Anda di halaman 1dari 32

FROZEN SHOULDER

Oleh : Dr . H. Subagyo Spb - SpOT

PENYEBAB  
Penyebab dari frozen shoulder belum diketahui. Proses yang terjadi meliputi penebalan dan kontraktur dari capsula yang
menyelimuti sendi bahu. Gangguan ini tidak berkaitan dengan adanya cedera atau penyebab lain yang dapat dilihat.
Beberapa faktor resiko dari frozen shoulder termasuk :
1. Usia dan Jenis kelamin
Pasien dengan FROZEN SHOULDER biasanya terjadi pada usia dekade keenam.  Puncak usia terkena FROZEN
SHOULDER adalah 56 tahun dan kondisi ini lebih sering terjadi pada kaum wanita (dua kali lebih sering daripada kaum
pria)21, 39, 16, 58.
2. Gangguan Endokrin
Pasien dengan diabetes memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena FROZEN SHOULDER, 10-20% dari pasien diabetes
mengalami gangguan ini. Pal et al melaporkan bahwa FROZEN SHOULDER terjadi pada 21 orang dari 109 pasien DM dan
pada 75 kontrol hanya ditemukan 4 orang yang mengalami DM 49. Beberapa kondisi abnormal dari endokrin, seperti
gangguan tiroid (baik hipo maupun hipertiroid) juga dapat menyebabkan gangguan ini 32, 60.  
3. Trauma Bahu atau Pembedahan
Pasien dengan cedera bahu, atau mengalami operasi pada bahu dapat mengalami FROZEN SHOULDER. Saat cedera atau
tindakan operasi diikuti immobilisasi sendi dalam waktu lama, resiko FROZEN SHOULDER meningkat. Untuk
mencegahnya maka bahu harus sedini mungkin digerakkan setelah mengalami cedera atau pembedahan.

4. Kondisi Sistemik lainnya


Beberapa kondisi sistemik seperti penyakit jantung dan Parkinson juga berkaitan dengan peningkatan kejadian FROZEN
SHOULDER.

KLASIFIKASI FROZEN SHOULDER 


Adhesive capsulitis dapat diklasifikasikan sebagai FROZEN SHOULDER primer dengan ciri-ciri rasa nyeri yang idiopatik
dan progresif serta hilangnya pergerakan bahu secara aktif dan pasif. Sementara FROZEN SHOULDER sekunder yang
memiliki kondisi dan perkembangan yang sama namun berasal dari penyebab intrinsik dan ekstrinsik yang diketahui; atau
sebagai akibat sekunder dari kekakuan bahu setelah intervensi bedah 11, 59.   
FROZEN SHOULDER primer penyebabnya idiopatik sementara FROZEN SHOULDER sekunder dihubungkan dengan
penyakit sistemik lainnya. Penyakit sistemik yang paling sering menyebabkan FROZEN SHOULDER adalah  diabetes
melitus (DM). Insiden FROZEN SHOULDER pada pasien DM dilaporkan sebanyak 10-36% 11, 21. Insiden pada DM tipe I
dan tipe II sama. FROZEN SHOULDER pada diabetes seringkali lebih parah dan lebih resisten terhadap pengobatan.  
FROZEN SHOULDER sekunder dapat juga disebabkan hipertiroid, hipotiroid, dan hipoadrenalin namun hal ini sangat
jarang. Penyebab lainnya yang pernah dilaporkan adalah penyakit Parkinson, penyakit jantung, paru, dan stroke. Kondisi
patologi disini berbeda dengan FROZEN SHOULDER yang idiopatik.
 Pada kasus stroke jelas bahwa kekakuan bahu dapat disebabkan spastisitas otot di regio bahu. FROZEN SHOULDER juga
dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani prosedur bedah non-bahu seperti operasi jantung, kateterisasi jantung melalui
arteri brachial, operasi saraf dan diseksi leher radikal. 21, 59
Faktor intrinsik yang dilibatkan sebagai penyebab FROZEN SHOULDER sekunder adalah robekan rotator cuff, bursitis, dan
tendonitis, sementara faktor ekstrinsik secara umum berkaitan dengan trauma. 

GEJALA
Pasien FROZEN SHOULDER yang tipikal adalah seorang wanita berusia 40-60 tahun. Tangan nondominan yang biasanya
terkena, dan pasien mengalami masalah dalam melakukan kegiatan sehari-hari 21, 40. Nyeri yang dirasakan bertambah parah
pada malam hari dan terlokalisasi pada area deltoid. Terdapat keterbatasan yang sama pada semua gerakan glenohumeral,
khususnya pada gerakan exorotasi, endorotasi, dan abduksi. Pada pergerakan pasif, terasa adanya pembatasan mekanik dari
pergerakan sendi40.
Nyeri yang timbul adalah nyeri tumpul atau aching. Hal ini dapat diperparah dengan adanya usaha untuk menggerakkan
bahu. Nyeri biasanya terletak di area bahu bagian luar dan kadang-kadang di lengan atas.
Suatu tanda khas dari kelainan ini adalah pembatasan pergerakan atau adanya kekakuan pada bahu. Pasien yang mengalami
gangguan ini tidak dapat menggerakkan bahunya secara normal. Pasien seringkali mengeluh sulit untuk menyisir rambut,
menyabuni punggung, mengambil dompet di saku celana belakangm dan memakai kemeja  59,  64. Pergerakan juga dibatasi
ketika seseorang mencoba menggerakan bahu pasien (gerak pasif).  
Codman (1934) membuat suatu kriteria FROZEN SHOULDER primer berdasarkan gejala klinis yang kemudian
dimodifikasi oleh Zuckerman, Cuomo, dan Rokito (1994) yang terdiri atas : onset tersembunyi, nyeri pada bahu, nyeri di
malam hari, restriksi yang sakit pada elevasi aktif dan pasif pada ROM kurang dari 100 o dan pada exorotasi kurang dari
setengah pergerakan normal, serta gambaran radiologi yang normal 11. 
Gejala klinik dari FROZEN SHOULDER juga berubah-ubah sesuai dengan stadium yang dilalui penyakit tersebut. stadium
klinik yang terbagi atas 3 stadium ini dapat saling tumpang tindih 32, 59, 65 (Neviaser membaginya dalam 4 fase).
 TABEL 5. Tiga Stadium Klinik Frozen Shoulder

Fase Frozen Shoulder Durasi Keterangan


Nyeri dan kaku di sekitar bahu tanpa riwayat cedera. Nyeri
Stadium I : konstan yang mengganggu yang bertambah parah pada waktu
10-36 minggu malam, hanya sedikit berespon terhadap obat NSAID
Painful Freezing phase
Nyeri mulai mereda namun kaku menetap. Nyeri hanya muncul
Stadium II : pada pergerakan yang ekstrim. Pergerakan glenohumeral sangat
4-12 bulan terbatas, dengan ketidakmampuan melakukan exorotasi bahu
Adhesive phase
Mengikuti fase adhesive dengan perkembangan spontan
pemulihan jangkauan pergerakan.  Durasi rata-rata dimulainya
12-42 bulan
onset FROZEN SHOULDER hingga fase resolusi terjadi
Stadium III : Resolution phase selama 30 bulan
 PEMERIKSAAN FISIK
Saat memeriksa sendi, sangat penting untuk melakukan aksioma dari Alan Apley, suatu istilah yang terkenal di bidang
Orthopedi :  “Look, Feel, Move.”
Look: Pada inspeksi, lengan ditahan di samping pada posisi adduksi dan endorotasi. Atrofi ringan dari deltoid dan
supraspinatus mungkin nampak.
Feel: Pada palpasi, terdapat difusi yang lembek dari glenohumeral joint yang meluas ke area trapezius interscapula
Move: Pada FROZEN SHOULDER terdapat kehilangan kemampuan untuk melakukan exorotasi. Ini merupakan tanda
patognomik dari FROZEN SHOULDER. Mengkonfirmasi ketidakmampuan exorotasi dengan gerakan aktif dan pasif
sangatlah penting. Sebagai contoh, bila exorotasi dapat dilakukan dengan bantuan dokter maka kita harus
mempertimbangkan diagnosis robekan pada rotator cuff. Pada FROZEN SHOULDER, semua pergerakan sendi berkurang,
dan bila pergerakan terjadi itu disebabkan sendi thoracoscapular 21, 59.  
 

 Gambar 55. Proses terbentuknya FROZEN SHOULDER


A, Struktur normal dari bahu B, Supraspinatus tendonitis, kadang calcific, pada “critical zone.” C, Penyebaran inflamasi ke
lapisan tendon dan suatu benjolan ke dasar dari bursa subacromial. D, ruptur ke bursa subacromial dan ekstensi dari proses
inflamatori sebagai osteitis pada caput humerus dan tuberositas mayor.
 E, Frozen shoulder pada tendon, bursa, capsula, synovium, dan otot dengan kontraktur yang fibrous dan berkurangnya 
volume rongga sendi bahu.  (From Noble J [ed]: Primary care medicine, ed 2, St Louis, 1996, Mosby.)
 
PATOGENESIS
Belum ada yang memahami dengan tepat mengapa seseorang bisa terkena FROZEN SHOULDER. Untuk beberapa alasan,
sendi bahu menjadi kaku dan mengalami parut. Normalnya, posisi sendi bahu menyebabkan sendi ini dapat melakukan
pergerakan yang jauh lebih kompleks dari sendi manapun. Ketika seorang pasien mengalami FROZEN SHOULDER,
capsula yang membungkus sendi ini mengalami kontraksi. Bahu pasien membentuk pita dan jaringan parut yang disebut
adhesi. Kontraksi dari capsula dan pembentukan adhesi ini menyebabkan FROZEN SHOULDER yang kaku dan
menyebabkan nyeri saat digerakkan 16.
Proses penyakit ini biasanya mempengaruhi capsula sendi anterosuperior, rotator interval, dan ligament coracohumeral.
Arthroskopi menunjukkan suatu sendi kecil yang kehilangan lipatan axillar dan capsula anterior yang ketat dengan sinovitis
ringan45, 48. Pada pasien dengan FROZEN SHOULDER kronik terjadi kontraksi dari struktur ini dan terbentuk suatu jaringan
fibrous tebal yang menahan caput humerus pada fossa glenoid sehingga terjadi pembatasan pergerakan pada semua arah.
Gambar 56. Foto dan gambaran skematik yang menunjukkan prosedur operasi FROZEN SHOULDER kronik. Struktur
yang mengalami kontraksi -ligament coracohumeral dan rotator interval- diekspose. Retraktor yang halus diletakkan di
bawah lesi (tanda panah) dan ligament coracohumeral yang berkontraksi serta rotator interval dipotong secara tumpul,
dengan posisi lengan exorotasi dan menjaga agar caput longum dari biceps brachii tidak terpotong (C), tendon supraspinatus
(A), atau tendon subscapularis (B).
Secara umum terdapat pertentangan apakah proses patologi yang terjadi adalah suatu kondisi inflamasi, suatu
proses fibrosing,ataukah suatu proses algoneurodistrofi. Neviaser (1945) dan Simmonds (1949) menyatakan bahwa
FROZEN SHOULDER disebabkan karnea kondisi inflamasi kronik, namun Lundberg (1969) mementahkan pendapat ini
dengan alasan tidak terdapatnya sel inflamasi dalam jumlah yang signifikan. Ia menyatakan bahwa patologi primer dari
FROZEN SHOULDER adalah fibrosis dan fibroplasia, dimana ia menemukan bahwa morfologi dari jaringan yang
mengalami kontraktur sama dengan kontraktur pada Dupuytren. Kay dan Slater (1981) dalam pengamatan histologi capsula
bahu dari seorang pasien dengan DM mengidentifikasi kesamaan fibromatosis antara FROZEN SHOULDER dan Dupuytren
dan tidak menemukan gambaran inflamasi seperti yang dinyatakan Neviaser (1945) 11, 48.
Studi arthroskopi (Wiley 1991, Uitvulgt et al 1993, Bunker, Lagas, and DeFerme 1994) dan studi melalui operasi terbuka
(Ozaki et al 1989) menunjukkan abnormalitas utama dari FROZEN SHOULDER primer terletak pada rotator interval dan
capsula anterior. Neer et al (1992) menemukan bahwa ligament Coracohumeral mengalami kontraksi dan Ozaki et al (1989)
menyatakan bahwa pelepasan ligament ini bersifat kuratif.

