Anda di halaman 1dari 28

WRAP UP SKENARIO 3

Kelompok : B12
Ketua : Hana Anindya (1102020215)
Sekretaris : Risca Latifah (1102020217)
Anggota : Maharani Aprilian Dwiputri (1102020213)
Atikah Ulisyafitri (1102020214)
Arya Erdhafin (1102020218)
Putri Ayuni (1102020220)
Sestia Dia Alifah (1102020223)
Reyhan Adhitya Ary Fhardian (1102020224)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JL. LETJEN SUPRAPTO, CEMPAKA PUTIH, JAKARTA 10510
TELP. 021-4206674 FAX: 021-4213065
DAFTAR ISI

Daftar Isi………………………………………………………………………………………
Identifikasi Kata Sulit…………………………………………………………………………
Pertanyaan…………………………………………………………………………………….
Jawaban……………………………………………………………………………………….
Hipotesis……………………………………………………………………………………….
Sasaran Belajar………………………………………………………………………………
1. Memahami dan menjelaskan hipoksia………………………………………………
i. Definisi hipoksia……………………………………………………………….
ii. Klasifikasi hipoksia…………………………………………………………….
iii. Mekanisme hipoksia……………………………………………………………
iv. Penyebab dan akibat hipoksia………………………………………………….
v. Penanganan hipoksia……………………………………………………………
2. Memahami dan menjelaskan suhu tubuh……………………………………………
i. Definisi suhu tubuh……………………………………………………………..
ii. Mekanisme pemindahan panas………………………………………………….
iii. Regulasi pengaturan suhu tubuh………………………………………………..
iv. Penyakit yan terkait gangguan suhu tubuh…………………………………….
3. Menjelaskan dan memahami hipotermia……………………………………………
i. Definisi hipotermia……………………………………………………………..
ii. Klasifikasi hipotermia…………………………………………………………..
iii. Penyebab dan akibat hipotermia……………………………………………….
iv. Penanganan hipotermia…………………………………………………………
4. Memahami dan menjelaskan mountain sickness acute…………………………….
i. Definisi mountain sickness acute………………………………………………
ii. Klasifikasi mountain sickness acute…………………………………………….
iii. Etiologi mountain sickness acute……………………………………………….
iv. Epiodiomologi mountain sickness acute……………………………………….
v. Patofisiologi mountain sickness acute………………………………………….
vi. Manifestasi klinis mountain sickness acute……………………………………
vii. Diagnosis dan diagnosis banding mountain sickness acute……………………
viii. Tata laksana mountain sickness acute………………………………………….
ix. Prognosis mountain sickness acute…………………………………………….
x. Komplikasi mountain sickness
acute……………………………………………
xi. Pencegahan mountain sickness
acute……………………………………………
Daftar Pustaka………………………………………….……………………………………..
SKENARIO 3

Mahasiswa Belajar Pendaki Gunung Sumbing

Dua pendaki Gunung Sumbing terpaksa dievakuasi oleh tim SAR Kabupaten Temanggung
Jawa Tengah. Mereka dilaporkan mengalami hipoksia akut dan hipotermia. Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah melaporkan peristiwa hipotermia
terjadi karena kurangnya persiapan saat mendaki. Menurut keterangan dokter yang merawat
dua pendaki tersebut, jika keadaan hipotermia tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kegagalan fungsi tubuh yang lebih dikenal sebagai Mountain Sickness Acute.
IDENTIFIKASI KATA SULIT

1. Hipoksia akut : kondisi rendahnya kadar oksigen di sel dan jaringan yang
mengakibatkan sel dan jaringan yang ada di seluruh tubuh tidak dapat berfungsi
dengan normal.
2. Hipotermia : suatu kondisi dimana suhu tubuh turun secara drastic dan dapat
membahayakan orang yang mengalaminya. Penurunan suhu inti tubuh menjadi
kurang dari 35 derajat celcius.
3. Mountain sickness acute : salah satu bentuk altitude sickness yang bisa terjadi saat
pendaki berada di ketinggian tertentu.
4. Evakuasi : pengungsian atau perpindahan langsung dan cepat dari orang-orang yang
menjauh dari ancaman atau kejadian yang sebenarnya yang bahaya.
5. Tim SAR : disebut juga tim source dan rescue adalah kegiatan suatu usaha mencari
atau menolong dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan
hilang dan menghadapi bahaya dalam musibah seperti, penerbangan dan bencana.
PERTANYAAN

1. Mengapa dua pendaki tersebut mengalami hipotermia ?

2. Mengapa dua pendaki gunung sumbing harus dievakuasi ?

3. Apa penyebab hipoksia ?

4. Kenapa hipotermia bisa menyebabkan mountain sickness acute ?

5. Apa dampak yang dirasakan dua pendaki tersebut setelah mengalami hipoksia dan
hipotermia ?

6. Apa pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh ?

7. Apa gejala hipoksia dan hipotermia yang dialami dua pendaki tersebut ?

8. Apa penyebab mountain sickness acute ?

9. Mengapa tekanan oksigen memengaruhi tubuh ?

10. Apa gejala dari mountain sickness acute ?

11. Pertolongan pertama seperti apa yang dilakukan BPBD untuk menolong dua pendaki
tersebut yang terkena hipoksia dan hipotermia ?

12. Apa penyebab jika hipotermia tidak segera ditangani ?

13. Mengapa dua pendaki yang mengalami hipotermia suhu turun secara drastis ?
JAWABAN

1. Karena, hipotermia terjadi ketika suhu mengalami penurunan suhu tubuh yang drastic
dan hipotermia terjadi ketika pendinginan suhu tubuh keseluruhan melebihi
kemampuan mekanisme penghasil panas dan penghemat panas menyamai
pengeluaran panas yang berlebihan dan ketika terjadi hipotermia seluruh proses
metabolic melambat karena turunnya suhu.

2. Karena, dua pendaki tersebut mengalami hipoksia akut dan hipotermia.

3. Hipoksia terjadi karena ksigen yang tidak mencapai jaringan jumlahnya tidak
mencukuoi dalam darah. Semakin tinggi daratan kadar oksigen akan semakin
berkurang.

4. Karena, ketidakmampuan tubuh untuk beradaptasi dengan kondiis alam


dipengunungan yang memiliki kadar oksigen dan tekanan udara lebih rendah,
sehingga tubuh kekurangan asupan oksigen. Ketika seseorang berada pada ketinggian
terntentu dengan level oksigen dan tekanan udara yang semakin rendah, tubuh akan
berusaha untuk menyesuaikan dengan jantung yang erdetak lebih cepat berikut
pernafasannya. Jika pendaki memaksakan diri dengan mendaki terllau cepat dalam
waktu yang singkat, maka adaptasi tersebut tidak akan berjalan dengan sebagaimana
mestinya dan memicu timbulnya penyakit gunung.

5. Dapat menyebabkan shock, depresi, gagal jantung, hipertensi paru, gagal pernafasan
akut, polisitemia sekunder, bahkan kematian.

