Anda di halaman 1dari 7

Sebelum Belanda melancarkan agresinya yang pertama tanggal 21 Juli 1947, di Palembang terlebih

dahulu sudah terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam
tanggal 1 sampai 5 Januari 1947.

Pertempuran ini adalah pertempuran tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda.
Perang tersebut melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara.

Ditinjau dari aspek ekonomi, jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat
menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong.

selain itu, dapat juga menguasai perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor, apalagi
Palembang yang sangat didominasi oleh air sehingga sangat baik bagi perdagangan.

bahkan oleh Belanda sendiri sebelum Perang Dunia II, pernah mempromosikan sebagai "Venetie van het
verre oasten" atau "Venesia dari Timur Jauh".

Dari segi politik, Belanda ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka masih bisa
menguasai Sumatera dan Jawa.

Sedangkan ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota
Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai persenjataan terkuat, jika dibandingkan dengan
pasukan-pasukan lainnya di sumatera.

Sehingga dengan menduduki Palembang akan menjadi pukulan moral yang besar bagi pasukan di daerah
sumatera lainnya. selain itu bagi Belanda menduduki Palembang sangat penting, Palembang dapat
dijadikan batu loncatan untuk menuju Pulau Jawa.

Peristiwa perlawanan rakyat Palembang diawali dengan pendaratan pasukan Sekutu (Inggris), NICA, dan
Tentara Divisi ke 26 di kota Palembang pada 12 Oktober 1945 dibawah pimpinan Letkol Charmichel.
Pada waktu itu Pemerintah Republik Indonesia tidak merasa curiga akan kedatangan Sekutu yang
mengikutsertakan NICA sehingga menerima mereka dan menetapkan bahwa pasukan sekutu hanya
diperbolehkan menempati daerah Talang Semut (daerah pemukiman eropa di Palembang).

Merasa diterima di Palembang, Sekutu tidak menuruti kesepakatan awal dengan Pemerintah Republik,
malahan pasukan Sekutu memperluas daerah ketempat-tempat lain.

Suasana semakin memanas ketika sekutu secara tidak sah melakukan tindakan penggeledahan terhadap
rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata. sementara itu Sekutu terus menambah kekuatannya
sehingga dalam bulan Maret 1946 pasukan mereka sudah berjumlah kira-kira 2 batalyon.

Di samping itu, Sekutu juga melindungi masuknya pasukan Belanda. Pada tanggal 24 Oktober 1946
tentara sekutu harus meninggalkan kota Palembang dan kekuasaan atas wilayah ini diserahkan
sepenuhnya kepada Belanda.

Dengan sepeninggalan pasukan Sekutu warisan jabatan jatuh kepada Kolonel Mollingger, Komandan
Brigade "Y" tentara Belanda.

Dengan demikian sejak tanggal 24 Oktober 1946 Kolonel Molingger secara resmi giliran berwenang dan
memegang komando territorial Belanda untuk Sumatera Selatan.

Kehadiran Belanda di Palembang tidak banyak berbeda dengan inggris, mereka memang benar-benar
menunjukkan keangkuhan, semua wilayah yang vital mereka duduki.

Kebencian rakyat Palembang memuncak setelah Belanda merubah fungsi rumah sakit Charitas, yang
dahulunya dikelola oleh golongan sipil Indonesia.

Kemudian berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan segi praktisnya, pengelolaan rumah sakit
diserahkan kepada sekutu, sebab korban-korban sekutu juga banyak yang berjatuhan.
Sayangnya maksud baik dari pemerintah Republik Indonesia disalahgunakan oleh sekutu dan Belanda.
Mereka merubah fungsi tradisional rumah sakit tersebut menjadi benteng pertahanan yang kuat dan
strategis.

Belanda beruntung Rumah Sakit Charitas letaknya diatas bukit, dengan kondisi seperti memudahkan
Belanda mengawasi pergerakan rakyat Palembang yang akan membahayakan mereka.

Selain itu pendudukan Rumah Sakit Charitas sangat tepat, memudahkan hubungan Belanda dalam
menuju Talang Betutu dan Talang Semut.

Masalah ini salah satu penyebab perang, mulai saat itu para pejuang Republik Indonesia dan mulai
mengenal langsung kelicikan Belanda, karena kejujuran dan itikad baik mereka menyerahkan
pengelolaan Rumah Sakit Charitas kepada sekutu disalahgunakan oleh Belanda.

Beberapa hari menjelang akhir tahun 1946 Panglima Komandemen Sumatera Mayor Jenderal Suhardjo
Harjowardoyo berkunjung ke Palembang dan mengadakan pertemuan dengan pimpinan sipil dan militer
RI.

Pidatonya yang diucapkan didepan RRI Palembang dan ditujukan kepada pasukan TRI di Palembang,
Padang dan Medan yang berisikan agar pasukan TRI di Palembang selalu siap dan waspada menghadapi
kemungkinan yang akan terjadi.

Akibat pidato Mayor Jenderal Suhardjo Hardjowardoyo tersebut. Pemerintah Belanda menuduh bahwa
pasukan RI sudah disiapkan untuk menyerbu pasukan Belanda.