Bukti menunjukkan suatu inflamasi synovial yang disusul dengan fibrosis capsular. Suatu matriks padat dari kolagen tipe I
dan tipe III digantikan oleh fibroblast dan miofibroblas pada capsula sendi. Kemudian diikuti dengan kontraksi jaringan.
Peningkatangrowth factor, sitokin, dan ekspresi dari matriks metalloprotein pada spesimen biopsi capsular dari pasien
dengan FROZEN SHOULDER primer dan sekunder mengindikasikan bahwa zat-zat ini terlibat dalam proses inflamasi dan
kaskade fibrotik yang nampak pada FROZEN SHOULDER 21.
Sitokin dan growth factors berperan dalam inisiasi dan terminasi dari proses perbaikan pada jaringan musculoskeletal
melalui pengaturan fibroblast dan proses pembentukan kembali dikontrol oleh matriks metalloprotein dan inhibitornya.
Hubungan antara FROZEN SHOULDER dan penyakti Dupuytren telah diidentifikasi dimana kedua penyakit ini saling
berhubungan melalui inhibitor matriks metalloproteinase.
FISIO-HISTOLOGI  FROZEN SHOULDER
Neviaser menggambarkan arthroskopi dari FROZEN SHOULDER dalam 4 fase dan Hannafin et al menggambarkan suatu
hubungan antara fase arthroskopi, pemeriksaan klinis, dan penampakan histologi spesimen biopsi capsular dari pasien
dengan fase 1,2, dan 3. perlu ditegaskan disini bahwa fase dari FROZEN SHOULDER merupakan suatu proses yang kontinu
dari penyakit sehingga masing-masing fase tidak berdiri sendiri. 
Gambar 57. Contoh biopsi dari FROZEN SHOULDER fase 1 yang menunjukkan hipertrofi hipervascular synovium
1. Pada fase 1
Pasien mengeluhkan adanya nyeri pada pergerakan aktif dan pasif. Rasa nyeri digambarkan sebagai rasa sakit saat istirahat
dan bertambah parah saat bergerak, dengan gejala yang muncul kurang dari 3 bulan.  Pasien menyatakan adanya rasa sakit
pada malam hari dan saat beristirahat. Terdapat penurunan kemampuan menggerakkan bahu yang progresif dengan
pembatasan pada gerakan fleksi ke depan, abduksi, endorotasi, dan exorotasi. Pada pemeriksaan dengan anestesi atau injeksi
intraarticular dengan anestesi lokal terdapat perbaikan kemampuan bergerak yang signifikan. Pemeriksaan arthroskopi
menemukan suatu synovitis glenohumeral dengan hipervascular yang difus, sering ditemukan pada capsula anterosuperior
(gambar 57). Pada pemeriksaan PA ditemukan sedikit infiltrasi sel inflamasi, hipertrofi, synovitis hipervascular, dan jaringan
capsula yang normal (gambar 58).

Gambar 58. Hipertrofi, hipervascular sinovitis dengan pembentukan perivascular dan jaringan parut subsynovial pada
FROZEN SHOULDER fase 2.
2. Pada fase 2 ‘‘freezing stage’’
Gejala nampak dalam 3-9 bulan dengan nyeri kronik dan kehilangan kemampuan gerakan bahu yang progresif. Nyeri saat
istirahat dan pada malam hari masih terdapat, dan gangguan tidur yang signifikan tetap eksis. Terdapat pembatasan
signifikan terhadap gerakan fleksi ke depan, abduksi, endorotasi, dan exorotasi. Pemeriksaan setelah injeksi intraarticular
dengan lokal anestesi atau blok scalene menunjukkan hilangnya rasa nyeri dengan perbaikan sebagian gerakan bahu.
Kehilangan pergerakan bahu pada fase 2 menunjukkan hilangnya volume capsular dan suatu respons terhadap synovitis yang
menyakitkan.

Gambar 59. Fibroplasia capsuler nampak pada biopsi jaringan capsuler yang dalam dari FROZEN SHOULDER fase 2
akhir.
Pemeriksaan dengan arthroskopi menunjukkan suatu synovitis bertangkai, difus, dan suatu capsula ketat dengan rasa kenyal
dan tebal saat arthroskopi dimasukkan (gambar 59). Terdapat synovitis yang hipertrofi, hipervascular dengan perivascular
dan pembentukan jaringan parut subsynovial dan fibroplasia capsular (gambar 60). Tidak terdapat infiltrat inflamasi pada
fase 2.

 
Gambar 60. Biopsi capsular menunjukkan jaringan kolagen yang tebal dan hiperselular pada FROZEN SHOULDER fase 3
3. Pada ‘‘frozen stage’’ (fase 3)
Pasien mengalami nyeri yang minimal (kecuali pada akhir pergerakan bahu) namun terdapat kekakuan bahu yang nyata.
Nampak penurunan kemampuan gerak dengan suatu kekakuan pada capsular. Gejala nampak dalam 9-15 bulan. Pemeriksaan
arthroskopi menunjukkan sisa-sisa fibrotik synovium yang tidak hipervascular. Pada biopsi capsular nampak jaringan
kolagen yang menebal, hiperselular dan suatu lapisan synovial tipis tanpa hipertrofi dan hipervascular yang signifikan 11.
4. Fase 4
Diketahui sebagai “thawing phase” dari adhesive capsulitis. Pada fase ini terdapat nyeri yang minimal dan perkembangan
progresif dari cakupan pergerakan bahu karena pembentukan kembali capsula.

DIAGNOSIS
Diagnosis dari idiopatik FROZEN SHOULDER dibuat berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik sembari menyingkirkan
penyebab lain dari rasa nyeri dan hilangnya pergerakan di bahu. Penentuan stadium FROZEN SHOULDER menurut riwayat
yang dituturkan pasien pada saat pemeriksaan juga penting karena menentukan jenis pengobatan yang sesuai  39. Pemeriksaan
fisik harus meliputi evaluasi dari tulang cervical, batang tubuh, dan kedua bahu.
Pasien FROZEN SHOULDER stadium 1 dan 2 mengalami nyeri pada palpasi area capsula anterior dan posterior dan
menyatakan rasa nyeri yang menyebar ke area insersi deltoid. Nyeri saat istirahat dan pada malam hari merupakan hal yang
biasa pada stadium awal ini. Evaluasi dari pergerakan aktif dan pasif penting untuk menentukan stadium FROZEN
SHOULDER.

Pergerakan glenohumeral harus diukur saat menyeimbangkan scapula. Hal ini penting untuk menilai ROM glenohumeral
dibandingkan pergerakan scapulothoracic. Exorotasi, abduksi, dan endorotasi paling dipengaruhi. Pergerakan aktif harus
dinilai saat pasien berdiri. Pergerakan glenohumeral pasif dinilai pada posisi supine dan pergerakan scapulothoracic dibatasi
dengan menekan acromion secara manual.

Pemeriksan radiologi harus dilakukan termasuk foto anteroposterior pada posisi endorotasi, exorotasi, axillar,
dan outlet untuk mengidentifikasi penyebab lain dari kekakuan sendi seperti arthritis glenohumeral, tendonitis kalsifikasi,
atau penyakit rotator cuff. Gambaran radiologi biasanya normal pada pasien FROZEN SHOULDER, walaupun mungkin
terdapat kemungkinan osteopenia. MRI berguna untuk melihat sebagian atau seluruh robekan rotator cuff pada pasien yang
mengeluhkan adanya nyeri dan kekakuan bahu namun hal ini tidak rutin dilakukan dalam mendiagnosa FROZEN
SHOULDER.
DIAGNOSIS BANDING
Adhesive capsulitis harus dibedakan dari penyakit lainnya yang juga menunjukkan gejala kekakuan dan nyeri pada sendi.
Hal ini penting karena tindakan pengobatan untuk masing-masing penyakit berbeda-beda. Diagnosis banding dari FROZEN
SHOULDER adalah 39:
1.  Calcific Tendinitis
A.    Gambaran Umum
Calcific Tendinitis (juga disebut  calcific/ calcifying/ calcified/ calcareous tenonitis/ tendonitis/ tendinopathy, dan
tendinosis calcarea) merupakan kelainan yang ditandai oleh deposit hyrdoxyapatite (suatu kristalin kalsium fosfat)   pada
setiap tendon di tubuh, namun paling sering terjadi pada tendon rotator cuff yang menyebabkan nyeri dan inflamasi.
Nyeri dipicu oleh elevasi lengan melewati bahu atau pada gerakan yang bertumpu pada bahu. Nyeri dapat menyebabkan
pasien bangun dari tidurnya. Keluhan lainnya adalah kekakuan, snapping, atau kelemahan bahu. Kondisi dihubungkan dan
dapat menyebabkan FROZEN SHOULDER.
Deposit calcific nampak pada X-ray sebagai suatu gumpalan yang mencolok atau berupa area berawan (cloudy area).
Deposit nampak seperti awan pada proses reabsorpsi, dan pada keadaan ini timbul rasa nyeri. Deposit ini adalah kristalin
pada fase istirahat dan nampak seperti pasta gigi pada fase reabsorpsi.
B.    Penatalaksanaan
  (i.)        Pembatasan diet kalsium
Cara konservatif ini masih kontrovesial karena hanya efektif pada sebagian pasien, namun terdapat laporan bahwa nyeri
dapat dikurangi dengan restriksi asupan kalsium. Restriksi diet ini berlaku untuk semua produk susu, kacang-kacangan yang
memiliki kadar kalsium tinggi, produk fortifikasi kalsium, dan sayuran yang mengandung banyak kalsium.  Bila setelah tiga
bulan tidak terdapat perubahan, maka modalitas tatalaksana lainnya perlu dilakukan.