6. Suhu lingkungan tinggi atau rendah, panas atau dingin lingkungan itu akan
menaikkan suhu tubuh. Suhu tubuh sudah melewati batas normal otak akan
memerintkan pembuluh darah dan pori-pori melebar. Suhu tubuh normal 37 derajat
celcius dan ketika suhu tubuh dibawah normak akan mengalami hipoksia.

7. Gejala yang dialami adalah perubahan warna kulit menjadi biru, detak jantung cepat,
sulit bernafas, batuk hebat, otot menjadi kaku, denyut ndi lambat, kehilangan
kesadaran, menggigil, tangan dan jari mati rasa, gemeteran.

8. Penyebabnya adalah kondisi ini disebabkan oleh penuruna kadar oksigen dan tekanan
udara yang semakin berkurang saat mendaki yang lebih tinggi.
Hipotermia dan hipoksia bisa memicu terjadinya mountain sickness acute.
Kurangnya penyesuaian tubub terhadap lingkungan.

9. Karena, metabolism dalam tubuh memerlukan oksigen apabla oksigen dalam tubuh
kurang, metabolisme tubuh akan terhambat.

10. Sakit kepala, pusing, lelah, sering terbangun saat tidur, kehilangan nafsu makan,
terasa mual dan muntah, takikardi, dan lemah lesu.
11. Pertolongan pertama yaitu harus menghangatkan tubuh pasien, dengan cara memberi
selimut atau pakaian tebal yang membuat hangat pasien lalu beri minuman hangat.
Jika pasien tersebut dalam keadaan tidak sadar jangan dipaksakan memasukan cairan
kedalam tubuh.
 Langkah pertama ganti pakaian pasien dari yang basah ke kering.
 Langkah kedua, jika penderita tidak dapat bergerak segera dipindahkan ke
ruangan yang lebih hangat atau mendekat ke tempat yang lebih panas.
 Langkah ketiga, kompres area leher, dada, dan selangkangan dengan botol isi
air hangat.
Jika pasien tidak sadarkan diri, diharapkan untuk melakukan CPR. Evakuasi
ke tempat yang lebih rendah agar mendapatkan oksigen.Pertolongan lebih lanjut
untuk hipoksia, dengan cara menjaga dan mengawasi kadar oksigen dalam tubuh
dengan cara memberikan alat bantu pernafasan yang menutupi hidung dan mulut atau
plug di hidung lalu bisa juga dengan memberikan melalui pembuluh darah.
Mengeluarakan dan menghangatkan darah pasien lalu kembali mengalirkannya
kedalam tubuh pasien. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis.

12. Jika hipotermia tidak segera ditangani dapat menyebabkan kegagalan fungsi tubuh
atau yang lebih dikenal sebagai mountain sickness acut.e
Dapat terjadi komplikasi seperti frostbite yaitu kondisi jarinagn tubuh yang membeku
dan rusak oleh paparan suhu rendah. Lalu gangrene, yaitu kondisi jaringan kulit yang
menghitam ( mengalami pembusukan ) karena gangguan aliran darah.
Hipotermia dapat mengakibatkan kerusakan kulit akibat suhu yang ekstrem sehingga
mengakibatkan kematian karena kematian jaringan karena gangguan peredaran darah.

13. Karena, kondisi cuaca yang sangat dingin dan sang pendaki tidak menggunakan
pakaian yang hangat dan pasien menggunakan pakaian yang terlalu tipis.
Saat terkena udara dingin, tubuh akan mengeluarkan energi untuk menjaga agar tetap
hangat. Dengan terus terpapar suhu dingin, tubuh akan menghabiskan energi yang
tersimpan dan suhu tubuh akan menurun.
HIPOTESIS

Hipoksia akut dan hipotermia yang ditandai dengan perubahan warna kulit menjadi
biru, detak jantung cepat, sulit bernafas, batuk hebat, otot menjadi kaku, denyut nadi
lambat, kehilangan kesadaran, menggigil, tangan dan jari mati rasa, gemeteran.
Hipotermia dan hipoksia akut terjadi ketika suhu mengalami penurunan suhu tubuh
yang drastis dan kekurangan kadar oksigen. Keadaan tersebut dapat menyebabkan
shock, depresi, gagal jantung, hipertensi paru, gagal pernafasan akut, polisitemia
sekunder, bahkan kematian. Hipoksia akut dan hipotermia yang terjadi pada pendaki
dapat menyebabkan AMS. Pertolongan pertama yang dilakukan, yaitu
menghangatkan tubuh pasien, lalu memberikan cairan kedalam tubuh agar tidak
terjadi dehidrasi, jika penderita tidak dapat bergerak segera dipindahkan ke ruangan
yang lebih hangat atau mendekat ke tempat yang lebih panas, kemudian kompres area
leher, dada, dan selangkangan dengan botol isi air hangat. Jika pasien tidak sadarkan
diri, diharapkan untuk melakukan CPR dan evakuasi ke tempat yang lebih rendah
agar mendapatkan oksigen.
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan menjelaskan hipoksia


i. Definisi hipoksia
Hipoksia merupakan keadaan di mana terjadi defisiensi oksigen, yang
mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel.
Hipoksia merupakan penyebab penting dan umum dari cedera dan kematian
sel. Tergantung pada beratnya hipoksia, sel dapat mengalami adaptasi, cedera,
atau kematian.
Pada keadaan hipoksia tubuh manusia bereaksi untuk mempertahankan
homeostasis oksigen melalui serangkaian tindakan penyesuaian yang rumit.
Semua sel nukleotida memiliki protein hypoxia inducible factor 1 (HIF)‐1
yang merupakan faktor transkripsi yang berperan mengatasi hipoksia di
tingkat sel. Aktivasi HIF‐1 memicu peningkatan sintesis erythropoietin,
glycolytic enzyme, dan faktor‐faktor lain yang berperan dalam angiogenesis.
Namun demikian, pada tingkatan yang sistemik kemoreseptor karotid
bertanggung jawab terhadap peningkatan aktivitas saraf simpatetik dan
meningkatkan ventilasi. Kemoreseptor karotid merespon penurunan PaO lebih
sensitif dibandingkan aorta tubuh seperti ditunjukkan dengan gambar
Respon fisiologi terhadap hipoksia hipobarik akut berfungsi
meningkatkan pengaliran oksigen ke seluruh jaringan: ventilasi, cardiac
output, dan meningkatkan konsentrasi hemoglobin. Sebaliknya, untuk respon
kronik, terjadi proses aklimatisasi saat hipoksia hipobarik menekankan pada
mekanisme peningkatan fluks oksigen yang meliputi peningkatan ventilasi,
cardiac output, oxygen carriage, dan kapilaritas.
berikut gambar Karotid dan sensitivitas kemoreseptor aorta

ii.

