Pendidikan sebagai proses adalah sebuah peristiwa yang sengaja dan terencana
untuk mencapai tujuan tertentu melalui pembelajaran. Tujuan pendidikan
memengaruhi tentang barbagai upaya mencapainya. Oleh sebab itu pembicaraan
pendidikan dalam konteks ini melibatkan diskusi tentang strategi dan metodologi
pendidikan.
Dalam UU Sisdiknas nomor 20/2003, pasal 1 ayat (1) pendidikan dirumuskan
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Sedangkan tujuan pendidikan nasional dirumuskan dalam pasal 3 yaitu:
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Apa yang menjadi tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat
pendidikan. Berbagai aliran filsafat berbeda memandang proses dan tujuan
pendidikan sehingga terdapat berbagai aliran filsafat pendidikan.
22
Idealisme adalah satu diantara pandangan filsafat tradisional. Plato
mengembangkan formulasi klasik prinsip-prinsip filosofis kaum idealis. Filsuf Jerman,
Hegel, menciptakan sebuah pandangan-dunia filosofis dan historis yang komprehensif
berdasarkan pada idealisme. Di Amerika Serikat, filsuf transendentalis, Ralph Waldo
Emerson dan Henry David Thoreau mengelaborasi konsepsi terhadap realitas
berdasarkan pada pandangan idealisme. Sedangkan pendiri taman kanak-kanak,
Friedrich Froebel adalah seorang eksponen dari pedagogi kaum idealis. Adapun
Willian Harris, seorang pemimpin pendidikan Amerika yang secara historis sangat
signifikan, menggunakan idealisme sebagai suatu dasar pemikiran untuk administrasi
pendidikannya pada akhir abad ke-19. Sekarang ini pendukung utama dari pendidikan
idealis adalah J.Donald Butler (Ornstein dan Levine, 1985 : 187).
Kaum idealis mengklaim bahwa realitas tertinggi lebih bersifat spiritual, dan
mental ketimbang fisik, dan material. Bagi mereka universe adalah sebuah ekspresi
kecerdasan dan kemauan dari suatu Jiwa universal. Dunia ide adalah abadi, permanen,
teratur, dan memberikan vitalitas dan dinamisme. Oleh sebab itu kebenaran dan nilai-
nilai bersifat absolut dan universal pula.
Kaum idealis biasanya menggunakan konsep makrokosmos dan mikrokosmos
untuk menjelaskan pandangan mereka tentang realitas. Makrokosmos merujuk kepada
jiwa universal, sebab utama, pencipta, atau Tuhan. Sedangkan mikrokosmos adalah
bagian terbatas dari keseluruhan, yaitu suatu individu. Tetapi mikrokosmos adalah
substansi spiritual yang sama dengan makrokosmos.
Dalam konteks pendidikan para murid dapat dianggap sebagai entitas spiritual
yang juga sebagai bagian dari universe spiritual yang lebih luas. Meskipun ada
perbedaan di antara kaum idealis dan turunannya, semua setuju bahwa universe terbuat
dari realitas spiritual yang bersifat personal dan individual atau mikrokosmos
merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang komprehensif dan universal.
Ketika Filsuf kuno Elea, Parmenides (Kneller, 1971b : 9) mengatakan, “Apa
yang tidak dapat dipikirkan tidak bisa menjadi ada,” dan ketika Schopenhauer
memproklamasikan, “Dunia adalah ideku,” mereka menekankan sudut pandang
metafisis idealisme. Penganut idealisme tidak menolak eksistensi dunia fisik sekitar
kita—dunia rumah-rumah, bukit, bintang, dan kota-kota yang oleh indera kita
diperkenalkan kepada kita. Tetapi menurut mereka kenyataan dari benda-benda ini
adalah bukan kenyataan terakhir.
Plato menganggap spirit manusia sebagai suatu “jiwa” yang memancar dari
“idea” yang sempurna dan abadi. Maka, Plato berargumentasi, kebenaran adalah abadi,
tidak berubah dan dapat ditemukan tidak melalui penyelidikan dunia fisik atau materi,
tetapi dalam dunia ide-ide yang bersifat konseptual. Lebih jauh Plato percaya bahwa
pengetahuan itu tidak diciptakan atau ditemukan sama sekali tetapi dalam
kenyataannya pemanggilan kembali atau pengingatan kembali. Jadi metode-metode
yang diharapkan, dan kaum idealis mendukung pendekatan pengajaran yang dilatari
oleh model pertanyaan sokratik, ialah metode yang dapat mengajak murid mengingat
kembali apa yang sesungguhnya sudah mereka ketahui. Diantara filsuf yang dianggap
23
sebagai kaum idealis ialah Rene Descartes (1596 – 1650), Immanuel Kant (1724 -
1804), dan Baruch Spinoza (1632 – 1677).
Menurut kaum idealis, mengetahui adalah mengingat kembali dari apa yang ada
secara laten di alam ide. Pengetahuan didasarkan kepada ingatan atau kenangan dari
ide-ide terpendam yang siap hadir di dalam jiwa. Ide-ide serupa itu adalah a priori;
yaitu pengetahuan atau konsep-konsep tersebut adanya mendahului dan terlepas dari
pengalaman manusia tentang mereka. Melalui introspeksi seseorang memeriksa
jiwanya sendiri dan menemukan suatu salinan jikwa makrokosmos. Apa yang diketahui
telah tersedia di dalam jiwa (mind).