(ii.)  Suplementasi Magnesium
Level magnesium yang rendah dapat menyebabkan deposisi kalsium pada jaringan lunak. Sehingga suplementasi magnesium
diperlukan untuk mencegah pembentukan kalsifikasi.

(iii.)  Extracorporeal shock wave therapy (ECSW)


ECSW menggunakan gelombang suara yang difokuskan pada area deposit. Mekanisme kerja dari terapi ini belum diketahui.
Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Jerman, dilaporkan bahwa 30-70% pasien dapat mengatasi nyerinya, dan pada
20-77% kasus, deposit kalsifikasi nampak menghilang atau disintegrasi.

(iv.)   Obat-obatan
 Analgetik dan non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) berguna hingga pada kondisi tertentu.
(v.)    Terapi Fisik
Elektroanalgesia, terapi es, dan pemanasan dapat mengurangi gejala. Kegunaan ultrasound pada   calcific tendinitis masih
diperdebatkan, kebanyakan penelitian menunjukkan hasil yang negatif namun suatu penelitian yang dilakukan oleh
Ebenbichler et al (1999) menunjukkan resolusi dari deposit dan perbaikan secara klinis.
(vi.)  Iontophoresis
Pada penelitian, asam asetat iontophoresis dikombinasikan dengan ultrasound tidak menunjukkan hasil yang lebih baik
secara klinis atau perbaikan dari deposit calcific.

(vii.)  Injeksi, needling, dan lavage


Dengan anestesi lokal, calcific deposit dapat dihancurkan secara mekanik dengan cara punksi berulang pada area tersebut
dengan sebuah jarum, kemudian diikuti aspirasi dari material calcific dengan bantuan saline. Sekitar 75% pasien tertolong
dengan prosedur ini.

(viii.)  Pembedahan
Pengeluaran deposit baik dengan operasi bahu terbuka atau operasi dengan bantuan arthroskopi merupakan operasi yang
sulit namun dengan angka kesuksesan yang hingga 90%. Sekitar 10% membutuhkan reoperasi.

2.  Robekan Rotator Cuff 27


A.    Definisi
Robekan rotator cuff adalah robekan pada satu, atau lebih, dari empat otot tendon dari rotator cuff. Robekan rotator cuff
merupakan kondisi yang sering terjadi berkenaan dengan gangguan pada bahu.

Tendon dari rotator cuff, bukan otot, paling sering mengalami robekan. Dari keempat tendon tersebut, supraspinatus
merupakan tendon yang paling sering terkena; robekan itu biasanya terjadi pada titik insersi dari caput humerus ke
tuberositas mayor.

Gambar 58. Robekan dari tendon Rotator Cuff


B.    Presentasi Penyakit
Banyak robekan rotator cuff yang terjadi tanpa rasa nyeri atau menunjukkan gejala tertentu, robekan diketahui meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Penyebab tersering dari robekan rotator cuff adalah degenerasi karena proses penuaan
dan kadang-kadang karena cedera olahraga atau trauma. Robekan sebagian atau seluruh lapisan banyak ditemukan pada
otopsi atau studi MRI, pada orang yang tidak pernah memiliki riwayat nyeri bahu.

C.    Klasifikasi
Robekan dari rotator cuff dibagi menjadi : robekan sebagian tendon, robekan seluruh tendon, dan robekan seluruh tendon
disertai terlepasnya tendon dari tulang.

Robekan seluruh tendon dapat merupakan robekan pin-point yang kecil atau robekan besar yang melibatkan sebagian besar
tendon namun tendon tetap berada pada kondisi menempel pada caput humerus dan dapat melakukan fungsinya. Robekan
seluruh tendon dengan terlepasnya seluruh tendon dari caput humerus dapat menyebabkan gangguan pergerakan bahu dan
fungsi bahu secara signifikan terganggu.

Nyeri bahu sangat bervariasi dan tidak selalu berhubungan dengan ukuran robekan.

D.Diagnosis
Evaluasi klinik terdiri atas dua bagian : riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Riwayat penyakit menunjukkan gejala-
gejala yang telah dimiliki pasien sementra pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda fisik.

Pada robekan rotator cuff riwayat bervariasi dan dapat menunjukkan adanya atau tidak adanya kejadian trauma. Nyeri dapat
dimulai seketika atau berkembang secara perlahan. Nyeri dapat konstan, intermiten, atau hanya muncul ketika melakukan
aktivitas. Nyeri dapat ringan hingga berat dan dapat juga disertai kelemahan.

Gejala-gejala yang ada berhubungan dengan robekan rotator cuff. Tidak ada gejala yang menjadi patokan untuk menentukan
diagnosa robekan rotator cuff bahkan gejala kadang hanya nampak saat terjadi ruptur komplit dengan pelepasan rotator cuff
yang menyebabkan hilangnya fungsi bahu, seperti hilangnya kemampuan untuk gerakan abduksi lengan. Sayangnya gejala
seperti ini jarang ditemukan dan kebanyakan robekan hanya menunjukkan gejala nyeri dengan pembatasan fungsi bahu,
suatu keluhan yang tidak spesifik yang tidak dapat dibedakan dengan  tendinitis, bursitis atau arthritis.

Nyeri pada aspek anterolateral bahu dapat terjadi karena banyak penyebab, gejala dapat hanya merupakan nyeri alih dari area
leher, jantung, atau usus.

Gambar 59. Arthrogram pada ruptur rotator cuff menunjukkan medium kontras pada sendi bahu dan bursa subacromial.
Rotator cuff nampak di atas caput humerus.
Pasien dapat memiliki riwayat nyeri pada aspek depan dan samping bahu, nyeri yang dicetuskan oleh gerakan yang
berdasarkan pada siku dan gerakan mendorong ke atas yang menggunakan siku sebagai tumpuan (seperti pada latihan
reclining), intoleransi terhadap aktivitas overhead, nyeri pada malam hari saat berbaring pada bahu yang sakit, nyeri saat
hendak menggapai suatu barang. Kelemahan juga pernah dilaporkan namun sering tersamarkan dengan rasa sakit dan
biasanya ditemukan saat dilakukan pemeriksaan. Dengan adanya rasa nyeri yang bertahan lama, maka bahu secara perlahan
kehilangan kemampuan gerak dan kelemahan dapat terjadi.
 
Masalah bahu primer dapat menyebabkan nyeri pada otot deltoid yang diperparah dengan gerakan abduksi melawan resisten,
disebut sebagai tanda impingement. Impingement menunjukkan nyeri yang dimulai dari rotator cuff namun tidak dapat
dibedakan antara inflamasi, robekan, atau ketegangan.
E. Tatalaksana
Karena banyak pasien dengan robekan sebagian dan robekan komplit yang berespon dengan tatalaksana non bedah, maka
terapi konservatif merupakan pilihan utama. Namun hal ini tidak berlaku bila nampak trauma yang signifikan seperti adanya
dislokasi bahu atau fraktur dimana tindakan operasi menjadi pilihan.

Terapi non bedah termasuk didalamnya obat anti inflamasi, penghilang nyeri topikal seperti   pemberian cold packs dan
pemberian subacromial kortison/ injeksi anestesi lokal untuk memblok nyeri. Fisioterapi pada tatalaksana awal dapat
mengatasi nyeri dan membantu menjaga gerakan. Saat nyeri telah berkurang, maka defisiensi dan kesalahan biomekanik
dapat dikoreksi.  Pembatasan kerja disertai modifikasi dan restriksi aktivitas harian harus dilakukan untuk mencegah
terulangnya cedera.

    

Gambar 60. Injeksi intraarticular pada rotator cuff tear dilakukan melalui bagian posterior. Suntikan ditujukan pada bursa
subacromial.
Gambar 61 . Penampakan robekan rotator cuff pada arthroskopi
Terapi bedah termasuk perbaikan rotator cuff terbuka, perbaikan mini rotator cuff dengan bantuan arthroskopi atau perbaikan
sepenuhnya dengan arthroskopi.

Gambar 62. Arthroskop pada portal posterior. Lingkaran menunjukkan lokasi dari portal anterior aksesoris untuk insersi
anchor
 
Gambar 63. Robekan rotator cuff berbentuk huruf L

Gambar 64. Instrumen dimasukkan melalui portal yang dibuat


Gambar 65. Dengan bantuan instrumen dilakukan penjahitan di area rotator cuff yang robek.

Gambar 66. Penjahitan dilakukan di seluruh area rotator cuff yang robek, setelah selesai seluruh instrumen ditarik keluar
dan portal tempat masuknya instrumen ditutup.
  
3. Osteoarthritis
A.      Definisi
Osteoarthritis adalah penyakit yang merupakan bagian dari arthritis, penyakit ini menyerang sendi terutama pada tangan,
lutut dan pinggul. Orang yang terserang osteoarthritis biasanya susah menggerakkan sendi-sendinya dan pergerakannya
menjadi terbatas karena menurunnya fungsi tulang rawan untuk menopang badan. Hal ini dapat mengganggu produktivitas
seseorang. Osteoarthritis tidak hanya menyerang orang tua, tapi juga bisa menyerang orang yang muda dan berdasarkan
penelitian, kebanyakan orang yang terkena osteoarthritis adalah wanita.