Klasifikasi hipoksia
a.) Hipoksia hipoksik (pembuluh darah arteri berkurang). Merupakan
bentuk boksigen menurun, seperti: pada ketinggian tertentu dari
permukaan laut. Kondisi yang memblokade pertukaran oksigen pada
tingkat alveolus dengan pembuluh darah kapiler, seperti: pneumonia
(radang paru), asma, tenggelam. Faktor lain-lain, seperti penjeratan leher,
terhirupnya asap (pada kebakaran), penyakit jantung bawaan seperti
Tetralogy of Fallot, dan faktor lainnya.
b.) Hipoksia anemik (Hemoglobin berkurang). Terjadi ketika tubuh tidak
mampu mengangkut oksigen yang tersedia ke jaringan target. Penyebab
hal ini antara lain: anemia berat karena kehilangan darah baik akut maupun
kronis. Anemia yang bersifat ringan-sedang tidak akan menyebabkan
hipoksia anemik karena tubuh masih dapat mengkompensasi walaupun
pasien akan tetap mengalami hipoksia jika melakukan aktivitas, keracunan
karbon monoksida (CO), faktor obat-obatan seperti aspirin, sulfonamid,
nitrit. Keadaan methemoglobinemia (kondisi di mana terdapatnya met
hemoglobin , suatu pigmen darah hemoglobin yang tidak normal, pada
darah). Penyakit seperti anemia sel sabit, anemia defisiensi besi, anemia
aplastik, anemia hemolitik, dan masih banyak lagi yang lainnya.
c.) Hipoksia stagnan/iskemik ( tidak cukup ke jaringan). Hipoksia jenis ini
terjadi ketika tidak adanya aliran darah yang cukup ke jaringan target.
Organ yang paling terpengaruh adalah ginjal dan jantung karena mereka
memiliki kebutuhan oksigen yang tinggi. Hipoksia jaringan ditandai
oligema jaringan atau aliran darah ke jaringan sangat rendah, sehingga
yang dihantarkan ke jaringan tidak cukup meskipun pembuluh dan
konsentrasi haemoglobin normal. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan
arteriolar dan vasokonstriksi
d.) Hipoksia histotoksik. Jenis Hipoksia ini terjadi ketika jaringan tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen yang sudah dialirkan ke mereka. Kasus
ini bukan merupakan hipoksia sebenarnya karena tingkat oksigenisasi
jaringan dapat normal atau lebih dari normal. Penyebab hal ini sebagian
besar berupa racun, antara lain: keracunan sianida, konsumsi alcohol.

iii. Mekanisme hipoksia


o Edema otak (HACE)
Kondisi terjadinya pembengkakan jaringan otak karena vasodilatasi
atau pelebaran pembuluh darah sehingga cairan intravaskuler bocor.
Gejala yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, lemah, koordinasi
hilang, Penurunan kesadaran, halusinasi, dan koma. Edema serebri
kemudian dapat menimbulkan disorientasi berat dan efek-efek lain
yang berhubungan dengan disfungsi otak.

o Edema paru-paru (HAPE)


Kondisi terbentuknya cairan instravaskuler dalam alveolus karena
vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah vena dan arteri
pulmonalis sehingga menghambat pertukaran oksigen. Gejala yang
ditimbulkan antara lain sianosis, sesak nafas, batuk dengan
mengeluarkan cairan putih berair atau berbusa, bingung dan perilaku
irrasional karena oksigen kurang cukup sampai ke otak, hingga
berujung pada kematian.

Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen menggambarkan hubungan antara


persentase saturasi hemoglobin dan tekanan parsial oksigen. Tekanan parsial
oksigen merupakan faktor penting dalam menentukan jumlah oksigen yang
terikat pada hemoglobin. Semakin tinggi tekanan parsial oksigen, semakin
banyak oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Kadar saturasi
hemoglobin adalah saturasi rata-rata hemoglobin yang terikat pada oksigen.
Kurva disosiasi oksihemoglobin terdiri dari dua bagian kurva, yaitu bagian
curam (PO2 0-60 mmHg) dan bagian mendatar (PO2 >60 mmHg). Pada sisi
kurva yang curam, perubahan kecil PO2 akan menyebabkan perubahan
saturasi oksigen yang besar. Sebaliknya, pada sisi kurva yang datar, perubahan
besar PO2 hanya akan menghasilkan perubahan kecil pada SaO2.

Faktor-faktor yang dapat memberikan dampak terhadap kurva disosiasi


hemoglobin-oksigen adalah pH, suhu, dan kadar 2,3-difosfogliserat (DPG;
2,3-DPG).
1. Efek pH
Peningkatan keasaman akan menggeser kurva ke kanan. Karena
karbon dioksida menghasilkan asam karbonat (H2CO3), darah menjadi lebih
asam setelah menyerap karbon dioksida dari jaringan. Karena peningkatan
keasaman ini, afinitas Hb untuk O2 menurun, dan jumlah O2 yang dilepaskan
pada tingkat jaringan untuk PO tertentu meningkat. Dalam metabolisme sel
yang aktif (seperti otot dalam keadaan olahraga), kandungan asam
karbondioksida pembentuk asam tidak hanya akan meningkat, tetapi jika sel
mengandalkan metabolisme anaerob, asam laktat juga dapat terbentuk

o Efek Bhor
Efek CO2 dan asam pada pelepasan O2 disebut efek Bohr. Baik
komponen CO2 maupun ion hidrogen dari asam dapat mengikat secara
reversibel dengan Hb di tempat selain situs pengikatan O2. Akibatnya
adalah perubahan struktur molekul Hb yang mengurangi afinitasnya
terhadap O2. Kurva disosiasi bergeser ke kanan saat konsentrasi
karbon dioksida atau ion hidrogen meningkat. Pergeseran kurva ke
kanan menunjukkan bahwa afinitas hemoglobin terhadap oksigen
menurun.
2. Efek suhu
Peningkatan suhu menggeser kurva ke kanan, menyebabkan lebih
banyak O2 yang dibebaskan pada PO2 tertentu. Otot yang berolahraga atau sel
yang aktif bermetabolisme menghasilkan panas. Peningkatan suhu lokal
meningkatkan pembebasan O2 dari Hb untuk digunakan oleh jaringan yang
lebih aktif.

3. Efek 2,3-difosfogliserat
Peningkatan kadar BPG menggeser kurva O2-Hb ke kanan,
meningkatkan pembebasan O2 sewaktu darah mengalir melalui jaringan,
karena eritrosit dapat berikatan secara reversibel dengan Hb dan mengurangi
afinitasnya terhadap O2, seperti yang dilakukan oleh CO2 dan H.

4. Efek karbon monoksida


Karbon monoksida mengikat hemoglobin 240 kali lebih kuat daripada
dengan oksigen, oleh karena itu keberadaan karbon monoksida dapat
mempengaruhi ikatan hemoglobin dengan oksigen. Selain dapat menurunkan
potensi ikatan hemoglobin dengan oksigen, karbon monoksida juga memiliki
efek dengan menggeser kurva ke kiri. Dengan meningkatnya jumlah karbon
monoksida, seseorang dapat menderita hipoksemia berat pada saat
mempertahankan PO2 normal.

