS yaitu LSL sebanyak 8 kasus dan pada tahun 2017 meningkat yaitu
10 kasus.12 Kabupaten Padang Pariaan memiliki beberapa puskesmas menjadi
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai tempat rujukan
untuk beberapa wilayah sebagai tempat layanan dukungan, pengobatan dan
perawatan ODHA. Berdasarkan wawancara dengan petugas, pasien/ODHA
masih enggan memeriksakan diri karena akses lokasi layanan pengobatan
yang jauh dari tempat tinggal pasien/ODHA dan juga akses transportasi umum
yang tidak ada yang menyebabkan pasien/ODHA tidak melakukan
pengobatan.
Stigma Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan kasie P2M, pemegang
program HIV/AIDS di dinkes dan puskesmas, meski sudah melakukan
sosialisasi mengenai penyakit HIV dan AIDS, masyarakat masih belum
sepenuhnya memahami dan bersikap terbuka pada para penderita. Dengan
kata lain, masyarakat sebenarnya juga tidak mendapatkan pemahaman dan
informasi yang tepat terkait penyakit satu ini. Alhasil, orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) masih sering menerima perlakuan yang tidak semestinya,
sehingga membuat banyak dari mereka menolak untuk membuka status
terhadap pasangan atau sengaja mengubah perilaku untuk menghindari reaksi
negatif. Reaksi ini tentunya dapat menghambat usaha untuk mengintervensi
penyebaran HIV dan AIDS. Berdasarkan wawancara dan observasi, masih
tingginya sikap negatif keluarga dan masyarakat terhadap ODHA (63,7%).
Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang
benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok
orang yang berisiko tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk
penggunaan kondom. Stigma terhadap ODHA menyebabkan orang yang
memiliki gejala atau diduga menderita HIV enggan melakukan tes untuk
mengetahui status HIV.
Kesadaran ODHA
Berdasarkan wawancara dengan petugas puskesmas, yang menjadi kendala
dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS adalah kurangnya kesadaran dan
kemauan pasien untuk melakukan pengobatan seperti mengonsumsi obat Anti
Retroviral Virus (ARV). Hal ini dikarenakan ketakutan dan kecemasan ODHA
dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan (47,9%). ODHA melakukan
pengobatan hanya saat pertama kali kunjungan namun untuk pengobatan
selanjutnya pasien tidak datang lagi ke puskesmas untuk melanjutkan
pengobatan. Kurangnya kesadaran ODHA tersebut disebabkan juga karena
tingkat pengetahuan pasien yang rendah. Selain itu, ODHA tidak mengikuti
konseling yang telah disediakan oleh konselor. Salah satu penyebabnya adalah
akses lokasi yang kurang strategis.
PEMBAHASAN
Peran Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan merupakan komponen penting dalam pendekatan berbagai
pelayanan kesehatan kepada orang dengan HIV/AIDS. Petugas kesehatan
memiliki wewenang antara lain memberikan pelayanan kesehatan,
melaksanakan deteksi dini, melakukan rujukan dan memberikan penyuluhan
Infeksi Menular Seksual (IMS). Pentingnya mendeteksi dini HIV/AIDS dapat
memudahkan, mempercepat diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan
kasus HIV selanjutnya. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus memiliki
kemampuan dalam menganalisis suatu persoalan dan merumuskan formulasi
tindakan perencanaan yang efektif.13 Terlebih lagi dalam pelayanan terhadap
orang terifeksi HIV sehingga bisa melakukan langkah penanganan yang tepat
dan tidak jatuh ke stadium lanjut. Kinerja petugas HIV/AIDS di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman kurang maksimal. Hal ini
dikarenakan pemegang program HIV/AIDS di puskesmas tidak hanya
mengelola program HIV/AIDS saja tetapi juga bertanggungjawab di bagian
Tuberculosis (TB) dan labor. Tugas rangkap yang dibebankan kepada petugas
tentunya akan berpengaruh terhadap cakupan pelayanan, sehingga target
penjaringan maupun target penemuan penderita baru HIV positif tidak
tercapai. Masalah lainnya yaitu tidak tersedianya tenaga kesehatan secara
merata sesuai dengan kebutuhan. Petugas kesehatan tidak hanya berperan
dalam hal promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi saja, tetapi juga
memiliki kontribusi secara holistik dan komprehensif.14 Untuk mendukung
itu semua, petugas kesehatan harus dapat bekerja sama dengan berbagai sektor
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis peduli HIV,
pemerintah, maupun lembaga donor agar program yang telah diprioritaskan
dapat dijalankan secara efektif, efisien, dan berkesinambungan.