Gambar 67. Animasi osteoarthritis


B.      Etiologi
Tidak ada bakteri atau virus yang menyebabkan osteoarthritis. Adapun penyebab dari osteoarthritis adalah :
1. adanya peradangan kronis pada persendian ditandai dengan pembengkakan pada jari-jari tangan, siku, dan lutut.
Biasanya daerah yang mengalami pembengkakan, berwarna kemerah-merahan
2. pernah mengalami trauma dan radang pada sendi
3. karena faktor usia. kebanyakan orang yang terkena osteoarthritis adalah orang dengan usia diatas 50 tahun.
4. keturunan. Ada beberapa orang yang mengalami osteoarthritis karena faktor keturunan
5. berat badan yang berlebih, dapat memberatkan sendi dalam menopang tubuh.
6. stres pada sendi. biasanya terjadi pada olahragawan.
7. neuropati perifer
 

C.      Tanda-Tanda
Untuk mengetahui apakah seseorang terserang penyakit ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut:

1. biasanya, osteoarthritis terjadi secara perlahan, dimulai dari rasa sakit pada sendi setelah melakukan aktivitas,
seperti olahraga, kemudian lama-kelamaan akan terasa lebih sakit dan kaku
2. pada tangan: jari-jari membesar, terasa sakit, kaku bahkan mati rasa
3. pada lutut: lutut terasa sakit dan kaku. Susah digunakan untuk berjalan dan dapat menyebabkan cacat
4. pada pinggul: terasa sakit dan kaku pada kunci paha dan dapat membatasi pergerakan
5. pada punggung/tulang belakang: terasa sakit dan kaku pada leher
D.      Diagnosis
Untuk mengetahui apakah seseorang terkena penyakit osteoarthritis, ada beberapa cara yang biasanya digunakan oleh dokter
untuk menegakkan diagnosis, diantaranya:

1. Riwayat penyakit

Dokter menanyakan pada pasien tentang gejala yang dialami, kapan mulai terjadi, dan bagaimana hal itu terjadi untuk
menegakkan diagnosis. Dan dokter juga menanyakan, apakah ada masalah dengan obat tertentu untuk alternatif pemberian
obat jika ternyata pasien tidak cocok dengan jenis obat tertentu.
2. Pemeriksaan fisik

Pada penderita osteoarthritis, pemeriksaan fisik ini biasanya dilakukan dengan memeriksa kemampuan berjalan.

3. X-ray

X-ray untuk mengetahui sejauh mana sendi mengalami kerusakan. X-ray dapat memperlihatkan rusaknya tulang 32.
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Magnetic resonance imaging dapat memberikan gambar-gambar seperti jaringan dalam tubuh dengan resolusi yang tinggi.
MRI   jika diduga ada penyakit dalam jaringan tubuh.

5.Tes lain

Dokter akan melakukan tes darah untuk mengetahui penyebab lain dari gejala yang timbul.

E. Terapi Non Farmakologi


Ada beberapa cara dalam penanganan osteoarthritis non farmakologi, diantaranya :

1. Olahraga :  Olahraga dapat mengurangi rasa sakit dan dapat membantu mengontrol barat badan.

Olahraga untuk osteoarthritis misalnya berenang dan jogging.

2. Menjaga sendi :  Menggunakan sendi dengan hati-hati dapat menghindari kelebihan stres pada sendi.

3. Panas/dingin

Panas didapat, misalnya dengan mandi air panas. Panas dapat mengurangi rasa sakit pada sendi dan melancarkan peredaran
darah.

Dingin dapat mngurangi pembengkakan pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Dapat didapat dengan mengompres daerah
yang sakit dengan air dingin.

4. Viscosupplementation

merupakan perawatan dari Canada untuk orang yang terkena osteoarthritis pada lutut, berbentuk gel.

5. Pembedahan

Apabila sendi sudah benar-benar rusak dan rasa sakit sudah terlalu kuat, akan dilakukan pembedahan. Dengan pembedahan,
dapat memperbaiki bagian dari tulang.

6. Akupuntur

Dapat mengurangi rasa sakit dan merangsang fungsi sendi.

7. Pijat  :  Pemijatan sebaiknya dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya.

8. vitamin D,C, E, dan beta karotin

untuk mengurangi laju perkembangan osteoarthritis.

9. Teh hijau :  Memiliki zat anti peradangan.


F. Terapi Farmakologi
Semua obat memiliki efek samping yang berbeda, oleh karena itu, penting bagi pasien untuk membicarakan dengan dokter
untuk mengetahui obat mana yang paling cocok untuk di konsumsi. Berikut adalah beberapa obat pengontrol rasa sakit untuk
penderita osteoarthritis:

1. Acetaminophen

Merupakan obat pertama yang di rekomendasikan oleh dokter karena relatif aman dan efektif untuk mengurangi rasa sakit.

2. NSAIDs (nonsteroidal anti inflammatory drugs)

Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Mempunyai efek samping, yaitu menyebabkan sakit perut dan
gangguan fungsi ginjal.

3. Topical pain

Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan langsung pada kulit yang terasa sakit.

4. Tramadol (Ultram)

Tidak mempuyai efek samping seperti yang ada pada acetaminophen dan NSAIDs.

5. Milk narcotic painkillers

Mengandung analgesic seperti codein atau hydrocodone yang efektif mengurangi rasa sakit pada  penderita osteoarthritis.

6. Corticosteroids

Efektif mengurangi rasa sakit.

7. Hyaluronic acid

Merupakan glycosaminoglycan yang tersusun oleh disaccharides of glucuronic acid dan N-acetygluosamine. Disebut juga


viscosupplementation.
Digunakan dalam perawatan pasien osteoarthritis. Dari hasil penelitian yang dilakukan, 80% pengobatan dengan
menggunakan hyaluronic acid mempunyai efek yang lebih kecil dibandingkan pengobatan dengan menggunakan placebo.
Makin besar molekul hyaluronic acid yang diberikan, makin besar efek positif yang di rasakan karena hyaluronic acid efektif
mengurangi rasa sakit.

8. Glucosamine dan chondroitin sulfate

Mengurangi pengobatan untuk pasien osteoarthritis pada lutut.

G.      Pencegahan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar kita terhindar dari osteoarthritis:

1. menghindari olahraga yang bisa meyebabkan sendi terluka


2. mengontrol berat badan agar berat yang ditopang oleh sendi menjadi ringan
3. minum obat untuk mencegah osteoarthritis
Trauma
Walaupun penyebab dari FROZEN SHOULDER belum diketahui, setiap kondisi yang menyebabkan tidak digerakkannya
lengan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kontraksi capsular, termasuk pada imobilisasi setelah calcific tendinitis,
cedera rotator cuff, mastektomi, atau cedera ekstremitas atas bagian distal (Fraktur Colles) 40.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa uji laboratorium spesifik atau penanda radiologi terhadap FROZEN SHOULDER, namun penegakan
diagnosis tetap berdasarkan gejala klinis. Penelitian imunologi (seperti human leukosit antigen B27),  C – reaktif protein,
dan angka sedimentasi eritrosit semuanya menunjukkan angka yang normal dan pemeriksaan dilakukan untuk
menyingkirkan kondisi lainnya1.
Kebanyakan dokter bedah ortophedi tidak melakukan pemeriksaan FROZEN SHOULDER dengan rontgen biasa karena
hanya akan menunjukkan bentuk yang normal atau osteopenia perarticular sebagai akibat sendi yang tidak digunakan. Scan
tulang dengan kontras technetium-99m difosfonat menunjukkan peningkatan penyerapan pada sisi yang sakit  pada 92%
pasien dibandingkan dengan sisi yang sehat atau kontrol. Arthrografi menunjukkan ciri yang khas berupa pembatasan
kapasitas dari sendi bahu (5-10 ml pada sendi yang sakit dibandingkan 25-30 ml pada sendi yang normal) dan   adanya suatu
lipatan axillar yang kecil 5,44, 48, 59.

Gambar 68. Arthrogram menunjukkan adhesive capsulitis. Lipatan aksilar (tanda panah) dan bursa subcapularis (anak
panah) menunjukkan kapasitas yang kecil untuk medium kontras.
Magnetic Resonance (MR) Arthrographic menunjukkan sedikit penebalan pada capsula sendi pada interval rotator cuff dan
ligament coracohumeral seperti tanda subcoracoid triangle  38. Penebalan capsula sendi dan synovium lebih dari 4 mm
merupakan kriteria MR untuk menegakkan diagnosa FROZEN SHOULDER. Volume cairan articular yang nampak pada
gambar MR tidak berkurang secara signifikan pada pasien FROZEN SHOULDER 23.
Gambar 69. Gambaran MR arthrographic dari FROZEN SHOULDER : nampak penebalan abnormal dari capsula dan
synovium
PENATALAKSANAAN  
Frozen shoulder biasanya akan sembuh dengan sendirinya namun memakan waktu yang lama, kadang hingga 2-3 tahun.
Pengobatan ditujukan untuk mengontrol nyeri dan memulihkan pergerakan.
Edukasi yang baik kepada pasien membantu mengurangi rasa frustasi dan memberikan semangat. Suatu penjelasan bahwa
kondisi tersebut akan secara spontan teratasi dan kekakuan akan menghilang seiring waktu terbukti membantu psikologi
pasien. Namun perlu juga diingatkan bahwa cakupan gerak bahu tidak akan dapat pulih sepenuhnya. Idealnya, pengobatan
FROZEN SHOULDER harus disesuaikan dengan stadium penyakitnya.

Pengobatan FROZEN SHOULDER terbagi atas dua, yakni pengobatan konservatif atau non bedah dan pengobatan operatif
atau melalui tindakan bedah

1.    Penatalaksanaan Non Bedah


Pengobatan pada pasien FROZEN SHOULDER tergantung pada stadium penyakit dan gejala klinik yang dialami.

A.   Obat Oral
Obat antiinflamasi yang terpilih untuk menangani FROZEN SHOULDER adalah golongan NSAID. Obat golongan ini selain
berperan sebagai antiinflamasi juga berguna sebagai analgetik. NSAID dapat diberikan kepada semua pasien yang
menunjukkan keterbatasan pergerakan disertai rasa sakit. Penambahan analgesik lainnya dapat diberikan bila perlu 21, 32
Steroid oral juga diusulkan sebagai pengobatan FROZEN SHOULDER : Buchbinder dkk melaporkan penelitiannya terhadap
50 pasien FROZEN SHOULDER. Dalam laporannya dinyatakan bahwa steroid oral terbukti membantu dalam menangani
FROZEN SHOULDER namun efeknya tidak bertahan lebih dari 6 minggu. Efek samping dari steroid oral tetap harus
diperhatikan dan mereka menyarankan untuk tidak menggunakan steroid oral sebagai terapi rutin 8.
B.   Injeksi Intraarticular
Kombinasi injeksi intraarticular kortikosteroid dengan anestesi lokal juga membantu dalam menangani FROZEN
SHOULDER dengan mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi kemampuan pergerakan bahu. Injeksi dilakukan melalui
intraarticular melalui bagian anterior sendi 9. Injeksi intraarticular tidak diindikasikan lagi setelah fase I terlewati karena
stadium inflamasi dari penyakit telah dilewati. Bulgen et al melaporkan bahwa injeksi kortikosteroid hanya efektif dalam
mengatasi nyeri dan membantu mengembalikan ROM pada awal stadium 10.
Walaupun berguna dalam menangani reaksi inflamasi, injeksi kortikosteroid secara umum tidak mempengaruhi proses dasar
penyakit. Kortikosteroid membatasi semua fase respons inflamasi, termasuk migrasi leukosit, pembentukan edema,
pelepasan mediator, permeabilitas vascular, deposisi kolagen, dan proliferasi fibroblas. Komplikasi sistemik sangat jarang
setelah suntikan kortikosteroid. Tempat spesifik timbulnya komplikasi adalah kerusakan cartilago articular dan atrofi
subkutan. Insiden komplikasi lokal berhubungan dengan teknik injeksi, dosis yang digunakan, dan frekuensi penyuntikan.