Kesimpulannya,  jika pH darah menurun atau PCO2 meningkat, kurva


oksihemoglobin akan bergeser ke kanan. Dalam hal ini, afinitas hemoglobin
PCO2 tertentu terhadap oksigen berkurang, sehingga oksigen yang akan
diangkut juga berkurang. Pergaseran kurva sedikit ke kanan akan membantu
pelepasan oksigen kejaringan-jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama
Efek bohr. Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau PCO2,
penurunan suhu dan 2,3-DPG akan menyebabkan kurva bergeser ke kiri. Hal
ini menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
Akibatnya, penyerapan oksigen di paru-paru meningkat, tetapi pelepasan
oksigen ke jaringan terganggu.
Tekanan barometer akan menurun seiring dengan meningkatnya
ketinggian. Oleh karena itu, tekanan parsial oksigen (21% dari tekanan
barometrik) juga menurun dan mengakibatkan masalah utama pada
ketinggian, yaitu hipoksia. Pada ketinggian sekitar 5800 m, tekanan barometer
adalah setengah dari permukaan laut. Di puncak Gunung Everest (8848 m),
tekanan barometriknya 253 mm Hg. Akibatnya, alveolar PO2 hanya sekitar 35
mmHg (Alveolar PO2 di permukaan laut sekitar 104 mm Hg). Hubungan tekanan
barometrik dengan ketinggian berubah dengan jarak dari garis ekuator.
Dengan demikian, kemungkinan daerah kutub dalam menyebabkan hipoksia
lebih besar di dataran tinggi, selain dari cuaca yang sangat dingin. Selain itu,
tekanan tersebut lebih rendah pada saat musim dingin daripada saat
musim panas. Suhu yang menurun seiring dengan ketinggian dan efek dingin serta
hipoksia umumnya bisa memicu cedera terkait dingin dan HAPE.

( Hubungan antara ketinggian, tekanan barometric, dan PO2)

iv. Penyebab dan akibat hipoksia


Penyebab hipoksia berdasarkan mekanismenya dibagi dalam 3 kategori, yaitu:
1) Hipoksemiaarteri.
2) Berkuranngnya aliran oksigen karena adanya kegagalan tranport tanpa
adanya hipoksemia arteri.
3) Penggunaan oksigen yang berlebihan di jaringan.
Hipoksia berlangsung lama mengakibatkan gejala keletihan, pusing,
apatis, gangguan daya konsentrasi, kelambatan waktu reaksi dan penurunan
kapasitas kerja. Begitu hipoksia bertambah parah pusat batang otak akan
terkena, dan kematian biasanya disebabkan oleh gagal pernapasan. Bila
penurunan PaO2 disertai hiperventilasi dan penurunan PaCO2, resistensi
serebro-vasculer meningkat, aliran darah serebral meningkat dan hipoksia
bertambah

v. Penanganan hipoksia
Penanganan hipoksia bertujuan untuk mengembalikan pasokan oksigen
ke sel dan jaringan, sehingga organ-organ tubuh dapat bekerja dengan baik
dan tidak terjadi kematian jaringan. Pengobatan hipoksia juga ditujukan untuk
mengatasi penyebab yang mendasarinya.Penanganan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi hipoksia antara lain:
Oksigen
Pemberian oksigen bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen di dalam
tubuh pasien. Terapi tambahan oksigen bisa diberikan melalui:
o Masker atau selang hidung (nasal kanul), yang pemilihannya akan
disesuaikan dengan kondisi pasien dan kadar oksigen yang ingin
dicapai.
o Terapi heperbarik, untuk hipoksia jaringan yang parah atau pasien
yang keracunan karbon monoksida.
o Alat bantu napas (ventilator), untuk hipoksia yang parah dengan
kesulitan bernapas.
Obat-obatan
Selain obat, penanganan hipoksia juga dilakukan untuk mengobati penyebab
hipoksia. Beberapa obat-obatan yang mungkin akan diberikan oleh dokter
adalah:
o Inhaler atau obat asma, untuk mengobati serangan asma
o Obat golongan kortikosteroid, untuk meredakan peradangan di paru-
paru
o antibiotik, untuk mengobati infeksi bakteri
o Obat antikejang, untuk meredakan kejang
Komplikasi Hipoksia
Penurunan kadar oksigen yang tidak segera diatasi bisa berlanjut
menjadi hipoksia jaringan dan hipoksia serebral (kekurangan oksigen di otak).
Hipoksia tersebut mengakibatkan kerusakan sel, jaringan, maupun organ-
organ tubuh, misalnya otak.Kerusakan jaringan otak dapat membuat
penderitanya kehilangan kesadaran dan mengalami gangguan fungsi organ di
seluruh tubuh. Kondisi ini dapat berujung pada kematian.Hipoksia yang
ditangani dengan pemberian oksigen juga berisiko menyebabkan komplikasi.
Pemberian oksigen secara berlebihan (hiperoksia) dapat meracuni jaringan
tubuh dan menyebabkan katarak, vertigo, perubahan perilaku, kejang, bahkan
gangguan pada sistem pernapasan.
Pencegahan Hipoksia
Hipoksia sulit untuk dicegah karena dapat terjadi tanpa diduga.
Namun, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk menurunkan risiko
terjadinya hipoksia:
o Gunakan obat asma secara rutin
o Lakukan latihan pernapasan
o Hindari naik ke ketinggian tertentu secara cepat, untuk
mencegah altitude sickness
o Terapkan gaya hidup sehat dengan berolahraga secara rutin, minum air
putih yang cukup, dan berhenti merokok
o Lakukan pemeriksaan secara rutin ke dokter jika Anda memiliki
kondisi medis atau penyakit yang bisa meningkatkan risiko terjadinya
hipoksia
2. Memahami dan menjelaskan suhu tubuh
i. Definisi suhu tubuh
Suhu yang dimaksud adalah panas atau dingin suatu substansi. Suhu
tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang diproduksi oleh proses
tubuh dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Meskipun dalam
kondisi tubuh yang ekstrim selama melakukan aktivitas fisik, mekanisme
kontrol suhu manusia tetap menjaga suhu inti atau suhu jaringan dalam relatif
konstan. Suhu permukaan berfluktuasi bergantung pada aliran darah ke kulit
dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Karena fluktuasi suhu
0 0
permukaan ini, suhu yang dapat diterima berkisar dari 36 C atau 38 C.
Fungsi jaringan dan sel tubuh paling baik dalam rentang suhu yang relatif
sempit
Suhu tubuh adalah ukuran dari kemampuan tubuh dalam menghasilkan
dan menyingkirkan hawa panas. Suhu tubuh adalah suhu rata-rata tubuh
manusia dan bisa diukur menggunakan thermometer. Dalam suhu tubuh titik
regulasi tidak berubah, dan tubuh memulai proses tertentu yang dirancang
untuk mengembalikan suhu normal, seperti dengan berkeringat atau
menggigil.Suhu tubuh biasanya diukur untuk memastikan ada tidaknya
demam. Namun, masih ada kontroversi mengenai thermometer yang paling
tepat dan terbaik.

ii. Mekanisme pemindahan panas


Sebagian besar pembentukan panas di dalam tubuh dihasilkan organ dalam,
terutama di hati, otak, jantung, dan otot rangka selama bekerja. Kemudian
panas ini dihantarkan dari organ dan jaringan yang lebih dalam ke kulit, yang
kemudian di buang ke udara atau lingkungan sekitarnya. Kecepatan
pengeluaran panas hamper seluruhnya dipengaruhi oleh faktor :
a.) Seberapa cepat panas yang dapat di konduksi dari tempat asal panas
dihasilkan, yakni dari dalam inti tubuh ke kulit
b.) Seberapa cepat panas kemudian dapat dihantarkan dari kulit ke
lingkungan.