Dalam tradisi kaum idealis filsuf yang berbeda telah menghasilkan teori-teori
pengetahuan berbeda pula. Plato setuju pada Sokrates yang mempertahankan bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap,
karena dunia materi hanya suatu copy yang terdistorsi. Pengetahuan yang benar
dihasilkan oleh rasio itu sendiri, rasio adalah fakultas yang melihat bentuk-bentuk
spiritual murni dari segala sesuatu melampaui perwujudan materi mereka.
Manusia dapat mengetahui secara intuitif, yaitu mampu memahami secara tiba-
tiba suatu kebenaran tanpa menggunakan sesuatu dari inderanya. Manusia juga dapat
mengetahui kebenaran melalui tindakan rasionya, yaitu dengan memeriksa konsistensi
logis dari ide-idenya.
Kaum idealis objektif, seperti Plato, percaya bahwa ide-ide adalah esensi yang
memiliki suatu eksistensi yang berdiri sendiri. Sementara Kaum idealis Subjektif
seperti, George Berkeley, beranggapan bahwa seseorang hanya dapat mengetahui apa
yang dia rasakan. Pengetahuannya hanyalah suatu keadaan mental. Eksistensi
tergantung pada jiwa, setiap stimulus diterima oleh jiwa itu pada akhirnya berasal dari
Tuhan. Tuhan adalah Maha Spirit.
Hegel mengelaborasi konsep platonik itu bahwa pengetahuan adalah valid
hanyalah sejauh ia membentuk suatu sistem. Karena realitas tertinggi adalah rasional
dan sistematis, pengetahuan kita tentang realitas yang benar juga sistematik. Prinsip ini
biasanya dirujukkan kepada “teori koherensi” dari kebenaran. Teori itu didasarkan
pada pandangan bahwa item partikular dari pengetahuan menjadi signifikan hanya
dalam konteks keseluruhan. Karena semua ide dan teori harus divalidasi menurut
“koherensi” mereka dalam sebuah sistem perkembangan yang terus menerus dari
pengetahuan.
Bagi idealist, nilai-nilai dan etika adalah absolut. Kebaikan, kebenaran, dan
keindahan secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi, atau dari
masyarakat ke masyarakat. Dalam esensinya nilai-nilai itu konstan. Mereka bukan
buatan manusia tetapi bagian dari setiap sifat dari universe. Etika adalah perilaku yang
tumbuh dari aspek-aspek permanen sebagai warisan kultural.
Kejahatan, kata kaum idealis, adalah kebaikan yang tidak komplit. Dia adalah
akibat dari disorganisasi dan kekurangan dari sistem yang ada dalam universe. Plato
meyakini bahwa hidup baik adalah mungkin hanya dalam suatu masyarakat yang baik.
Dalam Republik, dia menggambarkan suatu masyarakat ideal diatur oleh sekelompok
elit yang berbudi luhur dari raja-raja-filsuf. Hegel mendeklarasikan bahwa individu
24
memperoleh pengertian dan praktisnya tentang budi pekerti dari masyarakat yang
berbudi luhur yang mana ia merupakan bagian darinya. Masyarakat ideal Kant terdiri
dari orang-orang yang memperlakukan manusia lebih sebagai tujuan-tujuan daripada
sebagai alat. “Imperatif Kategoris-”nya yang terkenal menyatakan bahwa kita
seharusnya selalu berperilaku baik, dan selalu menekankan jangan melakukan
kejahatan.
Dalam pandangan kaum idealis prinsip-prinsip ini secara umum berakar pada
agama atau paling tidak suatu pandangan yang hidup abadi.
Para idealis percaya bahwa anak adalah bagian dari sebuah spirit universe
tertinggi. Karena alasan ini pendidikan harus menanamkan suatu keakraban antara
anak dengan elemen-elemen spiritual dari alam; pendidikan harus menekankan
keharmonisan yang dibawa sejak lahir antara manusia dengan universe. Ketika anak
mempelajari dunia alamiah, ia tidak harus menganggapnya sebagai sebuah mesin besar
yang tidak berjiwa dan tidak bertujuan. Ia sebaiknya melihat universe sebagai suatu
proses yang bermakna dan bertujuan.
Tugas utama para guru adalah membawa pengetahuan yang terpendam tersebut
ke dalam kesadaran. Melalui pembelajaran, para murid secara garadual akan memasuki
pengertian yang lebih luas dari kesadaran mental. Sebagai suatu proses intelektual yang
utama, belajar melibatkan pemanggilan kembali (recalling and working) yaitu
memancing kelahiran ide-ide. Karena realitas bersifat mental, pendidikan seharusnya
berkaitan dengan persoalan-persoalan konseptual, tidak menerapkan prinsip-prinsip
eksternal kepada murid tetapi berupaya mengembangkan berbagai kemungkinan-
kemungkinan yang ada dalam individunya. Para pelajar mencari suatu perspektif yang
luas dan general dari universe.
Pendidik idealis lebih menyukai susunan dan pola kurikulum dengan
matapelajaran yang berkaitan dengan ide-ide dan konsep-konsep yang saling terkait.
Sintesis dari sistem konseptual seperti bahasa, matematika, dan kesenian
merepresentasikan dimensi-dimensi yang absolut. Misalnya, Pengetahuan Budaya
(liberal art) mencakup berbagai sistem konsep atau matapelajaran seperti bahasa,
sejarah, matematika, sains, dan filsafat.