Penggunaan injeksi kortikosteroid tidak boleh lebih dari empat minggu 10. Injeksi langsung ke tendon harus dihindari, dan
frekuensi penyuntikan harus dibatasi hingga 4 kali per tahun 12.
Sejumlah preparat kortikosteroid tersedia di pasaran (lihat tabel 6). Injeksi dengan agen kerja lama atau kombinasi agen kerja
singkat dan lama merupakan pilihan. Dosis yang digunakan tergantung pada ukuran sendi atau bursa dan respons individual. 

Setelah injeksi, bahu harus diimobilisasi, dan aktivitas dibatasi untuk beberapa hari. Hal ini berguna untuk melindungi
cedera yang lebih jauh. Perbaikan biasanya nampak antara 1-7 hari dan dapat memanjang hingga beberapa bulan, tergantung
pada kondisi pasien. Injeksi anestesi lokal dapat menghasilkan perbaikan yang sangat jelas namun bersifat temporer.

Tabel 6. Potensi, Durasi Aksi, dan  Dosis dari Preparat Kortikosteroid

Preparat (Suspensi)
Preparat (Nama Dagang ) Potensi Relatif Lama Kerja (mg/mL) Dosis Subacro-mial (mg)
Hydrokortison asetat (Hydrocortone) 1 Singkat 50 mg/mL 25–37.5

Betamethasone sodium fosfat dan asetat (Celestone


Soluspan) 25 Singkat/ panjang 6 6

Methylprednisolon asetat (Depo-Medrol) 5 Panjang 40 40–80

Triamsinolon asetonid (Kenalog-10) 5 Panjang 10 mg/mL 10–20

Triamsinolon hexasetonid (Aristospan) 5 Panjang 20 mg/mL 20

Triamsinolone diasetat (Aristocort) 5 Panjang 25 25

Dexamethasone acetate (Decadron-LA) 25 Panjang 8 4–16

Hazelman melakukan suatu meta-analisis pada penggunaan steroid intraarticular dan melaporkan bahwa kesuksesan terapi
ini bergantung pada lamanya gejala yang timbul – pasien yang menerima injeksi pada awal stadium mengalami pemulihan
yang lebih cepat 31. Pada penelitian yang lain Carette et al membandingkan efektivitas pasien yang hanya menjalani
fisioterapi dibandingkan dengan pasien fisioterapi yang juga menerima injeksi steroid. Penelitian ini juga membandingkan
pasien fisioterapi yang mendapat injeksi steroid dengan pasien fisioterapi yang menerima injeksi plasebo. Mereka
menyimpulkan bahwa pasien yang hanya menjalani fisioterapi menunjukkan manfaat yang terbatas dibandingkan dengan
kelompok yang dikombinasikan dengan injeksi steroid 13. Sebaliknya Dacre et al pada penelitiannya terhadap 62 pasien yang
dibagi dalam tiga kelompok terapi. Kelompok I hanya menerima injeksi steroid, kelompok II hanya menjalani fisioterapi,
dan kelompok III menjalani kedua terapi tersebut. Mereka kemudian menemukan bahwa terapi dengan injeksi steroid lokal
saja sama efektifnya dengan fisioterapi atau terapi kombinasi. Bahkan ia menyatakan bahwa bila tidak terdapat komplikasi,
maka injeksi steroid merupakan pilihan karena merupakan terapi yang cost effective  20.  
C.   Fisioterapi
Latihan dan fisioterapi sering direkomendasikan untuk menjaga dan menambah cakupan pergerakan bahu. Fisioterapi,
peregangan, dan program rehabilitasi lainnya efektif pada pasien FROZEN SHOULDER di atas stadium 2 karena pada
stadium 1 masih terdapat inflamasi dan nyeri yang mempersulit dilakukannya pergerakan bahu.

Dengan demikian tujuan terapi fisik pada stadium 1 (fase 1 & 2 menurut penggolongan Neviaser) adalah memotong siklus
inflamasi dan nyeri dengan memperhatikan modalitas nyeri yang timbul, mengajarkan pasien tentang posisi-posisi yang
dapat membantu mengurangi nyeri, dan modifikasi aktivitas untuk menyeimbangkan waktu kegiatan dan istirahat.
Pada stadium 2 (fase 2 akhir dan fase 3 menurut penggolongan Neviaser) pengobatan dikonsentrasikan untuk mengurangi
inflamasi nyeri dan meminimalisasikan pembatasan capsular sehingga tidak terjadi kehilangan pergerakan. Tujuannya adalah
untuk merestorasi biomekanik normal dari sendi GH. Latihan peregangan yang lebih agresif dapat dilakukan pada fase ini
dengan tujuan menambah cakupan pergerakan bahu. Beban ringan dan peregangan yang lama merupakan kunci yang lebih
baik untuk menghasilkan elongasi jaringan daripada beban yang berat dengan resistensi tinggi dan peregangan seadanya.
Fisioterapi pada pasien dengan stadium 3 (fase 4 menurut penggolongan Neviaser) diatur untuk memperbaiki kehilangan
pergerakan bahu yang signifikan dengan cara meningkatkan cakupan pergerakan bahu melalui peregangan yang agresif.
Pemanasan otot bertujuan untuk relaksasi, hidroterapi dapat juga digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan setelah
peregangan dilakukan. Kebanyakan pasien menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam 12-16 minggu. Namun
beberapa pasien juga tidak menunjukkan perkembangan dan malah bertambah parah yang mengindikasikan kebutuhan
intervensi bedah atau manipulasi.
Fisioterapi terbukti merupakan metode efektif dalam menangani FROZEN SHOULDER. Suatu studi menunjukkan bahwa
program latihan peregangan pada pasien FROZEN SHOULDER stadium 2 mengurangi rasa nyeri saat istirahat (pada 84%
subjek) dan mengurangi nyeri saat aktivitas (73% subjek) 28.  Vermeulen dan rekannya melakukan penelitian tentang
efektivitas teknik mobilisasi tingkat tinggi (pergerakan hingga ke area yang mengalami kekakuan) dan teknik mobilisasi
tingkat rendah (pergerakan pada area yang bebas nyeri) pada 100 pasien FROZEN SHOULDER yang menunjukkan gejala
lebih dari 3 bulan dan sekurangnya mengalami penurunan gerak sendi hingga 50%. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua
kelompok ini menunjukkan perbaikan cakupan pergerakan bahu dalam waktu 12 bulan. Hasil dari kelompok yang menjalani
teknik mobilisasi tingkat tinggi lebih baik daripada tingkat rendah, namun secara keseluruhan perbedaan antara dua
kelompok tersebut kecil. Mereka menyimpulkan bahwa fisioterapi berguna tanpa mempedulikan intensitas peningkatan
kemampuan pergerakan dan cakupan gerakan dan berkurangnya kekakuan pada bahu.
Dierks et al melakukan suatu studi prospektif terhadap 77 pasien FROZEN SHOULDER. Kelompok pertama adalah pasien
yang menjalani latihan dengan nyeri sebagai indikator pembatasan dibandingkan dengan kelompok kedua yang menjalani
fisioterapi intensif 22. Mereka menemukan bahwa kelompok pertama menunjukkan hasil yang lebih baik (64% mencapai
kondisi hampir normal, berkurangnya nyeri pergerakan bahu dalam 12 bulan dan 89% mengalaminya setelah 24 bulan)
dibandingkan kelompok kedua (63% mencapai hasil yang sama dalam waktu 24 bulan).
Fisioterapi digunakan untuk mengembalikan gerakan. Terapi ini termasuk peregangan bahu secara pasif baik elevasi ke
depan, exorotasi, adduksi horizontal, dan endorotasi atau sirkumduksi pendulum 28. Kadang pemanasan di area bahu
membantu mengurangi nyeri. Bila metode ini tidak berhasil, maka blokade saraf digunakan untuk membatasi nyeri dan
dengan adanya blokade saraf ini maka fisioterapi yang lebih agresif dapat dilakukan.

Gambar 70 . Beberapa contoh gerakan yang dilakukan pada fisioterapi


   

   
 

Gambar 71. Rangkaian latihan peregangan secara pasif


Elevasi ke depan

Exorotasi

Adduksi Horizontal

Endorotasi

Penatalaksanaan Bedah
Intervensi bedah dipertimbangkan bila tidak nampak perbaikan pada nyeri atau pergerakan bahu setelah dilakukan fisioterapi
dan pengobatan antiinflamasi. Intervensi bedah bertujuan untuk meregangkan atau melepaskan capsula sendi bahu yang
berkontraksi 18.  Penanganan bedah meliputi manipulasi tertutup dengan anestesi, pelepasan capsular dengan arthroskopi, dan
pelepasan capsular dengan bedah terbuka.
Setelah pembedahan, fisioterapi harus dilakukan untuk menjaga pergerakan bahu yang telah ada karena pembedahan. Waktu
pemulihan sangat bervariasi, biasanya berlangsung antara 6 minggu hingga 3 bulan.

A. Manipulasi Tertutup dengan Anestesi 18, 43


Pada pasien yang tidak mampu mentoleransi nyeri dan disabilitas berkenaan dengan kondisi FROZEN SHOULDER,
manipulasi dengan anestesi merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan cakupan pergerakan 1. Manipulasi ini diindikasikan
bila disabilitas fungsional menetap walaupun terapi non-operatif yang adekuat telah dilakukan selama 6 bulan 29.
Manipulasi ini menyebabkan perbaikan fungsi bahu dan cakupan pergerakannya dalam waktu 3 bulan. Manipulasi tertutup
merupakan metode terapi bedah yang efektif pada kebanyakan pasien FROZEN SHOULDER. Kegagalan dari terapi
manipulasi ini sering terjadi pada pasien yang menderita DM 47.
Indikasi utama dilakukannya manipulasi dengan anestesi adalah FROZEN SHOULDER primer yang idiopatik. Penting
untuk membedakan hal tersebut dengan faktor penyebab karena kekakuan akibat trauma, dimana seringkali tidak berespons
terhadap manipulasi. Waktu yang tepat untuk dilakukan manipulasi adalah ketika FROZEN SHOULDER sudah berada pada
stadium dimana nyeri pada malam hari berkurang dan kekakuan telah maksimal. Tindakan fisioterapi pada kondisi ini
biasanya menyebabkan nyeri yang hebat. 

FROZEN SHOULDER yang berhubungan dengan DM insulin-dependent (tipe I) tidak berespon baik terhadap manipulasi
dengan anestesi, karena bahu menjadi kaku kembali dalam 2-3 minggu. Bila terdapat riwayat fibrosis post irradiasi, maka hal
ini dapat menjadi petunjuk hilangnya elastisitas plexus brachial sehingga plexus dapat rusak bila dilakukan traksi.