Terdapat empat mekanisme pemindahan panas, yaitu :


a.) Radiasi
Radiasi adalah emsi energi panas dari permukaan suatu benda hangat
dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau gelombang panas yang
merambat dalam ruang. Tubuh manusia memancarkan (sumber yang
kehilangan panas) dan menyerap sumber yang memperoleh panas energi
radiasi. Pemindahan netto panas melalui radiasi selalu dari benda yang
lebih hangat ke yang lebih dingin maka tubuh memperoleh panas dari
benda yang lebih hangat daripada permukaan kulit. Sebaliknya, tubuh
kehilangan panas melalui radiasi ke benda-benda di lingkungan yang
permukaannya lebih dingin dari permukaan kulit.
b.) Konduksi
Konduksi (hantaran) adalah pemidahan panas antara benda-benda yang
berbeda suhunya yang berkontak langsung satu sama lain, dengan panas
mengalir menuruni gradien suhu dari benda yang lebih hangat ke benda
yang lebih dingin melalui pemindahan dari molekul ke molekul. Ketika
molekul-molekul dengan kandungan panas yang berbeda saling
bersentuhan maka molekul yang lebih hangat dan bergerak lebih cepat
sehingga molekul yang lebih dingin akan menjadi hangat. Laju
pemindahan panas melalui konduksi bergantung pada perbedaan suhu
antara benda-benda yang bersentuhan dan daya hantar panas bahan-bahan
yang terlibat.
c.) Konveksi
Konveksi merupakan pemindahan energi panas oleh arus udara. Sewaktu
tubuh kehilangan panas melalui konduksi ke udara sekitar yang lebih
dingin, udara yang berkontak langsung dengan kulit menjadi lebih hangat.
Karena, udara hangat lebih ringan daripada udara dingin, maka udara yang
telah dihangatkan tersebut naik sementara udara yang lebih
dinginberpindah ke dekat kulit menggantikan udara yang hangat tersebut.
Proses ini berulang dan pergerakan udara ini yang dikenal sebagai arus
konveksi, membantu membawa panas menjauhi tubuh. Jika tidak terjadi
arus konveksi maka tidak lagi terjadi pembebasan panas setelah suhu
lapisan udara yang tepat berada di sekitar tubuh menyamai suhu kulit.
d.) Evaporasi
Evaporasi adalah metode terakhir pemindahan panas yang digunakan oleh
tubuh. Ketika udara menguap dari permukaan kulit, panas yang diperlukan
untuk mengubah air dari keadaan cair menjadi gas diserap dari kulit
sehingga tubuh menjadi lebih dingin. Contoh evaporasi adalah berkeringat.
Berkeringat adalah proses pengeluaran panas evaporative aktif di bawah
kontrol saraf simpatis. Laju pengeluaran panas evaporatif dapat diubah-
ubah dengan banyaknya keringat, yaitu mekanisme homeostatik pentik
untuk mengeluarkan panas sesuai kebutuhan.

iii. Regulasi pengaturan suhu tubuh


Suhu tubuh organisme dikendalikan di bagian otak yang disebut
hipotalamus. Hipotalamus adalah pusat pengaturan suhu tubuh untuk
mengenali perubahan suhu tubuh dan meresponnya dengan tepat. Dalam
tubuh organisme menghasilkan panas dari proses metabolisme di dalam sel
yang mendukung fungsi vital tubuh. Hipotalamus posterior menggabungkan
sinyal sensorik suhu pusat dan perifer. Area hipotalamus yang dirangsang
oleh sinyal sensorik terletak secara bilateral pada hipotalamus posterior kira-
kira setinggi korpus mamilaris. Sinyal sensorik suhu dari area preoptik di
hipotalamus anterior juga dihantarkan ke dalam area hipotalamus posterior
ini. Di sini sinyal dari area preoptik dan sinyal dari bagian tubuh yang lain
dikombinasikan dan digabung untuk mengatur reaksi pembentukan panas
atau reaksi penyimpanan panas di dalam tubuh. Dalam kondisi lingkungan
yang semakin dingin, tubuh otomatis membutuhkan panas. Maka,
hipotalamus akan bekerja untuk mengenali perubahan suhu ini. Dengan
begitu, tubuh akan menggigil dalam bentuk respon perlindungan tubuh untuk
menghasilkan suhu panas melalui aktivitas otot.
iv. Penyakit yan terkait gangguan suhu tubuh
a.) Demam
Demam ialah peningkatan suhu tubuh karena ‘pengaturan ulang’
termostat di hipothalamus. Suhu tubuh selalu dipertahankan selama demam.
Demam disebabkan oleh infeksi atau stress. Peningkatan termostat tubuh akan
menyebabkan sensasi kedinginan. Vasokonstriksi dan menggigil terjadi untuk
mengimbangi peningkatan suhu tubuh. Jika termostat dihapus dan demam
hilang, seseorang akan merasa kepanasan, terjadi vasodilatasi dan berkeringat.

b.) Hipertermia
Peningkatan suhu tubuh yang bukan disebabkan oleh infeksi disebut
hipertermia. Hipertermia terjadi karena ketidakseimbangan antara
pembentukan panas dengan pengeluaran panas. Hipertermia biasanya terjadi
karena latihan fisik atau olahraga.
Hipertermia juga dapat disebabkan oleh cara lain, yaitu pembentukan panas
yang berlebihan akibat disfungsi tiroid atau medula adrenal yang
menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid atau adrenalin darah. Kedua
hormon ini meningkatkan suhu inti dengan meningkatkan laju keseluruhan
aktivitas metabolisme dan produksi panas. Kegagalan pusat kendali
hipotalamus juga dapat menyebabkan hipertermia.

c.) Hipotermia
Hipotermia, penurunan suhu tubuh, terjadi ketika pendinginan tubuh
keseluruhan melebihi kemampuan mekanisme penghasil panas dan penghemat
panas untuk menyamai pengeluaran panas yang beriebihan tersebut.
Saat hipotermia terjadi, laju semua proses metabolisme akan melambat akibat
penurunan suhu. Saat suhu tubuh menurun, pusat pernafasan yang juga
menurun akan menurunkan dorongan untuk bernafas, sehingga pernafasan
menjadi lambat dan lemah. Jantung kian melambat dan curah jantung
menurun. Irama jantung terganggu tersebut dapat mengakibatkan fibrilasi
ventrikel dan kematian.

d.) Frostbite
Frostbite melibatkan pendinginan berlebihan suatu bagian tertentu
tubuh ke suatu titik ketika jaringan di bagian tersebut mengalami kerusakan.
Jika jaringan yang terekspos benar-benar membeku,  kerusakan sel akibat
pembentukan kristal es atau kekurangan air dapat menyebabkan kerusakan
jaringan.