Kurikulum pendidikan kaum idealis bersifat hirarkhis, mengutamakan warisan
budaya manusia. Pada puncaknya adalah matapelajaran yang sangat umum seperti
filsafat dan teologi. Subjek-subjek yang lebih general adalah yang abstrak; yaitu yang
melampaui batasan waktu, tempat, dan situasi serta kondisi. Matematika, khususnya
sangat diutamakan karena ia menanamkan kekuatan yang berkaitan dengan abstraksi-
abstraksi. Sejarah dan kesusasteraan juga menempati peringkat tinggi karena mereka
adalah sumber moral dan model-model budaya, contoh-contoh, dan pahlawan-
pahlawan. Agak lebih rendah prioritas kurikulum adalah ilmu-ilmu alamiah dan fisika,
yang berhubungan dengan hubungan sebab-akibat partikular. Karena dibutuhkan untuk
komunikasi, bahasa adalah alat yang esensial pada semua tingkat pembelajaran.
Sebagian kaum idealis menganjurkan loyalitas dan patriotisme kepada negara.
Hal ini terkait dengan pandangan bahwa kepribadian suatu bangsa lebih penting
ketimbang karakter individual, sejalan dengan prinsip bahwa suatu keseluruhan lebih
25
penting dari satu bagiannya. Maka oleh sebab itu para murid sebaiknya diajarkan
menyukai negeri dan komunitasnya tempat ia dilahirkan. Mereka seharusnya
mempelajari secara simpatik fondasi-fondasi kebudayaan dan cita-cita negeri dan
komunitasnya. Ini tercermin dari apa yang dikemukakan oleh Herman H. Horne
(Kneller, 1971b : 34), “Pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian diri tertinggi
terhadap perkembangan fisik dan mental, kebebasan, kesadaran, manusia terhadap
Tuhan, sebagai perwujudan dari lingkungan intelektual, emosional, dan volisional
manusia.”
Murid, kata kaum idealis, seharusnya diajarkan nilai-nilai abadi dan bagaimana
hidup dengan nilai-nilai itu. Mereka seharusnya menyadari bahwa kejahatan
mengganggu tidak hanya diri mereka atau masyarakat, atau bahkan umat manusia
keseluruhannya, tetapi setiap jiwa dari universe. Nilai-nilainya menjadi signifikan
hanya kalau dia dihubungkan kepada kekuatan spiritual tertinggi dari universe, suatu
kekuatan yang dapat dijelaskan guru kepada muridnya.
Guru idealis diharapkan mewujudkan sepenuh mungkin watak-watak terbaik
manusia dan oleh karena itu mereka akan menjadi lebih berguna. Dalam suatu sistem
sekolah yang ada, bagi guru idealis, tidak ada murid yang benar-benar jelek, tetapi
hanya menyimpang dari, atau tidak memahami secara penuh, dasar-dasar moral dari
universe.
26
a) Realisme Rasional
Tradisi ini dapat dibagi dalam “realisme klasik” dan “realisme religius.”
Bentuk utama dari realisme religius adalah “skolatisisme,” filsafat resmi dari Gereja
Katolik Romawi. Kedua aliran ini lahir dari filsuf Yunani Aristoteles. Para realis klasik
secara langsung menghadapkan pandangan mereka kepada Aristoteles, sedangkan para
skolatistik secara tidak langsung. Mereka mendasarkan filsafatnya pada St. Thomas
Aquinas, yang menggunakan pendekatan dan doktrin-doktrin Aristoteles untuk
membahas teologi gereja. Aquinas kemudian menciptakan sebuah filsafat Kristen baru:
“Thomisme.”
Realisme klasik dan religius setuju bahwa dunia materi adalah ril dan berada di
luar jiwa orang yang mengamatinya. Realitas memiliki prinsip self evident dan manusia
dapat mengenalinya melalui akal, karena pada hakikatnya manusia adalah memiliki ciri
rasional (Brubacher dalam Sadulloh, 2003 : 104). Self evident merupakan asas
pengetahuan yang benar yang pembuktiannya terdapat dalam pengetahuan atau realitas
itu sendiri.
Realisme religius berpendapat bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan
dengan harmonis dan keteraturan, dan manusia harus mempelajari alam ini. Penganut
Tomisme berpendapat juga demikian, bahwa baik materi maupun spirit telah
diciptakan oleh Tuhan, Fakta bahwa Tuhan menciptakan universe adalah bukti yang
cukup tentang realitasnya, dan sesuatu yang diciptakan secara ketuhanan haruslah real.
Penganut Tomisme juga mendeklarasikan bahwa manusia adalah fusi (leburan) dari
materi dan spiritual, dengan bodi dan jiwa membentuk satu sifat manusia. “Kita
bebas,” kata mereka, “dan bertanggung jawab bagi tindakan kita; kita ditempatkan di
bumi, tetapi kita juga abadi, untuk cinta dan kehormatan bagi Pencipta kita dan juga
untuk memperoleh kebahagiaan abadi.”
32
Situasi epistemologis atau mengetahui (knowing) melibatkan seseorang, sebuah
organisme, dan suatu lingkungan. Seseorang berinteraksi dengan lingkungan agar
dapat hidup, tumbuh, dan berkembang. Interaksi ini mungkin mengubah lingkungan,
dan juga mengubah seseorang. Dengan demikian mengetahui adalah suatu transaksi
antara yang belajar dengan lingkungan. Basis dari interaksi ini adalah konsep tentang
perubahan. Setiap interaksi mungkin memiliki beberapa aspek yang dapat
digeneralisasi atau ciri-ciri yang dapat dibawa kepada interaksi berikutnya, tetapi setiap
episode tentunya memiliki perbedaan. Jadi secara konstan seseorang itu berubah,
lingkungan berubah, dan pengalaman-pengalaman atau transaksi-transaksi juga
berubah.