Orang tua dan osteoporotik tidak boleh dimanipulasi karena dapat menyebabkan fraktur pada batang humerus atau pada
humerus proksimal. Osteopenia, pasien yang menjalani pembedahan untuk memperbaiki jaringan lunak di bahu, adanya
fraktur, dan cedera saraf juga merupakan kontraindikasi tindakan ini. 

Teknik manipulasi ini sebaiknya dilakukan dengan mobilitas hingga batas ROM bahu yang dapat ditolerir (High Grade
Mobilization) karena terbukti efektif. Rozing dan tim telah melakukan penelitian dengan membandingkan keefektifan antara
high-grade dengan low-grade mobilization dan terbukti bahwa high-grade mobilization jauh lebih baik  55. Hal ini diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan Vermeulen pada 7 orang pasien FROZEN SHOULDER yang menjalani teknik mobilisasi
hingga batas ROM bahu yang dapat ditolerir, dimana pasien tersebut menjalani terapi selama 3 bulan dan terbukti bahwa
terdapat peningkatan dari pergerakan aktif. Abduksi bahu 91 o (sebelum) - 151o(sesudah), fleksi pada bidang sagital  113o –
147o, dan rotasi lateral 13 o - 31o. Pergerakan pasif bahu pun menunjukkan perbaikan, abduksi bahu 96 o -159o, fleksi pada
bidang sagital 120o -154o, dan rotasi lateral dari 21o menjadi 41o. Kapasitas capsula bahu juga meningkat dari 10 cc menjadi
15 cc 65. 
Teknik
Pasien dibaringkan terlentang setelah berada di bawah pengaruh anestesi (dapat dengan anestesi blokade scalene atau induksi
anestesi umum) dengan kepala berada pada bantalan cincin (bantal donat), dan bila pasien dimanipulasi pada sebuah trolley,
kutub regangan dipindahkan dari sisi yang mengalami gangguan (gambar 72 kiri). Ahli bedah berdiri pada ujung meja
dengan satu tangan menstabilkan scapula pada posisi istirahat (gambar 72 tengah). Tangan ahli bedah lainnya harus
diletakkan pada aksila pasien seakan-akan lengannya bersandar pada sisi dalam tangan pasien.

Gambar 72. Teknik Manipulasi tertutup dengan Anastesi


Gerakan pertama adalah abduksi hingga batas yang dapat ditolerir pasien kemudian pasien dipaksa untuk abduksi sementara
scapula dipertahankan pada posisi anatomi. Scapula tidak boleh bergerak pada setiap maneuver yang dilakukan. Gerakan ini
dapat menyebabkan robekan capsula inferior. Bahu kemudian dipaksa adduksi seakan-akan siku dari sisi yang sakit ditekan
di depan dagu pasien sehingga terjadi robekan capsula posterior (gambar 72 kanan). Akhirnya, exorotasi dan endorotasi
dilakukan, namun ahli bedah perlu berhati-hati dalam melakukan manuver ini karena dapat menyebabkan fraktur spiral pada
akhir rotasi.

Penanganan post-operasi
Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan setelah manipulasi dengan anestesi dilakukan :

1. Pada akhir prosedur, pasien disuntikkan golongan anestetik lokal kerja lama, seperti bupivakain 0,5% sebanyak 20
ml. golongan steroid dapat pula ditambahkan seperti depomedron atau triamsinolon untuk mengurangi pembentukan
adhesi post operasi dan pembengkakan.
2. Pastikan bahwa fisioterapis mengunjungi pasien di ruang pemulihan sehingga fisioterapi dini dapat dilakukan.
3. Pasien perlu melihat bahwa bahunya dapat diabduksi dan dielevasi secara penuh setelah dilakukan manipulasi
sehingga ia menyadari bahwa gerakan tersebut dapat dilakukan saat fisioterapi.  Pada beberapa hari pertama,
fisioterapi harian dilakukan, dan suatu program latihan di rumah harus dimulai dimana pasien diminta untuk
menggerakkan bahunya hingga mencapai ROM maksimum, peregangan ini dilakukan tiga kali sehari. Pasien harus
diingatkan bahwa prosedur ini tidak nyaman.
Walaupun mayoritas pasien dapat menjalani fisioterapi rawat jalan, beberapa pasien harus menjalani rawat inap untuk
mengontrol nyeri. Walaupun bahu telah dimanipulasi hingga ROM  maksimal di bawah pengaruh anestesi, diperlukan waktu
beberapa minggu untuk menambahkan ROM. Proses pemulihan sangat bervariasi. Biasanya bila manipulasi berhasil
dilakukan dalam satu manuver, maka hasil yang baik cepat tercapai. Namun bila saat manipulasi terjadi manuver bahu yang
pelan dan sulit, maka bila pasien tidak dimotivasi dengan baik, maka bahu akan kembali kaku 32.
Komplikasi
Terdapat dua komplikasi utama yang dapat terjadi saat manipulasi bahu :

(1) lesi plexus brachialis karena traksi, terjadi karena scapula tidak dirotasikan dan dielevasikan sesuai dengan posisi
anatominya

(2) fraktur batang humerus

Monique dkk tidak menyarankan manipulasi bahu ini sebagai terapi pilihan pada pasien FROZEN SHOULDER, mereka
lebih memilih untuk melakukan inspeksi dengan arthroskopi sebelum terapi manipulasi ini dilakukan 41. Pendapat ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dutch 1 dimana manipulasi yang dilakukan setelah arthroskopi terbukti efektif
dalam mengurangi kekakuan dan nyeri yang dihasilkan oleh FROZEN SHOULDER. Dalam penelitian ini seluruh pasien
diarthroskopi setelah sebelumnya dianestesi umum. Arthroskopi menunjukkan berkurangnya volume intraarticular dan
synovitis yang difus. Arthroskopi setelah manipulasi menunjukkan bahwa 79% kasus memiliki ruptur dari capsula pada
bagian anterior-inferior.
Latihan fisioterapi kemudian dilakukan selama 2-6 minggu setelah pembedahan. Setelah 12 bulan nampak bahwa 75%
pasien menunjukkan hasil yang memuaskan tanpa adanya perbedaan berarti antara pasien FROZEN SHOULDER primer dan
sekunder, termasuk mereka yang menderita DM.

B.         Pelepasan Capsula dengan Arthroskopi


Pelepasan capsula dengan arthroskopi terbukti lebih baik untuk mengontrol tindakan bedah pada capsula yang berkontraksi
dibandingkan dengan manipulasi di bawah anestesi. Pembebasan ini diperlukan bila manipulasi gagal untuk membebaskan
capsula, dimana hal ini sering terjadi pada pasien FROZEN SHOULDER dengan DM.

Pelepasan menggunakan arthroskopi juga mencegah komplikasi yang disebabkan oleh manipulasi, seperti terjadinya fraktur
humerus dan iatrogenik lesi bahu intra-articular. Pelepasan dengan arthroskopi dan synovektomi pada fase “freezing” efektif
dalam mengontrol perkembangan penyakit, bila synovitis merupakan faktor penting berkembangnya FROZEN
SHOULDER 66.

Gambar 73.
Intervensi arthroskopi dapat mengevaluasi penyakit pada daerah glenohumeral dan subacromial, synovektomi pada stadium
2 FROZEN SHOULDER, dan memfasilitasi ketepatan pelepasan capsular pada stadium 3 FROZEN SHOULDER.
Pendekatan ini efektif untuk meningkatkan kemampuan cakupan pergerakan bahu dan fungsinya, serta mengurangi waktu
pemulihan dari FROZEN SHOULDER.

Langkah-langkah tindakan arthoskopi bahu :

Setelah anestesi dilakukan, ahli bedah akan memastikan posisi yang tepat di meja operasi. Kadang-kadang pasien diletakkan
pada posisi “beach chair”. Ada juga yang meletakkan pasien dalam posisi berbaring pada sisi yang sehat dan lengan yang
bermasalah ditraksi. Kemudian dilakukan asepsis antisepsis. Area anatomik kemudian ditentukan dengan menggambarkan
titik dan garis pada kulit area bahu. Insisi kecil kemudian dilakukan untuk memasukan  arthroskop dan peralatan
arthroskopik.
Setelah arthroskop dimasukkan ke dalam sendi bahu, ahli bedah akan dapat melihat prosedur arhtroskopi bahu melalui
sebuah televisi yang menunjukkan gambaran dari sendi bahu 53.
Pelepasan capsular anterior

1. Arthroskopi dilakukan dengan posisi pasien duduk pada beach chair position (lihat gambar 74)
2. Suatu jarum spinal 18 gauge dimasukan ke dalam sendi posterior. Karena caput humerus ditekan pada glenoid
(lihat patologi penyakit), maka jarum harus dimasukan secara hati – hati melalui caput humerus hingga masuk ke
dalam sendi.
3. Cairan saline steril kemudian disuntikan; biasanya volume dari sendi yang mengalami kontraktur hanya dapat
menampung 10 ml. Karena sulitnya memasukan jarum spinal pada sendi yang kecil dan mengalami kontraktur, maka
penting untuk memastikan posisi intra articular dengan memeriksa aliran retrograde cairan yang keluar   dari jarum
saat syringe ditarik keluar. Inflasi dari sendi dengan cairan juga membantu meningkatkan tekanan cairan  untuk
menekan caput humerus sehingga menjauh dari glenoid dan mengurangi resiko cedera dari cartilage saat arthroskop
dimasukkan.
4. Arthroskop dimasukan perlahan kedalam sendi setelah jarum spinal diposisikan. Insersi arthroskop ke dalam
intraarticular tepat bila terdapat aliran balik cairan melalui arthroskop sheath. Pada tahap ini hanya area sendi
anterosuperior yang nampak.
5. Jarum spinal 18 gauge kemudian dimasukkan di anterior sehingga berada dalam sendi tepat di bawah tendon
biceps
6. Jarum kemudian diganti dengan kanula arthroskopi bahu 7 cm (linvatec concept arthroscopy, Largo, Florida)
7. 4,5 mm motorized shaver ( full radius resector; Linvatec concept arthroscopy) kemudian dimasukkan untuk
membersihkan sendi dari synovial yang mengalami inflamasi.
8. Suatu arthroscopic electrocautery device dengan hooked tip (Linvatec, concept arthroscopy) kemudian dimasukkan
melalui kanul dan capsula anterior yang mengalami parut tepat dibawah tendon biceps dipotong. Divisi dari capsula
berada pada mid – portion dan proceeded dari superior ke inferior hingga ditemukan interval antara batas superior
dari tendon subscapularis dan batas anterior dari tendon sepraspinatus.
9. Setelah jaringan capsular yang menebal terbagi rotator interval dapat lebih mudah digerakan karena caput humerus
dapat bergerak ke inferior dan lateral. Hal ini menyebabkan arthoskop dapat dimasukkan lebih jauh ke anterior dan
inferior.
10. Setelah regio ini dilepaskan seluruhnya dan tendon  subscapularis nampak bergerak bebas pada eksorotasi lengan,
instrumen arthrosopy dikeluarkan
11. Gentle manipulasi dilakukan.