e.) Heat exhaustion


Heat exhaustion adalah uatu keadaan kolaps karena dehidrasi berat
yang menyebabkan hipotensi akibat:
o Berkurangnya volume plasma karena berkeringat sehingga menyebabkan
penurunan curah jantung.
o Vasodilatasi pembuluh darah kulit yang berlebihan sehingga menyebabkan
penurunan resistensi perifer.
Pada keadan heat exhaustion, suhu inti tubuh berkisar 37,5-39°C, terjadi kram
otot, mual, sakit kepala, pucat dan banyak berkeringat. Biasanya terjadi pada
orang yang bisa berolahraga di suhu lembab, sehingga tidak teraklimatisasi.
Bisa juga terjadi pada lansia yang memiliki gangguan untuk mengatur suhu
tubuh. Jika mekanisme-mekanisme pengeluaran panas terus menerus
mendapat beban berlebihan, heat exhaustion dapat berkembang menjadi
heat stroke.
f.) Heat stroke
Heat stroke adalah suatu bentuk hipertermia yang lebih berat dengan
suhu tubuh yang lebih tinggi. Heat stroke ditandai oleh kolaps, delirium,
kejang, dan penurunan kesadaran. Biasanya terjadi karena kontak yang terlalu
lama dengan udara/lingkungan bersuhu tinggi. Pada keadaan ini terjadi
mekanisme umpan balik positif, peningkatan suhu tubuh makin meningkatkan
metabolisme dan menghasilkan panas lebih banyak. Heat stroke lebih besar
kernungkinannya terjadi saat olahraga berlebihan pada lingkungan yang panas
dan lembap.

3. Menjelaskan dan memahami hipotermia


i. Definisi hipotermia
Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh menjadi < 35 derajat
celcius (atau 95 derajar Fahrenheit) secara involunter. Lokasi pengukuran
suhu inti tubuh mencakup rektal, esofageal, atau membrane timpani, yang
dilakukan secara benar. Hipotermia juga didefinisikan bila suhu inti menurun
hingga 35 derajat celcius atau dapat lebih rendah lagi.
Hipotermia disebabkan oleh lepasnya panas karena konduksi,
konveksi, radiasi, atau evaporasi. Local cord injury dan frostbite timbul karena
hipotermia menyebabkan penurunan viskositas darah dan kerusakan
intraseluler (intracelluler injury).
ii. Klasifikasi hipotermia
Klasifikasi berdasarkan sumber paparan
 Hipotermia primer
Hipotermia primer dapat terjadi akibat paparan langsung individu yang
sehat terhadap dingin
 Hipotermia sekunder
Hipotermia sekunder banyak terjadi mortalitas dimana terjadi kelainan
secara sistemik
Klasifikasi berdasarkan temperatur tubuh :
 Hipotermia ringan (34-36 derajat celcius)
Ditandai dengan menggigil hebat dan peningkatan napas.
 Hipotermia sedang (30-34 derajat celcius)
Terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh saraf secara besar yang
mengakibatkan terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan penurunan
aliran darah ke ginjal. Bila suhu tubuh semakin turun, kesadaran pasien
bisa menjadi stupor, tubuh kehilangan kemampuan untuk menjaga
suhu tubuh, dan risiko timbul aritmia.
 Hipotermia berat (<30 derajat celcius)
Rentan mengalami fibrilasi ventrikular dan penurunan kontraksi
miokardium, koma, pulse sulit ditemukan, tidak ada refleks, apnea, dan
oligouria. Hipotermia dengan suhu <28 derajat celcius akan mengalami
kematian jika tidak ditangani secara cepat.

iii. Penyebab dan akibat hipotermia


Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016b) penyebab hipotermia yaitu:
a. Kerusakan Hipotalamus
b. Berat Badan Ekstrem
c. Kekurangan lemak subkutan
d. Terpapar suhu lingkungan rendah
e. Malnutrisi
f. Pemakaian pakaian tipis
g. Penurunan laju metabolisme
h. Transfer panas ( mis. Konduksi, konveksi, evavorasi, radiasi)
i. Efek agen farmakologis

iv. Penanganan hipotermia


Tujuan intervensi adalah untuk meminimalkan atau membalik proses
fisiologis. Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat,
dan nutrisi yang sesuai. Menurut Setiati et al. (2008), terdapat 3 macam teknik
penghangatan yang digunakan, yaitu:
a) Penghangatan eksternal pasif
Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkirkan baju basah
kemudian tutupi tubuh pasien dengan selimut atau insulasi lain.
b) Penghangatan eksternal aktif
Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak berespon dengan penghangatan
eksternal pasif (selimut penghangat, mandi air hangat atau lempengan
pemanas), dapat diberikan cairan infus
hangat IV (suhu 39o – \ 40oC) untuk menghangatkan pasien dan oksigen.
c) Penghangatan internal aktif.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain irigasi ruang pleura
atau peritoneum, hemodialisis dan operasi bypass kardiopulmonal. Dapat pula
dilakukan bilas kandung kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat,
bilaslambung dengan cairan
NaCl 0,9% hangat (suhu 40o – 45oC) atau dengan menggunakan tabung
penghangat esophagus.

4. Memahami dan menjelaskan mountain sickness acute


i. Definisi mountain sickness acute
Mountain sickness acute merupakan sekumpulan gejala paru dan otak yang
terjadi pada orang yang baru pertama kali mendaki ke ketinggian. kejadian
AMS 22% pada ketinggian 1850 m sampai 2750 m, sementara penelitian lain
menunjukkan 42% memiliki gejala pada ketinggian 3000 m. Keluhan-keluhan
meningkat setelah 4-6 jam berada pada ketinggian 2000-2500 m, dan biasanya
hilang setelah 1 sampai 3 hari pendakian jika pendaki berhenti melakukan
pendakian dan beristirahat.
ii. Klasifikasi mountain sickness acute
1. Kondisi Neurologis : AMS & HACE
Kondisi ini disebabkan oleh ketinggian,mulai dari AMS ke bentuk yang
lebih serius yaitu HACE (High Altitude Cerebral Edema). AMS termasuk gejala
seperti sakit kepala (gejala yang berat dan terus menerus),
kelesuan,mengantuk,pusing,kedinginan,mual,muntah, dan sulit tidur. Gejala
selanjutnya termasuk iribilitas, kesulitan berkonsentrasi, anoreksia, insomnia,
dan peningkatan sakit kepala.
HACE termasuk kedalam gejala berat dari AMS dan hasil dari edema
vasogenic cerebral dan hipoksia cerebral seluler. Biasanya terjadi pada
ketinggia diatas 2500 mdpl (8.250 kaki) namun dapat terjadi di ketinggian
yang lebih rendah.
2. HAPE Akut
HAPE (High Altitude Pulmoneri Edema) adalah penyebab utama
kematian dari ketinggian. Ciri khasnya adalah tekanan paru yang sangat tinggi
diikuti oleh edma paru. Biasanya ketinggian diatas 3000 meter (9840
kaki),meskipun terjadi pada tingkat yang lebih rendah. Gejala awal dapat
muncul 6-36 jam setelah tiba didaerah dataran tinggi. Termasuk batuk kering
yang terus menerus,sesak nafas yang menyebabkan kelelahan,sakit
kepala,penurunan latihan,pengakuan gejala awal dapat memungkinkan untuk
turun sebelum melumpuhkan opema edema pulmonal.
3. Penyakit gunung subakut
Hal ini paling sering terjadi pada individu yang tidak mendapatkan
aklimatisasi dan pada ketinggian tinggi (diatas4.500 meter) untuk periode
waktu yang lama . Gejala dyspnea dan batuk mungkin karena hipertensi
pulmonal hipoksia , pulmonal , diuretic dan kembali ke ketinggian yang
rendah
4. Penyakit gunung kronik
Kondisi yang tidak biasa ini terlihat pada penduduk dengan gagal
jantung yang tinggi. Pengobatannya dengan istirahat yang cukup.