Pragmatisme menolak dualisme terpisah antara penerima (perceiver) dengan
objek yang diterima (perceived). Manusia di dunia ini adalah dengan persepsinya dan
dengan dunia yang dipersepsikannya sekaligus. Segala yang diketahui itu tergantung
pada pengalaman. Pengalaman terhadap fenomena menentukan pengetahuan manusia.
Karena fenomena secara konstan berubah, maka pengetahuan dan kebenaran dengan
cara yang sama harus berubah pula. Kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada idea.
Apapun yang dianggap benar hari ini harus juga dianggap sebagai sesuatu yang
mungkin berubah esok.
Kaum pragmatis percaya bahwa jiwa itu bersifat aktif dan menggali ketimbang
pasif dan menerima. Jiwa tidak bertentangan dengan dunia dan bagian-bagian
daripadanya. Pengetahuan dan kebenaran tidaklah berdiri sendiri tetapi selalu dalam
korespondensi antara ide-ide manusia dengan suatu realitas eksternal, karena realitas
bagi manusia sebagian tergantung pada ide-ide dengan yang menjelaskannya.
Menurut William James, suatu ide benar jika ia mempunyai akibat-akibat yang
baik bagi orang yang menyandangnya. Pragmatis yang lain, seperti Pierce dan Dewey,
bersikukuh bahwa suatu ide benar hanya jika ia mempunyai akibat yang memuaskan
ketika diuji secara objektif dan ilmiah.
Logika yang digunakan dalam pendidikan kaum pragmatis adalah logika
induktif dan berbasis pada metode saintifik. Pernyataan-pernyataan tentatif didasarkan
pada pengalaman empirik dan harus diuji. Logika pragmatisme mencurigai kebenaran-
kebenaran a priori dan deduksi-deduksi yang didasarkan padanya.
Konsep aksiologis kaum pragmatis sangat situasional. Nilai-nilai adalah relatif
menurut waktu, tempat, dan keadaan. Nilai-nilai yang memberikan kontribusi kepada
manusia, pertumbuhan dan perkembangan sosial dianggap berharga. Sementara yang
membatasi dan mengerdilkan pengalaman adalah tidak pantas. Adalah perlu untuk
menguji dan memeriksa asumsi-asumsi nilai dengan cara yang sama seperti
memverifikasi klaim-klaim saintifik.
Menurut pandangan ini, karena manusia adalah bagian dari masyarakat, maka
konsekwensinya adalah tindakan-tindakan manusia--juga baik dan buruk--diukur
menurut pandangan masyarakat itu. Jika akibat dari tindakan itu secara sosial terbukti
bermanfaat, maka nilai dari tindakan itu adalah baik. Jadi nilai etnik dan estetik
tergantung pada keadaan-keadaan relatif dari situasi yang ada. Nilai tertinggi tidak
pernah ada, kebenaran selalu relatif dan kondisional. Meskipun demikian, pandangan
33
tentang nilai itu sangat berguna sebagai kecerdasan hidup yang sukses, produktif, dan
bahagia.
Etika dan peraturan moral tidak permanen, tetapi harus berubah seperti
perubahan kebudayaan dan masyarakat. Ini bukan klaim bahwa nilai-nilai moral akan
naik turun dari bulan kebulan, melainkan untuk mengatakan bahwa tidak ada ajaran
tertentu yang seharusnya dianggap mengikat secara universal terlepas dari keadaan di
mana ia berada. “Kau tidak boleh membunuh” bukanlah suatu prinsip absolut karena
pada saatnya mungkin membunuh adalah benar, misalnya dalam tatanan untuk
mempertahankan diri atau untuk melindungi kehidupan orang lain. Anak seharusnya
belajar bagaimana membuat keputusan-keputusan moral yang sukar tidak dengan
prinsip-prinsip yang secara kaku telah ditentukan, tetapi memutuskan sesuatu yang
mungkin menghasilkan apa yang terbaik bagi jumlah terbesar dari umat manusia.
Nilai-nilai seharusnya tidak dipaksakan dengan otoritas yang lebih tinggi, tetapi
melalui persetujuan setelah diskusi terbuka, terinformasikan, dan berdasarkan pada
bukti-bukti yang objektif.
Kaum pragmatis menolak konsep individualisme yang mengarah kepada
eksploitasi sosial dan juga susunan masyarakat yang merendahkan individualitas
seseorang. Dewey menyebut campuran dari pemikiran individu dan persetujuan
kelompok suatu “perjanjian/pertemuan kritis.” ”Kepercayaanku pada yang Absolut,”
tulis William James, “pastilah tantangan terhadap kepercayaan saya yang lain.”
Kepercayaan itu “membentur kebenaran saya yang lain yang menguntungkan saya
untuk tidak akan menghentikannya.” William James menggambarkan doktrinnya
(Kneller,1971b : 37) sebagi berikut:
Dia (pragmatisme) memiliki fakta tanpa prasangka apa pun, tanpa dogma-
dogma penghalang, tanpa peraturan yang kaku terhadap apa yang dianggap
sebagai bukti. Dia ramah secara sempurna. Dia akan mempunyai suatu
hipotesis, dia akan mempertimbangkan bukti-bukti… cara-caranya bervariasi
dan fleksibel, sumbernya kaya dan tiada akhir, dan konklusinya sebersahabat
ibu pertiwi.