Kemudian Belanda sering melakukan provokasi-provokasi dan ejekan-ejekan kepada TRI dan pejuang hal
ini membuat suasana semakin hangat dan tegang sehingga sering terjadi insiden dan bentrokan-
bentrokan yang tidak dapat dihindari.
Dalam insiden tembak menembak tersebut beberapa korban berjatuhan terutama dikalangan rakyat
yang tidak berdosa diantaranya lima orang wanita dan beberapa orang anak-anak yang berada dalam
perahu di Sungai Musi.

Karena seringnya terjadi bentrokan dan insiden, maka Kolonol Mollingger. Komandan pasukan Belanda
dari markas besarnya di Talang Semut langsung angkat telpon menghubungi pimpinan pemerintah
Republik Indonesia di Palembang, meminta agar pertempuran dihentikan.

Dan agaknya para pemimpin Republik mengabulkannya. Keadaan ini dimanifestasikan dengan turunnya
kemedan laga para pemimpin, gubernur muda Dr. M. Isa dan Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo.
Kedua pemimpin yang menjadi panutan para pejuang ini menyerukan Cease Fire.

Suasana panas akibat pertempuran hari Sabtu, Minggu, dan Senin 28,29, dan 30 Desember tetap
menggelegak.

Sungguh pun Cease Fire sudah diserukan untuk dipenuhi, namun sebagian pasukan pejuang Republik
Indonesia masih tidak kunjung beranjak dari pos-pos pertahanan masing-masing.

Gerakan provokasi Belanda mulai muncul kembali sesuai perhitungan pihak pejuang Republik Indonesia.
Pada pagi hari itu kira-kira pukul 05.30 WIB, sebuah Jeep yang penuh dengan serdadu Belanda keluar
dari sarangnya di 15 Ilir.

Dengan ugal-ugalan dan dengan kecepaan tinggi melewati garis demarkasi yang sudah ditetapkan.
Gerakan provokasi Belanda di daerah 15 Ilir ini merupakan pancingan perang yang secara serentak
dilakukan pula di Bagus Kuning/Plaju, beberapa sektor Talang Semut dan Benteng.

Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Cease Fire yang telah disepakati. Akhirnya pecahlah
pertempuran yang sengit antara kedua belah pihak yang berlangsung selama lima hari.
Dalam menghadapi Belanda, pasukan Republik Indonesia dibagi dalam 3 Front, namun kita akan
membahas Front Seberang Ili Timur yang meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai Ruma Sakit
Charitas-Lorong Pagar Alam-Jalan Talang Betutu-16 Ilir- Kepandean-Sungai Jeruju-Boom Baru-Kenten.

Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan
tembakan yang terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar Rumah Sakit Charitas.

Rumah Sakit Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi
basis pertahanan yang baik bagi Belanda.

Basis strategi pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid Agung, simpang
tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde), Lorong Candi Angsoko dan di Jalan Ophir
(sekarang Lapangan Hatta).

Di bawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke Rumah Sakit Charitas dan
daerah di Talang Betutu.

Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan Udara
Talang Betutu menuju arah Palembang dan menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda di
Rumah Sakit Charitas dengan Benteng.

Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan panser untuk menerobos
pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan Tengkuruk.

Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor telpon melalui perlawanan yang seru dari
Pasukan TRI.

Dengan berhasilnya Belanda menduduki Kantor Telpon, maka hubungan melalui alat komunikasi
menjadi terputus secara total.
Setelah itu, belanda memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor Wali kota.

Pasukan TRI yang berada di daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan
Kepandean sedangkan di Rumah Sakit Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan
dari Pasukan TRI.

Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap pasukan dan pertahan
Belanda di Rumah Sakit Charitas.

ADVERTISEMENT

Namun, Belanda berhasil menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan
Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat.

Belanda telah memperkuat tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung.
Secara spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan
Belanda.

Melihat kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian, bahkan
melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan makanan, bantuan dari
Baturaja, Lubuk Linggau, dan Lahat.

Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman, maka dipindahkan dari Sungai
Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus
melakukan pengintaian dan pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar.

Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak terlepas dari peranan para pengintai
atau mata-mata. Pertempuran hari ketiga berlangsung pada hari Jumat, tanggal 3 Januari 1947.
Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut, dan Udara) untuk
menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/Laskar.

Ini menunjukan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang. Berdasarkan
perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari Benteng menuju RS Charitas
menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI.

Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di Pasar Cinde
dengan ranjau-ranjau, namun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal meledak.

Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu dapat dikuasai
kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII).

Senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang
digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai hasil rampasan dari serdadu
Jepang.

Sampai hari ketiga, keadaaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur
terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.

Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan pertahanan di Plaju. Sehingga
pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan
sekitarnya.

Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati gudang amunisi di Rumah
Sakit Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang tersebut.

Pada pertempuran hari kelima (5 Januari 1947), pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat
dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat terbang yang
menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI.

Namun demikian pasukan Belanda mengalami hal yang sama dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang
tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi atau
pun yang gugur dan luka-luka.

Anda mungkin juga menyukai