iii. Etiologi mountain sickness acute


Di daerah pegunungan, tekanan udara dan kadar oksigen lebih rendah
dibanding dengan dataran rendah, hal ini menyebabkan tubuh kekurangan
oksigen. Beberapa penyebab acute mountain sickness antara lain adalah :
o Ketinggian yang dicapai
o Medaki terlalu cepat
o Kelelahan
o Kekurangan cairan
Acute mountain sickness disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap penurunan
kadar oksigen di udara yang dihirup dan hipoksia jaringan yang dihasilkan.
Pada tingkat metabolisme dasar, otak adalah organ yang paling sensitif
terhadap hipoksia dan stres oksigen. Dengan demikian, gejala acute
mountain sickness dimediasi oleh sistem saraf pusat (SSP). Pada banyak
wisatawan di ketinggian, pernapasan selama tidur mengembangkan pola
periodik yang dapat berkontribusi pada perkembangan gejala.

iv. Epiodiomologi mountain sickness acute


Insiden Penyakit Gunung Akut meningkat seiring dengan peningkatan
ketinggian. Sementara Penyakit Gunung Akut sangat jarang terjadi di bawah
2.500 m, persentase pelancong yang tidak menyesuaikan diri yang terkena
dampak di ketinggian 3.000 m mendekati 75%. Setiap wisatawan dengan
episode Acute Mountain Sickness sebelumnya memiliki risiko lebih besar
daripada mereka yang pernah menoleransi perjalanan serupa di masa lalu.
Penyakit yang sudah ada sebelumnya dapat meningkatkan risiko
Penyakit Gunung Akut dengan memperbesar efek hipoksia. Kondisi yang
paling umum dalam kategori ini termasuk anemia, dengan penurunan
kapasitas pembawa oksigen dalam darah, dan penyakit paru obstruktif kronik,
karena penurunan derajat oksigenasi yang terjadi di paru-paru.
Mengingat dugaan keparahan proses yang mendasari, tindakan pra-
perjalanan yang cermat harus mencakup: skrining untuk mengkarakterisasi
keparahan penyakit, pengobatan tambahan untuk kondisi yang mendasarinya,
ketinggian ambang bawah untuk memulai profilaksis untuk mengurangi risiko
hipoksia, meningkatkan persiapan untuk perawatan selama perjalanan, dan
rekomendasi untuk mengubah itinerary

v. Patofisiologi mountain sickness acute


Hipoksia merupakan penyebab utama high-altitude illnesses. AMS,
HAPE, dan HACE dapat bertambah parah karena kecepatan pendakian dan
tinggi maksimal yang dicapai. Beberapa penelitian menyebutkan inflamasi
juga menyebabkan high-altitude illness. Studi memperlihatkan bahwa individu
dengan penyakit penyerta (seperti diare, infeksi saluran pernapasan atas)
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyakit high-altitude
illness.
Karena otak memiliki kebutuhan dasar tertinggi untuk suplai oksigen,
gejala Penyakit Gunung Akut bersifat neurologis (sistem saraf pusat SSP).
Karena hipoksia umum dapat memengaruhi banyak fungsi, gejala SSP tidak
spesifik atau terlokalisasi. Laju pernapasan yang lebih rendah, biasanya
selama tidur, meningkatkan risiko Penyakit Gunung Akut, dan gejala sering
kali pertama kali terlihat saat bangun. Bagi sebagian besar orang, aklimatisasi
pada ketinggian lebih dari 5600 meter tidak memungkinkan dan tinggal dalam
waktu yang lama pada ketinggian ini dapat dikaitkan dengan gangguan
pernapasan.

Manifestasi klinis mountain sickness acute


o Gejala susah tidur
o Sakit kepala
o Lesu
o Mual
o Hilangnya nafsu makan
o Bernafas terengah
o Kecepatan jantung tinggi (dipicu oleh hipoksia sebagai tindakan
kompensasi untuk meningkatkan penyaluran O2 yang ada melalui
sirkulasi udara ke jaringan)
o Disfungsi saraf ditandai oleh gangguan penilaian, pusing bergoyang,
dan inkoordinasi

vi. Diagnosis dan diagnosis banding mountain sickness acute


Diagnosis
Tidak ditemukan diagnostis fisik kecuali dalam beberapa kasus, AMS dapat
berkembang menjadi edema serebri (cerebral edema). High-altitude cerebral
edema adalah diagnosis klinis, didefinisikan sebagai onset of ataxia, hilang
kesadaran, atau keduanya pada seseorang dengan AMS atau HACE. Secara
klinis dan patofisiologis, HACE merupakan stadium akhir dari AMS. Pada
mereka yang juga mengalami HAPE, hipoksemia berat dapat menyebabkan
perkembangan dari AMS menjadi HACE dengan cepat. Temuan terkait HACE
termasuk papilledema, pendarahan retinal, dan kadang-kadang kelumpuhan
saraf kranial sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrakranial, kantuk yang
biasanya diikuti dengan pingsan. Biasanya, penyakit berkembang selama
beberapa jam atau hari. Penyebab kematiannya adalah herniasi otak.