34
Sebagai tujuan khusus harus memuat suatu pengertian tentang pentingnya
demokrasi. Pemerintahan demokratis memungkinkan setiap warganegara tumbuh dan
hidup melalui interaksi sosial yang terjadi dengan warganegara yang lain. Pendidikan
harus membantu para muridnya menjadi warganegara terbaik (excellent citizens) dalam
demokrasi.
Dalam pandangan kaum pragmatis, tradisi demokratis adalah sebuah tradisi
mengoreksi-diri sendiri. Umpamanya, warisan sosial masa lampau bukan menjadi
fokus perhatian pendidikan. Fokus pendidikan adalah hidup baik sekarang ini dan di
masa depan. Standar dari kebaikan sosial adalah pengalaman-pengalaman yang sudah
teruji dan diverifikasi secara konstan terhadap perubahan. Oleh karena itu pendidikan
harus bekerja untuk memelihara demokrasi.
Menurut kaum pragmatis, kurikulum sekolah tidak harus terlepas dari konteks
sosial. Matapelajaran adalah alat untuk memecahkan problem-problem individual, dan
sebagai individu murid ditingkatkan atau dibangun kembali, masyarakatnya diperbaiki
dengan cara yang sama. Oleh karena itu problem masyarakat demokratis harus
dibentuk berdasarkan pada kurikulum dan cara memecahkan problem institusi-institusi
demokratis harus juga termuat di dalam kurikulum.
Belajar selalu dianggap menjadi urusan pribadi. Guru tidak seharusnya
mencoba menuangkan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam murid, karena upaya-
upaya seperti itu bagaimanapun tidak akan berhasil. Apa yang tiap murid pelajari
tergantung pada kebutuhan pribadinya, minatnya, dan problem-problemnya. Dengan
kata lain, muatan pengetahuan bukan suatu tujuan itu sendiri, tetapi alat untuk
mencapai tujuan. Untuk menolong para murid guru seharusnya:
35
Metode pembelajaran yang digambarkan oleh kalangan pragmatis hanyalah
metode pemecahan masalah (problem solving). Mereka yakin dengan menggunakan
metode itu akan ditemukan metode lainnya. Pendekatan mengajar seperti ini
memerlukan guru yang;
a) permisif f) kreatif
b) bersahabat g) menyadari keadaan masyarakat
c) pembimbing h) siap-siaga
d) berpikiran terbuka i ) sabar
e) antusias j ) kooperatif dan sungguh-sungguh
Jika realitas secara terus menerus berubah, maka suatu kurikulum yang
didasarkan pada realitas permanen seperti yang diyakini kaum perennialis dan
esensialis, tidak dapat diterima oleh kalangan pragmatis. Apa yang diperlukan adalah
suatu metode yang berkaitan dengan perubahan dalam cara yang cerdas. Karena realitas
adalah suatu proses transformasi atau rekonstruksi baik pribadi maupun lingikungan,
bagaimana bisa pelajaran tentang perubahan itu diterapkan terhadap hasil yang
diinginkan?
Dewey menekankan pemecahan masalah sebagai metode yang sangat efektif
dan efisien untuk matapelajaran tentang perubahan. Konsep-konsep tentang
ketidakberubahan atau kebenaran universal seperti yang disarankan oleh kaum realis
dan idealis tidak dapat dipertahankan. Hanya petunjuk-petunjuk yang dimiliki manusia
dalam interaksi mereka dengan lingkungan dapat membuat generalisasi-generalisasi
dan pernyataan-pernyataan tentatif yang lebih jauh perlu diteliti dan diverifikasi. Setiap
waktu yang dialami seseorang adalah pemulihan kembali untuk memecahkan masalah,
suatu kontribusi baru ditambahkan kepada simpanan pengalaman kemanusaan.
Dewey sebagai seorang figur utama aliran pragmatisme (ekperimentalisme)
telah menulis secara intensif dalam filsafat pendidikan di bawah pengaruh teori evolusi
Charles Darwin. Ia menerapkan term-term organism dan environment pada dunia
pendidikan. Makhluk manusia adalah organisme biologis dan sosiologis yang memiliki
dorongan atau impuls yang berfungsi untuk menopang kehidupan dan untuk tumbuh
dan berkembang. Setiap organisme hidup dalam sebuah habitat atau lingkungan. Di
dalam proses kehidupannya organisme manusia mengalami situasi-situasi problematik
yang mengancam keberlangsugan eksistensinya atau yang turut campur terhadap
aktivitas yang sedang dan terus berlangsung. Manusia yang berhasil adalah yang dapat
memecahkan masalah-masalah ini dan menambahkan detail-detail dari episode
problem-solving partikular pada stok menyeluruh dari pengalaman.
Di dalam filsafat pendidikan Dewey, pengalaman adalah kata kunci.
Pengalaman dapat didefinisikan sebagai interaksi dari organisme manusia dengan
lingkungannya. Karena kehidupan tergantung pada kemampuan untuk memecahkan
masalah, maka pendidikan menjadi upaya menanamkan keterampilan dan metode
memecahkan masalah.
36
Ketika idealisme, realisme, perennialisme, dan esensialisme menekankan
bodies of knowledge atau matapelajaran, Dewey menekankan metodologi atau proses
dari pemecahan masalah. Menurut Dewey, belajar terjadi ketika seseorang
memecahkan masalah. Di dalam epistemologi pragmatisme Dewey, pelajar baik
sebagai individu atau anggota suatu kelompok, menggunakan metode ilmiah dalam
memcahkan masalah personal maupun sosial. Bagi Dewey metode problem solving
dapat dikembangkan ke dalam suatu kebiasaan yang dapat ditransfer kepada berbagai
situasi yang luas.