Stigma Masyarakat
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang
yang terinfeksi HIV dengan nilai negatif yang diberikan oleh masyarakat.
Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain.
Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang
yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.15 Tingginya stigma masyarakat
terhadap ODHA di Kabupaten Padang Pariaman dikarenakan masih tingginya
respon atau sikap negatif keluarga dan masyarakat masyarakat terhadap
ODHA. Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi sikap
seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma terhadap ODHA muncul
berkaitan dengan kurangnya pengetahuan seseorang terhadap HIV/AIDS dan
juga tidak tahunya seseorang tentang mekanisme penularan HIV dan sikap
negatif yang dipengaruhi oleh adanya epidemi HIV/AIDS.15 Penelitian ini
sejalan dengan Shaluhiyah et al (2015) yang menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi stigma masyarakat terhadap ODHA di Kabupaten Grobongan
adalah tinggi sikap negatif keluarga dan masyarakat terhadap ODHA. Hal ini
didukung dengan masyarakat beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang
berperilaku tidak baik seperti pekerja seksual, pengguna narkoba, dan
homoseksual. Hal ini membuat masyarakat menjadi menolak dan membenci
kelompok tersebut.16 Kesalahpahaman atau kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali berdampak pada ketakutan
masyarakat terhadap ODHA, sehingga memunculkan penolakan terhadap
ODHA. Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling
maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting
untuk mengurangi stigma.17 Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
merupakan tantangan yang bila tidak teratasi, potensial untuk menjadi
penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Diskriminasi yang
dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan
keluarga maupun di masyarakat umum harus menjadi prioritas upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Dukungan dan perberdayaan kelompok-
kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja yang efektif dan
mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam mengurangi stigma dan
diskriminasi. Pemberian informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS
kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh petugas
kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan menyebarkan
informasi yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan
stigma terhadap ODHA.
Kesadaran ODHA
Kesadaran ODHA merupakan hal yang sangat berperan untuk meningkatkan
kepatuhan. Berdasarkan wawancara dengan petugas kurangnya kesadaran dan
kemauan ODHA untuk melakukan pengobatan. Kurangnya pengetahuan
ODHA mengenai pemeriksaan kesehatan berkala. ODHA menganggap
pemeriksaan diagnostik berkala tidak berpengaruh terhadap kondisi kesehatan
ODHA yang memiliki kekebalan tubuh rendah. Sikap positif dan negatif
ODHA terhadap dukungan dalam pemeriksaan kesehatan berkala dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan yang dimiliki ODHA tersebut. Penelitian ini
sejalan dengan Rachmawati (2013) yang menyatakan bahwa tingkat kesadaran
dalam menjaga kesehatan yang dimiliki oleh semua ODHA berbeda karena
hal ini dipengaruhi oleh sikap masing-masing ODHA dalam menilai
kesehatan, bagaimana ODHA tersebut berperilaku hidup bersih dan sehat.18
Tingginya biaya untuk test dan obat-obatan, biaya administrasi, transportasi
dikeluhkan sebagian besar ODHA karena sangat memberatkan. Hal ini
menyebabkan ODHA enggan untuk melakukan pengobatan. Untuk itu, dengan
adanya dukungan fisik dan psikologis dapat meringankan beban yang dimliki
oleh ODHA dan juga membuat kesadaran dan semangat ODHA untuk
sembuh. Persepsi ODHA terhadap keparahan penyakit dan keyakinan akan
manfaat Anti Retroviral Virus (ARV) mempengaruhi kepatuhan dalam minum
ARV.19 Faktor pendukung kepatuhan minum ARV yang berasal dari dalam
diri sendiri yaitu motivasi untuk hidup, keinginan sembuh atau sehat,
menganggap obat sebagai vitamin dan keyakinan terhadap agama.20 ODHA
dengan tingkat pengetahuan tinggi biasanya lebih patuh karena mereka sudah
tahu keparahan penyakit yang mereka alami dan kepatuhan terapi ARV telah
memberikan perbaikan bagi kualitas hidup mereka baik secara fisik,
psikologis maupun sosial. Secara fisik ODHA merasa lebih sehat dan tidak
lemas. Secara psikologis merasa sehat seperti belum terkena HIV dan lebih
percaya diri untuk bisa hidup lebih lama. Secara sosial mereka bisa
beraktivitas dengan normal seperti sediakala.21 Ketidakpahaman terhadap
penyakit HIV/AIDS cenderung menimbulkan stigma bagi para ODHA yang
kemudian mengakibatkan ODHA menyembunyikan statusnya, bahkan kepada
keluarga dekat sekali pun, terlebih lagi pada masyarakat.