Diagnosis banding
Psikosis akut, malformasi arteriovenosa, tumor otak, keracunan karbon
monoksida, infeksi sistem saraf pusat, dehidrasi, ketoasidosis diabetik,
kelelahan, hangover, hipoglikemia, hiponatremia, hipotermia, tertelannya
racun, obat-obatan, atau alkohol, migrain, kejang , stroke, serangan ischemic
sementara, infeksi virus atau bakteri.

vii. Tata laksana mountain sickness acute


 Tindakan farmakologis
a. Penggunakan acetazolamide paling sering digunakan untuk profilaksis
dan AMS. Acetazolamide menurunkan pH darah yang kemudian
meningkatkan laju pernapasan. Efek samping yang terjadi adalah
kesemutan pada jari dan bahkan bibir
b. Penggunaan deksametason
Sebagian besar bukti menunjukkan 125 mg dua kali sehari cukup untuk
sebagian besar pendakian tetapi mungkin tidak memadai untuk
pendakian dan / atau pendakian yang terlalu cepat ke ketinggian akhir
yang sangat tinggi 
c. Penggunaan ibuprofen
Menurut studi, penggunaan ibuprofen dengan dosis 1.800 mg/hari
 Tindakan nonfarmakologis
a. Pendakian lambat
b. Pendakian bertahap atau preaklimatisasi
c. Menghindari konsumsi alkohol berlebihan dan obat nyeri opiat
d. Menghindari aktivitas berlebihan setelah pendakian
e. Mencukupi asupan cairan tubuh

 Acetazolamide
Berdasarkan penelitian tersamar ganda, random, plasebo-kontrol
terbaru memperlihatkan pemberian acetazolamide sebanyak 125 mg
dua kali sehari, sama efektifnya dengan pencegahan, dengan
pemberian 375 mg dua kali sehari.
 Dexamethasone
Dexamethasone kemungkinan kurang efektif dibandingkan dengan
acetazolamide, namun efektif sebagi pengobatan emergensi AMS
dengan dosis awal 4-10 mg, diikuti 4 mg setiap 6 jam.
 Acetaminophen dan Ibuprofen
Acetaminofen dan NSAID seperti ibuprofen dan aspirin seringkali efektif
dalam mengurangi sakit kepala akibat AMS. Pemberikan 800 mg
ibuprofen dan 85 mg acetazolamide serta placebo 3 kali sehari pada
ketinggian 4280 m dan 4358 m memperlihatkan perbaikan keluhan sakit
kepala sama baiknya antara ibuprofen dengan acetazolamid dan lebih baik
dari placebo. Sehingga dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ibuprofen dan acetazolamid efektif dalam pencegahan AMS

viii. Prognosis mountain sickness acute


Kemungkinan penyakit AMS tergantung pada seberapa cepat orang
tersebut dapat dipindahkan dari ketinggian tinggi ke ketinggian yang lebih
rendah dan seberapa serius gejalanya. Gejala AMS bisa hilang hanya dalam
beberapa hari di dataran rendah. Dalam banyak kasus, aktivitas, seperti
mendaki, di dataran tinggi tetap dapat dilanjutkan. Namun, kondisinya bisa
berakibat fatal jika gejalanya parah dan orang yang memiliki gejala AMS
tersebut tetap berada di ketinggian.

ix. Komplikasi mountain sickness acute


o psikosis akut
o malformasi arteriovenosa
o tumor otak
o keracunan karbon monoksida
o infeksi sistem saraf pusat
o dehidrasi
o ketoasidosis diabetikum
o kelelahan
o mabuk
o hipoglikemia
o hiponatremia
o hipotermia
o menelan racun, obat-obatan atau alkohol
o migrain
o kejang
o stroke
o serangan iskemik transien
o infeksi virus atau bakteri
o kebingungan
o ataxia
o herniasi otak
o Penumpukan cairan di paru-paru (edema paru)
o Pembengkakan otaktumor otak
o Koma, bahkan Kematian

x. Pencegahan mountain sickness acute


a.) Mendaki secara perlahan, supaya tubuh bisa beradaptasi.
b.) Jika tinggal di tempat dengan ketinggian di bawah 1500 mdpl (meter
diatas permukaan laut), hindari tidur di ketinggian diatas 2800 mdpl pada
malam pertama.
c.) Membuka tenda di tempat yang lebih rendah. Pendaki tentu saja
diperbolehkan mendaki sampai puncak jika dirasakan aman, namun untuk
bermalam, disarankan mencari tempat yang lebih rendah.
d.) Tinggal di tempat dengan ketinggian sekitar 1500 mdpl selama beberapa
hari atau minggu sebelum pendakian bisa membantu untuk mendaki lebih
cepat.
DAFTAR PUSTAKA

o Kuntarti. (n.d.). Thermoregulation. Retrieved from


https://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti/material/thermoregulation.pdf
o Publishing, H. H. (2018, December). Retrieved from Altitude Sickness:
https://www.health.harvard.edu/a_to_z/altitude-sickness-a-to-z
o Hackett, P. H. (2001). High-Altitude Illness. New England Journal of Medicine, 345(2),
107-108.
o Sherwood, L. (2013). Keseimbangan Energi dan Regulasi Suhu. In Fisiologi Manusia
Edisi 8 (p. 683).
o Zilfasani, E. (n.d.). Kurva Disosiasi Oksihemoglobin. Retrieved from
https://www.academia.edu/8490499/Kurva_Disosiasi_Oksihemoglobin

o Bartsch P, Gibbs J. Effect of Altitude on the Heart and the Lungs. Circulation.
2007;116:2191‐2202

o Lundby C. Physiologic System and Their Responses to Conditions of Hypoxia. Chapter


24. ACSM’s Advanced Exercise Physiology.

o Grocott M, Montgomery H, Vercueil A. Review High‐altitude physiolo

o American Academy of Pediatrics (AAP) clinical report on hypothermia and neonatal


encephalopathy can be found in Pediatrics 2014 Jun;133(6):1146 full-text
o Zielinski J. Effects of intermittent hypoxia on pulmonary haemodynamics: animal
models versus studies in humans. Eur Resp J. 2005; 25:173-80.
o Clarke C. Acute mountain sickness: medical problems associated with acute and
subacute exposure to hypobaric hypoxia. Postgrad Med J. 2006;82:748-53.
o Grocott M, Montgomery H, Vercueil A. High altitude physiology and
pathophysiology: implications and relevance for intensive care medicine. Critical
Care. 2007;11:203-8
o Sherwood, L. (2007). Human Physiology: From Cells fo Systems Edisi 6. Singapore:
Cengage LearningAsia.
o UMY. (n.d.). BAB II . UMY Repository.
o Widiyanto, W. T. (2013). Efektifitas Convective Warner . 10-28.
o Prince, T. S., Thurman, J., & Huebner., K. (2020). Acute Mountain Sickness.
StatPearls Publishing LLC.
o Anggita Marissa Harahap, R. K. (2014). Angka Kejadian Hipotermia dan Lama
Perawatan di Ruang Pemulihan pada Pasien Geriatri Pascaoperasi Elektif Bulan
Oktober 2011–Maret 2012 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Anestesi Perioperatif, 36.
o Elvira, D. (2015). HIGH-ALTITUDE ILLNESS. Jurnal Kesehatan Andalas, 582.
o Ariyanto, Y., Pradibta, H., & Permatasari, C. (2017). DIAGNOSA AMS: SISTEM
PAKAR UNTUK PENDAKI GUNUNG. Jurnal SimanteC, 47.
o http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2271/3/BAB%20II.pdf
o http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/5645/6.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

o http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/804/4/2.pdf

o https://html2-f.scribdassets.com/185idecqps5r3l73/images/7-ca9930e29d.png

o Paralikar, Swapnil & Paralikar, Jagdish. (2010). High-altitude medicine. Indian Journal of Occupational
and Environmental Medcine. Volume 14. 6-12. 10.4103/0019-5278.64608.

Anda mungkin juga menyukai