Kaum pragmatis mempertahankan bahwa karena realitas adalah diciptakan oleh
suatu interaksi personal dengan lingkungannya, murid harus mempelajari dunia
sebagai mana ia mempengaruhi mereka. Murid tidak bisa dianggap hanya sebagai
bagian dari lingkungan tempat dia hidup. Sekolah tidak dapat memisahkannya dari
kehidupan itu sendiri. Pendidikan adalah kehidupan dan bukan suatu persiapan untuk
hidup. Pelajaran formal harus berhubungan dengan problem-problem dekat yang
dihadapi anak dan yang dihadapi masyarakat untuk dipecahkan.
Tidak seperti kaum realis dan kaum idealis kaum pragmatis percaya bahwa
sifat manusia secara mendasar adalah plastis dan dapat diubah. Kaum pragmatis
menganggap anak sebagai sebuah organisme aktif, yang secara terus menerus
membangun dan menginterpretasikan pengalamannya. Karena anak tumbuh hanya
dengan berhubungan dengan orang lain, dia mesti belajar untuk hidup dalam suatu
komunitas individu-individu, untuk bekerjasama dengan mereka, dan
mengadaptasikan diri secara cerdas pada kebutuhan dan aspirasi-aspirasi sosial.
Menurut kaum pragmatis, seorang anak adalah seorang pembelajar alamiah
karena dia secara alamiah ingin tahu. Ia akan belajar sebagian besar dari apa saja yang
dia rasakan merangsang untuk digali dan dipikirkan. Guru seharusnya membantu spirit
pencarian ini.
a) aktivitas pembelajaran
b) minat murid sebagai basis perencanaan kegiatan
c) kebebasan penuh bagi murid untuk bekerja dalam kelompok atau sendiri
d) berdasarkan kepada kebutuhan yang dekat
e) mengakui perbedaan individu dalam pengalaman.
41
bahasa merujuk kepada sesuatu dalam dunia materi atau kepada elemen lain dalam
bahasa atau matematika.
Memfokuskan perhatiannya pada kata-kata dan makna. Para Filsuf analitik
menyelidiki gagasan-gagasan seperti “sebab”, “jiwa”, “kebebasan akademik”, dan
“persamaan kesempatan” dalam pola untuk menilai makna-makna yang berbeda yang
mereka bawa dalam konteks yang berbeda. Ia menunjukkan bagaimana
ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan mungkin muncul ketika makna-makna yang
tepat dalam konteks tertentu dibawa ke dalam konteks yang lain. Filsuf analitik
cenderung skeptik, berhati-hati, dan tidak menyukai membangun sebuah sistem
pemikiran.
Bebeberapa pendapat tentang Filsafat Analitik tergambar dalam empat
pernyataan filsuf yang sekaligus sebagai tokoh filsuf analitik:
Menurut kaum filsafat analitik, realitas adalah apa yang dapat diketahui, yang
dapat dikatakan, dan apa yang dapat diverifikasi dengan pengalaman. Realitas tersebut
pada akhirnya dapat dianalisis; dapat dirinci ke dalam elemen-elemen atau relasi-relasi
yang tidak dapat dirinci lagi. Semua permasalahan transenden yang dapat diketahui
adalah tidak pantas menjadi perhatian filsafat. Spekulasi terhadap masalah-masalah ini
tidak bermakna (meaningless) dan hanya menghabiskan waktu saja. Manusia berbeda
dari dunia binatang karena tingkatannya dimana manusia dapat belajar. Kompleksitas
42
dari pembelajaran adalah bukti dari bakat manusia yang terwujud dalam perilaku
simbolik dalam bahasa dan media lainnya. Penggunaan bahasa adalah
merepresentasikan, mengekspresikan, dan menampakkan pikiran individu dan manusia
lain. Manusia juga berbeda dari binatang dalam menggunakan refleksi kritis.
Penggunaan simbol adalah penting untuk menyatakan bahwa manusia dapat
memberikan makna kepada setiap simbol, dan nalar untuk interpretasi terhadap pesan
yang dinyatakan.
Apabila kaum idealis, realis, dan perenialis menggambarkan filsafat mereka
dalam suatu pandangan dunia atau sistem filsafat bahwa filsafat pendidikan, manusia
adalah bagian dari sistem universal. Filsafat analitik menolak sistem bangunan kosmik
sebagai sesuatu yang secara murni menggunakan pemikiran spekulatif yang tidak
mempunyai makna real bagi pendidikan. Mereka menyatakan bahwa basis metafisik
dari filsafat kosmik tidak bisa diverifikasi di dalam pengalaman manusia.
Russell (Noddings, 1998 : 41) menyakini bahwa pikiran (mind) dan materi
adalah dua yang secara terpisah berbeda dan baik entitas materi (objek) maupun produk
pemikiran (ekspresi bahasa dan matematika) dapat dianalisis ke dalam elemen-elemen
dan relasi-relasi dasarnya. Bagian tugas filsuf analitik adalah menganalisis bahasa dan
matematika dan menunjukkan bagaimana setiap elemen analisis itu merujuk kepada
sesuatu yang ada dalam dunia materi atau elemen lain dalam bahasa dan matematika.
Bagi Russell, realitas adalah sesuatu yang pada akhirnya dapat dianalisis; yaitu, sesuatu
yang dapat dirinci (dijabarkan) ke dalam elemen-elemen atau relasi-relasi yang
terkecil.