   
   

   

Gambar 74. Rangkaian cara pemeriksaan dan intervensi bahu dengan arthroskopi


Gambar 75. Tampakan Arthroskopi dari adhesive capsulitis
Penatalaksaan Post Operasi :

Pada pagi, satu hari post operasi pergerakan pasif harus mulai dilakukan oleh fisioterapis dengan peregangan pada semua
bidang, dan pembatasan peregangan adalah bila pasien merasakan nyeri. Sesi terapi dilakukan pada pagi dan sore hari dan
pasien diminta untuk melakukan latihan pergerakan sendiri. Pada kondisi ini analgesia tetap dapat diberikan. Pasien
dipulangkan pada sore hari kedua post operasi setelah sesi kedua fisioterapi pada hari itu. Pada 2 minggu I pasien diminta
untuk datang setiap hari untuk melakukan fisioterapi sambil melakukan program latihan dirumah yang terdiri atas  pulley dan
cane assisted motionpada seluruh bidang (lihat gambar). Empat minggu berikutnya supervised fisioterapi hanya dilakukan 2-
3 kali seminggu sementara latihan dirumah tetap dilanjutkan.
Pasien tidak dipasang sling dan mereka didorong untuk melakukan aktivitas fisik sehari – hari sedini mungkin setelah
operasi.Strengthening dimulai segera setelah nyeri menghilang dan pergerakan aktif dapat dilakukan. Pasien diminta untuk
berenang pada 2-4 minggu setelah operasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dijelaskan kepada pasien mengenai kondisi post operasi :

-  Setelah operasi dilakukan, bahu pasien harus dipasang perban

-  Pasien kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan untuk selanjutnya dikirim ke ruang perawatan
-  Setelah pasien sadar, cairan infus dicabut dan bagian fisioterapi dapat mulai memperkenalkan latihan untuk pasien

-  Pasien juga diberikan obat analgetik

-  Setelah 24 jam, perban dapat diangkat dan diganti dengan plester anti-air.

-  Secara normal, bahu akan mengalami pembengkakan, untuk menguranginya dapat dikompres dengan es ( cold packs)
selama 20 menit sebanyak 3-4 kali sehari hingga pembengkakan berkurang.
-  Pasien dapat pulangk dan kembali bekerja setelah ia merasa nyaman

-  Pasien diminta untuk kontrol kembali 7-10 hari setelah operasi. 

Komplikasi
Walaupun jarang, komplikasi dapat terjadi selama atau setelah tindakan arthroskopi dilakukan. Komplikasi dari bidang
anestesi berupa reaksi alergi obat dan kesulitan bernapas. Sementara komplikasi lokal diantaranya infeksi, phlebitis,
pembentukan kista synovial, pembengkakan dan perdarahan yang hebat, kerusakan pembuluh darah atau saraf, dan adanya
pecahan instrumen yang tertinggal di dalam bahu (<1%).

C. Pelepasan Capsular dengan Bedah Terbuka


Pasien FROZEN SHOULDER yang gagal diterapi baik dengan manipulasi tertutup maupun pelepasan dengan arthroskopi
kadang direkomendasikan untuk melakukan pelepasan capsular dengan bedah terbuka. Walaupun bedah terbuka
memberikan akses ke regio humeroscapula dan dapat dilakukan palpasi, namun kerugian dari tindakan ini adalah timbulnya
kekakuan post-operasi, perpanjangan waktu pemulihan post-operasi, menurunnya kontrol nyeri, dan pembatasan terhadap
fisioterapi serta latihan rehabilitasi.

 Langkah operasi terbuka adalah sebagai berikut 48:


-  Lakukan insisi anterolateral sepanjang 7 cm, satu jari lateral dari processus coracoid.

-  Serat anterior dari musculus deltoid dipisahkan dengan hati-hati jangan sampai melukai nervus axillar.

-  Jaringan bursa subacromial dilepaskan dan dilakukan identifikasi rotator interval dan serat ligament coracohumeral.

-  Humerus kemudian diexorotasi

-  Ligament coracohumeral dan jaringan rotator interval yang mengalami kontraktur dan hipertrofi diisolasi kemudian
dipotong. Pemotongan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak melukai caput longum biceps brachii, tendon
supraspinatus, atau tendon subscapularis.

-  Setelah struktur yang mengalami kontraktur dibebaskan, GH joint dimanipulasi secara perlahan dengan melakukan
pergerakan hingga ROM maksimal dan caput longum dari tendon biceps yang mengamali stenosis (terletak di bawah lesi)
dimobilisasi pada celahnya dengan memanipulasi sendi bahu.

-  Perlu dipastikan bahwa pergerakan GH telah kembali sempurna

-  Bagian anterior dari musculus deltoid yang dipotong kemudian dijahit dengan benang yang dapat diserap, kemudian kulit
ditutup.

Setelah operasi, lengan sedini mungkin diletakkan pada sling. Pasien harus mulai melakukan program mobilisasi aktif
sehingga tidak terjadi kehilangan ROM. Latihan pendulum untuk bahu dimulai hari ke-3 post operasi, namun tidak boleh
melampaui toleransi nyeri pasien. Setelah tiga minggu, pasien harus didorong untuk mulai melakukan kegiatan sehari-hari.
Fungsi optimum dari bahu akan kembali secara perlahan berkisar 1-3 bulan post operasi.

Omari dan Bunker 46 serta Ozaki dkk melaporkan hasil yang baik pada pasien yang gagal diterapi secara konservatif ataupun
dengan manipulasi tertutup. Walaupun pelepasan capsular melalui bedah terbuka dilaporkan efektif dalam menangani
FROZEN SHOULDER, arthroskopi tetap merupakan metode terapi pilihan karena ketepatannya dan singkatnya masa
pemulihan setelah operasi 41. 
PROGNOSIS
Pasien dengan FROZEN SHOULDER memiliki prognosis yang baik karena FROZEN SHOULDER merupakan self-
limited disease. Fungsi bahu akan kembali pulih dalam jangka waktu sekitar 2 tahun 56. Dalam penelitiannya Grey
membuktikan bahwa dari 22 orang pasien FROZEN SHOULDER, 21 orang dapat kembali pulih. Binder et al menyelidiki 40
pasien FROZEN SHOULDER selama 44 bulan. Mereka menemukan bahwa 16 pasien masih mengeluhkan adanya nyeri dan
restriksi pergerakan.dan pada 5 pasien ditemukan reduksi dari total ROM hingga 25%. Shaffer meneliti 62 orang pasien
selama 7 tahun dan ia menemukan bahwa 31 pasien masih mengeluhkan nyeri bahu dan kekakuan pada akhir evaluasinya
namun dinyatakan bahwa hasil ini sangat bergantung pada intervensi yang dilakukan.
Namun Clarke, Binder, dan Shaffer memiliki pendapat yang berbeda. Dalam penelitian yang dilakukannya mereka
menemukan bahwa FROZEN SHOULDER tidak memiliki prognosis yang baik 58. Clarke et al (1975) merupakan peneliti
pertama yang mendokumentasikan restriksi residual gerakan bahu secara objektif. Mereka melakukan studi retrospektif
terhadap 41 pasien dan menemukan bahwa 42% pasien melaporkan adanya restriksi persisten khususnya pada pergerakan
exorotasi dan abduksi. Binder et al (1986) melaporkan hasil studi prospektif terhadap 40 pasien yang diterapi secara
konservatif dimana 45% pasien masih memiliki nyeri residual. Hal ini diperkuat oleh Shaffer (1992) yang melaporkan
bahwa 50% pasien masih menunjukkan gejala FROZEN SHOULDER bertahun-tahun setelah onset gejala yang pertama dan
43% masih memiliki restriksi gerakan bahu residual sekurang-kurangnya pada satu bidang gerakan.
KESIMPULAN
Frozen Shoulder merupakan suatu kondisi yang umum, sering disertai rasa nyeri, namun merupakan penyakit yang dapat
sembuh sendiri. FROZEN SHOULDER sering ditangani dengan pemberian analgetik, injeksi kortikosteroid dan fisioterapi.
Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan hasil yang normal sehingga diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis yang
ada.

Edukasi kepada pasien memegang peranan penting dalam tatalaksana kondisi ini.  Sebagian pasien membutuhkan konsultasi
dengan ahli bedah orthopedi untuk menjalani manipulasi dengan anestesi. Tindakan bedah berupa pelepasan capsular dengan
bantuan arthroskopi terbukti efektif. Namun perlu diingat bahwa FROZEN SHOULDER menyebabkan kondisi gerakan
bahu pasien tidak dapat pulih seperti semula.