Faktor Lingkungan
Lingkungan yang menjadi penghambat kepatuhan dan dapat memicu berhenti
menjalankan terapi ARV adalah tidak adanya dukungan dari keluarga, teman,
munculnya stigma negatif pada ODHA, juga diskriminasi yang dirasakan
ODHA. Oleh karenanya, lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
manusia meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Hasil brainstorming
dengan Kasie P2M, pemegang HIV/AIDS di Dinkes Kabupaten Padang
Pariaman dan puskesmas didapat bahwa penyebab permasalahan dari segi
lingkungan yaitu: Munculnya kelompok LGBT dan Tingginya PEKAT
(Penyakit Masyarakat) seperti pergaulan bebas dan narkoba. Namun untuk
melakukan pengobatan ada beberapa puskesmas menjadi Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai tempat rujukan untuk
beberapa wilayah sebagai tempat layanan dukungan, pengobatan dan
perawatan ODHA. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mardhiyati (2011) yang menyatakan bahwa ketersediaan layanan dukungan,
pengobatan dan perawatan untuk ODHA, adanya rumah sakit
rujukan/puskesmas terlatih yang memberikan layanan pengobatan infeksi
oportunistik dan ARV, kemudahan akses dokter, kemudahan akses ARV,
menggunakan layanan pemeriksaan, kemudahan untuk mendapatkan
pemeriksaan, pelayanan pengobatan IMS, kemudahan rawat inap di rumah
sakit merupakan dukungan ODHA melakukan pemeriksaan diagnostik
berkala.23 Menurut Green dan Kreuter, perilaku ditentukan oleh 3 faktor yang
salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling factor).24 Hal ini sejalan
dengan teori WHO yang mengatakan bahwa mengapa orang berperilaku
antara lain didasari oleh alasan adanya sumber daya (resource) yang tersedia.3
Kedua teori tersebut menjelaskan bahwa seseorang akan berperilaku apabila
tersedia sarana, termasuk ada dan tidaknya sumber informasi yang ada di
sekitar lingkungan ODHA.
SIMPULAN
Upaya penanggulangan HIV/AIDS berupa kesadaran ODHA sendiri dalam
motivasi untuk hidup, keinginan sembuh/sehat, menganggap obat sebagai
vitamin dan keyakinan terhadap agama. Selain itu, dukungan dan
perberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra
kerja yang efektif dan mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam
mengurangi stigma dan diskriminasi. Adanya penyuluhan mengenai
HIV/AIDS dan Gerakan Nikah Sehat, dan memberikan informasi kesehatan
khusus HIV/AIDS dalam bentuk leaflet dan poster. Adanya kerjasama antara
petugas kesehatan dengan pemerintah, masyarakat, sektor swasta (lembaga
swadaya masyarakat (LSM), aktivis peduli HIV, pemerintah, maupun lembaga
donor) dan para pengidap HIV/AIDS dengan dukungan organisasi
internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhiyanti, Yulrina dkk 2015. Bahan Ajar AIDS pada Asuhan Kebidanan
Yogyakarta Deepublish
Kementrian Kesehatan RI, 2017. Kebijakan Program Penanggulangan
Tuberkulosis, Jakarta
Laban, Yoannes Y. 2008. TBC Penyakit dan Cara Pencegahannya Yogyakarta.
Kanisius
Nur, MiftaChun. 2019. Get To Know More About HIV AIDS. Jakarta: EGC
http://s-ariefborneo.blogspot.com/2011/06/aspek-sosial-budaya-yang-
memperluas.html?m=1
http://indec-diagnostics.co.id/?q=id/tech/komplikasi-akibat-penyakit-
tbc
Pdf Jurnal HIV aids
Pdf Jurnal TBC