Filsafat analitik menegaskan bahwa metode sains seharusnya menjadi metode
filsafat karena sesungguhnya hal-hal dapat diketahui hanya melalui pengalaman, yaitu
dengan memverifikasi kebenaran sehingga dapat dipahami. Sikap ilmiah yang terdiri
dari berpikiran-terbuka (open-mindedness), objektivitas, dan refleksi kritis sangat
diperlukan dalam berpikir yang benar. Maka fungsi penalaran tidak diragukan lagi
adalah fungsi yang sangat penting bagi ”hewan” ini, manusia.
Dalam beberapa hal filsafat analitik adalah suatu respons terhadap kondisi pengetahuan
dalam abad ke-20. Kehidupan manusia, kompetensi pekerjaan, dan area pengetahuan
mereka telah tumbuh meningkat menjadi komplikasi dan terspesialisasi karena
teknologi dan institusi modern. Setiap area spesialisasi telah mengembangkan
bahasanya sendiri yang sangat spesial pula, yang digunakan secara khusus oleh para
ahli yang bekerja di dalamnya. Ini telah mempersulit komunikasi, bahkan dalam
lapangan yang sama, dengan bidang-bidang lainnya. Dengan penjelasan terhadap
bahasa yang digunakan dalam masyarakat teknologi, para analis filosofis dapat
berkontribusi bagi komunikasi yang lebih bermakna.
Di era informasi dewasa ini di mana dunia ditandai oleh media komunikasi
yang semakin canggih seperti internet, telepon genggam, televisi, yang didukung oleh
satelit, memungkinkan kita untuk mengetahui informasi yang sebenarnya, yang
reliabel, dan valid. Dengan menganalisis bahasa yang digunakan kita dapat
membedakan mitos dari kebenaran dan barangkali menemukan makna dari jerit
lingkungan kita yang makin meningkat.
43
Meskipun di antara kaum analis yang ada memiliki perbedaan-perbedaan,
beberapa generalisasi dapat dibuat untuk mengilustrasikan kontribusi mereka. Mereka
misalnya menyampaikan proposisi-proposisi tentang realitas. Menurut mereka
kebermaknaan kalimat ditentukan oleh kebenarannya secara analitik atau secara
empirik. Jika kita mengatakan bahwa 2 + 2 = 4, kita telah menyatakan sebuah statemen
matematika yang secara analitik benar karena 4 jika diurai maknanya sama dengan 2
+2. Statemen itu dapat dibalik dan benar 4 = 2 +2. Pernyataan bahwa air mendidih
2120 Fahrenheit adalah benar karena bisa diverifikasi secara empirik, yaitu mengujinya
dengan pengukuran.
Tetapi banyak statemen dalam komunikasi ilmiah tidak bermakna karena tidak
dapat diperiksa dengan dua metode tersebut, analitik dan empirik. Proposisi kaum
idealis bahwa ”Dunia adalah Pikiran” tidak dapat diuji. Begitu juga pernyataan kaum
eksistensialis bahwa ”Eksistensi mendahului Esensi” tidak dapat diverifikasi secara
empirik. Namun proposisi kaum empirik bahwa ”Pengalaman adalah interaksi dari
organisme manusia dengan lingkungan” adalah mungkin dapat diuji dan menemukan
kebermaknaan. Untuk verifikasi kalimat ini perlu diterjemahkan kata-kata,
”pengalaman,” ”organisme manusia,” ”interaksi,” dan ”lingkungan” ke dalam istilah
yang dapat diukur dan diverifikasi secara empirik atau dianalisis secara logis (analitis).
Dalam pandangan filsafat analitik semua nilai adalah berhubungan dengan
kebutuhan individu manusia dan kemanusiaan. Nilai-nilai sosial tentang keadilan dan
kebajikan adalah hasil yang mengikuti hubungan alamiah antara manusia. Suatu
pemerintahan demokratis memberikan, melalui hubungan sosial, kemungkinan terbaik
bagi pertumbuhan individu, dan oleh karena itu ia adalah bentuk terbaik dari aturan
politik yang mengatur hubungan tersebut.
Bahasa secara piktoral tidak berhubungan dengan dunia eksternal, tidak juga
secara isomorfi karena bahasa bukanlah menyerupai sesuatu untuk yang diterapkan.
Makna kata-kata dan kalimat berasal dari penggunaannya di dalam konteks. Oleh
karena itu makna tersebut harus dengan dipertimbangkan konteks dari aturan-aturan,
kebiasan-kebiasaan, dan konvensi yang mengontrol penggunaan kata-kata dan kalimat
itu.
Dalam pandangan kaum analis bahasa memiliki fungsi evaluatif. Ia dapat
dipergunakan untuk menganalisis nilai-nilai seperti kepantasan dan kebaikan dari
sesuatu. Misalnya pada pernyataan, ”Saya percaya bahwa pemerintahan kita adalah
sistem pemerintahan terbaik di dunia.”