REFERENSI
1. Andersen NH, Sojberg JO, Johannsen HV, Sneppen O. Frozen shoulder:arthroscopy and manipulation under
general anaesthesia and early passive motion. J Shoulder Elbow Surg 1998;7:218-22.
2. Anderson K: Evaluation and treatment of distal clavicle fractures.  Clin Sports Med  2003; 22:319.
3. April E.W. National Medical Series Clinical Anatomy. 3 rd edition. 1997. USA : Williams and Wilkins. p 55-73.
4. Basmajian JV, Slonecker CE. Grant’s Method of Anatomy 11th ed. 1993. Canada : Williams & Wilkins.
5. Binder Al, Bulgen DY, Hazelman BL, Tudor J, dan Wraight P. Frozen Shoulder : an Arthrographic and
Radionuclear Assessment. Ann Rheum Dis 1984; 43:365-369
6. Brien SJO, et al. The Anatomy and Histology of the Inferior Glenohumeral Ligament Complex of The Shoulder.
Am J Sports Med 1990;18:449
7. Browne AO, Hoffmeyer P, Tanaka S, Morrey BF. Glenohumeral Elevation Studied in Three Dimensions. J Bone
Joint Surg [Br] 1990; 72-B:843-5.
8. Buchbinder R, Green S, Youd JM. Corticosteroid injections for shoulderpain. Cochrane Database Syst
Rev 2003(1): CD004016.
9. Buchbinder R, Hoving JL, Green S, Hall S, Forbes A, Nash P. Short course prednisolone for adhesive capsulitis
(frozen shoulder or stiff painful shoulder): a randomised, double blind, placebo controlled trial. Ann Rheum
Dis 2004;63:1460-9.
10. Bulgen DY, Binder AI, Hazleman BL, Dutton J, dan Roberts S. Frozen Shoulder : prospective clinical study with
an evaluation of three treatment regimens. Ann Rheum Dis 1984; 43: 353-360.
11. Bunker TD Anthony PP. The pathology of frozen shoulder. A Dupuytren-like disease. J Bone Joint Surg
Br 1995;77:677-83.
12. Cardone DA, Tallia AF: Joint and soft tissue injections.  Am Fam Physician  2002; 66:290.
13. Carette S, Moffet H, Tardif J, Bessette L, Morin F, Fremont P, et al. Intraarticular corticosteroids, supervised
physiotherapy or a combination of the two in the treatment of adhesive capsulitis of the shoulder: a placebo
controlled trial. Arthritis Rheum2003;48:829-838.
14.  Chambler AF, Carr AJ. The role of surgery in frozenshoulder. J Bone Joint Surg Br 2003;85: 789-95.
15. Cleeman E, Flatow EL: Shoulder dislocation in the young patient.  Orthop Clin North Am  2000; 31:217.
16. Cluett Jonathan. Frozen Shoulder. 2007. about.com Health’s Disease : Orthopedics
17. Cole PA: Scapular fractures.  Orthop Clin North Am  2002; 33:1.
18. Craig J et al. Biomechanics of the Shoulder. In Nordin M : & Frankel VH : Basic Biomechanics of The
Musculoskeletal System. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. Chapter 12, pp.318-339.
19. Dacre JE, Beeney N, dan Scott DL. Injections and Physiotherapy for the Painful Stiff Shoulder. Ann Rheum Dis
1989;48:322-325.
20. Dias R, Cutts S, and Massoud S. Frozen Shoulder. BMJ vol 17. 2005;331;1453-1456
21. Diercks RL, Stevens M. Gentle thawing of the frozen shoulder: a prospective study of supervised neglect versus
intensive physical therapy in seventy seven patients with frozen shoulder syndrome followed up for two years. J
Shoulder Elbow Surg2004;13:499-502.
22. Emig EW, Schweitzer ME, Karasick D, Lubowitz J. Adhesive Capsulitis of the Shoulder : MR Diagnosis. AJR
1995;164:1457-1459.
23. Ernberg LA, Potter HG: Radiographic evaluation of the acromioclavicular and sternoclavicular joints.  Clin Sports
Med  2003; 22:255.
24. Flynn MC. Adhesive Capsulitis : A Case Study. Dynamic Chiropractic. 2005, Volume 23, Issue 02
25. Freedman L dan Munro RR. Abduction of the Arm in the Scapular Plane: Scapular and Glenohumeral
Movements : A roentgenographic study. J Bone Joint Surg Am 1966; 48:1503-1510.
26. Gerald R. Williams, Jr. et al. Rotator Cuff Tears: Why Do We Repair Them?. The Journal of Bone and Joint
Surgery (American). 2004;86:2764-2776
27. Griggs SM, Ahn A, Green A. Idiopathic adhesive capsulitis: a prospective functional outcome study of
nonoperative treatment. J Bone Joint Surg Am 2000;82:1398–407.
28. Hamdan TA, Al-Essa KA. Manipulation under anaesthesia for frozen shoulder. Int Orthop 2003:27:107-9.
29. Haryman DT, et al. Translation of the Humeral Head on The Glenoid with Passive Glenohumeral Motion. J Bone
Joint Surg Am 1990;72;1334-1343.
30. Hazelman BD. The painful stiff shoulder. Rheumatol Phys Med 1972;11: 413-21.
31. Holman JR. Thawing the ‘Frozen Shoulder’ in Patients With Diabetes. DOCNews 2007. Vol. 4 No.5 p.16
32. Huei Ming Chai. The Shoulder Complex. 2004.Kinesiology, NTUPT.
33. Hunt SA, Kwon YW, Zuckerman JD: The Rotator Interval: Anatomy, Pathology, and Strategies for Treatment. J
Am Acad Orthop Surg 2007:15;218-227
34. Hussein MK: Kocher's method is 3,000 years old.  J Bone Joint Surg Br  1968; 50:669.
35. Kazemi M. Adhesive capsulitis : a case report. J Can Chiropr Assoc 2000; 44(3); 169-175.
36. Lindsay Natalie. Modelling of the Shoulder Mechanism : a report describing the development of a three-
dimesional biomechanical model of the human shoulder complex. 2001. diambil dari http://anybodu.auc.dk/
37. Mengiardi B, et al. Frozen Shoulder : MR Arthrographic Findings. 2003. 10.1148/radiol.2332031219
38. Mitchell C, Adebajo A, Hay E, Carr A. Shoulder Pain : Diagnosis And Management In Primary Care. BMJ
2005:331:1124-1128.
39. Mohamud D. Shoulder. 2006. Marx: Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice, 6th ed.
Chapter 50. Mosby inc.
40. Monique A. S, Hannafin AJ. Upper Extremity: Emphasis on Frozen Shoulder. Elsevier Saunders. Orthop Clin N
Am 37 (2006) 531–539
41. Moran MC dan Warren RF. Development of Synovial Cyst after Arthroscopy of The Shoulder : A Brief Note. J
Bone Joint Surg Am 1989; 71:127-129.
42. Neer CS: Manipulation of frozen shoulder under general anesthesia, pp. 425—6. In Neer CS (ed):Shoulder
Reconstruction. WB Saunders, Philadelphia, 1990
43. Neviaser JS. Arthrography of the Shoulder Joint : Study of the Findings in Adhesive Capsulitis of the Shoulder. J
Bone Joint Surg Am. 1962;44:1321-1359.
44. Ogilvie-Harris DJ, Wiley A. Arthroscopic surgery of the shoulder: a general appraisal. J Bone Joint Surg
(B) 1986;68-B:201-7
45. Omari A, Bunker TD. Open surgical release for frozen shoulder: surgical findings and results of the release. J
Shoulder Elbow Surg 2001;10:353–7.
46. Othman A, Taylor G. Manipulation under anaesthesia for frozen shoulder. Int Orthop 2002;26:268–70.
47. Ozaki J, Nakagawa Y, Sakurai G, Tamai S. Recalcitrant Chronic Adhesive Capsulitis of the Shoulder : Role of
Contracture of The Coracohumeral Ligament and Rotator Interval in Pathogenesis and Treatment. J Bone Joint Surg
Am 1989; :71:1511-1515.
48. Pal B, Anderson J, Dick WC, dan Griffiths ID. Limitation of Joint Mobility and Shoulder Capsulitis in Insulin and
Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus. British Journal of Rheumatology 1986;25:147-151.
49. Pamela KL, Humphrey EC. The Shoulder Girdle : Kinesiology Review. Continuing Education. April 2000.
50. Poppen NK and Walker PS. Normal and Abnormal Motion of the Shoulder. J Bone Joint Surg Am 1976; 58:195-
201.
51. Robinson CM: Fractures of the clavicle in the adult: Epidemiology and classification.  J Bone Joint Surg
Br  1998; 80:476.
52. Rockwood CA. Shoulder Arthroscopy. J Bone Joint Surg Am. 1988, 70: 639-640.
53. Rowe CR: Historical development of shoulder care.  Clin Sports Med  1983; 2:231.
54. Rozing PM, Vermeulen HM, Obermann WR, Cessie S, dan Vlieland TP. Comparison of High-Grade and Low-
Grade Mobilization Techniques in teh Management of Adhesive Capsulitis of the Shoulder : Randomized Controlled
Trial. Phys Ther March 2006. 86;3;335-368.
55. Rundquist PJ and Ludewiq PM. Correlataion of 3-Dimensional Shoulder Kinematics to Function in Subjects With
Idiopathic Loss if Shoulder Range of Motion. Phys Ther 2005. Vol.85 No.7 pp. 636-647
56. Sander R. Adhesive capsulitis: optimal treatment of "frozen shoulder." The Physician and Sports Medicine, Sept.
2000;28(9).
57. Shaffer B, Tibone JE, Kerlan RK. Frozen Shoulder. A long-term follow-up. J Bone Joint Surg Am. 1992;74:738-
746.
58. Siegel LB, Conen NJ, Gall EP. Adhesive Capsulitis : A Sticky Issue. American Family Physician Journal 1999;
59:7
59. Smith LL, Burnet SP, McNeil JD. Musculoskeletal Manifestations of Diabetes Melitus. Br J Sports Med.
2003;37:30-35.
60. Snell R.S. Clinical Anatomy for Medical Students 3rd edition. 1986. Washington: Little Brown & Co. Inc.
61. Sobotta J. Atlas Anatomi Manusia Jilid 2: Batang Badan, Panggul, Ekstremitas Bawah. Edisi 21. 2003. Jakarta :
EGC
62. Spalteholz W, Spanner R. Atlas Anatomi Manusia II : Handatlas Der Anatomie Des Menschen Edisi 16. 1987.
Jakarta : EGC.  p.117-121,135-6
63. Triffitt P.D. The Relationship between Motion of the Shoulder and the Stated Ability to Perform Activities of
Daily Living. J Bone Joint Surg 1998; 80:41-6.
64. Vermeulen HM, et al. End-range Mobilization Techniques in Adhesive Capsulitis of the Shoulder Joint : A
multiple Subject Case Report. Phys Therapy December 2000. 80;12; 1204-1213.
65. Warmer JP, Answorth A, Marks PH, Wong P. Arthroscopic Release for Chronic Refractory Adhesive Capsulitis of
the Shoulder. J Bone Joint Surg 1996; 1808-1816
66. Weaver and Dunn. Treatment of AC injuries, especially complete AC separation. JBJS 54A: 1187-1197, 1972
67. Wen DY: Current concepts in the treatment of anterior shoulder dislocations.  Am J Emerg Med  1999; 17:410.
68. Zchafer R.C. Shoulder Girdle Trauma –Monograph 16. 1997. USA : ACAPress.
69. Scapular Fracture. E-book : Wheeless’ Textbook of Orthopaedics. Diambil dari www.mdconsult.com

Artikel Terkait

3. Hernia Nucleus Pulposus Lumbalis

3. Frozen Shoulder

2. Hernia Nucleus Puposus Cervicalis

2. Plantar Facitis

1. Spondylitis Tuberculosa

Kontak Kami

Klinik Jakarta Orthopedic Traumatology & Sports Medicine Centre:


RS Jakarta lantai 1Jl Jend. Sudirman Kav 49Jakarta 12930
Telp 021-57950620, 5732241 
ext 1172.
info@ahlibedahorthopedic.com 
http://www.ahlibedahtulang.com

Kategori
 SPINE (3)
 SHOULDER (3)
 HAND (2)
 HIP (2)
 KNEE (6)
 ANKLE (2)
 TUMOR (4)
 GERIATIC (2)

Anda mungkin juga menyukai