Filsafat analitik pada dasarnya tidak begitu mempedulikan kebenaran. Kalau
pun hal itu ada lebih cenderung kebenaran dalam arti gramatika saja(Bertens, Filsafat
Barat, 1983 : 25). Mereka lebih memusatkan perhatian kepada makna ucapan-ucapan
ketimbang nilai-nilai etik atau estetik. Bagi mereka pertanyaan pokok bukannya is it
true? yang mengacu kepada prinsip-prinsip moral atau seni melainkan kepada prinsip
tata bahasa dan semantik, yang pokok pertanyaannya what is the meaning? Moore
misalnya dalam bukunya Principia Ethica (1903) dan Ethics (1912) yang banyak
membahas masalah etika normatif sibuk dengan pembahasan arti kata ”baik”. Ia
mengemukakan istilah yang terkenal, ”kekeliruan naturalistis” (naturalistic fallacy)
44
dengan kasus hedonisme yang menyamakan ”baik” dengan ”menyenangkan.” Bagi
hedonisme pernyataan, ”x itu baik” sama artinya ”x itu menyenangkan.” Menurut
Moore ini tidak benar karena dalam kenyataannya ada sesuatu yang baik tetapi tidak
menyenangkan, dan sebaliknya ada yang menyenangkan tetapi tidak baik. Jika sama
maka pertanyaan ”apakah yang menyenangkan itu baik?” harus sama artinya dengan
pertanyaan "apakah yang baik itu baik?”
Demikianlah gambaran sikap kaum analis terhadap nilai-nilai yaitu lebih
bersifat redaksi ketimbang subsatansi.
Filsafat analitik adalah satu pendekatan baru terhadap isu-isu filsafat
pendidikan. Pada dasarnya ia adalah metode untuk memeriksa bahasa yang digunakan
dalam membuat pernyataan-pernyataan tentang pengetahuan, pendidikan, dan
persekolahan, dan memverifikasinya dengan menentukan maknanya. Filsafat analitik
memiliki filsuf-filsuf pendidikan yang percaya bahwa komunikasi kita tentang
masalah-masalah pendidikan semakin kabur dan membingungkan. Untuk menentukan
makna, filsafat analitik mencoba mereduksi statemen-statemen tentang pendidikan
dengan term-term yang empirik.
Filsafat analitik tidak bermaksud menjadikan dirinya sebuah aliran filsafat
pendidikan, tetapi memberikan data-data empirik yang dapat dipergunakan untuk
membangun pengertian dalam isu-isu pendidikan. Karena kaum pragmatis
mengandalkan penggunaan metode ilmiah dalam pendidikan, mereka menyetujui
pandangan filsafat analitik. Tetapi mereka telah gagal menggunakan bahasa dengan
makna yang tepat. Misalnya istilah-istilah yang dipergunakan Dewey seperti
”demokrasi,” ”pertumbuhan,” ”minat,” dan ”pengalaman” yang menyebabkan banyak
perdebatan di antara filsuf pendidikan. Ketidakpuasan terhadap aliran-aliran filsafat
yang ada sejumlah filsuf kemudian mengembangkan cara baru dengan ide-ide dan
ekspresi mereka dalam bahasa.
Menurut pandangan kaum analisis, tujuan pendidikan adalah untuk
meningkatkan kemampuan intelektual dan perkembangan sosial dari setiap individu.
Kemampuan tersebut ditandai oleh kecakapan murid memverifikasi kebenaran-
kebenaran linguistik secara analittik dan empirik dalam kehidupannya. Oleh karena itu
guru harus mendorong setiap murid memiliki sikap ilmiah yaitu berpikiran terbuka
(open -mindedness), objektif, dan reflektif kritis. Memberikan kemampuan kepada para
murid untuk tidak mengemukakan pendapat hingga data yang relevan terkumpul akan
membiasakan mereka membuat penilaian yang matang, dan ini penting bagi
perkembangan individu mereka. Pendidikan harus didasarkan kepada pengalaman-
pengalaman murid. Dalam hal ini filsafat analitik sedikit berbeda dengan
ekperimentalisme atau pragmatisme.
Karena filsafat analitik mementingkan sikap ilmiah murid dan kemampuan
menyelidiki penggunaan bahasa dengan verifikasi empirik atau analitis, maka mereka
menekankan kurikulum yang bersifat subjek-matter. Matapelajaran bahasa,
matematika, dan sains sudah tentu merupakan hal-hal yang diutamakan.
Sekarang ini pendekatan analitik mendominasi filsafat Amerika dan Inggris.
Sedangkan di Kontinen berlaku tradisi spekulatif. Tetapi pendekatan mana yang paling
45
penting pada suatu waktu, sebagian filsuf setuju bahwa semua pendekatan memberikan
kontribusi untuk menyehatkan filsafat. Spekulasi tanpa disertai oleh analisis
membumbung tinggi sangat mudah masuk ke dalam sorganya sendiri, tidak relevan
dengan dengan dunia sebagaimana kita ketahui; analisis tanpa spekulasi meluncur
kepada hal-hal kecil dan menjadi steril. Spekulasi, preskripsi, dan analisis semuanya
ada dalam beberapa tingkat pada semua filsuf yang matang.
Sejauh ini kita telah membahas filsafat pendidikan dengan berbagai aliran
relevan yang ada di dalamnya. Dari uraian yang cukup luas ini, kita dapat melihat
bahwa walaupun filsafat sebagai suatu keseluruhan tidak memberikan kepada kita
jawaban yang final dari pertanyaan yang diajukannya, dia menawarkan berbagai
kemungkinan jawaban yang memperluas pemikiran kita dan membantu kita dalam
membuat pilihan-pilihan personal. Seperti telah ditunjukkan di atas, pendidikan dan
pembelajaran berarti lebih dari sekedar mengumpulkan fakta yang dibangun secara
saintifik; ia juga berarti menspekulasi dan melanjutkan melampaui batas-batas temuan-
temuan tersebut. Maka sufisme dalam hubungannya dengan pendidikan sudah saatnya
untuk kita perbincangkan.
46